• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt Collector) Karena Kredit Macet Ditinjau Menurut Kontrak Baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt Collector) Karena Kredit Macet Ditinjau Menurut Kontrak Baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KONSUMEN PADA PT. SUMMIT OTO FINANCE CABANG MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM 090200232

TOGA ADI PUTRA SINAGA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN YANG MENGALAMI PENARIKAN PAKSA KENDARAAN BERMOTOR OLEH PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) KARENA KREDIT MACET DITINJAU

MENURUT KONTRAK BAKU PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN PADA PT. SUMMIT OTO FINANCE CABANG MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM 090200232

TOGA ADI PUTRA SINAGA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

DISETUJUI OLEH:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Hasim Purba, SH. M. Hum

NIP. 196603031985081001 NIP. 196101181988031010 Zulkifli Sembiring SH. MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

Perkembangan perekonomian Indonesia yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis lembaga pembiayaan. Menjamurnya perusahaan pembiayaan tidak terlepas dari suburnya permintaan pembiayaan untuk konsumsi masyarakat atau kredit untuk barang-barang seperti motor dan alat elektronik di Indonesia. Kebutuhan masyarakat yang besar akan alat transportasi khususnya kendaraan bermotor, seringkali membuat perusahaan pembiayaan dijadikan dewa penolong atau dewa penyelamat bagi sebagian besar kebutuhan alat transportasi masyarakat Indonesia. Namun fakta saat ini keberadaan perusahaan pembiaayaan banyak yang melakukan pelanggaran hukum atas penarikan paksa kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiayaan konsumen, sehingga hal ini sangat meresahkan konsumen. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penarikan paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atas objek pembiayaan milik debitur, terlebih lagi pada saat ini banyak perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector), untuk melakukan penarikan paksa dari objek pembiayaan, hingga akhirnya konsumen harus mengalami kerugian karena penarikan paksa oleh pihak debt collector. Yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen, bagaimana ketentuan dan prosedural penarikan kendaraan bermotor dikarenakan kredit macet, dan bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena kredit macet.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), penelitian lapangan, dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

(4)

paksa dijalan raya pemerintah melalui kementerian keuangan telah mengeluarkan satu terobosan peraturan baru yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan, yang melarang perusahaan leasing malakukan penarikan paksa kendaraan bermotor dijalan raya.

(5)

KATA PENGANTAR

Salam Sejahtera,

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini guna

melengkapi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini mengenai “ Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor

Oleh Pihak Ketiga ( Debt Collector ) Karena Kredit Macet Ditinjau Pada Kontrak

Baku ( Studi Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan )

Penulis sadar dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya,

baik dari segi materi maupun penyusunan kalimatnya, serta tak lepas dari bantuan

pihak-pihak tertentu baik berupa bimbingan, kritik, saran bahkan pengarahan.

Oleh karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada

semua pihak yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH. M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Dr. H. Hasim Purba, SH. M. Hum selaku Ketua Departemen Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syamsul Rizal, SH. M. Hum selaku Ketua Jurusan Hukum Perdata BW

(6)

4. Dr. H. Hasim Purba, SH. M. Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan skripsi.

5. Zulkifli Sembiring, SH. MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah sabar

memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan skripsi.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan bimbingan kepada penulis selama ini.

7. Para Staff Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang ikut serta dalam membantu proses pendidikan,

8. Keluargaku tercinta, Ayahanda St. Rasmi Halomoan Sinaga, Ibundaku

tersayang Rosmaida br. Siagian, Abangda Lambok Sinaga, Kakanda Rayani

Lorentina Sinaga, Sri Yanti Sinaga, Kamelia Sinaga, dan Adinda Asnita

Sinaga yang sudah memberikan dukungan, semangat, perhatian, dan senyum

untukku.

9. Sahabat-Sahabatku seperjuangan, Budi Bahreisy, Ari Ade Bram Manalu,

Aldar Valeri, Luthfi Fauzi Fahmi, Fauzul Asyura, Ismail Ginting, Agustinus C

Siallagan, Evan Ricardo T, King Richter S, Andi Azlansah Putra, Lia Hartika,

Sarah Sylviana, Dea Arum Amelia, Putri Indah Sari, Dewi Ratih, Arini

Wulandari, Dian Sasmita, Yudhistira Frandana, terima kasih atas semuanya

yang sudah kita jalani bersama.

10.Teman-Temanku Stambuk 2009 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(7)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini kurang sempurna. Oleh karena itu

mohon kritik dan sarannya agar skripsi ini bisa menjadi lebih sempurna. Semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga

Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati kita semua.

Medan, 05 Oktober 2014

Penulis,

Nim 090200232

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………. i

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI………. iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….…. 1

B. Permasalahan……….…… 4

C. Tujuan Penulisan……….. 5

D. Manfaat Penulisan……… 5

E. Metode Penelitian………. 6

F. Keaslian Penulisan……… 9

G. Sistematika Penulisan………... 9

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN A. Pengertian Perjanjian/Perikatan………. 12

B. Asas Dalam Perjanjian………... 21

C. Jenis-Jenis Perjanjian………. 25

D. Syarat Sahnya Perjanjian………... 31

E. Wanprestasi………... 38

F. Perbuatan Melawan Hukum……….. 44

BAB III TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Pengertian Perlindungan Konsumen………. 47

(9)

C. Hak Dan Kewajiban………... 53

1. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha……….…. 53

2. Hak Dan Kewajiban Konsumen……….. 58

D. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen………. 59

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN YANG MENGALAMI PENARIKAN PAKSA KENDARAAN BERMOTOR OLEH PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) KARENA KREDIT MACET A. Kedudukan Pihak Ketiga (Debt Collector) Dalam Perjanjian Leasing……….. 64

B. Ketentuan Dan Prosedural Penarikan Paksa kendaraan Bermotor……… 71

C. Bentuk Perlindungan Hukum Yang Diberikan Terhadap Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Karena Kredit Macet……….... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……… 85

B. Saran……….. 86

DAFTAR PUSTAKA………. 89

(10)

ABSTRAK

Perkembangan perekonomian Indonesia yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis lembaga pembiayaan. Menjamurnya perusahaan pembiayaan tidak terlepas dari suburnya permintaan pembiayaan untuk konsumsi masyarakat atau kredit untuk barang-barang seperti motor dan alat elektronik di Indonesia. Kebutuhan masyarakat yang besar akan alat transportasi khususnya kendaraan bermotor, seringkali membuat perusahaan pembiayaan dijadikan dewa penolong atau dewa penyelamat bagi sebagian besar kebutuhan alat transportasi masyarakat Indonesia. Namun fakta saat ini keberadaan perusahaan pembiaayaan banyak yang melakukan pelanggaran hukum atas penarikan paksa kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiayaan konsumen, sehingga hal ini sangat meresahkan konsumen. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penarikan paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atas objek pembiayaan milik debitur, terlebih lagi pada saat ini banyak perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector), untuk melakukan penarikan paksa dari objek pembiayaan, hingga akhirnya konsumen harus mengalami kerugian karena penarikan paksa oleh pihak debt collector. Yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen, bagaimana ketentuan dan prosedural penarikan kendaraan bermotor dikarenakan kredit macet, dan bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena kredit macet.

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka (library research), penelitian lapangan, dan wawancara. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

(11)

paksa dijalan raya pemerintah melalui kementerian keuangan telah mengeluarkan satu terobosan peraturan baru yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan, yang melarang perusahaan leasing malakukan penarikan paksa kendaraan bermotor dijalan raya.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian Indonesia yang pesat telah menghasilkan

berbagai jenis lembaga pembiayaan. Menjamurnya perusahaan pembiayaan tidak

terlepas dari suburnya permintaan pembiayaan untuk konsumsi masyarakat atau

kredit untuk barang-barang seperti motor dan alat elektronik di Indonesia.

Lembaga pembiayaan konsumen di Indonesia dimulai pada tahun 1988, yaitu

dengan dikeluarkannya Keppres No 61 Tahun 1988 Tentang Lembaga

Pembiayaan, dan Keputusan Menteri Keuangan No 1251/KMK.013/1988 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Kedua keputusan

inilah yang merupakan titik awal dari sejarah perkembangan pengaturan

pembiayaan kosumen sebagai lembaga bisnis pembiayaan di Indonesia.1 Lembaga

pembiayaan adalah suatu badan yang melalui kegiatannya di bidang keuangan

yakni menarik dana dari masyarakat dan menyalurkannya kemasyarakat. Lembaga

pembiayaan ini dibagi menjadi dua kelompok yakni lembaga keuangan atau yang

sering disebut bank dan lembaga keuangan bukan bank.2

Salah satu lembaga pembiayaan konsumen yang tumbuh pesat pada saat

ini adalah PT. Summit OTO Finance. PT. Summit OTO Finance didirikan tahun

1990, pada awalnya perusahaan ini bernama PT. Summit Sinar Mas Finance, hasil

1 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 98

(13)

kerjasama usaha antara PT. Sinar Mas Multiartha dan Sumitomo Corporation,

Jepang. Awalnya PT. Summit Sinar Mas Finance memfokuskan aktivitas usaha

pada sewa guna usaha. Namun di tahun 2003 PT. Summit Sinar Mas Finance

mengubah aktivitas usahanya menjadi perusahaan pembiayaan kendaraan

bermotor, sekaligus mengganti namanya menjadi PT. Summit OTO Finance.

Sumitomo Corporation adalah perusahaan dagang Jepang yang terpadu

(sogoshosha). Sebagai Pemegang saham utama, Sumitomo Corporation

memberikan dukungan dan mengendalikan semua aspek usaha dari manajemen,

treasury, keuangan hingga operasi. Dengan dukungan dari Sumitomo

Corporation, PT Summit OTO Finance telah berhasil tumbuh dan meningkatkan

pembiayaan motor serta memiliki kantor jaringan yang tersebar diseluruh

Indonesia. Usaha utama PT. Summit OTO Finance adalah pada pembiayaan

kepemilikan motor baru. PT Summit OTO Finance lebih berfokus kepada

pelanggan perorangan dari pada perusahaan, dengan tujuan penyebaran risiko.

Sebagai perusahaan pembiayaan yang independen, PT. Summit OTO Finance

tidak memiliki keterkaitan dengan pabrikan, sehingga perusahaan memiliki

keleluasaan untuk membiayai semua merek motor yang tersedia di pasar.

PT. Summit OTO Finance sebagai penyedia jasa pembiayaan bagi

konsumen tentunya mempunyai berbagai jenis pembiayaan. Salah satu jenis

pembiayaan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut adalah pembiayaan

konsumen (consumer finance). Dalam pandangan masyarakat saat ini

menganggap perusahaan pembiayaan sepeda motor adalah perusahaan leasing

(14)

Menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

2009 tentang Lembaga Pembiayaan, pembiayaan konsumen (consumer finance)

adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan

konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Sedangkan sewa guna usaha

(leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal

baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna

usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha

(lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

Jadi dalam hal ini jenis pembiayaan yang dilakukan oleh PT. Sommit Oto Finance

tersebut adalah pembiayaan konsumen (consumer finance), bukan leasing (sewa

guna usaha).

Menurut Budi Rachmad perbedaan pembiayaan konsumen dengan sewa

guna usaha, khususnya yang dengan hak opsi (finance lease) adalah sebagai

berikut:

1. Pada pembiayaan konsumen, pemilikan barang/ objek pembiayaan berada

pada konsumen. Adapun pada sewa guna usaha (leasing), pemilikan

barang/ objek pembiayaan berada pada lessor.

2. Pada pembiayaan konsumen, tidak ada batasan waktu pembiayaan dalam

arti disesuaikan dengan unsur ekonomis barang/ objek pembiayaan.

Adapun pada sewa guna usaha jangka waktu diatur sesuai dengan umur

ekonomis objek/ barang modal yang dibiayai oleh lessor.

3. Pada pembiayaan konsumen tidak membatasi pembiayaan kepada calon

(15)

mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas. Adapun pada sewa

guna usaha calon lessee diharuskan ada atau memiliki syarat-syarat di

atas.3

Melihat pengaturan mengenai perusahaan pembiayaan di atas, maka pada

saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012

tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang

Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan

Pembebanan Jaminan Fidusia, dinyatakan bahwa setiap objek kendaraan bermotor

dalam perjanjian pembiayaan konsumen harus dibebani dengan perjanjian

jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan tersebut. Perjanjian jaminan fidusia

merupakan perjanjian accessoir, dimana hal ini sesuai ketentuan Pasal 4

Fidusia). Perjanjian accessoir berarti bahwa lahir dan hapusnya perjanjian

jaminan fidusia bergantung pada perjanjian pokoknya (perjanjian utang piutang

atau perjanjian pembiayaan). Dalam Pasal 4 UU Fidusia dinyatakan bahwa

“jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanian pokok yang

menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.”

Jaminan fidusia wajib didaftarkan dimana dengan didaftarkannya jaminan fidusia

tersebut, kantor pendaftaran fidusia akan menerbitkan dan menyerahkan sertifikat

jaminan fidusia kepada penerima jaminan fidusia dan jaminan fidusia ini lahir

setelah dilakukan pendaftaran. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2

Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran

3Budi Rachmat, Multi Finance Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan

(16)

Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan

Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia

yang menyatakan bahwa “perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan

fidusia pada kantor pendaftaran fidusia, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender

terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.” Lebih lanjut, dalam

Pasal 3 Permenkeu tersebut dinyatakan bahwa “perusahaan pembiayaan dilarang

melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila

kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan

menyerahkannya kepada perusahaan pembiayaan.”

Kebutuhan masyarakat yang besar akan alat transportasi khususnya

kendaraan bermotor, seringkali membuat perusahaan pembiayaan dijadikan dewa

penolong atau dewa penyelamat bagi sebagian besar kebutuhan alat transportasi

masyarakat Indonesia. Namun fakta saat ini keberadaan perusahaan pembiaayaan

banyak yang melakukan pelanggaran hukum atas penarikan paksa kendaraan

bermotor yang menjadi objek pembiayaan konsumen, sehingga hal ini sangat

meresahkan konsumen. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus penarikan paksa

yang dilakukan oleh pihak perusahaan pembiayaan atas objek pembiayaan milik

debitur, terlebih lagi pada saat ini banyak perusahaan pembiayaan yang

menggunakan jasa pihak ketiga (debt collector), untuk melakukan penarikan

paksa dari objek pembiayaan. Tentu saja ini sangat merugikan konsumen, dimana

konsumen yang sudah banyak mengangsur cicilan objek pembiayaannya, hanya

keterlambatan pembayaran sedikit, akhirnya konsumen harus mengalami

(17)

inilah penulis membuat skripsi ini dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi

Konsumen Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt Collector) Karena Kredit Macet Ditinjau Menurut Kontrak Baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Pada PT. Summit Oto Finance Cabang Medan.”

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini,

yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian

kredit pembiayaan konsumen?

2. Bagaimana ketentuan dan prosedural penarikan kendaraan bermotor

dikarenakan kredit macet?

3. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap

konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena

kredit macet?

C. Tujuan Penulisan

Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah

yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang

hukum yang mengatur tentang hukum jaminan fidusia di negara Indonesia. Sesuai

(18)

1. Untuk mengetahui kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam

perjanjian kredit pembiayaan konsumen.

2. Untuk mengetahui ketentuan dan prosedural penarikan kendaraan

bermotor dikarenakan kredit macet.

3. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap

konsumen yang mengalami penarikan paksa kendaraan bermotor karena

kredit macet.

D. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan

dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu:

1. Manfaat secara teoretis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan

masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan

ilmu hukum ekonomi. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat secara praktis

Secara praktis diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat menjadi bahan

masukan bagi masyarakat dan para pihak yang berperan serta yang diharapkan

dapat meningkatkan kesadaran dan perannya dalam memberikan perlindungan

dan kepastian hukum kepada debitur dalam setiap proses transaksi kredit

(19)

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Bambang sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya

ilmiah ada 2 (dua) jenis metode penelitian, yaitu:

a. Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum

doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada

peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian

hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi

dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data

yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian kepustakaan

demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris

(penelitian lapangan).4

b. Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian hukum non

doktrinal karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk

menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai

proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat, atau yang disebut juga

sebagai Socio Legal Research.5

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini

metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yaitu dengan

pengumpulan data secara studi pustaka (library research) dan penelitian lapangan.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian merupakan data sekunder yang diperoleh dari:

4 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007),

hlm. 81

(20)

a. Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang

mengikat seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun

peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum perdata dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti

Jaminan Fidusia, Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012

tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang

Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan

Pembebanan Jaminan Fidusia, dan lain-lain.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus

Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris-Indonesia, kamus hukum,

ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan

lain-lain.

3. Metode pengumpulan data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka

digunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu

mempelajari dan menganalisis secara sistematis digunakan buku-buku, surat

(21)

bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi

ini.6

4. Analisis Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan

dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi

maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek peneliitian,

dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Di

samping itu ada pun metode pengumpulan data yang lain yaitu data primer, data

yang diperoleh langsung dari objek penelitian seperti Wawancara, dan sebagainya.

Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif

yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan

asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik

kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen

Yang Mengalami Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor Oleh Pihak Ketiga (Debt

Collector) Karena Kredit Macet (Studi Pada PT. Summit OTO Finance Cabang

Medan)” adalah hasil pemikiran sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan,

belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti judul skripsi yang hampir

(22)

sama, namun dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan

demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan secara

moral dan ilmiah.

Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di

Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga telah dilakukan

dan dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan menguraikan pembahasan masalah skripsi ini,

maka penyusunannya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam lima

bab, yang gambarannya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti

penelitian pada umumnya yaitu, latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan serta

sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang

pengertian perjanjian/perikatan, asas dalam perjanjian,

jenis-jenis perjanjian, syarat sahnya perjanjian, wanprestasi,

dan perbuatan melawan hukum.

(23)

Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang

pengertian perlindungan konsumen, asas dan tujuan

perlindungan konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha,

hak dan kewajiban konsumen, dan badan penyelesaian

sengketa konsumen.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN YANG MENGALAMI PENARIKAN PAKSA KENDARAAN BERMOTOR OLEH PIHAK KETIGA (DEBT COLLECTOR) KARENA KREDIT MACET (STUDI PADA PT. SUMMIT OTO FINANCE CABANG MEDAN)

Dalam bab ini akan dibahas mengenai peranan pihak ketiga

dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen, bentuk

penarikan kendaraan yang diperbolehkan dan tidak

diperbolehkan, dan bentuk perlindungan hukum yang

diberikan terhadap konsumen yang mengalami penarikan

paksa kendaraan bermotor karena kredit macet.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir

dimana akan diberikan kesimpulan dan saran mengenai

(24)

A. Pengertian Perjanjian/Perikatan

Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud dalam Pasal

1313 KUH Perdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari

semua mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu mereka yang

mengadakan persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.7

Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula

terlalu luas.

8

7 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2,

(Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 430

8 Mariam Darus Badrulzaman(1), KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan

Penjelasannya, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 65

Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai

perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup

perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan

perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam

KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III

kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

(25)

yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam perjanjian tersebut.

Adapun pengertian perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih. Rumusan dalam Pasal 1313 KUH Perdata menegaskan

bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang

lain.9 Ini berarti suatu perjanjian menimbulkan kewajiban atau prestasi dari satu

orang kepada orang lainnya yang berhak atas pemenuhan prestasi tersebut.

Dengan kata lain, bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak,

dimana pihak yang satu wajib untuk memenuhi suatu prestasi dan pihak lain

berhak atas prestasi tersebut. Sebagaimana telah dinyatakan di atas bahwa

perjanjian menimbulkan prestasi terhadap para pihak dalam perjanjian tersebut.

Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh salah

satu pihak (debitur)kepada pihak lain (kreditur) yang ada dalam perjanjian.

Prestasi terdapat baik dalam perjanjian yang bersifat sepihak atau unilateral

agreement, artinya prestasi atau kewajiban tersebut hanya ada pada satu pihak

tanpa adanya suatu kontra prestasi atau kewajiban yang diharuskan dari pihak

lainnya.10 Prestasi juga terdapat dalam perjanjian yang bersifat timbal balik atau

bilateral or reciprocal agreement, dimana dalam bentuk perjanjian ini

masing-masing pihak yang berjanji mempunyai prestasi atau kewajiban yang harus

dipenuhi terhadap pihak yang lainnya.11

9

Karitini Muljadi dan Gunawan Widjaja(1), Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,

(Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2003), hlm. 92

10 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum

Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 150

11 Ibid.

(26)

Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata diatas

memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad yang

menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan dari Pasal 1313 KUH Perdata adalah

sebagai berikut:

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal tersebut dapat diketahui dari

perumusan satu orang saja atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak

saja tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri

jadi ada consensus antara para pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus. Pengertian perbuatan

termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan

melawan hukum yang tidak mengandung consensus seharusnya dipakai

kata persetujuan.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313

KUH Perdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan

dan janji perkawinan yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

4. Tanpa menyebut tujuan. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak

disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang

mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian

tersebut dibuat. 12

Pengertian tentang perjanjian pada setiap sarjana tentunya mempunyai

pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi perjanjian. Menurut Subekti

12 Abdul Kadir Muhammad(1), Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992),

(27)

perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain

atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal itu.13

Menurut Wirjono Prodjodikoro perjanjian adalah suatu perbuatan hukum

mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji

atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan suatu

hal, sedangkan pihak lain menurut pelaksanaan sesuatu hal itu.14 Menurut Mariam

Darus Badrulzaman perjanjian adalah suatu perhubungan yang terjadi antara dua

orang atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak

satu berhak atas prestasi dan pihak lain wajib memenuhi kewajiban itu.15 Menurut

Setiawan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih.16

a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu

perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan perbuatan hukum.

Kemudian Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam

Pasal 1313 KUH Perdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum

lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja,

terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan

sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka

definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi :

13 Subekti(1), Hukum Perjanjian, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1980), hlm. 1 14

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1992), hlm. 12

15 Mariam Darus Badrulzaman(2), Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hlm. 3

16 Apit Nurwidijanto, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada Puri

(28)

b. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal

1313 KUH Perdata.17

M. Yahya Harahap menyatakan perjanjian mengandung pengertian suatu

hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang

memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan

sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasinya.18 Dari

pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi

wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang

menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang

memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu

prestasi.19

17 Ibid., hlm 42

18 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6

19 Ibid., hlm. 7

Kalau demikian, perjanjian atau verbintennis adalah hubungan hukum/

rechtbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara

perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum

antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam

lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan

suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam

harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan

sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya

seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian, hubungan

hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan

sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum

(29)

yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak

diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang

lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan

prestasi. Jadi satu pihak memperoleh hak/recht dan pihak sebelah lagi memikul

kewajiban/plicht menyerahkan/menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek atau

voorwerp dari verbintenis. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan

berdasar tindakan hukum, sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum

perjanjian. Pihak yang berhak atas prestasi mempunyai kedudukan sebagai

schuldeiser atau kreditur. Pihak yang wajib menunaikan prestasi berkedudukan

sebagai schuldenaar atau debitur.20

1) Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan

akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak,

misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.

Handri Rahardjo mengatakan secara garis besar perjanjian dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu:

2) Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam

lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III

KUHPerdata. Misalnya, perjanjian bernama.21

Handri Raharjo menyatakan perikatan adalah hubungan hukum antara dua

pihak dalam lapangan harta kekayaan dengan pihak yang satu berhak atas prestasi

dan pihak yang lain berkewajiban berprestasi. Yang dimaksud dengan lapangan

harta kekayaan adalah hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum (harta

20 Mariam Darus Badrulzaman(1), Op.Cit., hlm. 66

(30)

kekayaan) dan dapat dinilai dengan uang.22

a) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak dimana subjek dalam

perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan diadakannya suatu

perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum

dengan syarat subjek adalah orang mampu atau berwenang melakukan

perbuatan hukum.

Dengan demikian, perjanjian

mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk

melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu merupakan suatu ketentuan

antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Dari beberapa pengertian tentang

perjanjian yang telah diurikan diatas, terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu

akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat

perjanjian. Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan

kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Namun, dalam

prakteknya bukan hanya orang perorangan yang membuat perjanjian, namun

termasuk juga badan hukum yang juga merupakan subjek hukum. Selain itu dalam

merumuskan suatu perjanjian terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi agar

dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian antara lain:

b) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dimana unsur

yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan

(kesepakatan) antara pihak. Sifat persetujuan dalam suatu persetujuan

disini haruslah tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu

ditunjukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran.

(31)

c) Ada tujuan yang akan dicapai dalam perjanjian terutama untuk

memenuhi kebutuhan para pihak itu, kebutuhan dimana hanya dapat

dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu

sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan

dan tidak dilarang oleh Undang-Undang.

d) Ada prestasi yang akan dilaksanakan dimana prestasi merupakan

kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan

syarat-syarat perjanjian.

e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Bentuk perjanjian perlu

ditentukan, karena ada ketentuan Undang-Undang bahwa hanya

dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat

dan kekuatan terbukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta.

f) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. Syarat-syarat tersebut

biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan

kewajiban pokok.23

Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka. Artinya setiap

orang bebas melakukan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum diatur.

Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk:

(1).Membuat atau tidak membuat perjanjian

(2).Mengadakan perjanjian dengan siapapun

(32)

(3).Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya

(4).Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.24

Sedangkan unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut:

(a).Ada beberapa para pihak

(b).Ada persetujuan antara para pihak

(c).Adanya tujuan yang hendak dicapai

(d).Adanya prestasi yang akan dilaksanakan

(e).Adanya bentuk tertentu lisan atau tulisan

(f).Adanya syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.25

Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata. Dalam perjanjian dikenal

adanya tiga unsur yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak

yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu :

[1].Unsur esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan

berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu

pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang

membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.

[2].Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian

tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti.

Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensialia

jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban penjual

untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat

tersembunyi.

24 Martin Roestamy & Aal Lukmanul Hakim, Bahan Kuliah Hukum Perikatan, (Fakultas

Hukum Universitas Djuanda Bogor), hlm. 5

(33)

[3].Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian,

yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara

menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak,

yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara

bersama-sama oleh para pihak.26

B. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan di dalam bukunya Hukum

Perjanjian terdapat beberapa asas sebagai berikut:

1. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonom)

2. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak)

3. Asas kepercayaan

4. Asas kekuatan mengikat

5. Asas persamaan hukum

6. Asas keseimbangan

7. Asas kepastian hukum

8. Asas moral

9. Asas kepatutan

10. Asas kebiasaan27

Ad.1. Asas Kebebasan Berkontrak

Handri Raharjo menyebutkan asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas

membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar

26 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja(1), Op. Cit., hlm. 84

27 Mariam Darus Bardrulzaman(3), KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan

(34)

undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.28 Jika dipahami secara saksama

maka asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk

membuat atau tidak membuat sesuatu, mengadakan perjanjian dengan siapa pun,

menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta menentukan

bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan. Namun, keempat hal tersebut

boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum,

dan kesusilaan.29

Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya

kata sepakat antara pihak-pihak. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan

mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara pihak-pihak,

mengenai pokok perjanjian. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian

yang dibuat itu dapat secara lisan saja, dan dapat juga dituangkan dalam bentuk

tulisan berupa akta, jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian yang dibuat

secara lisan saja didasarkan pada asas bahwa manusia itu dapat dipegang

mulutnya, artinya dapat dipercaya dengan kata-kata yang diucapkannya. Ad.2. Asas Konsensualisme

30

28 Handri Raharjo, Op. Cit., hlm. 43 29 Ibid., hlm. 44

30 Abdulkadir Muhammad(1), Op. Cit., hlm. 85 Ad.3. Asas Kepercayaan

Kepercayaan adalah merupakan dasar untuk mengadakan perjanjian,

dimana kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu satu sama lain akan

memegang janjinya dengan kata lain akan memenuhi prestasinya.

(35)

Kekuatan mengikat dari setiap perjanjian adalah juga merupakan dasar

untuk timbulnya perjanjian, sebab apabila perjanjian yang telah diperbuat tidak

mempunyai kekuatan mengikat bagi mereka yang membuatnya, akan

mengakibatkan perjanjian itu tidak mempunyai arti apa-apa sehingga dengan

demikian bahwa asas kekuatan mengikat merupakan jaminan akan kepastian

hukumnya.

Ad.5. Asas Kesamaan Hukum

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan asas ini menempatkan para pihak

di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan warna

kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain, masing-masing pihak

wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak

menghormati satu sama lain sebagaimana manusia ciptaan Tuhan.31

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan asas ini menghendaki kedua

belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu, asas keseimbangan ini

merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk

menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut perlunasan prestasi melalui

kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan

perjanjian itu dengan etikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur

yang dihubungi dengan kewajibannya untuk memperhatikan etikad baik, sehingga

kedudukan kreditur dan debitur seimbang. Ad.6. Asas Keseimbangan

32

Ad.7. Asas Kepastian Hukum

(36)

Tujuan hukum pada umumnya adalah keadilan, akan tetapi kepastian

hukum adalah merupakan suatu yang sangat penting terutama dalam hukum

perjanjian, sebab dengan adanya kepastian hukum yang telah ada ditentukan oleh

ketentuan perundang-undangan sebagai jaminan akan pelaksanaan perjanjian

tersebut akan mempermudah untuk selanjutnya mengetahui hak dan kewajibannya

diantara para pihak yang membuatnya.

Ad.8. Asas Moral

Dapat terjadi seseorang melakukan tindakan terhadap sesamanya yang

berguna bagi orang lain dalam kehidupan sehari-hari adalah semata-mata oleh

karena ikatan moral. Akan tetapi sekalipun demikian dalam hal-hal tertentu asas

moral ini membawa akibat hukum bagi yang melakukannya.

Ad.9. Asas Kepatutan

Mariam Darus Badrulzaman menyatakan asas kepatutan disini berkaitan

dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, kepatutan ini harus dipertahankan

karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa

keadilan dalam masyarakat.33

Mengenai kebiasaan juga dapat memberikan/menyelesaikan suatu

hubungan hukum, bilamana dalam ketentuan undang-undang tidak dapat

menyelesaikannya, sebabnya adalah sekalipun pembuat undang-undang

mempunyai kebebasan wewenang untuk merumuskan ketentuan-ketentuan dalam Ad.10. Asas Kebiasaan

(37)

suatu undang-undang sebagai manusia yang mempunyai kemampuan yang

terbatas dapat terjadi dalam suatu hubungan hukum tidak diatur sebelumnya.

Perjanjian yang disebut di atas adalah sangat penting terutama pelaksanaan

suatu perjanjian itu berarti melaksanakan akibat hukum yang timbul karenanya,

yang dikehendaki oleh para pihak yang pada waktu melakukan/mengadakan

perjanjian. Hukum juga mengatur akibat-akibat hukum bilamana suatu perjanjian

yang disepakati semula, seperti apa yang di uraikan ini.

C. Jenis-Jenis Perjanjian

Hukum perjanjian itu adalah merupakan peristiwa hukum yang selalu

terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga apabila ditinjau dari segi

yuridisnya, hukum perjanjian itu tentunya mempunyai perbedaan satu sama

lain dalam arti kata bahwa perjanjian yang berlaku dalam masyarakat itu

mempunyai coraknya yang tersendiri pula.34

1. Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang

memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Misalnya jual

beli, sewa-menyewa. Dari contoh ini, diuraikan tentang apa itu jual beli. Corak yang berbeda dalam bentuk

perjanjian itu, merupakan bentuk atau jenis dari perjanjian. Bentuk atau jenis

perjanjian tersebut, tidak ada diatur secara terperinci dalam undang-undang, akan

tetapi dalam pemakaian hukum perjanjian oleh masyarakat dengan penafsiran

Pasal dari KUHPerdata terdapat bentuk atau jenis yang berbeda tentunya.

Perbedaan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

(38)

Jual-beli itu adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dimana pihak yang

satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,

sedang pihak lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga, yang

terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik

tersebut. Dari sebutan jual-beli ini tercermin kepada kita memperlihatkan

dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedangkan di pihak lain

dinamakan pembeli. Dua perkataan bertimbal balik itu, adalah sesuai

dengan istilah belanda koop en verkoop yang mengandung pengertian

bahwa, pihak yang satu verkoop (menjual), sedangkan koop adalah

membeli.35

2. Perjanjian sepihak. Perjanjian sepihak merupakan kebalikan dari pada

perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang

memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya.

Contohnya perjanjian hibah. Pasal 1666 KUHPerdata memberikan suatu

pengertian bahwa penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si

penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma, dan dengan tidak

dapat ditarik kembali menyerahkan suatu barang, guna keperluan si

penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Perjanjian ini juga selalu

disebut dengan perjanjian cuma-cuma. Yang menjadi kriteria perjanjian ini

adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau salah satu pihak.

Prestasi biasanya berupa benda berwujud berupa hak, misalnya hak untuk

menghuni rumah.

(39)

3. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian dengan alasan hak yang membebani.

Perjanjian cuma-cuma atau percuma adalah perjanjian yang hanya

memberi keuntungan pada satu pihak, misalnya perjanjian pinjam pakai.

Pasal 1740 KUHPerdata menyebutkan bahwa pinjam pakai adalah suatu

perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada

pihak yang lainnya, untuk dipakai dengan cuma-cuma dengan syarat

bahwa yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah

lewatnya waktu tertentu, akan mengembalikannya kembali .36

4. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama

adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya bahwa

perjanjian itu memang ada diatur dan diberi nama oleh undang-undang.

Misalnya jual beli, sewa-menyewa, perjanjian pertanggungan, pinjam

pakai dan lain-lain. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah merupakan

suatu perjanjian yang munculnya berdasarkan praktek sehari-hari.

Contohnya perjanjian sewa-beli. Jumlah dari perjanjian ini tidak terbatas Sedangkan

perjanjian atas beban atau alas hak yang membebani, adalah suatu

perjanjian dalam mana terhadap prestasi ini dari pihak yang satu selalu

terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, dan antara kedua prestasi ini

ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasinya dapat berupa

kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat potestatif

(imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan kepada B sejumlah

uang, jika B menyerah lepaskan suatu barang tertentu kepada A.

(40)

banyaknya. Lahirnya perjanjian ini dalam praktek adalah berdasarkan

adanya suatu asas kebebasan berkontrak, untuk mengadakan suatu

perjanjian atau yang lebih dikenal party otonomie, yang berlaku di dalam

hukum perikatan.37

5. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan

adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli.

Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir. Contohnya : A ingin membeli barang B, tetapi A tidak

mempunyai uang sekaligus, dalam hal ini B si empunya barang

mengizinkan A untuk mempergunakan barang tersebut sebagai penyewa,

dan apabila dikemudian hari A mempunyai uang, A diberi kesempatan

oleh B (si empunya barang) untuk membeli lebih dahulu barang tersebut.

Perjanjian sewa beli itu adalah merupakan ciptaan yang terjadi dalam

praktek. Hal di atas tersebut, memang diizinkan oleh undang-undang

sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang tercantum di dalam Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata. Bentuk perjanjian sewa beli ini adalah suatu

bentuk perjanjian jual-beli akan tetapi di lain pihak ia juga hampir

berbentuk suatu perjanjian sewa-menyewa. Meskipun ia merupakan

campuran atau gabungan daripada perjanjian jual beli dengan suatu

perjanjian sewa menyewa, tetapi ia lebih condong dikemukakan semacam

sewa menyewa.

38

37 Mariam Darus Badrulzaman(3), Op.Cit.,hlm. 32 38 Ibid., hlm. 35

Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan,

(41)

pihak-pihak. Untuk berpindahnya hak milik atas sesuatu yang diperjual belikan

masih dibutuhkan suatu perbuatan yaitu perbuatan penyerahan. Pentingnya

perbedaan antara perjanjian kebendaan dengan perjanjian obligatoir adalah

untuk mengetahui sejauh mana dalam suatu perjanjian itu telah adanya

suatu penyerahan sebagai realisasi perjanjian, dan apakah perjanjian itu

sah menurut hukum atau tidak. Objek dari perjanjian obligatoir adalah

dapat benda bergerak dan dapat pula benda tidak bergerak, karena

perjanjian obligatoir merupakan perjanjian yang akan menimbulkan hak

dan kewajiban antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Yaitu

bahwa sejak adanya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban mengadakan

sesuatu.

6. Perjanjian konsensual dan perjanjian riil. Perjanjian konsensual adalah

perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian kehendak antara

pihak-pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian di samping adanya perjanjian

kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya,

misalnya jual beli barang bergerak perjanjian penitipan, pinjam pakai.

Salah satu contoh uraian di atas yaitu perjanjian penitipan barang, yang

tercantum dalam Pasal 1694 KUHPerdata, yang memberikan seseorang

menerima suatu barang dari orang lain, dengan syarat bahwa ia akan

menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud asalnya.39

39 Abdulkadir Muhammad(2), Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 88

Dari

uraian di atas tergambar bahwa perjanjian penitipan merupakan sauatu

(42)

adanya suatu penyerahan yang nyata yaitu memberikan barang yang

dititipkan.

Setelah di kemukakan tentang keanekaan dari perjanjian, maka dapat di

kelompokkan bentuk atau jenis-jenis dari perjanjian yang terdapat dalam

undang-undang maupun di luar undang-undang-undang-undang. Perjanjian yang telah di kemukakan di

atas, terdapat juga bentuk-bentuk perjanjian khusus yang berbeda dalam

penfasirannya. Mariam Darus Badrulzaman, dalam bukunya Pendalaman Materi

Hukum Perikatan mengungkapkan perlu dibicarakan adanya suatu perjanjian yaitu

perjanjian campuran. Perjanjian campuran ini menurut beliau ialah perjanjian

yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang

menyewakan kamar, disini terlihat ada suatu perjanjian sewa-menyewa disamping

itu pula menyediakan makanan yang dengan sendirinya terbentuk pula perjanjian

jual beli. Dalam hal perjanjian campuran ini ada beberapa paham. Paham I

mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang bersangkutan mengenai perjanjian

khusus hanya dapat diterapkan secara analogis tidak dapat dibenarkan oleh

undang-undang. Karena untuk terciptanya suatu perjanjian harus jelas maksudnya,

sehingga apabila tidak jelas maksudnya atau isi dari perjanjian itu, akan

menyebabkan perjanjian menjadi tidak sah. Paham II menyebutkan, ketentuan

yang dipakai adalah ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan. Paham III

menyatakan, ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian

campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu.40

40 Mariam Darus Badrulzaman(4), Pendalaman Materi Hukum Perikatan, (Medan:

(43)

D. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya

perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat

tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat

obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian. Perjanjian yang sah diakui dan

diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat

tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan

mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah

ditetapkan oleh undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka,

namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul

sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, syarat sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat

subjektif, dan syarat objektif. Dalam hal ini harus dapat dibedakan antara syarat

subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang

pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.41

41 Ibid., hlm. 98

Sedangkan

(44)

a. Syarat subjektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat

dibatalkan, meliputi:

1). Kecakapan untuk membuat kontrak dimana para pihak diharuskan

dewasa dan tidak sakit ingatan.

2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.

b. Syarat objektif dimana syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal

demi hukum meliputi:

1). Suatu hal (objek) tertentu.

2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).42

Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri

dari:

a). Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.

b). Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.

c). Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk

kontrak-kontrak tertentu

d). Syarat izin dari yang berwenang.43

Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu

perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa

suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah.

Namun dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka

berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.Dengan kata

42 Abdul R. Saliman, et. al. Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Teori dan Contoh Kasus,

(Jakarta: Prenada, 2004), hlm. 12-13

43 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra

(45)

sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan

mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal

yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan

tersebut, yaitu:

(1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara

para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian sudah lahir pada saat

tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme

yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Menurut Abdul Kadir

Muhammad persamaan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak

mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga

dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak

lagi dalam perundingan.44

Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan

perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang)

dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para pihak.

Dalam pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada kekhilafan

(dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog). Apabila ada kesepakatan terjadi

karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat

dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar). Hal

ini sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang bunyinya tidak ada sepakat yang

sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan

44 Abdul Kadir Muhammad(3). Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: Cipta Aditya

(46)

paksaan atau penipuan. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang

melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan

jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang

itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata). Dan dikatakan

tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat

penting obyek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian

itu. Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut

arti dalam Pasal 1328 KUH Perdata. Penipuan menurut Pasal 1328 KUH Perdata

ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan

palsu dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.45

(2). Cakap untuk membuat suatu perikatan

Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh

dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa paksaan, yaitu paksaan rohani

atau paksaan jiwa, bukan paksaan fisik, misalnya salah satu pihak karena diancam

atau ditakuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian. Kekhilafan, yang terjadi

apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan

atau tentang barang yang menjadi obyek perjanjian. Penipuan, yang dapat terjadi

apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu disertai

dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lainnya agar menyetujui suatu

perjanjian, misalnya menjual mobil bekas yang telah dipoles sedemikian rupa

sehingga menimbulkan kesan seolah-olah mobil tersebut baru dengan mengatakan

kepada pembeli bahwa mobil itu baru.

(47)

Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 1329 KUH Perdata kecuali yang diatur dalam Pasal 1330

KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum

termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa yaitu berumur 21

tahun dan telah kawin.46

a. Orang-orang yang belum dewasa

Ukuran orang dewasa 21 tahun atau sudah kawin,

disimpulkan secara a contrario redaksi Pasal 330 KUHPerdata. Sedangkan

mereka yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur Pasal

1330 KUHPerdata ialah:

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh

undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu (khusus

untuk ketentuan ini sudah dicabut).

(3). Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah

objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian

yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan

suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata

Pasal 1333 angka 1 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu

hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan

jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan

(48)

(4). Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang

mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu

perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan

adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal

1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah

apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban

umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal

akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.47

Kedua syarat pertama tersebut, dinamakan dengan syarat-syarat subyektif,

karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian.

Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena

mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perjanjian tersebut. Apabila syarat

subyektif dilanggar baik salah satu atau keduanya mengakibatkan perjanjian dapat

dibatalkan (voidable). Adanya kekurangan terhadap syarat subyektif tersebut tidak

begitu saja diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang

berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal

oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu,

undang-undang menyerahkan kepada para pihak, apakah mereka menghendaki

pembatalan terhadap perjanjian tersebut atau tidak.48

47Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan

dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 319

48 R. Subekti(3), Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 22

Akan tetapi selama para

pihak tidak keberatan atas pelanggaran kedua syarat subyektif tersebut, maka

(49)

Apabila syarat obyektif dilanggar maka perjanjian tersebut tidak memiliki

kekuatan hukum sejak semula dan tidak mengikat para pihak yang membuat

perjanjian atau disebut dengan batal demi hukum (null and void). Secara yuridis,

dianggap dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan

antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Akibat dari batal

demi hukum, maka para pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui

pengadilan untuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena dasar

hukumnya tidak ada.49

E. Wanprestasi

Perikatan adalah suatu hubungan hukum di bidang hukum kekayaan

dimana suatu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya

bekewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata

dinyatakan bahwa perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, hal ini di

katakan dalam mengkritisi Pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian, dimana

dikatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih.

KUH Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir demi

perjanjian dan dari perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu

perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak. Tetapi

hubungan dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang. Pada umumnya

semua kontrak di akhiri dengan pelaksanaan apa yang disepakati, artinya bahwa

(50)

para pihak memenuhi kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan persyaratan

yang dicantum dalam perjanjian atau kontrak.

Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah

untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat

sesuatu. Jika dikaitkan kepada definisi perjanjian yang telah dirumuskan oleh para

sarjana sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka yang akan dilaksanakan

oleh yang mempunyai kewajiban ada tiga hal sesuai dengan apa yang me

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan peta hasil skenario kerentanan fisik menggunakan SMCE (Gambar 3) desa yang memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi dan tinggi terletak pada Desa Jumoyo dan

menggunakan perangkat pembelajaran pada konsep daur ulang sampah terhadap hasil belajar dan keterampilan berpikir tingkat tinggi biologi di SMA. 2) Bagi siswa,

Hal itu dijelaskan oleh Nurudin, seorang ketua bidang pembinaan di LPTQ Kecamatan Kalidawir ketika diwawancarai oleh penulis pada hari Senin?. tanggal 26 Desember

Penelitian didalam makalah ini adalah untuk mengetahui persepsi dan citra yang terbentuk didalam benak stakeholder atau pelanggan terhadap identitas visual merek logo Bank

dengan mengakuisisi pengetahuan dari dokter ahli anak kemudian membangun basis pengetahuan dan memberikan nilai CF pada setiap gejala yang terkait dengan suatu penyakit anak

Lembaga Amil Zakat Nasional memerlukan suatu sistem pengendalian yang dapat membantu untuk mencegah kesalahan atau kecurangan dalam pengelolaan Arus Kas (Cash

Berdasarkan pada data hasil observasi di SMP N 1 Bondowoso kelas VII-A menunjukkan bahwa tingkat penguatan memory skill siswa masih sangat rendah yaitu: dari 27

Prasyarat : Telah menempuh mata kuliah praktikum teknik elektronika I dan praktikum