• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap Tindak Pidana Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap Tindak Pidana Korupsi"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN

ASET TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

OLEH

HARTANTA TARIGAN

097005020/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN

ASET TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

HARTANTA TARIGAN

097005020/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul

Tesis

: KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

PERAMPASAN ASET TERHADAP

TINDAK PIDANA KORUPSI

Nama Mahasiswa : Hartanta Tarigan Nomor Pokok : 097005020

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

(5)

ABSTRAK

Perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya. Korupsi menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 memandang perbuatan korupsi merupakan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan, melemahkan lembaga dan nilai demokratis, etika, keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Perbuatan korupsi juga berkaitan dengan bentuk kejahatan lain sehingga sifatnya transnasional, perkara korupsi melibatkan aset-aset sedemikian besar yang menghabiskan sebagian besar sumber daya Negara. Upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat “menikmati” hasil perbuatannya dilakukan dengan merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP jo Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Tindak pidana korupsi, dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang pengganti yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannya (Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah : Pertama, Bagaimana

kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Kedua, Bagaimana kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Yuridis normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

(6)

untuk melacak aset-aset; kedua, tindakan-tindakan penghentian perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; ketiga, penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap keempat, yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. Kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi yaitu dalam hal konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana. Perlu adanya kebijakan legislatif yang berhubungan dengan kejahatan terhadap aset hasil tindak pidana. Peninjauan masalah ini sangat penting karena kebijakan legislatif pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana atau proses penegakan hukum pidana. Perlu adanya suatu undang-undang yang mengatur secara tegas mengenai perampasan aset tindak pidana, dengan tujuan untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam

upaya penarikan atau pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personam),

sehingga walaupun tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tetap dapat dilakukan secara fair karena melalui pemeriksaan sidang pengadilan.

(7)

ABSTRACT

The development of corruption problem in Indonesia nowadays has been in a very serious condition. Corruption has been a serious problem because it has spread all over social strata. The Convention on Anti Corruption organized by the United Nation in 2003 looked at corruption as a threat to stability and security, weakening the in institution and value of democracy, ethics, justice and endangering the sustainable development and supremacy of law. The act of corruption is also related to the other form of crime that is become transnational in nature. The case of corruption involves that big asset which has wasted most of the national resources. The attempt to make the offender unable to “enjoy” the result of what he/she has done is done by seizing his/her specific property obtained through a criminal act, besides putting him/her into prison of forcing him/her to pay fine (Article 10 in connection with Article 39 of the Indonesian Criminal Codes in connection with Article 18 Paragraph 1 of Law No.31/1999 as amended with Law No.20/1001 on Elimination of Corruption). The criminal act of corruption can also be done by seizing the property whose ownership cannot be proven (by the defendant) as the one obtained through corruption (Article 38 B of Law No.31/1999 in connection with Law No.20/2001) and requiring the defendant to pay a compensation as much as the amount of the state’s financial loss resulted from his/her deed (Article 18 Paragraph 1 Letter b of Law No.31/1999 in connection with Law No.20/2001).

The research questions to be answered in this study were, first, how the policy of criminal law is applied in seizing the assets obtained through corruption, and second, what juridical constraints exist in seizing the assets obtained through corruption.

This study employed the normative juridical research method. Normative juridical method was focused on studying the application of the norms found in the positive law related to the criminal act of corruption.

(8)

8

transfer of asset from the receiving state to the victim state where the assets were illegally obtained, can be conducted. Juridical constraint exists in the process of seizing the assets in the criminal act of corruption related to the construction of the system of criminal law currently developed is still focused on the attempts to reveal the existing criminal act, to find the offender, to punish the offender with criminal sanction, especially in the forms of imprisonment. The issues related to seizing the instruments to do the criminal act and the assets obtained through criminal act have not yet become an important part in the system of criminal law. Therefore, it is essential that the legislative members make a policy related to the assets obtained from criminal act. The judicial review for this issue is very important because legislative policy is basically the most strategic initial step of all planning process of the functionalization of criminal act or the process of criminal law reinforcement. It is necessary to have a law that clearly regulates the process of seizing the assets obtained through criminal law with the purpose of overcoming the constraints existing in the attempts to return the assets through in personam mechanism that even though the accused/defendant is dead, is permanently sick, escapes or no body knows where he/she is, the seizing of assets obtained from criminal act can be done fairly because it is conducted through the trial in court.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini

dengan judul tentang “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap

Tindak Pidana Korupsi”. Tesis ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu

syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini

masih sangat jauh dari sempurna, hal ini kiranya dapat dimaklumi karena

keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang Penulis miliki.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang

sedalam-dalamnya dengan ketulusan hati kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM). Sp.A(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi

Pembimbing tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan

(10)

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara;

5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing I

tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, saran yang

konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini;

6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing

II tesis yang telah memberikan pengajaran, bimbingan, arahan, saran demi

tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini;

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, M.Hum dan Bapak Dr. Hasim Purba, SH,

M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah memberikan arahan dan masukan

dalam penyempurnaan tesis ini;

8. Para Guru Besar dan Para Staf Pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama mengikuti proses

perkuliahan;

9. Seluruh staff sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, atas bantuan dan

informasinya yang diberikan kepada Penulis dalam proses penyelesaian

perkuliahan sampai kepada penyelesaian tesis ini.

10. Penghargaan dan terima kasih yang tulus dan setinggi-tingginya kepada

Ayahanda Sabar Tarigan Sibero, SH dan Ibunda tercinta Rosmawaty Br

(11)

11

diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tidak

lupa juga terima kasih kepada Kakakku dr. Sri Setiana Tarigan, adikku

tersayang Irveb Imanuel Tarigan, SH dan Mita Florina Tarigan, yang selama ini

telah mendukung dan menyayangi Penulis.

11. Teman-teman kuliah di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Pak Cibro, Nancy, Lidya, Claudya,

Kak Hotlarisda dan juga rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuan tulus yang tak terlupakan.

Akhirnya terlepas dari segala kekurangan yang ada penulis mengharapkan

kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima Kasih.

Medan, Juni 2011

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Hartanta Tarigan

Tempat/Tanggal Lahir : Kudus, 09 September 1985 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jalan Bunga Melur V No. 2 Pasar III Tanjung Sari Medan

Pendidikan : SD Swasta Katolik Assisi Tamat Tahun 1998 SMP Swasta Katolik Assisi Tamat Tahun 2001 SMA Swasta Cahaya Tamat Tahun 2004

Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2008

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 13

1. Kerangka Teori ... 13

2. Kerangka Konsepsional ... 20

G. Metode Penelitian ... 25

1. Jenis Penelitian ... 25

2. Sumber Data ... 26

3. Teknik Pengumpulan Data ... 27

4. Analisis Data ... 28

BAB II : KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI... 29

(14)

B. Pendekatan Penal Policy Dalam Perampasan Aset

Hasil Tindak Pidana Korupsi ... 44

C. Pengembalian Aset Melalui Jalur Pidana ... 72

1. Tahap Pertama, Pelacakan Aset ... 74

2. Tahap Kedua, Pembekuan Atau Perampasan Aset ... 91

3. Tahap Ketiga, Penyitaan Aset-Aset ... 101

4. Tahap Keempat, Pengembalian Dan Penyerahan Aset-Aset Kepada Negara Korban ... 108

BAB III : KENDALA YURIDIS DALAM PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA ... 116

A. Keadaan Peraturan Perundang-Undangan Tindak Pidana Korupsi ... 126

B. Dilema Beban Pembuktian Terbalik ... 138

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 168

A. Kesimpulan ... 168

B. Saran ... 170

(15)

ABSTRAK

Perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya. Korupsi menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 memandang perbuatan korupsi merupakan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan, melemahkan lembaga dan nilai demokratis, etika, keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Perbuatan korupsi juga berkaitan dengan bentuk kejahatan lain sehingga sifatnya transnasional, perkara korupsi melibatkan aset-aset sedemikian besar yang menghabiskan sebagian besar sumber daya Negara. Upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat “menikmati” hasil perbuatannya dilakukan dengan merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP jo Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Tindak pidana korupsi, dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang pengganti yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannya (Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).

Permasalahan di dalam penelitian ini adalah : Pertama, Bagaimana

kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Kedua, Bagaimana kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Yuridis normatif yaitu difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

(16)

untuk melacak aset-aset; kedua, tindakan-tindakan penghentian perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; ketiga, penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan tersebut baru dapat dilaksanakan tahap keempat, yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. Kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana korupsi yaitu dalam hal konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan saat ini masih difokuskan pada upaya untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana, terutama pidana badan baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Masalah penyitaan dan perampasan hasil tindak pidana dan instrumen tindak pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana. Perlu adanya kebijakan legislatif yang berhubungan dengan kejahatan terhadap aset hasil tindak pidana. Peninjauan masalah ini sangat penting karena kebijakan legislatif pada dasarnya merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana atau proses penegakan hukum pidana. Perlu adanya suatu undang-undang yang mengatur secara tegas mengenai perampasan aset tindak pidana, dengan tujuan untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam

upaya penarikan atau pengembalian aset melalui mekanisme pidana (in personam),

sehingga walaupun tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya, penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana tetap dapat dilakukan secara fair karena melalui pemeriksaan sidang pengadilan.

(17)

ABSTRACT

The development of corruption problem in Indonesia nowadays has been in a very serious condition. Corruption has been a serious problem because it has spread all over social strata. The Convention on Anti Corruption organized by the United Nation in 2003 looked at corruption as a threat to stability and security, weakening the in institution and value of democracy, ethics, justice and endangering the sustainable development and supremacy of law. The act of corruption is also related to the other form of crime that is become transnational in nature. The case of corruption involves that big asset which has wasted most of the national resources. The attempt to make the offender unable to “enjoy” the result of what he/she has done is done by seizing his/her specific property obtained through a criminal act, besides putting him/her into prison of forcing him/her to pay fine (Article 10 in connection with Article 39 of the Indonesian Criminal Codes in connection with Article 18 Paragraph 1 of Law No.31/1999 as amended with Law No.20/1001 on Elimination of Corruption). The criminal act of corruption can also be done by seizing the property whose ownership cannot be proven (by the defendant) as the one obtained through corruption (Article 38 B of Law No.31/1999 in connection with Law No.20/2001) and requiring the defendant to pay a compensation as much as the amount of the state’s financial loss resulted from his/her deed (Article 18 Paragraph 1 Letter b of Law No.31/1999 in connection with Law No.20/2001).

The research questions to be answered in this study were, first, how the policy of criminal law is applied in seizing the assets obtained through corruption, and second, what juridical constraints exist in seizing the assets obtained through corruption.

This study employed the normative juridical research method. Normative juridical method was focused on studying the application of the norms found in the positive law related to the criminal act of corruption.

(18)

8

transfer of asset from the receiving state to the victim state where the assets were illegally obtained, can be conducted. Juridical constraint exists in the process of seizing the assets in the criminal act of corruption related to the construction of the system of criminal law currently developed is still focused on the attempts to reveal the existing criminal act, to find the offender, to punish the offender with criminal sanction, especially in the forms of imprisonment. The issues related to seizing the instruments to do the criminal act and the assets obtained through criminal act have not yet become an important part in the system of criminal law. Therefore, it is essential that the legislative members make a policy related to the assets obtained from criminal act. The judicial review for this issue is very important because legislative policy is basically the most strategic initial step of all planning process of the functionalization of criminal act or the process of criminal law reinforcement. It is necessary to have a law that clearly regulates the process of seizing the assets obtained through criminal law with the purpose of overcoming the constraints existing in the attempts to return the assets through in personam mechanism that even though the accused/defendant is dead, is permanently sick, escapes or no body knows where he/she is, the seizing of assets obtained from criminal act can be done fairly because it is conducted through the trial in court.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian tentang kejahatan telah menjadi pembicaraan sepanjang sejarah

kehidupan. Kejahatan dikatakan sebagai masalah tua, setua dengan peradaban

manusia. Kajian kejahatan ini harus didekati multidisiplin, mengingat kejahatan

mempunyai dimensi sosial dan dimensi kemanusiaan, serta berkembang cepat seiring

perkembangan masyarakat.1 Kehidupan ekonomi antara satu negara dengan negara

lain semakin saling tergantung, sehingga ketentuan hukum di bidang perdagangan

internasional dan bisnis transnasional semakin diperlukan. Dahulu ada semacam

adagium yang menyatakan makin miskin suatu bangsa semakin tinggi tingkat

kejahatan yang terjadi. Sekarang adagium ini hanya berlaku bagi kejahatan

konvensional seperti perampokan, pencurian, penipuan, penggelapan dan lain-lain.2

Kejahatan sekarang menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi juga

menimbulkan kejahatan bentuk baru yang tidak kurang bahaya dan besarnya korban

yang diakibatkannya. Indonesia dewasa ini sudah dilanda kriminalitas kontemporer

yang cukup mengancam lingkungan hidup, sumber energi, dan pola-pola kejahatan di

bidang ekonomi seperti kejahatan bank, kejahatan komputer, penipuan terhadap

konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan

1

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 1-2.

2

(20)

dijajakan lewat advertensi secara besar-besaraan, dan berbagai pola kejahatan

korporasi yang berorientasi lewat penetrasi dan penyamaran.3 Kejahatan sebagai

kegiatan yang merugikan masyarakat dan mempunyai dampak bagi sejumlah individu

dan menyebabkan ketidaktentuan di masyarakat. Untuk itu perlu sanksi baik yang

berupa sanksi phisik, sanksi moral, sanksi politik maupun sanksi agama.4

Perkembangan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dewasa ini baik

dalam batas suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain

semakin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi,

penyuapan (bribery), perbankan, dan tindak pidana pencucian uang yang

keseluruhannya dapat dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih (white collar

crime).5

Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan

ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang

lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk juga Indonesia.

3

Ibid.

4

Alvi Syahrin, Hukum Yang Mewujudkan Kebahagiaan, http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/hukum-yang-mewujudkan-kebahagian.html, diakses terakhir tanggal 24 Januari 2011.

5

Lihat Sutherland dalam Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: BookTerrace & Library, 2005), hal 26, bahwa secara konseptual white collar crime adalah suatu “crime commited by a person of respectability and hig social status in the course of his occupation”. Lihat juga Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 57, Sutherland memberikan pengertian white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi dan terhormat dan melakukan kejahatan tersebut dalam kaitannya dengan pekerjaannya (crime commited by a person of respectability and hig social status in the course of his occupation). Ada beberapa alasan mengapa kejahatan yang termasuk white collar crime harus mendapat perhatian serius :

1. Ada paradigma baru bahwa kausa kejahatan itu tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi bisa juga dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi.

2. Perluasan subjek hukum pidana.

(21)

Perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah demikian parahnya dan

menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah menjangkit dan menyebar ke

seluruh lapisan masyarakat. Pada masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan

pejabat atau pegawai negeri yang telah menyalahgunakan keuangan negara6, dalam

perkembangannya saat ini masalah korupsi juga telah melibatkan anggota legislatif

dan yudikatif, para banker dan konglomerat, serta juga korporasi. Hal ini berdampak

membawa kerugian yang sangat besar bagi keuangan negara7. Saat ini orang

sepertinya tidak lagi merasa malu menyandang predikat tersangka kasus korupsi

sehingga perbuatan korupsi seolah-olah sudah menjadi sesuatu yang biasa/lumrah

untuk dilakukan.8

Keberanian dan kelebihan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi

dijadikan modal guna memuluskan perbuatan dan keingingan dalam mengambil uang

6

Lihat Soerjono Soekanto dalam Marwan Effendy, Penanggulangan Korupsi Secara Integral Dan Sistemik, Disampaikan Pada Kuliah Umum di Universitas Sumatera Utara, Medan, 20 Januari 2011, hal. 10, bahwa gejala korupsi itu muncul ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum dan norma-norma lainnya, sehingga dari perbuatannya tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara serta orang perorangan atau masyarakat. Lihat juga, Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 junto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1, Lord Acton pernah membuat sebuah ungkapan yang menghubungkan antara : “korupsi” dengan “kekuasaan”, yakni “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, bahwa ‘kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut”.

7

Lihat, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

8

(22)

negara. Korupsi semakin lama semakin meluas, lebih sistematis dan lebih canggih.9

Korupsi dinegeri ini bagaikan lingkaran setan yang sulit diberantas. Para koruptor

yang satu dengan koruptor yang lainnya saling membantu, bekerja sama dan saling

melindungi. Korupsi seperti ibarat fenomena “bola salju”, jika kejahatan korupsi yang

dilakukan oleh satu atau sekelompok orang terbongkar, maka kelompok lainnya akan

terbongkar pula.

Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme telah berlangsung sejak tahun

1960, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960, kemudian

disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, disempurnakan

dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan terakhir disempurnakan oleh

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, namun sampai kini belum berhasil dengan

baik,10 Kebijakan hukum pidana (penal policy) yang diambil dalam pembentukan dan

melahirkan peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi sebagaimana

9

Lihat Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal.1-2, bahwa semakin tinggi kemampuan manusia juga dapat menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa semakin canggihnya kejahatan yang dilakukan. Kejahatan di era globalisasi abad ke-21 ini, bukan saja berdimensi nasional tetapi sudah transnasional. Hal ini ditandai bukan saja kerugian yang besar dan meluas, namun juga modus operandi dan peralatan kejahatan semakin canggih. Kejahatan bukan saja dilakukan oleh perorangan tetapi sudah bersifat kelompok dan terorganisasi. Minimal ada delapan ciri-ciri kejahatan canggih (Andi Hamzah, 1991 : 47) yaitu sebagai berikut:

1. Dapat dilakukan secara transnasional, artinya melampaui batas-batas suatu negara.

2. Alat yang dipakai ialah alat canggih seperti peralatan elektronik, komputer, telepon, dan lain-lain. 3. Cara, metode, dan akal yang dipakai sanggat canggih.

4. Kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai jumlah yang sangat besar. 5. Seringkali belum tersedia norma hukum positifnya.

6. Memerlukan keahlian khusus bagi penegak hukum menanganinya . 7. Diperlukan biaya besar dalam usaha memberantas dan menutupnya.

8. Disamping penyidikan dan penuntutan diperlukan pula intelijen hukum (law intelligence) untuk melacaknya.

10

(23)

tersebut diatas, dirasakan dan diyakini oleh sebahagian besar kalangan masyarakat

masih belum mampu menyentuh hakikat dari pembentukan hukum itu sendiri.

Jika Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijalankan dan

diterapkan dengan konsekuen, maka walaupun jelas tidak akan memberantas korupsi

secara tuntas, namun paling kurang akan mengakibatkan kembalinya uang negara

sebagian, melalui pidana denda, perampasan barang dan uang hasil korupsi, uang

pengganti dan pengembalian utang kepada negara, yang pada gilirannya akan dipakai

sebagai dana pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah dan masyarakat

harus menaruh perhatian yang lebih serius dalam masalah pemberantasan korupsi,

dengan menyusun suatu sistem, metode, dan pola pemberantasan korupsi yang

konsepsional, yaitu tidak hanya bertumpu pada satu segi yaitu usaha represif, tetapi

terutama dalam usaha preventif.11

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 yang telah

diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 telah

memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam materi konvensi. Namun demikian

konvensi PBB ini tidak mencantumkan pengertian istilah korupsi (corruption) ke

11

(24)

dalam materi muatannya melainkan memasukkan beberapa tindak pidana yang dapat

digolongkan sebagai tindak pidana korupsi.12

Tindak pidana dimaksud yaitu, tindak pidana suap pejabat publik nasional,

suap pejabat asing dan pejabat organisasi internasional; penggelapan harta kekayaan

oleh pejabat publik; memperdagangkan pengaruh; penyalahgunaan fungsi;

memperkaya diri sendiri secara tidak sah; suap disektor swasta; penggelapan di sektor

swasta; pencucian uang; penadahan berkaitan dengan lain yang dicatumkan dalam

konvensi ini; menghalang-halangi proses peradilan; termasuk tindak pidana

penyertaan dan tidak pidana percobaan sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri.13

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 memandang

perbuatan korupsi merupakan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan,

melemahkan lembaga dan nilai demokratis, etika, keadilan serta membahayakan

pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Perbuatan korupsi juga berkaitan

dengan bentuk kejahatan lain sehingga sifatnya transnasional, perkara korupsi

melibatkan aset-aset sedemikian besar yang menghabiskan sebagian besar sumber

daya Negara. Konkretnya, perbuatan korupsi memerlukan kerja sama internasional

dan pendekatan komprehensif serta multidisipliner untuk mencegah dan memerangi

korupsi secara efektif.14

12

Romli Atmasasmita, Globalisasi & Kejahatan Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 41.

13

Ibid.

14

(25)

Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan

citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya

dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah15 :

a. untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak,

membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;

b. meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan

yang baik;

c. meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum;

d. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalam

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan

e. harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan Konvensi ini.

Konstruksi sistem hukum pidana yang dikembangkan akhir-akhir ini di

Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi,

menemukan pelakunya serta menghukum pelaku tindak pidana dengan sanksi pidana

terutama pidana badan, baik pidana penjara, maupun pidana kurungan.

Pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti instrumen tindak pidana

belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman Indonesia dan negara-negara lain menunjukkan bahwa

mengungkap tindak pidana, menemukan pelakunya, dan menempatkan pelaku tindak

pidana di dalam penjara ternyata belum cukup efektif untuk menekan tingkat

kejahatan jika tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil dan

15

(26)

instrumen tindak pidana. Membiarkan pelaku tindak pidana tetap menguasai hasil dan

instrumen tindak pidana memberikan peluang kepada pelaku tindak pidana atau orang

lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaku tindak pidana untuk menikmati hasil

tindak pidana dan menggunakan kembali instrumen tindak pidana atau bahkan

mengembangkan tindak pidana yang pernah dilakukan.16

Munculnya aset-aset hasil tindak pidana yang begitu besar ditemukan dalam

berbagai bentuk misalnya dalam bentuk aset berwujud maupun aset tidak berwujud.

Aset tindak pidana berjumlah besar secara nominal perlu ditangani secara khusus

apabila sudah menyangkut aset yang telah terintegrasi dalam sebuah capital

perusahaan berskala nasional maupun internasional.17

Upaya hukum pidana Indonesia, untuk “menghalangi” atau “menuntup

kemungkinan” para pelaku kejahatan (termasuk koruptor) menikmati hasil

kejahatannya, telah dilakukan dengan berbagai cara. Secara pragmatis, hal itu dapat

dilakukan dalam proses acara, misalnya dapat dilakukan dari sejak awal berupa

penyitaan (Pasal 39 KUHAP) atau pemblokiran (Pasal 71 Undang-Undang No. 8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang), ataupun pembekuan rekening (Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang

Perbankan). Selain itu, upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat

“menikmati” hasil perbuatannya juga merampas barang-barang tertentu yang

16

Romli Atmasasmita, Op.cit., hal. 111.

17

(27)

diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain

pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP jo Pasal 18 ayat

(1) Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Tindak

pidana korupsi, dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak

dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi

(Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun

2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan masih ditambah lagi

dengan pembayaran uang pengganti yang nilainya setara dengan kerugian keuangan

negara akibat perbuatannnya (Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).18

Bantuan teknologi informasi terhadap hasil kejahatan korupsi telah mendapat

sentuhan “modernisasi”, yaitu ditempatkan didalam yurisdiksi hukum dari negara

lain. Akibatnya kejahatan juga mengalami modernisasi.19 Penyebab korupsi ialah

modernisasi, Huntington menulis sebagai berikut : 20

Korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu daripada yang lain, dan dalam masyarakat yang sedang tumbuh korupsi lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang lain. Bukti-bukti dari sana sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat. Penyebab modernisasi mengembangbiakkan korupsi dapat disingkat dari jawaban Huntington berikut ini :

18

Chairul Huda, Problematika Seputar Pengembalian Aset (Asset Recovery) Hasil Tindak Pidana Korupsi, http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.com/2009/02/problematika-seputar-pengembalian-aset.html , diakses terakhir tanggal 10 Desember 2010.

19

Ibid.

20

(28)

a. Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat. b. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka

sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-golongan berpengaruh dalam masyarakat.

c. Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan yang

diakibatkannya dalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di negara-negara yang memulai modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah.

Modernisasi menggambarkan adanya seluruh jenis perubahan sosial, termasuk

juga perubahan dalam arti “kemajuan” dalam bidang kejahatan. Aset hasil korupsi

dapat saja disembunyikan di luar negeri sehingga sulit dilacak, dibekukan, disita,

apalagi ditarik kembali ke dalam negeri. Modernisasi atau globalisasi ternyata

menjadi faktor kriminogen yaitu pendorong terjadi transnational crime. Para ahli

sepakat bahwa korupsi bukan lagi semata-mata masalah lokal (domestik) suatu

negara, melainkan telah menjadi masalah global, masalah bagi keseluruhan

masyarakat dunia tanpa terkecuali. Upaya pemberantasan korupsi juga harus

diarahkan untuk memerangi kecenderungan korupsi sebagai aktivitas bisnis baru

(crime as a business), karena kejahatan ternyata cukup menguntungkan (crime does

pay).21

21

(29)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dirumuskan di atas maka

permasalahan yang dibahas meliputi :

1. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil tindak

pidana korupsi.

2. Bagaimana kendala yuridis terhadap perampasan aset dalam tindak pidana

korupsi.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka

tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam perampasan aset hasil

tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui kendala yuridis terhadap perampasan aset tindak

pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara teoritis

(30)

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk

penelitian lebih lanjut terhadap perampasan aset hasil kejahatan tindak

pidana korupsi. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya

bidang hukum pidana mengenai kebijakan hukum pidana dalam

perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

bagi penegak hukum dalam melaksanakan perampasan aset hasil

kejahatan tindak pidana korupsi, sehingga kerugian keuangan negara dapat

diatasi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti, diketahui bahwa

penelitian tentang “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Terhadap

Tindak Pidana Korupsi” belum pernah dilakukan di dalam permasalahan dan

pendekatan yang digunakan. Walaupun ada beberapa hasil penelitian di Perpustakaan

Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang tindak pidana korupsi, namun

permasalahan dan pendekatan yang digunakan adalah berbeda. Jadi penelitan ini

merupakan asli dan belum pernah ditulis oleh peneliti lain sebelumnya. Sehingga

dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat

(31)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori22 merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

teori, tesis, si penulis mengenai sesuatu ataupun permasalahan (problem), yang bagi

si pembaca menjadi bahan perbandingan pasangan teoritis, yang mungkin disetujui

maupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca.23

Menurut Kaelan M.S. Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan

dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah

bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.24 Penelitian ini

akan dibahas dengan kerangka pemikiran mengenai tindak pidana yang memberikan

fokus perhatian pada perbuatan dan sifat melawan hukum dari perbuatan tindak

pidana korupsi.

Pemikiran yang dikemukakan oleh Hans Kelsen meliputi tiga masalah utama,

yaitu tentang teori hukum, negara dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut

sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan

dikembangkan secara konsisten berdasarkan logika hukum secara formal. Logika

formal ini telah lama dikembangkan dan menjadi karakteristik utama filsafat

22

Lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia, 1990), hal. 41, setiap penelitian haruslah disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengolahan data, dan analisis data.

23

Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 80.

24

(32)

Kantian yang kemudian berkembang menjadi aliran strukturalisme. Teori umum

tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu

aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum dan aspek

dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.

Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai

berikut:

1. Tujuan teori hukum, setiap tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.

2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya.

3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.

4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.

5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.25

Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut The Pure Theory of Law;

mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang

berbeda antara mahzab hukum alam dengan positivisme empiris. Beberapa ahli

menyebut pemikiran Kelsen sebagai “jalan tengah” dari dua aliran hukum yang telah

ada sebelumnya. Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta

sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan

dengan norma yang non empiris. Norma tersebut memiliki struktur yang membatasi

25

(33)

interpretasi hukum. Di sisi lain, berbeda dengan mahzab hukum alam, Kelsen

berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.26

Teori Hukum Murni memusatkan kajiannya hanya pada hukum formal

berdasarkan keabsahannya, yang membentuk suatu sistem hierarki norma hukum

dengan puncak Grundnorm. Kajiannya hanya menyangkut hukum formal berdasarkan

keabsahan, yaitu hanya melihat hukum dari aspek yuridis formal semata,

mengabaikan hukum materiil yang di dalamnya terdapat cita hukum dalam konsep

keadilan dan pertimbangan moral.27

Karena hanya menekankan pada aspek yuridis formal, teori hukum murni

sangat potensial menimbulkan permasalahan kekuasaan berlebihan bagi organ

pembuat dan/atau pelaksana hukum, dan salah satu alternatif penyelesaian masalah

tersebut adalah diperlukan pedoman dan/atau pembatasan lebih rinci dalam penerapan

norma hukum umum atau pembuatan norma hukum kasuistis. Karena hukum

dipisahkan dari moral, maka hukum sangat potensial mengesampingkan atau

melanggar kemanusiaan, dan agar hukum tidak melanggar kemanusiaan, hukum

harus mengambil pertimbangan dari aspek moral. Walaupun mengandung kelemahan

stufentheory dalam teori hukum murni juga membawa manfaat bagi bidang sistem

tata hukum. Teori hukum murni juga merupakan suatu teori negara hukum dalam

26

Ibid.

27

(34)

suatu versi tersendiri, yang berupaya mencegah kekuasaan totaliter pada satu sisi dan

mencegah anarkisme murni pada sisi lain.28

Dasar hukum pemidanaan, terdiri atas beberapa teori antara lain teori

pembalasan29, teori tujuan dan teori gabungan (pembalasan dan mempertahankan

ketertiban masyarakat). Teori pembalasan berpendirian bahwa pidana perlu

dikenakan sebagai pembalasan atas apa yang telah dibuatnya yang bersifat

mengganggu ketertiban masyarakat. Jika pembalasan itu ditujukan pada kesalahan

yang tercela dari sipelaku, teori pembalasan ini disebut teori pembalasan yang

subyektif dan jika ditujukan pada perbuatan si pelaku disebut pembalasan yang

bersifat obyektif. Teori tujuan menganggap bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk

mempertahankan ketertiban di dalam masyarakat. Inilah yang merupakan tujuan

utamanya di samping tujuan-tujuan lainnya. Pada teori tujuan ini terdapat beberapa

28

Ibid.

29

(35)

pendapat tentang cara untuk mencapai tujuan tersebut di atas. Bambang Purnomo

memperinci sebagai berikut :

1. Prevensi umum

Tujuan pokok pidana adalah pencegahan agar orang-orang tidak melakukan perbuatan pidana.

2. Prevensi khusus

Tujuannya melakukan pencegahan agar mereka yang telah melakukan kejahatan

tidak mengulangi lagi perbuatannya. 3. Verbetering van de dader

Bertujuan untuk meperbaiki penjahat dengan reklasering. 4. Onschadelijk maken van de misdadiger

Pidana yang dijatuhkan bersifat menyingkirkan, baik untuk seumur hidup atau dikenakan pidana mati oleh karena tidak mungkin diperbaiki lagi.

5. Herstel van geleden maatschappelijk nadeel.

Tujuannya untuk memperbaiki kerugian masyarakat yang terjadi pada masa lalu. Teori ini mendasarkan pada pemikiran bahwa kejahatan itu menimbulkan kerugian yang bersifat ideal pada masyarakat.30

Teori gabungan menggabungkan pendapat teori pembalasan dan teori tujuan

pidana dikenakan bukan saja untuk membalas perbuatannya yang merugikan

masyarakat, tetapi juga mempertahankan ketertiban masyarakat itu sendiri. Dalam

teori ini terdapat 3 (tiga) aliran, yaitu yang menitikberatkan pada pembalasan itu

sendiri, yang menitikberatkan pada mempertahankan ketertiban masyarakat dan yang

menitikberatkan sama antara pembalasan dan tujuan mempertahankan ketertiban

masyarakat.31

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari

kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan

30

Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 86-87.

31

(36)

setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk

menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga

mau partisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Ketertiban masyarakat

ini sangat penting karena menurut G. Pieter Hoefnagels bahwa kebijakan

penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari

masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa

kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang

rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan (a rational total of the

responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku

manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating

human behavior as crime).32

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels, maka

kebijakan penanggulangan kejahatan dibedakan atas dua cara. Pertama, kebijakan

penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application.” Kedua,

kebijakan non penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without

punishment” dan “influencing views of society on crime and punishment (mass

media). Terdapat dua sisi yang menjadi keterbatasan hukum pidana ini. Pertama, dari

sisi hakikat terjadinya suatu kejahatan. Kejahatan sebagai suatu masalah yang

berdimensi sosial dan kemanusiaan disebabkan oleh berbagai faktor yang kompleks

dan berada di luar jangkauan hukum pidana. Kedua, keterbatasan hukum pidana dapat

32

(37)

dilihat dari hakikat berfungsinya hukum pidana itu sendiri. Penggunaan hukum

pidana pada hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan gejala semata

(Kurieren am symtom) dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan

menghilangkan sumber penyebab penyakitnya. Dalam konteks ini, hukum pidana

berfungsi setelah kejahatan terjadi. Artinya hukum pidana tidak memberikan efek

pencegahan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga hukum pidana tidak mampu

menjangkau akar kejahatan itu sendiri yang berdiam di tengah kehidupan masyarakat.

Sanksi pidana selama ini bukanlah obat (remidium) untuk memberantas sumber

penyakit (kejahatan, tetapi hanya sekedar untuk mengatasi gejala atau akibat dari

penyakit tersebut.33

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan

penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang

fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui beberapa tahap:

1 tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2 tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3 tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

Dengan adanya tahap “formulasi”, maka upaya pencegahan dan penanggulangan

kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat

pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap

paling strategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan

33

(38)

legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya

pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.34

2. Kerangka Konsepsional

Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Jika

masalah dan kerangka teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui fakta

mengenai gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah

defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala.35

Konsepsi adalah merupakan defenisi operasional dari berbagai istilah yang

dipergunakan dalam tulisan. Adapun defenisi operasional dari berbagai istilah

dibawah ini adalah sebagai berikut :

1. Kebijakan adalah sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam

pelaksanaan satu pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan atau organisasi;

Arah tindakan yang memiliki maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau

sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan.36 Sudarto

mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

34

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 78-79.

35

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hal. 24.

36

(39)

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah

keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.37

2. Hukum pidana menurut Moeljatno adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan

apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.38

Hukum Pidana39 merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan

yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat

dijatuhkannya kepada pelaku.40 Hukum Pidana adalah keseluruhan

peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau

bukan yang dapat dijatuhkan terhadap orang atau badan hukum yang

melakukannya. Jadi hukum pidana tidak membuat norma hukum sendiri, tetapi

sudah ada pada norma lain. Adanya sanksi pidana untuk menjamin agar norma itu

37

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 3.

38

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 1.

39

Lihat Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: PT Sofmedia, 2011), hal. 82, bahwa ciri utama Hukum Pidana terletak pada penjatuhan penderitaan kepada orang yang melakukan kesalahan berupa sanksi pidana. Pemidanaan dalam fungsi klasiknya merupakan upaya pengenaan penderitaan sebagai pembalasan atas kesalahan dan ketercelaan perbuatan pelaku. Namun demikian, saat ini fungsi pembalasan tersebut terletak pada perannya sebagai upaya mencegah pelaku untuk tidak melakukannya lagi pelanggaran hukum serta dalam rangka melindungi atas obyek hukum.

40

(40)

ditaati. Norma itu dapat berupa norma kesusilaan seperti perkosaan, perbuatan

tidak menyenangkan, norma hukum (pencurian) dan sebagainya. Norma juga bisa

disebut dengan istilah kaidah.41

3. Kekayaan berarti setiap jenis aset, apakah yang berwujud atau yang tidak

berwujud, yang bergerak atau tidak bergerak, yang nyata berwujud atau yang

tidak nyata berwujud dan dokumen-dokumen hukum atau instrumen-instrumen

yang membuktikan hak atas atau kepentingan yang melekat pada aset-aset itu.

Hasil Kejahatan adalah setiap kejahatan yang berasal dari, atau diperoleh secara

langsung atau tidak langsung dari pelaksanaan suatu kejahatan. Pembekuan atau

perampasan berarti melarang untuk sementara waktu dilakukannya transfer,

perubahan, pengalihan kekayaan atau untuk sementara waktu menanggung beban

dan tanggungjawab untuk mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan

berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lainnya yang

berkompeten.42

4. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik

yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara

langsung maupun tidak langsung43. Perampasan barang bergerak yang berwujud

atau yang tidak berwujud barang tidak bergerak yang digunakan untuk yang

41

Moh. Hatta, Kebijakan Politik Kriminal, Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 1.

42

United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), 2003, (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, 2003), Terjemahan Tidak Resmi oleh Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (FORUM 2004) Ibid., hal. 15-16.

43

(41)

diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di

mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pun harga dari barang yang

menggantikan barang tersebut.44

5. Pengertian istilah “perampasan aset tindak pidana” dalam bahasa hukum Inggris

disebut “forfeiture” yang didahului oleh “penyitaan” atau “confiscation”. Kedua

sarana hukum ini merupakan sarana hukum awal memasuki proses pemulihan

aset (asset recovery). Untuk pemulihan aset yang pada umumnya ditempatkan di

negara lain diperlukan langkah hukum yang disebut “pengembalian aset”

(returning asset).45

6. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau

menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,

berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,

penuntutan dan pengadilan.46

7. Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio (Foclema Andreae:1951) atau

corruptus (Webster Student Dictionary: 1960), selanjutnya corruptio berasal dari

kata asal (Bahasa Latin) corrumpere, Inggris: Corruption, corrupt; Prancis:

corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie), Indonesia: Korupsi. Pengertian

Korupsi secara harfiah ialah Kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,

dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan

44

Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

45

Romli Atmasasmita, Op.cit., hal 106.

46

(42)

yang menghina atau memfitnah. Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti

penggelapan uang, penerimaan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya

(Poerwadarminta, 1976). Encyclopedia Americana memberikan pengertian

korupsi sebagai sesuatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya

bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.47 Korupsi menurut J.S. Nye

adalah:

Perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban normal suatu peranan jawatan pemerintah, karena kepentingan pribadi demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi

who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit

ers.49

engan alasan yang berbeda-beda tetapi empunyai tujuan yang sama yaitu suatu perbuatan tidak etis yang merusak

8.

negara yang ditandai dengan hilangnya aset-aset publik untuk kepentingan

kepentingan pribadi.48

Defenisi Korupsi yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary yaitu :

Any act done with an intent to gave some advantage inconcistent with officials duty and the rights of other. The act of an official or fiduciary person

for him self or for another person, contrary to duty and the right of oth

Korupsi menurut Sheldon S. Steinberg dan David T. Austern adalah :

Merupakan bagian dari tingkah laku yang dilakukan oleh oknum aparatur pemerintahan maupun orang lain d

m

sendi-sendi pemerintahan yang baik.50

Tindak Pidana Korupsi adalah kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan

47

Andi Hamzah, Op.cit., hal. 7-8.

48

Edi Setiadi dan Rena Yulia, Op.cit., hal. 72

49

Ibid. Lihat juga, Marwan Effendy, Op.cit., hal. 4, Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah : suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

50

(43)

kesejahteraan rakyat.51 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan rumusan pengertian Tindak

Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.52

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.53

51

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 21.

52

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

53

(44)

2. Sumber Data

Bahan yang dipakai untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini

terdiri dari bahan hukum primer54, bahan hukum sekunder55, dan bahan hukum

tertier. Ketiga bahan hukum ini merupakan data sekunder.

Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan

tindak pidana korupsi yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006

Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003 (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering).

Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan yang akan memberi

penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku teks yang

berkaitan dengan kebijakan hukum pidana, aset korupsi dan tindak pidana korupsi,

laporan-laporan penelitian dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan isu hukum

dalam penelitian ini.

54

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 142, bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar karena semua peraturan dibawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan UUD tersebut.

55

(45)

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan

hukum yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan

jurnal ilmiah, serta bahan-bahan lain diluar bidang hukum yang dianggap relevan dan

berguna untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis

menggunakan metode pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan (library

research). Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya

akan dipilah-pilah guna memperoleh kaedah-kaedah hukum yang kemudian

dihubungkan dengan isu hukum dan kemudian disistematisasikan sehingga

menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan isu hukum. Selanjutnya data yang

diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada

kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat

(46)

28

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif56, yaitu melakukan analisis secara

eksploratif terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah

aset tindak pidana korupsi. Kemudian data yang diperoleh dibuat sistematikanya

sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalah yang

dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan

dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara

berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis

secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar

hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan.

56

(47)

BAB II

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERAMPASAN ASET

HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Perkembangan Hukum Di Dunia Internasional Mengenai Penyitaan Dan Perampasan Hasil Tindak Pidana

Dewasa ini, pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok, yaitu

pencegahan, pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery).57

Ada dua hal yang fundamental berhubungan dengan pengembalian aset (asset

recovery) yaitu58 :

1. Menentukan harta kekayaan apa yang harus dipertanggungjawabkan untuk

dilakukan penyitaan; dan

2. Menentukan dasar penyitaan suatu harta kekayaan.

Pada Pasal 3 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 tentang

pembekuan, perampasan, penyitaan dan pengembalian atas aset yang terjadi akibat

pelanggaran atas konvensi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :

1. Pembuktian harta kekayaan merupakan hasil dari pelanggaran konvensi (pasal 31

ayat (1) huruf a).

2. Pembuktian penggunaannya dalam rangka pelanggaran konvensi (pasal 31 ayat

(1) huruf b).

57

Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi Melalui Kerjasama Internasional,

http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah&Itemid=11 , diakses terakhir tanggal 27 Februari 2011.

58

Referensi

Dokumen terkait

Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah dapat ditempuh melaui : (a) Sarana Penal atau upaya represif (penumpasan setelah terjadinya kejahatan) dengan

peran jaksa dalam pelaksanaan pengembalian uang pengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, Suryawan menekankan pada peran jaksa dalam pemberantasan

Delik-delik tertentu (special delicten) di dalam KUHP.. memudahkan atau menolong kejahatan tersebut. Skedar si pelaku kejahatan mengharapkan bahwa barang yang telah

Hal ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pelaku kejahatan dan kurang tegasnya sistem perundang-undangan yang ada, selain itu pelaksanaan kebijakan hukum pidana bagi

Hal ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pelaku kejahatan dan kurang tegasnya sistem perundang-undangan yang ada, selain itu pelaksanaan kebijakan hukum pidana bagi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada penelitian ini, penulis mencoba untuk mengkaji lebih jauh mengenai pengembalian aset negara melalui gugatan perdata dalam

terhadap pelaku kejahatan narkotika sangat tepat untuk membendung dan mengganjar pelaku kejahatan narkotika sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan oleh Negara

Namun dengan adanya mata uang Kripto juga memberikan dampak negatif, dengan sulitnya untuk keterbukaan atau transparansi informasi dari cyprocurrency membuat pelaku kejahatan mudah