PERBEDAAN PENYESUAIAN PERKAWINAN
PADA WANITA DEWASA DINI
YANG BEKERJA DAN TIDAK BEKERJA
SKRIPSI
Guna Memenuhi Persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
NAULY NOVRITA SITOMPUL
021301018
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Pernedaan Penyesuaian
Perkawinan Pada Wanita Dewasa Dini Yang Bekerja dan Tidak Bekerja adalah
hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh kesarjanaan di
suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi yang saya kutip
dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang
dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, April 2008
ABSTRAKSI
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Nauly Novrita Sitompul : 021301018
Perbedaan Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Dewasa Dini yang Bekerja dan Tidak Bekerja
Xv + 72 halaman; 22 tabel; 3 lampiran Bibliografi : 34 (1956-2006)
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif yang mencoba untuk mengetahui perbedaan penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja. Di antara sekian banyak tugas perkembangan orang dewasa dini, tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan berkeluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting, dan sangat sulit diatasi (Hurlock, 1990). Dalam perkawinan ditetapkan komitmen untuk hidup sebagai suami istri dan bagaimana hubungan tersebut dibentuk dan dipertahankan (Dyer, 1983). Masalah yang muncul pada tahun pertama perkawinan adalah proses penyesuaian (Hassan, 2005). Kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan dikemukakan oleh Hurlock (1990), yaitu kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga. Individu melakukan penyesuaian perkawinan berbeda satu-sama lain. Bagi wanita bekerja dan tidak bekerja diketahui memiliki peran berbeda setelah memasuki tahap perkawinan. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka diyakini akan berbeda pula penyesuaian perkawinan pada wanita bekerja dan tidak bekerja.
Penelitian ini melibatkan 50 orang wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja sebagai subyek penelitian. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan tidak bekerja usia 20-40 tahun yang memiliki usia perkawinan 1-2 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, dimana data yang didapatkan akan diolah dengan menggunakan uji t. Alat ukur yang digunakan adalah skala penyesuaian perkawinan berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Hurlock (1990).
Hasil analisis data menunjukkan tidak ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja dengan nilai
ρ = 0.975, dimana subyek wanita bekerja tidak bekerja memiliki nilai mean yang lebih tinggi (X = 126.60), sedangkan subyek wanita tidak bekerja memiliki nilai mean yang lebih rendah (X = 125.92).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah... satu hal yang selayaknya penulis lakukan adalah
memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Hanya Engkaulah tempat
bergantung harap dan tempat mencurahkan hati. Shalawat dan salam penulis
haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, terucap rasa syukur atas pendirian
yang luar biasa. Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga tercinta yang tidak
pernah berhenti memberikan semangat dan dukungan serta tidak pernah putus
harapan kepada penulis. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh
gelar sarjana psikologi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini, dari awal hingga
selesainya skripsi seperti saat ini. Ucapan terima kasih tersebut penulis sampaikan
kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi Sumetara Utara, Bapak Prof. dr. Chairul Yoel,
Sp. A (K)
2. Ibu Meidriani Ayu Siregar, M.Kes. Selaku dosen pembimbing skripsi
penulis yang telah meluangkan waktunya yang padat serta dengan sangat
sabar telah mengarahkan, memberikan masukan, dan menjadi tempat
berdiskusi bagi penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini.
3. Ibu Lili Garliah, M. Si dan Ibu Ika Sari Dewi, S. Psi, Psi., yang telah
bersedia menyediakan waktunya yang padat untuk dapat menjadi dosen
4. Seluruh Bapak/ Ibu Dosen pengajar di kampus Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara yang namanya tidak dapat disebutkan satu per
satu, terima kasih atas ilmu yang dibagikan selama ini.
5. My beloved Umak, Rahmi El Fitrina Tanjung, terima kasih untuk setiap cinta, kasih sayang dan do’a yang tiada henti-hentinya. Terima kasih untuk
setiap omelan dan maaf yang selalu diberikan kepada penulis. This is only one way that I can do, so far (and i promise will do more). Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT, karena telah memberikan seorang ibu yang
luar biasa. I love you so much.
6. My beloved Ayah, Syaiful M. Sitompul, terima kasih atas segala jerih payah yang diberikan kepada penulis sampai saat ini. Semoga apa yang
penulis lakukan membuat Ayahanda bangga terhadap penulis. I love you. 7. Adikku satu-satunya, Fakhri Yudha Sitompul (Yudha), yang ikut
mendorong penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas
pertengkaran-pertengkaran yang membuat hari-hari penulis semakin
bersemangat setiap harinya. I love you.
8. My gorgeous, cute and funny cousins, Habib “Abang”, Mufli “Ogek”, dan Fawzah “Puja”, selalu bisa menghapus kepenatan penulis bila bertemu.
9. My best friend, Nurul Munawwarah alias Jeq, telah bersama-sama selama 13 tahun (‘til now). Lebih dari setengah kehidupan kita berdua dihabiskan bersama, mulai dari berdua imut-imut sampai amit-amit. Semoga impian
10.My Kyutbro, BJ, a palmistry man yang selalu ada dengan sms-sms “lucunya” buat penulis dan memberikan hayalan-hayalan menggelitik
11.Untuk semua saudara-saudara, Om, Tante, Nenek, Maktua, Paktuo, Bou,
Amangboru, sepupu-sepupu, terima kasih atas dukungannya.
12.Pak Iskandar, yang telah menjadikan segala urusan administrasi menjadi
hal yang sangat mudah.
13.Pak Aswan, atas kesediaannya mempermudah urusan di bagian pendidikan
dan juga motivasi serta dorongan bagi penulis selama mengikuti
perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini.
14.Teman-teman seperjuangan, dikelas 2002, terutama Rien, Emy, Dian,
Tessa “ma sista”, Hamdi, Ami, Ririn “ma bro”, Windu, Dina, Ade, Maya, Nazwa, Yusni, Ika, Endang, Novri, Ice, Pipil, Perananta, Sakinah, Ratih
dan semua teman-teman di kelas 2002 yang tidak bisa disebutkan namanya
satu- persatu, terima kasih atas persahabatan dan canda tawa selama ini.
15.My Jlek, yang selalu memberikan ejekan-ejekan (satu-satunya cowok yang berani mengejek saya habis-habisan), rasa kesal, cerita, canda, dan
nasihat yang hanya bisa dilakukan melalui komunikasi handphone. Rasa yang membuka mata kita dan menguasai hati ini, akan memberi
kesejukan kepada kesabaran kita. Sampai ketemu lagi ya Jlek.
sebutkan satu-persatu. Kalian salah satu pelarian bagi penulis bila
kebingungan terjadi. Keep on movin’ ok! We need more practice.
17.Farah, Yoe, Zulfirman, Nesa, Isrin, Hanifan, Fitrah, Furqon, Antonious,
Hanan, dan semua rekan-rekan mahasiswa yang namanya tidak dapat
disebutkan semua, dari angkatan 2003, 2004, 2005, 2006, hingga 2007
yang telah menjadikan hari-hari selama di kampus menyenangkan.
18.Pak Syahrial, Bang Sono, Bang Hendra, Ari, Indra, terima kasih atas senda
guraunya selama di parkiran yang bisa membuat penulis ceria kembali dan
juga dukungannya yang tidak terduga selama ini.
19.Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada
penulis selama proses penyelesaian skripsi ini, yang namanya mungkin
tidak sengaja terlupakan, penulis mengucapkan terimakasih.
Semoga semua kebaikan, dukungan, serta do’a yang telah diberikan
kepada penulis akan dibalas oleh Allah SWT. Penulis juga menyadari bahwa
skripsi ini tidaklah sempurna dan memiliki kekurangan, oleh sebab itu penulis
sangat terbuka terhadap masukan, kritikan, serta saran yang membangun yang
dapat digunakan untuk perbaikan skripsi ini di kemudian hari. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Medan, April 2008
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... ii
ABSTRAKSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
I.A. Latar Belakang Masalah ... 1
I.B. Tujuan Penelitian ... 7
I.C. Manfaat Penelitian ... 7
I.C.1. Manfaat Teoritis ... 8
I.C.2. Manfaat Praktis ... 8
I.E. Sistematika penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI ... 11
II.A. Penyesuaian Perkawinan ... 12
II.A.1.Definisi Perkawinan ... 12
II.A.2. Penyesuaian Perkawinan ... 13
II.A.3. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan ... 14
II.A.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan ... 16
Perkawinan ... 19
II.B. Wanita Bekerja ... 20
II.B.1. Definisi Wanita Bekerja ... 20
II.B.2. Faktor-Faktor yang Mendorong Wanita Bekerja ... 21
II.C. Wanita Tidak Bekerja ... 22
II.C.1. Definisi Wanita Tidak Bekerja ... 22
II.C.2. Tipe-Tipe Pembagian Peran dalam Perkawinan ... 23
II.D. Dewasa Dini ... 24
II.D.1. Definisi Wanita Dini ... 24
II.E. Perbedaan Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Dewasa Dini yang Bekerja dan Tidak Bekerja ... 25
II.F. Hipotesa ... 28
BAB III METODE PENELITIAN ... 29
III.A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 29
III.B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 29
III.B.1. Penyesuaian Perkawinan ... 29
III.B.2. Wanita Bekerja dan Tidak Bekerja ... 30
III.B.2.a. Wanita Bekerja ... 30
III.B.2.b. Wanita Tidak Bekerja ... 30
III.C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel Penelitian ... 31
III.C.1. Karakteristik Sampel Penelitian ... 31
III.C.3. Jumlah Sampel Penelitian ... 32
III.D. Metode Pengumpulan Data ... 33
III.E. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 35
III.E.1. Uji Validitas ... 36
III.E.2. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 37
III.E.3. Hasil Uji Coba ... 38
III.F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 41
III.F.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 41
III.F.2. Pelaksanaan Penelitian ... 42
III.F.3. Pengolahan Data Penelitian ... 43
III.G. Metode Analisis Data ... 43
BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ... 45
IV.A. Gambaran Subyek Penelitian ... 45
IV.A.1. Usia Subyek Penelitian ... ... 45
IV.A.2. Pendidikan Terakhir Subyek Penelitian ... 46
IV.A.3. Status Bekerja ... 46
IV.A.4. Jenis Pekerjaan ... 47
IV.A.5. Usia Perkawinan ... 47
IV.A.6. Penggolongan Subyek Penelitian Berdasarkan Penyesuaian Perkawinan ... 48
IV.B. Hasil Penelitian ... 50
IV.B.1. Uji Asumsi ... 50
IV.B.1.2. Uji Homogenitas ... 51
IV.B.2. Uji Hipotesa ... 52
IV.C. Hasil Analisa Tambahan ... 53
IV.C.1. Gambaran Penyesuaian Perkawinan
Pada Wanita Bekerja ... 54
IV.C.1.1. Gambaran Penyesuaian Perkawinan
Pada Wanita Bekerja berdasarkan Usia ... 54
IV.C.1.2. Gambaran Penyesuaian Perkawinan Pada
Wanita Bekerja berdasarkan Pendidikan ... 55
IV.C.1.3. Gambaran Penyesuaian Perkawinan Pada
Wanita Bekerja berdasarkan Pekerjaan ... 56
IV.C.1.4. Gambaran Penyesuaian Perkawinan Pada
Wanita Bekerja berdasarkan
Usia Perkawinan ... 57
IV.C.2. Gambaran Penyesuaian Perkawinan
Pada Wanita Tidak Bekerja ... 59
IV.C.2.1. Gambaran Penyesuaian Perkawinan Pada
Wanita Tidak Bekerja berdasarkan Usia ... 59
IV.C.2.2. Gambaran Penyesuaian Perkawinan Pada
Wanita Tidak Bekerja
berdasarkan Pekerjaan ... 60
IV.C.2.3. Gambaran Penyesuaian Perkawinan Pada
berdasarkan Usia Perkawinan ... 61
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 63
V.A. Kesimpulan ... 63
V.B. Diskusi ... 64
V.C. Saran ... 67
V.C.1. Saran Praktis ... 67
V.C.2. Saran Metodologis ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Distribusi Aitem-aitem Penyesuaian Perkawinan
Sebelum Uji Coba ... 35
Tabel 2 Distribusi Aitem-aitem Skala Penyesuaian Perkawinan Sesudah Uji Coba ... 39
Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Penyesuaian Perkawinan Untuk Penelitian ... 40
Tabel 4 Penyebaran Subyek Berdasarkan Usia ... 45
Tabel 5 Penyebaran Subyek Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 46
Tabel 6 Penyebaran Subyek Berdasarkan Status ... 46
Tabel 7 Penyebaran Subyek Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 47
Tabel 8 Penyebaran Subyek Berdasarkan Usia Perkawinan ... 48
Tabel 9 Kategorisasi Penyesuaian Perkawinan ... 49
Tabel 10 Penyebaran Subyek Berdasarkan Penyesuaian Perkawinan ... 49
Tabel 11 Normalitas Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Bekerja ... 50
Tabel 12 Normalitas Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Tidak Bekerja ... 51
Tabel 14 Deskripsi Skor Penyesuaian Perkawinan ... 53
Tabel 15 Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik ... 53
Tabel 16 Analisa Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Bekerja
Berdasarkan Usia ... 54
Tabel 17 Analisa Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Bekerja
Berdasarkan Pendidikan ... 55
Tabel 18 Analisa Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Bekerja
Berdasarkan Pekerjaan ... 56
Tabel 19 Analisa Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Bekerja
Berdasarkan Usia Perkawinan ... 58
Tabel 20 Analisa Penyesuaian Perkawinan Pada
Wanita Tidak Bekerja Berdasarkan Usia ... 59
Tabel 21 Analisa Penyesuaian Perkawinan Pada
Wanita Tidak Bekerja Berdasarkan Pendidikan ... 60
Tabel 22 Analisa Penyesuaian Perkawinan Pada
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Data Uji Coba Skala Penyesuaian Perkawinan
Reliabilitas dan Daya Beda Aitem Skala Penyesuaian
Perkawinan
Lampiran B : Skala Penyesuaian Perkawinan
ABSTRAKSI
Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara
Nauly Novrita Sitompul : 021301018
Perbedaan Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Dewasa Dini yang Bekerja dan Tidak Bekerja
Xv + 72 halaman; 22 tabel; 3 lampiran Bibliografi : 34 (1956-2006)
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif yang mencoba untuk mengetahui perbedaan penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja. Di antara sekian banyak tugas perkembangan orang dewasa dini, tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan berkeluarga merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting, dan sangat sulit diatasi (Hurlock, 1990). Dalam perkawinan ditetapkan komitmen untuk hidup sebagai suami istri dan bagaimana hubungan tersebut dibentuk dan dipertahankan (Dyer, 1983). Masalah yang muncul pada tahun pertama perkawinan adalah proses penyesuaian (Hassan, 2005). Kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan dikemukakan oleh Hurlock (1990), yaitu kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga. Individu melakukan penyesuaian perkawinan berbeda satu-sama lain. Bagi wanita bekerja dan tidak bekerja diketahui memiliki peran berbeda setelah memasuki tahap perkawinan. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka diyakini akan berbeda pula penyesuaian perkawinan pada wanita bekerja dan tidak bekerja.
Penelitian ini melibatkan 50 orang wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja sebagai subyek penelitian. Kriteria sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan tidak bekerja usia 20-40 tahun yang memiliki usia perkawinan 1-2 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, dimana data yang didapatkan akan diolah dengan menggunakan uji t. Alat ukur yang digunakan adalah skala penyesuaian perkawinan berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Hurlock (1990).
Hasil analisis data menunjukkan tidak ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja dengan nilai
ρ = 0.975, dimana subyek wanita bekerja tidak bekerja memiliki nilai mean yang lebih tinggi (X = 126.60), sedangkan subyek wanita tidak bekerja memiliki nilai mean yang lebih rendah (X = 125.92).
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Havighurst (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa tugas
perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat periode tertentu dari
kehidupan setiap individu. Jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan
membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya.
Apabila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam
menghadapi tugas-tugas berikutnya. Individu yang tergolong dewasa dini (young adulthood) ialah yang berusia 20-40 tahun. Usia dewasa dini dituntut untuk segera menikah agar dapat membentuk dan memelihara kehidupan rumah tangga yang
baru, yakni terpisah dari orang tua (Santrock, dalam Dariyo, 2004).
Di antara sekian banyak tugas perkembangan pada masa dewasa dini,
tugas-tugas yang berkaitan dengan pekerjaan dan kehidupan berkeluarga
merupakan tugas yang sangat banyak, sangat penting, dan sangat sulit diatasi
(Hurlock, 1990). Ketika seseorang ditanya kenapa mereka menikah, hal yang
paling sering dijawab adalah karena mereka mencari kebahagiaan (Hirning &
Hirning, 1956). Pada dasarnya kebahagiaan adalah tujuan yang diinginkan dalam
perkawinan, tapi ini terlalu umum dan terlalu kabur. Bila lebih spesifik lagi, akan
didapatkan beberapa jawaban tentang tujuan menikah, seperti menikah adalah hal
atau akan memberikan satu atau lebih jenis-jenis kebutuhan atau keinginan,
misalnya rasa aman dan dicintai/ mencintai.
Magoun (dalam Hirning & Hirning, 1956) mengatakan bahwa suami
menginginkan seseorang sebagai teman, yang memasak, nyonya rumah, penjahit,
kekasih, untuk merawat, yang mengatur, dan yang menenangkan dalam segala
situasi. Istri menginginkan seseorang yang mencintainya, yang melindunginya,
sebagai kepala rumah tangga, pemberi nafkah, yang menemani atau
mengawalnya, dan ayah dari anak-anaknya.
Dalam perkawinan ditetapkan komitmen untuk hidup sebagai suami istri
dan bagaimana hubungan tersebut dibentuk dan dipertahankan (Dyer, 1983).
Masalah yang muncul pada tahun pertama perkawinan adalah proses penyesuaian.
Tidak hanya dengan pasangan tapi juga dengan kerabat-kerabat yang ada (Hassan,
2005). Hurlock (1990) mengajukan beberapa kriteria keberhasilan penyesuaian
perkawinan yang bisa digunakan untuk menilai tingkat penyesuaian perkawinan
seseorang, yaitu kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh
kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam
masalah keuangan, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.
Tahun pertama dan kedua perkawinan, pasangan suami istri biasanya
harus melakukan penyesuaian perkawinan (Hurlock, 1990). Dari penyesuaian
perkawinan tersebut dapat dilihat beberapa permasalahan yang ada, misalnya
masalah pribadi suami istri yang meliputi masa lampau mereka dan masa depan
mengetahui apa yang dialami pasangannya pada masa lampau dan kesepakatan
sehubungan dengan tugas baru dalam rumah tangga.
Pada saat wanita memasuki perkawinan sebagai istri yang baru (new wife’s), diharapkan melakukan aturan rumah tangga dan sebagai pasangan sex, wanita kepercayaan, teman, social secretary, dan perencana keluarga (Duvall & Miller, 1985). Suami, tetangga, dan orang-orang lain yang berada dilingkungan
akan mengecam jika istri mengabaikan keluarganya. Jika dia melakukan aturan
perkawinannya dengan baik, suaminya, keluarganya, dan teman-teman akan
menganggap dia adalah istri yang baik. Istri yang baru memiliki tugas-tugas
perkembangan sebagai wanita dewasa dan istri yang diharapkan dapat memiliki
peranan penting dalam rumah tangga dan dalam kehidupan sosial pasangan baru.
Kamo (dalam Santrock, 1997) mengatakan bahwa istri dua hingga tiga kali
lebih banyak melakukan pekerjaan keluarga dibandingkan dengan suaminya. Dari
hasil penelitian, hanya 10% dari suami yang melakukan pekerjaan keluarga
seperti istrinya (Berk, dalam Santrock, 1997). Berdasarkan bagaimana aturan
kerja dalam rumah atau keluarga diselesaikan oleh seseorang dan siapa yang akan
mengambil keputusan, perkawinan dapat diidentifikasikan sebagai perkawinan
tradisional (Lemme, 1995). Pada perkawinan tradisional, suami yang dominan dan
sebagai kepala rumah tangga. Tugas-tugas rumah tangga berdasarkan aturan yang
sudah ada yaitu wanita memegang bagian dalam dan pria cenderung dibagian luar.
Wanita yang mengatur rumah tangga sedangkan pria bekerja diluar untuk
mendapatkan gaji atau bayaran, wanita tersebut disebut ibu rumah tangga/
Working Woman, 2001). Pada dasarnya baik wanita maupun pria dituntut untuk mampu menjaga keseimbangan dan keserasian dalam berperan sebagai anggota
keluarga, sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan peran dan tanggung jawab
masing-masing (Zein, 2002). Sesuai dengan peran wanita sebagai ibu rumah
tangga, hal ini dapat memberikan kesempatan lebih besar untuk bisa menjalankan
perannya itu.
Pada masa sekarang ini karena adanya perubahan sosial, wanita lebih
mempunyai kesempatan besar untuk memilih. Wanita dapat melakukan aktifitas
berkarier seperti laki-laki tetapi tidak meninggalkan tanggung jawabnya dalam
keluarga sebagai ibu rumah tangga. Menurut Biro Pusat Statistik, jumlah pekerja
wanita di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya (Mulyawati, 2003). Tahun
2001 di Jakarta jumlah wanita yang bekerja naik empat kali lipat selama enam
tahun terakhir dari 8.365.655 jiwa menjadi 33.908.174 jiwa. Pada awal tahun
1900, banyak wanita yang bekerja masih muda dan lajang. Lalu perubahan
penting terjadi pada jenis pekerjaan wanita, dimana beberapa wanita bekerja
berhubungan dengan juru tulis dan banyak yang bekerja di pabrik dan agrikultur
(Keith & Schafe, dalam Lemme, 1995). Lalu pada pertengahan abad ke-20,
wanita yang bekerja di pabrik meningkat dua kali lipat, dan mayoritas dari pekerja
wanita itu berstatus menikah (Keith & Schafer, Spitze, dalam Lemme, 1995).
Bentuk yang menonjol pada masa sekarang adalah dimana suami dan istri bekerja
Menurut Williams (dalam Lemme, 1995), wanita dimotivasi untuk bekerja
karena tiga alasan, yaitu kebutuhan ekonomi, adanya aturan atau aspek dalam
rumah tangga yang memotivasi mereka ; misalnya merasa terisolasi, dan adanya
kebutuhan psikologis seperti status dan kontak sosial, mengembangkan potensi,
dan keinginan untuk bermanfaat bagi masyarakat. Selain hal tersebut, masa
dewasa dini disebut juga sebagai masa pengaturan (Hurlock, 1990). Ada
keinginan untuk mencoba berbagai pola kehidupan dan menentukan pola hidup
mana yang akan dipilih. Wanita muda sekarang ingin mencoba-coba berbagai
pekerjaan sebelum mereka menentukan pilihan. Mereka bekerja untuk mengetahui
apakah mereka lebih suka bekerja daripada berumah tangga atau apakah mereka
ingin melakukan keduanya, dan tentunya hal ini akan membutuhkan waktu.
Fenomena yang berkembang di masyarakat menunjukkan bahwa ada
kesulitan yang dialami oleh wanita bekerja untuk tetap menjalankan perannya
sebagai ibu rumah tangga. Salah satu contoh pengakuan seorang wanita bekerja
yang mengalami kebingungan dalam memilih sebagai wanita bekerja atau ibu
rumah tangga dikutip dari Hassan (2006) :
Dilema identitas yang terjadi dipicu oleh kebingungan antara akulturasi peran dan
peran yang diterima (Rapaport, dalam Sekaran, 1986). Sebagai seorang isteri,
peranan berdasarkan gender dan nilai internal memunculkan konflik dengan peran wanita bekerja yang ia ambil. Seorang isteri dianggap bukan seorang isteri yang
baik serta bukan ibu yang baik ketika ia pergi dari rumah dan menghabiskan
waktu seharian di tempat kerjanya.
Pada waktu wanita mengejar karir, mereka dihadapkan pada pertanyaan
menyangkut karir dan keluarga (Anderson & Leslie; Gustafson & Magnusson;
Spade & Reese; Steil & Weltman, dalam Santrock, 1990). Mereka menikah,
melahirkan anak dan mengabdikan seluruh hidupnya menjadi ibu. Tapi banyak
perempuan lain berbelok dari jalur yang menghabiskan waktu tersebut. Mereka
menunda peran sebagai ibu, atau dalam beberapa kasus, memilih tidak memiliki
anak. Mereka membangun komitmen, ikatan permanen dengan tempat kerja yang
pada awalnya pola tersebut hanya dilakukan laki-laki. Ketika mereka memiliki
anak, mereka berusaha keras untuk mengkombinasikan antara karir dan peran ibu.
Banyak persoalan yang dialami oleh para wanita, ibu rumah tangga yang bekerja
diluar rumah, seperti bagaimana mengatur waktu dengan suami dan anak hingga
mengurus tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Ada yang bisa menikmati
perannya, namun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya persoalan-persoalan
rumit kian berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Padahal proses penyesuaian
perkawinan itu membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai
hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung
Ada beberapa penelitian yang mengemukakan apakah wanita yang bekerja
memberikan pengaruh yang positif atau negatif terhadap penyesuaian perkawinan
mereka. Namun beberapa penelitian yang dipakai untuk menjawab pertanyaan di
atas masih belum meyakinkan. Burgess dan Cottrell (dalam Dyer, 1983)
mengatakan dalam situasi yang tidak stress wanita bekerja dapat melakukan
penyesuaian perkawinan yang baik. Sementara Locke dan Mackeprang (dalam
Dyer, 1983) menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal penyesuaian
perkawinan bagi pasangan yang kedua-duanya bekerja dan pasangan yang istrinya
tidak bekerja.
Berdasarkan penelitian yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat bahwa
masih ada perbedaan pendapat tentang penyesuaian perkawinan yang dilakukan
oleh wanita bekerja dan wanita tidak bekerja. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk meneliti lebih lanjut mengenai perbedaan penyesuaian perkawinan pada
wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja.
I.B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan
penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja.
I.C. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memeberikan manfaat baik secara
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan bagi disiplin
ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan, terutama mengenai
penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini baik yang bekerja maupun yang
tidak bekerja, dalam hal ini kriteria-kriteria keberhasilan dalam melakukan
penyesuaian perkawinan.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi wanita yang
hendak menikah pada usia dewasa dini, baik pada wanita bekerja atau
tidak bekerja.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berguna
bagi masyarakat mengenai penyesuaian perkawinan, agar mereka
mereka dapat memandang masalah ini dari sudut pandang wanita yang
bekerja dan tidak bekerja.
c. Hasil dari penelitian ini juga memberi masukan bagi praktisi psikologi,
misalnya dalam hal konseling perkawinan mengenai arti penting dari
penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang mengalami
kesulitan dalam perkawinannya karena pekerjaan diluar rumah atau
sebagai ibu rumah tangga, sehingga penanganan yang diberikan dapat
menjadi lebih efektif.
d. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian
I.D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penelitian. Dalam bab ini digambarkan tentang
perkawinan dan masalah yang mungkin muncul di dalam perkawinan,
seperti penyesuaian perkawinan, yang dialami oleh wanita dewasa dini.
Dimana pada masa dewasa dini, tugas perkembangan yang utama adalah
karir atau pekerjaan dan kehidupan berkeluarga. Penyesuaian perkawinan
tersebut harus dijalani pada wanita dewasa dini, baik yang bekerja atau
tidak bekerja.
Bab II Landasan teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi
objek penelitian. Memuat landasan teori tentang penyesuaian perkawinan,
kriteria keberhasilan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian
perkawinan dan teori mengenai wanita bekerja dan wanita tidak bekerja,
serta hipotesa yang diajukan.
Bab III Metode penelitian
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel,
reliabilitas alat ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk
mengolah hasil data penelitian. Variabel bebas yang diambil dalam
penelitian ini adalah status wanita yaitu wanita bekerja dan wanita tidak
bekerja, dan variabel tergantungya adalah penyesuaian perkawinan. Alat
ukur yang digunakan adalah skala penyesuaian perkawinan. Teknik yang
digunakan untuk menganalisa data penelitian adalah t-test.
Bab IV Analisa dan Interpretasi Data
Bab ini terdiri dari gambaran data penelitian, hasil penelitian, uji hipotesa
dan interpretasi data yang didapatkan dari penelitian yang diolah secara
statistik
Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Didalam bab ini dipaparkan jawaban atas masalah yang diajukan dalam
penelitian, dimana kesimpulan akhir yang dibuat didasarkan atas analisa
dan interpretasi data yang didapatkan dari hasil penelitian. Selain itu juga
bab ini berisi diskusi dengan membandingkan hasil penelitian dengan hasil
penelitian lain serta saran-saran metodologis dan praktis yang diberikan
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Penyesuaian Perkawinan II.A.1. Definisi Perkawinan
Sebelum diuraikan mengenai pengertian penyesuaian perkawinan, terlebih
dahulu diuraikan pengertian dari perkawinan itu sendiri.
Di Indonesia sendiri perkawinan diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 1974, dimana pada pasal 1 mengatakan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Subekti &
Tjitrosudibio, 2001).
Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa perkawinan adalah
monogamous, hubungan berpasangan antara satu wanita dan satu pria. Sehingga bisa didefinisikan sebagai suatu kesatuan hubungan suami istri dengan harapan
bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai
pasangan yang telah menikah, dimana didalamnya terdapat hubungan seksual,
keinginan mempunyai anak dan menetapkan pembagian tugas antara suami istri.
Dyer (1983) menyatakan bahwa perkawinan adalah bagaimana hubungan
dibentuk dan dipertahankan, dan bagaimana hubungan ini kemungkinan akan
perkawinan adalah hubungan dua orang dewasa dengan jenis kelamin yang
berbeda menetapkan komitmen untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Menurut Azar (dalam Walgito, 1984) perkawinan atau nikah artinya
melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah
pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan
suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah. Perkawinan bukan
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan untuk memenuhi kebutuhan
afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman
dan terlindungi, dihargai dan diperhatikan oleh pasangannya.
Perkawinan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang
didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang,
pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang (Papalia & Olds, 1998).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan penyatuan
hubungan antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga secara sah dimana didalamnya terdapat pemenuhan
kebutuhan biologis, kebutuhan afeksional dan adanya pembagian peran sebagai
pasangan yang telah menikahi.
II.A.2. Penyesuaian Perkawinan
Hirning dan Hirning (1956) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan
harus menyesuaikan satu sama lain dengan tingkatan yang berbeda-beda. Untuk
tingkat organismik mereka harus menyesuaikan diri dengan sensori, motor,
emosional dan kapasitas intelektual dan kebutuhan. Untuk tingkat kepribadian,
masing-masing mereka harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan, keterampilan,
sikap, ketertarikan, nilai-nilai, sifat, konsep ego, dan kepercayaan. Pasangan juga
harus menyesuaikan dengan lingkungan mereka, termasuk rumah tangga yang
baru, anak-anak, sanak keluarga, teman, dan pekerjaan.
Lasswell dan Lasswell (1987) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaian
perkawinan adalah bahwa dua individu belajar untuk saling mengakomodasikan
kebutuhan, keinginan, dan harapan.
Dyer (1983) menyatakan penyesuaian perkawinan adalah adanya
bermacam-macam proses dan penyesuaian didalam hubungan perkawinan antar
pasangan, dimana adanya proses untuk mengakomodasikan situasi sehari-hari,
menyeimbangkan kebutuhan masing-masing, ketertarikan, role-expectation, dan pandangan, dan beradaptasi untuk perubahan kondisi perkawinan dan kehidupan
keluarga.
Menurut LeMasters (dalam Dyer, 1983) penyesuaian perkawinan bisa
dikonseptualisasikan sebagai kapasitas penyesuaian atau adaptasi, sebagai
kemampuan untuk memecahkan masalah daripada kemangkiran dari masalah.
Schneiders (1964) mengatakan bahwa konsep dari penyesuaian
perkawinan adalah suatu seni kehidupan dan bermanfaat dalam kerangka
tanggung jawab, hubungan, dan pengharapan yang merupakan hal mendasar
Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa penyesuaian perkawinan itu
adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan
suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan
memainkan peran sebagai suami istri. Penyesuaian perkawinan ini juga dianggap
sebagai persoalan utama dalam hubungan sebagai suami istri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyesuaian perkawinan
adalah dua orang memasuki tahap perkawinan dan mulai membiasakan diri
dengan situasi baru sebagai suami istri yang saling menyesuaikan dengan
kepribadian, lingkungan, kehidupan keluarga, dan saling mengakomodasikan
kebutuhan, keinginan dan harapan.
II.A.3. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan
Hurlock (1990) mengatakan bahwa terdapat lima kriteria keberhasilan
dalam penyesuaian perkawinan, yaitu :
1. Kebahagiaan suami istri
Suami dan istri yang bahagia yang memperoleh kebahagiaan bersama akan
membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan
bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan mantap satu
dengan lainnya. Mereka juga dapat melakukan penyesuaian seksual
dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orang tua.
2. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat
Perbedaaan pendapat di antara anggota keluarga yang tidak dapat
yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi
perdamaian atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti
pandangan dan pendapat orang lain. Dalam jangka panjang kemungkinan
ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam penyesuaian perkawinan,
walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat mengurangi ketegangan
yang disebabkan oleh perselisihan yang meningkat.
3. Kebersamaan
Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat
menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila
hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun
perkawinan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih
erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas
usahanya sendiri.
4. Penyesuaiaan yang baik dalam masalah keuangan
Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan
kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya
pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan
pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu
melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas
usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang istri
yang selalu mengeluh karena pendapatan suaminya tidak memadai. Bisa
juga dia bekerja untuk membantu pendapatan suaminya demi pemenuhan
5. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga
Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak
keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan,
kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan
hubungan dengan mereka.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan
penyesuaian perkawinan adalah kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk
memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang
baik dalam masalah keuangan, dan penyeusian yang baik dari pihak keluarga
pasangan.
II.A.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan
Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan
dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :
1. Usia
Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983) mengatakan bahwa penyesuaian
pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda,
yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka
dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa
menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian
juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat
menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut. Tapi dalam hal
perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada
penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan
yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer,
1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang
berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian
pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).
2. Agama
Hubungan antara agama dan penyesuaian perkawinan sudah diselidiki
sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang
berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983)
menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor
yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan
beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan
bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan
sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama
di ketiga agama tersebut.
3. Ras
Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana
perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal
yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya
secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry,
1983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan
antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam
dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit
hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah
dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan
putih. Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan
pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan
menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang
ada dari kelompok ras mereka masing-masing
4. Pendidikan
Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya
menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan
Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang
signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan
perkawinan. Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan
dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada
pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan
yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian
yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan
tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaian perkawinan (Terman;
5. Keluarga Pasangan
Salah satu hal yang harus dihadapi oleh pasangan yang baru menikah
adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan
sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri
atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi
wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu
mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam
ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam
perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam
rumahtangga.
II.A.5. Usia Perkawinan dalam Melakukan Penyesuaian Perkawinan
Menurut Hirning dan Hirning (1956) tahun pertama dalam perkawinan
adalah tahun yang paling penting sekali dalam penyesuaian perkawinan. Pasangan
harus melakukan penyesuaian seperti mengetahui kepribadian masing-masing,
penyesuaian dengan faktor seksual, emosional, dan intelektual dan pasangan harus
belajar untuk saling membantu dalam kehidupan rumah tangga.
Hurlock (1990) juga mengatakan bahwa tahun pertama dan kedua
perkawinan, pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian
perkawinan satu sama lain (Hurlock, 1990).
Hassan (2005) mengatakan bahwa masa lima tahun pertama perkawinan
penyesuaian diri tidak hanya dengan pasangan hidup tapi juga dengan
kerabat-kerabat yang ada.
Clinebell dan Clinebell (2005) mengatakan bahwa krisis muncul saat
pertama kali memasuki pernikahan. Biasanya tahap berlangsung selama dua
sampai lima tahun. Kedua pasangan harus banyak belajar tentang pasangan
masing-masing dan diri sendiri. Keduanya mulai berhaapan dengan berbagai
masalah.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa satu sampai dua tahun
pertama perkawinan adalah tahun yang paling penting sekali dalam penyesuaian
perkawinan.
II.B. Wanita Bekerja
II.B.1. Definisi Wanita Bekerja
Tingginya tingkat pendidikan dewasa ini membuat banyak wanita usia
dewasa awal memasuki dunia profesionalisme dengan bekerja. Abad 21 juga
dicirikan dengan persaingan di dunia kerja dan peluang tersebut sangat terbuka
bagi para wanita (Bhatnagar & Rajadhyaksha, 2001).
Suryadi (dalam Anoraga, 2001) mengartikan wanita bekerja sebagai
wanita yang bekerja untuk menghasilkan uang atau lebih cenderung pada
pemanfaatan kemampuan jiwa atau karena adanya suatu peraturan sehingga
Wanita bekerja adalah wanita yang berperan sebagai ibu dan bekerja diluar
rumah untuk mendapatkan penghasilan disamping berada dirumah dan
membesarkan anak (Working Mothers Forum, 2000)
Maheshwari (1999) mengatakan bahwa wanita bekerja adalah wanita yang
pergi keluar rumah dan mendapatkan bayaran atau gaji.
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa wanita bekerja adalah
seorang ibu yang bekerja diluar rumah untuk mendapatkan penghasilan atau gaji
disamping berada dirumah untuk mengatur rumah tangga.
II.B.2. Faktor-Faktor yang Mendorong Wanita Bekerja
Rini (2002) mengemukakan beberapa faktor yang mendorong wanita
bekerja di luar rumah, yaitu :
1. Kebutuhan Finansial
Faktor ekonomi umumnya menjadi alasan seorang wanita bekerja karena
dengan penghasilan yang diperoleh, dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
2. Kebutuhan Sosial-Relasional
Kebutuhan sosial-relasional merupakan kebutuhan akan penerimaan
sosial, identitas sosial yang diperoleh melalui komunitas kerja.
3. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Bekerja merupakan salah satu jalan untuk mengaktualisasikan diri, sesuai
dengan pendapat Maslow (dalam Rini, 2002) bahwa salah satu kebutuhan
bekerja, berkreasi, mencipta, mengekspresikan diri, mengembangkan diri
dengan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menghasilkan
sesuatu, mendapatkan penghargaan, penerimaan dan prestasi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendorong
wanita bekerja yaitu kebutuhan finansial, kebutuhan sosial-relasional, dan
kebutuhan aktualisasi diri.
II.C. Wanita Tidak Bekerja
II.C.1. Definisi Wanita Tidak Bekerja
Adiningsih (2004) mengatakan bahwa dalam UU Perkawinan No.1/1974
pasal 31 ayat 3, seorang istri didefinisikan sebagai ibu rumah tangga. Definisi ini
menunjukkan bahwa seorang istri bertanggung jawab akan urusan rumah tangga,
yang tidak menghasilkan, sehingga ia tergantung pada hasil kerja suaminya.
Menurut Wikipedia (2006) wanita tidak bekerja (homemaker/ housewife) adalah wanita yang memiliki pekerjaan utama untuk menjaga atau merawat
keluarga dan/ rumah, suatu bentuk untuk menggambarkan wanita yang tidak
dibayar sebagai tenaga kerja untuk menjaga keluarganya. www.shaadi.com
[online] mengatakan bahwa ibu rumah tangga (housewife) adalah non-working woman.
Vivian (1999) mengatakan bahwa di Austria kata ibu rumah tangga adalah
wanita 18 tahun atau diatas 18 tahun, yang mengurus rumah. Di Perancis ibu
Menurut Word Reference (2006) ibu rumah tangga adalah seorang ibu
yang mengatur rumah tangga sementara suami bekerja mendapatkan gaji untuk
pendapatan keluarga.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa wanita tidak bekerja
adalah seorang ibu yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga atau
merawat keluarga tanpa memiliki pekerjaan diluar rumah.
II.C.2. Tipe-Tipe Pembagian Peran dalam Perkawinan
Kephart dan Jedlicka (1991) membagi beberapa tipe pembagian peran di dalam
perkawinan, yaitu :
1. Traditional Role Arrangements, dikarakteristikkan dengan peran wanita sebagai pengasuh, memiliki sikap untuk patuh, dan terbatas untuk menjaga
rumah, suami, dan anak. Sedangkan laki-laki sebagai pencari nafkah dan
bekerja dan memiliki peran yang lebih dominan.
2. Role Sharing in Marriage, dimana pasangan akan membagi tanggung jawab untuk melakukan berbagai macam tugas rumah tangga. Melengkapi
penghasilan keluarga, melakukan pekerjaan rumah tangga, menjaga
anak-anak, memelihara hubungan dengan keluarga, dan bersama-sama dalam
pengambilan keputusan.
3. Random Role Assignment, dimana tidak ada perbedaan antara laki-laki yang bekerja dan wanita yang bekerja. Lebih melihat kepada kemampuan,
manfaat, dan ketertarikan, sehingga peran ditetapkan secara acak atau
II.D. Dewasa Dini
II.D.1. Definisi Dewasa Dini
Hurlock (1990) mengatakan bahwa masa dewasa dini dimulai pada umur
18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan
psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong
dewasa dini (young adulthood) adalah mereka yang berusia 20-40 tahun.
Menurut Havighurst (dalam Duvall & Miller, 1985) dewasa dini adalah
periode kehidupan individualistik dan masa sepi, harus dimulai dengan perhatian
sosial yang rendah dan bantuan untuk melakukan tugas-tugas perkembangan yang
penting.
Vaillant (dalam Papalia,dkk 1998) membagi tiga masa dewasa dini yaitu
masa pembentukan, masa konsolidasi, dan masa transisi. Masa pembentukan
dimulai pada usia 20 hingga 30 tahun dengan tugas perkembangan mulai
memisahkan diri dari orang tua, membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan
mengembangkan persahabatan. Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan
masa konsolidasi karir dan memperkuat ikatan perkawinan, sedangkan masa
transisi (sekitar usia 40 tahun) merupakan masa meninggalkan kesibukan
pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal yang telah diperoleh.
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa dewasa dini adalah individu yang
masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan berusia
20 hingga 40 tahun.
II.E. Perbedaan Penyesuaian Perkawinan Pada Wanita Dewasa Dini yang Bekerja dan Tidak Bekerja
Masa dewasa dini sebagai salah satu tahapan dalam perkembangan,
dimana memiliki ciri-ciri perkembangan yang ditandai dengan adanya
ketertarikan dengan lawan jenisnya (Papalia & Olds, 1992). Ditinjau dari tahap
perkembangannya, individu yang berada pada periode dewasa dini, 20-40 tahun,
dituntut untuk segera menikah agar dapat membentuk dan memelihara kehidupan
rumah tangga yang baru, yakni terpisah dari orang tua (Santrock, dalam Dariyo,
2004).
Perkawinan menurut Duvall dan Miller (1985) adalah suatu kesatuan
hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung
jawab dan memainkan peran sebagai pasangan yang telah menikah, dimana
didalamnya terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai anak, dan
menetapkan pembagian tugas antara suami istri. Dalam perkawinan ditetapkan
komitmen untuk hidup sebagai suami istri dan bagaimana hubungan tersebut
dibentuk dan dipertahankan (Dyer, 1983). Masalah yang muncul pada tahun
pertama perkawinan adalah proses penyesuaian. Tidak hanya dengan pasangan
tapi juga dengan kerabat-kerabat yang ada (Hassan, 2005).
Tahun pertama dan kedua perkawinan, pasangan suami istri biasanya
perkawinan tersebut dapat dilihat beberapa permasalahan yang ada, misalnya
masalah pribadi suami istri yang meliputi masa lampau mereka dan masa depan
yang akan dijalani bersama (Gunarsa, 2003). Penyesuaian perkawinan merupakan
proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai hubungan suami
istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung jawab dan
memainkan peran sebagai suami istri (Duvall dan Miller, 1985).
Berdasarkan bagaimana aturan kerja dalam rumah atau keluarga
diselesaikan oleh seseorang dan siapa yang akan mengambil keputusan,
perkawinan dapat diidentifikasikan sebagai perkawinan tradisional (Lemme,
1995). Pada perkawinan tradisional, suami yang dominan dan sebagai kepala
rumah tangga. Tugas-tugas rumah tangga berdasarkan aturan yang sudah ada
yaitu wanita memegang bagian dalam dan pria cenderung dibagian luar.
Saat wanita memasuki perkawinan sebagai istri yang baru (new wife’s), diharapkan melakukan aturan rumah tangga dan sebagai pasangan sex, wanita
kepercayaan, teman, social secretary, dan perencana keluarga (Duvall & Miller, 1985). Menurut UU Perkawinan No.1/1974 pasal 31 ayat 3 (Adiningsih, 2004),
seorang istri didefinisikan sebagai ibu rumah tangga. Wanita yang mengatur
rumah tangga sedangkan pria bekerja diluar untuk mendapatkan gaji atau bayaran,
wanita tersebut disebut ibu rumah tangga/ housewife. Housewife disebut juga sebagai non-working woman (Who Is A Working Woman, 2001).
Kamo (dalam Santrock, 1997) mengatakan bahwa istri dua hingga tiga kali
lebih banyak melakukan pekerjaan keluarga dibandingkan dengan suaminya.
pekerjaan keluarga seperti istrinya (Berk, dalam Santrock, 1997). Jika dia
melakukan aturan perkawinannya dengan baik, suaminya, keluarganya, dan
teman-teman akan menganggap dia adalah istri yang baik. Istri yang baru
memiliki tugas-tugas perkembangan sebagai wanita dewasa dan istri yang
diharapkan dapat memiliki peranan penting dalam rumah tangga dan dalam
kehidupan sosial pasangan baru.
Pada masa sekarang ini karena adanya perubahan sosial, wanita lebih
mempunyai kesempatan besar untuk memilih. Wanita dapat melakukan aktifitas
berkarier seperti laki-laki tetapi tidak meninggalkan tanggung jawabnya dalam
keluarga sebagai ibu rumah tangga. Bentuk yang menonjol pada masa sekarang
adalah dimana suami dan istri bekerja diluar rumah, yang disebut dual-earner atau
dual-career family (Piotrkowski, Rapoport, & Rapoport, dalam Lemme, 1995). Williams (dalam Lemme, 1995) mengatakan bahwa wanita dimotivasi
untuk bekerja karena tiga alasan, yaitu kebutuhan ekonomi, adanya aturan atau
aspek dalam rumah tangga yang memotivasi dan adanya kebutuhan psikologis
Selain hal tersebut, masa dewasa dini disebut juga sebagai masa pengaturan
(Hurlock, 1990). Ada keinginan untuk mencoba berbagai pola kehidupan dan
menentukan pola hidup mana yang akan dipilih. Wanita muda sekarang ingin
mencoba-coba berbagai pekerjaan sebelum mereka menentukan pilihan. Mereka
bekerja untuk mengetahui apakah mereka lebih suka bekerja daripada berumah
tangga atau apakah mereka ingin melakukan keduanya, dan tentunya hal ini akan
Berkaitan dengan penyesuaian perkawinan ini banyak persoalan yang
dialami oleh para wanita bekerja. Wanita bekerja adalah wanita yang berperan
sebagai ibu dan bekerja diluar rumah untuk mendapatkan penghasilan disamping
berada dirumah dan membesarkan anak (Working Mothers Forum, 2000). Pada waktu wanita mengejar karir, mereka dihadapkan pada pertanyaan menyangkut
karir dan keluarga (Anderson & Leslie; Gustafson & Magnusson; Spade & Reese;
Steil & Weltman, dalam Santrock, 1990). Ada yang bisa menikmati perannya,
namun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya persoalan-persoalan rumit kian
berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Padahal proses penyesuaian
perkawinan itu membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda sebagai
hubungan suami istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima tanggung
jawab dan memainkan peran sebagai suami istri (Duvall & Miller, 1985).
II.F. Hipotesa
Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesa
yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, subjek penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis (Hadi, 2000). Metode penelitian adalah penelitian kuantitatif komparatif, untuk melihat penyesuaian perkawinan pada wanita dewasa dini yang bekerja dan tidak bekerja.
III.A. Identifikasi Variabel Penelitian
Identifikasi variabel penelitian digunakan untuk menguji hipotesa penelitian. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel tergantung : Penyesuaian Perkawinan
2. Variabel bebas : Wanita, dengan status :
a. Bekerja
III.B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
III.B.1. Penyesuaian Perkawinan
Penyesuaian perkawinan adalah penyatuan hubungan antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga secara sah
dimana didalamnya terdapat pemenuhan kebutuhan biologis, kebutuhan
afeksional dan adanya pembagian peran sebagai pasangan yang telah menikah.
Penyesuaian perkawinan diukur dengan skala yang dirancang sendiri oleh peneliti
berdasarkan aspek-aspek penyesuaian perkawinan yang dikemukakan Hurlock
(1990) yaitu kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan
dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah
keuangan dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan. Penyesuaian
perkawinan dapat dilihat dari skor yang diperoleh pada skala penyesuaian
perkawinan. Skor yang tinggi pada skala penyesuaian perkawinan menunjukkan
penyesuaian perkawinan yang tinggi pada diri individu, sebaliknya skor yang
rendah pada skala penyesuaian perkawinan menunjukkan penyesuaian
perkawinan yang rendah pada diri individu.
III.B.2. Wanita Bekerja dan Wanita Tidak Bekerja
Wanita bekerja adalah seorang ibu yang bekerja diluar rumah untuk
mendapatkan penghasilan atau gaji disamping berada dirumah untuk mengatur
rumah tangga.
III.B.2.b. Wanita Tidak Bekerja
Wanita tidak bekerja adalah seorang ibu yang bertanggung jawab untuk
mengurus rumah tangga atau merawat keluarga tanpa memiliki pekerjaan diluar
rumah.
III.C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel
Penelitian
Agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan dan sampel yang diambil
lebih representatif terhadap populasinya, maka sampel diambil dari populasi
tertentu yang memenuhi kriteria. Populasi adalah seluruh penduduk yang
dimaksudkan untuk diselidiki. Populasi dibatasi sebagai sejumlah penduduk atau
individu yang setidaknya mempunyai sifat yang sama, sedangkan sampel adalah
sebagian dari populasi yang dijadikan objek sebenarnya dari suatu penelitian
(Hadi, 2000). Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah wanita
menikah yang memiliki status bekerja dan tidak bekerja di kota Medan.
Mengingat keterbatasan penulis untuk menjangkau seluruh populasi, maka
penulis hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai
III.C.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Karakteristik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Wanita bekerja dan tidak bekerja berusia 20-30 tahun (dewasa dini)
Penelitian ini menggunakan sampel wanita bekerja berusia 20 hingga
30 tahun, sesuai dengan yang dikemukakan Vaillant (dalam Papalia
dkk, 1998) bahwa pada usia 20 hingga 30 tahun individu berada pada
masa pembentukan dengan tugas perkembangan mulai memisahkan
diri dari orang tua, mulai membentuk keluarga dan memulai karir.
2. Menikah.
3. Tingkat pendidikan sekurang-kurangnya SMU atau sederajat
Tingkat pendidikan sekurang-kurang SMU dan sederajat dikarenakan
masih terdapat perbedaan pendapat tentang pendidikan dengan
penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983), sehingga peneliti berusaha
membuat membuat acuan pendidikan yang sama antara sampel
penelitian.
4. Usia perkawinan minimal 1 – 2 tahun.
Peneliti mengambil subjek penelitian yang memiliki rentang usia
perkawinan 1-2 tahun, karena sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Hurlock (1990) bahwa pasangan suami istri biasanya harus melakukan
III.C.2 Teknik Pengambilan Sampel
Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah purposive sampling. Hadi (2000) mengartikan purposive sampling sebagai pemilihan subjek berdasarkan karakterisitk atau sifat populasi yang sebelumnya
telah diketahui. Penelitian ini memerlukan sampel yang sesuai dengan
karakterisitk subjek sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Jumlah subjek
dalam penelitian ini adalah 50 orang.
III.C.3 Jumlah Sampel Penelitian
Siegel (1997) mengatakan bahwa kekuatan tes statistik meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah sampel. Oleh karena itu mengenai jumlah sampel
tidak ada batasan jumlah sampel penelitian yang ideal. Jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah 50 orang.
III.D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen alat ukur
self-report berupa skala sikap. Azwar (2000) mengungkapkan skala sikap
merupakan kumpulan pernyataan-pernyataan mengenai suatu objek sikap. Dari
respon subjek pada setiap pernyataan tersebut kemudian dapat disimpulkan
mengenai arah dan intensitas sikap seseorang. Cronbach (dalam Azwar, 2000)
individu cenderung dimunculkan secara sadar atau tidak sadar dalam bentuk
respon terhadap situasi-situasi tertentu yang sedang dihadapi.
Adapun kelebihan-kelebihan dan alasan penggunaan Metode Skala, yaitu:
1. Pernyataan disusun untuk memancing jawaban yang merupakan refleksi
dari keadaan diri subjek yang tidak didasari.
2. Skala digunakan untuk mengukur suatu atribut tunggal.
3. Subjek tidak menyadari arah jawaban sesungguhnya yang diungkap dari
pernyataan skala.
Adapun skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
penyesuian perkawinan. Aitem-aitem skala penyesuaian perkawinan disusun
berdasarkan kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan menurut
Hurlock (1990), yang meliputi kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk
memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang
baik dalam masalah keuangan, dan penyesuaian yang baik dari pihak keluarga
pasangan.
Model skala Penyesuaian Perkawinan ini menggunakan skala model
Likert, terdiri dari pernyataan dengan empat pilihan jawaban yakni sangat sesuai,
sesuai, tidak sesuai dan sangat tidak sesuai. Jumlah aitem skala Penyesuaian
Perkawinan ini pada saat ujicoba adalah 60 aitem. Skala disajikan dalam bentuk
Sangat Tidak Sesuai. Sedangkan penilaian untuk item unfavorable adalah nilai 1 untuk jawaban Sangat Sesuai, nilai 2 untuk jawaban Sesuai, nilai 3 untuk jawaban Tidak Sesuai, serta nilai 4 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai. Berikut ini adalah blue print yang menyajikan distribusi aitem-aitem skala penyesuaian perkawinan.
Tabel. 1
Distribusi Aitem-aitem Penyesuaian Perkawinan Sebelum Uji Coba
No 2 Kemampuan untuk memperoleh
kepuasan dari perbedaan pendapat
9, 17, 24, 4 Penyesuaian yang baik dalam
masalah keuangan
6, 10, 20,
39, 42, 51
2, 23, 25,
5 Penyesuaian yang baik dari pihak
keluarga pasangan
7, 15, 26,
38, 47, 54
18, 19, 30,
34, 55, 60 12
Total 30 30 60
III.E. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
Azwar (1997) mengatakan bahwa tujuan dilakukannya uji coba alat ukur
adalah untuk melihat sejauh mana alat ukur dapat mengukur dengan tepat apa
yang hendak diukur dan seberapa jauh alat ukur menunjukkan kecermatan
pengukuran. Uji coba skala dilakukan dengan menyebarkan skala kepada
responden uji coba yang memiliki karakteristik hampir sama dengan karakteristik
subjek penelitian. Skala penyesuaian perkawinan disebarkan, dikumpulkan, dan
diuji validitasnya yaitu validitas isi berdasarkan daya beda aitem-aitem dengan
menggunakan koefisien korelasi Pearson Product Moment yang diperoleh melalui analisa data dengan menggunakan SPSS version 13.0 for windows. Aitem yang memliki daya beda cukup tinggi akan dihitung reliabilitasnya dengan
menggunakan reliabilitas koefisien alpha yang diperoleh melalui analisis data
dengan menggunakan SPSS version 13.0 for windows. Aitem-aitem dalam skala yang memiliki validitas yang baik dengan daya beda cukup tinggi dan reliable
akan digunakan untuk mengukur penyesuaian perkawinan.
III.E.1 Uji Validitas
Validitas tes atau validitas alat ukur adalah sejauh mana tes itu mengukur
suatu tes atau derajat kecermatan suatu tes (Azwar, 2000). Untuk mengkaji
validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur berdasarkan arah
isi yang diukur yang disebut dengan validitas isi (content validity).
Suryabrata (2000) mengatakan bahwa validitas isi menunjukkan kepada
sejauh mana item-item yang dilihat dari isinya dapat mengukur apa yang
dimaksudkan untuk diukur. Ukuran sejauh mana ini ditentukan berdasar derajat
repesentatifnya alat ukur itu bagi isi hal yang akan diukur. Validitas isi alat ukur
ditentukan melalui pendapat professional (professional judgement) dalam proses telaah soal. Dengan menggunakan spesifikasi alat ukur yang telah ada, akan
dilakukan analisa logis untuk menetapkan apakah item-item yang telah
dikembangkan memang mengukur (representatif bagi) apa yang dimaksudkan
untuk diukur.
Setelah melakukan validitas isi kemudian dilanjutkan dengan melakukan
uji daya beda aitem. Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana
item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki
atribut dengan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur. Dasar kerja yang
digunakan dalam analisis item ini adalah dengan memilih item-item yang fungsi
alat ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain,
memilih item yang mengukur hal yang sama dengan yang diukur oleh tes sebagai
keseluruhan (Azwar, 2000).
Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien
korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan suatu kriteria yang relevan
korelasi item total yang dapat dilakukan dengan menggunakan formula koefisien
korelasi Pearson Product Moment (Azwar, 2000). Uji daya beda aitem ini akan dilakukan pada alat ukur yang dalam penelitian ini adalah skala penyesuaian
perkawinan.
III.E.2 Uji Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran dengan alat
tersebut dapat dipercaya (Azwar, 2001). Dari sejumlah aitem yang terpilih
memiliki daya beda aitem yang tinggi dilakukan komputasi untuk memperoleh
koefisien reliabilitas. Reliabilitas alat ukur yang dapat dilihat dari koefisien
reliabilitas merupakan indikator konsistensi aitem-aitem tes dalam menjalankan
fungsi ukurnya secara bersama-sama.
Uji reliabilitas alat ukur ini menggunakan pendekatan konsistensi internal
yang mana prosedurnya hanya memerlukan satu kali penggunaan tes kepada
sekelompok individu sebagai subjek. Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis
dan berefisiensi tinggi (Azwar, 2001). Teknik yang digunakan adalah teknik
koefisien reliabilitas Alpha Cronbach.
Penghitungan daya beda aitem dan koefisien reliabilitas dalam uji coba ini
dilakukan dengan menggunakan program SPSS version 13.0 for Windows.