PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT NEGARA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan ; Nomor : 01 / PID.SUS.K / 2011 / PN.MDN) SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas– Tugas dan Memenuhi Syarat- Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
RIZKI SYAHBANA AMIN HARAHAP NIM : 110200042
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN OLEH PEJABAT NEGARA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan ; Nomor : 01 / PID.SUS.K / 2011 / PN.MDN) SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas– Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
RIZKI SYAHBANA AMIN HARAHAP
NIM : 110200042
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP. 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. NIP.196104081986011002 NIP. 197404012002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis Panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
Rahmad dan Hidayah-Nya serta diberikannya kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak
Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (Strata-1) pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, Penulis banyak mendapat bantuan,
dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, MH, DFM., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
4. Bapak Dr. OK Saidin, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H, M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
6. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, S.H, M.S., Selaku Dosen Pembimbing I yang
telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam penulisan
skripsi ini
7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II
yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam
penulisan skripsi ini
8. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumater Utara, Medan
9. Bapak Affan Mukti, S.H, M.S., selaku dosen Penasehat Akademik atas
bimbingan dan motivasinya selama perkuliahan
10. Seluruh Dosen dan Seluruh Pegawai Tata Usaha dan Administrasi di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan
11. Kepada Teman seperjuang saya dalam organisasi Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya para
Presidium HMI FH Universitas Sumatera Utara Periode 2015-2016, Sdr. M.
Fairuz Zain Hasibuan, Kayaruddin Hasibuan, Rahmad Sukri Hasibuan, Imam
Fuad Harahap, Khaidir Ali Lubis, Rafikha Pazal, Nanda Yolandari, Suci citra
kartika, Aditya Ananda, Hadyan Cholidin, dll yang telah banyak membantu
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Kepada Teman dan Junior saya dalam Organisasi Silaturrahim Kedaerahan
Persatuan Mahasiswa Islam Nias – Medan (PMIN-Medan), Fahmi Tanjung,
Najib Fahmi, Marfirraturrahma Zega, Vivi Ulvi Rahayu, Zainuddin Polem,
Waruwu, Fitriyanna Zega, dll. Yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya
yang telah banyak memberikan bantuan dan kerjasamanya.
13. Kepada teman karib saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang tergabung dalam Grup Rempong, Kayaruddin Hasibuan (Tulang), Fitri
Arifah (Ipeh), Agung Rahmatullah, Novi Siregar (Utet), Keumala Mutia,
Rendra Hanafi, M. Ikhwan Adabi, Nanda Yustiansyah, Dery Nasution dan
Perwirasanto Zebua yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.
serta banyak memberikan warna pelangi dalam kehidupan penulis selama
menjalani perkuliahan.
14. Buat Citra Ardila Laoli yang telah banyak membantu pembuatan skripsi ini.
15. Rekan-rekan seperjuangan Stambuk 2011 (dari Reguler sampai PRM) dan
seluruh rekan-rekan lainnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Medan senang bisa mengenal kalian semua dan semua pihak yang tidak
mungkin disebutkan namanya satu persatu lagi.
Yang Teristimewa Terima kasih kepada kedua Orang tua saya, Ayahanda
Panusunan Harahap dan Ibunda Hj. Ainil Wardah Polem yang setiap waktu dan
sepanjang masa memberikan motivasi, semangat, doa, rasa cinta dan kasih sayang
pada anaknya karena dengan keikhlasan dan ketulusan serta pengorbananya,
semoga anaknya dapat menjadi apa yang diharapkan oleh orang tua.
Kepada Abang saya Ahmad Indra Sakti Harahap S.T.,yang senantiasa
memberikan dorongan semangat dan nasehat untuk menyelesaikan skripsi ini,
semoga nantinya kita bisa bersama-sama memperoleh kesuksesan dan
Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai
pihak, namun Penulis juga menyadari ketidaksempurnaannya. Oleh sebab itu
diharapkan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penelitian selanjutnya.
Medan, Agustus 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
ABSTRAK ... ii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan ... 12
D. Keaslian Penulisan ... 13
E. Tinjauan Kepustakaan ... 14
1. Pengertian Tindak Pidana ... 14
2. Pengertian Korupsi ... 17
3. Pengertian Pejabat Negara ... 22
F. Metode Penelitian ... 26
G. Sistematika Penulisan ... 27
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Jo. UNDANG – UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. ... 29
A. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Digolongkan Dalam Perbuatan Tindak Pidana Korupsi ... 29
B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 40
C. Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 45
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PEJABAT NEGARA YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN KEWENANGAN DALAM
PUTUSAN NOMOR : 01/PID.SUS.K/2011/PN.MDN ... 56
A. Posisi Kasus ... 56
1. Kronologis ... 56
2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... 58
3. Fakta Hukum... 61
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 97
5. Pertimbangan Hakim ...100
6. Putusan Pengadilan Negeri Medan ...129
7. Putusan Tingkat Banding ...130
8. Putusan Tingkat Kasasi ...132
B. Analisis Kasus ...134
BAB IV PENUTUP ...149
A. Kesimpulan...149
B. Saran ...151
ABSTRAK
MADIASA ABLISAR
MAHMUD MULYADI
RIZKI SYAHBANA AMIN HARAHAP
Salah satu tujuan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disingkat KKN.Korupsi merupakan masalah serius ditengah-tengah masyarakat karena dapat mengancam stabilitas keamanan dan menghambat proses pembangunan sosial, ekonomi serta politik.Korupsi merupakan permasalahan besar yang terjadi di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Namun jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara kaya, tetapi termasuk negara yang miskin. Korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan tertentu sehingga karakteristik kejahatan korupsi itu selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Pejabat Negara.
Alasan inilah yang melatar belakangi Penulis untuk mengangkat Permasalahan Tindak Pidana Korupsi, Khususnya Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan Oleh Pejabat Negara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini antara lain : pertama, Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Berdasarkan Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? Kedua, Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Pejabat NegaraYang Melakukan Penyalahgunaan Kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn) ? Jenis penelitan yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang berlaku di Indonesia saat ini telah mengalami perluasan makna, dimana yang menjadi subjek dalam tindak pidana korupsi itu bukan saja orang perseorangan, tetapi korporasi juga termasuk sebagai subjek dalam tindak pidana korupsi.Berdasarkan Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias,Terdakwa Binahati Benedictus Baeha adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana bantuan tersebut, dan ternyata pengelolaan dana bantuan tersebut tidak melalui prosedur yang benar, sebagaimana ketentuan yang berlaku, tindakan Terdakwa demikian jelas tidak dapat dibenarkan menurut hukum.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Salah satu tujuan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah
pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disingkat KKN. Korupsi telah
mengakibatkan krisis berkepanjangan pada semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara dikarenakan prakteknya yang sistematis dan menggurita yang terjadi di
hampir semua lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.Korupsi
merupakan masalah serius ditengah-tengah masyarakat karena dapat mengancam
stabilitas keamanan dan menghambat proses pembangunan sosial, ekonomi serta
politik.
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan
masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial
masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah
peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana
yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.1
Menurut Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korupsi adalah
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mermperkaya diri
sendiri atau oranglain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
1
negara atau perekonomian negara. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
pengertian korupsi sebagai berikut: penyelewengan atau penggelapaan (uang
negara atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang
lain.2 Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu, dahulu korupsi hanya seputar
mengenai kerugian negara dan suap menyuap, namun saat ini sudah berkembang
menjadi penggelapan dalam jabatan, perbuatan curang, pemerasan, benturan
kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Korupsi mempunyai karakteristik
sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan
unsur-unsur tipu daya muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan.
Korupsi merupakan permasalahan besar yang terjadi di Negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Walaupun Indonesia merupakan salah satu
negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya
alamnya. Namun jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah
merupakan sebuah negara kaya, tetapi termasuk negara yang miskin.Menurut data
dari 175 negara di dunia pada 2014 yang dirilis oleh Transparency Internasional,
Indonesia menduduki peringkat 12 terkorup se-Asia dan peringkat 107 Negara
bebas korupsi (dari 175 negara).3Korupsi sepertinya sudah menjadi budaya yang
berkembang dikalangan masyarakat kelas atas sampai bawah. Korupsi dapat
dilihat dengan mata telanjang diberbagai institusi, baik eksekutif, legislatif dan
yudikatif yang dilakukan oleh sebagian besar para penguasa dan pejabat tinggi
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta,1989
3
negara. Hal ini menunjukkan bahwa nilai luhur atau moral suatu individu
mengalami penurunan, tidak adanya kesadaran seorang individu tentang etika dan
aturan hukum yang berlaku membuat perilaku korupsi semakin meningkat,
ditambah lagi dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Banyak para ahli yang merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktur
bahasa dan cara penyampainnya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya
mempunyai makna yang sama, diantaranya Kartini Kartono menyatakan korupsi
adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeruk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum, dan Huntington
menjelaskan korupsi adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.4 Jadi dapat disimpulkan
korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuata-kekuatan formal yang bertujuan untuk
memperkaya diri sendiri.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan penyakit sosial yang
sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil
keuangan negara yang sangat besar. Sebagai pihak yang telah diberi kepercayaan
oleh rakyat untuk menjalankan pemerintah dengan harapan untuk menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam menjalankan amanah
4
rakyat tersebut sudah seharusnya penguasa/pejabat negara memegang teguh
prinsip kejujuran serta profesionalisme. Namun sayangnya fenomena yang terjadi
dikalangan pejabat negara baik lembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif
justru sebaliknya.
Korupsi bukan hanya terjadi pada pemerintahan Orde Baru, tetapi di era
reformasi ini malah semakin besar intensitasnya, sementara hukum masih
tertinggal menghadapi kelihaian pembuat (pelaku) korupsi. Salah satu
penyebabnya karena kaidah atau norma hukum yang berlaku tidak ditafsirkan
secara yuridis tetapi berdasarkan kepentingan politis para pembuat korupsi.
Pelbagai pemberitaan media massa sebenarnya telah mengingatkan tentang
prediksi para pengamat hukum bahwa apabila hukum tidak diterapkan secara
konsisten, apalagi terdakwa korupsi diputus bebas atau dihukum ringan oleh
hakim dengan pertimbangan hukum yang tidak rasional, maka di tahun-tahun
mendatang korupsi sebagai salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar
crime), seperti dinyatakan oleh Sutherland akan semakin bertambah dan semakin
sulit menghentikannya. Prediksi pengamat hukum dapat dipahami, karena para
koruptor umumnya dari golongan cerdik-pandai, berkuasa dan memiliki
kewenangan, serta rata-rata memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang kuat.
Teknik dan modus operandinya juga diperkirakan akan semakin maju seiring
dengan perkembangan teknologi, serta gerakannya jauh lebih sistematis dan lebih
cepat dari antisipasi penegak hukum.5
5
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun,
baik dari jumlah kasus yang terjadi maupun jumlah kerugian keuangan negara.
Kualitas tindak pidana korupsi juga semakin sistematis dengan lingkup yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis
Indonesia Corruption Watch (ICW), jumlah kasus korupsi selama 2010-2012 yang
menurun kembali meningkat signifikan pada 2013-2014. Pada tahun 2010, jumlah
kasus yang diselidiki KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian mencapai 448 kasus. Pada
tahun 2011 berjumlah 436 kasus dan tahun 2012 berjumlah 402 kasus, dan pada
tahun 2013 meningkat signifikan menjadi 560 kasus. Pada tahun 2014 , tercatat
sebanyak 629 kasus korupsi dengan berbagai jenis seperti suap, penyalahgunaan
wewenang, penyalahgunaan dana serta pemalsuan data.
Dari kasus-kasus korupsi yang terjadi selama tahun 2014, sebagian besar
tersangka adalah pejabat/pegawai pemerintah daerah (pemda) dan kementerian
yakni 42,6 persen. Tersangka lain merupakan direktur/komisaris perusahaan
swasta, anggota DPR/DPRD, kepada dinas, dan kepala daerah. Apabila
dibandingkan dengan semester I-2013, peningkatan jumlah tersangka yang paling
signifikan terjadi pada jabatan kepala daerah. Pada semester I-2013 jumlah kepala
daerah yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 11 orang, namun pada semester
I-2014 jumlahnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 25 orang.6
Korupsi di negara Indonesia sudah dalam tingkat kejahatan korupsi politik.
Kondisi Indonesia yang terserang kanker politik dan ekonomi sudah dalam
stadium kritis. Kanker ganas korupsi terus menggerogoti saraf vital dalam tubuh
6
negara Indonesia, sehingga terjadi krisis institusional. Korupsi politik dilakukan
oleh orang atau institusi yang memiliki kekuasaan politik, atau oleh konglomerat
yang melakukan hubungan transaksional kolutif dengan pemegang
kekuasaan.Dengan demikian praktik kejahatan luar biasa berupa kejahatan
kekuasaan ini berlangsung secara sistematis.7
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emiritus Universitas Padjajaran
menyatakan: “Jika dulu korupsi terjadi dalam hubungan kerja antara pihak swasta
dan lembaga pemerintah, maka saat ini korupsi sudah merambah ke lembaga
legislatif, yudikatif, dan eksekutif”. Sinyalemen Romli Atmasasmita ini
menunjukkan, bahwa korupsi di Indonesia saat ini bukan hanya jadi persoalan
hukum semata-mata, melainkan juga sudah merambah masuk pada persoalan
politik, sosial, dan ekonomi. Dapat dilihat pada sejumlah kebocoran Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) setiap tahun yang diduga dilakukan oleh eksekutif, legislatif dan
yudikatif sehingga wajar apabila korupsi sudah begitu membahayakan
kelangsungan pembangunan nasional. 8
Ini merupakan hal yang sangat ironis, mengingat tujuan reformasi yang
dicita-citakan oleh para reformis adalah memberantas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN). Pemerintahan yang berkuasa pasca reformasi dapat dikatakan
tidak serius dan gagal dalam hal pecegahan dan pemberantasan korupsi, padahal
dari segi peraturan perundang-undangan yang merupakan landasan hukumnya
7
Evi Hartanti, Op, Cit, hal. 3.
8
pemerintah telah beberapa kali melakukan revisi karena dipandang tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan masyarakat.
Hal ini diawali dengan dikeluarkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonseia Nomor XI/MPR/1998 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN), selanjutnya dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan
atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi
karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat, dan pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Tindak Pidana Korupsi disempurnakan kembali dan diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, penyempurnaan ini dimaksudkan untuk
lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta
perlakuan yang adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dan yang
terakhir dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Peraturan perundang-undangan yang dijadikan alat untuk memberantas
tindak pidana korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, namun
demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan rupiah
Indonesia merupakan tugas penting yang sangat sulit diselesaikan oleh pemerintah,
karena hal ini sangat berkaitan dengan penyelenggara negara baik di tingkat pusat
maupun provinsi, serta kabupaten/kota yang mengakibatkan kerugian keuangan
negara dan perekonomian negara serta menghambat jalannya pembangunan yang
berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu suatu kerusakan sosial yang sulit
diperbaiki.
Gejala korupsi itu muncul kata Soerjono Soekanto ditandai dengan adanya
penggunaan kekuasaan dan wewenang publik, untuk kepentingan pribadi atau
golongan tertentu, yang sifatnya melanggar hukum dan norma-norma lainnya,
sehingga dari perbuatannya tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau
perekonomian negara serta orang perorangan atau masyarakat.9
Seperti halnya tindak pidana korupsi yang merambat ke daerah Kepulauan
Nias Provinsi Sumatera Utara, kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias
tersebut disebabkan penyalahgunaan dana bantuan darurat kemanusiaan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan atau yang ditetapkan, sehingga bertentangan
dengan Keputusan Ketua Badan Koordinasi Nasional penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi Nomor : 25 tahun 2002, tanggal 11 Desember 2002
tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Bantuan Darurat Kemanusiaan untuk
Penanggulangan Bencana dan Pengungsi. Dimana dalam pengadaan barang untuk
mendukung kegiatan program pemberdayaan masyarakat akibat bencana alam dan
gelombang tsunami Nias bertentangan atau tidak sesuai pelaksanannya dengan
9
Keputusan Presiden RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor : 131. 12-233 tanggal 2 mei tahun 2006 tentang Pengesahan Pengangkatan
Bupati Nias Provinsi Sumatera Utara, sebagai Bupati Kabupaten Nias mempunyai
tugas dan tanggungjawab dalam merumuskan kebijakan daerah mengenai
tugas-tugas pemerintahan daerah, melakukan koordinasi kepada para pimpinan SKPD
dan kepada pimpinan instansi vertikal, menyampaikan laporan
pertanggungjawaban tahunan dan lima tahunan kepada lembaga legislatif dan
menyampaikan laporan pemerintahan setiap satu tahun sekali kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur Sumatera Utara,
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi tertanggal 9 Januari 2001 jo Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 111 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tertanggal 12 Oktober 2001,
bahwa Bupati Nias secara ex officio juga menjabat sebagai Ketua Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP)
Kabupaten Nias yang bertugas melaksanakan kegiatan Penanggulangan Bencana
dan Penanganan Pengungsi yang terjadi di daerahnya dengan memperhatikan
kebijakan dan arahan teknis yang diberikan BAKORNAS PBP, yaitu antara lain
melakukan evakuasi, mencari solusi dan melakukan koordinasi dengan instansi
Dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai Bupati Nias dan
Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(SATLAK PBP) Kabupaten Nias, telah menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
sebagai Bupati / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) memiliki kewenangan untuk mengelola
dana bantuan pemberdayaann masyarakat pasca bencana gempa bumi dan tsunami
Kabupaten Nias dari Bakornas sesuai dengan ketentuan sebagaimana mestinya,
tetapi ternyata pelaksanaan pengelolaan dana bantuan tersebut dengan cara yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan tujuan dari maksud diberikannya
kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukan sebagai sebagai Bupati
Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias.
Kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias berawal dari adanya bantuan
dana pemberdayaan masyarakat pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami
Kabupaten Nias yang disetujui oleh Pelaksana Harian Badan Koordinasi Nasional
Penanganan Bencana (BAKORNAS PBP) sebesar Rp. 9.480.000.000 ,-(sembilan
miliar empat ratus delapan puluh juta rupiah), atas permohonan Bupati Nias /
Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi
(SATLAK PBP) Kabupaten Nias sebelumnya pada tanggal 12 Januari
2007mengajukan permintaan dana untuk pemberdayaan masyarakat pasca
bencana alam gempa bumi dan tsunami Propinsi NAD dan Nias sebesar Rp. 12.
Pelaksana harian Bakornas PBP dengan Surat Nomor : 900 / 0301 / Keu dan Surat
Penyempurnaan Proposal kegiatan Nomor : 900 / 0332 / Keu tanggal 17 Januari
2007.
Dalam pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan dana bantuan dari Bakornas
PBP yang bersumber dari sumbangan masyarakat dan diadministrasikan melalui
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2006 terdapat
berbagai macam pelanggaran antara lain adanya pemindahan dana bantuan
pemberdayaan masyarakat pasca bencana gempa bumi dan tsunami Kabupaten
Nias dari rekening Bencana Alam dan Tsunami Kabupaten Nias ke dalam
rekening pribadi salah satu oknum pegawai negeri sipil Kabupaten Nias,
pembelian barang-barang secara langsung ke toko / penyedia barang tanpa melalui
proses pelelangan, membagikan / menyerahkan dana kepada beberapa orang yang
tidak berhak menerimanya serta membuat laporan pertanggungjawaban yang tidak
sesuai dengan keadaan sebenarnya yang dibuat melebihi batas waktu yang telah
ditentukan, dimana semuanya merupakan tugas dan tanggungjawab dari Bupati
Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias atas jabatan atau kedudukannya.
Akibat perbuatan Bupati Nias / Ketua Satuan Pelaksana Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi (SATLAK PBP) Kabupaten Nias tersebut
berdasarkan Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian
Keuangan Atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Dana
Penanggulangan Bencana Alam Nias Tahun 2007 yang dibuat oleh Tim dari
2011 telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3.764.798.238 ,- (tiga miliar
tujuh ratus enam puluh empat juta tujuh ratus sembilan puluh delapan ribu dua
ratus tiga puluh delapan rupiah).
Bedasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penulis mencoba mengangkat
kasus ini ke dalam sebuah bentuk skripsi dengan judul tentang “Pertimbangan
Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ?
2. Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Terhadap Pejabat NegaraYang Melakukan Penyalahgunaan Kewenangan
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan diatas,
1. Untuk Mengetahui Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Untuk Mengetahui Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan
Putusan Terhadap Pejabat NegaraYang Melakukan Penyalahgunaan
Kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn).
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain :
a. Secara Teoritis, dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi bahan
informasi, referensi serta konstribusi pemikiran dan menambah wawasan
dalam hukum pidana pada umumnya dan tentang pidana korupsi pada
khususnya di kalangan mahasiswa sendiri atau lingkungan para akademis.
b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat nantinya
bagi para penegak hukum dalam upaya pencegahan dan penmberantasan
suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para Pejabat Negara,
sehingga terciptanya efek jera dan tercapainya cita-cita para reformis dalam
mewujudkan negara hukum yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Putusan Pengadilan
Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)” adalah
kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara yang
mengangkat kasus ini karena ingin mengetahui lebih dalam tentang tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Negara serta menganalisa Pertimbangan
Hukum Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap Pejabat Negara yang
melakukan penyalahgunaan kewenangan (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Medan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn). Berdasarkan penelusuran penulis,
judul dan permasalahan ini belum pernah ditulis dan diangkat menjadi karya
ilmiah oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan Karya Ilmiah ini diperoleh berdsarkan literatur yang ada, baik
dari perpustakaan, media massa cetak maupun eletronik dan ditambah pemikiran
penulis, oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum
untuk istilah “strafbaar feit” dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak
ada terjemahan resmi strafbaar feit. Dalam bahasa Belanda strafbaar feit terdapat
dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa
Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang strafbaar berarti dapat
dihukum, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit berarti sebagian dari
kenyataan yang dapat dihukum.10
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar
feitdi dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum
10
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum
ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk
mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana
ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang
itu merupakan tindak pidana atau tidak.11
Pendapat beberapa ahli tentang Pengertian Tindak Pidana :12
a. Menurut Simons, ialah tindakan melanggar hukum pidana yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannnya dan oleh undang-undang
hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.
b. Menurut Pompe, adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata
tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan hukum.
c. Menurut Van Hamel, ialah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap
hak-hak orang lain.
d. Menurut E. Utrecht, ialah istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut
delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau
suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang
ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).
11
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2013, hal. 77.
12
e. Menurut Moeljatno, yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, terhadap siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan
tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata
pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
f. Kanter dan Sianturi, mendefenisikan sebagai suatu tindakan pada tempat,
waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang / diharuskan dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bersifat melawan
hukum , serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu
bertanggung jawab).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang
dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau
diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi
sanksi berupa sanksi pidana, untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah prbuatan tersebut diberi sanksi
pidana atau tidak diberi sanksi pidana. Hal ini sesuai dengan Pendapat Bambang
Poernomo, semakin jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai dua arti
yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang, dan menunjuk kepada perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan
dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.13
13
2.Pengertian Korupsi
Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji yang dapat
merugikan suatu bangsa dan negara. Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru,
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang
terbilang cukup banyak.
Korupsi dalam Bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam Bahasa
Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruptiondan dalam
Bahasa Sansekerta yang tertuang dalam Naskah Kuno Negara Kertagama arti
harfiah corruptmenunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak
jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.14
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak.
Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan
semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang
busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta
penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan
jabatannya.15
Menurut Syed Hussein Alatas, secara tipologis, korupsi dapat dibagi dalam
7 (tujuh) jenis yang berlainan. Masing-masing adalah :16
a. Korupsi transaktif (transactive corruption), yaitu adanya kesepakatan
timbal-balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan
14
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, cetakan Keempat, 1996, hal. 115.
15
Evi Hartanti, Op, Cit, hal. 9.
16
kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan itu
oleh kedua-duanya.
b. Korupsi yang memeras (extortive corruption),adalah jenis korupsi dengan
keadaan pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian
yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang, dan
hal-hal yang dihargainya.
c. Korupsi investif (investive corruption),adalah pemberian barang atau jasa
tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain
keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang.
d. Korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), adalah penunjukan yang
tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan
dalam pemerintahan, atau tindakan yang membrikan perlakuan yang
mengutamakan, dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada
mereka, secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
e. Korupsi defensif (defensive corruption), adalah perilaku korban korupsi
dengan pemerasan, sebagai bentuk mempertahankan diri.
f. Korupsi otogenik (autogenic corruption), yaitu korupsi yang tidak
melibatkan orang lain dan pelakunya hanya seorang.
g. Korupsi dukungan (supportive corruption),adalah korupsi yang tidak
secara langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk
Berbeda dengan Alatas, menurut Benveniste mendefenisikan korupsi ke
dalam 4 (empat) jenis, antara lain :17
a. Discretionary corruption,yaitu korupsi yang dilakukan karena adanya
kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya sah,
namun bukan praktek-praktek yang dapat diterima oleh anggota organisasi;
b. Illegal corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksudkan untuk
mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi
tertentu;
c. Mercenary corruption, yaitu jenis korupsi yang dimaksudkan untuk
memperoleh kepentingan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan;
d. Ideological corruption, yaitu jenis korupsi ilegal maupun diskresif yang
dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Secara sosiolgis, ada tiga jenis korupsi, yaitu sebagai berikut :18
a. Korupsi karena kebutuhan ; Bagi karyawan dan pegawai rendahan pada
umunmya korupsi yang mereka lakukan karena kebutuhan, mulai dari
mencuri peralatan kantor, memeras pelanggan, menerima suap sampai
dengan mengkorupsi waktu kerja.
b. Korupsi untuk memperkaya diri ; Biasanya dilakukan oleh golongan
pejabat eselon, didorong oleh sikap serakah, melakukan mark upterhadap
pengadaan barang kantor dan melakukan pelbagai pungli. Penyebabnya
17
Marwan Effendy, Ibid, hal. 15-16.
18
karena gengsi, haus pujian dan kehormatan, serta tidak memiliki sense of
crisis.
c. Korupsi karena ada peluang ; Pejabat atau sebagian anggota masyarakat
ketika mereka diberi peluang akan memanfaatkan keadaan tersebut, karena
penyelenggara negara, khususnya pelayanan publik yang terlalu birokratis,
manajemen yang amburadul dan pejabat atau petugas yang tidak bermoral.
Pengertian korupsi menurut hukum Indonesia, tidak dijelaskan dalam pasal
pertama UU Korupsi seperti undang-undang lainnya. Maka dari itu, untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan korupsi, harus dilihat dalam rumusan
pasal-pasal UU Korupsi, yaitu sekitar 13 pasal yang mengaturnya serta terdapat
tiga puluh jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.19 Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana
korupsi adalah :
“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”.
Menurut Mugiharjo, bahwa korupsi yang terjadi di negara-negara
berkembang, karena ada penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang
dilakukan oleh petugas atau pejabat negara.20 Penyalahgunaan kekuasaan dan
wewenang dapat terjadi di negara-negara berkembang, sebab pengertian
19Ibid.,
hal. 7.
20
demokrasi lebih banyak ditafsirkan dan ditentukan oleh penguasa daripada
ditafsirkan dan ditentukan oleh pemikir di negara-negara berkembang tersebut.
Berdasarkan rumusan pengertian mengenai korupsi tersebut di atas terlihat
bahwa korupsi pada umumnya merupakan kejahatan yang dilakukan oleh
kalangan menengah ke atas, atau yang dinamakan dengan White Collar Crime
yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan
dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting baik dalam
pemerintahan atau di dunia perekonomian.21
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Indriyanto Seno Adji, bahwa tak
dapat dipungkiri korupsi merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang
selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga
dikatakan sebagai Invisible Crime yang penanganannya memerlukan kebijakan
hukum pidana.22
Mengacu pada berbagai pengertian dari korupsi yang telah diuraikan diatas,
secara umum korupsi tidak lain adalah tindakan yang tidak sah atau gelap terkait
dengan keuangan atau lainnya yang dapat dinilai dengan uang yang dilakukan
oleh seseorang atau suatu kelompok untuk kepentingan diri sendiri, oranglain atau
kelompok yang tidak saja merugikan negara tetapi juga seseorang atau publik
karena kekuasaanyang dimilikinya. hal ini tentu sangat dekat dengan pejabat
publik dimana pejabat publik dikenal dekat dengan kekuasaan. Korupsi tentunya
bukan hal sulit untuk dilakukan oleh mereka yang ingin memamfaatkan
jabatannya untuk melakukan korupsi. Pejabat publik yang seharusnya menjadi
21
Sudarto, Op, Cit, hal.102
22
panutan bagi warga tidak seharusnya melakukan perbuatan korupsi, karena
disamping korupsi adalah perbuatan menyimpang dan melanggar hukum juga
dapat merugikan keuangan Negara. Kalau negara sudah mengalami kerugian tentu
akan berdampak pada stabilitas Negara, bukan hanya ekonomi tapi juga social,
budaya dan politik.
3. Pengertian Pejabat Negara
Pengertian Pejabat Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu
terdiri dari dua suku kata yaitu “pejabat” yang berarti pegawai pemerintah yang
memegang jabatan penting (unsur pimpinan) dan “negara” yaitu organisasi dalam
suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
rakyat atau kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang
diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai
kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.23
Pada kamus besar bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta pejabat negara
dapat diartikan sebagai orang yang bekerja pada bagian pemerintahan, pegawai
pemerintahan. Pada beberapa pengertian lain dari KPK dan Hoge Raad pejabat
negara diartikan luas salah satunya yaitu pegawai negeri atau penyelenggara
negara. Menurut Hoge Raad pejabat negara atau pegawai negeri atau
penyelenggara negara adalah barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat
23
untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian tugas dari tugas
pemerintahan atau alat perlengkapannya.24
Pada pasal 92 KUHP juga mengatur yang disebut pejabat termasuk juga
orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum, begitu pula orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi
anggota badan pembentuk Undang-undang, Badan Pemerintahan, atau Badan
Perwakilan Rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atas nama pemerintah, begitu
juga semua anggota dewan subak (waterschap), dan semua kepala rakyat
Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan
yang sah.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara, yang termasuk dalam Pejabat Negara (pasal 122)
yaitu :
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
k. Kepala perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
l. Gubernur dan wakil gubernur;
m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
24
Pengertian Pejabat Negara juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pasal 1 angka 4 :
“Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara
lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang”.
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, Pejabat Negara terdiri dari atas (pasal 11) :
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan;
d. Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah
Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
i. Gubernur dan Wakil Gubernur;
j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme, Pasal 1 ayat 1 :
“Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Yang termasuk dalam kategori Penyelenggara Negara Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 2
a. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
c. Menteri;
d. Gubernur;
e. Hakim;
f. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan “Pejabat Negara yang lain” dalam ketentuan ini
misalnya Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil
Gubernur, dan Bupati/Walikotamadya.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa “para pejabat negara merupakan
“political appointee”sedangkan pejabat negeri merupakan “administrative
appointee”. Artinya para pejabat negara itu diangkat atau dipilih karena
pertimbangan yang bersifat politik, sedangkan para pejabat negeri dipilih murni
karena alasan administratif. Semua pejabat yang diangkat karena pertimbangan
politik (political appointement) haruslah bersumber dan dalam rangka
pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat. Karena rakyatlah yang pada pokoknya
memegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam bidang politik kenegaraan.
Pejabat yang diangkat atas pertimbangan yang demikian itulah yang biasa disebut
sebagai pejabat negara yang dipilih atau“elected official”.25
25
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, jenis penelitian yang
dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum
Normatif.
Metode penelitian hukum Normatif disebut juga penelitian hukum
doktrinal. Pada penelitian ini sering kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book)atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku
manusia yang dianggap pantas.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber dari bahan
pustaka atau data sekunder yang meliputi hukum primer, sekunder dan tersier.
Data sekunder adalah dokumen-dokumen resmi, buku-buku dan sebagainya.
Data sekunder diperoleh dari :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen-dokumen dan peraturan yang
mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang berupa
Undang-undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan diantaranya
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Putusan
Nomor 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Medan.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
korupsi, seperti buku-buku, majalah-majalah, karya tulis ilmiah, internet
serta tulisan lain yang berkaitan dengan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep
dan keterangan-keterangan yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan
lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode yang dipergunakan dalam mengumpul data penelitian adalah
penelitian kepustakaan (library reseach)yaitu dengan mengumpulkan
bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku, majalah dan dokumen-dokumen serta
sumber-sumber teoritis lainnya.
4. Analisis Data
Adapun analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif, mengelola data dan mneganalisanya dan kemudian dituangkan
dengan cara menggunakan kalimat untuk menjawab permasalahan pada skrispsi
ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus
diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam
beberapa tahapan yang disebut dengan Bab, dimana masing-masing bab diuraikan
masalahnya tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling antara yang satu
Secara sistemats penulis menempatkan materi pembahasan keseluruhannya
ke dalam 4 (empat) bab yang terperinci sebagai berikut :
BAB I : Berisikan pendahuluan yang di dalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan,
yang kemudian diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Merupakan pembahasan mengenai pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dimana didalamnya dibahas tentang
bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan dalam perbuatan tindak pidana
korupsi,pertanggungjawaban dalam tindak pidana korupsi, sanksi
dalam tindak pidana korupsi dan upaya pecegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi
BAB III : Merupakan pembahasan mengenai posisi kasus, berupa dakwaan jaksa penuntut umum, tuntutan jaksa penuntut umum, fakta-fakta hukum,
putusan Pengadilan Negeri Medan, putusan tingkat banding, putusan
tingkat kasasi, pertimbangan hukum hakim dan diakhiri dengan
analisa kasus.
BAB IV : Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang dapat berguna bagi
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 Jo.
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Bentuk-Bentuk Perbuatan Yang Digolongkan Dalam Perbuatan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa
korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri,
orang lain atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk pada
dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai
pegawai yang paling rendah. Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu
kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima
upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain yang pada
akhirnya kebiasaan tersebut akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat
merugikan keuangan negara.
Menurut J. Soewartojo ada beberapa bentuk/jenis tindak pidana korupsi,
yaitu sebagai berikut :26
1. Pungutan liar jenis tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari
pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.
2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit
bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian izin-izin, kenaikan
26
pangkat, pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan
di jalan, pelabuhan dan sebagainya.
3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu
pungutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi
hanya dengan surat-surat keputusan saja.
4. Penyuapan, yaitu seseorang penguasa menawarkan uang atau jasa lain kepada
seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
5. Pemerasan, yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran
uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan
mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
7. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas
pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau
berhak bila dilakukan secara adil.
Marwan Mas mengklasifikasikan setidaknya 7 (tujuh) bentuk dan 30 jenis
perbuatan korupsi (diatur dalam 13 Pasal UU Korupsi), mulai dari Pasal 2 sampai
Pasal 12B UU Korupsi, kecuali Pasal 4 dan Pasal 12A sebagai berikut :27
1. Kerugian Keuangan / Perekonomian Negara
a. Melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan dan
perekonomian negara.
2. Suap – Menyuap (sogokan atau pelicin)
27
a. Menyuap pegawai negeri (memberi hadiah kepada pegawai negeri karena
jabatannya, pegawai negeri menrima suap, atau pegawai negeri menerima
hadiah yang berhubungan dengan jabatannya).
b. Menyuap hakim.
c. Menyuap advokat.
d. Hakim dan advokat menerima suap.
3. Penggelapan dalam Jabatan
a. Pegawai negeri menggelapkan uang negara, atau membiarkan penggelapan.
b. Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi.
c. Pegawai negeri merusak bukti (korupsi).
d. Pegawai negeri membiarkan orang lain merusak barang bukti.
e. Pegawai negeri membantu orang lain merusak barang bukti.
4. Pemerasan
5. Perbuatan Curang
a. Pemborong berbuat curang.
b. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang.
c. Rekanan TNI/Polri berbuat curang.
d. Pengawas Rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
e. Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang.
f. Pegawai negeri menyerobot tanah negara yang merugikan orang lain.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi
dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk-bentuk perbuatan yang digolongkan
dalam perbuatan tindak pidana korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana tersebut rinciannya adalah sebagai
berikut:28
1. Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perkonomian negara,
2. Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
3. Pasal 5 Ayat (1) huruf a : Setiap orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
4. Pasal 5 Ayat (1) huruf b : Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
28
5. Pasal 5 Ayat (2) : Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau huruf b,
6. Pasal 6 Ayat (1) huruf a : Setiap Orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara
yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
7. Pasal 6 Ayat (1) huruf b : Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
8. Pasal 6 Ayat (2) : bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
9. Pasal 7 Ayat (1) huruf a : pemborong, ahli bangunan yang pada waktu
membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaaan perang;
10. Pasal 7 Ayat (1) huruf b : setiap orang yang bertugas mengawasi
pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan
11. Pasal 7 Ayat (1) huruf c : setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang;
12. Pasal 7 Ayat (1) huruf d : setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.
13. Pasal 7 Ayat (2) : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan
atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c.
14. Pasal 8 : pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang
disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga
tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam
melakukan perbuatan tersebut
15. Pasal 9: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi.
16. Pasal 10 huruf a : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang bersangkutan,
yang dikuasai karena jabatannya;
17. Pasal 10 huruf b : membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut;
18. Pasal 10 huruf c : membantu oranglain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.
19. Pasal 11 : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah
atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan
hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
20. Pasal 12 huruf a : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
21. Pasal 12 huruf b : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan
22. Pasal 12 huruf c : hakim yang menrima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
23. Pasal 12 huruf d : seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili;
24. Pasal 12 huruf e : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
25. Pasal 12 huruf f : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menajalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas
umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa
hal tersebut bukan merupakan utang;
26. Pasal 12 huruf g : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal
diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
27. Pasal 12 huruf h : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menajalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
28. Pasal 12 huruf i : pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung
maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk
seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
29. Pasal 12 B : setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubugan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
30. Pasal 13 : setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Kerugian keuangan negara;
a. Pasal 2
2. Suap – Menyuap;
a. Pasal 5 ayat (1) huruf a
b. Pasal 5 ayat (1) huruf b
c. Pasal 5 ayat (2)
d. Pasal 6 ayat (1) huruf a
e. Pasal 6 ayat (1) huruf b
f. Pasal 6 ayat (2)
g. Pasal 11
h. Pasal 12 huruf a
i. Pasal 12 huruf b
j. Pasal 12 huruf c
k. Pasal 12 huruf d
l. Pasal 13
3. Penggelapan dalam jabatan;
a. Pasal 8
b. Pasal 9
c. Pasal 10 huruf a
d. Pasal 10 huruf b
e. Pasal 10 huruf c
4. Pemerasan;
a. Pasal 12 huruf e
b. Pasal 12 huruf f