• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA BERSYARAT

DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan MA No. 356/Pid. Sus/2008)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

FRANS DANIEL J.S

NIM: 060200139

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA BERSYARAT

DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan MA No. 36/Pid. Sus/2008)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

FRANS DANIEL J.S

NIM: 060200139

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Abul Khair, SH, M. Hum NIP: 196107021989031001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum NIP: 197503072002122002 NIP: 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PENGATURAN PIDANA BERSYARAT MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DI INDONESIA ... 19

A. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia ... 19

1. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP ... 19

2. Pengaturan pidana bersyarat dalam Rancangan KUHP Nasional ... 31

B. Pedoman Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Bersyarat ... 33

1. Pertimbangan yuridis ... 33

2. Pertimbangan non yuridis ... 38

3. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana ... 41

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT DALAM KASUS KORUPSI (Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008) ... 54

A. Posisi kasus ... 54

B. Analisa kasus ... 65

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

(4)

ABSTRAK

Frans Daniel J S Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum

Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi, tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan, hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku tindak pidana korupsi juga berhak dan pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia dan bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis

didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data

sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Pidana bersyarat diatur dalam pasal 14a sampai pasal 14f KUHP. Pada hakikatnya pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok, melainkan hanya suatu cara penerapan pidana penjara, yang penjatuhannya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat dijatuhkan dalam hal: pertama, dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Syukur penulis akan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat

dan yang telah memberikan kesempatan bagi penyelesaian penulisan skripsi ini,

yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul: “Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat

dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi”.

Pelaksanaan pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak

mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta

petunjuk dari dosen pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan

baik.. Penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta

kekurangan-kekurangan, oleh karena itu diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang

bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan

dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima

kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Pidana;

3. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis

yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul

diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami

(7)

4. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing

II penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam

penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta membantu penulis dikala

mengalami kesulitan;

5. Ibu Erna Herlinda selaku Dosen Akademik penulis,dimana telah

banyak membantu penulis selama di bangku perkuliahan;

6. Untuk semua Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

terutama Dosen Jurusan Hukum Pidana;

7. Untuk orangtua yang paling saya cintai, untuk Bapak Rudy Sitorus,

SH,M.Si dan ibu Ruminta Panggabean, terima kasih buat doa dan

dukungannya serta kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama

ini dari membesarkan anakmu hingga mendapatkan gelar Sarjana

Hukum ini, hanya ucapan terima kasih dan doa yang dapat penulis

berikan;

8. Untuk adik-adik saya, Fiesta Octorina Sitorus, Firda Melda Yunita

Sitorus, dan si kecil Fany Ezra Sitorus atas bantuan dan dorongan

kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

9. Keluarga Sitorus dan Panggabean atas doa dan dukungannya;

10.Untuk anak-anak GTz yang dasyat (Andri Manurung, Christian

Sitompul, Janky Sihotang, Donris Sihaloho, Tondy Sianturi, Immanuel

Tobing, Archiman Simbolon, Raza Gurusinga, Chipnus) yang telah

banyak membantu penulis dalam hal-hal semasa kuliah dan membantu

penulis dalam penulisan skripsi ini, terima kasih sahabat-sahabatku,

(8)

11.Untuk teman-teman alumnus SMA Negeri 3 yang banyak membantu

memotifasi penulis dalam penulisan skripsi dan yang telah

memberikan semangat dan doa bagi penulis menyelesaikan skripsi ini;

12.Untuk teman-teman yang saling tolong menolong dalam komunitasnya

(Yuyun, Pekong, Puput, Yuni, Chandut, Bally, Eva, dan yang tidak

dapat disebutkan satu per satu). Terimakasih atas segala keceriaannya;

13.Untuk teman-teman seangkatan stambuk 2006 (Ruth Ginting,

David butar-butar khusunya dan semua anak grup C), terima kasih atas

doa dan dukungannya;

14.Untuk teman-teman akrabku di Markas Besar Soho (Ricky

Matondang, Egy Arjuna Ginting, Tesa, dan semua yang tidak dapat

disebutkan satu persatu) terima kasih buat semua bantuan di dalam

segala hal dan doa serta dukungannya;

15.Untuk teman-teman, kakanda-kakanda, adinda-adinda seperjuangan

GMNI Komisariat Hukum USU terima kasih buat segala pengalaman

dan doanya;

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan

dalam penyusunan skripsi ini.

Medan, Nopember 2010

Penulis,

(9)

ABSTRAK

Frans Daniel J S Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum

Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi, tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan, hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku tindak pidana korupsi juga berhak dan pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia dan bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis

didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data

sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Pidana bersyarat diatur dalam pasal 14a sampai pasal 14f KUHP. Pada hakikatnya pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok, melainkan hanya suatu cara penerapan pidana penjara, yang penjatuhannya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat dijatuhkan dalam hal: pertama, dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara

(10)
(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk

penyimpangan lainnya semakin meningkat di tengah upaya pembangunan

nasional di berbagai bidang, karena dalam kenyataannya perbuatan korupsi telah

menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat

berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya

pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan

diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan

masyarakat.1

Tindak pidana korupsi menjadi salah satu penyebab krisis

multidimensional di Indonesia. Berdasarkan Konvensi Anti-Korupsi tahun 2003

telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006,

secara tegas diatur bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang

terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial (trans-nasional), disamping

pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migran dan

penyelundupan senjata api.2

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, telah banyak dilakukan

oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim di pengadilan.

Penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap

merebaknya praktek-praktek korupsi di Indonesia, tapi pada kenyataannya

1

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Versi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 25.

2

(12)

semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula

praktek-praktek tindak pidana korupsi tersebut.

Pembahasan mengenai sebuah produk hukum suatu negara yang akan

dilakukan, maka terdapat beberapa hal yang dapat dikaji dan menarik perhatian

bagi banyak kalangan. Namun saat ini yang banyak dibicarakan dan menjadi

perhatian masyarakat adalah mengenai hukum pidana. Hukum pidana merupakan

salah satu bagian aturan hukum sebagai alat untuk melindungi masyarakat dalam

suatu negara, dalam hal ini peranan negara menjadi besar sekali. Permasalahan

dalam hukum pidana sendiri juga banyak yang dapat menjadi bahan pembahasan,

salah satunya yaitu mengenai masalah pemidanaan.

Menurut Sudarto bahwa sejarah hukum pidana pada hakikatnya adalah

sejarah dari pidana dan pemidanaan, pidana termasuk juga tindakan (maatregel,

masznahme), yang menimbulkan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak

enak oleh yang dikenai, oleh karena itu orang tidak henti-hentinya untuk mencari

dasar, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan alasan

pembenar (justification) pidana itu.3

Berdasarkan pendapat tersebut maka jelas nampak bahwa apabila akan

membahas sebuah hukum pidana, maka tidak dapat dipisahkan dari pembahasan

mengenai sanksi pidana yang dikenakan bagi para pelanggarnya. Sanksi pidana

untuk hukum pidana Indonesia dikenal dengan pidana tersebut, akan sangat

menarik untuk dikaji di Indonesia. Berkaitan dengan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) memberikan suatu kebebasan bagi aparat penegak

hukum, antara lain jaksa sebagai penuntut umum untuk menuntut seorang

3

(13)

terdakwa, yang menurutnya secara sah dan meyakinkan telah melakukan sebuah

tindakan pidana, dengan ancaman minimal yang sangat rendah, yaitu satu hari dan

ancaman maksimal tertentu sesuai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.

Ketentuan tersebut juga berlaku untuk hakim sebagai pemberi keputusan

atas suatu tindak pidana. Namun dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu

perkara, terutama perkara pidana, hakim harus mempertimbangkan banyak hal.

Pertimbangan yang harus dimiliki hakim dalam melaksanakan tugasnya

menegakkan hukum dan keadilan tidak boleh menyimpang dari aturan normatif

yang berlaku, tetapi di pihak lain ia juga harus dapat memutus dengan

memandang keadaan sosiologis dari perkara tersebut. Berdasarkan penjelasan di

atas, jelas nampak bahwa dalam melakukan penegakan hukum, tidak dapat hanya

mengandalkan komponen penegak hukum semata tetapi juga harus dikaitkan

dengan aturan hukum yang berlaku.

Keputusan seorang hakim akan dipuji dan dapat diikuti oleh para

juniornya apabila keputusan tersebut dapat mencerminkan perasaan keadilan

bangsa dan rakyat Indonesia, sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan pasal 1

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.4 Berkaitan

dengan hal tersebut, maka pengadilan sebagai lembaga yang bertugas untuk

menjatuhkan pidana harus menyadari betul, apakah pidana yang dijatuhkan itu

membawa dampak positif bagi terpidana atau tidak. Oleh karena itu, penjatuhan

pidana bukan sekedar berat ringannya pidana, akan tetapi juga pidana itu efektif

atau tidak dan pidana itu sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya dan struktural

yang hidup dan berkembang di masyarakat.

4

(14)

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana

tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok

sekaligus, pada umumnya hukuman badan dan denda. Hukuman badan berupa

pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar

pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di

masyarakat, karena tindak pidana korupsi sangat membahayakan kepentingan

bangsa dan negara.

Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku

kejahatan masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh

norma-norma di luar hukum, tampaknya masih melekat dan menjadi kendala

terhadap penegakan hukum secara konsekuen. 5 Juga otoritas hakim yang begitu

besar dalam memutuskan perkara mengakibatkan banyak terjadi disparitas

putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan

secara substansial yang tajam antara putusan hakim pengadilan yang satu dengan

yang lainnya mengenai perkara yang sama, padahal semua mengacu pada

peraturan yang sama.6

Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi,

tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum

melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk

penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan

putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan,

5

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 9.

6

(15)

hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana).7

Salah satu putusan pengadilan yang telah berkekutan hukum tetap yang

menjatuhkan pidana bersyarat pada terdakwa terlihat pada putusan Mahkamah

Agung Nomor 356/Pid.Sus/2008. Majelis hakim pada tingkat kasasi dalam kasus

ini menjatuhkan pidana bersyarat (masa percobaan) selama satu tahun enam bulan

kepada terdakwa tindak pidana korupsi. Penjatuhan pidana bersyarat kepada para

terdakwa yang didakwa dengan pasal tindak pidana korupsi ini tentunya

menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat

praktisi hukum. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan salah satu

bentuk extra ordinary crime yang seharusnya mendapatkan hukuman berat dari

pengambil keputusan, namun pemberian pidana bersyarat telah menimbulkan

persepsi lain tentang tindak pidana korupsi sebagai salah satu bentuk tindak

pidana luar biasa.

Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah

perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus

dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini

orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban

kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku kejahatan juga berhak dan

pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya,

termasuk pelaku tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi. Oleh sebab

itu maka hakim harus dapat menganalisis secara tajam perkara pidana yang

7

(16)

dihadapinya, agar dapat memecahkan persoalan tersebut secara rasional, sehingga

terhindar dari hal-hal yang bersifat merugikan kepentingan keadilan.8

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan diangkat untuk dibahas dalam penulisan skripsi

ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di

Indonesia?

2. Bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak

pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana

positif di Indonesia

b. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam

tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)

2. Manfaat

a. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana

umumnya.

8

(17)

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan

agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang pidana bersyarat

dalam tindak pidana korupsi yang diatur melalui peraturan

perundang-undangan dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia. Penelitian

ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam

kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan

yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai

suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan

dilaksanakan/ ditegakkan dalam kenyataannya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

mengenai “Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat dalam Kasus Tindak

Pidana Korupsi (Putusan MA No. 356/Pid. Sus/2008)” belum pernah dilakukan

dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli”

sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka.

Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.

Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara

ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit”

(18)

memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan

perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan

sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat,

oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya

adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.

Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai

perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu

pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh

hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang

terdapat di dalamnya.9

Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat

dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)

yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang

pelaku, dimana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum, alasan mengapa

strafbaar feit itu harus dirumuskan karena:

a. Untuk adanya suatu strafbar feit itu diisyaratkan bahwa di situ harus

terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan

undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam

itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;

9

(19)

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus

memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam

undang-undang;

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban

menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan

melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.10

2. Tinjauan Umum tentang Pengertian Pemidanaan

Istilah “Penghukuman” berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat

diartikan sebagai “menetapkan hukum ”atau“ memutuskan tentang hukumnya”

(berechten).11 Oleh Prof. Sudarto dijelaskan penghukuman berasal dari kata dasar

“hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum”, yang dalam

perkara pidana kerap kali disama artikan dengan “pemidanaan” atau pemberian/

penjatuhan pidana” oleh hakim.12

Adapun pengenaan sanksi pidana atau pemidanaan terhadap seseorang

yang melakukan tindak pidana itu sendiri adalah sebagai akibat mutlak yang harus

diterima sebagai suatu pembalasan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana

karena tidak mematuhi ketentuan undang-undang. Dasar pembenaran dari

pemidanaan itu sendiri terletak pada adanya kejahatan itu sendiri sebagai upaya

memuaskan rasa keadilan (teori absolut).13

10

Ibid, hal. 2. 11

Moeljatno, Ceramah: “Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana”, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1955), hal.7

12

Muladi, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hal. 1-2.

13

(20)

3. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan sebagaimana di sampaikan oleh Barda Nawawi Arief

dalam suatu seminar menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan tidak terlepas

dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya, yaitu “memberikan

perlindungan pada masyarakat untuk mencapai kesejahteraan” dan untuk tujuan

“ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).14

Upaya mewujudkan perlindungan kepentingan hukum masyarakat perlu

menetapkan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam daripada sanksi

yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Terutama dalam bidang penegakan

hukum sangatlah diperlukan mengingat hukum pidana yang dipandang mampu

memberikan efek jera terhadap pelanggarnya.15

Perumusan tujuan pemidanaan baru dilakukan dan tampak dalam konsep

Rancangan KUHP Nasional (1992), buku yang dirumuskan dalam Pasal 12 ayat

(1), yaitu:16

a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman

negara, masyarakat, dan penduduk.

b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota

masyarakat yang berguna.

c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Sementara itu dalam ayat (2) nya dinyatakan bahwa pemidanaan “tidak

dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”

Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas, akan jelas terlihat bahwa tujuan

pidana dan pemidanaan adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil

14 Ibid 15

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung; Alumni, 1981), hal. 78 16

(21)

dan makmur, serta mencegah terjadinya tindak kejahatan.17 Menurut pendapat

Sahetapy, bahwa sasaran utama yang dituju oleh pidana adalah “orang” (si

pembuat). Dalam pengertian “pembebasan” sebagaimana diutarakannya, yaitu

pembuat dibina sedemikian rupa sehingga si pembuat terbebas dari alam pikiran

jahat dan terbebas dari kenyataan sosial yang membelenggu.18

Tujuan pemidanaan yang bersifat pembinaan yang berorientasi pada

“orang” (pembuat) berpengaruh dalam menetapkan strategi berikutnya, yaitu

dalam kebijakan menetapkan sanksi pidana. umumnya meliputi masalah

menetapkan jenis dan jumlah berat, di mana melakukan pemilihan tersebut

berdasar pada suatu pertimbangan yang rasional.19 Sanksi hukum pidana punya

pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran

norma hukum, karena itu harus diingat bahwa, sebagai alat “social control”

fungsi hukum pidana adalah sebagai langkah akhir, artinya hukum pidana

diterapkan bila usaha-usaha lain kurang memadai.20

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa

Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam

bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti

harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur

yang disangkutpautkan dengan keuangan.21

17

Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, (Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1974), hal. 34.

18

Joko Prakoso, Hukum Penitensier Di Indonesia, (Yogyakarta; Liberty, 1988), hal. 42-43

19

Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesi, Op. cit, hal. 97 20

Sutan Remy Syahdeni, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hal. 214.

21

(22)

Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary

adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu

keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari

pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk

mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,

bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.22

Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak

mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat

publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga,

korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.

Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis,

pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya,

yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada

perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi

rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena

itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara.

22

(23)

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif

(yang disuap).

Undang-undang No. 17 Tahun 2003 merumuskan pengertian keuangan

negara sebagai berikut:

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.23

Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut

diuraikan sebagai berikut:24

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,

dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum

pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara;

d. Pengeluaran Negara;

e. Penerimaan Daerah;

f. Pengeluaran Daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak

lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang

dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada

perusahaan negara atau daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

23

Pasal 1 angka 1 UU No. 17/2003. 24

(24)

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.25

F. Metode Penelitian

Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah

dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat

mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian

skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data

yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan

itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni

merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan

permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut

juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan

sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang

dianggap pantas26.

25

Kekayaan pihak lain ini meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara daerah.

26

(25)

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil

penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang.27 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan

dengan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, seperti: seminar-seminar,

jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan

beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,

ensiklopedia dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

27

(26)

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik

koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari

media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk

peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai

berikut:28

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya

yang relevan degan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak

maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan

perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan

masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisa Data

Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian

dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif

dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan

metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang

28

(27)

berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan

yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan

Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Bab ini akan membahas tentang pengaturan pidana bersyarat

menurut hukum pidana positif di Indonesia, yang mengulas

tentang pengaturan pidana bersyarat dalam KUHP dan Rancangan

KUHP Nasional, pidana bersyarat dalam KUHP negara lain

sebagai perbandingan, dan juga membahas tentang pedoman hakim

dalam menjatuhkan pidana bersyarat.

BAB III: Bab ini akan dibahas tentang analisis yuridis terhadap pidana

bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No.

356/Pid.Sus/2008), yang akan mendiskripsikan putusan kasus dan

analisis hukum terhadap kasus.

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang

berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang

(28)

BAB II

PENGATURAN PIDANA BERSYARAT MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DI INDONESIA

A. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia 1. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP

Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam Hukum Pidana Belanda dan

kemudian hukum pidana Indonesia, merupakan dampak dari pertumbuhan

lembaga-lembaga semacam ini di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat.29

Lembaga seperti ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1887,

dengan nama probation. Melalui lembaga ini dimungkinkan untuk menunda

penjatuhan pidana dengan cara menempatkan terdakwa dalam probation dengan

pengawasan seorang probation officer.30

Lembaga probation berkembang dengan cepat, sampai akhirnya masuk ke

negara-negara lain, seperti Inggris, Perancis, dan Belgia. Hanya saja di Perancis

dan Belgia, lembaga ini berubah menjadi penundaan pelaksanaan pidana dan tidak

diperlukan probation officer untuk melaksanakan pengawasan terhadap

terpidana.31

Jadi, menurut sistem Amerika Serikat dan Inggris, hakim pada waktu

mengadili terdakwa tidak menetapkan pidana, tetapi menentukan jangka waktu

tertentu bagi terdakwa untuk berada dalam probation, dengan ketentuan atau

syarat-syarat tertentu. Agar terdakwa menepati syarat-syarat tersebut, maka ia

29

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 33. 30

Ibid. Tahun 1878 adalah saat pertama adanya peraturan hukum tentang lembaga probation di Massachussets. Cikal bakal lembaga ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1841 melalui kegiatan yang dilakukan seorang pembuat sepatu dari Boston yang bernama John Augustus.

31

(29)

diawasi oleh petugas. Apabila selama dalam probation, terdakwa melakukan

tindak pidana atau melanggar syarat lain yang ditentukan, maka ia akan diajukan

lagi ke persidangan untuk dijatuhi pidana.

Sementara pada sistem Perancis dan Belgia, hakim pada waktu mengadili

terdakwa sudah menetapkan lamanya pidana penjara yang harus dijalani, tetapi

karena keadaan-keadaan tertentu ia memutuskan untuk menunda pelaksanaan

pidana ini. Artinya pidana yang telah dijatuhkan tidak perlu dijalani, asalkan

dalam suatu waktu yang ditentukan oleh hakim, terdakwa telah memenuhi

syarat-syarat yang telah ditetapkan. Apabila dalam masa penundaan tersebut terpidana

melanggar syarat-syarat, maka pidana yang telah ditetapkan tadi harus dijalani.

Selama dalam masa penundaan, terpidana tidak dibantu oleh probation officer.32

Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia dengan staatblad 1926 No. 251

jo 486, pada bulan januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No. 172.

Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan

(Voorwardelijke Veroordeling). Namun berkaitan dengan penamaan ini juga ada

yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini itu memberi kesan

seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan

pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya

adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim.

Pidana bersyarat sendiri merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di

luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain itu terdapat penerapan sanksi pidana

lain yang di luar LP, yaitu:33

32

Ibid 33

(30)

a. Pelepasan bersyarat

b. Bimbingan lebih lanjut

c. Proses asimilasi/ integrasi

d. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak

e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau

orang tua/ wali

Pengertian pidana bersyarat itu sendiri terdapat beberapa pendapat di

kalangan para ahli hukum antara lain, yaitu P.A.F. Lamintang:34

Pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh

hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan

dalam putusannya.

Muladi menyatakan:35

Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.

R. Soesilo menyatakan:36

Pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan tentang “hukum dengan perjanjian” atau “hukuman dengan bersyarat” atau “hukuman janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada.

34

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Op. cit, hal. 136. 35

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op. cit, hal. 195-196. 36

(31)

Selain mengenai pengertian pidana bersyarat di atas, Sosilo juga

berpendapat bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini adalah untuk

memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia

memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak

pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat-syarat) yang telah ditentukan oleh

hakim kepadanya.37

Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat

pada:38

Pasal 14a ayat (1):

Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula di kemudian hari ada putusan hakim yangmenentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat-syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.

Pasal 14b KUHP

(1) Dalam perkara kejahatan dan pelanggara yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka percobaan itu selama-lamanya tiga tahun dan perkara pelanggaran yang lain selama-lamanya dua tahun.

(2) Masa percobaan itu mulai, segera putusan itu sudah menjadi tetap dan diberitahukan kepada orang yang dipidana menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang.

(3) Masa percobaan itu tidak dihitung, selama orang yang dipidana itu ditahan dengan sah.

Pasal 14c ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut :

(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa

37

Ibid 38

(32)

percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu dalam waktu yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang daripada masa percobaan itu.

(2) Dalam hal menjatuhkan pidana, baik pidana penjara yang lamanya lebih dari tiga bulan, maupun pidana kurungan karana salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka pada perintahnya itu hakim boleh mengadakan syarat khusus yang lain pula tentang kelakuan orang yang dipidana itu, yang harus dicukupinya dalam masa percobaan itu atau dalam sebagian masa itu yang akan ditentukan pada perintah itu.

(3) Segala janji itu tidak boleh mengurangkan kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik.

Pasal 14d

(1) Pengawasan atas hal yang mencukupi tidaknya segala janji itu diserahkan kepada pegawai negeri yang akan menyuruh menjalankan pidana itu, jika sekiranya kemudian hari diperintahkan akan menjalankannya.

(2) Jika dirasanya beralasan, maka dalam perintahnya, hakim boleh memberi perintah kepada sebuah lembaga yang bersifat badan hukum dan berkedudukan di daerah Republik Indonesia atau kepada orang yang memegang sebuah lembaga yang berkedudukan di situ atau kepada seorang pegawai neeri istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang dipidana itu tentang mencukupi syarat khusus itu.

Pasal 14e KUHP

Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang tersebut dalam ayat pertama pasal 14d, maupun atas permintaan orang yang diberi putusan mengubah syarat khusus yang ia telah tetapkan atau waktu berlaku syarat itu diadakannya dalam masa percobaan, dapat menyerahkan hal memberi bantuan itu kepada orang lain daripada yang sudah diwajibkan atau dapat memperpanjang masa percobaan itu satu kali. Tambahan itu tidak boleh lebih dari seperdua waktu yang selama-lamanya dapat ditentukan untuk masa percobaan itu.

Pasal 14f KUHP

(33)

diubah lagi karena tindak pidana yang dilakukannya sebelum masa percobaan itu mulai. Dalam hal memberi teguran itu hakim menentukan pula caranya menegur.

(2) Perintah menjalankan pidana tidak lagi dapat diberikan, jika masa percobaan sudah habis, kecuali jika sebelum habis masa percobaan itu orang yang dipidana tersebut dituntut karena melakukan tindak pidana, dan kesudahan tuntutan itu orangnya dipidana menurut putusan yang tak dapat dirubah lagi. Dalam hal itu boleh juga perintah akan mejalankan pidananya diberikan dalam dua bulan sesudah putusan pidana orang itu menjadi tak dapat dirubah lagi.

Pasal dalam KUHP tersebut oleh Muladi disimpulkan menjadi persyaratan

dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, yaitu antara lain:39

a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih

dari 1 (satu) tahun. Jadi dalam hal in ipidana bersyarat dapat dijatuhkan

dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin

menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, sehingga yang menentukan

bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelaku

tindak pidana tersebut, tetap pada pidana y ang dijatuhkan terhadap si

terdakwa, dari penjelasan tersebut nampak bahwa pidana bersyarat

dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada

saat ia hendak memberi pidana satu tahun, maka hakim tersebut memiliki

hak untukmemberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut, akan

tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi

secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat

dijatuhkan pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain:

1) Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negar aapabila

menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa

39

(34)

pidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan

terpidana

2) Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap sebagai

perkara mengenai penghasilan negara

3) Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan

dengan pidana kurungan

Selain ketiga hal di atas, sebagai pengeculian tidak dapat dijatuhkannya

pidana bersyarat, terdapat juga pengecualian lain mengenai lamanya waktu satu

tahun juga dapat disimpangi, yaitu dengan masa percobaan selama tiga tahun

namun bagi kejahatan dan pelanggaran tertentu, yaitu

1) Perbuatan merintangi lalu lintas atau mengganggu ketertiban atau

keamanan bagi orang-orang lain ataupun melakukan sesuatu, dalam

hal ini 40

2) Perbuatan meminta-minta pemberian di depan umum, baik dilakukan

oleh sendiri ataupun oleh tiga orang atau lebih secara bersama-sama

dan umur mereka sudah lebih dari enam belas tahun.41

3) Perbuatan berkeliaran kemana-mana tanpa memiliki mata pencaharian,

perbuatan tersebut dilakukan oleh sendiri atau tiga orang attau lebih

dan usia mereka di attas nema belas tahun dan dalam hal ini perbuatan

tersebut adalah bergelandangan.42

40

Pasal 492 KUHP 41

Pasal 504 KUHP 42

(35)

4) Perbuatan sebagai germo dengan mengambil keuntungan dari

perbuatan susila oleh seorang wanita.43

5) Perbuatan berada di jalan umum dalam keadaan mabuk.44

b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubngan dengan pidana kurungan,

dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda,

mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam

pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan

dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat

satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan

pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat

apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin

dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat

dari pidana pokok yang dijatuhkan.

c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat

dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran

denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa.

Beberapa hal yang dikemukakan di atas adala menyangkut persyaratan

dapat dan tidak dapatnya dijatuhkan pidana bersyarat. Selain itu juga perlu

diketahui bahwa masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut

mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap dan pasti (pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri

telah diberitahukan kepaa terpidaan sesuai dengan tata tauran hukum yang sah,

apabila mengacu pada Staatblad tahun 1926 Nomor 251 jo 486 mengenai aturan

43

Pasal 506 KUHP 44

(36)

pidana bersyarat (regeling van de voorwaardelijke veroordeling) itu sendiri

bahwa dalam pasal 1 menyatakan:45

ditentukan putusan pengadilan yang berisi tentang perintah pidana bersyarat setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan pengadilan, secepat mungkin harus diberitahukan kepada terpidana secara pribadi dan menjelaskan mengenai isi dari putusan tersebut, dengan menyerahkan suatu pemberitahuan mengenai pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dan mengenai semua isi keputusan yang berkenaan dengan perintah tersebut.

Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu

mempertimbangkan pendapat Muladi yang memberikan persyaratan tambahan

untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang

terbukti berbuat, antara lain:46

a. Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah melakukan

tindak pidana lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku

b. Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun)

c. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu

besar

d. Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan

menimbulkan kerugian yang besar

e. Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain

yang dilakukan dengan intensitas yang besar

f. Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat

dijadikan dasar memaafkan perbuatannya

g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut

45

Staatblad tahun 1926 Nomor 251 46

(37)

h. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi

kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan

akibat perbuatannya

i. Tindak pidaan tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak

mungkin terulang lagi

j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan

melakukan tindak pidana yang lain

k. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang

besar, baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya

l. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang

bersifat non-institusional

m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga

n. Tindak pidana terjadi karena kealpaan

o. Terdakwa sudah sangat tua

p. Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa

q. Khusus untuk terdakwa di bawah umur, hakim kurang yakin akan

kemampuan orang tua untuk mendidik.

Berkaitan dengan pelaku yang dikenai pidana bersyarat, apabila dala

mproses pemeriksaan terpidana bersyarat dikenai penahanan (perampasan

kemerdekaan), maka masa percobaan terhadap terpidana tersebut tidak berlaku

pada saat selama terpidana tersebut dirampas kemerdekaannya.47 Bagi pelaku

tindak pidana yang dijatuhi pidana bersyarat, hakim dapat memberikan

syarat-syarat khusus, selain daripada syarat-syarat umum yang telah disebutkan di atas, syarat-syarat

47

(38)

khusus yang dapat dijatuhkan hakim tersebut seperti pembebanan ganti kerugian

terhadap korban berkaitan dengan akibat yang timbul dari perbuatan pelaku yang

telah melanggar hukum, pembebanan ganti kerugian tersebut menyangkut

sebagian ataupun seluruh kegiatan yang ditimbulkan,48 akan tetapi persyaratan

khusus yang dapat dijatuhkan oleh hakim tersebut tidak boleh membatasi

kemerdekaan terpidana untuk beragama dan kebebasannya menurut

ketatanegaraan.

Seseorang yang dikenai pidana bersyarat apabila melakukan perbuatan

yang dapat dihukum dan hukuman yang diterimanya sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap, ataupun jika si terpidana tidak mentaati serta melanggar syarat

khusus yang telah dijatuhkan kepadanya, maka hakim yang mejatuhkan pidana

bersyarat tersebut dapat memerintahkan agar hukuman sebagai konsekuensi

pidana bersyarat tersebut dilaksankaan atau memberi peringatan terhukum atas

perbuatan yang telah dilakukan.

Berdasarkan pengertian serta pengaturan pidana bersyarat di atas, maka

Muladi memberikan pendapat mengenai manfaat-manfaat dari pidana bersyarat

tersebut antara lain:49

a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan

kebebasan individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta

memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap

pelanggaran hukum lebih lanjut

48

Pasal 14c ayat (1) 49

(39)

b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap

falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan

antara narapidana dengan masyarakat secara normal

c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat

negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat

usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat

d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh

masyarakat untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna

e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari

penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka

yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana

f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang

bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan

khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan

pengimbalan.

2. Pengaturan pidana bersyarat dalam Rancangan KUHP Nasional

Rancangan Undang-undang Hukum Pidana menggunakan istilah pidana

pengawasan untuk menggantikan istilah pidana bersyarat ini. Adapun tentang

pidana Pengawasan sebagaimana diatur dalam RUU-KUHP 2008, yakni;

Pasal 77 RUU KUHP“Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana

pengawasan.”

(40)

(1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan

pribadi dan perbuatannya.

(2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada (1) dijatuhkan untuk

paling lama tiga tahun.

(3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat: a)

terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b) terpidana dalam waktu

tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti

seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oelh tindak pidana yang

dilakukan; dan/atau c) terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak

melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama

dan kemerdekaan berpolitik.

(4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal

Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM.

(5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai

Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum

dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk

memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampui

maksmum dua kali masa pengawasan yang belum dijalani.

(6) Jika dalam pengawasan terpidana menunjukan kelakuan baik, maka Balai

Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum

dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk

memperpendek masa pengawasannya.

(7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan

(41)

Pasal 79 RUU KUHP.

(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak

pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana

penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan.

(2) jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda

dan dilaksanakn kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana

penjara.”

Pasal 121 RUU KUHP

Ketentuan mengenai pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dala

Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 berlaku juga terhadap pidana pengawasaan

B. Pedoman Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Bersyarat

Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, hakim

membuat pertimbangan-pertimbangan. Dalam menjatuhkan pidana bersyarat

terhadap pelaku tindak pidana korupsi, hakim cenderung lebih banyak

menggunakan pertimbangan yang bersifat yudiris dibandingkan yang bersifat

non-yudiris.

1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang

didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh

undangundang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.

Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:

a. Dakwaan jaksa penuntut umum.

b. Keterangan saksi.

(42)

d. Barang-barang bukti.

e. Pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi.

ad.a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah

pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Dakwaan

berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu

dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2)

KUHAP).

Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang

dapat disusun tunggal, kumulatif, alternatif maupun subsidair.50 Dakwaan disusun

secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan

saja. Namun, apabila lebih dari satu perbuatan dalam hal ini dakwaan disusun

secara kumulatif. Oleh karena itu dalam penyusunan dakwaan ini disusun sebagai

dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Selanjutnya dakwaan alternatif

disusun apabila penuntut umum ragu untuk menentukan peraturan hukum pidana

yang akan diterapkan atas suatu perbuatan yang menurut pertimbangannya telah

terbukti. Dalam praktek dakwaan alternatif tidak dibedakan dengan dakwaan

subsidair karena pada umumnya dakwaan alternatif disusun penuntut umum

menurut bentuk subsidair yakni tersusun atas primair atau subsidair. Dakwaan

penuntut umum sebagai bahan pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan

putusan.

ad.b. Keterangan Saksi

Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184

50

(43)

KUHAP. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus disampaikan dalam

sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.

Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang

merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian

orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini

dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah de auditu testimonium.51

Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. Oleh

karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian itu menjadi

pertimbangan dalam putusannya. Untuk itu sedini mungkin harus diambil

langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya langsung kepada saksi

bahwa apakah yang dia terangkan itu merupakan suatu peristiwa pidana yang dia

dengar, dia lihat dan dia alami sendiri. Apabila ternyata yang diterangkan itu suatu

peristiwa pidana yang tidak dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak dia alaminya

sendiri sebaiknya hakim membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya

tidak perlu lagi didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu.

Ad.c. Keterangan Terdakwa

Menurut Pasal 184 KUHAP butir e. keterangan terdakwa digolongkan

sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di

sidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang

dia alami sendiri.52 Dalam praktek keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam

bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap

dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi.

51

SM. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita), hal. 75. 52

(44)

Keterangan juga merupakan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan oleh

penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum. Keterangan terdakwa dapat

meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa

pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian,

keterangan terdakwa yang dinyatakan dalam bentuk penolakan atau penyangkalan

sebagaimana sering dijumpai dalam praktek persidangan, boleh juga dinilai

sebagai alat bukti.

Ad.d. Barang-barang Bukti

Pengertian barang-barang bukti yang dibicarakan di sini adalah semua

benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di

persidangan yang meliputi:53

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian

diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak

pidana.

b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana

atau untuk mempersiapkan tindak pidana.

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak

pidana.

d. Benda khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk dalam alat

bukti karena menurut KUHAP menetapkan hanya lima macam alat bukti yaitu

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

53

(45)

Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti namun penuntut umum

menyebutkan barang bukti itu didalam surat dakwaannya yang kemudian

mengajukannya kepada hakim dalam pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun

kepada saksi bahkan bila perlu hakim membuktikannya dengan membacakannya

atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan

selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.54

Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan

menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin

apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.

Ad.e. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi

Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang

dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula

dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum

sebagai ketentuan hukum tindak pidana korupsi yang dilanggar oleh terdakwa.

Dalam persidangan, pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana

korupsi itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Penuntut umum dan

hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti

tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang

dirumuskan dalam pasal undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Apabila

ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang

dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan

perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya.

54

(46)

Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP salah satu yang harus dimuat dalam

surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang

menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum

menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keseluruhan

putusan hakim yang diteliti oleh penulis, memuat pertimbangan tentang

pasal-pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilanggar

oleh terdakwa. Tidak ada satu putusanpun yang mengabaikannya. Hal ini

dikarenakan pada setiap dakwaan penuntut umum, pasti menyebutkan pasal-pasal

yang dilanggar oleh terdakwa, yang berarti fakta tersebut terungkap di

persidangan menjadi fakta hukum.

2. Pertimbangan non yuridis

Korupsi yang telah merajalela mempunyai dampak yang merugikan dan

merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

Kekayaan negara yang dikorupsi sangat besar. Hal ini berarti, jika tidak terjadi

korupsi terhadap kekayaan negara maka kemampuan pembiayaan pembangunan

melalui APBN dapat meningkat, dan itu berarti bahwa pelaksanaan pembangunan

di berbagai sektor dapat lebih ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan

pemberantasan kemiskinan dan pembiayaan sektor yang bersfat strategis, seperti

sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian akan dapat mendongkrak

peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada masa depan dan diharapkan dapat

berimbas pada peningkatan produktivitas secara nasional. Di samping kerugian

material juga terjadi kerugian yang bersifat immaterial, yaitu citra dan martabat

bangsa Indonesia di dunia internasional. Predikat Indonesia sebagai negara yang

Referensi

Dokumen terkait

Pada tabel simulasi Epanet menunjukkan Junc dedepan nama tempat, misalnya Junc UKM berarti titik yang berada pada gedung UKM dengan elevasi 117,88 m memiliki tekanan 43,12

6. PLTU menghasilkan limbah yang dapat mencemari perairan di sekitar pembangkit.. 8) PLTU adalah pembangkit yang menggunakan uap untuk memutar turbinnya yang akan menggerakkan

Agar siswa dapat menguasai pembelajaran IPA, dalam proses pembelajaran harus didukung oleh kegiatan lain yang tidak hanya mendengarkan guru maupun membaca buku

Wahuta (nama jabatan) dari Lbur Putih ada 2 orang yaitu Si Guna dan Si Dgi, mereka meneri- ma emas 8 masa dan pakaian ahsit 2 pasang; isterinya menerima emas 4 misa dan kain

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji problematika guru geografi pada materi penginderaan jauh dan SIG. Metode yang digunakan adalah metode

Bentoel Internasional Investama Tbk dapat dilihat bahwa ROA telah menunjukkan hasil yang baik sedangkan EVA pada kedua perusahaan tersebut menunjukkan hasil

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan pengembangan media pembelajaran berbasis website interaktif sehingga menghasilkan produk berupa media

Menurut hasil perhitungan statistik, diantara keempat variabel yang mempunyai pengaruh signifikan, ternyata pemasok merupakan variabel yang mempunyai pengaruh dominan dan