• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Antara Pt. Asusindo Servistama Dan Medan Selular (Studi Pada Pt. Asusindo Servistama Medan)"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

92

Adi Nugroho, Susanti, 2015, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan Hukumnya, Pranamedia Group, Jakarta.

Atiyah, P.S.,1979, Hukum Kontrak, Institut Bankir Indonesia, Jakarta. Baros, W.S., 1997, Sendi Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.

Badrulzaman, Mariam Darus, 2015,Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________, dkk., 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta.

Budiono, Herlien, 2006,Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia,

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuady,Munir, 2001,Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Halim,Ridwan,1988, Hukum Administrasi Negara Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hernoko,Agus Yudha, 2010,Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta.

Hofman, 2003, Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.

H.S., Salim, 2002,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta.

__________, 2003,Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta.

__________,dkk., 2007,Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, 2014,Hukum Perlindungan Konsumen Cetakan ke-4, Sinar Grafika, Jakarta.

(2)

Muhammad, Abdulkadir, 1990, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________, 1992, Hukum Perikatan Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

__________, 2000,Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2006,Perikatan Yang Lahir Dari

Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nurdewata, Mukti Fajar, 2010,Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Patrik, Purwahid, 1986,Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang.

__________,2004, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung. Prodjodikoro, Wirjono, 1986,Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung. Purbacaraka, 2010,Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Raharjo, Handri, 2010,Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta.

Rusli,Hardyan, 1998,Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Sinar Harapan, Jakarta.

Satrio, J., 1999,Hukum Perikatan‐Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung.

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta.

Soekanto,Soerjono, 1986,Pengantar Penelitian Hukum Cetakan Ketiga, UI Press, Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1995,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Subekti, R., 1980,Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa, Jakarta.

__________, 2005,Hukum Perjanjian Cetakan ke-21, PT. Intermasa, Jakarta. Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.

(3)

Suprapto, Hartono, 1999,Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung.

Suryodiningrat, R.M.,1985, Asas Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung.

Yahya, M.,1996, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Kunsumen.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

C. INTERNET :

Akta Otenti

Damang, Perjanjian, Perikatan dan Kontrak,

diakses pada 06 april 2017.

Diana Kusumasari, Klausula Eksonerasi,

Edy Suprapto, Artikel Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerjasama,

Hasanudin Rahman,

Raimond Flora Lamandasa, Perjanjian Kerjasama 2017.

2017.

(4)

Richard Edd Risi

Tanggung Jawa 2017.

Zainudin Alfarisi,

D. WAWANCARA

Wawancara dengan Edy Santo, selaku owner/pemilik Medan Selular, tanggal 08 Maret 2017.

(5)

51

A. Pengertian Tanggung Jawab dan Risiko

1. Pengertian Tanggung Jawab

Tanggung Jawab sudah menjadi bagian kehidupan dari manusia dimanasetiap manusia pasti memiliki tanggung jawab, walaupun tanggung jawab setiaporang berbeda-beda. Tanggung jawab dapat diartikan sebagai perwujudan akankesadaran tentang kewajibannya dalam berbuat sesuatu.

Tanggung jawab berarti kewajiban seorang individu untuk melaksanakanaktivitas-aktivitas yang ditugaskan sebaik mungkin, sesuai dengankemampuannya. Tanggung jawab dapat berlangsung terus atau dapat terhentiapabila telah selesai melaksanakan tugas tertentu.

Wewenang dan tanggung jawab mempunyai tingkat yang sama.Wewenang seseorang memberikan kekuasaan untuk membuat dan menjalankankeputusan yang telah ditetapkan dan tanggung jawab menimbulkan kewajibanuntuk melaksanakan tugas dengan jalan menggunakan wewenang yang ada.

Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul beban tanggung jawab,mananggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya dan kalau terjadi sesuatu, dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.137

137

Tanggung Jawab,

(6)

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

Tanggung jawab itu sendiri bersifat kodrati, artinya sudah menjadi bagian kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti dibebani dengan tanggung jawab. Apabila ia tidak mau bertanggung jawab, maka ada pihak lain yang memaksakan tanggung jawab itu. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi pihak yang berbuat dan dari sisi kepentingan pihak lain.

Tanggung jawab adalah ciri manusia beradab (berbudaya). Manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengabdian atau pengorbanannya. Untuk memperoleh atau meningkatkan kesadaran bertanggung jawab perlu ditempuh usaha melalui pendidikan, penyuluhan, keteladanan, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.138

Adapun pengertian tanggung jawab hukum menurut para ahli sarjana, seperti menurut Ridwan Halim, tanggung jawab hukum adalah sebagai sesuatuakibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dankewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikansebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu dan tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.139

138

Zainudin Alfarisi,

Selain Ridwan Halim,Purbacaraka juga berpendapat bahwa, “tanggung jawab hukum bersumber ataulahir atas penggunaan fasilitas dalam penerepan kemampuan tiap orang

139

(7)

untukmenggunakan hak dan/atau melaksanakan kewajibannya”. Lebih lanjutditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yangdilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai padadasarnya tetap harus disertai dengan pertanggungjawaban, demikian pula denganpelaksanaan kekuasaan.140

2. Pengertian Risiko

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, risiko adalah suatu akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan.141

Risiko dalam hukum perjanjian ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.142

140

Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 37.

Barang yang diperjual-belikan misnah di perjalanan karena perahu yang mengangkutnya karam. Barang yang dipersewakan terbakar habis selama waktu dipersewakannya. Siapa yang harus memikul kerugian-kerugian itu? Inilah persoalan yang dinamakan risiko.

Dari apa yang sudah diuraikan tentang pengertian risiko di atas tadi, dapat di lihat bahwa persoalan risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang di dalam hukum perjanjian dinamakan “keadaan memaksa”. Persoalan risiko adalah buntut dari suatu keadaan memaksa, sebagaimana ganti rugi adalah buntut dari wanprestasi.

141

Risiko,

142

(8)

Dalam bagian umum Buku ke III KUHPerdata, sebenarnya terdapat satu pasal yang sengaja mengatur tentang risiko ini, yaitu Pasal 1237 KUHPerdata. Pasal ini berbunyi sebagai berikut : “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang. Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”.

Di dalam bagian umum, yaitu Pasal 1237 KUHPerdata diatur siapa yang menanggung risiko dalam perjanjian sepihak. Perikatan sepihak adalah perikatan yang prestasinya hanya ada pada salah satu pihak. Asas yang terkandung di dalam Pasal 1237 KUHPerdata menentukan bahwa sejak saat perikatan diadakan, risiko pada kreditur. Apabila debitur terjadi lalai (ingkar janji), maka risiko pada debitur.143

Setelah dibahas, Pasal 1237 KUHPerdata ini hanya dapat dipakai untuk perjanjian yang sepihak, seperti : perjanjian penghibahan dan perjanjian pinjam-pakai dan tidak dapat dipergunakan untuk perjanjian timbal-balik. Jadi, satu-satunya pasal yang ada di dalam bagian umum, yang sengaja mengatur perihal risiko, hanya dapat dipakai untuk perjanjian-perjanjian yang sepihak dan tidak dapat dipakai untuk perjanjian yang timbal-balik.144

143

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga, Yurisprudensi, Doktrin, serta Penjelasan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2015, hal. 22.

144

R. Subekti, op. cit., hal. 60.

(9)

Dalam bagian khusus, terdapat beberapa pasal yang mengatur soal risiko tersebut, misalnya Pasal 1460 dan Pasal 1545 KUHPerdata. Jika dibandingkan antara Pasal 1460 (risiko dalam jual-beli) dengan Pasal 1545 (risiko dalam tukar-menukar), maka ternyata kedua pasal tersebut mengatur soal risiko dalam suatu perjanjian yang timbal-balik tetapi sangat berbeda satu sama lain, bahkan berlawanan satu sama lain.

Pasal 1460 KUHPerdata mengatakan : “Jika barang yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan sipenjual berhak menuntut harganya”.

Sebaliknya Pasal 1545 KUHPerdata menentukan : “Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah diberikannya dalam tukar-menukar itu”.

Dikaji dari kedua pasal di atas tersebut sangat berlainan sekali. Pasal 1460 (jual-beli) meletakkan risiko pada pundaknya si pembeli, yang merupakan kreditur terhadap barang yang dibelinya (kreditur, karena ia berhak menuntut penyerahannya). Sedangkan Pasal 1545 (tukar-menukar) meletakkan risiko pada pundak masing-masing pemilik barang yang dipertukarkan. Pemilik adalah debitur terhadap barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan.145

145

(10)

Melihat peraturan tentang risiko, yang saling bertentangan ini, kita bertanya manakah yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu perjanjian timbal-balik pada umumnya dan manakah yang merupakan pengecualian?

Pertanyaan ini harus dijawab,bahwa apa yang ditetapkan untuk perjanjian tukar-menukar itu harus dipandang sebagai asas berlaku pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian yang timbal-balik, karena peraturan yang diletakkan dalam Pasal 1545 KUHPerdata itu memang yang setepatnya dan seadilnya.

Bukankah sudah selayak dan seadilnya, jika dalam suatu perjanjian timbal-balik salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya,dengan sendirinya pihak yang lain juga dibebaskan dari kewajibannya? Memang, seorang hanya menyanggupi untuk memberikan suatu barang atau melakukan suatu perbuatan karena ia mengharapkan akan menerima juga suatu barang atau pihak lainnya akan melakukan suatu perbuatan. Kalau ia tidak dapat menerima barang yang diharapkan, janganlah ia disuruh memberikan barangnya sendiri kepada orang lain yang tidak dapat menepati janjinya(biarpun ini bukan karena kesalahannya).Dan seperti sudah ditentukan oleh Pasal 1545 KUHPerdata secara tepat sudah selayaknya bahwa risiko mengenai sesuatu barang itu dipikulkan kepada pemiliknya.

(11)

perpindahannya hak milik di Code Civil, berlainan sekali dari KUHPerdata. Menunut sistem Code Civil, dalam suatu jual-beli barang tertentu, hak milik sudah berpindah pada saat ditutupnya perjanjian jual-beli, sedangkan menurut sistem KUHPerdata, dalam segala macam jual-beli, hak milik itu baru berpindah kalau barangnya diserahkan. Dalam sistem Code Civil, peraturan risiko seperti Pasal 1460 KUHPerdata dapat di pertanggungjawabkan, tetapi dalam sistem KUHPerdata,peraturan tersebut menimbulkan keganjilan-keganjilan seperti yang kita uraikan di atas. Untuk mengurangi kemungkinan keganjilan itu, Pasal 1460 KUHPerdata itu lazim oleh para sarjana dan yurisprudensi ditafsirkan secara sempit. Ditunjukkan pada perkataan “barang tertentu” dalam pasal tersebut.Suatu barang tertentu,adalah suatu barang yang dipilih dan ditunjuk oleh si pembeli,dan tidak lagi dapat diganti dengan barang lain.

(12)

Pasal 1553 KUHPerdata,yang mengatur masalah risiko dalam perjanjian sewa-menyewa,yang juga suatu perjanjian timbal-balik, adalah selaras dengan Pasal 1545 KUHPerdata yang meletakkan risiko pada pundak si pemilik barang yang dipersewakan.Lain dari Pasal 1237 dan 1460 KUHPerdata yang kedua-duanya jelas memakai perkataan “tanggungan” (yang berarti “risiko”), Pasal 1553 KUHPerdata dalam sewa-menyewa itu tidak memakai perkataan tersebut dan peraturan tentang risiko hanya “tersirat” di dalamnya,artinya kita ambil peraturan itu secara menyimpulkan dari kata-kata yang dipakai di situ. Dalam Pasal 1553 KUHPerdatadisebutkan “Jika selama waktu sewa,barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalahan salah satu pilhak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum.Dari perkataan “gugur” itu, dapat disimpulkan,bahwa masing-masing pihak tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lainnya. Dengan kata lain kerugian akibat kemusnahan itu dipikul seluruhnya oleh si pemilik barang.146

Sebuah toko mobil N.V. Handel Maatschappij L’Auto menggugat seorang bernama Yordan untuk membayar lunas kekurangan cicilan atas harga sebuah mobil yang sudah disewa-beli olehnya.Mobil tersebut telah dirampas oleh Tentara Jepang ketika Tentara itu mendarat di pulau Jawa.Yordan berpendirian,ia sudah Selaras dengan pedoman atau asas yang telah kita simpulkan dari Pasal 1545 KUHPerdata,yang mengatur masalah risiko dalam tukar-menukar.

Masalah risiko ini,pernah dipersoalkan dalam suatu perkara yang diajukan di muka Pengadilan Negeri Surabaya, mengenai suatu perjanjian sewa-beli mobil.Duduk perkaranya adalah sebagai berikut :

146

(13)

tidak usah membayar cicilan yang tersisa,karena mobil tersebut dapat dianggap sebagai sudah musnah.

Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusannya tanggal 5 Februari 1951 (Majalah Hukum Tahun 1958 No.7-8) membenarkan pendirian tergugat atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa-beli itu harus diartikan sebagai suatu perjanjian sewa,dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.

Dalam tingkatan banding putusan Pengadilan Negeri tersebut di atas dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya,dengan putusannya tertanggal 30 Agustus 1956(Majalah Hukum Tahun 1958 No.7-8), atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa-beli itu adalah suatu jenis jual-beli.

Dalam tingkatan kasasi,permohonan kasasi dari tergugat terbanding(Yordan)ditolak oleh Mahkamah Agung(putusan tanggal 16 Desember 1957,Majalah Hukum Tahun 1958 No.7-8),atas pertimbangan bahwa putusan Pengadilan Tinggi menurut isi perjanjian sewa-beli risiko atas hilangnya barang karena keadaan memaksa(overmacht) dipikul oleh si penyewa-beli adalah mengenai suatu kenyataan,maka keberatan pemohon kasasi tentang hal ini tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim kasasi.Sayang sekali persoalan risiko dalam sewa-beli tadi tidak ditinjau oleh Mahkamah Agung karena dianggap mengenai penafsiran tentang apa yang diperjanjikan oleh para pihak.

(14)

Pasal 1460 KUHPerdata)kita mengambil peraturan yang termaksud dalam Pasal 1545 KUHPerdata untuk tukar-menukar sebagai pedoman, yaitu meletakkan risiko pada pundak pemilik barang yang dipertukarkan. Pemilik adalah debitur terhadap barang yang dipertukarkan dan musnah sebelum diserahkan.147

B. Prinsip Tanggung Jawab

Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalamhukum perdata. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumendiperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawabdan seberapa jauh tanggng jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.148

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapatdibedakan sebagai berikut:149

1. Kesalahan (liability based on fault)

2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)

3. Praduga tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability) 4. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

Ad.1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukupumum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPerdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.150

147

Ibid., hal. 63.

148

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000, hal. 59.

149

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen Cetakan ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 92.

150

(15)

Prinsip inimenyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung-jawabannya secarahukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Dalam Pasal 1365KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

1. Adanya perbuatan; 2. Adanya unsur kesalahan; 3. Adanya kerugian yang diderita;

4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.

Ad.2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada ada pada si tergugat.

Ad.3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip ini untuktidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksikonsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secaracommon sense(akal sehat)dapat dibenarkan.151

Contoh dalam penerapan prinsip ini adalahhukum pengangkutan, kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasitangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen)adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelakuusaha) tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

151

(16)

Ad.4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawabmutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absoluteliability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan keduaterminologi diatas.152

1. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks;

Strict liability adalah prinip tanggung jawab yangmenetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, adapengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan daritanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya,

absolute liabilityadalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.

Menurut R.C. Hoeber et.al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena :

2. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya;

3. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama Product Liability. Menurut asas ini, produsen

152

(17)

wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.

Ad.5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klasula eksonerasi (klausula pengecualian kewajiban/tanggung jawab dalam perjanjian)153

dalam perjanjian standar yangdibuat. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film ingindicuci/dicetak itu hilang dan/atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga saturol film baru.154

Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen biladitetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tenrang Perlindungan Konsumen seharusnya pelakuusaha tidak boleh secara sepihak menetukan klausul yang merugikankonsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika adapembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yangjelas.155

C. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Antara

PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular

Pada umumnya setiap perjanjian baik perjanjian biasa maupun perjanjian kerjasama pasti membahas masalah tanggung jawab apabila terjadi risiko, dikarenakan jika tidak dibahas dan tidak dicantumkan dalam isi klausula perjanjian, apabila terjadi risiko (hal yang tidak diinginkan) maka tidak akan ada

153

Diana Kusumasari, Klausula Eksonerasi,

154

Shidarta, op. cit., hal. 64.

155

(18)

pihak yang mau bertanggung jawab dan saling melemparkan kesalahan terhadap pihak lainnya.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana tanggung jawab para pihak apabila terjadi risiko saat perjanjian kerjasama antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular berlangsung?

Setelah mengkaji lebih dalam Perjanjian Kerjasama Antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular, ternyata di dalam perjanjian kerjasama ini sama sekali tidak dibahas pada point-point perjanjian mengenai tanggung jawab apabila terjadi risiko pada saat perjanjian kerjasama ini berlangsung.

Namun demikian di dalam form (berkas) lampiran terdapat suatu form

lampiranmengenai proses Dead on Arrival (DOA) Service. Dalam form ini dijelaskan bahwa Dead on Arrival (DOA) merujuk pada produk yang mengalami kecacatan atau kerusakan fungsional dalam kurun waktu : 156

- Tujuh (7) hari dari tanggal pembelian pengguna akhir (dengan catatan tidak di infomasikan ke pengguna akhir/end users), atau

- Tiga puluh (30) hari dari tanggal pembelian ke Distributor/reseller (belum terjual ke pengguna akhir), atau

- Sampai sembilan puluh (90) hari dari bukti pengiriman diterima Distributor (jika melebihi periode tersebut, maka akan membutuhkan persetujuan khusus).

Dan tidak mencakup untuk :

- Kerusakan akibat transportasi dan penanganan - Produk yang sudah diperbaiki

156

(19)

- Produk yang rusak karena kelalaian pengguna yang disengaja ataupun tidak disengaja

- Tidak diketemukan kerusakan pada saat pengecekan

Dalam hal ini dijelaskan bahwa PT. Asusindo Servistama akan bertanggung jawab terhadap Medan Selular apabila terjadi risiko seperti yang tertulis pada form proses Dead on Arrival (DOA), yaitu hanya sebatas terhadap produk yang mengalami kecacatan dan kerusakan fungsional. Hal-hal mengenai apabila terjadi kerusakan akibat transportasi baik akibat kelalaian pihak pengiriman barang maupun disebabkan karena force majeure tidak menjadi tanggung jawab dari pihak PT. Asusindo Servistama, yang artinya bahwa hal tersebut secara tidak langsung akan dibebankan pertanggungjawabannya terhadap pihak Medan Selular.

Dari penjelasan Bapak Isan Setiawan selaku Manager toko Medan Selular, praktik nyatanya di lapangan mengenai masalah tanggung jawab oleh pihak PT. Asusindo Servistama memang nyata terealisasikan apabila terdapat produk yang mengalami kecacatan dan kerusakan fungsional, seperti produk yang saat dibuka segel ternyata cacat fisik, tidak dapat hidup/padam (Dead on Arrival) maka produk tersebut akan ditanggung risikonya oleh pihak PT. Asusindo Servistama dengan cara menggantikan dengan unit produk yang baru. Dalam hal force majeure, ternyata belum pernah terjadi kasusnya sehingga tidak tahu bagaimana pertanggungjawabannya jika terjadi.

(20)

terjadi risiko, serta pembahasan mengenai tanggung jawab hanya terdapat pada

(21)

67

KERJASAMA

A. Pengertian Wanprestasi

Suatu perjanjian dalam pelaksanaannya ada kemungkinan tidak sesuai denganyang diharapkan atau diperjanjikan atau mungkin tidak dapat dilaksanakan karena adanya hambatan-hambatandalam pelaksanaannya. Hambatan‐hambatan tersebut dapat terjadi berupawanprestasi dan keadaan memaksa.157

- memberi sesuatu;

Sebelum membahas tentang wanprestasi,terlebih dahulu sebaiknya kita harus mengetahui arti dari sebuah prestasi. Prestasi adalah segala sesuatu yangmenjadi hak kreditur dan merupakan kewajiban bagi debitur. Menurut Pasal 1234KUHPerdata, prestasi dapat berupa:

- berbuat sesuatu; dan - tidakberbuat sesuatu.

Prestasi dari perikatan harus memenuhi syarat:158

a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan, dan Undang-undang.

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan.

c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.

Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah“performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu

157

J. Satrio, Hukum PerikatanPerikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999, hal. 83.

158

(22)

pelaksanaan hal-halyang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu,pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkandalam kontrak yang bersangkutan.159

a. Memberikan sesuatu;

Adapun yang merupakan model-model dari prestasi adalah seperti yangdisebutkan dalam Pasal 1234 KUHPerdata, yaitu berupa :

b. Berbuat sesuatu; c. Tidak berbuat sesuatu.

Sementara itu, yang dimaksud dengan wanprestasi (default atau non fulfimentataupun yang disebut juga dengan istilah breach of contract) adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh

kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang menunjukkan debitur tidak berprestasi (tidak melaksanakan kewajibannya) dan dia dapat dipersalahkan.160

Wanprestasi menurut Abdul Kadir Muhammad mempunyai arti tidak memenuhikewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karenaperjanjian161

. Sedangkan menurut J. Satrio, wanprestasi mempunyai arti bahwa debiturtidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dankesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debiturwanprestasi.162

159

Munir Fuady, op. cit., hal. 87.

160

Ibid.

161

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 82.

162

(23)

Dari dua pengertian di atas, maka secara umum wanprestasi berartipelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurutselayaknya. Misalnya seorang debitur disebutkan dalam keadaan wanprestasi makadia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah terlambat dari jadwalwaktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut yangsepatutnya.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak

yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untukmemberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak

pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Debitur dikatakan telah melakukan

wanprestasi baik karena lalai maupun karena kesengajaan, apabila :163

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.

b. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.

c. Melakukan apa yang sudah diperjanjikan tetapi sudah terlambat. d. Melakukan suatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk menentukan dan menyatakan apakah seseorang telah melakukanwanprestasi, tidaklah mudah karena seringkali tidak diperjanjikan dengan tepat kapansuatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Sebelumdinyatakan wanprestasi, seorang debitur harus lebih dahulu

163

(24)

ditagih atau diberi teguranatau somasi, sebagaimana ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata yang menyebutkan :

“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika inimenetapkan, bahwa si berhutang akan terus dianggap lalai dengan lewatnya waktu

yang ditentukan.”

Akan tetapi berbeda dengan hukum pidana atau hukum tentang perbuatanmelawan hukum, hukum kontrak tidak begitu membedakan apakah suatu kontraktidak dilaksanakan karena adanya suatu unsur kesalahan dari para pihak atau tidak.Akibatnya umumnya tetap sama, yakni pemberian ganti rugi dengan perhitungan-perhitungantertentu. Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasanforce majeure, yang umumnya membebaskan pihak yang tidak memenuhi

prestasi (untuk sementara atau untuk selama-lamanya).

Disamping itu, apabila seseorang telah tidak melaksanakan prestasinya sesuaiketentuan dalam kontrak, maka pada umumnya (dengan beberapa pengecualian) tidakdengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan laindalam kontrak atau dalam undang-undang, maka wanprestasinya si debitur resmiterjadi setelah debitur dinyatakan lalai oleh kreditur (ingebrehstelling) yakni dengandikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur.164

164

(25)

Stelsel dengan akta lalai ini adalah khas dari negara-negara yang tundukkepada Civil Law seperti Prancis, Jerman, Belanda dan karenanya juga Indonesia.

Sementara di negara-negara yang berlaku sistem Common Law, seperti Inggris danAmerika Serikat, pada prinsipnya tidak memberlakukan stelsel akta lalai ini. Dalampraktek akta lalai ini sering disebut dengan:165

- Somasi (Indonesia) - Sommatie (Belanda) - Sommation (Inggris) - Notice of default (Inggris) - Mahnung (Jerman dan Swiss) - Einmahnung (Austria)

- Mise en demeure (Prancis)

Namun demikian, bahkan di negara-negara yang tunduk kepada Civil Lawsendiri, akta lalai tidak diperlukan dalam hal-hal tertentu, yaitu dalam hal-hal sebagaiberikut:

1. Jika dalam persetujuan ditentukan termin waktu; 2. Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi; 3. Debitur keliru memenuhi prestasi;

4. Ditentukan dalam undang-undang bahwa wanprestasi terjadi demi hukum; 5. Jika debitur mengakui atau memberitahukan bahwa dia dalam

keadaanwanprestasi.

Tidak dipenuhinya kesalahan debitur dapat terjadi karena dua hal, yaitu:

165

(26)

a. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun karena kelalaian,

b. Karena keadaan memaksa (force majeure), di luar kemampuan debitur. Pasal 1238 KUHPerdata mengatakan bahwa debitur lalai, dan oleh KUHPerdata telah jelas ditetapkan, sejak kapan debitur dalam keadaan lalai, yaitu dengantiga jenis teguran atau peringatan :

1. Surat Perintah

Surat perintah atau surat peringatan resmi dari hakim atau juru sita pengadilanbiasanya berbentuk penetapan atau beschiking. Berdasarkan surat perintahtersebut juru sita memberi surat teguran secara lisan kepada debitur kapanselambat‐lambatnya ia harus berprestasi. Ini biasanya disebut dengan exploit juru sita. Exploitadalah perintah lisan yang disampaikan juru sita kepada debitur.Dengan kata lain exploit adalah salinan surat peringatan.166

2. Akta sejenis

Akta sejenis ini merupakan peringatan secara tertulis, maksudnya dapat berupaakta di bawah tangan atau dengan akta notaris.

3. Tersimpul dari perjanjiannya sendiri

Maksudnya sejak membuat perjanjian para pihak sudah menentukan saat kapanterjadinya wanprestasi.

Pernyataan lalai sebenarnya merupakan suatu peringatan dari kreditur agar debitur dapat segera melakukan prestasinya, selambat‐lambatnya pada suatu saat

166

Richard Eddy,

(27)

tertentu.167

a. Pemenuhan perjanjian;

Menurut Pasal1267 KUHPerdata, pihak kreditur dapat menuntut pihak debitur yang lalai dalam memenuhi prestasi dengan memilih beberapa kemungkinan tuntutan sebagai berikut :

b. Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi; c. Ganti rugi saja;

d. Pembatalan perjanjian;

e. Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Sedangkan bagi seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukanbeberapa alasan sebagai alat untuk membela diri, yaitu:168

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa(overmacht atau force majeure);

2. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah lalai;

3. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntutganti rugi.

Pembelaan-pembelaan tersebut akan kita bicarakan satu persatu di bawah ini : 169

Dengan mengajukan pembelaan ini, debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, Ad.1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa

167

J. Satrio, op. cit., hal. 106.

168

R. Subekti, op. cit., hal. 55.

169

(28)

hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.

Ad.2. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah lalai

Dengan pembelaan ini si debitur yang dituduh lalai dan dituntut membayar ganti rugi itu, mengajukan di depan hakim bahwa kreditur sendiri juga tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian timbal-balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajiban-kewajibannya. Masing-masing pihak dapat mengatakan kepada pihak lawannya. “Jangan menganggap saya lalai, kalau kamu sendiri juga sudah melalaikan kewajibanmu”. Misalnya : Si pembeli menuduh si penjual terlambat menyerahkan barangnya, tetapi ia sendiri ternyata sudah tidak menepati janjinya untuk memberikan uang muka. Prinsip “menyeberang bersama-sama” dalam jual-beli ditegaskan dalam Pasal 1478 KUHPerdata : “Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak mengizinkan penundaan pembayaraan tersebut.”

Tentang alasan bahwa kreditur telah lalai, sebagai suatu pembelaan bagi si debitur yang dituduh lalai, yang jika ternyata benar dapat membebaskan debitur dari pembayaran ganti rugi ini, tidak ada disebutkan dalam sesuatu pasal Undang-undang. Ia merupakan suatu hukum yurisprudensi suatu peraturan hukum yang telah diciptakan oleh para hakim.

(29)

Alasan ketiga yang dapat membebaskan si debitur yang dituduh lalai dari kewajiban mengganti kerugian dan memberikan alasan untuk menolak pembatalan perjanjian, adalah yang dinamakan pelepasan hak pada pihak kreditur. Dengan ini dimaksudkan suatu sikap pihak kreditur dari mana pihak debitur boleh menyimpulkan bahwa kreditur itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi. Misalnya, si pembeli, meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung cacat yang tersembunyi, tidak mengatakan kepada si penjual atau mengembalikan barangnya, tetapi barang itu dipakainya. Atau juga, ia pesan lagi barang seperti itu. Dari sikap tersebut (barangnya dipakai dan dipesan lagi) dapat disimpulkan bahwa barang itu sudah memuaskan si pembeli. Jika ia kemudian menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, maka tuntutan itu sudah selayaknya tidak diterima oleh hakim.

Dalam hal suatu keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut), sudah selayaknya perjanjian itu hapus, tetapi bila keadaan memaksa tadi hanya bersifat relatif, perjanjian itu dianggap masih ada dan masih dapat dituntut pemenuhannya, manakala rintang itu sudah berhenti.

B. Akibat-Akibat Wanprestasi

Wanprestasi menimbulkan akibat hukum bagi perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak karena perjanjian tersebut sejak tanggal disetujui dan ditandatanganiberlaku sebagai undang-undang yang harus dipatuhi.

Ada empat akibat hukumsebagai akibat adanya wanprestasi dari salah satu pihak yaitu :170

170

(30)

1. Perikatan tetap ada. Kreditur masih tetap dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya. 2. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243

KUHPerdata).

3. Beban resiko beralih. Untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul setelah debitur melakukan wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa (overmacht).

4. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUHPerdata.

(31)

kewajibannya, jangka waktu yang mana itu tidak bolehlebih dari satu bulan”.

Kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut : 171

1. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.

2. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal 1267 KUHPerdata).

Pasal 1267 KUHPerdata menyatakan bahwa, “Pihak terhadap siapa perikatantidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan,akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, apakah ia akanmenuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian danbunga”.

3. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan.

4. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.

5. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur, gantirugi itu berupa pembayaran uang denda.

Pada dasarnya perbuatan wanprestasi dalam suatu perikatan akanmenimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Oleh karena itu pihak yangmelakukan wanprestasi tersebut diwajibkan untuk melakukan ganti rugi atasperbuatan wanprestasi yang dilakukannya tersebut.

Akibat hukum yang timbul dari wanprestasi dapat juga disebabkan karena

171

(32)

keadaan memaksa (force majeure). Keadaan memaksa (force majeure) yaitu salah satualasan pembenar untuk membebaskan seseorang dari kewajiban untuk menggantikerugian (Pasal 1244 dan Pasal 1445 KUHPerdata).

Pasal 1244 KUHPerdata berbunyi:“Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidakpada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tidakdapatdipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidaklah adapada pihaknya”.

Pasal 1445 KUHPerdata berbunyi : “Jika barang yang terutang, diluar salahnya si berutang musnah, tidak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan padanya”.

Menurut Undang-undang adatiga hal yang harus dipenuhi untuk adanya keadaan memaksa, yaitu:

a. Tidak memenuhi prestasi,

b. Ada sebab yang terletak di luar kesehatan debitur,

c. Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.

C. Penyelesaian Yang Dilaksanakan Apabila Terjadi Wanprestasi Oleh

Salah Satu Pihak

(33)

kerjasama yang dilakukan oleh PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular. Akibat hukum dari perjanjian biasanya baru akan terlihat apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran (wanprestasi)terhadap kesepakatan yang dibuat dan disepakati dalam perjanjian. Dengan adanyapelanggaran tersebut biasanya pihak yang lain akan meminta atau menuntut pihak yang melanggaratau pihak yang melakukan wanprestasi untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan yangdisepakati. Biasanya apabila pihak yang melakukan wanprestasi tidak memenuhi prestasi maka akan dikenakan sanksi sesuai yang disepakati atau akan dilakukan penyelesaiandengan cara tertentu sesuai yang disepakati dalam perjanjian.

Keadaan adanya salah satu pihak yang melakukan wanprestasi juga bisa saja terjadi di dalam perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular. Wanprestasi tersebut dapat berupa :

Wanprestasi oleh Medan Selular : 172

1. Kebijakan Harga Jual Yang Disarankan (SRP173

1.1. Seluruh ASUS Golden Partner (AGP) dan ASUS Partner (AP)

diwajibkan untuk mematuhi aturan Harga Jual Yang Disarankan

(SRP=Suggested Retail Price) yang dipublikasikan oleh ASUS dalam Daftar Harga (Price List) ASUS, yang diumumkan oleh ASUS Indonesia dalam bentuk publikasi materi marketing baik dalam bentuk media online maupun cetak.

)

172

Lihat pada Lampiran Perjanjian Kerjasama Antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular, Peraturan No. SYS/SC/160415/001, Appendix C : Harga Jual Retail Yang Disarankan dan Kebijakan Lintas Wilayah, hal. 6.

173

(34)

1.2. Kelalaian untuk mengikuti aturan Harga Jual Yang Disarankan ini akan berakibat sanksi sebagai berikut :

Pelanggaran ke-1 : Penalti sebesar 25% dari rabat AP di kwartal yang berjalan.

Pelanggaran ke-2 : Penalti sebesar 25% dari rabat AP di kwartal yang berjalan.

Pelanggaran ke-3 : Penalti sebesar 25% dari rabat AP di kwartal yang berjalan.

Pelanggaran ke-4 : Penalti sebesar 50% dari rabat AP di kwartal yang berjalan, dan sisa rabat 50% akan dibekukan selama 3 bulan dari tanggal penerimaan semestinya.

1.3. Masa berlaku pelanggaran :

Setiap pelanggaran berlaku selama 6 bulan. Contoh : Pelanggaran ke-1 terjadi tanggal 1 Mei 2016.

- Kalau pelanggaran berikutnya terjadi tanggal 15 Oktober 2016, maka akan dikategorikan sebagai pelanggaran ke-2.

- Kalau pelanggaran berikutnya terjadi tanggal 1 November 2016, maka akan dikategorikan sebai pelanggaran ke-3.

2. Kebijakan Lintas Wilayah (Cross Teritory)

2.1.a. Semua ASUS Partner (AGP dan AP) tidak diperbolehkan untuk menjual Notebook ASUS, Desktop PC ASUS, Tablet ASUS dan

Smarphone ASUS ke territory (wilayah) lain. Selain menjual juga tidak diperbolehkan untuk membeli produk-produk ASUS tersebut dari

(35)

2.1.b. Sanksi lintas wilayah ini akan diberlakukan untuk seluruh ASUS Partner dalam rantai terkait.

Contoh :AGP A (Jakarta) menjual notebook ASUS ke AGP B (Jakarta), AGP B menjual kembali notebook tersebut ke AP C (Surabaya). Kemudian SN (Serial Number) Notebook tersebut tertangkap di Surabaya. Dalam hal ini sanksi lintas wilayah akan dikenakan kepada AGP A (Jakarta), AGP B (Jakarta) dan AP C (Surabaya).

2.2. Untuk AGP yang mempunyai cabang atau toko di luar area utama (kantor/toko pusat), dalam hal ini cabang itu disarankan untuk mendaftarkan sebagai AGP setempat, membeli barang dari cabang lokal dari Distributor resmi ASUS dan mengikuti aturan lokal yang ada.

2.3. Untuk AP yang mempunyai cabang atau toko di luar area utama (kantor/toko pusat), dalam hal ini cabang itu disarankan untuk mendaftarkan sebagai AP setempat, membeli barang dari AGP lokal dan mengikuti aturan lokal yang ada.

2.4. Kelalaian untuk mengikuti Kebijakan Lintas Wilayah akan dikenakan sanksi seperti pasal 1.1.2 dan 1.1.3.

(36)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Isan Setiawan selaku Manager toko Medan Selular, bahwa dalam hal wanprestasi, pihaknya pernah melanggar ketentuan mengenai wanprestasi sebagaimana yang di atur dalam perjanjian kerjasama. Hal yang dilanggar tersebut mengenai ketentuan mengenai kebijakan pada point 1 lampiran C perjanjian kerjasama174

Berdasarkan hasil penelitian terhadap isi perjanjian kerjasama antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular, bahwa isi klausula dalam perjanjian tersebut tidak seimbang, sehingga tidakmencerminkan asas atau prinsip keseimbangan. Ketidakseimbangan adalah dalam halhak dan kewajiban, dimana perjanjian tersebut lebih menekankan kewajiban pihak Medan Selular dengan segala akibat hukumnya, tanpa menjelaskan kewajiban pihak PT. Asusindo Servistama kepada pihakMedan Selular.

yaitu mengenai harga jual yang disarankan. Mengenai harga jual yang disarankan ini pihak Medan Selular sering melanggar ketentuan harga jual yang disarankan dikarenakan pihaknya mengaku banyak AP (ASUS Partner) lainnya juga melakukan hal yang sama dan apabila bertahan dalam harga jual yang disarankan, produk yang akan dijual tersebut tidak akan laku dikarenakan pembeli pasti lari ke toko yang lainnya yang menjual dengan harga yang lebih murah yang artinya telah melanggar ketentuan harga jual yang disarankan tersebut.

Dalam hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Manager Medan Selular bahwa pihaknya sama sekali belum pernah menerima akibat hukum seperti yang tercantum dalam isi klausula perjanjian kerjasama. Hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan oleh pihak PT. Asusindo Servistama di lapangan.

174

(37)

Seharusnya dalam perjanjian tercantum hak dan kewajiban para pihak secaraseimbang, khususnya dalam hal wanprestasi harus memegang prinsip keseimbanganberupa perlindungan pihak yang melakukan wanprestasi. Hal tersebut didasarkan karena ada kemungkinan bahwa apabila salah satu pihak telah melakukan wanprestasi,tetapi sebagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk menundasementara pelaksanaan prestasi ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkankepentingan pihak yang melakukan wanprestasi pun dilindungi.

Dalam rangka pelaksanaan perjanjian, peranan iktikad baik,sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali. Bahkan oleh Subekti, iktikad baikitudikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian. Hal inidapat dipahami karena iktikad baik merupakan landasan utama untuk dapatmelaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya.

(38)

Dalam hal jika terjadi perselisihan, ternyata bahwa penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia tidak terlaksana. Pihak PT. Asusindo Servistama dapat secara langsung memutuskan hubungan kerjasama dengan Medan Selular yang tercermin dalam

point 7.2 ASUS mempunyai hak untuk memodifikasi ataupun menghentikan program dengan pemberitahuan terlebih dahulu 30 hari sebelumnya kepada AP (ASUS Partner)” dan point 7.3 “Setiap pelanggaran dari AP (ASUS Partner) atau setiap penipuan terhadap informasi/dokumen yang diberikan AP (ASUS Partner)

akan berakibat segera dihentikannya program ini.

Dalam penjelasan Manager Medan Selular dikarenakan belum pernah terjadinya masalah perselisihan yang serius sehingga belum pernah terjadi masalah pemutusan maupun penghentian program dalam perjanjian kerjasama ini.

Namun demi memberikan perlindungan hukum kepada pihak Medan Selular dalam penyelesaian perselisihan wanprestasi tersebut, maka dalam praktek perjanjian kerjasama selanjutnya antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular seharusnya dilakukan dalam bentuk akta notariil.

(39)

Apabila menggunakan akta notariil akan mempunyai kekuatan hukum, karena aktaotentik adalahsuatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.175

Sehingga merupakan alat bukti tertulis yang sempurna, oleh karena akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian secara lahiriah, formal dan materiil sehingga akta otentikdapat dikatakan alat bukti yang sempurna, karena akta otentik memberikan jaminan kepastian tanggal, waktu dan tempat kepada para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.176

175

Lihat Pasal 1868 KUHPerdata.

Dalam setiap perbuatan hukum khususnya hukum perdata, akta memegang peranan yang sangat penting karena dapat dipergunakan sebagai alat bukti terjadinyasuatu perbuatan hukum, disamping sebagai batasan tentang hak dan kewajibanmasing-masing pihak. Perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjiankerjasama ini apabila ditinjau maka syarat-syarat baku yang dicantumkandalam perjanjian tersebut merupakan syarat yang layak dan wajar dalam perjanjian

yang memuat hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian. Hal ini perlu, karena aturan dan syarat-syarat perjanjian yang ditentukan secara sepihak oleh PT. Asusindo Servistama belum cukup melindungi kepentingan hukum para pihak yangterlibat dalam perjanjian kerjasama ini.

176

Akta Otentik,

(40)

Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat para pihak harus dapatdilaksanakan dengan sukarela atau iktikad baik(good faith and good will).Tetapi pada kenyataannya, perjanjian yang dibuat sering menjadi bermasalah karena berbagai faktor. Persoalannya, bagaimanakah cara penyelesaiansengketa yang terjadi diantara para pihak. Secara yuridis pola penyelesaian sengketadapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. melalui pengadilan,

2. alternatif penyelesaian sengketa, 3. musyawarah.177

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola penyelesaiansengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan.Putusannya bersifat mengikat. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan. Menurut Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka cara penyelesaiansengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dibagi menjadi 5 (lima) cara, yaitu :

1. Konsultasi, 2. Negosiasi, 3. Mediasi, 4. Konsiliasi, atau 5. Penilaian Ahli.178

177

(41)

178

(42)

88

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Bentuk perjanjian kerjasama ini adalah perjanjian baku (standar) yang dimana isi klausula perjanjian ditentukan secara sepihak oleh PT. Asusindo Servistama yang secara sengaja maupun tidak sengaja telah mengabaikan asas kebebasan berkontrak serta asas keseimbangan para pihak yang dimana suatu kontrak/perjanjian yang dibuat secara sepihak pasti menguntungkan pihak pertama atau pihak yang membuat isi klausula dari perjanjian tersebut. Dilihat dari sisi isi klausula, perjanjian kerjasama ini sesungguhnya telah mengabaikan asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan sesuai dengan asas hukum perjanjian yang terlihat secara jelas dan nyata. Namun kekuasaan (power) dari kedudukan PT. Asusindo Servistama sangat besar, sehingga akan sangat sulit atau hampir tidak mungkin (mustahil) untuk membuat isi klausula perjanjian kerjasama secara bersama dalam menentukan isi pasal/point dalam perjanjian kerjasama ini.

(43)

lampiran, yang hal-hal mengenai tanggung jawab risiko hanya sebatas terhadap produk yang mengalami kecacatan dan kerusakan fungsional seperti yang telah di bahas di atas, sehingga disini sangat jelas terlihat, jika PT. Asusindo Servistama cenderung mencari celah untuk menghindari masalah mengenai persoalan tanggung jawab ini dan membebankan tanggung jawab tersebut secara tidak langsung maupun langsung kepada pihak lainnya.

3. Pada kasus ini belum pernah terjadi masalah wanprestasi yang serius, namun jika wanprestasi terjadi dan dilakukan oleh pihak Medan Selular, maka sesuai ketentuan perjanjian kerjasama yang tertulis pada point 7.2

(44)

B. Saran

Sesuai dengan kesimpulan penelitian, maka diberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Sesuai dengan asas keseimbangan dan asas kebebasan berkontrak, hendaknya perjanjian kerjasama antara PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular bukan merupakan perjanjian baku (standar), tetapi perjanjian yang dilakukan setelah terjadi kesepakatan diantara kedua belah pihak. Hal ini bertujuan untuk melaksanakan asas kebebasan berkontrak serta asas keseimbangan sesuai dengan asas perjanjian. Karena PT. Asusindo Servistama dan Medan Selular adalah pihak yang saling membutuhkan satu sama lain.

2. Dari segi tanggung jawab, seharusnya dalam suatu perjanjian, isi klausula perjanjian harus mengatur tanggung jawab secara terperinci mengenai apabila terjadi risiko dan force majeure, siapa yang menanggung risiko tersebut, apakah di tanggung secara sepihak maupun bersama-sama sehingga apabila di atur dalam klausula perjanjian, jika hal tersebut benar terjadi, para pihak akan lebih terjamin kepastian hukumnya tanpa takut bahwa pihak lain akan mencari celah dalam menghindari pertanggungjawaban atas kerugian yang terjadi. Dan tidak saling menyalahkan pihak lainnya.

(45)

dalam akta notariil dihadapan notaris agar mendapat kekuatan hukum yang pasti.

(46)

16

A. Pengertian Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian Secara Umum

Untuk membuat suatu perjanjian hendaknya kita terlebih dahulu memahami arti dari perjanjian tersebut. Apabila dilihat dari literatur banyak kita temui beraneka ragam pengertian perjanjian, di mana masing-masing dari sarjana memberikan pengertian sendiri-sendiri, hal mana pengertian tersebut dibuat oleh pakar hukum, oleh karena hal inilah kita tidak menemukan keseragaman pengertian perjanjian.

Sebelum kita lebih jauh membahas tentang perjanjian ada baiknya kita terlebih dahulu membahas mengenai perikatan, sebab seperti yang kita ketahui perjanjian itu tidak terlepas dari perikatan. Di mana disini terlihat jelas bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji pada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.12

12

R. Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan ke-21, PT. Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 1.

Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

(47)

Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena Undang-Undang“. Pasal ini seharusnya menerangkan tentang pengertian perikatan karena merupakan awal dari ketentuan hukum yang mengatur tentang perikatan. Namun, kenyataannya pasal ini hanya menerangkan tentang dua sumber lahirnya perikatan, yaitu :

a. Perjanjian; dan b. Undang-undang.

Perjanjian sebagai sumber perikatan ini, apabila dilihat dari bentuknya, dapat berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis.13

Subekti,memberikan rumusan perikatan sebagai berikut: “ Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”

Dari ketentuan ini, tidak dijelaskandefinisi perikatan, oleh karena itu para ahli memberikan rumusan tentang perikatan ini beraneka ragam. Dari hal ini para ahli memberikan rumusan masing-masing.

14

Hofman, memberikan pengertian tentang perikatan adalah : “Perikatan adalah suatu hubungan antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur/para kreditur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian itu.“15

13

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hal. 3.

14

R. Subekti, loc. cit.

15

(48)

Wan Sadjaruddin Baros, dalam bukunya Sendi Hukum Perikatan menyatakan: “Perikatan itu ialah hubungan hukum antara dua orang (pihak) atau lebih dalam harta kekayaan yang menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain.”16

Dari beberapa pendapat para sarjana di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan (verbintenis) terkandung hal-hal sebagai berikut: 17

1. Adanya hubungan hukum

2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda 3. Antara dua orang/pihak atau lebih

4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur 5. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur 6. Adanya prestasi

Setelah kita lebih mengetahui pengertian perikatan maka kita kembali pada pembahasan perjanjian, yang mana di atas telah dijelaskan bahwa perikatan bersumber pada perjanjian, dan selain perjanjian masih ada lagi sumber lain yang menerbitkan perikatan yaitu Undang-Undang.

Istilah perjanjian berasal dari bahasa inggris yaitu “contracts”.Sedangkan dalam bahasa belanda istilah perjanjian atau persetujuan disebut juga dengan “overeenkomst”.18

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan.”19

16

W.S.Baros, Sendi Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1997, hal. 12.

17

M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996, hal. 6.

18

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 3.

19

(49)

Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”20

1. M. Yahya Harahap

Untuk memahami istilah mengenai perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana, yaitu :

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi.

2. R. Subekti

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.21

3. Wirjono Prodjodikoro

Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.22

4. Hartono Suprapto

Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang lain itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.23

20

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 363.

21

R. Subekti, loc. cit.

22

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1986, hal. 9.

23

(50)

5. Abdul Kadir Muhammad

Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.24

Pengertian ini sebenarnya seharusnya menerangkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka terlihat seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian sepihak, tetapi kalau disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak.

Pengertian perjanjian juga diatur dalam Pasal 1313 Buku III KUHPerdata, yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang HukumPerdata (Burgerlijk Wetboek) menyebutkan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatuperbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satuorang lain atau lebih.”

Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain.

25

Ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian yangdiatur dalam ketentuan di atas yang membuat pengertian perjanjian menjadi luas, seperti yang

24

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 225.

25

(51)

di katakan oleh Mariam Darus Badrulzaman (dkk) dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan bahwa:

“Definisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah tidak lengkap dan terlalu luas, tidaklengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan-perbuatan didalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin yang merupakan perjanjianjuga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III, perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengankata lain dapat dinilai dengan uang.”26

Menurut Muhammad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan karena : 27

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Dapat dilihat dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan “kedua pihak saling mengikatkan diri” dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

b. Kata perbuatan “mencakup” juga tanpa consensus. Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata “persetujuan”.

26

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal. 65.

27

Damang, Perjanjian, Perikatan dan Kontrak,

(52)

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Hal ini disebabkan mencakup janji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. d. Tanpa menyebutkan tujuan. Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak

disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.

Demikian halnya menurut Suryodiningrat, bahwa definisi Pasal 1313 KUHPerdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut :28

1. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan; 2. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan

akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum);

3. Definisi Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schenking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pidak di mana para pihak saling berprestasi;

4. Pasal 1313 KUHPerdata hanya mengenal persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misalnya: perjanjian liberatoir/membebaskan, perjanjian dilapangan hukum keluarga, perjanjian kebendaan, perjanjian pembuktian).

28

(53)

Berdasarkan alasan yang dikemukankan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dari definisi di atas, telah terlihat adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebihberdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatansebelumnya atau yang mendahuluinya.29

2. Pengertian Perjanjian Kerjasama

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, di mana kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Di mana dalam kesepakatan itu, satu pihak wajib melaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati, dan pihak yang satunya berhak mendapatkan sesuai dengan apa yang telah disepakati.

Perjanjian kerjasama merupakan suatu bentuk kerjasama yang berlandaskan atas perjanjian-perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak yang sepakat untuk melakukan kerjasama.

Perjanjian kerjasama tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, perjanjian ini merupakan perjanjian yang lahir berdasarkan asas kebebasan

29

(54)

berkontrak. Meskipun tidak diatur dalam KUHPerdata, namun perjanjian kerjasama ini tetap berpedoman pada KUHPerdata. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan “Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.”

Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”.

Sedangkan menurut Subekti perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu yaitu majikan berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain yaitu buruh.

Berdasarkan Black’s Law Dictionary perjanjian kerjasama merupakan “Suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus”.30

Berdasarkan definisi perjanjian kerjasama di atas memiliki kesamaan dengan pengertian perjanjian, karena suatu perjanjian kerjasama tidak dapat dipisahkan dari syarat-syarat perjanjian yang sah menurut KUHPerdata. Dengan

30

Edy Suprapto, Artikel Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerjasama,

(55)

kata lain, perjanjanjian kerjasama memiliki dasar hukum yang sama dengan suatu perjanjian yang merupakan suatu perangkat kaidah hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara dua orang atau lebih untuk yang satu mengikat dirinya kepada yang lain, atau di antara keduanya saling mengikatkan diri yang menimbulkan hak dan kewajiban satu sama lain, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Pada dasarnya perjanjian kerjasama ini berawal dari suatu perbedaan atauketidaksamaan kepentingan diantara para pihak yang bersangkutan. Perumusanhubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan prosesnegosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupayamenciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatuyang diinginkan melalui proses tawar-menawar.31

Salah satu unsur yang terdapat dalam perjanjian kerjasama adalah adanya subjek hukum. Subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yaitu Berawal dari terjadinya perbedaan kepentingan para pihak akan dicobadipertemukan melalui adanya kesepakatan dari para pihak. Oleh karena itumelalui hubungan perjanjian perbedaan tersebut dapat diakomodir dan selanjutnyadapat dibingkai dengan sebuah perangkat hukum sehingga dapat mengikat para pihak. Mengenai sisi kepastian hukum dan keadilan justru akan tercapai apabilaperbedaan yang ada diantara para pihak dapat terakomodasi melalui suatumekanisme hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional. Perjanjian yang terbentuk dari kesepakatan para pihak ini akan bersifat mengikat dan berlaku sebagai undang-undang dan wajib dilaksanakan dengan iktikad baik.

31

(56)

para pihak yang terkait dalam perjanjian kerjasama tersebut. Ada

Referensi

Dokumen terkait

Ekosistem mangrove juga, merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis organismelainnya, sehingga hutan mangrove menyediakan keanekaragaman

Ungaran Timur secara kuantitas, Secara kuantitas kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran berbasis ICT juga mengalami peningkatan, yaitu sebelum diberikan tindakan

Peserta didik mampu menganalisis tentang penggunaan pelbagai media digital untuk penyampaian materi tertentu dalam buku

Sangat fleksibel dalam pembuatan koding program, karena sudah menggunakan konsep OOP dimana pemrograman dapat dimulai dari objek yang diinginkan tanpa harus

Hasil yang diperoleh dari perhitungan penulis dengan menggunakan bantuan program SPSS penelitian menunjukan persebaran angket serta pengolahan data-data yang

Pendekatan yang dimaksud diantaranya adalah dengan berorientasi pada industri, penguasaan material dan teknologi, psikologi dan perilaku, keseimbangan lingkungan, filosofi

menggunakan perangkat pembelajaran pada konsep daur ulang sampah terhadap hasil belajar dan keterampilan berpikir tingkat tinggi biologi di SMA. 2) Bagi siswa,

[r]