ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA BERSYARAT
DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan MA No. 356/Pid. Sus/2008)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
FRANS DANIEL J.S
NIM: 060200139
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA BERSYARAT
DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI
(Studi Putusan MA No. 36/Pid. Sus/2008)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
FRANS DANIEL J.S
NIM: 060200139
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Abul Khair, SH, M. Hum NIP: 196107021989031001
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum NIP: 197503072002122002 NIP: 197302202002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian ... 14
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II PENGATURAN PIDANA BERSYARAT MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DI INDONESIA ... 19
A. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia ... 19
1. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP ... 19
2. Pengaturan pidana bersyarat dalam Rancangan KUHP Nasional ... 31
B. Pedoman Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Bersyarat ... 33
1. Pertimbangan yuridis ... 33
2. Pertimbangan non yuridis ... 38
3. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana ... 41
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT DALAM KASUS KORUPSI (Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008) ... 54
A. Posisi kasus ... 54
B. Analisa kasus ... 65
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 73
ABSTRAK
Frans Daniel J S Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum
Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi, tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan, hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku tindak pidana korupsi juga berhak dan pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia dan bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis
didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through
judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data
sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
Pidana bersyarat diatur dalam pasal 14a sampai pasal 14f KUHP. Pada hakikatnya pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok, melainkan hanya suatu cara penerapan pidana penjara, yang penjatuhannya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat dijatuhkan dalam hal: pertama, dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Syukur penulis akan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat
dan yang telah memberikan kesempatan bagi penyelesaian penulisan skripsi ini,
yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul: “Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat
dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi”.
Pelaksanaan pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak
mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta
petunjuk dari dosen pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan
baik.. Penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta
kekurangan-kekurangan, oleh karena itu diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang
bersifat membangun di masa yang akan datang.
Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima
kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan;
2. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana;
3. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis
yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul
diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami
4. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing
II penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam
penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta membantu penulis dikala
mengalami kesulitan;
5. Ibu Erna Herlinda selaku Dosen Akademik penulis,dimana telah
banyak membantu penulis selama di bangku perkuliahan;
6. Untuk semua Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
terutama Dosen Jurusan Hukum Pidana;
7. Untuk orangtua yang paling saya cintai, untuk Bapak Rudy Sitorus,
SH,M.Si dan ibu Ruminta Panggabean, terima kasih buat doa dan
dukungannya serta kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama
ini dari membesarkan anakmu hingga mendapatkan gelar Sarjana
Hukum ini, hanya ucapan terima kasih dan doa yang dapat penulis
berikan;
8. Untuk adik-adik saya, Fiesta Octorina Sitorus, Firda Melda Yunita
Sitorus, dan si kecil Fany Ezra Sitorus atas bantuan dan dorongan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
9. Keluarga Sitorus dan Panggabean atas doa dan dukungannya;
10.Untuk anak-anak GTz yang dasyat (Andri Manurung, Christian
Sitompul, Janky Sihotang, Donris Sihaloho, Tondy Sianturi, Immanuel
Tobing, Archiman Simbolon, Raza Gurusinga, Chipnus) yang telah
banyak membantu penulis dalam hal-hal semasa kuliah dan membantu
penulis dalam penulisan skripsi ini, terima kasih sahabat-sahabatku,
11.Untuk teman-teman alumnus SMA Negeri 3 yang banyak membantu
memotifasi penulis dalam penulisan skripsi dan yang telah
memberikan semangat dan doa bagi penulis menyelesaikan skripsi ini;
12.Untuk teman-teman yang saling tolong menolong dalam komunitasnya
(Yuyun, Pekong, Puput, Yuni, Chandut, Bally, Eva, dan yang tidak
dapat disebutkan satu per satu). Terimakasih atas segala keceriaannya;
13.Untuk teman-teman seangkatan stambuk 2006 (Ruth Ginting,
David butar-butar khusunya dan semua anak grup C), terima kasih atas
doa dan dukungannya;
14.Untuk teman-teman akrabku di Markas Besar Soho (Ricky
Matondang, Egy Arjuna Ginting, Tesa, dan semua yang tidak dapat
disebutkan satu persatu) terima kasih buat semua bantuan di dalam
segala hal dan doa serta dukungannya;
15.Untuk teman-teman, kakanda-kakanda, adinda-adinda seperjuangan
GMNI Komisariat Hukum USU terima kasih buat segala pengalaman
dan doanya;
Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan
dalam penyusunan skripsi ini.
Medan, Nopember 2010
Penulis,
ABSTRAK
Frans Daniel J S Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum
Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi, tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan, hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku tindak pidana korupsi juga berhak dan pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia dan bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal
research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis
didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through
judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data
sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
Pidana bersyarat diatur dalam pasal 14a sampai pasal 14f KUHP. Pada hakikatnya pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok, melainkan hanya suatu cara penerapan pidana penjara, yang penjatuhannya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat dijatuhkan dalam hal: pertama, dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk
penyimpangan lainnya semakin meningkat di tengah upaya pembangunan
nasional di berbagai bidang, karena dalam kenyataannya perbuatan korupsi telah
menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat
berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat.1
Tindak pidana korupsi menjadi salah satu penyebab krisis
multidimensional di Indonesia. Berdasarkan Konvensi Anti-Korupsi tahun 2003
telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006,
secara tegas diatur bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang
terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial (trans-nasional), disamping
pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migran dan
penyelundupan senjata api.2
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, telah banyak dilakukan
oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim di pengadilan.
Penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap
merebaknya praktek-praktek korupsi di Indonesia, tapi pada kenyataannya
1
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Versi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 25.
2
semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula
praktek-praktek tindak pidana korupsi tersebut.
Pembahasan mengenai sebuah produk hukum suatu negara yang akan
dilakukan, maka terdapat beberapa hal yang dapat dikaji dan menarik perhatian
bagi banyak kalangan. Namun saat ini yang banyak dibicarakan dan menjadi
perhatian masyarakat adalah mengenai hukum pidana. Hukum pidana merupakan
salah satu bagian aturan hukum sebagai alat untuk melindungi masyarakat dalam
suatu negara, dalam hal ini peranan negara menjadi besar sekali. Permasalahan
dalam hukum pidana sendiri juga banyak yang dapat menjadi bahan pembahasan,
salah satunya yaitu mengenai masalah pemidanaan.
Menurut Sudarto bahwa sejarah hukum pidana pada hakikatnya adalah
sejarah dari pidana dan pemidanaan, pidana termasuk juga tindakan (maatregel,
masznahme), yang menimbulkan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak
enak oleh yang dikenai, oleh karena itu orang tidak henti-hentinya untuk mencari
dasar, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan alasan
pembenar (justification) pidana itu.3
Berdasarkan pendapat tersebut maka jelas nampak bahwa apabila akan
membahas sebuah hukum pidana, maka tidak dapat dipisahkan dari pembahasan
mengenai sanksi pidana yang dikenakan bagi para pelanggarnya. Sanksi pidana
untuk hukum pidana Indonesia dikenal dengan pidana tersebut, akan sangat
menarik untuk dikaji di Indonesia. Berkaitan dengan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) memberikan suatu kebebasan bagi aparat penegak
hukum, antara lain jaksa sebagai penuntut umum untuk menuntut seorang
3
terdakwa, yang menurutnya secara sah dan meyakinkan telah melakukan sebuah
tindakan pidana, dengan ancaman minimal yang sangat rendah, yaitu satu hari dan
ancaman maksimal tertentu sesuai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.
Ketentuan tersebut juga berlaku untuk hakim sebagai pemberi keputusan
atas suatu tindak pidana. Namun dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu
perkara, terutama perkara pidana, hakim harus mempertimbangkan banyak hal.
Pertimbangan yang harus dimiliki hakim dalam melaksanakan tugasnya
menegakkan hukum dan keadilan tidak boleh menyimpang dari aturan normatif
yang berlaku, tetapi di pihak lain ia juga harus dapat memutus dengan
memandang keadaan sosiologis dari perkara tersebut. Berdasarkan penjelasan di
atas, jelas nampak bahwa dalam melakukan penegakan hukum, tidak dapat hanya
mengandalkan komponen penegak hukum semata tetapi juga harus dikaitkan
dengan aturan hukum yang berlaku.
Keputusan seorang hakim akan dipuji dan dapat diikuti oleh para
juniornya apabila keputusan tersebut dapat mencerminkan perasaan keadilan
bangsa dan rakyat Indonesia, sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan pasal 1
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.4 Berkaitan
dengan hal tersebut, maka pengadilan sebagai lembaga yang bertugas untuk
menjatuhkan pidana harus menyadari betul, apakah pidana yang dijatuhkan itu
membawa dampak positif bagi terpidana atau tidak. Oleh karena itu, penjatuhan
pidana bukan sekedar berat ringannya pidana, akan tetapi juga pidana itu efektif
atau tidak dan pidana itu sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya dan struktural
yang hidup dan berkembang di masyarakat.
4
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana
tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok
sekaligus, pada umumnya hukuman badan dan denda. Hukuman badan berupa
pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar
pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di
masyarakat, karena tindak pidana korupsi sangat membahayakan kepentingan
bangsa dan negara.
Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku
kejahatan masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh
norma-norma di luar hukum, tampaknya masih melekat dan menjadi kendala
terhadap penegakan hukum secara konsekuen. 5 Juga otoritas hakim yang begitu
besar dalam memutuskan perkara mengakibatkan banyak terjadi disparitas
putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan
secara substansial yang tajam antara putusan hakim pengadilan yang satu dengan
yang lainnya mengenai perkara yang sama, padahal semua mengacu pada
peraturan yang sama.6
Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi,
tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum
melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk
penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan
putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan,
5
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 9.
6
hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana).7
Salah satu putusan pengadilan yang telah berkekutan hukum tetap yang
menjatuhkan pidana bersyarat pada terdakwa terlihat pada putusan Mahkamah
Agung Nomor 356/Pid.Sus/2008. Majelis hakim pada tingkat kasasi dalam kasus
ini menjatuhkan pidana bersyarat (masa percobaan) selama satu tahun enam bulan
kepada terdakwa tindak pidana korupsi. Penjatuhan pidana bersyarat kepada para
terdakwa yang didakwa dengan pasal tindak pidana korupsi ini tentunya
menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat
praktisi hukum. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan salah satu
bentuk extra ordinary crime yang seharusnya mendapatkan hukuman berat dari
pengambil keputusan, namun pemberian pidana bersyarat telah menimbulkan
persepsi lain tentang tindak pidana korupsi sebagai salah satu bentuk tindak
pidana luar biasa.
Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah
perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus
dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini
orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban
kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku kejahatan juga berhak dan
pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya,
termasuk pelaku tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi. Oleh sebab
itu maka hakim harus dapat menganalisis secara tajam perkara pidana yang
7
dihadapinya, agar dapat memecahkan persoalan tersebut secara rasional, sehingga
terhindar dari hal-hal yang bersifat merugikan kepentingan keadilan.8
B. Permasalahan
Permasalahan yang akan diangkat untuk dibahas dalam penulisan skripsi
ini adalah:
1. Bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di
Indonesia?
2. Bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak
pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana
positif di Indonesia
b. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam
tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)
2. Manfaat
a. Secara Teoritis
Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana
umumnya.
8
b. Secara Praktis
Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan
agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang pidana bersyarat
dalam tindak pidana korupsi yang diatur melalui peraturan
perundang-undangan dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia. Penelitian
ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan
yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai
suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan
dilaksanakan/ ditegakkan dalam kenyataannya.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian
mengenai “Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat dalam Kasus Tindak
Pidana Korupsi (Putusan MA No. 356/Pid. Sus/2008)” belum pernah dilakukan
dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli”
sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka.
Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah.
Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit”
memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan
perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti
sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan
sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat,
oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya
adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.
Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai
perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu
pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh
hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang
terdapat di dalamnya.9
Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)
yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang
pelaku, dimana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum, alasan mengapa
strafbaar feit itu harus dirumuskan karena:
a. Untuk adanya suatu strafbar feit itu diisyaratkan bahwa di situ harus
terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan
undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam
itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;
9
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam
undang-undang;
c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan
melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.10
2. Tinjauan Umum tentang Pengertian Pemidanaan
Istilah “Penghukuman” berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat
diartikan sebagai “menetapkan hukum ”atau“ memutuskan tentang hukumnya”
(berechten).11 Oleh Prof. Sudarto dijelaskan penghukuman berasal dari kata dasar
“hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum”, yang dalam
perkara pidana kerap kali disama artikan dengan “pemidanaan” atau pemberian/
penjatuhan pidana” oleh hakim.12
Adapun pengenaan sanksi pidana atau pemidanaan terhadap seseorang
yang melakukan tindak pidana itu sendiri adalah sebagai akibat mutlak yang harus
diterima sebagai suatu pembalasan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana
karena tidak mematuhi ketentuan undang-undang. Dasar pembenaran dari
pemidanaan itu sendiri terletak pada adanya kejahatan itu sendiri sebagai upaya
memuaskan rasa keadilan (teori absolut).13
10
Ibid, hal. 2. 11
Moeljatno, Ceramah: “Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana”, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1955), hal.7
12
Muladi, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hal. 1-2.
13
3. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Pemidanaan
Tujuan pemidanaan sebagaimana di sampaikan oleh Barda Nawawi Arief
dalam suatu seminar menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan tidak terlepas
dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya, yaitu “memberikan
perlindungan pada masyarakat untuk mencapai kesejahteraan” dan untuk tujuan
“ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).14
Upaya mewujudkan perlindungan kepentingan hukum masyarakat perlu
menetapkan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam daripada sanksi
yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Terutama dalam bidang penegakan
hukum sangatlah diperlukan mengingat hukum pidana yang dipandang mampu
memberikan efek jera terhadap pelanggarnya.15
Perumusan tujuan pemidanaan baru dilakukan dan tampak dalam konsep
Rancangan KUHP Nasional (1992), buku yang dirumuskan dalam Pasal 12 ayat
(1), yaitu:16
a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
negara, masyarakat, dan penduduk.
b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berguna.
c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Sementara itu dalam ayat (2) nya dinyatakan bahwa pemidanaan “tidak
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”
Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas, akan jelas terlihat bahwa tujuan
pidana dan pemidanaan adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil
14 Ibid 15
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung; Alumni, 1981), hal. 78 16
dan makmur, serta mencegah terjadinya tindak kejahatan.17 Menurut pendapat
Sahetapy, bahwa sasaran utama yang dituju oleh pidana adalah “orang” (si
pembuat). Dalam pengertian “pembebasan” sebagaimana diutarakannya, yaitu
pembuat dibina sedemikian rupa sehingga si pembuat terbebas dari alam pikiran
jahat dan terbebas dari kenyataan sosial yang membelenggu.18
Tujuan pemidanaan yang bersifat pembinaan yang berorientasi pada
“orang” (pembuat) berpengaruh dalam menetapkan strategi berikutnya, yaitu
dalam kebijakan menetapkan sanksi pidana. umumnya meliputi masalah
menetapkan jenis dan jumlah berat, di mana melakukan pemilihan tersebut
berdasar pada suatu pertimbangan yang rasional.19 Sanksi hukum pidana punya
pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran
norma hukum, karena itu harus diingat bahwa, sebagai alat “social control”
fungsi hukum pidana adalah sebagai langkah akhir, artinya hukum pidana
diterapkan bila usaha-usaha lain kurang memadai.20
4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa
Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam
bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti
harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur
yang disangkutpautkan dengan keuangan.21
17
Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, (Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1974), hal. 34.
18
Joko Prakoso, Hukum Penitensier Di Indonesia, (Yogyakarta; Liberty, 1988), hal. 42-43
19
Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesi, Op. cit, hal. 97 20
Sutan Remy Syahdeni, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hal. 214.
21
Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary
adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari
pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk
mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,
bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.22
Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak
mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat
publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga,
korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.
Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis,
pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya,
yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada
perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi
rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena
itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.
22
2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif
(yang disuap).
Undang-undang No. 17 Tahun 2003 merumuskan pengertian keuangan
negara sebagai berikut:
Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.23
Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut
diuraikan sebagai berikut:24
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada
perusahaan negara atau daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
23
Pasal 1 angka 1 UU No. 17/2003. 24
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.25
F. Metode Penelitian
Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah
dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat
mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian
skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data
yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan
itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni
merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan
perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan
permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut
juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang
dianggap pantas26.
25
Kekayaan pihak lain ini meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara daerah.
26
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data
sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari :
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang.27 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan
dengan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, seperti: seminar-seminar,
jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan
beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.
c. Bahan Hukum Tersier
Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,
ensiklopedia dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
27
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan
(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari
media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk
peraturan perundang-undangan.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai
berikut:28
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya
yang relevan degan objek penelitian.
b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak
maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan
perundang-undangan.
c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan
masalah yang menjadi objek penelitian.
4. Analisa Data
Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian
dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif
dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan
metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang
28
berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan
yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan
Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II: Bab ini akan membahas tentang pengaturan pidana bersyarat
menurut hukum pidana positif di Indonesia, yang mengulas
tentang pengaturan pidana bersyarat dalam KUHP dan Rancangan
KUHP Nasional, pidana bersyarat dalam KUHP negara lain
sebagai perbandingan, dan juga membahas tentang pedoman hakim
dalam menjatuhkan pidana bersyarat.
BAB III: Bab ini akan dibahas tentang analisis yuridis terhadap pidana
bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No.
356/Pid.Sus/2008), yang akan mendiskripsikan putusan kasus dan
analisis hukum terhadap kasus.
BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang
berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang
BAB II
PENGATURAN PIDANA BERSYARAT MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DI INDONESIA
A. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia 1. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP
Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam Hukum Pidana Belanda dan
kemudian hukum pidana Indonesia, merupakan dampak dari pertumbuhan
lembaga-lembaga semacam ini di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat.29
Lembaga seperti ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1887,
dengan nama probation. Melalui lembaga ini dimungkinkan untuk menunda
penjatuhan pidana dengan cara menempatkan terdakwa dalam probation dengan
pengawasan seorang probation officer.30
Lembaga probation berkembang dengan cepat, sampai akhirnya masuk ke
negara-negara lain, seperti Inggris, Perancis, dan Belgia. Hanya saja di Perancis
dan Belgia, lembaga ini berubah menjadi penundaan pelaksanaan pidana dan tidak
diperlukan probation officer untuk melaksanakan pengawasan terhadap
terpidana.31
Jadi, menurut sistem Amerika Serikat dan Inggris, hakim pada waktu
mengadili terdakwa tidak menetapkan pidana, tetapi menentukan jangka waktu
tertentu bagi terdakwa untuk berada dalam probation, dengan ketentuan atau
syarat-syarat tertentu. Agar terdakwa menepati syarat-syarat tersebut, maka ia
29
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 33. 30
Ibid. Tahun 1878 adalah saat pertama adanya peraturan hukum tentang lembaga probation di Massachussets. Cikal bakal lembaga ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1841 melalui kegiatan yang dilakukan seorang pembuat sepatu dari Boston yang bernama John Augustus.
31
diawasi oleh petugas. Apabila selama dalam probation, terdakwa melakukan
tindak pidana atau melanggar syarat lain yang ditentukan, maka ia akan diajukan
lagi ke persidangan untuk dijatuhi pidana.
Sementara pada sistem Perancis dan Belgia, hakim pada waktu mengadili
terdakwa sudah menetapkan lamanya pidana penjara yang harus dijalani, tetapi
karena keadaan-keadaan tertentu ia memutuskan untuk menunda pelaksanaan
pidana ini. Artinya pidana yang telah dijatuhkan tidak perlu dijalani, asalkan
dalam suatu waktu yang ditentukan oleh hakim, terdakwa telah memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan. Apabila dalam masa penundaan tersebut terpidana
melanggar syarat-syarat, maka pidana yang telah ditetapkan tadi harus dijalani.
Selama dalam masa penundaan, terpidana tidak dibantu oleh probation officer.32
Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia dengan staatblad 1926 No. 251
jo 486, pada bulan januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No. 172.
Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan
(Voorwardelijke Veroordeling). Namun berkaitan dengan penamaan ini juga ada
yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini itu memberi kesan
seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan
pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya
adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim.
Pidana bersyarat sendiri merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di
luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain itu terdapat penerapan sanksi pidana
lain yang di luar LP, yaitu:33
32
Ibid 33
a. Pelepasan bersyarat
b. Bimbingan lebih lanjut
c. Proses asimilasi/ integrasi
d. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak
e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau
orang tua/ wali
Pengertian pidana bersyarat itu sendiri terdapat beberapa pendapat di
kalangan para ahli hukum antara lain, yaitu P.A.F. Lamintang:34
Pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh
hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan
dalam putusannya.
Muladi menyatakan:35
Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.
R. Soesilo menyatakan:36
Pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan tentang “hukum dengan perjanjian” atau “hukuman dengan bersyarat” atau “hukuman janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada.
34
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Op. cit, hal. 136. 35
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op. cit, hal. 195-196. 36
Selain mengenai pengertian pidana bersyarat di atas, Sosilo juga
berpendapat bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini adalah untuk
memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia
memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak
pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat-syarat) yang telah ditentukan oleh
hakim kepadanya.37
Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat
pada:38
Pasal 14a ayat (1):
Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula di kemudian hari ada putusan hakim yangmenentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat-syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.
Pasal 14b KUHP
(1) Dalam perkara kejahatan dan pelanggara yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka percobaan itu selama-lamanya tiga tahun dan perkara pelanggaran yang lain selama-lamanya dua tahun.
(2) Masa percobaan itu mulai, segera putusan itu sudah menjadi tetap dan diberitahukan kepada orang yang dipidana menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang.
(3) Masa percobaan itu tidak dihitung, selama orang yang dipidana itu ditahan dengan sah.
Pasal 14c ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut :
(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa
37
Ibid 38
percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu dalam waktu yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang daripada masa percobaan itu.
(2) Dalam hal menjatuhkan pidana, baik pidana penjara yang lamanya lebih dari tiga bulan, maupun pidana kurungan karana salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka pada perintahnya itu hakim boleh mengadakan syarat khusus yang lain pula tentang kelakuan orang yang dipidana itu, yang harus dicukupinya dalam masa percobaan itu atau dalam sebagian masa itu yang akan ditentukan pada perintah itu.
(3) Segala janji itu tidak boleh mengurangkan kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik.
Pasal 14d
(1) Pengawasan atas hal yang mencukupi tidaknya segala janji itu diserahkan kepada pegawai negeri yang akan menyuruh menjalankan pidana itu, jika sekiranya kemudian hari diperintahkan akan menjalankannya.
(2) Jika dirasanya beralasan, maka dalam perintahnya, hakim boleh memberi perintah kepada sebuah lembaga yang bersifat badan hukum dan berkedudukan di daerah Republik Indonesia atau kepada orang yang memegang sebuah lembaga yang berkedudukan di situ atau kepada seorang pegawai neeri istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang dipidana itu tentang mencukupi syarat khusus itu.
Pasal 14e KUHP
Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang tersebut dalam ayat pertama pasal 14d, maupun atas permintaan orang yang diberi putusan mengubah syarat khusus yang ia telah tetapkan atau waktu berlaku syarat itu diadakannya dalam masa percobaan, dapat menyerahkan hal memberi bantuan itu kepada orang lain daripada yang sudah diwajibkan atau dapat memperpanjang masa percobaan itu satu kali. Tambahan itu tidak boleh lebih dari seperdua waktu yang selama-lamanya dapat ditentukan untuk masa percobaan itu.
Pasal 14f KUHP
diubah lagi karena tindak pidana yang dilakukannya sebelum masa percobaan itu mulai. Dalam hal memberi teguran itu hakim menentukan pula caranya menegur.
(2) Perintah menjalankan pidana tidak lagi dapat diberikan, jika masa percobaan sudah habis, kecuali jika sebelum habis masa percobaan itu orang yang dipidana tersebut dituntut karena melakukan tindak pidana, dan kesudahan tuntutan itu orangnya dipidana menurut putusan yang tak dapat dirubah lagi. Dalam hal itu boleh juga perintah akan mejalankan pidananya diberikan dalam dua bulan sesudah putusan pidana orang itu menjadi tak dapat dirubah lagi.
Pasal dalam KUHP tersebut oleh Muladi disimpulkan menjadi persyaratan
dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, yaitu antara lain:39
a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih
dari 1 (satu) tahun. Jadi dalam hal in ipidana bersyarat dapat dijatuhkan
dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin
menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, sehingga yang menentukan
bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelaku
tindak pidana tersebut, tetap pada pidana y ang dijatuhkan terhadap si
terdakwa, dari penjelasan tersebut nampak bahwa pidana bersyarat
dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada
saat ia hendak memberi pidana satu tahun, maka hakim tersebut memiliki
hak untukmemberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut, akan
tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi
secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat
dijatuhkan pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain:
1) Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negar aapabila
menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa
39
pidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan
terpidana
2) Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap sebagai
perkara mengenai penghasilan negara
3) Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan
dengan pidana kurungan
Selain ketiga hal di atas, sebagai pengeculian tidak dapat dijatuhkannya
pidana bersyarat, terdapat juga pengecualian lain mengenai lamanya waktu satu
tahun juga dapat disimpangi, yaitu dengan masa percobaan selama tiga tahun
namun bagi kejahatan dan pelanggaran tertentu, yaitu
1) Perbuatan merintangi lalu lintas atau mengganggu ketertiban atau
keamanan bagi orang-orang lain ataupun melakukan sesuatu, dalam
hal ini 40
2) Perbuatan meminta-minta pemberian di depan umum, baik dilakukan
oleh sendiri ataupun oleh tiga orang atau lebih secara bersama-sama
dan umur mereka sudah lebih dari enam belas tahun.41
3) Perbuatan berkeliaran kemana-mana tanpa memiliki mata pencaharian,
perbuatan tersebut dilakukan oleh sendiri atau tiga orang attau lebih
dan usia mereka di attas nema belas tahun dan dalam hal ini perbuatan
tersebut adalah bergelandangan.42
40
Pasal 492 KUHP 41
Pasal 504 KUHP 42
4) Perbuatan sebagai germo dengan mengambil keuntungan dari
perbuatan susila oleh seorang wanita.43
5) Perbuatan berada di jalan umum dalam keadaan mabuk.44
b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubngan dengan pidana kurungan,
dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda,
mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam
pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan
dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat
satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan
pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat
apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin
dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat
dari pidana pokok yang dijatuhkan.
c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat
dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran
denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa.
Beberapa hal yang dikemukakan di atas adala menyangkut persyaratan
dapat dan tidak dapatnya dijatuhkan pidana bersyarat. Selain itu juga perlu
diketahui bahwa masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut
mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan pasti (pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri
telah diberitahukan kepaa terpidaan sesuai dengan tata tauran hukum yang sah,
apabila mengacu pada Staatblad tahun 1926 Nomor 251 jo 486 mengenai aturan
43
Pasal 506 KUHP 44
pidana bersyarat (regeling van de voorwaardelijke veroordeling) itu sendiri
bahwa dalam pasal 1 menyatakan:45
ditentukan putusan pengadilan yang berisi tentang perintah pidana bersyarat setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan pengadilan, secepat mungkin harus diberitahukan kepada terpidana secara pribadi dan menjelaskan mengenai isi dari putusan tersebut, dengan menyerahkan suatu pemberitahuan mengenai pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dan mengenai semua isi keputusan yang berkenaan dengan perintah tersebut.
Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu
mempertimbangkan pendapat Muladi yang memberikan persyaratan tambahan
untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang
terbukti berbuat, antara lain:46
a. Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah melakukan
tindak pidana lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku
b. Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun)
c. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu
besar
d. Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan
menimbulkan kerugian yang besar
e. Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain
yang dilakukan dengan intensitas yang besar
f. Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat
dijadikan dasar memaafkan perbuatannya
g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut
45
Staatblad tahun 1926 Nomor 251 46
h. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi
kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan
akibat perbuatannya
i. Tindak pidaan tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak
mungkin terulang lagi
j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan
melakukan tindak pidana yang lain
k. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang
besar, baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya
l. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang
bersifat non-institusional
m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga
n. Tindak pidana terjadi karena kealpaan
o. Terdakwa sudah sangat tua
p. Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa
q. Khusus untuk terdakwa di bawah umur, hakim kurang yakin akan
kemampuan orang tua untuk mendidik.
Berkaitan dengan pelaku yang dikenai pidana bersyarat, apabila dala
mproses pemeriksaan terpidana bersyarat dikenai penahanan (perampasan
kemerdekaan), maka masa percobaan terhadap terpidana tersebut tidak berlaku
pada saat selama terpidana tersebut dirampas kemerdekaannya.47 Bagi pelaku
tindak pidana yang dijatuhi pidana bersyarat, hakim dapat memberikan
syarat-syarat khusus, selain daripada syarat-syarat umum yang telah disebutkan di atas, syarat-syarat
47
khusus yang dapat dijatuhkan hakim tersebut seperti pembebanan ganti kerugian
terhadap korban berkaitan dengan akibat yang timbul dari perbuatan pelaku yang
telah melanggar hukum, pembebanan ganti kerugian tersebut menyangkut
sebagian ataupun seluruh kegiatan yang ditimbulkan,48 akan tetapi persyaratan
khusus yang dapat dijatuhkan oleh hakim tersebut tidak boleh membatasi
kemerdekaan terpidana untuk beragama dan kebebasannya menurut
ketatanegaraan.
Seseorang yang dikenai pidana bersyarat apabila melakukan perbuatan
yang dapat dihukum dan hukuman yang diterimanya sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap, ataupun jika si terpidana tidak mentaati serta melanggar syarat
khusus yang telah dijatuhkan kepadanya, maka hakim yang mejatuhkan pidana
bersyarat tersebut dapat memerintahkan agar hukuman sebagai konsekuensi
pidana bersyarat tersebut dilaksankaan atau memberi peringatan terhukum atas
perbuatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan pengertian serta pengaturan pidana bersyarat di atas, maka
Muladi memberikan pendapat mengenai manfaat-manfaat dari pidana bersyarat
tersebut antara lain:49
a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan
kebebasan individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta
memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap
pelanggaran hukum lebih lanjut
48
Pasal 14c ayat (1) 49
b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap
falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan
antara narapidana dengan masyarakat secara normal
c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat
negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat
usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat
d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh
masyarakat untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna
e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari
penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka
yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana
f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang
bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan
khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan
pengimbalan.
2. Pengaturan pidana bersyarat dalam Rancangan KUHP Nasional
Rancangan Undang-undang Hukum Pidana menggunakan istilah pidana
pengawasan untuk menggantikan istilah pidana bersyarat ini. Adapun tentang
pidana Pengawasan sebagaimana diatur dalam RUU-KUHP 2008, yakni;
Pasal 77 RUU KUHP“Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana
pengawasan.”
(1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan
pribadi dan perbuatannya.
(2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada (1) dijatuhkan untuk
paling lama tiga tahun.
(3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat: a)
terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b) terpidana dalam waktu
tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti
seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oelh tindak pidana yang
dilakukan; dan/atau c) terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak
melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama
dan kemerdekaan berpolitik.
(4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal
Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM.
(5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai
Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum
dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk
memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampui
maksmum dua kali masa pengawasan yang belum dijalani.
(6) Jika dalam pengawasan terpidana menunjukan kelakuan baik, maka Balai
Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum
dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk
memperpendek masa pengawasannya.
(7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan
Pasal 79 RUU KUHP.
(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak
pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana
penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan.
(2) jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda
dan dilaksanakn kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana
penjara.”
Pasal 121 RUU KUHP
Ketentuan mengenai pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dala
Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 berlaku juga terhadap pidana pengawasaan
B. Pedoman Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Bersyarat
Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, hakim
membuat pertimbangan-pertimbangan. Dalam menjatuhkan pidana bersyarat
terhadap pelaku tindak pidana korupsi, hakim cenderung lebih banyak
menggunakan pertimbangan yang bersifat yudiris dibandingkan yang bersifat
non-yudiris.
1. Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh
undangundang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.
Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:
a. Dakwaan jaksa penuntut umum.
b. Keterangan saksi.
d. Barang-barang bukti.
e. Pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
ad.a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah
pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Dakwaan
berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu
dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2)
KUHAP).
Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang
dapat disusun tunggal, kumulatif, alternatif maupun subsidair.50 Dakwaan disusun
secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan
saja. Namun, apabila lebih dari satu perbuatan dalam hal ini dakwaan disusun
secara kumulatif. Oleh karena itu dalam penyusunan dakwaan ini disusun sebagai
dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Selanjutnya dakwaan alternatif
disusun apabila penuntut umum ragu untuk menentukan peraturan hukum pidana
yang akan diterapkan atas suatu perbuatan yang menurut pertimbangannya telah
terbukti. Dalam praktek dakwaan alternatif tidak dibedakan dengan dakwaan
subsidair karena pada umumnya dakwaan alternatif disusun penuntut umum
menurut bentuk subsidair yakni tersusun atas primair atau subsidair. Dakwaan
penuntut umum sebagai bahan pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan
putusan.
ad.b. Keterangan Saksi
Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184
50
KUHAP. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus disampaikan dalam
sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.
Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang
merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian
orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini
dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah de auditu testimonium.51
Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. Oleh
karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian itu menjadi
pertimbangan dalam putusannya. Untuk itu sedini mungkin harus diambil
langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya langsung kepada saksi
bahwa apakah yang dia terangkan itu merupakan suatu peristiwa pidana yang dia
dengar, dia lihat dan dia alami sendiri. Apabila ternyata yang diterangkan itu suatu
peristiwa pidana yang tidak dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak dia alaminya
sendiri sebaiknya hakim membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya
tidak perlu lagi didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu.
Ad.c. Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 184 KUHAP butir e. keterangan terdakwa digolongkan
sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di
sidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang
dia alami sendiri.52 Dalam praktek keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam
bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap
dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi.
51
SM. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita), hal. 75. 52
Keterangan juga merupakan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan oleh
penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum. Keterangan terdakwa dapat
meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa
pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian,
keterangan terdakwa yang dinyatakan dalam bentuk penolakan atau penyangkalan
sebagaimana sering dijumpai dalam praktek persidangan, boleh juga dinilai
sebagai alat bukti.
Ad.d. Barang-barang Bukti
Pengertian barang-barang bukti yang dibicarakan di sini adalah semua
benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di
persidangan yang meliputi:53
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian
diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak
pidana.
b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkan tindak pidana.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana.
d. Benda khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk dalam alat
bukti karena menurut KUHAP menetapkan hanya lima macam alat bukti yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
53
Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti namun penuntut umum
menyebutkan barang bukti itu didalam surat dakwaannya yang kemudian
mengajukannya kepada hakim dalam pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi bahkan bila perlu hakim membuktikannya dengan membacakannya
atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan
selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.54
Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan
menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin
apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi.
Ad.e. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi
Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang
dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula
dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum
sebagai ketentuan hukum tindak pidana korupsi yang dilanggar oleh terdakwa.
Dalam persidangan, pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana
korupsi itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Penuntut umum dan
hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti
tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang
dirumuskan dalam pasal undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Apabila
ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang
dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan
perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya.
54
Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP salah satu yang harus dimuat dalam
surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum
menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keseluruhan
putusan hakim yang diteliti oleh penulis, memuat pertimbangan tentang
pasal-pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilanggar
oleh terdakwa. Tidak ada satu putusanpun yang mengabaikannya. Hal ini
dikarenakan pada setiap dakwaan penuntut umum, pasti menyebutkan pasal-pasal
yang dilanggar oleh terdakwa, yang berarti fakta tersebut terungkap di
persidangan menjadi fakta hukum.
2. Pertimbangan non yuridis
Korupsi yang telah merajalela mempunyai dampak yang merugikan dan
merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Kekayaan negara yang dikorupsi sangat besar. Hal ini berarti, jika tidak terjadi
korupsi terhadap kekayaan negara maka kemampuan pembiayaan pembangunan
melalui APBN dapat meningkat, dan itu berarti bahwa pelaksanaan pembangunan
di berbagai sektor dapat lebih ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan
pemberantasan kemiskinan dan pembiayaan sektor yang bersfat strategis, seperti
sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian akan dapat mendongkrak
peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada masa depan dan diharapkan dapat
berimbas pada peningkatan produktivitas secara nasional. Di samping kerugian
material juga terjadi kerugian yang bersifat immaterial, yaitu citra dan martabat
bangsa Indonesia di dunia internasional. Predikat Indonesia sebagai negara yang