HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi yang telah diuji, direvisi
dan disetujui untuk diangkat menjadi skripsi pada tanggal
_____________
Tim Penguji Bidang Psikologi Klinis :
1. Dra. Irna Minauli, M.Si ( )
NIP. 131 793 055
2. Raras Sutatminingsih, M.Si ( )
NIP. 132 255 303
3. Hasnida, M.Si ( )
NIP. 132 255 308
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke
hadirat Illahi Rabbi, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kesepian Korban Tsunami yang Telah
Menikah di Barak Pengungsi. Shalawat dan salam kepada Rosulullah SAW, semoga
kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan dalam perjalanan skripsi ini dan
kerja-kerja selanjutnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Bapak dr. Chairul Yoel, Sp. A (K) selaku ketua program studi.
2. Ibu Irna Minauli, Msi., psikolog yang dengan sabar, telah banyak
meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan petunjuk, saran, bimbingan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Bu Raras Sutatminingsih dan Hasnida (Mila) yang telah bersedia menjadi
penguji skripsi, terima kasih kesempatan dan waktunya, semoga dengan
keikhlasan ibu diberikan barakah-Nya, amin.
4. Keluargaku (spesial Ayah & Mama semoga Allah membalasnya, saya bangga
jadi puterimu. Abay, Kak Uti semoga diberi hidayah-Nya
5. Buat Aank yang kusayangi dan kucintai karena Allah, yang selalu
memberikan do’anya dan dengan setia mendengarkan keluh-kesahku .
6. Buat teman-teman angkatan 03
v
8. Buat semua orang yang sudah membantu skripsiku
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan
dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang
membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya,
kepada Allah penulis berserah diri, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, amiin.
Medan, September 2007
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN...ii
ABSTRAKSI...iii
KATA PENGANTAR ...iv
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR LAMPIRAN...x
BAB.I. PENDAHULUAN...1
I.A. Latar Belakang Masalah...1
I.B. Identifikasi Masalah...12
I.C. Tujuan Penelitian...12
I.D. Manfaat Penelitian...12
I.D.1.Manfaat Teoritis...11
I.D.2.Manfaat Praktis...12
I.E. Sistematika Penulisan...12
BAB. II. LANDASAN TEORI...15
II.A. Kesepian...15
II.A.1.Pengertian Kesepian...15
II.A.2. Aspek-aspek Kesepian...17
II.A.3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kesepian...20
vii
II.A.5. Jenis-jenis Kesepian...23
II.B. Korban Tsunami………...25
II.C. Barak Pengungsi………...27
II.D. Kerangka Berpikir...28
PARADIGMA PENELITIAN...31
BAB.III. METODE PENELITIAN...32
III.A. Pendekatan Kualitatif...32
III.B. Metode Pengambilan Data ...32
III.B.1. Wawancara...33
III.C. Responden Penelitian...35
III.C.1. Karakteristik Responden...35
III.C.2. Jumlah Responden...36
III.C.3.Prosedur Pengambilan Responden...37
III.C.4.Lokasi Penelitian...38
III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data...38
III.D.1. Pedoman Wawancara...38
III.D.2. Alat Perekam (tape recorder)…...39
III.E. Prosedur Penelitian ...39
III.E.1. Tahap Pralapangan………...39
III.E.2. Tahap Pekerjaan Lapangan……...40
BAB.IV. ANALISA DATA DAN INTEPRETASI...44
IV.A. Responden 1...44
IV.A.1.Deskripsi Data...44
IV.A.2. Analisis Data...46
IV.B. Responden 2...53
IV.B.1.Deskripsi Data...53
IV.B.2. Analisis Data...56
IV.C. Responden 3...61
IV.C.1.Deskripsi Data...61
IV.C.2. Analisis Data...63
IV.D. Responden 4...70
IV.D.1.Deskripsi Data...70
IV.D.2. Analisis Data...71
IV.E. Pembahasan...76
IV.E.1...76
IV.E.2...79
IV.E.3...85
IV.E.4...89
BAB V DISKUSI, KESIMPULAN, DAN SARAN V.A. Diskusi...93
ix
V.C. Saran...96
V.1.Saran Praktis...96
V.2. Saran Teorotis...97
DAFTAR PUSTAKA...100
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
Bagan Analisi Responden Berdasarkan Jenis Kesepian
LAMPIRAN B
Bagan Analisis per Responden
LAMPIRAN C
Bagan Analisis Keempat Responden
LAMPIRAN D
Pedoman Wawancara
LAMPIRAN E
ABSTRAK Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Dara Maulina: 031301069
Kesepian Korban Tsunami yang Telah Menikah di Barak Pengungsi X+103 halaman + lampiran
Bibliografi 41 (1993 - 2007)
Tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi kedua terbesar mengguncang dasar laut yang berjarak sekitar 150 km dari pantai Sumatra. Hanya dalam bilangan menit, pasukan gelombang maha dahsyat mulai memporakporandakan kehidupan masyarakat pantai di Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, dan Myanmar. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) yang terkena paling parah (CARE, 2006). Kini dua tahun lebih tsunami berlalu, namun sedikitnya 49 ribu jiwa masih hidup dalam kekurangan di barak-barak (Miksalmina, dkk., 2007).
Gallozi (2007) menyebutkan bahwa barak pengungsi dapat memicu timbulnya perasaan kesepian. Brehm, dkk. (2002) menyatakan bahwa kesepian merupakan perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan karena adanya kesenjangan diantara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dimiliki.
Penelitian menggunakan metode kualitatif karena dipandang lebih sesuai untuk memahami manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif. Penelitian menggunakan 4 orang responden korban tsunami yang telah menikah dan tinggal di barak pengungsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua orang responden mengalami kesepian emosional, tiga orang responden mengalami kesepian sosial, tiga orang responden mengalami kesepian transisi, dan seorang responden mengalami kesepian kronis. Secara umum kesepian selain diakibatkan karena kehilangan pasangan atau orang yang dicintai, juga disebabkan karena pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika hubungan sosial seseorang secara nyata mengalami kekurangan baik kualitas maupun kuantitasnya.
Dari penelitian ini, peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian apakah dengan selesainya pembangunan rumah bantuan dan segera ditempati akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kesepian sosial yang dirasakan korban tsunami yang berada di barak pengungsi.
ABSTRAK Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Dara Maulina: 031301069
Kesepian Korban Tsunami yang Telah Menikah di Barak Pengungsi X+103 halaman + lampiran
Bibliografi 41 (1993 - 2007)
Tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi kedua terbesar mengguncang dasar laut yang berjarak sekitar 150 km dari pantai Sumatra. Hanya dalam bilangan menit, pasukan gelombang maha dahsyat mulai memporakporandakan kehidupan masyarakat pantai di Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand, dan Myanmar. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) yang terkena paling parah (CARE, 2006). Kini dua tahun lebih tsunami berlalu, namun sedikitnya 49 ribu jiwa masih hidup dalam kekurangan di barak-barak (Miksalmina, dkk., 2007).
Gallozi (2007) menyebutkan bahwa barak pengungsi dapat memicu timbulnya perasaan kesepian. Brehm, dkk. (2002) menyatakan bahwa kesepian merupakan perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan karena adanya kesenjangan diantara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dimiliki.
Penelitian menggunakan metode kualitatif karena dipandang lebih sesuai untuk memahami manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif. Penelitian menggunakan 4 orang responden korban tsunami yang telah menikah dan tinggal di barak pengungsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua orang responden mengalami kesepian emosional, tiga orang responden mengalami kesepian sosial, tiga orang responden mengalami kesepian transisi, dan seorang responden mengalami kesepian kronis. Secara umum kesepian selain diakibatkan karena kehilangan pasangan atau orang yang dicintai, juga disebabkan karena pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika hubungan sosial seseorang secara nyata mengalami kekurangan baik kualitas maupun kuantitasnya.
Dari penelitian ini, peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian apakah dengan selesainya pembangunan rumah bantuan dan segera ditempati akan mengurangi atau bahkan menghilangkan kesepian sosial yang dirasakan korban tsunami yang berada di barak pengungsi.
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi kedua terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah mengguncang dasar laut yang berjarak sekitar 150 km dari
pantai Sumatra (CARE, 2006). Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), gempa bumi tektonik yang terjadi di NAD tersebut berkekuatan
6,8 SR dengan kedalaman 20 km di laut atau sekitar 149 km selatan Meulaboh, namun hasil survei geologi Amerika Serikat, gempa bumi tersebut dinyatakan berkekuatan 8,9 SR (Razi dalam Harjaningrum, 2005). Selain menimbulkan
getaran yang kuat, gempa kali ini juga menyebabkan timbulnya deformasi vertikal di sumber gempa. Deformasi vertikal berupa penurunan permukaan dasar laut yang mengakibatkan penjalaran energi kinetik menjadi gelombang tsunami di
pantai. Tsunami biasanya ditandai dengan air laut yang surut setelah gempa bumi. Beberapa menit setelah pantai surut terjadilah gelombang membalik yang sangat
besar (Ikawati dalam Kompas, 2005).
Hanya dalam bilangan menit, pasukan gelombang maha dahsyat mulai memporakporandakan kehidupan masyarakat pantai di Indonesia, Sri Lanka,
India, Thailand, dan Myanmar. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) yang terkena paling parah karena terletak paling dekat dengan pusat gempa (CARE,
langsung dengan laut lepas serta tidak terdapat vegetasi pantai (seperti hutan
bakau) dan tanaman lainnya yang berukuran besar yang berakar kuat dan dalam, yang dapat berfungsi sebagai pemecah atau peredam gelombang (Ikawati dalam
Kompas, 2005).
Menurut para saksi, tinggi gelombang yang datang menerjang mencapai dua kali tinggi pohon kelapa hingga 15 meter. Di ibukota Banda Aceh,
satu-satunya kota besar yang terletak di dekat pusat gempa, jalan dan jembatan tersapu habis di beberapa daerah di sekitarnya, garis pantai sepanjang lebih dari 500 meter
lenyap. Ada banyak toko, perusahaan, pusat-pusat kesehatan, dan gedung-gedung pemerintah, bersama-sama dengan ribuan rumah yang hilang. Ekosistem pantai, seperti bakau dan terumbu karang menjadi rusak. Perikanan, pertanian dan
infrastruktur pantai semuanya hancur dan 20 persen dari jumlah seluruh penduduk provinsi tersebut kehilangan tempat tinggal (CARE, 2006).
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti terhadap peristiwa gempa dan
tsunami yang terjadi di Aceh (24 Desember 2004), masyarakat Aceh tidak hanya kehilangan harta benda tetapi banyak juga yang kehilangan suami/istri, sanak
keluarga, kerabat dan tetangga yang hingga kini masih ada yang tidak diketahui keberadaannya. Sebagian besar korban yang selamat dari peristiwa tersebut tidak memiliki rumah atau tempat tinggal layak. Hal ini menyebabkan hampir seluruh
dari mereka harus mengungsi dan tinggal di tenda pengungsi. Para pengungsi tersebut selanjutnya dipindahkan ke barak pengungsi yang berada di beberapa
Perjuangan para pengungsi korban gempa dan tsunami untuk tetap bisa
bertahan hidup di camp-camp pengungsian, ternyata amat berat. Tidak saja berkutat dengan upaya untuk bisa kembali ke tempat tinggal asal, tetapi juga
kebutuhan logistik dan kesehatan bisa terpenuhi tanpa ada persoalan. Selain itu, ketiadaan modal awal untuk memulai hidup baru menyebabkan korban tsunami masih berada di camp pengungsi, non camp, ataupun yang sudah menempati
barak-barak penampungan yang baru (Divisi Kampanye Koalisi HAM NGO Aceh, 2006). Proses rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam setelah bencana
tsunami melanda dua tahun silam, masih terkesan berjalan lamban. Masih banyak korban tsunami belum menghuni rumah yang layak. Mereka bertahan di barak karena masih berharap janji pemerintah membangunkan rumah baru akan
terwujud. Hidup di pengungsian meski tidak menyenangkan tetapi harus dijalani karena para pengungsi tidak punya pilihan lain. Selain kebebasan terkekang, mereka sulit mencari pekerjaan (Tim Liputan 6 SCTV dalam Liputan6.com,
2006). Berikut pengakuan salah satu korban tsunami yang kehilangan pekerjaannya:
”Mata pencaharian memang udah susah sedikit. Kalau dulu ada tambak ya. Sekarang sudah gak ada lagi tambak karena udah kena tsunami. Pande-pande kita kan kalau udah ada duit sedikit di hemat. Bukan kayak itu hari dulu, misalnya hari ini dapat, besok dapat. Sekarang gak kaya gitu lagi kan”. (Akbar, bukan nama sebenarnya komunikasi personal, 14 Agustus 2007).
Kini dua tahun lebih tsunami berlalu, namun sedikitnya 49 ribu jiwa masih
tenda. Namun, sebagian orang menilai, tinggal di barak hanyalah menunda
penyelesaian masalah yang sesungguhnya (Miksalmina, dkk., 2007). Temuan ARF (Aceh Recovery Forum) (dalam WASPADA Online, 2007) di lapangan
memperlihatkan sesuatu yang mulai jarang dipublikasikan, yaitu hidup dan kehidupan penghuni barak yang tidak menentu dalam segala hal, khususnya dalam bidang sanitasi, kesehatan dan pendidikan. Penghuni barak terpaksa
menghabiskan waktu secara tidak produktif, dan itu sudah berlangsung hampir dua tahun. Kompas (2007) menyebutkan kehidupan pengungsi di Aceh yang
tinggal di barak-barak selama hampir dua tahun belakangan ini kian mengenaskan karena kondisi barak sudah banyak yang rusak. Sementara itu, rumah bantuan yang sudah jadi, banyak tak dihuni karena kondisinya hancur-hancuran.
Miksalmina, dkk. (2007) menambahkan mengenai masalah penghapusan masyarakat barak, pemerintah tak bisa mematok waktu yang pasti kapan pengungsi bisa pindah dari barak ke rumah permanen. Tanggung jawab
pembangunan rumah permanen ada pada Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias dan NGO (Non Goverment Organitation) yang telah
menjanjikan membangun rumah. Pemerintah mengambil alih penyediaan rumah sementara guna memindahkan pengungsi dari tenda sebagai bagian dari kelanjutan program tanggap darurat yang belum selesai, sementara itu BRR
Aceh-Nias menargetkan paling lambat akhir 2007 seluruh pengungsi tidak lagi tinggal di barak. Mereka yang mencapai 49.423 orang itu akan dipindahkan ke
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, sebagian pengungsi yang berasal
dari Lambaro skep, Banda Aceh, mengaku bahwa rumah yang disebut hunian sementara itu tidak layak dipakai manusia. Dinding rumahnya hanya terbuat dari
kayu berlapis terpal plastik. Jika hujan turun sudah dipastikan air menetes di sana-sini. Seperti salah satu hasil wawancara berikut ini:
”Ni makin lama makin lapuk ini, cuaca pun makin lama makin garang aja ya kan. Ini aja ditiup angin goyang, tingkat anak-anak jalan aja ni goyang. Kalau dulu ni gak goyang., sekarang udah goyang, belum lagi kita lari-lari nah di situ kita was-wasnya. Terus ni barak bahan dari kayu semua kalau salah pasang listrik itu bisa terbakar kan”. (Rahadi bukan nama sebenarnya komunikasi personal, 31 Juli 2007)
Korban tsunami yang tinggal di barak pengungsi Lambaro skep ini tidak punya pilihan lain. Setelah kampungnya habis tersapu gelombang tsunami, salah seorang pengungsi yang bernama Putri (bukan nama sebenarnya) tinggal di barak
bersama 4 anggota keluarganya. Beban hidup Putri sekeluarga semakin berat karena fasilitas juga serba kurang. Mereka mengaku sering kesulitan mendapat
air. Berbeda dengan kondisi sebelumnya ketika mereka berada di rumah sendiri, mereka merasa lebih nyaman. Ketidaknyamanan ini disebabkan kondisi barak yang jauh berbeda dari kondisi rumah mereka dahulu. Selain itu kamar barak yang
terbatas memaksa mereka untuk berbagi dengan anaknya. Putri mengaku membagi kamar tempat tidurnya bersama anaknya dengan membagi kasur untuk
tidur menjadi dua yang diberi kelambu di setiap kasurnya.
Selain itu kehidupan sehari-hari pengungsi di Lambaro skep ini sebagian besar diisi dengan kegiatan yang monoton. Terutama jika pengungsi yang telah
menghabiskan waktu hanya dengan duduk-duduk dan sesekali bercengkerama
dengan pengungsi yang lain. Mereka mengaku sudah pernah beberapa kali mendapat pelatihan untuk mengembangkan keahlian yang bisa digunakan untuk
usaha berdikari, namun lepas dari pelatihan sebagian dari pengungsi ini memiliki kendala untuk mendapatkan bahan baku karena dana dan fasilitas yang terbatas.
Gallozi (2007) menyebutkan bahwa barak pengungsi dapat memicu
timbulnya perasaan kesepian. Banyak hal yang dapat menyebabkan kesepian, menurut Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, dkk., 2002) ketika individu tidak
memiliki keterikatan dengan seseorang secara intim atau kehilangan pasangan intim, hidup sendiri, sehingga ketika pulang ke rumah selalu mendapati rumah yang kosong, terasing dari lingkungan karena merasa berbeda atau merasa tidak
dipahami lingkungan, mengalami pengasingan karena hal-hal tertentu seperti sakit, dan dislokasi karena harus berada jauh dari rumah akan membuat seseorang
mengalami perasaan kesepian.
Menurut Peplau & Perlman (dalam Demir, 2003) kesepian merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika hubungan sosial
seseorang secara nyata mengalami kekurangan baik kualitas maupun kuantitasnya. Secara kualitas berarti seseorang merasa bahwa hubungan sosialnya kurang
memuaskan dibanding dengan apa yang diharapkan. Secara kuantitas mengandung makna bahwa seseorang tidak mempunyai teman atau mempunyai teman namun tidak seperti yang diinginkannya (Sears, dkk., 1997).
yang kesepian dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena laki-laki
dianggap kurang pantas untuk mengekspresikan emosinya sehingga mereka tidak mau mengakui bahwa mereka kesepian (Deaux, dkk., 1993). Menurut Borys &
Perlman (dalam Cramer & Neyedley, 1998) tekanan sosial dapat menjadi pintu masuk seseorang menuju kesepian, laki-laki yang menunjukkan gejala kesepian mungkin dilihat lebih negatif dibanding perempuan dengan gejala yang sama.
Laki-laki tidak mengungkapkan perasaan kesepian dikarenakan untuk melindungi dirinya sendiri dari celaan sosial. Menurut Brehm, dkk. (2002) laki-laki lebih
kesepian ketika mengalami keterasingan emosi yaitu tidak memiliki pasangan intim. Perempuan lebih mudah menjadi kesepian jika ikatan pernikahan mengurangi hubungan terhadap hubungan sosial yang lebih luas. Young (dalam
Carr & Schellenbach, 1993) menyatakan bahwa kesepian merupakan hal yang sering dialami ketika seseorang mengalami perubahan situasi atau perubahan transisi seperti perubahan suasana hati (mood).
Menurut Weiten & Lloyd (2006) jenis kesepian dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu tipe kekurangan hubungan dan tipe jangka waktu. Tipe
kekurangan hubungan terbagi dua. Weiss (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyebutkan kesepian emosional sebagai konsekuensi hilangnya seseorang yang dekat secara intim dan kesepian sosial yang merupakan kesepian yang dirasakan
sebagai konsekuensi dari kehilangan teman atau kolega. Dilihat dari jangka waktu, kesepian terbagi tiga yang terdiri dari kesepian sementara yaitu
lalu dan menjadi kesepian setelah mengalami gangguan dalam hubungan
sosialnya seperti kematian orang yang dicintai. Selanjutnya kesepian kronis yaitu kondisi yang mempengaruhi seseorang dan tidak mampu mengembangkan
kepuasan hubungan interpersonal selama bertahun-tahun (Young dalam Weiten & Lloyd, 2006).
Korban tsunami berikut ini adalah seorang ibu rumah tangga, mengaku
merasa bosan dengan pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari, seperti hasil wawancara berikut:
“Ada. Itu-itu aja, bosan. Tiap hari angkat air, duduk-duduk itu aja. Paling-paling kerja punya kita sendiri kaya di rumah gitu, itu aja. Gimana mau cari bantuan udah keadaan kaya gini di barak. Mati lampu kadang-kadang itu air pun seminggu mati nanti kadang-kadang hidup. Kalau datang orang itu pun orang X itu kami lapor ni air mati, nanti, kadang-kadang besok dah di bawa air minum. Kaya gitu lah jadi gimana mau diminta lagi.” (Putri bukan nama sebenarnya, Komunikasi personal 13 Agustus 2007).
Hamid (dalam Portal Nasional Republik Indonesia, 2006) mengungkapkan, pengungsi korban tsunami saat ini sudah bosan tinggal di
barak-barak atau shelter, dan kalau ini tidak segera diatasi maka akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti peristiwa kerusuhan dan amuk massa pengungsi
korban tsunami beberapa waktu lalu di Kantor BRR, karena mereka merasa dipermainkan dan sudah tidak tahan lagi tinggal di barak. Pengungsi korban tsunami saat ini sudah mulai bosan tinggal di barak, sebelum terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, itu harus segera diperhatikan oleh BRR terutama dengan mempercepat pembangunan rumah itu sendiri. Selain itu, pengungsi di barak saat
mereka jika dibandingkan dengan sebelumnya, sehingga menimbulkan
kekecewaan terhadap mereka.
Bruno (2000) menyatakan bosan merupakan suatu keadaan mental dan
emosional seseorang yang berhubungan dengan kesepian. Orang yang kesepian cenderung mempersepsikan lingkungan yang dapat menyebabkan stres sebagai suatu ancaman daripada tantangan, dan secara pasif mengatasi stres dengan
mengurangi untuk meminta bantuan dan dukungan emosi dari orang lain, serta menarik diri dari lingkungan yang menyebabkan stres daripada dengan aktif
mengatasi dan mencoba untuk memecahkan masalah (Cacioppo dalam Senior Journal, 2006).
Salah seorang korban tsunami menunjukkan rasa kesepian karena
kehilangan pasangannya:
“Sedih, saya suami gak ada anak masih kecil, rumah gak ada lagi gimana ya saya. Begitulah perasaan kakak. Sama tetangga baik-baik, kalau misalnya ada apa-apa orang ni bilang kalau ada apa-apa panggil saya ya. Susah lah gak ada uang, emang ada juga uang tapi dulu kan ada suami enak, gak mesti kita pergi untuk cuci baju orang. Sekarang semua-semua harus sendiri untuk cari makan kan.” (Naimah bukan nama sebenarnya, komunikasi personal 28 Juli 2007)
Sadler (dalam Rokach, 1999) menyatakan bahwa banyak orang yang mengalami kesepian, sebagian dari mereka menjadi lemah, depresi, dan tidak bermoral. Brehm, dkk. (2002) juga menyebutkan bahwa seorang janda memiliki
kecenderungan tingkat kesepian yang paling tinggi daripada orang-orang yang termasuk kategori tidak pernah menikah, berpisah, dan bercerai. Perempuan yang
karena mata pencaharian keluarga tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga
(Hurlock, 1994).
Seperti yang dikemukakan oleh Rubenstein & Shaver (dalam Brehm,
dkk., 2002) bahwa seseorang yang merasa terasing oleh karena merasa berbeda dari lingkungannya dapat menyebabkan kesepian. Layaknya korban tsunami di Lambaro skep yang terpaksa harus menetap di barak pengungsi yang mana
lokasinya di belakang pemukiman penduduk asli, di daerah dekat tambak serta merasa jauh dari jangkauan pemberian bantuan oleh NGO (Non Goverment
Organitation). Sebagian penduduk Lambaro skep ini sudah memiliki rumah
sendiri, namun demikian ada barak lain yang ditempati oleh korban tsunami tetapi bantuan dan penyuluhan masih sering didapat. Seperti pernyataan salah seorang
korban tsunami yang menunjukkan keterasingan berada di barak pengungsi. “Ujong barak sini kurang diperhatiin ketimbang di barak lapangan bola itu. Kalau di sana apa-apa aja itulah dari modal usaha, misalnya dapat uang, dapat selop, ntah baju anak-anak misalnya kan di sini gak pernah dapat. Sedih kita ngadu. Macam anak tiri lah kita di sini. Tapi mau bilang apa. Terasing lah kami di barak ini, kurang di perdulikan ketimbang di barak-barak lain di daerah ini ya. Pemerintah kurang, dari Geuchiknya kurang. Kecuali ada bantuan dari mesjid umum, itu baru. Kan ada orang NGO, walaupun dapat bantuan dari NGO tapi sampai ke tangan orang itu, ndak sampai ke kami di sini ini.” (Putri bukan nama sebenarnya, komunikasi personal, 31 Juli 2007)
Merasa kesepian terutama dicirikan oleh perasaan keterasingan (seperti merasa menjadi orang yang terbuang dari masyarakat) dan kurangnya hubungan
yang bermakna dengan orang lain (seperti terputus hubungan secara emosional baik dengan keluarga sendiri maupun kelompok-kelompok masyarakat). Salah satu faktor yang menyebabkan keterasingan adalah keterguncangan yang
Kesepian merupakan hal yang sangat umum terjadi.
Hampir semua orang merasakannya pada suatu waktu (University of Cambrigde Counseling Service, 1999). Namun demikian, kesepian
berbeda dengan kesendirian. Biasanya orang merasa kesepian pada saat seorang diri (Sears, dkk., 1997). Menurut Bruno (2000) hadirnya orang lain di sekitar seseorang belum tentu dapat menjamin bahwa seseorang tidak mengalami
kesepian.
Dari latar belakang yang telah diuraikan, dapat dilihat bahwa kesepian
merupakan sifat yang lazim terjadi. Bagaimana dengan kesepian korban tsunami terutama yang telah menikah, berasal dari Lambaro skep yaitu daerah pedesaan yang berada dekat dengan tambak, setelah dua tahun tsunami mereka terpaksa
I.B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti mengidentifikasi pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini berdasarkan
pengalaman korban tsunami di barak pengungsi. Dengan demikian, identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana kesepian korban tsunami yang telah menikah di barak
pengungsi?
Bagaimana penyebab kesepian korban tsunami yang telah menikah di barak
pengungsi?
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana kesepian
korban tsunami di barak pengungsi, serta bagaimana penyebab kesepian korban tsunami di barak pengungsi tersebut.
I.D. Manfaat Penelitian I.D.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau masukan bagi pengembangan psikologi, khususnya Psikologi Klinis, terutama mengenai kesepian korban tsunami yang telah menikah di barak pengungsi.
I.D.2. Manfaat Praktis
a. Melihat gambaran kesepian korban tsunami yang telah menikah di barak
b. Bahan masukan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam intervensi korban
bencana alam di barak pengungsi.
c. Agar individu menyadari perasaan kesepian lazim terjadi, dan dapat
mengurangi dampak perasaan tersebut terhadap perilakunya di kehidupan sehari-hari.
d. Memberikan referensi/acuan bagi penelitian selanjutnya.
I.E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : Bab I: Pendahuluan
Berisikan tentang latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II: Landasan teori
Terdiri dari teori-teori yang menjelaskan data penelitian, yaitu teori
tentang kesepian, yang di dalamnya termasuk definisi, aspek-aspek kesepian, faktor-faktor yang menyebabkan kesepian, faktor-faktor yang
mempengaruhi kesepian, jenis kesepian, serta pengertian korban tsunami, dan pengertian tentang barak pengungsi, kerangka berpikir, dan paradigma penelitian.
Bab III: Metode Penelitian
Berisikan metode penelitian kualitatif yang digunakan, metode
penelitian. Selain itu juga memuat alat bantu pengumpulan data, prosedur
penelitian yang terdiri dari tahap pralapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.
Bab IV: Analisis data dan Interpretasi.
Bab ini berisikan analisis dan interpretasi data hasil wawancara yang dilakukan, mencakup deskripsi data, pengorganisasian (rekonstruksi) data,
dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan.
Bab V: Kesimpulan, diskusi dan saran.
Kesimpulan berisikan hasil penelitian yang dilaksanakan, dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau
penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Kesepian
II.A.1. Pengertian Kesepian
Brehm, dkk. (2002) menyatakan bahwa kesepian merupakan perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan karena adanya kesenjangan
diantara hubungan sosial yang diinginkan dengan hubungan sosial yang dimiliki. Menurut Baron & Byrne (2000) kesepian juga bermakna kecenderungan kepribadian yang dikarakteristikkan dengan seseorang yang menginginkan suatu
bentuk hubungan tetapi gagal untuk melakukannya.
Kesepian bersifat subjektif yang berarti seseorang yang sendirian belum
tentu merasa kesepian, atau ketika berada dalam keramaian dia merasa kesepian (Feldman, 1995). Orang yang kesepian sering mengalami kesulitan untuk memperkenalkan dirinya, memiliki percakapan telepon, dan berpartisipasi dalam
sebuah kelompok (Rook, dkk. dalam Myers, 1996). Kesepian berhubungan dengan kurangnya keahlian sosial (Morier, Boisvert, dkk. dalam Hopps dkk.,
2001). Menurut Anderson dkk., Jackson, dkk., Jones, dkk. (dalam Baron & Byrne, 2000) kesepian disertai dengan afek negatif, termasuk perasaan depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, dan ketidakpuasan yang diasosiasikan dengan
pesimisme, menyalahkan diri sendiri, dan rasa malu. Kesepian berhubungan dengan harga diri yang rendah. Orang yang memiliki harga diri yang rendah akan
di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti ini, individu tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial
tertentu secara terus-menerus dan akibatnya akan mengalami kesepian (McWhirter, Rubenstein & Shaver, dalam Brehm, 2002).
Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menambahkan 4 bentuk perasaan yang dialami oleh individu yang merasa kesepian, antara lain:
a. Desperation (putus asa),
yaitu munculnya perasaan panik ataupun helpless pada individu. Adapun perasaan dari desperation ini ditandai dengan: perasaan putus asa, tidak berdaya, takut, tanpa harapan, merasa dibuang atau ditinggalkan, dan mudah dikecam atau dikritik.
b. Depression (depresi)
Yaitu suatu perasaan negatif yang muncul pada diri individu. Perasaan depresi ini ditandai dengan: perasaan tidak sabar, membosankan, adanya hasrat untuk berpindah ke tempat lain, merasa gelisah, tidak tenang, mudah marah, dan tidak mampu untuk berkonsentrasi.
c. Impatient boredom
Yaitu kebosanan yang muncul karena ketidaksabaran individu. Perasaan impatient boredom ini ditandai dengan: perasaan tidak menarik, benci
pada diri sendiri, merasa bodoh, memalukan, dan merasa tidak nyaman. d. Self-deprecation
Yaitu individu menyalahkan diri sendiri, mencela, mengutuk dirinya. Perasaan self-deprecation ini ditandai dengan: perasaan sedih, tertekan, merasa kosong, terpencil, tidak memaafkan diri sendiri, melankolis, dan merasa diasingkan.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kesepian
ketidakbahagiaan yang diasosiasikan dengan pesimisme, menyalahkan diri sendiri, dan rasa malu.
II.A.2. Aspek-aspek Kesepian
Munurut Bruno (2000) yang menjadi aspek-aspek kesepian, yaitu:
a. Isolasi
Isolasi adalah suatu keadaan dimana seseorang merasa terasing dari tujuan-tujuan dan nilai-nilai dominan dalam masyarakatnya. Kemenangan,
agresivitas, manipulasi merupakan faktor-faktor pemicu munculnya keterasingan. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya isolasi:
1) Keterguncangan yang disebabkan oleh perpindahan
2) Keyakinan bahwa seseorang merasa lebih unggul dalam hal tertentu dibanding rekan lainnya.
3) Pekerjaan bagaikan robot. Pekerjaan rutin yang tidak memberikan tantangan.
Isolasi atau keterasingan ini juga dapat terjadi jika seseorang merasa
dirinya tidak berguna atau tidak berdaya, cenderung membesar-besarkan kesalahan dan mengecilkan arti yang baik, tidak berusaha untuk
menggabungkan diri dengan kelompok sosial tertentu, meninggalkan atau tidak memiliki seperangkat nila-nilai tradisional yang biasanya terdapat dalam suatu keluarga, tidak berusaha berdamai jika berselisih dengan
b. Penolakan
Penolakan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak diterima, diusir
dan dihalau oleh lingkungannya. Seorang yang kesepian akan merasa dirinya ditolak dan ditinggalkan walaupun berada di tengah-tengah
keramaian.
c. Merasa disalahmengerti.
Merasa disalahmengerti adalah suatu keadaan dimana seseorang merasa
seakan-akan dirinya disalahkan dan tidak berguna. Seseorang yang selalu merasa disalahmengerti dapat menimbulkan rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri dan merasa tidak mampu untuk bertindak.
d. Merasa tidak dicintai
Merasa tidak dicintai adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak
mendapatkan kasih sayang, tidak diperlakukan secara lembut dan tidak dihormati. Merasa tidak dicintai akan menjauhkan dari persahabatan dan kerjasama. Suatu perhatian dalam analisis transaksi adalah suatu unit
pengakuan. Unit ini adalah merupakan penghargaan atau bukti utama dari cinta atau kasih sayang. Setiap orang membutuhkan perhatian supaya
dapat berkembang di setiap tahapan umurnya. Perhatian yang diperoleh secara teratur adalah cara terbaik untuk mengatasi kesepian. Tanpa adanya perhatian seseorang dapat menjadi terasing secara emosional.
Tidak mempunyai sahabat diibaratkan tidak ada seseorang yang berada disampingnya, tidak ada hubungan, tidak dapat berbagi. Orang yang paling
tidak berharga adalah orang yang tidak mempunyai sahabat. f. Malas membuka diri (tertutup)
Malas membuka diri adalah suatu keadaan dimana seseorang malas menjalin keakraban, takut terluka, senantiasa merasa cemas, dan takut jangan-jangan orang lain akan melukainya.
g. Bosan
Bosan adalah suatu perasaan seseorang yang merasa jenuh tidak menyenangkan, tidak menarik, merasa lemah. Orang-orang yang
pembosan biasanya orang-orang yang tidak pernah menikmati keadaan-keadaan yang ada.
h. Gelisah
Gelisah adalah suatu keadaan dimana seseorang merasa resah, tidak nyaman dan tentram di dalam hati atau merasa selalu khawatir, tidak
senang, dan perasaan galau dilanda kecemasan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kesepian
merupakan suatu keadaan mental dan emosional seseorang yang berhubungan dengan perasaan kesepian, yang meliputi: keterasingan, tidak diterima orang lain, merasa tidak dicintai, gelisah, bosan, tidak mempunyai sahabat, merasa
II.A.3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Kesepian
Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, dkk., 2002) mengklasifikasikan
penyebab kesepian ke dalam lima kategori mayor, diantaranya:
a. Being unattached (menjadi tidak terikat): tidak memiliki suami/istri, tidak
memiliki pasangan seksual, tidak memiliki teman dekat.
b. Alienation (terasing): merasa terasing oleh karena merasa berbeda, merasa tidak dipahami oleh lingkungan, merasa tidak dibutuhkan, dan tidak
memiliki teman dekat yang cocok.
c. Being alone (hidup sendiri): hidup sendiri sehingga ketika pulang ke
rumah selalu mendapati rumah yang kosong. Bruno (2000) membagi
kesendirian atau hidup sendiri menjadi dua: (1) Kesendirian sukarela, yaitu keadaan yang dipilih seseorang secara sukarela, dengan demikian
seseorang mampu untuk beristirahat sejenak dari persoalan sehari-hari. Saat seperti itu adalah kesempatan untuk berpikir atau mengobati luka jiwa. (2) Kesendirian tidak sukarela, yaitu terjadi bukan karena pilihan
sendiri, melainkan terpaksa. Seseorang yang terpisah dari orang lain, padahal sebenarnya ingin berhubungan dengan orang tersebut. Jika
keadaan ini berlangsung lama akan menimbulkan kesepian.
d. Force isolation (pengasingan): terkurung di rumah, sakit yang
terus-menerus sehingga harus diopname, tidak memiliki transportasi.
e. Dislocation (dislokasi): dislokasi oleh karena harus berada jauh dari
sering pindah-pindah tempat tinggal atau sering melakukan perjalanan luar kota oleh tuntutan tugas kerja.
Dari uraian pendapat tokoh di atas ternyata penyebab kesepian sangat beragam diantaranya ketika individu tidak memiliki keterikatan dengan seseorang
secara intim, hidup sendiri, terasing dari lingkungan, mengalami pengasingan karena hal-hal tertentu seperti sakit, dan dislokasi.
II.A.4. Faktor yang Mempengaruhi Kesepian
Brehm, dkk. (2002) menyebutkan beberapa hal yang mempengaruhi kesepian diantaranya adalah :
a. Nationality (suku bangsa) : setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang
mempengaruhi kesepian dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan nilai kebudayaan yang ada. Di Amerika nilai individualistik yang tinggi akan
berpengaruh terhadap kesepian disana. Di Belanda meskipun orang hidup sendiri namun orang Belanda memiliki kesepian yang lebih rendah dikarenakan integritas sosial yang lebih baik yaitu dengan memiliki
banyak orang dalam jaringan sosial, keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, bekerja sebagai sukarelawan dan saling mendukung
secara emosionl, serta kesukaan yang sama diantara mereka.
b. Socioeconomic factor (Faktor sosialekonomi): sangat berpengaruh dengan
perasaan kesepian. Orang yang memiliki pendapatan yang rendah
memiliki kecenderungan untuk merasakan kesepian.
c. Marital status (Status Pernikahan): Menikah diasosiasikan dengan
Westerhof, 2006) Keuntungan pernikahan adalah mengkontribusikan hal yang positif termasuk keamanan ekonomi yang lebih baik, promosi
kesehatan yang berhubungan dengan perilaku, dan lebih tinggi tingkat dukungan sosial diantara pasangan yang menikah bila dibandingkan
dengan yang tidak menikah (Joung dkk., Ross, dalam Stevens & Westerhof, 2006). Dykstra (dalam Stevens & Westerhof, 2006) menemukan bahwa ketika adanya pasangan, dukungan dari teman, dan
anak-anak, seseorang memiliki dampak yang kecil terhadap kesepian di kehidupan selanjutnya. Secara umum orang yang tidak menikah lebih kesepian daripada yang menikah (Page & Cole, Perlman & Peplau, Stack
dalam Brehm, dkk., 2002). Jika orang yang tidak menikah dikategorikan ke dalam subkelompok (tidak pernah menikah, berpisah/bercerai, janda),
maka kecenderungan orang yang tidak pernah menikah yang paling kurang tingkat kesepiannya. Jadi, kesepian lebih tampak sebagai reaksi terhadap kehilangan hubungan pernikahan daripada kesepian sebagai
respon ketidakadanya pasangan.
d. Gender : Gender juga berhubungan dengan status pernikahan, Stack
dalam (Brehm, dkk., 2002) menyatakan bahwa pernikahan memungkinkan bagi laki-laki untuk mengurangi rasa kesepiannya daripada perempuan. Menurut Peplau, dkk., Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, dkk., 2002)
seorang istri lebih kesepian daripada suami. Laki-laki lebih kesepian daripada wanita ketika mereka tidak pernah menikah, berpisah, bercerai,
dkk., 2002). Laki-laki lebih kesepian ketika mengalami keterasingan emosi yaitu tidak memiliki pasangan intim. Perempuan lebih mudah
menjadi kesepian jika ikatan pernikahan mengurangi hubungan terhadap hubungan sosial yang lebih luas. Pinquart & Sörenson, (dalam Stevens &
Westerhof, 2006) menyatakan bahwa perbedaan dalam kesepian diantara laki-laki dan perempuan secara signifikan lebih besar pada responden yang menikah daripada yang tidak menikah. Lebih lanjut terdapat bukti bahwa
laki-laki lebih merasa puas dengan pasangan pernikahannya daripada perempuan secara keseluruhan (Antonucci & Akiyama, dalam Stevens & Westerhof, 2006).
Dari pendapat tokoh diatas hal-hal yang dapat mempengaruhi kesepian diantaranya adalah suku bangsa, faktor sosialekonomi, status pernikahan, dan
gender.
II.A.5. Jenis-jenis Kesepian
Menurut Weiten & Lloyd (2006) kesepian dapat dilihat melalui berbagai
cara. Pendekatan yang pertama dilihat dari tipe kekurangan hubungan yang terlibat. Weiss (dalam Weiten & Lloyd, 2006) membedakan dua jenis kesepian,
yaitu:
a. Emotional loneliness (kesepian emosional)
Kesepian yang diakibatkan karena ketidakhadiran seseorang figur yang
lekat secara intim. Pada anak figur tersebut adalah orangtua, pada orang dewasa biasanya figur seorang suami/istri, pasangan, atau teman intim.
Kesepian yang disebabkan karena kurangnya jaringan teman (yang dihasilkan di sekolah, lingkungan kerja, dan kelompok komunitas lain).
Pendekatan kedua dilihat dari jangka waktunya. Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) membedakan kesepian kedalam
tiga jenis, yaitu:
a. Transient loneliness (kesepian sementara)
Kesepian sementara yang melibatkan perasaan kesepian yang sporadis dan
singkat, yang mana semua orang bisa mengalaminya meskipun kehidupan sosialnya layak.
b. Transitional loneliness (kesepian transisi)
Kesepian transisi terjadi ketika orang yang pernah memiliki kepuasan dalam hubungan sosialnya di masa lalu dan menjadi kesepian setelah
mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya (kematian orang yang dicintai, perceraian, pindah ke lokasi baru).
c. Chronic loneliness (kesepian kronis)
Kesepian kronis merupakan kondisi yang mempengaruhi seseorang yang tidak mampu mengembangkan kepuasan hubungan interpersonal selama
bertahun-tahun. Young (dalam Carr & Schellenbach, 1993) menyebutkan kesepian kronis terjadi jika telah bertahan selama dua tahun atau lebih. McWhirter (dalam dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa
Kesepian kronis dapat menjadi menyakitkan dan terkadang meliputi: harga diri yang rendah, depresi, alkoholik, penyakit psikosomatis, dan
penyakit, termasuk penyakit jantung dan cancer (Hawkley & Cacioppo, dalam dalam Weiten & Lloyd, 2006).
Dari pendapat tokoh-tokoh di atas ternyata ada beberapa jenis kesepian yaitu: kesepian emosional yaitu kesepian yang diakibatkan karena ketidakhadiran
seseorang figur yang lekat secara intim; kesepian sosial yaitu kesepian yang disebabkan karena kurangnya jaringan teman; kesepian sementara yaitu melibatkan perasaan kesepian yang sporadis dan singkat; kesepian transisi yaitu
ketika orang yang pernah memiliki kepuasan dalam hubungan sosialnya di masa lalu dan menjadi kesepian setelah mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya seperti kematian orang yang dicintai; kesepian kronis yaitu kondisi
yang mempengaruhi seseorang dan tidak mampu mengembangkan kepuasan hubungan interpersonal selama bertahun-tahun.
II.B. Korban Tsunami
Korban merupakan orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi
menderita (mati, dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan yang jahat, dan sebagainya (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1996).
Tsunami berasal dari gabungan dua kata bahasa Jepang, yaitu tsu yang berarti gelombang, dan nami yang artinya menyentuh daratan atau pelabuhan.
Tsunami merupakan gelombang air laut atau laut pasang yang diakibakan oleh gempa bumi atau gunung meletus di dasar laut. Gelombang laut pasang yang
dahsyat yang berkecepatan melebihi kecepatan pesawat jet tempur (Abdullah, 2005). Tsunami biasanya ditandai dengan air laut yang surut setelah gempa bumi.
Beberapa menit setelah pantai surut terjadilah gelombang membalik yang sangat besar (Ikawati dalam Kompas, 2005).
Menurut Ibrahim (dalam Kompas, 2005) korban tsunami adalah orang-orang yang telah terpapar dengan kejadian traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian
yang sebenarnya dan orang-orang yang cedera serta yang dalam ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Thufail (dalam Kompas, 2005) menyatakan trauma pada dasarnya adalah ingatan peristiwa masa lalu yang
mengerikan yang ditampakkan dalam, dan direpresi oleh mediasi kultural dan sosial.
Dari beberapa pengertian di atas, maka korban tsunami adalah orang-orang yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya dan orang-orang yang menjadi menderita akibat
dari peristiwa gelombang tsunami yang diakibatkan dari gempa bumi.
Ikawati (dalam Kompas, 2005) menguraikan hal-hal yang dapat
menyebabkan korban tsunami, diantaranya adalah:
a. Jika wilayah yang didiami penduduk dekat dengan pusat gempa.
b. Guncangan gempa yang dahsyat sebelum timbulnya gelombang tsunami
c. Kurangnya jalur hijau atau vegetasi di pantai, seperti hutan bakau/mangrove yang berfungsi menahan ombak.
d. Tidak adanya sistem jaringan pemantau tsunami dan sistem peringatan dini terhadap bencana tersebut, karena dengan adanya jaringan ini maka
akan mempercepat penyampaian data pantauan gempa dan ancaman tsunami di suatu wilayah pantai.
e. Membangun wilayah pemukiman, fasilitas ekonomi, dan industri di dekat
pantai.
f. Penduduk yang berada di wilayah rawan bencana tsunami tidak memiliki bekal pengetahuan dan informasi tentang ancaman tsunami dan upaya
penyelamatan.
II.C. Barak Pengungsi
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1996) mendefinisikan barak sebagai sebuah/sekumpulan, tempat tinggal tentara,
asrama polisi; Bangsal khusus tempat merawat orang sakit (menular); Bangunan yang bersifat sementara bagi pekerja.
Ungsi; Mengungsi adalah pergi menghindarkan (menyingkirkan) diri dari bahaya/menyelamatkan diri (ke tempat yang dirasa aman). Pengungsi adalah orang yang mengungsi (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1996).
UNHCR (2007) membedakan pengungsi menjadi dua, yaitu; 1) Pengungsi
terpaksa meninggalkan rumah atau komunitasnya secara tidak sukarela, dikarenakan keadaan atau kejadian yang tiada pilihan lain kecuali pindah, seperti
untuk lepas dari konflik bersenjata, kekerasan secara umum, kekerasan hak asasi manusia, atau bencana oleh karena akibat ulah manusia atau bencana alami,
pengungsi internal terjadi masih dalam batas wilayah negaranya sendiri; 2) Pengungsi atau refugee adalah orang-orang pengungsi internal namun disebut refugee karena telah mengungsi melewati batas wilayah negaranya.
Adapun pengertian barak pengungsi menurut Katayama (2005) adalah tempat tinggal sementara, yang mana pengadaan bahan baku dan kebutuhan-kebutuhan pengungsi dalam penggunaannya sering tidak cukup untuk jangka
waktu yang lama.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan pengertian barak pengungsi adalah
suatu tempat tinggal sementara yang dirasa aman, merupakan konsekuensi untuk menghindarkan/menyelamatkan diri dari tempat yang kurang aman, dimana penyediaan bahan baku dan kebutuhan-kebutuhan pengungsi di barak sangat
terbatas.
II.D. Kerangka Berpikir
Fenomena tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara tanggal 26 Desember 2004 telah menghancurkan daratan.
Kota-kota yang terletak di sepanjang pantai Barat Aceh dan Sumatera Utara, terutama dari Banda Aceh hingga Meulaboh, dibuat porak poranda. Tsunami tersebut
tersebut ada yang kehilangan pasangan (suami atau istri) dan ada juga yang masih memiliki pasangan, namun tidak lagi memiliki rumah atau tempat tinggal layak.
Hal ini menyebabkan hampir seluruh dari mereka harus mengungsi dan tinggal di barak pengungsi. Perjuangan para pengungsi korban tsunami untuk tetap bisa
bertahan hidup di barak pengungsi, ternyata amat berat. Tidak saja berkutat dengan upaya untuk bisa kembali ke tempat tinggal asal, tetapi juga terbatasnya kebutuhan logistik dan kesehatan. Selain itu, ketiadaan modal awal untuk
memulai hidup baru menyebabkan korban tsunami masih berada di barak pengungsi. Hidup di pengungsian meski tidak menyenangkan tetapi harus dijalani karena para pengungsi tidak punya pilihan lain. Selain kebebasan terkekang,
kurangnya ruang gerak untuk beraktivitas, mereka sulit mencari pekerjaan sehingga menimbulkan rasa bosan yang dapat memicu timbulnya perasaan
kesepian di barak pengungsi.
Kesepian merupakan perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan karena adanya kesenjangan diantara hubungan sosial yang diinginkan
dengan hubungan sosial yang dimiliki disertai dengan afek negatif termasuk perasaan depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan yang diasosiasikan dengan
pesimisme, menyalahkan diri sendiri, dan rasa malu. Kesepian merupakan hal yang sangat umum terjadi. Hampir semua orang merasakannya pada suatu waktu. Penyebab kesepian sangat beragam diantaranya adalah kurangnya keterikatan
hubungan emosional (suami/istri, pasangan, teman dekat, keluarga), kurangnya hubungan sosial (tetangga,kelompok masyarakat), kondisi kesehatan yang
bersosialisasi, lingkungan tempat tinggal yang tidak sesuai harapan atau pindah ke lingkungan yang baru, suku (norma kebudayaan), faktor sosial-ekonomi, status
pernikahan, gender, religiusitas, dan karakteristik personal.
Aspek-aspek kesepian merupakan suatu keadaan mental dan emosional
seseorang yang berhubungan dengan perasaan kesepian, yang meliputi: keterasingan, tidak diterima orang lain, merasa tidak dicintai, gelisah, bosan, tidak mempunyai sahabat, merasa disalahmengerti atau seseorang merasa seakan-akan
dirinya disalahkan dan tidak berguna. Jenis kesepian dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu tipe kekurangan hubungan dan tipe jangka waktu. Tipe kekurangan hubungan terbagi dua yaitu, kesepian emosional sebagai konsekuensi
hilangnya seseorang yang dekat secara intim dan kesepian sosial yang merupakan kesepian yang dirasakan sebagai konsekuensi dari kehilangan teman atau kolega.
Dilihat dari jangka waktu, kesepian terbagi tiga yang terdiri dari kesepian sementara yaitu melibatkan perasaan kesepian yang sporadis dan singkat. Kesepian transisi yaitu ketika orang yang pernah memiliki kepuasan dalam
hubungan sosialnya di masa lalu dan menjadi kesepian setelah mengalami gangguan dalam hubungan sosialnya seperti kematian orang yang dicintai.
PARADIGMA PENELITIAN
Keterangan : = terdiri dari = menjadi
= memiliki
Korban Tsunami yang Telah Menikah
Tinggal di Barak Pengungsi
Faktor yang Menyebabkan: hubungan emosional
(suami/istri,pasangan,tema n dekat, keluarga)
hubungan sosial (tetangga,kelompok masyarakat)
kondisi kesehatan
lingkungan tempat tinggal suku (norma kebudayaan) sosial-ekonomi
status pernikahan gender
religiusitas
karakteristik personal
Kesepian
Tipe Jangka Waktu: - kesepian sementara - kesepian transisi - kesepian kronis
Tipe Kekurangan Hubungan: - kesepian emosi
- kesepian sosial
Aspek-aspek (keadaan mental emosional yang berhubungan):
- keterasingan
- tidak diterima orang lain - merasa tidak dicintai - merasa gelisah - merasa bosan - tidak mempunyai
sahabat
- merasa disalahmengerti
BAB III
METODE PENELITIAN
III.A. Pendekatan Kualitatif
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitan yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Menurut
mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara holistik.
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu
kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan
diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.
Pendekatan kualitatif dipandang lebih sesuai untuk mengetahui bagaimana
fenomena kesepian korban tsunami di barak pengungsi. Seperti yang dikatakan oleh Poerwandari (2001) bahwa pendekatan yang sesuai untuk penelitian yang
tertarik dalam memahami manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai mahluk subjektif adalah penelitian kualitatif.
III.B. Metode Pengambilan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luas, metode
penelitian serta sifat objek yang diteliti. Metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif antara lain: wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus,
analisa terhadap karya (tulis, film, dan karya seni lain), analisa dokumen, analisa catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup dan sebagainya. Lofland dan
Lofland (dalam Moleong, 2005) menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata atau tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Dalam penelitian ini, metode
pengambilan data dilakukan dengan wawancara. III.B.1.Wawancara
Menurut Banister (dalam Poerwandari, 2001), wawancara adalah
percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh
pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.
Metode pengumpulan informasi yang terdiri dari pernyataan-pernyataan memerlukan kemampuan untuk menggali atau probing dari jawaban-jawaban
responden, sehingga informasi yang diperoleh akan lebih spesifik yaitu berupa informasi mengenai perasaan, perilaku dan informasi lainnya yang dimiliki oleh individu. Keberhasilan dari wawancara sangat dipengaruhi oleh perencanaan
terlebih dahulu (Stewart dan Cash, 2000).
Adapun struktur wawancara menurut Stewart dan Cash (2000), antara lain
a. Interview Guide (Pedoman wawancara)
Pedoman yang disusun oleh pewawancara yaitu merupakan sebuah outline
atau garis besar yang berisikan aspek-aspek utama dari topik wawancara.
b. The Opening (Pembukaan)
Menciptakan atmosfir yang saling memiliki kepercayaan dan saling menghargai sehingga dapat membentuk hubungan positif antara pewawancara dan responden.
c. The Body (Isi)
Pewawancara menggali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari pedoman wawancara.
d. The Closing (Penutup)
Pewawancara mengakhiri wawancara ketika informasi yang diperoleh
telah didapat dari responden
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) wawancara secara umum dapat dibedakan menjadi tiga pendekatan, yaitu:
a. Wawancara informal
Proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangannya
pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan oleh peneliti yang melakukan observasi partisipatif. Dalam situasi demikian, orang yang diajak bicara
b. Wawancara dengan pedoman umum
Dalam proses wawancara ini peneliti dilengkapi dengan pedoman
wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan.
c. Wawancara baku terbuka
Jenis wawancara ini adalah wawancara yang menggunakan seperangkat pertanyaan baku. Urutan pertanyaan, kata-katanya dan cara penyajiannya
pun sama untuk setiap responden. Keluwesan mengadakan pertanyaan mendalam (probing) sangat terbatas, dan hal itu bergantung pada situasi wawancara dan kecakapan wawancara.
Dalam penelitian ini akan digunakan wawancara dengan pedoman umum dimana peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara dan mencantumkan
isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan.
III.C. Responden Penelitian III.C.1. Karakteristik Responden
Pemilihan responden penelitian didasarkan ciri tertentu. Adapun
ciri-ciri responden tersebut adalah:
a. Korban tsunami di Banda Aceh b. Tinggal di barak pengungsi
c. Menikah
Menikah diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan mental (Gove, dkk.,
adalah mengkontribusikan hal yang positif termasuk keamanan ekonomi yang lebih baik, promosi kesehatan yang berhubungan dengan perilaku, dan lebih tinggi
tingkat dukungan sosial diantara pasangan yang menikah bila dibandingkan dengan yang tidak menikah (Joung dkk., Ross, dalam Stevens & Westerhof,
2006). Dykstra (dalam Stevens & Westerhof, 2006) menemukan bahwa ketika adanya pasangan, dukungan dari teman, dan anak-anak, seseorang memiliki dampak yang kecil terhadap kesepian di kehidupan selanjutnya.. Menurut Brehm,
dkk. (2002) laki-laki lebih kesepian ketika mengalami keterasingan emosi yaitu tidak memiliki pasangan intim atau kehilangan istri. Brehm, dkk. (2002) juga menyebutkan bahwa seorang janda (yang kehilangan suami karena meninggal)
memiliki kecenderungan tingkat kesepian yang paling tinggi daripada orang-orang yang termasuk kategori tidak pernah menikah, berpisah, dan bercerai.
III.C.2. Jumlah Responden
Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah
responden yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumah responden sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu
dan sumber daya yang tersedia.
Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan karakteristik prosedur penentuan responden dalam penelitian kualitatif pada umumnya adalah
sebagai berikut:
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah ataupun karakteristik respondennya sesuai dengan pemahaman
konseptual yang berkembang dalam penelitian.
c. Tidak diarahkan pada keterwakilan melainkan pada kecocokan konteks.
Dalam hal ini, jumlah responden penelitian kualitatif tidak mempersoalkan jumlah responden.
Dalam penelitian ini, jumlah responden yang direncanakan adalah
sebanyak 4 (empat) orang, yaitu dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Jumlah subyek yang direncanakan memiliki pertimbangan dapat melihat perbedaan yang terjadi pada laki-laki dan perempuan.
III.C.3. Prosedur Pengambilan Responden
Prosedur pengambilan responden dalam penelitian ini adalah snowball
sampling yaitu peneliti dapat berinteraksi dengan sejumlah partisipan yang
potensial. Partisipan berusaha mencari responden yang berhubungan dengan penelitian yaitu teman-temannya atau kenalannya, kemudian dari teman ke
temannya lagi. Prosedur ini digunakan untuk penelitian kualitatif yang membutuhkan pemahaman pengalaman sejumlah orang (Landrige, 2004).
Peneliti mendapat informasi mengenai korban tsunami di barak pengungsi dari rekan peneliti, kemudian peneliti mendatangi barak pengungsi dan mencari responden yang memenuhi karakteristik yang telah ditetapkan yaitu dengan
bertanya kepada para penghuni barak pengungsi, kemudian peneliti di bawa untuk menemui responden. Dari responden yang didapat kemudian responden
III.C.4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di barak pengungsi Lambaro skep Banda Aceh
(Nanggroe Aceh Darusalam). Lokasi ini dipilih karena barak Lambaro skep berada di daerah kota Banda Aceh, pengungsi merupakan orang-orang yang
berasal dari daerah tersebut dan telah dua tahun masih menempati barak.
III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data
Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis didasarkan atas “kutipan” hasil wawancara. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin.
Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitataif cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam
mengumpulkan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan sebuah alat perekam yaitu tape recorder.
III.D.1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai
aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang
dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan
III.D.2. Alat Perekam (tape recorder)
Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti dalam mengulang
kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data
yang kurang jelas sehingga responden yang diwawancarai dapat dihubungi kembali. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan memperoleh persetujuan responden terlebih dahulu.
III.E. Prosedur Penelitian
Tahap-tahap penelitian kualitatif dengan salah satu ciri pokoknya peneliti
sebagai alat penelitian, menjadi berbeda dengan tahap-tahap penelitian nonkualitatif. Tahap-tahap penelitian kualitatif (Moleong, 2005), terdiri dari:
1. Tahap pralapangan
2. Tahap pekerjaan lapangan 3. Tahap analisis data
III.E.1. Tahap Pralapangan
Tahap pralapangan dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang
dibutuhkan dalam penelitian:
a. Mengumpulkan informasi dan teori-teori mengenai penelitian
Mengumpulkan informasi dan teori mengenai kesepian dan
teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini. Peneliti juga mengumpulkan informasi mengenai korban tsunami yang tinggal di barak pengungsi
situasi dan kondisi latar penelitian. Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini.
b. Menyiapkan pedoman wawancara
Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian,
sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teori yang ada.
c. Menghubungi calon responden yang sesuai dengan karakteristik responden
Setelah peneliti memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam
penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu wawancara bersama calon responden.
III.E.2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Setelah tahap pralapangan dilakukan, maka peneliti memasuki tahap pekerjaan lapangan.
a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara.
Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan
tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak
berhalangan dalam melakukan wawancara yang telah dilakukan.
b. Melakukan inform concern (menandatangani lembar persetujuan
Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan wawancara yang menyatakan bahwa
responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian
sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.
c. Membangun Rapport
Menurut Moleong (2002) rapport adalah hubungan antara peneliti dengan subjek penelitian yang sudah melebur seolah-olah sudah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian, subjek dengan
sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh peneliti. Rapport adalah proses membentuk dan
mempertahankan hubungan antara peneliti dengan responden dengan menciptakan kemauan dan kepercayaan (Stewart dan Cash, 2000).
d. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara
Wawancara akan dilakukan di tempat yang dirasakan nyaman oleh peneliti dan responden.
e. Merekam wawancara dengan tape recorder
Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan responden sebelumnya. Dari hasil rekaman
ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisis. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara kedalam
III.E.3. Tahap Analisis Data
Data penelitian kualitatif tidak berbentuk angka, tetapi lebih banyak
berupa narasi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar atau foto) ataupun bentuk-bentuk non angka lainnya. Penelitian kualitatif tidak memiliki
rumusan atau aturan absolut untuk mengolah dan menganalisis data (Poerwandari, 2001). Moleong dan Poerwandari (dalam Irmawati, 2002) menjelaskan prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:
a. Mengelompokkan data menjadi bentuk teks
Setelah hasil wawancara diperoleh, peneliti memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis
b. Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab. Dalam hal ini
pertama-tama dilakukan sorting data untuk memilih data yang relevan dengan pokok permasalahan dan tahap kedua dilakukan koding atau pengelompokan data dalam berbagai kategori. Koding dimaksudkan untuk
dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran topik yang
dipelajari
c. Melakukan interpretasi awal terhadap setiap kategori data. Dari hasil interpretasi awal ini peneliti dapat kembali melakukan pengumpulan data
dan melakukan kembali proses 1 sampai 3. Hal ini merupakan keunikan lain dari penelitian kualitatif, dimana selalu terjadi proses “bolak-balik“
d. Mengidentifikasi tema utama atau kategori utama dari data yang terkumpul. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran apa yang paling
utama tampil dan dirasakan oleh subjek penelitian. Jika ditemukan tema utama, maka hasil interpretasi lainnya merupakan penunjang untuk
BAB IV
ANALISIS DATA DAN INTEPRETASI
Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk
narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami kesepian korban tsunami yang telah menikah di barak pengungsi, maka data akan dijabarkan, dianalisis, dan diintepretasi per responden. Intepretasi akan dijabarkan dengan menggunakan
teori kesepian.
IV.A. Responden 1 IV.A.1. Deskripsi Data
a. Data Diri
Nama : Akbar (Bukan nama sebenarnya) Usia : 52 tahun
Suku : Aceh
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SR (Sekolah Rakyat)
Asal daerah tsunami : Lambaro Skep Nama Barak : Dusun Glumpang Lama di barak : 2 ½ tahun
Akbar adalah seorang duda. Istrinya meninggal tenggelam ketika peristiwa tsunami. Pada waktu itu Akbar sempat melihat istrinya ditelan air
tsunami. Akbar selamat beserta ketiga anaknya. Kini Anak Akbar masing-masing tengah bersekolah di SMU kelas 3, SLTP kelas 3 dan yang paling kecil SD kelas
5.
Akbar hanya seorang tamatan SR (Sekolah Rakyat), meskipun demikian Akbar cakap dalam berbicara. Dahulu Akbar adalah seorang petani tambak udang
dan ikan bandeng, namun demikian peristiwa tsunami menghabiskan seluruh tambak di daerah pantai Banda Aceh, hingga kini tambak yang biasanya dikelola Akbar belum dapat digunakan lagi. Akbar kesulitan mencari pekerjaan yang
sepadan dengan kemampuannya dan kini Akbar masih belum memiliki pekerjaan tetap. Namun demikian secara ekonomi hidup Akbar bisa dikatakan cukup untuk
membiayai sekolah ketiga anaknya. Menurut pengakuannya Akbar tetap berusaha hemat meskipun mendapat uang sedikit dari hasil mocok-mocok.
Secara fisik Akbar memiliki tubuh yang cukup tinggi sekitar 175 cm
dengan berat badan 70 kg sehingga terlihat tubuhnya sedikit kurus untuk orang seusianya. Akbar berkulit sawo matang dengan rambut lurus yang selalu kelihatan
rapi ketika peneliti melakukan wawancara. Akbar sering pergi ke kedai kopi, yang sudah menjadi kebiasaan bagi laki-laki Aceh untuk berada di kedai kopi meski hanya sekedar duduk-duduk dan merokok yang selalu dihisapnya ketika
wawancara dilakukan
Menurut pengakuannya, Akbar merupakan orang yang dipercaya di
membangun barak bersama. Banyak tetangga yang meminta nasehat kepadanya. Ketika peneliti melakukan wawancara pertama kali, tiga orang teman Akbar yang
berkunjung ke tempatnya, bahkan untuk wawancara yang kedua dan ketiga kalinya tempat Akbar tidak pernah sepi.
Akbar adalah orang yang sangat mudah untuk diajak berbicara, peneliti tidak memiliki kesulitan dalam berdiskusi, namun demikian terkadang ada pertanyaan yang harus diperjelas agar Akbar lebih mudah memahami dan dapat
menjawab pertanyaan. Kesibukan Akbar kini mengawasi rumah bantuan miliknya sendiri yang sedang dibuat. Rumah bantuan tersebut didapatnya dari NGO (Non Government Organitation) sebagai bantuan untuk korban tsunami.
b. Tanggal Wawancara
Wawancara berlangsung sebanyak 3 kali. Wawancara pertama dilakukan
di kedai kopi, yaitu tempat yang sering dikunjungi oleh Akbar. Wawancara kedua dan ketiga dilaksanakan di rumah bantuan Akbar yang sedang dibangun. Wawancara tersebut dilaksanakan masing-masing pada:
1) Hari Sabtu, 28 Juli 2007, Pukul 10.00-11.30 2) Hari Minggu, 29 Juli 2007, Pukul 10.00-11.45.
3) Hari Selasa, 14 Agusus 2007, Pukul 17.00-18.00
IV.A.2. Analisa Data
a. Sebelum Tinggal di Barak
Akbar adalah seorang petani tambak yang memiliki penghasilan kurang
(R1.W2/k.17-18/hal.4), sehingga pekerjaan Akbar hanya mencari rezeki dan istrinya yang menyiapkan segala keperluan di rumah. Ketika anaknya pulang sekolah pun
tinggal makan saja, baju sudah siap dicuci dan digosok (R1.W.2/k.35-38/hal.4). Hubungan Akbar dengan istrinya baik-baik saja (R1.W2