ITIK MANDALUNG MELALUI
PEMBENTUKAN GALUR INDUK
AGUS SUPARYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan : Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung melalui Pembentukan Galur Induk adalah karya saya sendiri dan belum pernah dijukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2005
ABSTRAK
AGUS SUPARYANTO. Peningkatan produktivitas daging itik mandalung melalui pembentukan galur induk. Dibimbing oleh HARIMURTI MARTOJO, PENI S. HARDJOSWORO dan L. HARDI PRASETYO.
Persilangan dua galur itik lokal dengan itik Pekin dilakukan untuk menghasilkan dua calon galur induk yang berprestasi baik untuk dikawinkan dengan entog. Persilangan antara galur induk dengan entog diharapkan menghasilkan mandalung yang memiliki penampilan tubuh (performa) besar, pertumbuhan cepat dan efisien dalam penggunaan pakan. Disamping itu dilihat pula sifat pokok lainnya seperti berdada lebar dan dalam, paha yang panjang sebagai sumber utama daging itik, warna bulu penutup tubuh dan kulit putih polos yang merupakan selera konsumen.
Penelitian dilakukan di Balitnak, Ciawi dengan melakukan persilangan tiga bangsa yaitu entog, itik Peking dan itik lokal untuk dapat mendapatkan itik mandalung yang memiliki citarasa dan kualitas daging baik. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama menyilangkan pejantan Peking dengan dua galur itik lokal (Alabio dan Mojosari putih) untuk membentuk calon galur induk yaitu Pekin x Alabio (PA) dan Pekin x Mojosari (PM). Tahap kedua, galur induk tersebut dikawinkan dengan entog jantan untuk mendapatkan itik mandalung, hasil persilangan entog x PA menghasilkan mandalung EPA dan entog x PM menghasilkan mandalung EPM.
Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa warna kerabang telur dari kedua galur induk sama-sama biru kehijauan. Koefisein keragaman bobot telur tetas PA 8.5% dan PM 10.8% dan indeks telur PA 10.7% dan PM 10.5%. Persentase telur infertil PA lebih tinggi (7.8%) dari PM (6.2%). Bobot tetas DOD PM antara jantan dan betina tidak berbeda nyata (p>0.05), tetapi DOD PA jantan nyata (p<0.05) lebih rendah dibanding betina. Pola warna PM adalah seragam putih sedangkan PA bervariasi. Pertambahan bobot badan PM mencapai puncak pada umur 9 minggu sedang PA 7 minggu. PBB pada umur di bawah 8 minggu galur induk PA lebih tinggi dari PM. Nilai FCR masa pertumbuhan untuk galur induk PM di atas 3.5 sedang galur induk PA di bawah 3. Persentase produksi telur selama satu tahun galur induk PAsebesar 69.06± 16.98% nyata (p<0.05) lebih rendah dari galur induk PM yaitu sebesar 72.19±5.65%.
Hasil tahap kedua adalah sebagai berikut, rasio kelamin mandalung adalah 2:1 untuk anak jantan dan betina, baik yang terjadi pada genotipe EPA maupun EPM. Bulu punggung berwarna hitam untuk EPA adalah 71.3% dan EPM 52.7%, sedang warna putihnya sebesar 13.8% (EPA) dan 40.9% (EPM), sisanya merupakan warna lain. Bulu dada berwarna putih untuk EPA 73,6% dan EPM 88.2%. Konversi pakan (FCR) yang ditunjukkan oleh dua genotipe mandalung tidak berbeda nyata (EPM 3.0 dan EPA 3.2). Bobot potong untuk EPM berkisar antara 2800-3000 g dan EPA antara 2700-3000 g. Bobot otot dada tidak berbeda nyata, meskipun bobot punggung dan paha bagian atas secara statistik EPA nyata lebih tinggi dari EPM.
ABSTRACT
AGUS SUPARYANTO. Improvement of the meat productivity of mule ducks by the establish of female line. Under the supervision of HARIMURTI MARTOJO, PENI S. HARDJOSWORO and L. HARDI PRASETYO.
Crossing two strains of local duck strains with the Pekin duck was conducted to develop two candidate female lines to be crossed with the muscovy duck. The resulting interspecies hybrid is expected to produce a mule duck showing excellent body size, growth rate and feed efficiency. Also other important carcass traits such as breast width and depth, length of thighs and legs solid white plumage preferred by the consumer.
The research was conducted at the Research Institute of Animal Production (RIAP), Ciawi. Two strains of local ducks were crossed with the Pekin drake and then to be crossed with the muscovy duck to produce mule ducks. The research was conducted in two phases. The first was crossing the Pekin x Alabio (PA) and Pekin x white Mojosari (PM) ducks producing two candidate female lines. The second phase was crossing the PA and PM ducks with the muscovy ducks by Artificial Insemination (AI). This will produce the EPA and EPM mule duck.
The result of the first phase showed that both crosses produce light greenish blue colored eggs. The coefficient of variation for the hatching eggs of the PA was 8.5% and PM was 10.8% respectively. The eggs index was 10.7% for PA and 10.5% for PM. Infertile egg percentages for PA were higher (7.8%) than that for PM (6.2%). Weight of hatch for male and female DOD in the PM did not show significant difference (p>0.05). While in the PA male DOD was lighter significantly (p<0.05) than female. The plumage of the PA showed color pattern variation, while the PM ducks all showed a solid white plumage. The average daily gain in the PA reach a maximum at the age of 7 weeks and 9 weeks for the PM. The average weight gain under 8 weeks was higher for the PA than PM. The FCR during the growth phase under 8 weeks of age was higher than3.5 for the PM and lower 3 for the PA. Yearly laying percentage for the PA was 69.06±16.98% and it was significantly (p<0.05) lower than that for the PM wich was 72.19±5.65%.
On the second phase it was found that in the mule ducks the male to female sex ratio was 2:1 for both the EPA and EPM. Black colored back feathers were found in 73.6% of the EPA and 88.2% in the EPM. The FCR for both EPA (3.2) and EPM (3) did not differ statistically. Slaughter weight for the EPA showed a range between 2700-3000 g and for the EPM (2800-3000 g). Weight of breast muscle was not significantly different between EPA and EPM, while for the back and thighs the EPA was significantly higher (p<0.05) than that of EPM.
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS DAGING
ITIK MANDALUNG MELALUI
PEMBENTUKAN GALUR INDUK
AGUS SUPARYANTO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Peningkatan Produktivitas Daging Itik Mandalung Melalui Pembentukan Galur Induk
Nama : Agus Suparyanto Nomor Pokok : P04600006
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. H. Harimurti Martojo, M.Sc
Ketua
Prof. Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc Dr. L. Hardi Prasetyo, M.Agr
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc Prof. Dr. Hj. Syafrida Manuwoto, M.Sc
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di sebuah desa kecil di Kabupaten Demak pada tanggal
10 Agustus 1957 sebagai anak keenam dari 9 bersaudra dari pasangan almarhum
bapak Tjitrotaruno dengan almarhumah ibu Ngatinem. Pendidikan Akademi
didapat dari Akademi Farming Semarang, lulus tahun 1979. Kemudian
dilanjutkan ke Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang dan lulus
tahun 1988. Pada tahun 1997 penulis diterima sebagai mahasiswa Magister
Pascasarjana IPB Jurusan Ilmu Ternak, lulus tahun 1999. Pada tahun 2000 melalui
beasiswa PAATP Badan Libang Pertanian, resmi diterima menjadi mahasiswa
program Doktoral Pascasarjana IPB pada jurusan Ilmu Ternak.
Penulis merupakan staf peneliti pada Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor
dengan jabatan fungsional terakhir adalah Peneliti Madya. Selain sebagai tenaga
fungsional, penulis juga berkesempatan untuk menekuni bidang administrasi
sebagai Sekretaris Proyek dan Pemimpin Bagian Proyek.
Selama menapaki jenjang karier maupun jenjang sekolah, penulis ikut
dalam beberapa organisasi seperti ISPI (Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia),
WPSA (The World Poultry Science Association) dan PERIPI (Perhimpunan Ilmu
Pemulian Indonesia). Penulis aktif dalam menulis artikel ilmiah yang termuat
dalam Jurnal maupun artikel populer pada Majalah yang masih ada relevansi
PRAKATA
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadhlirat Illahi Robbi, yang telah
memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehingga atas perkenan-Nya lah disertasi ini
dapat diselesaikan. Meskipun masih banyak kekurangan, namun inilah yang bisa
penulis bhaktikan untuk bangsa, negara dan keluarga kami.
Bahasan yang diketengahkan diharapkan menjadi informasi data dasar bagi
peneliti lain dan pemerhati yang ingin mengembangkan produk ini. Kami sadari
adanya keterbatasan yang ada, sehingga tidak semua keperluan data akan tersaji.
Justru dari pengembangan dikemudian hari akan muncul data-data otentik yang
lebih valid dan mampu melengkapi data dasar ini.
Dengan selesainya disertasi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak Prof. Dr. Ir. Harimurti
Martojo, MSc, ibu Prof. Dr. Peni S. Hardjosworo, MSc dan bapak Dr. Ir. L. Hardi
Prasetyo, MAgr yang tiada hentinya membimbing dengan kesabarannya. Tak lupa
pula penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada bapak Dr.
Kusuma Diwyanto selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Bogor yang telah memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan tugas akhir
ini. Serta Pejabat Komisi Bidang SDM Badan Litbang Pertanian beserta Staf
Proyek PAATP, yang telah mempercayai penulis untuk mendapatkan beasiswa.
Disamping itu tak lupa pula penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada
teman-teman peneliti maupun teman teknisi di kandang percobaan itik dan semua
pihak yang tak dapat disebut satu persatu, yang telah memberikan kontribusi yang
berarti bagi penyelesaian disertasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kepada istri dan anak yang tercinta, terima kasih atas dukungan morilnya
dan mudah-mudahan Allah Yang Maha Esa selalu memberkahi kebahagian kita
bersama. Amin.
Bogor, Oktober 2005
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……… xiv
DAFTAR GAMBAR ……….. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xviii
PENDAHULUAN ………. 1
Latar Belakang ………... 1
Kerangka pemikiran………... 2
Tujuan Penelitian ………... 3
Manfaat Penelitian ………... 3
TINJAUAN PUSTAKA ……… 5
Bangsa Itik ………..………..…………... 6
Itik Alabio ………... 7
Itik Mojosari ………... 7
Itik Pekin ………... 8
Persilangan Antar Genotipe……….………... 8
Itik mandalung (mule duck) ….………... 9
Sifat Kualitatif ...……….…….………... 11
Warna dasar bulu itik ……….…….………... 11
Penurunan pola warna terhadap zuriat ……..………... 14
Pola pertumbuhan dan pendugaan non-linier ………... 16
Heritabilitas ……….……….……... 19
Produksi dan Produktivitas ………..……….. 21
MATERI DAN METODE ……… 24
Lokasi dan Materi Penelitian ………... 24
Penelitian Tahap Pertama………..………... 24
Penelitian Tahap Kedua……….……….... 25
Pakan Ternak ………..………... 26
Pengamatan Tahapan Umur Fisiologi ……….... 27
Pengamatan ukuran tubuh ………... 27
Pertumbuhan itik ……..………... 27
Pengamatan konversi pakan ……….………... 28
Pengamatan Produktivitas Karkas ……….... 29
Pencatatan dan Pengolahan Data ………..………... 29
Pengumpulan data ……….………... 29
Analisis data ………..……….... 30
Teknik pengelompokan telur tetas ……….. 30
Analisis pola warna bulu ………... 31
Analisis pertumbuhan ………..…………... 31
Halaman
HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 35
Persilangan Pekin dengan Itik Lokal sebagai Calon Galur Induk ………..………. 35
Karakteristik Telur Tetas ……….……… ... 35
Warna kerabang telur ………..………... 35
Keseragaman ukuran telur tetas ………….………..………... 36
Pengelompokkan telur tetas berdasarkan bobot dan indeks .. ……….. 37
Daya Tetas ………... 38
Fertilitas menurut kelompok bobot telur tetas PM dan PA ……….…...…… ………. 39
Karakteristik telur yang menetas menurut selang kelompok ………...………. 41
Karakteristik telur yang menghasilkan anak …...………. 43
Korelasi ukuran telur tetas ………..………... 44
Pola Warna Bulu Dewasa Galur Induk PM dan PA ……...………... 45
Distribusi warna bulu ………..……….. 48
Distribusi warna paruh ………. 49
Distribusi warna kaki ……… 50
Kombinasi warna tubuh dengan warna paruh ……… ………… 51
Kombinasi warna tubuh, paruh dan kaki ………...…………... 52
Laju Pertumbuhan Galur Induk PM dan PA ………...…. 53
Pertambahan bobot badan (PBB) menurut bobot tetas …... 54
Pertambahan bobot badan (PBB) menurut bobot telur …... 57
Nilai heritabilitas bobot badan galur induk PM dan PA ... 59
Perubahan ukuran morfologi galur induk PM dan PA …... 59
Nilai Konversi Pakan (FCR) Galur Induk PM dan PA …….……... 61
Performa Produksi Galur Induk PM dan PA ………….…………... 63
Nilai h2 pada beberapa sifat produksi saat pertama bertelur... 65
Produksi telur per bulan dari galur induk PM dan PA ……... 66
Ukuran telur galur induk PM dan PA ………... ... 68
Kurva produksi telur galur induk PM dan PA …………... 70
Pembentukan Mandalung ………...………….. 73
Kondisi Telur Tetas Calon Mandalung.……… 73
Ukuran dan keseragam telur tetas ………..…………... 74
Fertilitas ………..………... 75
Saat Menetas ………... 76
Rasio Kelamin ………..……... 76
Bobot Tetas ………... 78
Mortalitas ………... 79
Segregasi Warna Bulu Mandalung ………..………... 80
Pertumbuhan Mandalung ………... 83
Pertambahan bobot badan ………...…………. 83
Halaman
Rataan bobot badan menurut jenis kelamin ………... 86
Kurva pertumbuhan menurut genotipe ………... 88
Pertumbuhan Morfologi Mandalung ………. 89
Nilai Konversi Pakan Mandalung ……….………… 91
Karkas Mandalung ……… 93
Perbedaan bobot potong karkas menurut genotipe ………... 94
Pemotongan umur 8 minggu ………..………... 94
Pemotongan umur 10 minggu ………..………... 96
Pemotongan umur 12 minggu ………..………... 96
Potongan karkas ……… ……….………... 96
SIMPULAN DAN SARAN ……… 100
DAFTAR PUSTAKA ……… 101
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Sidik ragam guna menduga nilai heritabilitas (h2)
dengan menggunakan pola nested ……….……… 33
2. Distribusi menurut kelompok bobot dan indeks telur tetas PM
dan PA ……….. …….… 37
3. Kondisi telur tetas PM (n=481) dan PA (n=550) selama proses
penetasan ……… 40
4. Karakteristik telur yang menetas menjadi anak itik genotipe
PM dan PA menurut kelompok selang……… 42
5. Karakteristik telur yang menetas menjadi anak itik genotipe
PM dan PA menurut jenis kelamin anak………. 43
6. Korelasi antara bobot telur dengan panjang telur, lebar telur dan bobot tetas pada genotipe PM dan PA ………. 44
7. Persentase penyebaran hasil interaksi antara warna tubuh dengan Warna paruh pada galur induk PA ……… 51
8. Persentase penyebaran hasil interaksi antara warna tubuh, paruh dan kaki pada galur induk PA ……… 52
9. Nilai heritabilitas untuk sifat bobot badan pada berbagai umur dan genotipe itik ………. 59
10.Rataan parameter morfologi itik hasil silang (PM dan PA)
pada masing-masing kelompok umur (hari) ……… 60
11.Tingkat perbedaan beberapa parameter produksi saat bertelur pertama antara galur induk PM dan PA ……… 64
12.Nilai h2 pada beberapa sifatproduksi saat bertelur pertama
antara galur induk PM dan PA ...……… 65
13.Rataan produksi telur bulanan itik galur induk PM dan PA……… 68
14.Uji t-test ukuran dimensi telur dari galur induk PM dan PA…… 69
Halaman 16.Rataan bobot badan mandalung menurut umur yang
dikelompokkan berdasarkan perbedaan genotipe dan jenis kelamin ………. 87
17.Rataan perubahan ukuran morfologi mandalung genotipe EPM dan EPA……… 90
18.Penampilan karkas menurut perbedaan umur (minggu) dan genotipe mandalung ………..… 93
19.Hasil uji t-test terhadap karkas antara mandalung EPM dengan EPA tanpa membedakan umur potong ……… 94
20.Hasil uji t-test terhadap karkas antara mandalung EPM dengan EPA pada umur potong 8 minggu ……… 95
21.Uji t-test nilai rataan dari beberapa sifat potongan karkas antara mandalung genotipe EPM dengan EPA ……… 97
22.Hasil uji t-test terhadap nilai rataan dari beberapa sifat potongan karkas menurut genotipe mandalung ……… 98
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Pola warna bulu pada galur induk PA ……….………. 47
2. Penyebaran pola warna bulu itik galur induk PA …………. 48
3. Penyebaran pola warna paruh orange (O), hitam (H) dan
hitam-orange (HO) itik galur induk PA ……….. 49
4. Penyebaran pola warna kaki itik galur induk PA ……… 50
5. Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PM (—) dan
PA (----) ………..……….……... 54
6. Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PM menurut kelompok bobot tetas : selang atas (—•—) ; tengah (--
♦
--)dan bawah (—•—) ………....…..…… 55
7. Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PA menurut kelompok bobot tetas : selang atas (—•—) ; tengah (--
♦
--)dan bawah (—•—) ………....…..…… 56
8. Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PM menurut kelompok bobot telur : selang atas (—•—) ; tengah (--
♦
--)dan bawah (—•—) ………..……… 57
9. Kurva pertumbuhan bobot badan galur induk PA menurut kelompok bobot telur : selang atas (—•—) ; tengah (--
♦
--)dan bawah (—•—)…..………..……… 58
10.Nilai konversi pakan galur induk PM (•) dan PA (•) terhadap
bobot badan ……….…….…………. 62
11.Rataan produksi bulanan (total bobot telur) pada galur induk
PM (•) dan PA (•) ……….…..………. 67
12.Kurva produksi mingguan (total bobot/masa telur) hasil simulasi galur induk PM (•) dan PA (•), dengan rataan hasil catatan kandang itik galur induk PM (♦) dan PA (•)..……… 71
Halaman 14.Rasio jantan (•) dan (•) betina pada saat penetasan mandalung
EPM (1), EPA (2) dan gabungan keduanya (3)..……… 77
15.Kombinasi warna dada dan punggung pada itik mandalung
EPM……… 82
16.Kombinasi warna dada dan punggung pada itik mandalung
EPA……… ..……… 82
17.Pertambahan bobot badan menurut genotipe mandalung
untuk EPM (---) dan EPA (—) ………..……… 84
18.Keadaan bobot badan menurut umur mandalung genotipe
EPM (•) dan EPA (•)………. 86
19.Kurva simulasi bobot badan mandalung antar genotipe
EPM (•) dan EPA (•) dan gabungan (•) ………. 88
20.Nilai FCR menurut waktu pengamatan dari mandalung
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Hasil analisis varian pola tersarang (NESTED) ...……. 109
2. Contoh pembuatan program analisis non-linier model
Gompertz dan hasil perhitungan ……… 110
3. Contoh pembuatan program analisis non-linier model WOOD dan hasil perhitungan ………. 112
4. Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa ………… 114
5. Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa
(Lanjutan) ………. 115
6. Tabel pola warna bulu mandalung pada saat dewasa
(Lanjutan) ……… ………. 116
7. Hasil analisis uji t-test bobot badan pada mandalung EPM
Itik-itik yang ada di Indonesia merupakan itik tipe petelur, oleh karenanya
karakteristik bentuk badannya adalah ramping dan kecil sehingga perototannya
(daging) rendah. Sebagai itik tipe petelur, produksi telur yang dihasilkan
tergolong tinggi. Namun mengingat tuntutan akan daging itik semakin besar dan
ada kecenderungan untuk terus meningkat pada beberapa daerah tertentu, peternak
pun telah mecoba membuat mandalung dari hasil silang antara pejantan entog
lokal (Cairina moschata) dengan itik betina lokal (Anas platyrhynchos) atau
kebalikannya.
Mandalung memiliki proporsi daging yang relatif lebih banyak dibanding
dengan itik lokal dan citarasanya enak. Ketebalan daging dada pun masih lebih
baik jika dibandingkan dengan itik Pekin yang selama ini memang sudah terkenal
sebagai tipe pedaging dengan karkas yang seragam dan warna kulit yang putih
bersih. Itik Pekin sebagai sumber itik berkualitas tidak dapat dipungkiri,
mengingat beberapa negara cenderung mengeksploitasinya untuk kebutuhan
konsumsi masyarakatnya maupun ekspor. Hal ini juga terjadi di beberapa kota
besar di Indonesia, khususnya di Jakarta permintaan akan daging itik Pekin untuk
restoran besar dan hotel berbintang merupakan pangsa yang besar.
Pada saat ijin impor daging itik Pekin beku diperketat, kondisi permintaan
untuk restoran besar dan hotel yang cukup tinggi menimbulkan kesenjangan.
Kesenjangan ini dimanfaatkan importir untuk melakukan pelanggaran dalam
menjalankan usahanya. Sebagai bukti aktual surat kabar Harian Kompas (tanggal
14 Desember 2004) melaporkan adanya pemasukan daging itik Pekin beku illegal.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pangsa pasar daging itik Pekin unggul di
kota besar seperti Jakarta cukup tinggi dan memiliki unsur bisnis yang cukup
kuat.
Masalah di lapangan menunjukkan bahwa pemberhentian ijin impor daging
itik Pekin beku ternyata belum diikuti dengan penyediaan daging lokal yang
kualitas produknya mendekati sebagaimana yang dimiliki oleh itik Pekin tersebut.
Produk mandalung hasil peternak, pada umumnya masih beragam terutama dalam
kulit tersebut akibat masih banyaknya pangkal bulu berwarna hitam yang masih
tertinggal di dalam kulit. Disamping itu sistem perototan yang membentuk daging
masih kurang tebal.
Dengan demikian permasalahan yang cukup serius di atas harus segera
dipecahkan, mengingat permintaan akan daging pengganti daging itik Pekin
cukup mendesak. Oleh karena itu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
membentuk galur induk (female line) maupun galur pejantan (male line) untuk
menghasilkan mandalung berkualitas tinggi. Namun dalam penelitian ini hanya
akan dilakukan upaya pembentukan galur induk, yang memiliki karakteristik
tubuh medium, sifat pertumbuhannya cepat, produksi telur tinggi, warna bulu
seragam putih polos.
Kerangka Pemikiran. Itik Pekin sebagai itik broiler, sudah banyak dikembangkan oleh berbagai negara karena sifat pertumbuhan dan kualitas
dagingnya yang baik, sehingga diminati oleh masyarakatnya. Di Indonesia daging
itik Pekin masih merupakan sumber daging yang hanya mampu dijangkau oleh
kalangan tertentu saja. Mengingat dagingnya masih merupakan bahan yang harus
di impor, maka hanya golongan ekonomi mengengah ke atas yang menjadi
konsumen utama.
Mengingat performa mandalung yang ada masih kurang memuaskan, maka
dengan mengambil pelajaran dari pola perkawinan yang telah diterapkan di Pusat
Penelitian Itik (DRC, Duck Research Center) di Taiwan, dilaksanakan penelitian
antara itik local dengan itik Pekin untuk membentuk suatu galur induk. Galur
induk yang telah terbentuk melalui proses seleksi pemantapan inilah yang akan
disilangkan dengan entog untuk menghasilkan mandalung yang berkualitas tinggi.
Harapannya dari hasil persilangan antara galur induk dengan entog mampu
menghasilkan itik mandalung sebagai itik tipe pedaging yang memiliki
penampilan tubuh (performa) dengan postur tubuh yang besar, pertumbuhan
cepat, efisien dalam penggunaan pakan, berdada lebar dan dalam, paha yang
panjang sebagai sumber utama daging itik, warna bulu penutup tubuh seragam
Untuk mendapatkan zuriat dengan warna putih maka pemilihan tetua yang
memiliki warna bulu putih merupakan keharusan. Sementara untuk mendapatkan
sifat pertumbuhan yang cepat maka sistem persilangan dengan salah satu bangsa
yang bertipe besar akan lebih efektif dibandingkan dengan sistem seleksi.
Di lain pihak, kurangnya minat peternak terhadap warna putih pada itik
lokal karena disamping karena frekuensinya yang cukup kecil juga adanya dugaan
bahwa produktivitas telurnya lebih rendah dari itik yang berwarna coklat. Warna
bulu putih pada itik lokal juga dianggap sebagai kelompok yang tidak
menunjukkan corak warna ciri suatu bangsa itik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe sebagai calon galur
induk (female line) terbaik dengan karakteristik bertipe medium, pertumbuhan
masa starter dan grower cepat, memiliki produksi telur yang cukup tinggi dan bulu
tubuh berwarna putih polos. Dengan demikian mandalung yang terbentuk
diharapkan akan memberikan hasil yang baik yaitu berbadan besar, pertumbuhan
cepat, efisien dalam penggunaan pakan, penampilan karkas putih dan bersih.
Manfaat Penelitian
Penggunaan dua galur itik lokal (Alabio dan Mojosari putih) merupakan
model yang ingin diuji untuk mendapatkan galur induk yang diinginkan.
Pertimbangan penggunaan itik lokal Alabio, karena itik tersebut memiliki
produktivitas yang lebih baik. Hal ini terlihat dari bobot badan itik Alabio relatif
lebih besar dibandingkan dengan itik Mojosari putih, bobot telur lebih besar dan
memiliki pola warna bulu lurik yang cukup uniform. Itik Mojosari putih memiliki
keunggulan dalam warna bulu yang seragam putih polos. Persilangan di samping
untuk mendapatkan calon galur induk tetua mandalung, juga dapat memenuhi
beberapa kebutuhan informasi dasar biologis seperti :
1. Itik pedaging mandalung yang terbentuk diharapkan merupakan itik yang
memiliki badan besar disertai dengan nilai efisiensi pakan baik serta laju
pertumbuhan bobot badan yang cepat, sehingga dapat digunakan sebagai
2. Hasil persilangan galur induk dengan pejantan entog lokal diharapkan
mampu memberikan informasi yang runut atas pola pewarisan sifat
kualitatif dan informasi data teknis biologis mengenai sifat keunggulan
dan kekurangan/kelemahan dari dua galur induk yang dibandingkan.
3. Informasi dasar yang disajikan diharapkan menjadi langkah awal bagi
penelitian berjangka panjang, terutama strategi untuk mendapatkan
keseragaman produk mandalung yang memenuhi kriteria sebagai daging
itik pengganti Pekin yang memiliki komponen sumberdaya genetik lokal.
Untuk menjawab permasalahan di atas maka disusun beberapa hipotesis berikut:
1. Galur induk PA (Pekin x Alabio) atau PM (Pekin x Mojosari putih)
berpotensi tinggi untuk dikembangkan sebagai galur induk itik mandalung.
2. Variasi warna bulu tubuh lebih banyak dimunculkan oleh galur induk PA
dibandingkan dengan PM sehingga evaluasi kearah sifat kualitatif lebih
mudah dilakukan bagi galur induk PM.
3. Mandalung yang dihasilkan dari dua calon galur induk tidak berbeda
dalam laju pertumbuhan, efisiensi pakan maupun bobot potong serta
TINJAUAN PUSTAKA
Ternak itik (Anas platyrhynchos) dan entog (Cairina moschata) walau
bukan merupakan ternak asli Indonesia, namun keberadaanya sudah cukup lama
sehingga masyarakat menganggap sebagai ternak lokal. Hal ini tergambar dari
adanya nama galur ternak yang sesuai dengan nama daerah ternak itik tersebut
berkembang. Nama yang cukup populer diantaranya itik Alabio, Tegal, Magelang,
Turi, Mojosari, Bali dan masih banyak nama-nama itik lainnya yang kurang
populer seperti itik Begagan dari Sumatera Selatan, Cihateup dari Tasikmalaya,
Damiaking dari Tangerang, itik Medan (Iskandar et al., 1993; Prasetyo dan
Susanti, 1997; Setioko et al., 1997; Tri-Yuwanta et al., 1999 dan Brahmantiyo et
al., 2002).
Domestikasi ternak itik sudah dimulai sejak 400 tahun yang lalu di Amerika
Tengah dan Selatan, namun secara intensif baru dilakukan pada 40 tahun terakhir
di beberapa negara Eropa Tengah (Niclemann dan Bilsing, 1995) Sementara
negara-negara di kawasan Asia, jumlah bangsa itik adalah relatif kecil akan tetapi
terdapat kecenderungan adanya laju produktivitas yang terus meningkat karena
hasil utamanya yang berupa daging dan telur sangat berperan dalam penyediaan
sumber protein hewani (Chen, 1999).
Secara biologis, itik dan entog yang sama-sama berasal dari kelas unggas air
(waterfowl), sebagian besar waktu aktivitasnya di alam banyak dihabiskan di
dalam air (aquatic) baik untuk berenang maupun berburu makanan. Namun
demikian Matull dan Reiter (1995) melaporkan bahwa ternak entog lebih banyak
menghabiskan waktunya di darat dengan penggunaan sumber air yang lebih
sedikit. Kondisi ini juga telah dilaporkan sebelumnya oleh Reiter et al. (1997)
bahwa baik ternak itik Pekin, entog maupun mandalung hanya mengalokasikan
waktu mandi sebesar 2,1% sementara untuk merawat tubuh (preening) memiliki
persentase tertinggi yaitu 11%.
Sejarah awal keberadaan itik lokal di Indonesia masih merupakan hal belum
terungkap. Namun Robinson (1977) menduga bahwa masuknya itik pertama kali
melalui pulau Lombok baru menyebar ke pulau-pulau lainnya. Meskipun
keturunan dari itik Indian Runner (Samosir, 1983). Hasil domestikasi yang relatif
panjang tersebut telah menghasilkan tipe itik sebagai penghasil telur.
Catatan sejarah tentang keberadaan dan keunggulan itik lokal Indonesia,
sebagaimana yang disampikan oleh Samosir (1983) cukup membesarkan hati
karena pada tahun 1930 pemerintah Indonesia yang pada waktu itu masih
merupakan pemerintahan jajahan Hindia Belanda mengirim beberapa ekor itik ke
London untuk mengikuti pameran unggas yang diadakan di kota tersebut. Hasil
pameran yang diperoleh cukup membanggakan karena itik lokal kita digunakan
untuk pembaharuan standarisasi bagi itik Indian Runner.
Itik Lokal
Deskripsi akan galur atau bangsa itik lokal di Indonesia sulit dilakukan
karena banyaknya variasi warna dan ukuran tubuh yang ada. Pengakuan akan
nama galur dari masing-masing daerah dan membuat kemiripan performa itik
antara daerah satu dengan derah lainnya. Fakta tersebut telah menghantar akan
banyaknya nama itik yang disesuaikan dengan nama daerah, dimana ternak
tersebut beradaptasi dan berkembang biak dengan baik. Konsekuensi dari
pengakuan tersebut merupakan indikasi bahwa ternak itik sudah lama dipelihara
dan cukup berkelanjutan (sustainable).
Itik Alabio dan itik Mojosari merupakan dua dari banyak nama lokal itik
yang cukup populer di Indonesia. Secara genetik memiliki jarak pertalian
kekerabatan yang digambarkan melalui pohon dendrogram yang relatif jauh
(Hetzel, 1985). Itik Alabio lebih seragam dibanding dengan itik Mojosari maupun
galur lainnya (Prasetyo dan Susanti, 1996).
Itik Alabio. Itik lokal ini berasal dari daerah di Kalimantan Selatan, dan secara fenotipe berbeda dengan galur lokal lainnya karena tingkat keseragam pola
warna tubuhnya. Bahkan Naware dan Ardi (1979) mengidentikkan fenotipe yang
ada pada diri itik Alabio dengan itik lokal Philipina. Adanya beberapa kesamaan
sifat fenotipe dari dua galur yang secara geografis jaraknya cukup jauh diduga
bahwa masuknya itik ke Kalimantan Selatan berasal dari Cina melalui Philipina.
pendapat tersebut bukan suatu hal yang prinsip bahkan merupakan wacana yang
akan memperkaya eksistensi itik lokal.
Warna bulu pada itik Alabio menurut Robinson et al. (1977) adalah bercak
putih di atas warna dasar coklat tua sampai kelabu. Paruh dan kakinya memiliki
warna jingga. Sikap badan tampak kurang tegap, tidak sebagaimana yang ada
pada itik Tegal.
Rataan produksi telur itik Alabio (duck day) pada hasil pencatatan hingga
minggu ke 68 menunjukkan jumlah sebesar 180 butir yang secara statistik nyata
lebih tinggi dibanding dengan produksi telur itik bangsa Bali maupun Tegal
(Hetzel, 1985). Menurut Setioko dan Rohaeni (2001) produksi telur mencapai
kisaran antara 48-66% menurut jenis dan susunan pakan yang diberikan dengan
rataan produksi tertinggi antara 67-81%.
Itik Mojosari. Galur itik ini berasal dari desa Mojosari kabupaten Mojokerto, mempunyai variasi warna bulu dasar yang umum diketahui coklat tua
sampai sedang dengan sedikit kombinasi putih. Warna putih polos sering muncul
pada kelompoknya, namun frekuensinya kecil. Warna paruh dan kaki pada
umumnya hitam, dan akan tampak lebih hitam lagi bagi itik jantan. Bentuk badan
adalah langsing dengan posisi badan tegak (Prasetyo dan Susanti, 1996).
Laju pertambahan bobot badan (PBB) hingga umur 8 minggu sebesar
1220.44 g untuk itik jantan. Sedangkan bagi anak betina PBB pada umur yang
sama relatif lebih rendah yaitu 929.41 g. Umur pertama bertelur 176.72±25.08
hari dengan rataan bobot telur pertama sebesar 56.52±6.49 g (Prasetyo dan
Susanti, 1997). Lebih jauh dilaporkan bahwa bobot badan pertama bertelur itik
Mojosari adalah 1607.2±147.2 g. Peningkatan produksi telur hingga mencapai
puncak produksi dicapai antara minggu ke-14 dan ke-17 yaitu 87.14% (Prasetyo
dan Susanti, 1996).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa produksi telur itik Mojosari cukup
baik, dan potensi sebagai itik petelur tidak kalah dengan jenis itik yang lainnya.
Oleh karena itu layak dipakai dalam program persilangan dalam membentuk galur
induk yang unggul seperti galur MA. Laporan Prasetyo dan Susanti (1997) telah
menunjukkan heterosis pada sifat-sifat pertumbuhan pada tahap awal (sampai
dengan 8 minggu). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa jenis-jenis itik
tersebut baik Mojosari maupun Tegal adalah jenis petelur sehingga tidak dapat
diharapkan adanya keunggulan dalam produksi daging dengan menggunakan
persilangan (Prasetyo dan Susanti, 1997). Oleh karena itu persilangan dengan
galur lain yang tipe pedaging diharapkan akan lebih baik.
Itik Pekin. Itik Pekin meskipun berasal dari Cina, namun Tai (1985) melaporkan bahwa Pekin yang ada di Taiwan diimpor dari Amerika pada tahun
1942, kemudian untuk tahun-tahun berikutnya dilanjutkan impor dari negara
Eropa (Inggris dan Denmark) maupun Australia. Bobot badan pada umur 10
minggu mencapai 2252 g dan akan meningkat menjadi 2918 g pada umur 20
minggu. Umur pertama bertelur itik Pekin adalah 191 hari dengan produksi telur
105 butir per tahun.
Hasil seleksi bobot badan itik Pekin dapat meningkatkan efisiensi pakan,
yaitu adanya perubahan respon sebesar -40 g pakan setiap generasi. Artinya
bahwa setiap satu kilogram bobot badan akan menghabiskan pakan lebih rendah
atau berkurang 40 g dibanding dengan generasi sebelumnya (Wilson et al., 1997).
Persilangan Antar Genotipe
Sebagai itik tipe petelur, itik local berpenampilan bobot badan ringan
sehingga produksi daging relatif rendah. Ini berbeda dengan tipe dwiguna,
disamping memiliki kemampuan produksi telur cukup baik juga memiliki tubuh
yang relatif lebih besar dibanding tipe petelur. Di Indonesia belum ada itik yang
dianggap sebagai tipe dwi guna, mengingat itik Alabio yang memiliki badan
relatif lebih besar dibanding dengan itik-itik lainnya juga belum mencerminkan
sebagaimana yang dimaksud tersebut. Bahkan secara jelas Hetzel (1985)
menjelaskan bahwa itik-itik yang ada di Indonesia memiliki performa yang kecil
sehingga sulit untuk diperbaiki meskipun melalui seleksi yang terarah sebagai itik
yang menghasilkan produksi daging yang baik. Oleh karena itu disarankan untuk
Lebih jauh Hetzel (1985) mengevaluasi hasil persilangan antara itik Alabio
betina dengan Entog jantan mampu meningkatkan bobot badan sebesar 30% dan
40% untuk masing-masing umur 8 dan 12 minggu. Sedangkan bila disilangkan
dengan itik Pekin maka pada dua umur yang sama dengan di atas hasil bobot
badannya meningkat 50% dan 48%. Dengan demikian silang antar genotipe antara
Pekin dengan Alabio menghasilkan performa yang lebih baik, meskipun hasil
tersebut tidak mengevaluasi produksi telur.
Pemaparan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa itik lokal yang bila
hanya disilangkan dengan entog hanya akan mendapatkan kenaikan bobot badan
sebesar 30%-40% saja. Kondisi ini dirasakan juga menjadi masalah di Taiwan,
yang menunjukkan bahwa silang antara itik lokal Tsaiya coklat dengan entog yang
dilakukan peternak ternyata menghasilkan mule duck tipe kecil. Sementara sedikit
lebih baik penampilan bobot badannya bila itik lokal Indonesia disilang dengan
Pekin dengan kenaikan berkisar antara 48% hingga 50%-nya. Tetapi untuk
menjadikan sebagai galur induk bagi mandalung belum menjadi skala prioritas
pada saat itu.
Sadar akan masalah di atas maka Lee (1998) melaporkan bahwa hasil
penelitiannya di ILAN RESEARCH STATION (DUCK RESEARCH CENTER)
(TLRI) pihak pemerintah Taiwan mengimpor Pekin untuk memperbaiki performa
dari Tsaiya putih sehingga terbentuk itik Kaiya. Namun demikian dari kelompok
Tsaiya putih sendiri masih menunjukkan keragaman tinggi, maka dengan seleksi
yang ketat atas hasil perkawinan antar Tsaiya putih tersebut ternyata mampu
membentuk bangsa baru diberi nama Ilan Tsaiya di tahun 1985. Itik Ilan Tsaiya
ini yang kemudian disilang dengan pejantan Pekin untuk membentuk Kaiya
sebagai galur induk (Lee, 1998).
Mojosari putih merupakan model yang diharapkan dapat dijadikan pola
yang mirip dengan cara membentuk Kaiya. Genotipe Peking Mojosari (PM) inilah
yang diharapkan dapat dikembangkan sebagai galur induk mandalung yang relatif
unggul, sehingga pemberdayaan sumber genetik itik lokal akan lebih terarah.
bahwa produk silang ini bersifat steril (infertil). Tetapi bila pejantannya itik dan
betina entog maka hasil keturunannya memiliki pertumbuhan yang tidak sama.
Anak jantan tumbuh lebih cepat dibanding anak betina, dan memiliki libido yang
kuat serta kadang-kadang bersifat fertil. Untuk anak betina produksi telur cukup
baik tetapi ukuran telurnya kecil sehingga tidak baik untuk dibuahi.
Dari segi behavior atau pola tingkah laku menunjukkan bahwa itik
mandalung cenderung tenang, lebih jinak dan tidak terlalu ribut atau gaduh
sehingga mudah dipelihara. Kondisi ini sangat berbeda dengan itik Pekin yang
cenderung nervous dan berisik (Hoffman dan Canning, 1993).
Retailleau (1999) melaporkan bahwa itik mandalung memiliki sifat
pertumbuhan diantara kedua tetuanya yaitu entog dan Pekin hingga umur 28 hari.
Namun untuk umur 56-84 hari pertumbuhan itik mandalung jantan cenderung
lebih rendah dari entog. Sementara mandalung betina menunjukkan performa
yang terbaiknya pada umur 56-70 hari.
Itik mandalung akan mencapai masak kelamin relatif lebih dini dan
memberikan otot dada yang lebih besar bila dibanding dengan entog. Sementara
untuk Pekin pencapaian masak kelamin juga lebih dini, tetapi pertumbuhan otot
dada cenderung lebih kecil bila dibanding dengan entog (Rouvier, 1999). Tai
(1985) melaporkan bahwa rataan bobot badan itik mandalung pada umur 10
minggu adalah 2.20 kg untuk hasil persilangan dua bangsa yaitu Entog dan
Tsaiya, sedangkan untuk 3 bangsa yaitu Entog x Kaiya didapat rataan bobot badan
itik mandalung sebesar 2.57 kg.
Pada sisi lain Harahap (1993) yang mencoba menyilangkan jantan entog
dengan betina itik dari ternak lokal mendapat anak keturunan F1 yang memiliki
kualitas daging yang cukup disukai oleh panelis, dengan bobot badan umur 10
minggu ± 1.7 kg (baik jantan maupun betina). Sedangkan bila pejantannya itik
dan induknya entog maka bobot badan mandalung pada umur yang sama (10
minggu) untuk jantan 2 kg sedang untuk betina 1.2 kg. Proporsi jenis kelamin
anak dari 224 butir telur yang ditetaskan menunjukkan bahwa 61% telur itik
mandalung menetas berkelamin jantan dan 39% berkelamin betina (Dharma et al.,
Menurut laporan Siswohardjono (1986), efisiensi pakan itik mandalung dari
dua genotipe hasil silang resiprokal antara : itik jantan Alabio dengan betina entog
yaitu 4.3 dan jantan Entog dengan betina Alabio sebesar 4.97, ternyata lebih baik
dibanding itik lokalnya (5.45). Akan tetapi nilai efisiensi kedua mandalung
tersebut nyata lebih tinggi dari nilai efisiensi pakan yang ada pada entog (3.42).
Dari hasil tersebut tampak jelas bahwa tingkat efisiensi pakan itik mandalung
berada diantara kedua tetuanya.
Beberapa hasil penelitian yang disampaikan di atas tampak jelas bahwa
silang itik lokal dengan entog tanpa memperbaiki galur induk hanya akan
menghasilkan mandalung relatif kecil dengan tingkat efisiensi pakan yang rendah.
Oleh karena itu hadinya galur induk sangat strategis dalam pengembangan itik
mandalung yang relatif lebih efisien.
Sifat Kualitatif
Seleksi yang dilakukan oleh peternak itik di pedesaan biasanya tidak
dilakukan dengan menggunakan produktivitas, karena sistem pencatatan produksi
tidak pernah dilakukan. Peternak yang memiliki pengalaman cukup baik,
melakukan seleksi didasarkan pada bentuk dan rupa secara kasat mata. Bentuk
hanya dilakukan pada kondisi besar tubuh yang tentunya terkait dengan bobot
badan. Sedangkan rupa ternyata lebih banyak memerlukan pertimbangan seperti
proporsi setiap anggota tubuh, warna bulu tertentu yang menurut pengalaman
akan memprediksikan munculnya fisat produksi yang baik pada keturunannya,
bentuk kaki dan sebagainya. Semua penilaian ini diramu secara baik, dan
diharapkan mampu menjadi kriteria yang menjadi keyakinan peternak untuk
memilih bibit yang baik.
Warna dasar bulu itik. Pewarisan warna bulu merupakan suatu kompleksitas genetik, bagian terpenting dalam interaksi inter maupun intra alel.
Hal ini tidak saja terjadi pada mutasi yang terdahulu, tetapi juga melibatkan aksi
gen-gen yang cenderung lebih komplek dan belum teridentifikasi. Oleh karena itu
ekspresi warna bulu adalah sifat multi genik dan dipengaruhi oleh aksi gen
1993). Sebagai gambaran Jaap dan Milby (1944) menjelaskan bahwa warna dasar
yang penting dari Mallard hanya ada 2 yaitu warna abu-abu atau grey (G) yang
umumnya merupakan varitas dari warna buff dan carier normal D, yang hasil
dilusi melanin (hitam) oleh gen d terkait kelamin tersebut akan menghasilkan
warna coklat lurik yang lebih terang sebagaimana yang dilihat pada pola warna
bulu itik Khaki Campbell.
Warna putih pada ternak unggas merupakan hasil sinergi dari derajat variasi
melanin pada berbagai jaringan. Apabila kehadiran melanin mungkin saja tidak
ada, atau terlalu tinggi tingkat reduksi atau bahkan hilangnya melanin tidak
tergantikan sehingga fungsi melanin dalam kulit dan jaringan tidak berjalan
sebagaimana mestinya akan mempengaruhi pola warna baik bulu, kulit maupun
mata serta organ fenotipe lainnya. Bahkan secara ekstrim tampak bahwa tidak
adanya melanin maka tidak akan terjadi pigmentasi pada bulu. Akibatnya tidak
saja pada warna bulu tetapi pigmen tersebut juga tidak muncul pada organ mata.
Melanin dihasilkan dari oksidasi phenol asam amino tyrosin yang dilakukan oleh
ensim (Smyth, 1993).
Standar warna bulu itik dan fungsi gen yang diberikan oleh Jaap dan
Hollander (1954) adalah putih (c) yang berperan untuk meniadakan produksi
pigmen kecuali pigment untuk mata; warna hitam (E) dengan pemunculan warna
hitam pada bulu penutup tubuh; dilusi khaki (d) yang bertindak untuk merubah
warna hitam menjadi coklat; pola Runner (R) secara lokal (spot) akan meniadakan
pigmen pada leher, sayap dan perut; biru keabu-abuan (Bl) mengurangi produksi
pigmen hitam; warna terang (li) mengurangi garis-garis pada bagian kepala;
restriksi (MR) mengurangi pigmen spot pada sayap dorsal dan dusky (md) berperan
untuk meningkatkan pigmen hitam, membuat gelang pada leher.
Terjadinya warna putih (c) resesif menurut Lancaster (1993) dikontrol oleh
gen autosomal atau gen pada kromosom selain kromosom sex, anak itik akan
muncul bulu putih bila gen-nya adalah homosigot. Untuk warna putih salju diduga
terjadinya mutasi dari warna bulu DOD yang kuning menjadi putih salju
merupakan pengaruh gen-gen yang ada. Hanya apakah gen yang bertanggung
jawab tersebut adalah autosomal atau terkait kelamin, belum banyak dilaporkan.
komplementer terjadi karena hasil persilangan antara itik jantan putih dengan
betina putih Mallard, dengan hasil progeninya memiliki bulu berwarna. Akan
tetapi bulu yang berwarna tersebut saling berkomplemen dengan warna putih
resesif.
Gen-gen lain yang bertanggung jawab untuk penurunan sifat bulu putih
adalah homosigot resesif bib (b) autosomal, menurut Campbell (1984) aksi gen ini
akan memunculkan warna putih hanya pada area sayap dan dada. Lebih jauh
dijelaskan bahwa itik yang memiliki gen bib (b) dicirikan dengan luasnya area
bulu putih dan warna claret pada sekitar dada baik pada itik jantan maupun betina.
Sementara warna putih primer (w) dapat dihasilkan dari salah satu gen atau
dua-duanya yaitu white primeries (w) dan Runner (R). Kedua gen ini dalam
kondisi yang homosigot resesif, karena menurut Campbell (1984) warna hitam
akan muncul pada keadaan pasangan alel pada lokus yang heterosigot (B/b, W/w)
atau homosigot dominan (B/B, W/W). Untuk (w) bersifat resesif dan autosomal
dengan karakteristik DOD adalah white primeries dapat dilihat pada paruh, kaki,
dan sayap (Lancaster 1993).
Romanov et al. (1995) melaporkan bahwa itik putih di Ukraina merupakan
hasil segregasi dari itik warna bulu penutup tubuh yang berwarna abu-abu (grey)
dan sifat warna putih adalah resesif (gen c). Sifat lain dari itik putih Ukraina
adalah warna kulit yang putih dengan pembawa gen Y atau kulit warna kuning
dengan pembawa gen y+ dan warna kerabang telur putih (gen g).
Pemaparan di atas tampak bahwa sifat pemunculan warna putih banyak
dibawa oleh gen autosomal, namun demikian sifat gen yang resesif sangat mudah
untuk terjadinya mutasi gen. Oleh karena itu galur induk mandalung yang akan
dikembangkan hendaknya memiliki sifat gen resesif dengan tanpa membawa
karier gen warna. Galur induk yang memenuhi harapan ini, diduga dapat diperoleh
dengan melakukan seleksi yang ketat.
Warna bulu penutup tubuh pada itik mandalung sangat mempengaruhi
penerimaan konsumen, itik mandalung dengan warna coklat tua atau hitam akan
menghasilkan karkas dengan bulu halus berwarna gelap. Kondisi ini diduga
sebagai akibat adanya residu melanin dalam folikel setelah bulu dicabut (Smyth,
memberikan kesan kotor sehingga mengurangi preferensi konsumen. Untuk
menghilangkan kesan tersebut Tai et al. (1997) merintis seleksi secara
berkesinambungan hasil keturunan dari 800 ekor itik Tsaiya putih yang
didatangkan dari seluruh pelosok negara tersebut. Waktu yang dibutuhkan untuk
mendapatkan itik Tsaiya putih yang menghasilkan mandalung berbulu putih
dilakukan selama 17 tahun. Diikuti dengan mengimpor Pekin sebagaimana yang
dilaporkan Lee (1998).
Penurunan pola warna bulu terhadap zuriat. Program pengembangan itik putih Ukraina lebih lanjut tampak disilangkan dengan itik Pekin untuk
menghasilkan galur sintetik dengan arah pola warna yang lebih memiliki prospek
bagi pengembangan ternak itik (Romanov et al., 1995). Pada sisi lain Tai et al.
(1997) menjelaskan bahwa hasil silang antara itik Tsaiya putih dengan pejantan
Pekin (silang 2 bangsa) maupun hasil keturunannya untuk disilangkan lagi dengan
jantan entog (silang 3 bangsa) ternyata frekuensi pemunculan warna putih akan
semakin rendah persentasenya pada silang 3 bangsa dibanding dengan silang 2
bangsa. Oleh karena itu Hoffman dan Canning (1993) menyarankan dipilihnya itik
yang membawa gen putih dominan yang mudah dikenali yaitu pada bagian muka
maupun kepala memiliki belang kecil berwarna hitam.
Lebih jauh Tai et al. (1997) melaporkan bahwa dengan seleksi yang intensif
menunjukkan bahwa itik Pekin (L201) yang di test-cross dengan entog akan
meningkatkan persentase warna putih pada mule duck dari 18.6% pada generasi
ke 10 menjadi 80.1% pada generasi ke 14. Sedangkan itik Kaiya yang merupakan
hasil silang betina Tsaiya putih (generasi ke 15) dengan jantan Pekin (generasi ke
13) berkisar antara 94.6-96.7% untuk kelompok warna putih solid dan 99.5-99.9%
untuk kelompok warna spot hitam pada kepala dan punggung.
Pola penurunan sifat bulu secara terinci dilaporkan oleh Hardjosworo et al.
(2001) bahwa hasil persilangan antara entog jantan putih dengan itik betina coklat
menghasilkan anak dengan warna bulu 58% hitam, 28% hitam bercak putih, 12%
putih bercak hitam dan 2% berwarna putih (solid). Sedangkan itik jantan coklat
warna bulu putih bercak warna sebanyak 61%, putih (solid) 36% dan hitam bercak
putih 3%.
Meskipun hasil tersebut diindikasikan adanya pengaruh yang kuat pada
induk-induk yang memiliki warna bulu putih untuk menghasilkan keturunan
dengan peluang berbulu putih lebih tinggi. Campbell et al. (1984) yang
menyilangkan itik Rouens dengan pola warna Mallard terhadap itik Pekin warna
putih diperoleh bahwa semua anak yang dihasilkan adalah berwarna. Hal ini dapat
dimaklumi karena warna putih pada itik Pekin adalah autosomal resesif (c/c).
Munculnya warna bulu hitam merupakan carier yang tidak diekspresikan pada
tetuanya yaitu Pekin.
Lebih jauh Jerome (1954) mempertanyakan mengapa semua progeni hasil
persilangan antara angsa jantan Emden yang memiliki pola warna spot-spot
dengan angsa betina Pilgrim yang berwarna solid putih keabu-abuan
menghasilkan warna bulu penutup tubuh putih. Ternyata angsa dewasa galur
Pilgrim yang berkelamin jantan adalah putih sedangkan untuk betina solid putih
keabu-abuan. Sebagaimana diketahui bahwa single gen dilusi yang terpaut
kelamin jika dikombinasikan dengan warna solid akan menghasilkan warna
terang. Dengan demikian warna spot pada jantan Emden akan didilusi dengan
dominan solid dan menghasilkan warna terang.
Kondisi tersebut berbeda dengan Campbell et al. (1984) bahwa warna bulu
hitam merupakan alel dominan atau faktor pasangan bebas pada lokus yang
berbeda. Sementara munculnya warna putih pada beberapa ekor dibagian sayap
dan dada dari persilangan tersebut di atas (Rouen pola Mallard dengan Pekin)
dipengaruhi oleh gen putih resesif bib (b) dan putih resesif utama (w).
Sifat bulu putih yang diturunkan tetua kepada anaknya menurut Carefoot
(1979) dibawa oleh gen yang berasal dari tetua dengan warna bulu yang terang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk ayam dengan bulu bright Partridge
yang disilangkan dengan jantan berbulu silver Pencilled telah memberikan 12
anak ayam yang semuanya berwarna. Hal ini membuktikan bahwa alel pembawa
warna bulu putih yang resesif tidak terdapat pada pejantan silver Pencilled. Warna
Pola interaksi yang ditunjukkan oleh Fox dan Smyth (1985) antara ternak
broiler putih dominan (I vs i+) dengan putih resesif (C+ vs c) akan menghasilkan
anak sintetis dengan segregasi sebagai berikut :
(1) I/i+ C+/- fenotipe yang muncul adalah warna bulu halus dan warna bulu
penutup tubuh putih dengan bercak-bercak hitam.
(2) I/i+ c/c fenotipe yang muncul adalah warna bulu halus dan warna bulu
penutup tubuh putih polos tanpa adanya bercak-bercak hitam.
(3) i+/i+ C+/- fenotipe yang muncul adalah warna bulu halus dan warna bulu
penutup tubuh exhibit berpigmen penuh.
(4) i+/i+ c/c fenotipe yang muncul adalah warna bulu halus menunjukkan
variasi mulai warna putih kotor (asap) dan warna bulu penutup tubuh putih
agak kekotor-kotoran (keasap-asapan).
Dua pasang gen yang diketahui oleh Bihatnagar et al. (1972) bahwa yang
bertanggung jawab mengontrol warna bulu paha pada ayam yaitu satu pasang alel
putih (W) autosomal karena tidak munculnya xanthopyll dan warna kuning (w)
karena adanya xanthopyll.
Sifat kualitatif yang terkait dengan pola warna bulu tampak bahwa pada
berbagai negara yang sudah maju, galur induk dengan bulu putih lebih menarik
untuk dikembangkan dibanding pola warna lainnya. Mungkin pola warna putih
akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan galur induk di Indonesia
untuk menghasilkan itik mandalung yang berbulu putih.
Pola pertumbuhan dan pendugaan non-linier. Keseragaman biologis itik dalam satu kelompok memiliki arti yang sangat penting untuk mendapatkan
keseragaman yang optimal baik dalam hal pertumbuhan, waktu mulai bertelur,
puncak produksi, daya tetas dan lain sebagainya. Pertambahan bobot badan (PBB)
masih merupakan parameter penting yang digunakan untuk menaksir ternak, pada
saat dimana PBB tinggi ada dugaan kuat bagi itik dara untuk cepat mulai bertelur.
Namun Hardjosworo et al. (2001) mengingatkan bahwa masih ada cara lain yang
dapat digunakan untuk menaksir kesiapan ternak dara mendekati masa bertelur
atau belum yaitu dengan melihat seberapa jauh jarak tulang pubis dengan cara
berdiri perbedaan jarak tulang pubis tidak tampak nyata akibat tertekan isi perut.
Semakin jauh jarak tulang pubis ternak maka dapat dipastikan bahwa ternak sudah
mendekati untuk masa bertelur.
Laju pertumbuhan relatif pada organ dan jaringan otot hasil penelitian Brun et
al. (1995), mulai dari yang tercepat adalah sayap (7.5%) < total kedua paha paha
(9.1%) < karkas (10.9%) < otot dada khususnya otot pectoralis major (12.8%) <
otot dada yang meliputi juga kulit dan lemak subkutan (15.7%) < kulit dan lemak
subkutan pada paha dan dada (26.8%) < lemak abdominal (84,6%). Namun untuk
jenis ternak Brun et al. (1995) mendapat laju pertumbuhan relatif yang lebih cepat
pada mandalung hasil silang dengan betina Pekin dan yang paling lambat adalah
mandalung hasil silangan dengan betina Tsaiya.
Menurut Myers (1986) pertumbuhan sigmoid yang digunakan dalam
persamaan matematik model Gompertz dapat diterapkan pada berbagai situasi
pertumbuhan. Sebagai catatan bahwa model ini memiliki eksponensial ganda dan
memiliki 4 karekater yaitu akselerasi (sudut kecepatan pertumbuhan), titik belok dari
fase cepat ke lambat atau sebaliknya, asimtot merupakan indikasi ukuran dewasa
tubuh dan penurunan untuk menuju ukuran yang relatif konstan (Chamber 1993).
Dengan demikian parameter A (bobot asimtot) merupakan pertumbuhan yang
terbatas akan mencapai puncaknya pada saat tertentu, kemudian berjalan tetap atau
bahkan menurun. Mellett dan Randall (1994) maupun Larzul et al. (1999b)
menyatakan bahwa dengan pendekatan persaman non-linier model Gompertz
ternyata memberikan dugaan yang cukup baik, terutama untuk melihat hubungan
antara umur dengan bagian tubuh.
Penggunaan persamaan model Gompertz cenderung lebih umum untuk dapat
diterapkan ke dalam berbagai pertumbuhan mahluk hidup. Hal ini dapat dilihat atas
laporan Shoukun et al. (1999) terhadap kurva pertumbuhan entog melaporkan hasil
bahwa analisis pertumbuhan non-linier untuk periode penetasan (pertumbuhan
embrio) cenderung lebih baik dengan menggunakan model Logistic, akan tetapi
untuk melihat karakter pertumbuhan dengan kurva non-linier maka disarankan untuk
menggunakan model Gompertz. Disamping itu Wiederhold dan Pingel (1997);
Ksiazkiewicz et al. (1997) menggunakan persamaan non-linear model Gompertz
Secara jelas Okamoto et al. (1996) melaporkan bahwa sebelum dilakukan
analisis pertumbuhan individu pada burung puyuh hasil seleksi pada umur 6 minggu
maka pada analisis awal menunjukkan bahwa model Gompertz cenderung lebih
baik. Hal tersebut didasarkan pada rendahnya nilai eror dan standar deviasi di atas
90% menunjukkan bobot asimtot. Bobot asimtot pada itik pejantan yang diseleksi
oleh Maruyama et al. (1999) untuk mendapatkan pola pertumbuhan terbaiknya
menunjukkan kisaran bobot antara 4437 g hingga 3008 g. Sementara untuk bobot
karkas asimtot dicapai pada kisaran bobot 3334 g hingga 2098 g.
Pendugaan pertumbuhan maksimum itik Pekin dicapai pada saat umur 16.5
hari (jantan) dan 16.3 hari (betina), entog 41.7 hari (jantan) dan 32.4 hari (betina),
sedangkan pada angsa adalah 30.6 hari (jantan) dan 29.1 hari (betina) sebagaimana
yang dilaporkan oleh Wiederhold dan Pingel (1997). Titik belok (inflection point)
yang dicapai pada ternak angsa dengan pendekatan persamaan Richard berkisar
antara 18.7-23.5 hari, sedangkan pada itik dicapai umur 24.1-27.6 hari (Knizetova
dan Hort, 1997). Namun demikian Knizetova et al.. (1983) melaporkan adanya
kelemahan dari fungsi tersebut yaitu adanya tendensi tingginya nilai deviasi,
terutama pada pola pertumbuhan anak ayam sebelum mencapai umur 6 minggu.
Lebih jauh Maruyama et al. (1999) menjelaskan bahwa untuk mencapai titik
belok didapat pada umur berkisar antara 22.5 hari hingga 25.3 hari bagi parameter
bobot badan. Adapun untuk bobot karkas, titik belok dicapai pada umur antara
25.4 hari hingga 29.6 hari. Hasil yang tidak jauh dari data di atas telah dilaporkan
oleh Rouvier (1999) bahwa ternak itik akan mencapai titik belok pada umur 25.5
hari baik untuk itik betina maupun jantan. Sementara untuk ternak entog relatif
lebih panjang yaitu 30 hari untuk kelamin betina dan 35 hari untuk kelamin
jantan. Itik mandalung terjadi pada umur 30.3 dan 30.5 hari.
Pola pertumbuhan organ itik dari 4 genotipe yaitu masing-masing Mallard,
Pekin, Muscovy dan hasil persilangan Muscovy x Pekin menurut laporan Gille et
al. (1999) lebih cepat dibanding laju pertumbuhan bobot badannya kecuali pada
organ oesophagus. Hal ini terjadi karena pertumbuhan organ oesophagus
mengikuti pola pertambahan bobot badan. Shoukun et al. (1999) telah mencoba
mendalami pola pertumbuhan non-linier dengan hasil bahwa titik belok bobot
dengan pertumbuhan tertinggi mencapai 51 g. edangkan pada entog betina titik
belok dicapai pada bobot 735 g dengan umur 32 hari serta pertumbuhan
tertingginya adalah 34 g.
Hasil perhitungan persamaan yang dilakukan Ksiazkiewicz et al. (1997)
dapat dituliskan sebagai W(t)= 3135.03*exp[-4.77*exp(-0.0600*t) untuk pejantan
dan W(t)= 2916.84*exp[-4.79*exp(-0.0549*t) untuk betina pada itik Pekin. Maksud
dari notasi t memberikan pengertian untuk umur dalam hari. Nilai persamaan
Gompertz yang tidak membedakan jenis kelamin Pekin diperoleh persamaan sebagai
W(t)= 3032.33*exp[-4.78*exp(-0.0608*t). Lebih jauh Ksiazkiewicz et al. (1997)
melaporkan pula bahwa untuk kondisi itik Khaki Campbell persamaan yang didapat
sebagai berikut W(t)= 2285*exp[-4.63*exp(-0.0549*t) untuk jantan, W(t)= 1992*
exp[-4.44*exp(-0.0583*t) untuk betina dan W(t)= 2122*exp[-4.52*exp(-0.0565*t)
yang tidak membedakan jenis kemalin.
Pola pertumbuhan maksimum pada bagian dada adalah saat ternak mencapai
umur 44.6 dan 42.5 hari, adapun bagian otot paha adalah 19 dan 17 hari untuk
masing-masing jantan dan betina pada itik Pekin. Sedangkan pada entog dilaporkan
bahwa pertumbuhan maksimum otot dada adalah 41.7 dan 32.4 hari dan otot paha 34
dan 26 hari. Sementara pada ternak angsa umur yang dicapai untuk pertumbuhan
dari kedua bagian tubuh adalah 51 dan 55 hari (otot dada) dan 25 dan 24 hari (otot
paha) (Wiederhold dan Pingel, 1997).
Dengan melihat laju pertumbuhan, terutama PBB yang tinggi pada galur induk
diharapkan memiliki kesempatan untuk bertelur lebih cepat. Sementara penggunaan
model pertumbuhan non-linier merupakan alat untuk memprediksi letak titik belok.
Tampak yang paling lambat adalah bagian dada yaitu di atas 40 hari, diharapkan
menjadi bahan pertimbangan dalam sistem menejemen pakan yang lebih terarah bagi
mandalung.
Heritabilitas
Heritabilitas (h2) pada umumnya diartikan sebagai ukuran rataan nilai
derajat pewarisan sifat dari tetua kepada anaknya (Bourdon, 1997). Dengan istilah
yang lebih sederhana oleh Warwick et al. (1984) maupun Noor (2000)
fenotipe yang dikontrol oleh gen, dan proporsi keragam itu sendiri diwariskan
tetuanya kepada anaknya. Nilai heritabilitas secra teori berkisar antara 0 sampai 1,
tetapi pada beberapa kasus terkadang nilai taksirannya tidak demikian adanya
(Bourdon, 1997).
Lebih jauh Warwick et al. (1984) menjelaskan bahwa kegunaan pendugaan
nilai heritabilitas adalah untuk mengetahui besarnya laju perubahan yang dicapai
akibat dari seleksi suatu sifat tertentu. Oleh karena itu pengetahuan tentang
besarnya nilai heritabilitas cukup penting untuk mengembangkan seleksi dan
rencana perkawinan dalam upaya memperbaiki ternak. Perhitungan nilai
heritabilitas dalam arti sempit yang disimbolkan dengan h2, peranan gen non-aditif
seperti gen dominan dan epistasis tidak dimasukkan. Oleh karena itu hanya gen
aditif saja, mengingat daya penurunan gen dominan dan epistatis tidak semutlak
aksi gen aditif. Pertimbangan lain bahwa gen non-aditif sangat kecil dipengaruhi
oleh faktor lingkungan (Noor, 2000).
Untuk menguji ketelitian dari nilai heritabilitas maka indikator yang paling
baik adalah dengan melihat nilai standar eror (SE) (Falconer dan Makay, 1996).
Pada kasus dimana nilai SE yang besar akan memberikan penafsiran yang
meragukan. Namun demikian metode perhitungan juga dapat menyebabkan
adanya perbedaan nilai hasil akhir yang didapat. Hal yang lebih kuat lagi untuk
mempertajam ketepatan hasil maka jumlah individu dalam famili merupakan
kondisi yang memiliki akurasi tinggi (Falconer dan Makay, 1996).
Nilai heritabilitas untuk sifat reproduksi pada umumnya rendah, hal ini
dapat dibuktikan dari dilaporkan Poivey et al. (2001) bahwa jumlah telur yang
mampu ditetaskan nilai h2=0.14±0.04 untuk itik Pekin yang diseleksi sedangkan
untuk itik Pekin kontrol adalah h2=0.10±0.01. Nilai h2 untuk jumlah telur yang
fertil relatif cukup moderat yaitu h2=0.30±0.03 (seleksi) dan h2=0.26±0.01
(kontrol). Akan tetapi jika dihitung berdasarkan jumlah embrio yang mati maka
nilai h2=0.06±0.01 (seleksi) dan h2=0.09±0.02 (kontrol).
Berbeda halnya dengan bobot badan, yang cenderung memiliki nilai h2 yang
moderat hingga tinggi. Sebagaimana yang dilaporkan Clayton dan Powell (1979)
bahwa untuk bobot badan umur 14 hari nilai h2=0.67±0.13 dan pada umur 51 hari
kategori yang rendah hingga moderat. Pada umur pengamatan 10 minggu entog
jantan nilai h2=0.24±0.03 dan betina h2=0.31±0.03. Nilai h2 yang sedikit lebih
tinggi dihasilkan dari perhitungan bobot badan entog umur 18 minggu,
h2=0.36±0.04 (jantan) dan h2=0.43±0.04 (betina).
Lebih jauh Kosba et al. (1997) menjelaskan bahwa nilai h2 untuk sifat bobot
otot/daging dada sangat bervariasi dengan rentang mulai dari 0.01 hingga 0.71 dan
ini diduga justru aksi gen non-aditif tampak sangat penting dalam pewarisan sifat
ini. Hasil tersebut tampaak diikuti dengan laporan Clayton dan Powell (1979)
bahwa nilai h2 untuk sifat bobot daging dada adalah 0.51±0.12.
Dengan demikian nilai h2 yang rendah hingga sedang tampaknya akan juga
terjadi pada beberapa sifat produksi dari galur induk (PA maupun PM) dan juga
itik mandalung yang akan diamati. Bobot badan sebagai salah satu sifat produksi
sangat relevan sebagai faktor seleksi mengingat nilai h2 yang cukup tinggi,
khususnya bobot tetas (DOD).
Produksi dan Produktivitas
Efek positif dari perkawinan antara entog jantan dengan itik Pekin betina
adalah nilai pemotongan yang terkait dengan besarnya bobot badan dan karkas
lemak yang relatif lebih rendah dibanding dengan karkas itik Pekin (Wezyk,
1999). Guy et al. (1999) melaporkan bahwa pertumbuhan itik Pekin lebih dini
tetapi bobot akhirnya lebih ringan dibanding dengan mandalung (Mule duck)
maupun entog. Lebih jauh dijelaskan bahwa entog memiliki sifat pertumbuhan
yang cukup panjang dan mendepositkan otot dada lebih tinggi dibanding Pekin
maupun mandalung.
Bobot badan mandalung yang dilaporkan oleh Baeza et al. (1999), pada
umur potong 8 minggu mencapai 3.55±0.21 kg (jantan) dan 3.17±0.15 kg (betina).
Pada umur 10 minggu, bobot potong dicapai 4.26±0.21 (jantan) dan 4.03±0.29 kg
(betina). Adapun umur potong 12 minggu, bobot badan yang didapat adalah
4.59±0.29 (jantan) dan 4.07±0.40 kg (betina). Secara statistik menunjukkan
bahwa jenis kelamin maupun umur potong berbeda nyata (p<0.05).
Kondisi kinerja produktivitas anak itik jantan lokal (Alabio dan Mojosari)
perbedaan yang nyata terhadap kepadatan gizi ransum. Oleh sebab itu hal ini
menyebabkan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase karkas dan organ
dalam (Bintang et al., 1997). Lebih jauh Bintang et al. (1997) menjelaskan bahwa
oarameter yang nyata (p<0.05) dipengaruhi oleh perlakuan kepadatan gizi dari
12% protein kasar dengan energi 2.000 kkal hingga kandungan protein kasar 20%
dengan energi 3.300 kkal adalah bobot karkas, bobot dan panjang usus, pesentase
ginjal dan lemak abdomen. Hal yang menarik dari laporan Guy et al. (1993)
bahwa ternak itik mempunyai proporsi daging yang lebih rendah dibanding entog
maupun hasil persilangan untuk menjadi mandalung. Sementara mandalung
dianggap sebagai ternak dengan proporsi daging yang tinggi, ini dibuktikan pada
bobot yang sama antara mandalung dengan entog maka proporsi daging dada
(pectoralis major) lebih tinggi pada mandalung (Guy et al., 1999).
Hasil perbandingan umur potong dengan tanpa membedakan jenis kelamin
yang dilakukan Sunari et al. (2001) memberikan hasil bahwa bobot potong
mandalung umur 12 minggu nyata (p<0.01) lebih berat dibanding dengan bobot
umur potong lainnya yaitu 6, 8 dan 10 minggu. Dari ketiga umur tersebut tidak
menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap bobot potong. Tetapi untuk
persentase giblet yang terdiri dari hati jantung empela, limpa dan leher dari
keempat umur pemotongan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Untuk non
pangan seperti kepala, kaki, usus dan lemak abdominal tampak bahwa umur
potong 6 minggu nyata lebih rendah persentasenya dibanding umur lainnya.
Baeza et al. (1999) membandingkan umur dan kelamin mandalung di
Perancis yang diberi pakan 190 g PK/kg dengan energi 12.54 MJ ME/kg untuk
umur 0-8 minggu dan 160 g PK/kg dengan energi yang sama untuk umur 9 hingga
13 minggu menunjukkan bahwa proporsi bobot daging dada terhadap bobot badan
pada umur potong 8 minggu sebesar 6.65±1.05% untuk jantan dan 6.69±0.44%
untuk betina. Kondisi ini berbeda nyata (p<0.05) terhadap umur lainnya, tetapi
tidak nyata terhadap perbedaan jenis kelamin pada umur yang sama. Dilain pihak
tampak bahwa semakin tinggi serat kasar dalam pakan itik Tegal, bobot
ventrikulus meningkat (Ulupi, 1993).
Triyantini et al. (1997) melaporkan bahwa ternak itik yang dipelihara secara
lainnya seperti ayam ras maupun ayam buras, bahkan hasil ini lebih rendah dari
yang dilaporkan Iskandar et al. (1993). Namun demikian Iskandar et al. (2000)
menjelaskan bahwa semakin bertambahnya umur itik dari umur 5 menjadi 10
minggu membawa konsekuensi meningkatnya persentase bobot karkas dari
50-58% menjadi 59-62%. Sementara untuk komponen kulit mengalami penurunan
dari antara 14-18% pada umur 5 minggu menjadi 12-15% pada umur 10 minggu.
Setioko et al. (2002) mendapatkan hasil bahwa potongan karkas komersial
pada itik mandalung adalah sebagai berikut: bobot paha relatif lebih tinggi (251 g)
yang kemudian disusul dengan berat potongan bagian dada (171 g) dan potongan
sayap (170 g). Iskandar et al. (1997) secara lebih detail melaporkan bahwa
persentase bobot otot daging yang dapat dimakan pada masing-masing bagian
potongan karkas komersial tampak bahwa bobot otot paha betis memiliki proporsi
yang tertinggi yaitu antara 10.58-13.58% untuk galur lokal Tegal, Magelang, Turi,
dan Mojosari. Namun untuk itik Alabio bobot otot daging dada (10.40%) relatif
lebih tinggi dibanding otot paha betis (9.58%).
Dengan melihat kenyataan di atas maka tampak bahwa pertumbuhan otot
yang paling besar terjadi pada bagian paha dan betis bagi itik lokal diluar itik
Alabio. Hal ini dapat dipahami karena habitat aslinya itik berada di air sehingga
kekuatan otot paha dan betis harus lebih besar untuk memiliki kemampuan daya
jelajah yang lebih tinggi dalam berburu pakan.
Tampak bahwa bangsa dan lingkungan sangat berperan dalam mendukung
produksi dan produktivitas mandalung. Peranan galur induk yang merupakan
galur sintetis sebagaimana yang banyak dilakukan dinegara maju, berperan nyata
dalam meningkatkan bobot potong mandalung. Tentunya keterkaitan antara bobot
potong terhadap bobot karkas dan non-karkas juga akan berpengaruh menjadi