• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu Selatan"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI Oleh

Mairinadiah Siregar 081121015

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Lembar Persetujuan Skripsi

Judul : Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu Selatan

Nama : Mairinadiah Siregar

NIM : 081121015

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademik : 2009

Tanggal Lulus : 29 Desember 2009

Pembimbing Penguji I

Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS Siti Zahara, S.Kp, MNS NIP. 19671215200003001 NIP. 197103052001122001

Penguji II

Ismayadi, S.Kep, Ns

NIP. 197506292002121002 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah menyetujui skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan (S.Kep).

Medan, 29 Desember 2009 Pembantu Dekan I,

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu Selatan.

Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih Kepada Bapak Prof. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada periode sebelumnya dan Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dr.Dedi Ardinata, M.Kes. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin penelitian ini.

(4)

terlebih lagi buat kakak, abang serta adik-adikku yang sangat besar memberikan dukungan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Buat temanku kak masita, Silvi, Dede dan Lisa terima kasih atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya buat teman-teman angkatan 2008 terima kasih banyak atas bantuan dan semangat serta dukungannya pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Medan, Desember 2009 Penulis,

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ……….. i

Halaman Pengesahan………. ii

Abstrak ……… iii

Prakata………. iv-v Daftar Isi ………. vi-vii Daftar Tabel ……… viii

Bab 1. Pendahuluan ………. 1

1. Latar Belakang Penelitian... 1

2. Pertanyaan Penelitian... 3

3. Tujuan Penelitian... 3

4. Manfaat Penelitian... 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka ………. 5

1. Penjelasan TB Paru.,... 5

2. Program Pemberantastasan TB Paru………. 9

3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru… 18 Bab 3. Kerangka Konseptual ………... 22

1. Kerangka Konsep Penelitian... 22

2. Defenisi Operasional... 23

Bab 4. Metodologi Penelitian ……… 25

1. Desain Penelitian... 25

2. Populasi, Sampel Penelitian... 25

3. Lokasi dan Waktu Penelitian... 25

4. Pertimbangan Etik... 26

5. Instrumen Penelitian... 27

6. Uji Reliabilitas... 28

7. Prosedur Pengumpulan Data... 28

8. Analisa Data... 29

Bab 5. Hasil Penelitian dan Pembahasan ……… 30

1. Hasil Penelitian... 30

2. Pembahasan... 37

Bab 6. Kesimpulan dan Saran ……….. 45

1. Kesimpulan... 45

(6)

Daftar Pustaka Lampiran

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase karateristik responden ….. 31 Tabel 2. Distribusi frekuensi dan persentase Hambatan Pelaksanaan

Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Pengetahuan

TB Paru ………. 32 Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentase Hambatan Pelaksanaan

Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Pemakaian OAT 33 Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase Hambatan Pelaksanaan

Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Sikap Tidak

Acuh terhadap Penyakit ……… 34 Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase Hambatan Pelaksanaan

Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Permasalahan

Sosial Budaya ……… 35 Tabel 6. Distribusi frekuensi dan persentase Hambatan Pelaksanaan

Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Masalah

Kemiskinan ……… 36 Tabel 7. Distribusi frekuensi dan persentase Hambatan Pelaksanaan

Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Petugas

(8)

Judul : Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu selatan

Nama : Mairinadiah Siregar Jurusan : Fakultas Keperawatan Tahun Akademik : 2009

Abstrak

Indonesia berada di urutan ketiga terbanyak di dunia dalam jumlah penderita TBC dan menjadi penyebab utama kematian setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Untuk mengatasi hal ini pemerintah telah membuat program khusus penanggulangannya dengan mengadopsi strategi program DOTS yang telah direkomendasikan oleh WHO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB Paru di puskesmas Aek Torop dengan populasi penderita TB paru yang sedang menjalani program pengobatan, jumlah sampel yang diteliti yaitu 20 orang dengan tehnik total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari data demografi dan pernyataan yang diukur dengan skala likert.

Hasil penelitian menggambarkan persentase yang masih tinggi dalam hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru dari aspek pengetahuan (95%), masalah pemakaian obat (70%) dan sikap tidak acuh penderita terhadap penyakitnya(70%).

(9)

Judul : Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu selatan

Nama : Mairinadiah Siregar Jurusan : Fakultas Keperawatan Tahun Akademik : 2009

Abstrak

Indonesia berada di urutan ketiga terbanyak di dunia dalam jumlah penderita TBC dan menjadi penyebab utama kematian setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Untuk mengatasi hal ini pemerintah telah membuat program khusus penanggulangannya dengan mengadopsi strategi program DOTS yang telah direkomendasikan oleh WHO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB Paru di puskesmas Aek Torop dengan populasi penderita TB paru yang sedang menjalani program pengobatan, jumlah sampel yang diteliti yaitu 20 orang dengan tehnik total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari data demografi dan pernyataan yang diukur dengan skala likert.

Hasil penelitian menggambarkan persentase yang masih tinggi dalam hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru dari aspek pengetahuan (95%), masalah pemakaian obat (70%) dan sikap tidak acuh penderita terhadap penyakitnya(70%).

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Micobacterium Tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 9 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang pertahun (WHO, 1997). Di Negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95% penderita TB paru berada di negara-negara berkembang (Kompas, 2003).

Di Indonesia TB paru kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberculosis merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan umur dan nomor satu pada penyakit infeksi. Diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus TB Paru dimana sekitar sepertiga penderita terdapat di puskesmas, sepertiga ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2002)

(11)

Aek Torop tahun 2008 jumlah penduduk mencapai 34.329 orang, dari jumlah tersebut estimasi terduga penderita TB paru sejumlah 3432 orang dengan estimasi BTA Positif 343 orang penderita/tahun.

Dengan melihat tingginya angka kejadian infeksi TB paru di masyarakat, maka pemerintah melakukan berbagai upaya melalui program pemberantasan TB paru. Program pemberantasan TB paru di Indonesia dilakukan oleh direktorat Tuberculosis, yang berada dibawah naungan direktorat Pemberantasan Penyakit Menular Langsung (P2ML), ditjen PPM dan PLP Depkes RI. Tujuan pelaksanaan program penanggulangan penyakit TBC meliputi tujuan jangka panjang yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TBC tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Melalui program ini diharapkan tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA positif yang ditemukan dan tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap pada tahun 2005 dapat mencapai 70% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif (Depkes RI, 2002).

(12)

menghentikan makan obat (Aditama, 2002). Hambatan non medik yaitu faktor sosial budaya seperti menganggap bahwa penyakit TB sebagai suatu mistik (Yunus, 1992). Anggapan seperti ini mempengaruhi penderita untuk tidak mau berobat ke puskesmas karena menganggap bahwa obat medis tidak mampu menyembuhkan penyakitnya.

Dari latar belakang masalah diatas, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi hambatan- hambatan pelaksanaan program pengobatan TB paru di wilayah kerja puskesmas Aek Torop kecamatan Torgamba.

2. Tujuan Penelitan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifiasi hambatan pelaksannan program pemberantasan penyakit TB paru di wilayah kerja puskesmas Aek Torop kecamatan Torgamba.

3. Pertanyaan penelitian

Hal-hal apa sajakah yang menjadi hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru?

4. Manfaat Penelitian

(13)

4.1. Praktek Keperawatan

Sebagai informasi tambahan dan masukan bagi praktek keperawatan, khususnya keperawatan komunitas tentang bebagai hambatan pelaksaan program pemberantasan penyakit TB paru di masyarakat.

4.2. Pelayanan kesehatan (puskesmas)

Sebagai informasi tentang hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru di puskesmas, agar jajaran pengelola program pemberantasan TB Paru dapat mengembangkan dan memodifikasi program terkait agar berjalan optimal.

4.3. Penelitian selanjutnya.

(14)

Dalam bab ini akan dibahas teori,konsep dan variabel dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru

1. Penjelasan TB Paru

2. program Pemberantasan TB Paru 2.1. Strategi DOTS

2.2. Penyuluhan Kesehatan

3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru 3.1. Hambatan Medik

3.2. Hambatan nonmedik

1. Penjelasan TB Paru 1.1. Defenisi

(15)

1.2. Epidemiologi

Micobacterium Tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 9 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang pertahun (WHO,1997). Di Indonesia khususnya Sumatera Utara tahun 2006 data jumlah terduga penderita TB paru mencapai angka 34.329 orang, dengan temuan terbanyak 156,408 orang. Tahun 2007 dari jumlah terduga sebanyak 204,171 tetapi terduga yang ditemukan hanya 117,136 orang (Antonio, 2008).

1.3. Etiologi

Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru, kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya seperti : usus, kelenjar getah bening (limfe), tulang, kulit, otak, ginjal dan lainnya serta dapat menyebar ke seluruh tubuh (Aditama, 1994; Reeves, dkk, 2001).

Kuman TB berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam dan pewarnaan sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini dapat cepat mati dengan sinar matahari langsung selama beberapa menit tetapi dapat bertahan sampai beberapa jam pada tempat yang lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant (tertidur) selama beberapa tahun ( Depkes RI, 2002).

(16)

Gambaran klinik dapat dibagi atas dua golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik. Gejala sistemik adalah : demam pada sore dan malam hari yang merupakan gejala awal terjadinya penyakit TB dan malaise. Sedangkan gejala respiratorik adalah batuk terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan: batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, berat badan menurun, keringat malam hari, demam meriang lebih dari sebulan (Aditama, 2002)

1.5. Cara penularan

Sumber penularan adalah penderita BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau terkena droplet tersebut dan masuk kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh dan terus menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas dan penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).

Daya penularan dari seorang penderita, ditentukan banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak tahan asam), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Depkes RI, 2002).

(17)

1.6. Resiko penularan

Resiko penularan (Annual Risk Tuberculosis Infection) di Indonesia dianggap cukup tinggi dengan variasi antara 1 – 3%. Bila suatu daerah ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun dari 1000 ada 10 orang yang terinfeksi dan dari 10 orang. dapat diperkirakan bahwa di daerah tersebut setiap 100 penduduk rata-rata satu orang penderita pertahun (Depkes, 2005).

1.7. Penemuan penderita TB

Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotif Case Finding. Selain itu semua kontak penderita TB BTA

Positif dengan gejala yang sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2005).

1.8. Diagnosa TB

(18)

dilakukan pemeriksaan lain seperti biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum luas selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala mencurigakan TB ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau SPS positif didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil SPS negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis penderita TB BTA negSatif rongent positif. Sedangkan bila rontgen negatif penderita tersebut bukan penderita TB.

2. program Pemberantasan TB Paru 2.1. Strategi DOTS

2.1.1. Defenisi.

(19)

DOTS terdiri dari 5 komponen yang tidak dapat dipisahkan yaitu : (1). Komitmen politis, berupa dukungan dana jajaran pemerintah/pengambilan keputusan terhadap penanggulangan TB atau dukungan dana operasional. (2). Penemuan penderita dalam pemeriksaan dahak dengan mikroskopis langsung. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya. (3). pengadaan dan distribusi obat yang cukup dan tidak terputus. Tersedianya obat antituberculosis (OAT) yang cukup dan tidak terputus bagi penderita. (4). Pengawasan menelan obat. Untuk memastikan keteraturan penderita minum OAT, dibutuhkan seorang pengawas minum obat (PMO), khususnya pada dua bulan pertama dimana penderita minum obat setiap hari. (5). Sistim pencatatan dan pelaporan data-data perkembangan penyakit TB Paru yang baku (Aditama, 2002).

(20)

dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditentukan (Aditama, 2002).

2.1.2. Pengawasan Menelan Obat (PMO).

Untuk menjamin kesembuhan dan mencegah resistensi serta keteraturan pengobatan dan mencegah drop out (lalai) dilakukan pengawasan dan DOTS melalui pengawasan langsung menelan obat oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Bagi penderita TB yang rumahnya dekat dengan puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya maka PMOnya adalah petugas puskesmas, sedangkan bagi penderita yang rumahnya jauh, diperlukan PMO atas bantuan masyarakat, LSM, PPTI (Perkumpulan Pembantasan TB Indonesia) dan PKK. Obat harus ditelan setiap hari yang disaksikan oleh PMO, jika tidak mungkin bagi penderita untuk datang setiap hari ke puskesmas maka petugas puskesmas harus merundingkannya dengan penderita bagaimana caranya agar terjamin obat di telan setiap hari. Sebelum obat pertama kali diberikan, penderita dan PMO harus diberi penyuluhan tentang : TB bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat di sembuhkan dengan berobat teratur, bagaimana tata laksana pengobatan penderita pada tahap awal dan tahap intensif, pentingnya berobat secara teratur, Karena itu pengobatan perlu di awasi, efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut dan cara penularan dan mencegah penularan (Aditama, 2002).

(21)

kesehatan dan penderita, selain itu juga harus disegani dan dihormati oleh penderita, (2) Dekat dengan tempat tinggal penderita, (3) Bersedia membantu penderita dengan suka rela, (4) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.

Seorang PMO akan bertugas untuk mengawasi penderita agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukandan memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka penderita TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2005).

2.1.3. Pengobatan TB paru

Obat yang diberikan kepada penderita TB paru dengan BTA positif adalah OAT (obat anti tuberculosis) yang telah diprogramkan pada tahun 1993/1994. Untuk pengamanan dalam pelaksanaan pengobatan paduan OAT dikemas dalam bentuk blister kemasan harian kombipak (paket kombinasi), dari kombipak I, kombipak II untuk pase awal dan kombipak III untuk pase lanjutan, oleh karena itu sekali seorang penderita memulai pengobatan ia harus menyelesaikannya dengan lengkap dan hingga sembuh (Depkes RI, 2002).

(22)

melalui pemeriksaan laboratorium terhadap adanya BTA pada sample sputum penderita dan pemeriksaan radiologi (Depkes RI, 2002).

Pemberian OAT juga harus sesuai dengan berat badan penderita, rata-rata berat badan penderita TB menurut pengalaman petugas kesehatan antara 33-50 kg sehingga kemasan dalam blister kombipak I, kombipak II, kombipak III dan kombipak IV sangat sesuai ; bagi penderita dengan berat badan lebih dari 50 kg perlu penambahan dosis. Pemberian pengobatan dengan kombipak sangat efektif dan praktis (Depkes RI, 2002).

Obat yang dipakai dalam program pembertasan TB sesuai dengan rekomendasi WHO berupa paduan obat jangka pendek yang terdiri dari 3 kategori, setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal dan fase lanjutan/ intermitten yaitu, pada Kategori I (2HRZE/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA positif dan penderita baru BTA negatif tetapi rontgen positif dengan “sakit berat” dan penderita ekstra paru berat. Diberikan 114 kali dosis harian berupa 60 kombipak II dan fase lanjutan 54 kombipak III dalam kemasan dos kecil (Depkes RI, 2005).

(23)

Kategori III (2HRZ/4H3R3), diberikan kepada penderita baru BTA (-)/ roentgen (+) dan penderita ekstra paru ringan. Pemberian dengan dosis 114 kali. Pada pase awal 60 kombipak 1 dan pase lanjutan 54 kombipak III. OAT sisipan (HRZE), diberikan pada pengobatan kategori I dan II yang pada pase awal masih BTA (+), untuk ini diberikan obat sisipan selama 1 bulan, dimakan setiap hari (Depkes RI, 2005).

Kategori kasus berdasarkan riwayat pengobatan : (1) Kasus baru : penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberculosis (OAT), atau pernah akan tetapi kurang dari 1 bulan. (2) Kambuh/ relaps : pernah dilaporkan sembuh, tetapi datang lagi dengan BTA (+). (3). Pindahan/transfer in : telah terdapat dan mendapat pengobatan ditempat pengobatan lain, kini datang berobat serta mendaftarkan diri untuk lanjutan pengobatan. (4). Pengobatan setelah default/lalai : penderita yang datang berobat setelah berhenti makan obat selama 2 bulan atau lebih. Dan (5). Gagal : penderita BTA (+) yang tetap memberikan hasil BTA (+), walaupun setelah pengobatan fase awal (Depkes RI, 2005).

(24)

2.1.4. Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut.

(25)
(26)

2.2. Penyuluhan Kesehatan 2.2.1. Pengertian

Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan (Depkes RI, 2002;Effendy, 1998).

Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.

Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi.

(27)

Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama terlebih dahulu dijelaskan tentang penyakit TBC, bagaimana riwayat pengobatan sebelumnya, bagaimana cara pengobatannya, juga perlu dijelaskan pentingnya pengawasan langsung menelan obat dan bagaimana penularan penyakit TBC (Depkes RI, 2002). Selanjutnya pada kunjungan berikutnya, hal-hal yang perlu dijelaskan mengenai cara menelan OAT, jumlah obat dan frekuensi menelan OAT, penting juga dijelaskan mengenai efek samping OAT juga perlu dijelaskan jadwal pemeriksaan ulang dahak dan arti hasil pemeriksaan tersebut, dan tak kalah pentingnya penjelasan mengenai apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap.

Petugas kesehatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor yang dapat menghambat terciptanya komunikasi yang baik. Faktor yang menghambat tersebut, antara lain ketidaktahuan penyebab TBC dan cara penyembuhannya, rasa takut yang berlebihan terhadap TBC yang menyebabkab timbulnya reaksi penolakan, juga adanya stigma sosial yang mengakibatkan penderita merasa takut tidak diterima keluarga dan temannya serta hambatan yang berupa menolak untuk mengajukan pertanyaan karena tidak mau ketahuan bahwa ia tidak tahu tentang TBC (Depkes, 2002).

(28)

disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif.

Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO, sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa selain dilakukan oleh tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sector termasuk kalangan media massa (Depkes RI, 2002).

3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

Hambatan pelaksanaan program TB Paru adalah masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru yang meliputi hambatan medik dan nonmedik yang mengakibatkan tidak tercapainya pelaksanaan program pemberantasan TB paru.

Menurut Yunus,dkk, (1992) pada umumnya hambatan dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru dapat di golongkan dam masalah medik dan masalah nonmedik.

3.1. Hambatan medik

(29)

ditegakkan, makin banyak sarang-sarang fibrotis. Kavitas akan menjadi kavitas sklerotik (Yunus,dkk, 1992).

Obat antituberkulosis akan berhasil baik pada sarang-sarang TB bentuk pneumoni, sarang-sarang pneumonis akan diresorbsi kembali. Obat antituberkulosis tidak akan mengembalikan jaringan fibrosis menjadi jaringan parenkhim, kavitas sklerotik tetap akan menjadi sklerotik (Yunus,dkk, 1992). Pemakaian obat antituberkulosis yang lama, apalagi yang tidak teratur akan menimbulkan resistensi kuman terhadap obat. Resistensi kuman terhadap obat akan diketahui setelah dua bulan berlalu.

Kedua, masalah yang berasal dari obat antituberkulosis (OAT). Pada umumnya sekarang tidak ada lagi hambatan dari segi obat, khususnya setelah ditemuka n obat-obat bakterisid. Semua paduan obat akan berhasil baik, asal dikerjakan sesuai aturan mainnya. Beberapa hal dari segi obat yang harus diperhatikan, yaitu : pemakaian obat antituberkulosis yang tidak teratur dapat menimbulkan resistensi kuman terhadap obat.dan harus dijaga, jangan sampai pemakaian obat yang berbulan-bulan menimbulkan efek samping dari obat-obatan yang bersangkutan (Aditama, 2002)).

3.2. Hambatan nonmedik

(30)

penderita atau masyarakat itu sendiri. pendidikan yang kurang menyebabkan sesorang tidak dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencpai taraf hidup yang baik yang sangat dibutuhkan untuk penjagaan kesehatan.

(2) Hal lain yang merupakan masalah adalah sikap klien yang tidak acuh terhadap dirinya sendiri, khususnya terhadap penyakit yang di deritanya. Berhubungan dengan rendahnya pendidikan terdapat perasaan tidak acuh terhadap dirinya mengenai kesehatan lingkungannya, dan terhadap penyakit yang sedang di deritanya. Terutama lagi perasaan tidak acuh ini terhadap penyakit kronis, seperti tuberculosis. Mungkin juga frustasi karena berbulan-bulan tidak juga sembuh, meningkatkan perasaaan tidak acuh terhadap penyakit tuberculosis (Yunus,dkk, 1992).

(3) Faktor lain juga dapat berasal dari nilai-nilai Sosial budaya ataupun kehidupan status ekonomi dan sosial budaya diantaranya perumahan yang kurang memadai ruangan, ventilasi yang kurang mendapat cahaya matahari, membuang ludah sembarangan, penjagaan kebersihan lingkungan yang baik dan menganggap penyakit tuberculosis sebagai sesuatu yang mistik, dan bahkan sebagai hukuman dari Tuhan (Yunus,dkk, 1992).

(31)

keras (secara fisik), sehingga kondisi ini mempersulit proses penyembuhan penyakit TB Paru yang diderita (Yunus,dkk, 1992).

(5) Keterlambatan mendeteksi penyakit adalah hal lain yang dapat menjadi hambatan pelaksanaan program. Atas dasar prinsif makin cepat TB ditemukan makin cepat pula dapat ditangani dan diberikan pengobatannya serta penyembuhan menjadi lebih sempurna. Sebaliknya dalam keadaan terlambat penyakit sudah menimbulkan kelainan-kelainan dalam paru (Yunus,dkk, 1992)..

(32)

Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksi yang mengenai paru-paru manusia yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ini merupakan penyakit kronis yang telah lama di kenal oleh masyarakat dan ditakuti karena menular dan salah satu penyebab kematian di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya.

Setiap tahun terdapat 450.000 kasus TB dan sepertiga penderita di puskesmas serta sepertiga ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah/ swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2002).

(33)

Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru terdapat berbagai hambatan yaitu terdiri dari masalah medik dan masalah nonmedik. Menurut Yunus, dkk, (1992), yang termasuk dalam masalah medik adalah penyakit yang diderita. Selanjutnya adalah obat-obatan. Sedangkan yang termasuk dalam hambatan nonmedik adalah pendidikan yang rendah/tidak ada pengetahuan khusus terhadap penyakit, tidak acuh terhadap dirinya, sosial budaya, kemiskinan, keterlambatan mendeteksi penyakit dan petugas.

Skema 1:Kerangka konsep hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu.

3.2. Defenisi operasional :

Program Pemberantasan TB Paru adalah pelaksanaan kegiatan dalam perencanaan pemerintah tentang pengobatan TB paru dengan menggunakan strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan di puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu.

Hambatan pelaksanaan program TB Paru adalah masalah-masalah yang dihadapi dalam berbagai kegiatan yang mengakibatkan tidak tercapainya pelaksanaan upaya pemberantasan penyakit TB paru di wilayah puskesmas Aek Torop, meliputi hambatan medik dan nonmedik.

Program pemberantasan TB Paru

- Strategi DOTS

- Penyuluhan kesehatan

Hambatan pelaksanaan Program

(34)

Hambatan medik yaitu hambatan pelaksanaan program pemberantasan TB Paru yang berasal dari penyakit dan penyebabnya serta obat-obatan.

(35)

1. Desain penelitian

Desain penelitian ini menggunakan metode deskritif eksplorasi, yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru di puskesmas Aek Torop kecamatan Torgamba kabupaten Labuhanbatu.

2. Populasi dan sampel 2.1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah penderita TB paru yang sedang dalam program pengobatan penyakit TB paru di puskesmas Aek Torop berdasarkan data puskesmas tahun 2008 sejumlah 20 orang.

2.2. Sampel

(36)

3. Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di puskesmas Aek Torop, dengan pertimbangan bahwa di tempat ini ditemukan kejadian TB Paru dengan kecenderungan kasus yang mengalami peningkatan dan dari survey awal ditemukan ada klien peserta program pengobatan TB paru yang tidak tuntas melakukan pengobatan. Disamping itu lokasi penelitian adalah instansi tempat bekerja peneliti sehingga hasil penelitian ini dapat ditindaklanjuti di kemudian hari. Waktu penelitian dimulai bulan maret 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapatkan izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU dan mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Kepala Puskesmas Aek Torop, setelah mendapatkan persetujuan dari kepala Puskesmas Aek Torop penelitian dapat dilaksanakan.

Pada pelaksanaan penelitian, kepada calon responden diberikan penjelasan tentang informasi esensial dari penelitian yang akan dilakukun, antara lain tujuan, manfaat, kegiatan dalam penelitian, serta hak - hak responden di dalam penelitian ini.

Penelitian ini memperhatikan, menghormati, dan memberikan sepenuhnya hak - hak perlindungan diri bagi responden, yaitu hak atas privaci diri, kerahasiaan identitas diri, dengan perlakuan yang sama dalam penelitian.

(37)

penelitian masih berlangsung dan belum selesai. Hal tersebut tercantum dengan jelas dalam informed consent yang berupa pernyataan persetujuan partisipasi secara lisan atau yang ditandatangani oleh responden sebelum penelitian dilaksanakan.

Sebelum menandatangani informed consent tersebut, responden diberi waktu hingga benar-benar paham sepenuhnya atas apa yang akan dijalaninya dalam penelitian.

5. Instrumen penelitian 5.1. Kuesioner penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden,peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa kuesioner tertulis berupa pernyataan yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan berpedoman kepada kerangka konsep dan tinjauan pustaka dan studi dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari puskesmas Aek Torop (Depkes RI, 2002).

(38)

memberikan tanda checklist (√) pada salah satu jawaban yang dianggap paling sesuai.

Untuk pernyataan positif skor untuk : tidak setuju (S) = 1, kurang setuju (TS) = 2, setuju (S) = 3. sedangkan untuk pernyataan negatif skor untuk, tidak setuju (TS) = 3, kurang setuju (S) = 2 dan sangat (S) = 1. dari sejumlah pernyataan yang ada skor minimum yang mungkin di peroleh adalah 22 dan skor maksimum adalah 66.

5.2. Reabilitas instrument

Untuk mengetahui kepercayaan (reabilitas) instrumen dilakukan uji reabilitas instrument yang bertujuan untuk mngetahui sejauhmana suatu alat pengukur dapat dipercaya dan diandalkan untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang sama bila digunakan beberapakali pada kelompok sample (Arikunto, 2002).Dalam penelitian ini menggunakan uji reabilitas internal yang diperoleh dengan cara menganalisis data dari satu kali hasil pengetesan (Arikunto, 2002). Pengujian reabilitas dilakukan dengan cara mencoba instrumen sekali saja dan dianalisis dengan tehnik Alpha Chronbach. Hasil uji realibilitas yaitu 0.816.

6. Pengumpulan Data

(39)

Fakultas Kedokteran USU dan surat izin dari kepala Puskesmas Aek Torop kecamatan Torgamba.

Pada saat pengumpulan data peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan,manfaat dan prosedur penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan responden,peneliti membagikan kuesioner dan mendampingin responden saat pengisian kuesioner tersebut. Penelitian dilakukan pada pasien yang datang ke puskesmas Aek Torop pada saat mengambil obat yaitu setiap 10 hari. Karena lokasi wilayah puskesmas yang begitu luas, tidak semua pasien datang mengambil obat ke puskesmas tapi melalui puskesmas pembantu dan bidan desa maka untuk memperoleh data keseluruhan peneliti meminta bantuan kepada sejawat petugas puskesmas pembantu dan bidan desa.

Metode dokumentasi yaitu pengumpulan data atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian yang di peroleh dari bagian SP2TP dan petugas TB paru puskesmas Aek Torop.

8. Analisa Data

(40)

1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan gambaran hasil penelitian tentang hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba di Labuhanbatu Utara setelah dilakukan pengumpulan data sejak tanggal 13 Nopember 2009 sampai dengan 5 Desember 2009.

1.1 Karakteristik Responden

Deskripsi karakteristik responden pada penelitian ini mencakup usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, suku, jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan dan lama waktu mengikuti program pengobatan.

(41)
[image:41.595.107.507.138.730.2]

Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden (n=20)

Karakteristik Frekuensi Persentase

Usia

- 18-29 Tahun 5 25

- 30-39 Tahun 11 55

- > 40 Tahun 4 20

X = 35.65 (SD = 10,33)

Jenis Kelamin

- Laki-laki 12 60

- Perempuan 8 40

Pendidikan

- SD 4 20

- SMP 8 40

- SMU 8 40

Pekerjaan

- PNS 1 5

- Wiraswasta 2 10

- Petani 9 45

- Karyawan 2 10

- Lain-lain 6 30

Suku

- Batak 16 80

- Jawa 2 10

- Lain-lain 2 10

Jarak Tempat Tinggal dengan Puskesmas

- <1 km 4 20

- 1-2 km 9 45

- 2-3 km 2 10

- 3-4 km 3 15

- >4 km 2 10

Status Penderita

- Pertama Kali 10 50

- Lanjutan 4 20

- Pernah gagal 5 25

(42)

1.2. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan pengetahuan TB Paru

[image:42.595.114.508.358.637.2]

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa 85% responden setuju datang ke puskesmas setelah merasakan adanya sesak bernafas, 30% responden setuju sudah pernah mengikuti program pengobatan tetapi tidak tuntas sesuai program, 95% setuju datang ke puskesmas setelah terlebih dahulu mencoba pengobatan lain tetapi tidak sembuh.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan pengetahuan TB Paru (n=20)

S KS TS Pernyataan

n (%) n (%) n (%) Datang ke puskesmas setelah 17 (85) 1 (5) 2 (10) merasakan adanya sesak bernafas

Pernah mengikuti program pengobatan 6 (30) 1 (5) 13 (65) tetapi tidak tuntas sesuai program.

Datang ke puskesmas setelah terle 19 (95) 0 (0) 1 (5) bih dahulu mencoba pengobatan lain

dan tidak sembuh.

1.3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Pemakaian OAT

(43)
[image:43.595.115.509.257.622.2]

yakin akan sembuh, 40% responden berhenti minum obat karena merasa sudah sembuh walaupun belum 6 bulan, 25% responden tidak datang ke puskesmas untuk kontrol dan mengambil obat, 70% responden enggan makan obat karena rasa mual dan muntah setelah makan obat.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Pemakaian OAT (n=20)

S KS TS Pernyataan

n (%) n (%) n (%) Minum obat secara teratur sesuai 13 (65) 4 (20) 3 (15) petunjuk petugas kesehatan.

Selalu menjaga dan memperhati 2 (10) 7 (35) 11 (55) kan waktu minum obat agar tepat waktu.

Selalu minum obat setelah selesai makan 18 (90) 1 (5) 1 (5) walau waktu makan telah lewat.

Rutin minum obat selama 6 9 (45) 2 (10) 9 (45) bulan karena yakin akan sembuh.

Berhenti minum obat karena merasa sudah 8 (40) 5 (25) 7 (35) sembuh walaupun belum 6 bulan.

Datang ke puskesmas setiap 10 hari 10 (50) 5 (25) 2 (25) untuk kontrol dan mengambil obat.

Rasa mual dan muntah setelah makan 14 (70) 0 (0) 6 (30) obat membuat enggan makan

1.4. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Sikap Tidak Acuh terhadap Penyakit

(44)
[image:44.595.109.507.281.551.2]

datang ke puskesmas hanya jika sempat, 70% responden enggan datang ke puskesmas karena merasa obat yang diberikan tidak ada pengaruhnya pada penyakitnya, 70% responden tidak diawasi oleh petugas atau keluarga sewaktu minum obat.

Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Sikap Tidak Acuh terhadap Penyakit (n=20)

S KS TS Pernyataan

n (%) n (%) n (%) Ventilasi rumah, pintu dan jendela 5 (25) 4 (20) 11 (55) selalu dibuka setiap hari.

Datang berobat ke puskesmas 14 (70) 2 (10) 4 (20) hanya jika sempat.

Enggan datang ke puskesmas 14 (70) 2 (10) 4 (20) karena merasa obat yang di

berikan tidak ada pengaruhnya pada penyakit

Diawasi oleh petugas/keluarga 3 (15) 3 (15) 14 (70) sewaktu minum obat.

1.5. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Permasalahan Sosial Budaya

(45)
[image:45.595.121.507.220.402.2]

berpendapat penyakit TBC hanya dapat disembuhkan oleh tabib di daerah tersebut.

Tabel 6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan masalah Sosial Budaya (n=20)

S KS TS Pernyataan

n (%) n (%) n (%)

Keyakin penyakit TBC 17 (85) 0 (0) 3 (15)

lebih diakibatkan oleh mistik.

Lebih menyukai berobat alternatif 11 (55) 5 (25) 4 (20) daripada ke dokter di puskesmas.

penyakit ini hanya dapat disembuhkan 11 (55) 2 (10) 7 (35) oleh tabib di daerah tersebut.

1.6. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Masalah Kemiskinan

(46)
[image:46.595.118.506.146.348.2]

Tabel 7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Masalah Kemiskinan (n=20)

S KS TS Pernyataan

n (%) n (%) n (%) Tetap bekerja seperti biasa meski 18 (90) 0 (0) 2 (10) pun sedang sakit untuk memenuhi

kebutuhan keluarga

Makan apa adanya karena tidak mampu 15 (75) 1 (5) 4(20) membeli makanan bergizi.

Setelah menderita TBC minum susu 3 (15) 2 (10) 15 (75) untuk memperkuat daya tahan tubuh.

1.7. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Petugas Kesehatan

Pada Tabel 8 dapat dilihat tentang gambaran penelitian bahwa 15% responden tidak mendapatkan penyuluhan TB paru dari petugas kesehatan selama menjalani pengobatan, 75% responden kurang setuju petugas kesehatan melakukan pemeriksaan rutin, menimbang berat badan setiap kali berkunjung.

Tabel 8. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan Petugas Kesehatan (n=20)

S KS TS Pernyataan

n (%) n (%) n (%)

Mendapat penyuluhan 17 (85) 0 (0) 3 (15)

dari petugas kesehatan selama menjalani pengobatan.

Petugas kesehatan melakukan peme 2 (10) 15 (75) 3 (15) riksaan rutin, menimbang berat

[image:46.595.113.506.575.747.2]
(47)

2. Pembahasan

2.2 Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru Dalam penelitian ini hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek medik seperti yang berasal dari penyakti dan penyebab penyakit dan aspek nonmedik seperti pendidikan yang rendah, sikap penderita yang kurang peduli (acuh) terhadap dirinya sendiri, sosial budaya dan faktor ekonomis.

2.2.1 Hambatan Medik

2.2.1.1 Masalah Pemakaian OAT

Pada hasil penelitian 70% responden mengalami mual dan muntah setelah makan obat. Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai, hal ini terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan dan juga karena adanya efek mual dan muntah setelah makan obat yang menyebabkab penderita enggan makan obat. Pemakaian obat antituberkulosis yang tidak teratur dapat menimbulkan resistensi kuman terhadap obat dan harus dijaga jangan sampai pemakaian obat yang berbulan-bulan menimbulkan efek samping dari obat-obatan yang bersangkutan (Yunus, dkk, 2004).

(48)

berobat. Pemakaian OAT jangka pendek sesuai dengan rekomendasi WHO, yaitu berdasarkan kategori dan klasifikasi penyakit adalah sangat penting. Obat anti TB Paru yang digunakan sesuai dengan program pemerintah untuk mencegah kegagalan pengobatan. Hal ini sesuai dengan prinsip pengobatan TB Paru yakni dengan mengkombinasikan beberapa jenis obat dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama 6 sampai 8 bulan. Pengobatan penyakit TB tidak boleh setengah-setengah, harus rutin, berturut-turut sampai tuntas dan memakan waktu paling sedikit enam bulan (Depkes RI, 2002).

2.2.2 Hambatan Nonmedik

2.2.2.1Masalah Pengetahuan Tentang TB Paru

(49)

menganggap program itu tidak penting, sedangkan sebahagian besar lainnya (95%) setuju bahwa responden datang kepuskesmas setelah terlebih dahulu mencoba pengobatan lain dan tidak sembuh. Bila dilihat hasil penelitian ini sesuai dengan karakteristik orang pedesaan yang lebih mengutamakan pengobatan alternatif daripada pengobatan secara medis, mereka masih menganggap pengobatan yang telah diturunkan oleh nenek moyang mereka turun temurun lebih ampuh daripada pengobatan secara medis hal ini yang menjadi hambatan dalam program pelaksanaan pemberantasan penyakit TB paru karena kurangnya keyakinan dan kepercayaan penderita terhadap pengobatan secara medis sehingga akan datang ke puskesmas setelah gagal pengobatan alternatif.

(50)

membutuhkan waktu paling sedikit 6 bulan, rasa jenuh dan rasa kurang yakin menyebabkan penderita memberhentikan minum obat dan pemeriksaan penyakitnya secara rutin ke puskesmas (Aditama, 2002).

2.2.2.3Masalah Sosial Budaya

(51)

2.2.2.4Masalah Kemiskinan (Ekonomi)

(52)

2.2.2.5Masalah Petugas

(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB Paru yang dilaksanakan mulai bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2009. Kesimpulan dan saran hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kesimpulan

(54)

2. Saran

a. Untuk praktek Keperawatan

Pencapaian keberhasilan program pemberantasan penyakit TB Paru sangat erat kaitannya dengan kinerja petugas kesehatan. Dalam mengatasi hambatan pelaksanaannya dibutuhkan kesabaran dalam melayani penderita dan senantiasa memberikan dukungan melalui penyuluhan kesehatan agar pengetahuan kesadaran diri penderita tentang penyakit TB Paru semakin meningkat sehingga pengobatan dapat berhasil tuntas dan maksimal.

b. Untuk penelitian selanjutnya

Mengingat masalah TB Paru merupakan masalah dunia dan merupakan program pemerintah, maka perlu kiranya adanya penelitian yang lebih spesifikasi masalah hambatan dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB Paru yang melibatkan kerjasama baik lintas program maupun lintas sektoral.

c. Untuk pelayanan kesehatan (Puskesmas)

(55)
(56)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama. (1994). Tuberkulosis, Masalah dan Penanggulangannya, Jakarta: Universitas Indonesia

Aditama. (2002). Tuberkulosis Paru, Diagnosis, Terapi dan Masalahnya, Edisi-4., Jakarta: IDI

Alsagaff, H, dkk. (2006). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi-4., Surabaya: Universitas Airlangga

Antonio. (2008). Kasus TB paru di Sumatera. Diambil tanggal 23 Oktober 2008 dari ditemukan.com.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi-VI., Jakarta: PT. Bineka Cipta

Crofton, Sir J, dkk. (2002). Tuberkulosis Klinis, Edisi-2., Jakarta: Widya Medika Depkes RI. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, JakartaI Depkes RI. (2005). Indonesia Capai Kemajuan Dalam Penanggulangan Penyakit

TBC. Diambil tanggal 7 Mei 2009 dari Depkes RI. (2009). Talk Show Menteri Kesehatan RI Pada Peringatan Hari TB

sedunia. Diambil tanggal 7 Mei 2009 dari

Depkes RI. Kajian Riset Operasional Pemberantasan Penyakit menular tahun 1998/1999-2003. Diambil tanggal 23 Nopember 2009 dari

Effendi ( 1998), Dasar-dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Edisi 2., Jakarta: EGC

Litbang Depkes RI (2009). Kajian Riset Operasional Intensifikasi Pemberantasan Penyakit Menular tahun 1998/1999 – 2003. Diambil tanggal 23 Desember 2009 dari

Kariani P, Hotda. (2006). Persepsi Penderita TB Paru Terhadap Pengobatan http://www.Litbang.Depkes.go.id.

Dengan Dtrategi DOTS Di Puskesmas Kesatria Pematang Siantar

Keliat, E.N.et all. (2004).Pengobatan Tuberculosis Paru yang Terbaru. Suplemen MK Nusantara 37

Komala, Sugiarto. (1996). Pengobatan Tuberkulosis Pedoman Untuk Program- Program Nasional, Edisi-1., Jakarta: Hipokrates

Misnadiarly. (2006). Mengenal, Mencegah, Menanggulangi TBC Paru, Ekstra Paru, Anak, dan Pada Kehamilan, Edisi-1., Jakarta: Pustaka Populer Obor Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi

Revisi.,Jakarta: PT. Rineka Cipta

Novita, Yanti. (2005). Persepsi Pasien TB Paru Terhadap Kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) di Daerah Kerja Puskesmas Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang medan

(57)

Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. (2008). Penyakit Tuberkulosis. Diambil tanggal 23 Oktober 2008 dari

http://www.Infeksi.com

Tierney, Lawrence M, dkk. (2002). Diagnosis dan Terapi Kedokteran (Penyakit Dalam), Edisi-1., Jakarta: Salemba Medika

.

WHO. (2002). Tuberculosis Epidemiologi and Control. Edisi-1.New Delhi: WHO WHO. (2002). Stopping Tuberculosis. New Delhi: WHO

(58)

LEMBAR PERSETUAN MENJADI RESPONDEN

Saya adalah seorang mahasiswa di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan, nama saya Mairinadiah Siregar. Saat ini saya sedang melaksanakan penelitian tentang Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Aek Torop. Penelitian ini merupakan salah satu kegiatan dalam menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

Untuk keperluan tersebut saya mohon kesediaan bapak/ibu dapat berpartisipasi dalam penelitian ini, dimana hal ini tidak akan memberikan dampak yang buruk dan membayakan bagi kondisi fisik bapak/ibu. Jika bapak/ibu setuju silahkan menandatangani lembar persetujuan penelitian ini dengan suka rela.

Partisipasi bapak/ibu dalam penelitian ini sifatnya sukarela, sehingga bebas untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa sangsi apapun. Semua informasi yang diberikan dalam penelitian ini dijaga kerahasiannya dan akan digunakan hanya dalam penelitian ini. Atas prtisipasi bapak/ibu saya ucapkan terimakasih.

Medan, 2009

Peneliti Responden

(59)

INSTRUMEN PENELITIAN LEMBAR KUESIONER

Kode : Tgl : Petunjuk pengisian

Isilah pertanyaan pada data demografi dan berilah tanda checlist (√) pada pernyataan yang menurut anda benar dan bila ada pernyataan yang kurang dimengerti, anda dapat ditanyakan kepada peneliti.

:

A .Data Demografi

1. Usia : ... tahun 2. Jenis kelamin :

laki-laki perempuan

3. Pendidikan

SD SMP

SMU Perguruan tinggi

4. Pekerjaan

PNS/TNI/Polisi Wiraswasta

Petani/buruh/nelayan Karyawan/i lain-lain

5. Suku

Batak Jawa

Melayu Dll

6. Jarak tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan :

Kurang dari 1 Km 1 Km – 2 Km

3 Km – 4 Km 2 Km – 3 Km

Lebih dari 5 Km

7. Mengikuti program pengobatan

Pertama kali Lanjutan

(60)

Petunjuk Pengisian : Berilah tanda checlist (√) pada pernyataan yang menurut anda benar pada kolom berikut dengan ketentuan pilihan yaitu :

S = Setuju, KS = Kurang Setuju,TS = Tidak Setuju. B. Data tentang hambatan pelaksanaan program

No 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Pernyataan masalah medik

Saya datang ke Puskesmas setelah merasakan adanya sesak bernafas.

Saya sudah pernah mengikuti program pengobatan tetapi tidak tuntas sesuai program.

Saya datang ke puskesmas setelah terlebih dahulu mencoba pengobatan lain dan tidak sembuh.

Saya minum obat secara teratur sesuai dengan petunjuk petugas kesehatan

Saya selalu menjaga dan memperhatikan waktu minum obar agar tepat waktu

Saya selalu minum obat setelah selesai makan walau waktu makan saya telah lewat

Saya akan rutin minum obat selama 6 bulan karena saya yakin akan sembuh

Saya akan berhenti minum obat karena saya merasa sudah sembuh walaupun belum 6 bulan. Saya selalu datang ke puskesmas setiap 10 hari untuk kontrol dan mengambil obat.

Rasa mual dan muntah setelah makan obat membuat saya enggan makan obat

(61)

No Pernyataan masalah non-medik S KS TS 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22

Ventilasi rumah saya cukup, pintu dan jendela selalu dibuka setiap hari

Saya datang berobat ke puskesmas hanya jika saya sempat

Saya malas datang ke puskesmas karena saya merasa obat yang diberikan tidak ada pengaruhnya pada penyakit saya

Saya selalu diawasi oleh petugas/keluarga sewaktu minum obat

Menurut keyakinan saya penyakit TBC lebih diakibatkan oleh mistik

Saya lebih suka berobat alternatif daripada ke dokter di puskesmas

Menurut saya penyakit saya ini hanya dapat disembuhkan oleh tabib di daerah tersebut

Saya tetap bekerja seperti biasa meskipun saya sedang sakit untuk memenuhi kebutuhan keluarga

Saya makan apa adanya karena saya tidak mampu membeli makanan bergizi

Setelah menderita TBC saya minum susu untuk memperkuat daya tahan tubuh

Saya mendapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan selama menjalani pengobatan

Petugas kesehatan melakukan pemeriksaan rutin, menimbang berat badan setiap berkunjung

(62)

CURRICULUM VITAE

Nama : Mairinadiah Siregar Tempat/Tanggal Lahir : Asam Jawa, 16 Juni 1977 Riwayat Pendidikan

1. 1983 - 1989 : SDN No. 114359 Asam Jawa 2. 1989 - 1992 : MTS Islamiyah Kotapinang 3. 1992 - 1995 : MAS Islamiyah Kotapinang 4. 1995 - 1998 : Akper Imelda Medan

Gambar

Tabel 1. Distribusi Frekuensi dan Persentase  Karakteristik Responden (n=20)
Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru  berdasarkan  pengetahuan TB Paru (n=20)
Tabel 4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan  Pemakaian OAT (n=20)
Tabel 5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru berdasarkan    Sikap Tidak Acuh terhadap Penyakit (n=20)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti bertanya terkait dengan sejarah berdirinya SPS Mutiara Hati, strategi pemasaran yang dilakukan oleh SPS Mutiara Hati, bagaimana peran pengelola, tenaga pendidik, orang

Menurut David (2009) nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete memiliki posisi internal yang kuat (lebih dari 2,5), sehingga dapat dikatakan

SASARAN 48 : Sekolah mampu membuat laporan dan mendokumentasikan laporan sesuai dengan penggunaan dana.  Pendokumentasian dan pelaporan

Persamaan Master adalah sebuah persamaan diferensial fenomenologis orde pertama yang penyelesaiannya memberikan evolusi waktu dari (fungsi) peluang suatu sistem

Hasil penelitian ini ialah penerapan ketentuan kode etik dan tindak disiplin terhadap tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam wilayah hukum

negatif dari koneksi politik terhadap kinerja keuangan dan kinerja pasar disebabkan perusahaan tidak memiliki kemampuan dalam mengelola pendanaan yang baik sehingga

Untuk membuat Modul ini penulis membuat struktur navigasi dan storyboard dengan menggunakan Macromedia Flash MX 2004 serta komponen-komponen lainnya yang mendukung proses