• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Metode Ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap Pengetahuan dan Sikap Remaja Mengenai Pencegahan Penularan TB Paru di SMA Negeri 12 Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Metode Ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap Pengetahuan dan Sikap Remaja Mengenai Pencegahan Penularan TB Paru di SMA Negeri 12 Medan Tahun 2013"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH METODE CERAMAH DAN DISKUSI KELOMPOK TERARAH (DKT) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA

MENGENAI PENCEGAHAN PENULARAN TB PARU DI SMA NEGERI 12 MEDAN TAHUN 2013

TESIS

Oleh

EVITA ANDRIANI 117032137/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE INFLUENCE OF SPEECH METHOD AND GUIDED GROUP DISCUSSION METHOD ON TEENAGERS’ KNOWLEDGE

AND ATTITUDE ABOUT THE PREVENTION OF THE CONTAGION OF LUNG TUBERCULOSIS AT

SMA NEGERI 12, MEDAN, IN 2013

THESIS

By

EVITA ANDRIANI 117032137/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

PENGARUH METODE CERAMAH DAN DISKUSI KELOMPOK TERARAH (DKT) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA

MENGENAI PENCEGAHAN PENULARAN TB PARU DI SMA NEGERI 12 MEDAN TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

EVITA ANDRIANI 117032137/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : PENGARUH METODE CERAMAH DAN DISKUSI KELOMPOK TERARAH (DKT) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA MENGENAI PENCEGAHAN

PENULARAN TB PARU DI SMA NEGERI 12 MEDAN TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Evita Andriani Nomor Induk Mahasiswa : 117032137

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D) (

Ketua Anggota

Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes)

Dekan

(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 27 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D Anggota : 1. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes

(6)

PERNYATAAN

PENGARUH METODE CERAMAH DAN DISKUSI KELOMPOK TERARAH (DKT) TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA

MENGENAI PENCEGAHAN PENULARAN TB PARU DI SMA NEGERI 12 MEDAN TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

(7)

ABSTRAK

TB Paru adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Di seluruh negara angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis yang tinggi. Tahun (2009) 1,7 juta orang meninggal karena TB paru. sementara ada 9,4 juta kasus baru TB paru, sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB paru dimana sebagian besar penderita TB paru adalah usia produktif (15-55 tahun) (Laporan Subdit TB Depkes RI, 2000-2010).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan TB paru di SMA Negeri 12 Medan. Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experiment) dengan rancangan pretest-posttest group design.

Populasi adalah seluruh siswa SMA Negeri 12 Medan

Hasil penelitian menggunakan Paired-Sampel T Test menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah intervensi metode diskusi kelompok terarah menunjukkan hasil yang lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan penularan TB paru dibandingkan dengan metode ceramah. Hal ini terlihat dari rerata nilai pengetahuan dari 8,67 nilai s= 2,656 menjadi 11,74 nilai s= 2,198 nilai p= 0,001 dan sikap dari 45,12 nilai s= 9,726 menjadi 56,88 nilai s= 9,158 dengan nilai p= 0,001 berbeda dengan metode ceramah yang rerata nilai pengetahuan dari 9,79 nilai s= 2,893 menjadi 11,62 nilai s= 2,871 nilai p= 0,006 dan sikap dari 47,95 nilai s= 11,961 menjadi 52,64 nilai s= 7,210 nilai p= 0,038. Hasil uji

Independent-Samples T Test juga menunjukkan bahwa, ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara intervensi metode ceramah dengan metode diskusi kelompok terarah untuk meningkatkan pengetahuan p= 0,003 dan sikap p= 0,021 mengenai pencegahan penularan TB paru.

kelas X dan XI. Sampel sebesar 84 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 42 orang untuk kelompok perlakuan dengan metode ceramah dan 42 orang untuk kelompok perlakuan dengan metode diskusi kelompok terarah. Alat pengumpul data adalah kuesioner. Uji yang digunakan adalah Paired-Sampel T Test dan Independent-Sampel T Test yang dinyatakan secara statistik bermakna apabila nilai p < 0,05.

Disarankan kepada pihak sekolah untuk dapat menyediakan suatu tempat khusus dimana tempat tersebut diarahkan sebagai sumber informasi pemberantasan penyakit menular khususnya tentang pencegahan penularan TB paru.

(8)

ABSTRACT

Lung tuberculosis is a contagious disease which still attracts great attention throughout the world. In every country, the rate of death and illness caused by Mycrobacterium Tuberculosis is still high. In 2009, 1.7 million people die because of lung tuberculosis, while there are 9.4 million new cases of lung tuberculosis, and one third of the world’s population have been infected by lung tuberculosis. The majority of lung tuberculosis patients are in the productive ages (15-55 years old) (Report of Subdit TB, Depkes RI, 2000-2010).

The objective of the research was to analyze the influence of speech and Guided Group Discussion (FGD) on teenagers’ knowledge and attitude about the prevention of contagious lung tuberculosis at SMA Negeri 12, Medan. The type of the research was quasi experiment with pretest-posttest group design. The population was all the 9th and the 11th

The result using paired-sample t test of the research showed that before and after the intervention, guided group discussion method was more effective in increasing teenagers’ knowledge and attitude about the prevention of lung tuberculosis contagion than that of speech method. It could be seen from the average value of knowledge from 8.67 s value=2.656 to 11.74 s value=2.198 with p=0.001 and attitudes from 45.12 s value= 9.726 to 56.88 s value= 9.158 with p= 0.001 different from the speech method which mean knowledge score of 9.79 s value= 2.893 to 11.62 s value= 2.871 with p= 0.006 and attitudes of 47.95 s value = 11.961 to 52.64 s value= 7.210 with p= 0.038. The result of the independent-sample t- test showed that there was significant distinction (p<0.05) between the intervention of speech method and guided group discussion method to increase knowledge p=0.003 and attitude p=0.021 about the prevention of lung tuberculosis contagious.

grade students of SMA Negeri 12, Medan. The samples were 84 respondents that were divided into two groups: 42 of them were in the treatment group of speech method, and 42 of them were in the treatment group of guided group discussion method. The data were gathered by using questionnaires and analyzed by using pair-sample t test and independent-sample t test which statistically means that p < 0.05.

Recommended to the school to be able to provide a special place where the place is geared as a source of information about the eradication of infectious diseases particularly about the prevention of lung tuberculosis contagious.

(9)

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Pengaruh Metode Ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap Pengetahuan dan Sikap Remaja Mengenai Pencegahan Penularan TB Paru di SMA Negeri 12

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Jurusan Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

Medan Tahun 2013”.

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(10)

4. Drs. Heru Santosa, M.S, Ph.D, sebagai ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Drs. Eddy Syahrial, M.S dan dr. Taufik Ashar, M.K.M sebagai komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Kepala SMA Negeri 12 Medan dan SMA Sutan Oloan yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk memberikan izin sampai selesai penelitian ini.

9. Seluruh responden, khususnya remaja yang berada di SMA Negeri 12 Medan yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

(11)

11.Terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta, anak-anakku tersayang Raditya Berampu dan Fathan Muhaisin Berampu, ayahanda ibunda serta seluruh keluarga yang telah memberikan doa, dukungan dan motivasi untuk menyelesaikan tesis dan pendidikan S2 ini.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Oktober 2013 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Evita Andriani, jenis kelamin perempuan, yang lahir di Batangtoru pada tanggal 09 September 1970, berumur 42 tahun. Penulis beragama Islam. Penulis merupakan anak pasangan dari alm. H. Ma’ruf Pohan dan Hj. Halimah Pulungan.

Jenjang pendidikan formal penulis dimulai di SD Negeri 3 Batangtoru dan tamat pada tahun 1983. Pada tahun 1986, penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 2 Batangtoru. Pada tahun 1989, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Batangtoru. Pada tahun 1993 penulis menyelesaikan pendidikan di Akper Perintis Bukit Tinggi. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan D-IV Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, dan pada tahun 2011-2013 penulis menempuh pendidikan S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 11

1.3.Tujuan Penelitian ... 11

1.4.Hipotesis ... 11

1.5.Manfaat Penelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Promosi Kesehatan ... 13

2.2. Metode Promosi Kesehatan... 15

2.2.1.Metode Ceramah ... 15

2.2.2.Syarat-syarat Menjadi Komunikator/Penceramah ... 19

2.2.3.Metode Diskusi Kelompok Terarah (DKT) ... 21

2.2.4.Peran dan Persyaratan Menjadi Moderator/Fasilitator DKT ... 24

2.3. Proses Adopsi Perilaku ... 26

2.3.1.Pengetahuan (Knowledge) ... 27

2.3.2.Sikap (Attitude) ... 29

2.4. Remaja... 30

2.4.1.Pengertian Remaja ... 30

2.4.2.Tugas Perkembangan pada Masa Remaja ... 31

2.5. Teori Stimulus Organism Response (SOR) ... 32

2.6. TB Paru ... 34

2.6.1.Definisi TB Paru ... 34

2.6.2.Klasifikasi TB Paru ... 35

2.6.3.Etiologi Penyakit Tuberkulosis Paru ... 35

2.6.4.Cara Penularan TB Paru ... 36

2.6.5.Gejala Penyakit TB ... 36

2.6.6.Diagnosis TB Paru ... 38

2.6.7.Pencegahan Penyakit TB Paru ... 43

(14)

2.7. Landasan Teori ... 47

2.8. Kerangka Konsep ... 48

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1. Jenis Penelitian ... 50

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 52

3.2.1.Lokasi Penelitian ... 52

3.2.2.Waktu Penelitian ... 52

3.3. Populasi dan Sampel ... 53

3.3.1.Populasi ... 53

3.3.2.Sampel ... 53

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 55

3.4.1.Pelaksanaan Pengumpulan Data ... 55

3.4.2.Uji Validitas dan Reliabilitas ... 58

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 60

3.5.1.Variabel Penelitian ... 60

3.5.2.Defenisi Operasional ... 60

3.6. Metode Pengukuran ... 61

3.6.1.Pengetahuan ... 61

3.6.2.Sikap ... 61

3.7. Metode Analisis Data ... 62

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 64

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 64

4.1.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian SMA Negeri 12 Medan ... 64

4.2. Analisis Univariat ... 65

4.2.1.Karakteristik Responden Menurut Umur dan Kelas Berdasarkan Metode Ceramah dan Metode Diskusi Kelompok Terarah ... 65

4.2.2.Pengetahuan dan Sikap Sebelum dan Sesudah Intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Diskusi Kelompok Terarah ... 66

4.3. Analisis Bivariat ... 68

4.3.1.Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Sebelum dan Sesudah Intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Diskusi Kelompok Terarah ... 68 4.3.2.Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap

(15)

BAB 5. PEMBAHASAN ... 74

5.1. Pengetahuan dan Sikap Sebelum dan Sesudah Intervensi .... 74

5.2. Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Sesudah Intervensi Metode Ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah... 79

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

6.1. Kesimpulan ... 81

6.2. Saran ... 82

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Pengetahuan dan Sikap 59 3.3. Kisi-kisi Pernyataan Pencegahan Penularan Penyakit TB Paru ... 61 3.4. Variabel dan Defenisi Operasional ... 62 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Menurut Umur dan

Kelas Berdasarkan Metode Ceramah dan Metode Diskusi Kelompok

Terarah ... 65 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Sikap

Sebelum dan Sesudah Intervensi dengan Metode Ceramah dan

Metode Diskusi Kelompok Terarah ... 66 4.3. Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Sebelum

dan Sesudah Intervensi dengan Metode Ceramah dan Metode Diskusi

Kelompok Terarah ... 69 4.4. Perbedaan Rerata Nilai Pengetahuan dan Sikap Responden Sesudah

(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1. Teori SOR ... 34

2.2. Kerangka Konsep Penelitian ... 48

3.1. Rancangan Penelitian ... 50

3.2. Alur Penelitian ... 57

4.1. Perbedaan Pengetahuan Remaja Sebelum dan Sesudah Intervensi Metode Ceramah dan Metode Diskusi Kelompok Terarah (DKT) di SMA Negeri 12 Medan ... 70

4.2. Perbedaan Sikap Remaja Sebelum dan Sesudah Intervensi Metode Ceramah dan Metode Diskusi Kelompok Terarah (DKT) di SMA Negeri 12 Medan ... 71

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden... 87

2. Lembar Kuesioner Penelitian ... 88

3. Soal Diskusi Kelompok Terarah (DKT) ... 92 120 4. Materi Ceramah TB Paru ... 93

5. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 96

6. Hasil Distribusi Frekuensi ... 99

7. Output Hasil Uji t ... 102

8. Master Data Penelitian ... 106

(19)

ABSTRAK

TB Paru adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Di seluruh negara angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis yang tinggi. Tahun (2009) 1,7 juta orang meninggal karena TB paru. sementara ada 9,4 juta kasus baru TB paru, sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB paru dimana sebagian besar penderita TB paru adalah usia produktif (15-55 tahun) (Laporan Subdit TB Depkes RI, 2000-2010).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan TB paru di SMA Negeri 12 Medan. Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experiment) dengan rancangan pretest-posttest group design.

Populasi adalah seluruh siswa SMA Negeri 12 Medan

Hasil penelitian menggunakan Paired-Sampel T Test menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah intervensi metode diskusi kelompok terarah menunjukkan hasil yang lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang pencegahan penularan TB paru dibandingkan dengan metode ceramah. Hal ini terlihat dari rerata nilai pengetahuan dari 8,67 nilai s= 2,656 menjadi 11,74 nilai s= 2,198 nilai p= 0,001 dan sikap dari 45,12 nilai s= 9,726 menjadi 56,88 nilai s= 9,158 dengan nilai p= 0,001 berbeda dengan metode ceramah yang rerata nilai pengetahuan dari 9,79 nilai s= 2,893 menjadi 11,62 nilai s= 2,871 nilai p= 0,006 dan sikap dari 47,95 nilai s= 11,961 menjadi 52,64 nilai s= 7,210 nilai p= 0,038. Hasil uji

Independent-Samples T Test juga menunjukkan bahwa, ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara intervensi metode ceramah dengan metode diskusi kelompok terarah untuk meningkatkan pengetahuan p= 0,003 dan sikap p= 0,021 mengenai pencegahan penularan TB paru.

kelas X dan XI. Sampel sebesar 84 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 42 orang untuk kelompok perlakuan dengan metode ceramah dan 42 orang untuk kelompok perlakuan dengan metode diskusi kelompok terarah. Alat pengumpul data adalah kuesioner. Uji yang digunakan adalah Paired-Sampel T Test dan Independent-Sampel T Test yang dinyatakan secara statistik bermakna apabila nilai p < 0,05.

Disarankan kepada pihak sekolah untuk dapat menyediakan suatu tempat khusus dimana tempat tersebut diarahkan sebagai sumber informasi pemberantasan penyakit menular khususnya tentang pencegahan penularan TB paru.

(20)

ABSTRACT

Lung tuberculosis is a contagious disease which still attracts great attention throughout the world. In every country, the rate of death and illness caused by Mycrobacterium Tuberculosis is still high. In 2009, 1.7 million people die because of lung tuberculosis, while there are 9.4 million new cases of lung tuberculosis, and one third of the world’s population have been infected by lung tuberculosis. The majority of lung tuberculosis patients are in the productive ages (15-55 years old) (Report of Subdit TB, Depkes RI, 2000-2010).

The objective of the research was to analyze the influence of speech and Guided Group Discussion (FGD) on teenagers’ knowledge and attitude about the prevention of contagious lung tuberculosis at SMA Negeri 12, Medan. The type of the research was quasi experiment with pretest-posttest group design. The population was all the 9th and the 11th

The result using paired-sample t test of the research showed that before and after the intervention, guided group discussion method was more effective in increasing teenagers’ knowledge and attitude about the prevention of lung tuberculosis contagion than that of speech method. It could be seen from the average value of knowledge from 8.67 s value=2.656 to 11.74 s value=2.198 with p=0.001 and attitudes from 45.12 s value= 9.726 to 56.88 s value= 9.158 with p= 0.001 different from the speech method which mean knowledge score of 9.79 s value= 2.893 to 11.62 s value= 2.871 with p= 0.006 and attitudes of 47.95 s value = 11.961 to 52.64 s value= 7.210 with p= 0.038. The result of the independent-sample t- test showed that there was significant distinction (p<0.05) between the intervention of speech method and guided group discussion method to increase knowledge p=0.003 and attitude p=0.021 about the prevention of lung tuberculosis contagious.

grade students of SMA Negeri 12, Medan. The samples were 84 respondents that were divided into two groups: 42 of them were in the treatment group of speech method, and 42 of them were in the treatment group of guided group discussion method. The data were gathered by using questionnaires and analyzed by using pair-sample t test and independent-sample t test which statistically means that p < 0.05.

Recommended to the school to be able to provide a special place where the place is geared as a source of information about the eradication of infectious diseases particularly about the prevention of lung tuberculosis contagious.

(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masa remaja merupakan suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa ini merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial. Untuk tercapainya tumbuh kembang remaja yang optimal tergantung pada potensi biologinya. Tingkat tercapainya potensi biologi seorang remaja merupakan hasil interaksi faktor genetik dan lingkungan sosial. Proses dan hasil akhir yang berbeda-beda memberikan ciri tersendiri pada setiap remaja (Hurlock, 2007).

(22)

Masa remaja merupakan masa yang penuh dengan aktifitas, baik belajar, bermain atau mengembangkan diri dan kemampuan. Aktifitas remaja yang padat, membuat mereka kurang memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri, baik asupan nutrisi yang kurang seimbang ataupun istirahat yang tidak cukup serta kurangnya remaja dalam memperhatikan kebersihan lingkungan dan perilaku hidup bersih sehat yang menyebabkan mekanisme pertahanan tubuh jadi menurun, yang mengakibatkan pertahanan paru juga menurun. Seseorang yang sedang dalam kondisi tubuh tidak fit, daya tahan tubuh rendah sangat rentan terserang TB paru. Selain itu, apabila remaja tersebut merokok semakin rentan menderita TB paru, karena iritasi asap rokok yang terus menerus di saluran pernapasan. Merokok dapat mengiritasi paru‐paru yang sakit sehingga mempersulit untuk menormalkan kembali keadaannya (Dhamayanti, 2009).

(23)

perhatian, sebab bila tidak ditanggulangi akan menurunkan kualitas remaja sebagai sumber daya manusia (Depkes, 2003).

Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang di sebabkan oleh bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobackterium tuberculosis yang banyak menyerang organ paru-paru manusia yang biasa disebut TB Paru. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis menular yang dapat menyebabkan kematian dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat serta perhatian dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini (Depkes, 2005).

TB Paru merupakan salah satu jenis penyakit generatif yang telah berjangkit dalam periode waktu yang lama. Hal-hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TB paru di dunia antara lain karena kemiskinan, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi, kurangnya biaya untuk berobat, meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur manusia yang hidup (Amin, 2006).

(24)

TB Paru adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas TB paru. Di seluruh negara angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium Tuberculosis ini pun tinggi. Tahun (2009) 1,7 juta orang meninggal karena TB paru. sementara ada 9,4 juta kasus baru TB paru, sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB paru dimana sebagian besar penderita TB paru adalah usia produktif (15-55 tahun) (Laporan Subdit TB Depkes RI, 2000-2010). World Health Organization (WHO) tahun 2011 juga melaporkan lebih dari 250 ribu remaja dibawah usia 15 tahun terserang TB paru dengan angka kematian 100 ribu remaja setiap tahunnya. Jumlah penderita TB paru pada remaja dibawah usia 15 tahun mencapai 10% hingga 12% dari seluruh jumlah kasus TB.

(25)

Menurut Depkes RI (2007), target program penanggulangan TB paru adalah tercapainya penemuan pasien baru TB paru BTA positif paling sedikit 70% dari perkiraan dan menyembuhkan 85% dari semua pasien. Target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB paru hingga separuhnya pada tahun 2010 dibanding tahun 1990, dan mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.

Jumlah penderita

Di Sumatera Utara, penderita TB paru menempati urutan ketujuh nasional. Jumlah penderita TB Paru di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 104.992 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.742 orang, serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32% (Dinkes Prov.Sumatera Utara, 2010). Berdasarkan data Depkes (2010) ada lima Kabupaten/kota di Sumatera Utara pada tahun 2010 dengan jumlah penderita terbanyak berdasarkan jumlah penduduk yaitu Kota Medan sebanyak 2.397 penderita, Pematang Siantar 288, Binjai

(26)

260, Tanjung Balai 150, Tebing Tinggi 145 dan Kabupaten Deli Serdang 1.554 penderita. Kasus tuberkulosis paru di Kota Medan tahun 2010 tercatat sebanyak 918 orang dengan prevalensi 45,9 per 100.000 penduduk. Berdasarkan survei dari jumlah tersebut, kota Medan merupakan yang terbesar penderitanya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk dari tiap kab/kota dengan jumlah penderita sebanyak 10.653 orang yang positif setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 1.960 orang, yang sembuh sebanyak 790 orang (Dinkes Kota Medan, 2010). Dibandingkan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara, jumlah penderita tuberkulosis paru di Kota Medan cukup tinggi, hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah (Dinkes Prop.Sumatera Utara, 2010).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Medan tahun 2012, kasus TB paru di puskesmas Helvetia mulai dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, mulai tahun 2010 dengan kasus BTA positif 74 orang, BTA negatif 16 orang, ekstra paru 1 orang, dan yang diobati 91 orang. Pada tahun 2011 kasus BTA positif 67 orang, pasien yang kambuh 2 orang, BTA negatif 3 orang dan kasus ekstra paru 1 orang. Pada tahun 2012 BTA positif 90 orang, BTA negatif 15 orang dan ekstra paru 1 orang. Pada tahun 2013 kasus BTA positif 27 orang, BTA negatif 12 orang dan kasus ekstra paru 1 orang.

(27)

disebabkan oleh banyak faktor. Pengobatan Tuberkulosis berlangsung cukup lama yaitu setidaknya 6 bulan pengobatan dan selanjutnya dievaluasi oleh dokter apakah perlu dilanjutkan atau berhenti, karena pengobatan yang cukup lama seringkali membuat pasien putus berobat atau menjalankan pengobatan secara tidak teratur, kedua hal ini fatal akibatnya yaitu pengobatan tidak berhasil dan kuman menjadi kebal disebut MDR (multi drugs resistance), kasus ini memerlukan biaya berlipat dan lebih sulit dalam pengobatannya sehingga diharapkan pasien disiplin dalam berobat setiap waktu demi penanggulangan tuberkulosis di Indonesia

Masih kurangnya pengetahuan mengenai bahaya TB paru serta pelayanan kesehatan yang tersedia, membuat jumlah pasien yang dapat menjangkau layanan TB paru masih relatif rendah. Dalam konteks TB paru, ditemukan bahwa pengetahuan, kesadaran dan perilaku nyata warga untuk menjaga mutu asupan makanan minuman yang bergizi, menjaga sanitasi diri dan lingkungan, memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan serta berobat teratur tuntas bila terkena TB paru masih relatif rendah. Untuk itu, diperlukan pula keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan TB paru (Lembaga Koalisi untuk Indonesia Sehat, 2006).

(Depkes, 2005).

(28)

Menurut Notoatmodjo (2003) dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu upaya menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, individu agar memperoleh pengetahuan kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tersebut diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku.

(29)

yang fleksibel cenderung dapat mengarah pada bias dari fasilitator, diskusi dapat didominasi oleh segelintir individu yang vokal (UNDP, 2013).

Dalam pemilihan metode promosi kesehatan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemilihan metode berkaitan erat dengan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, Hasil penelitian Harahap (2010) menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan dengan metode ceramah dan diskusi kelompok pada perawat menunjukkan ada perubahan pengetahuan dan sikap dalam pembuangan limbah medis padat sebelum dan sesudah intervensi. Penelitian Tarigan (2010) yang dilakukan pada remaja dengan menggunakan metode ceramah dan diskusi kelompok ternyata bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang kesehatan reproduksi.

Sekolah sebagai lingkungan sekunder setelah keluarga merupakan tempat yang efektif untuk pendidikan kesehatan bagi remaja yang umumnya masih berstatus sebagai pelajar dan mempunyai peranan yang cukup besar di dalam pelaksanaan program penyuluhan kesehatan remaja melalui metode ceramah dan metode Diskusi Kelompok Terarah (DKT) (Depkes RI, 2002). Mengingat masih banyaknya pelajar yang belum mengerti tentang pencegahan penularan TB paru, sangatlah penting untuk dilakukan ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) dengan harapan dapat mengubah pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penularan TB paru pada remaja, dalam hal ini adalah pelajar di SMA Negeri 12 Medan menjadi lebih baik.

(30)

Kecamatan penelitian dengan pertimbangan bahwa institusi pendidikan berada pada kawasan puskesmas Helvetia yang menjadi salah satu sentra pengobatan TB paru di kota Medan dari 13 sentra yang ada. Jumlah penduduknya padat, letak puskesmas Helvetia strategis dan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, bahkan sering pasien TB paru dari Kabupaten Deli Serdang berobat ke Puskesmas Helvetia, selain itu institusi pendidikan ini letaknya dekat dengan jalan raya yang dapat memengaruhi secara langsung maupun tidak langsung pada remaja karena rentan terkena TB paru. Remaja yang berada di jalanan akan rentan untuk terinfeksi TB akibat kontak dengan sumber penyakit. Sumber penyakit ini dapat berasal dari sputum para pengendara atau pemakai jalan yang menderita TB paru. Pada siswa di SMA Negeri 12 Medan

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “pengaruh metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan TB paru di

SMA Negeri 12 Medan”.

(31)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan untuk mengetahui apakah pengaruh metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan TB paru di SMA Negeri 12 Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) terhadap pengetahuan dan sikap remaja mengenai pencegahan penularan TB paru di SMA Negeri 12 Medan.

1.4. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Ada perbedaan rata-rata pengetahuan remaja sebelum dan sesudah intervensi dengan metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) mengenai pencegahan penularan TB paru.

2. Ada perbedaan rata-rata sikap remaja sebelum dan sesudah intervensi dengan metode ceramah dan Diskusi Kelompok Terarah (DKT) mengenai pencegahan penularan TB paru.

(32)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi siswa SMA Negeri 12 Medan

2. Bagi Dinas Kesehatan Kota sebagai masukan dalam upaya meningkatkan dan mengembangkan metode promosi kesehatan yang efektif dalam upaya penanggulangan dan pencegahan TB paru.

sebagai acuan dalam meningkatkan kemampuan dalam memperoleh dan menggunakan informasi kesehatan tentang pencegahan TB paru baik bagi dirinya maupun untuk diinformasikan kembali pada orang lain disekitarnya.

3. Bagi puskesmas sebagai masukan kepada pengelola program Promosi Kesehatan sebagai acuan dalam menyempurnakan program promosi kesehatan masyarakat, terutama untuk pencegahan TB paru.

(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Promosi Kesehatan

Promosi Kesehatan adalah proses pemberdayaan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dengan kesadaran dan kemampuan serta upaya mengembangkan lingkungan sehat, mencakup aspek perilaku yaitu upaya memotivasi, mendorong dan meningkatkan potensi yang dimiliki masyarakat agar mereka mampu memelihara kesehatan diri sendiri dan keluarga. Di samping itu promosi kesehatan juga mencakup aspek yang berkaitan dengan lingkungan dan perkembangan perilaku yang berhubungan dengan sosial budaya, pendidikan ekonomi, politik dan pertahanan keamanan (Depkes, 2003).

(34)

Berdasarkan rumusan WHO (1994) dalam (Notoatmodjo, 2005), strategi promosi kesehatan secara global terdiri dari 3 (tiga) hal, yaitu :

1. Advokasi (advocacy) yaitu kegiatan untuk meyakinkan orang lain, agar orang lain tersebut membantu atau mendukung terhadap apa yang diinginkan. Dalam konteks promosi kesehatan, advokasi dilakukan kepada pejabat yang merupakan penentu kebijakan di berbagai sektor, dan diberbagai tingkat, sehingga para pejabat tersebut mau mendukung program kesehatan yang kita inginkan.

2. Dukungan sosial (social support) yaitu kegiatan untuk mencari dukungan sosial melalui tokoh-tokoh masyarakat (toma), baik tokoh masyarakat formal maupun informal. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah agar para tokoh masyarakat, sebagai jembatan antara sektor kesehatan sebagai program kesehatan dengan masyarakat (penerima program) kesehatan.

(35)

2.2. Metode Promosi Kesehatan

Tersedia banyak metode untuk menyampaikan informasi dalam pelaksanaan promosi kesehatan. Pemilihan metode dalam pelaksanaan promosi kesehatan harus dipertimbangkan secara cermat dengan memperhatikan materi atau informasi yang akan disampaikan, keadaan penerima informasi (termasuk sosial budaya) atau sasaran, dan hal-hal lain yang merupakan lingkungan komunikasi seperti ruang dan waktu. Masing-masing metode memiliki keunggulan dan kelemahan, sehingga penggunaan gabungan beberapa metode sering dilakukan untuk memaksimalkan hasil (Depkes, 2008).

Pemberdayaan dapat dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab, dialog, debat, seminar, kampanye, petisi/resolusi, dan lain-lain. Sedangkan advokasi, dapat dilakukan dengan pilihan metode seminar, lobi dialog, negosiasi, debat, petisi/resolusi, mobilisasi, dan lain-lain (Notoatmodjo, 2007).

2.2.1 Metode Ceramah

(36)

Beberapa keuntungan menggunakan metode ceramah adalah murah dari segi biaya, mudah mengulang kembali jika ada materi yang kurang jelas ditangkap peserta daripada proses membaca sendiri, lebih dapat dipastikan tersampaikannya informasi yang telah disusun dan disiapkan. Apalagi kalau waktu yang tersedia sangat minim, maka metode inilah yang dapat menyampaikan banyak pesan dalam waktu singkat. Selain keuntungan ada juga kelemahan menggunakan metode ceramah, salah satunya adalah pesan yang terinci mudah dilupakan setelah beberapa lama (Lunandi, 1993).

Kunci dari keberhasilan pelaksanaan ceramah adalah apabila penceramah tersebut dapat menguasai sasaran ceramah, penceramah itu sendiri menguasai materi apa yang akan diceramahkan. Untuk itu penceramah harus mempersiapkan diri dengan mempelajari materi dengan sistematika yang baik, lebih baik lagi kalau disusun dalam diagram atau skema serta mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran, misalnya makalah singkat, slide, transparan, sound system, dan sebagainya. Penceramah juga harus mempunyai sikap dan penampilan yang menyakinkan, tidak boleh bersikap ragu-ragu dan gelisah, suara hendaknya cukup keras dan jelas, pandangan harus tertuju ke seluruh peserta ceramah, berdiri di depan (dipertengahan), sebaiknya tidak duduk. Ceramah juga akan berhasil apabila teknik ceramah dimodifikasi dengan melakukan tanya jawab sesudah penyampaian materi. Hal ini bertujuan agar peserta dapat bertanya tentang hal-hal yang belum dipahaminya tentang materi yang sudah diberikan penceramah (Notoatmodjo, 2007).

(37)

a) Ceramah merupakan metode yang murah dan mudah untuk dilakukan. Murah dalam arti, proses ceramah tidak memerlukan peralatan dan perlengkapan yang rumit seperti pada metode demonstrasi atau peragaan. Sedangkan mudah berarti ceramah hanya mengandalkan suara penceramah.

b) Ekonomis waktu dan biaya karena waktu dan materi dapat diatur penceramah secara langsung, materi dan waktu sangat ditentikan oleh sistem nilai yang dimiliki oleh penceramah yang bersangkutan.

c) Ceramah dapat menjangkau penyajian materi pembelajaran yang lebih luas. Ini berarti banyak materi pembelajaran yang dapat dirangkum dan dijelaskan pokok-pokoknya saja oleh penceramah dalam waktu singkat.

d) Ceramah dapat terfokus hanya pada pokok-pokok materi inti. Dalam arti, penceramah dapat mengatur pada materi mana yang menjadi prioritas sesuai dengan kebutuhan dan tujuan indikator yang ingin dicapai.

e) Dengan metode ceramah, penceramah dapat memantau keadaan ruangan, karena kelas sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya saat menyampaikan materi pembelajaran.

f) Bahan materi sudah dipilih atau dipersiapkan sehingga memudahkan untuk mengklasifikasi dan mengkaji aspek-aspek bahan pembelajaran.

(38)

mendengarkan materi pembelajaran yang disampaikan penceramah (UHAMKA, 2009).

Adapun kelemahan metode ceramah, antara lain :

a) Materi yang dikuasai oleh peserta terbatas hanya pada apa yang telah dikuasai dan disampaikan penceramah. Ini merupakan kelemahan yang paling dominan pada metode ceramah, oleh karena apa yang telah disampaikan penceramah itulah yang diperolehnya dan dikuasainya.

b) Penyampaikan ceramah yang tidak dibarengi dengan peragaan dan contoh-contoh hanya bersifat verbalistik dan menbosankan. Ini merupakan kelemahan yang dimiliki metode ceramah, karena penceramah dalam penyajiannya hanya mengandalkan bahasa verbal sedangkan peserta hanya mengandalkan kemampuan auditifnya. Di sisi lain kemampuan peserta secara auditif berbeda-beda, termasuk dalam menangkap materi pembelajaran melalui pendengaran. c) Sulit bagi yang kurang memiliki kemampuan menyimak dan mencata yang baik d) Kemungkinan menimbulkan verbalisme

e) Materi pembelajaran lebih cenderung pada aspek ingatan.

(39)

g) Sangat kurang memberikan kesempatan pada peserta untuk berpartisipasi secara total (hanya proses mental, tetapi sulit dikontrol)

h) Dengan metode ceramah, sangat sukar untuk mengetahui apakah peserta sudah mengerti dan sudah memahami dengan apa yang telah disampaikan penceramah. Ketika penceramah mengadakan pertanyaan pada umumnya lebih banyak yang diam dan tidak menjawab pertanyaan, meskipun tentu tidak semua peserta sama (UHAMKA, 2009).

2.2.2. Syarat-Syarat Menjadi Komunikator/Penceramah

Mulyana (2005), mengemukakan diperlukan persyaratan tertentu untuk para komunikator/penceramah dalam sebuah program komunikasi, baik dalam segi sosok kepribadian maupun dalam kinerja kerja. Dari segi kepribadian, agar pesan yang disampaikan bisa diterima oleh khalayak maka sseorang komunikator mempunyai hal berikut :

1. Memiliki kedekatan (proximility) dengan khalayak. Jarak seseorang dengan sumber memengaruhi perhatiannya pada sepsan tertentu. Semakin dekat jarak semakin besar

pula peluang untuk terpapar pesan itu. Hal ini terjadi dalam arti jarak secara fisik

ataupun secara sosial.

2. Mempunyai kesamaan dan daya tarik sosial dan fisik. Seorang komunikator /penceramah cenderung mendapat perhatian jika penampilan fisiknya secara

keseluruhan memiliki daya tarik (attractiveness) bagi audiens.

(40)

pendidikan, umur, agama, latar belakang sosial, ras, hobi, dan kemampuan bahasa.

Kesamaan juga bisa meliputi maslah sikap dan orientasi terhadao berbagai aspek

seperti buku, musik, pakaian, pekerjaan, keluarga, dan sebagainya. Preferensi

khalayak terhadap seorang komunikator/penceramah berdasarkan kesamaan budaya,

agama, ras, pekerjaan, dan pendidikan berpengaruh terhadap proses seleksi,

interpretasi, dan pengingatan pesan sepanjang hidupnya. Kesamaan antara

komunikator/penceramah dan khalayak dengan prinsip homofili antara kedua belah

pihak ini sangat efektif bagi penerimaan pesan. Tetapi kadang-kadang diantara

keduanya terjadi hubungan yang bersifat heterofili, suatu keadaan yang tidak setara

anyata sumber dan target sasaran.

4. Dikenal kredibilitasnya dan otoritasnya. Khalayak cenderung memerhatikan dan mengingat pesan dari sumber yang mereka percata sebagai orang yang memiliki

pengalaman dan atau pengetahuan yang lias. Menurut Ferguson, ada dua faktor

kredibilitas yang sangat penting untuk seorang sumber: dapat dipercaya

(trustworthiness) dan keahlian (expertise). Faktor-faktor lainnya adalah tenang/sabar

(compusere), dinamisn, bisa bergaul (sociability), terbuka (extroversion) dan

memiliki kesamaan dengan audiens. Menunjukkan motivasi dan niat. Cara

komunikator/penceramah menyampaikan pesan berpengaruh terhadap audiens dalam

memberi tanggapan terhadap pesan tersebut. Respon khlayak akan berbeda

menanggapi pesan yang ditunjukkan untuk kepentingan informasi (informative) dari

(41)

5. Pandai dalam cara penyampaian pesan. Gaya komunikator/penceramah menyampaikan (delivery) pesan juga menjadi faktor penting dalam proses

penerimaan informasi.

6. Dikenal status, kekuasaan dan kewenangannya. Status di sini menunjuk kepada posisi atau ranking baik dalam struktur sosial maupun organisasi. Sedangkan kekuasaan

(power) dan kewenangan (authority) mengacu pada kemampuan seseorang memberi

ganjaran (reward) dan hukuman (punishment) (Mulyana, 2005).

2.2.3 Metode Diskusi Kelompok Terarah (DKT)

Metode Diskusi Kelompok Terarah (DKT) merupakan metode riset maupun metode pengumpulan data yang biasa disebut dalam bahasa inggris Focused Group

atau Group interviewing. DKT adalah metode pengumpulan data atau riset untuk memahami sikap dan perilaku khalayak. Biasanya terdiri dari 6-12 orang dengan latar belakang yang sama yang secara bersamaan dikumpulkan, diwawancarai, untuk membahas topik tertentu dengan dipandu oleh moderator, dengan menawarkan kompensasi pada peserta atas waktu yang biasanya cukup untuk membuat orang bersedia untuk berpartisipasi (Kriyantono, 2006).

(42)

DKT merupakan diskusi kelompok terarah yang pesertanya terbatas (dipilih) menurut kriteria tertentu dan pembahasannya memfokuskan pada topik tertentu. DKT bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang sesuatu hal dari peserta diskusi tanpa harus ada kesepakatan pendapat antara peserta yang mengikutinya. Dampak dari DKT setelah dilakukan, para peserta sudah akan mengalami perubahan, karena dalam diskusi timbul aksi dan reaksi, dimana para peserta saling memberi dan menerima atau menolak. Karena itu DKT harus dilakukan dengan terstruktur sehingga dampaknya positif bagi peserta, memberdayakan, membuat orang merasa lebih nyaman (karena dapat mengeluarkan pendapat atau karena ada orang lain yang ternyata mempunyai pengalaman yang sama (Adi, 2004).

(43)

kejelasan dan dapat menggali topik kontroversial (Afriani, 2009), selain manfaat ada juga kelemahan dari DKT yaitu

Adapun kelebihan DKT, yaitu :

format yang fleksibel cenderung dapat mengarah pada bias dari fasilitator, diskusi dapat didominasi oleh segelintir individu yang vokal, sulit untuk menghasilkan data kuantitatif yang dapat digunakan untuk generalisasi keadaan mengenai suatu isu (UNDP, 2013).

1. Dapat menghimpun banyak informasi karena biasanya anggota akan terdorong dan terpicu untuk memiliki ide setelah mendengar pembicaraan atau perspektif anggota lainnya sehingga perbincangan dapat berlangsung lebih mengalir sekalipun topik yang ada sifatnya sangat kompleks dan sensitif.

2. Menyediakan informasi yang didapat langsung dari narasumber yang mengerti dan memegang peranan penting berkaitan dengan topik yang dibahas, yang biasanya belum banyak diketahui oleh peneliti dan juga dapat menyediakan informasi yang aktual mengenai situasi atau kondisi tertentu. 3. Menyediakan beragam opini atau ide yang sangat beragam

4. Menyediakan hasil yang maksimal dengan biaya dan beban yang rendah sehingga dianggap lebih efisien (Afriani, 2009)

Adapun kelemahan DKT, yaitu :

.

1. Dapat terjadi bias dari fasilitator sehingga melemahkan validitas dan reliabilitas temuan

(44)

3. Diskusi menghasilkan informasi penting, namun terkadang informasi yang didapat hanya mewakili gambaran dari populasi tertentu dan tidak bisa digeneralisasi untuk populasi yang lebih luas. Untuk itu, manfaat yang diperoleh dari DKT bukanlah terletak pada generalisasi hasil DKT melainkan pada kedalaman informasi tersebut (Afriani, 2009)

2.2.4. Peran dan Persyaratan Menjadi Moderator/Fasilitator DKT .

Mereduksi berbagai kesalahan yang disebabkan oleh fasilitator/moderator menjadi sangat penting. Caranya, mewajibkan seseorang yang ditetapkan menjadi fasilitator/moderator memiliki keahlian (skils) dalam memoderasi jalannya diskusi. Selain itu, dituntut kemampuannya untuk mengaplikasikan setiap fungsi fasilitasi/ moderasi yang wajib diembannya secara optimal dan professional.

Peranan Moderator/Fasilitator Persyaratan Menjadi Moderator/Fasilitator

1. Menjelaskan maksud dan tujuan DKT 2. Menjelaskan topik/isu pokok diskusi 3. Menciptakan suasana kondusif 4. Mengelola dinamika kelompok

5. Mengamati peserta dan tanggap terhadap

reaksi mereka

6. Perhatikan nada suara

7. Menghindari pemberian pendapat pribadi 8. Menghindari komentar yang menyatakan

setuju/tidak setuju

1. Simpatik, akrab, dan penuh empati 2. Membuat orang lain tidak tegang 3. Keterampilan berkomunikasi 4. Mendengarkan

5. Memerhatikan

6. Memperlihatkan semangat 7. Sadar atas isyarat tersirat 8. Berpikir positif dan analitis

(45)

kelompok terarah dijelaskan tanggung jawab seorang fasilitator DKT. Tugas pokok moderator/ fasilitator DKT adalah :

1. Menguraikan secara jelas maksud dan tujuan penyelenggaraan DKT

2. Memersiapkan segalanya dengan baik, sehingga peserta mengetahui dan

memahami topik dan/atau isu yang hendak didiskusikan sebelum DKT dimulai

3. Membangun suasana kondusif, rasa saling pengertian dalam kelompok dan

menciptakan suasana produktif dalam pelaksanaan diskusi

4. Tetap awas terhadap dinamika kelompok, untuk mengenali ancaman yang dapat

mengganggu produktivitas diskusi kelompok

5. Mengelola dinamika kelompok, sehingga arah dan lalu lintas diskusi dapat

mengalir dengan baik dan tertib serta peserta merasa nyaman untuk berbagi dan menyampaikan pendapat/pemikirannya

6. Tetap berpikiran positif dan terbuka, sehingga dapat meminimalisasi kekeliruan

dugaan awal peserta terhadap topik diskusi

7. Menyiapkan laporan yang secara akurat menangkap respon kelompok, dan 8. Menjaga kerahasiaan.

Selain kemampuan melaksanakan peran dalam DKT, moderator/fasilitator dituntut memiliki kualifikasi moderator/fasilitator DKT, yakni :

1. Memahami/mengenal/mengetahui dengan baik isu, topik, dan materi diskusi 2. Menjadi prioritas untuk memiliki kemampuan berkomunikasi dengan peserta

(46)

3. Mengapresiasi kebudayaan setempat dan bersikap sensitif terhadap budaya, tidak

menghakimi, tidak menggurui, tidak memandang remeh peserta, tidak menolak atau menyetujui tentang apa yang dikatakan peserta, dan tidak berusaha memengaruhi peserta

4. Memiliki ketergantungan dan ketertarikan yang murni terhadap sikap/perilaku

peserta diskusi

5. Menghindari bias gender dan bersikap proporsional terhadap pria dan wanita 6. Menjaga etika dan sopan santun

7. Memiliki empati, dan

8. Menghargai dan menghormati setiap peserta dari berbagai latar belakang

(Saksono, 2011).

2.3. Proses Adopsi Perilaku

(47)

2.3.1. Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek (Notoatmodjo, 2005).

Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan isinya termasuk manusia dan kehidupannya (Keraf, 2001).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan diperoleh dari pengalaman diri sendiri atau pengalaman orang lain. Kegiatan, aktivitas seseorang ditentukan oleh pengetahuan. Sebelum seseorang berperilaku baru atau kegiatan dan aktivitas ia harus tahu terlebih dahulu atau seseorang harus memiliki pengetahuan terlebih dahulu. Penerimaan perilaku baru ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yakni :

(48)

rangsangan yang telah diterima. Tahu (know) ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b) Memahami (comprehension) diartikan sebagai sesuatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c) Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian.

d) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), dan membedakan.

e) Sintesis (synthesis) adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada. f) Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

(49)

2.3.2. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek . b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak.

Ketiga komponen diatas secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berfikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan sikap, yakni :

a. Menerima (receiving) artinya bahwa orang atau subjek mau dan memperhatikan stimulus yng di berikan oleh objek.

b. Merespon (responding) yaitu memberikan jawaban apabila di tanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

(50)

d. Bertanggung jawab (responsible) yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

2.4. Remaja

2.4.1. Pengertian Remaja

Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari kata Latin adolescere yang artinya tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence memiliki arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja merupakan suatu individu yang sedang mengalami masa peralihan yang secara berangsur-angsur mencapai kematangan seksual, mengalami perubahan jiwa dari jiwa kanak-kanak menjadi dewasa dan mengalami perubahan keadaan ekonomi dari kertergantungan menjadi relatif mandiri (Notoatmodjo, 2007).

(51)

Menurut Konopka dan Ingersoll yang dikutip oleh Agustiani (2006) bahwa masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Masa remaja awal (12 -15 tahun)

Pada masa ini individu mulai meninggalkan perannya sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua.

2. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya memiliki peran yang penting. Dimasa ini remaja juga mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar membuat keputusan sendiri dan selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.

3. Masa remaja akhir (19-21 tahun)

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan diterima orang dewasa.

2.4.2. Tugas Perkembangan pada Masa Remaja

Menurut Havigurst (dalam Hurlock, 1999) tugas perkembangan remaja meliputi beberapa hal sebagai berikut :

a) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

(52)

c) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya f) Mempersiapkan karir ekonomi

g) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

h) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

2.5. Teori Stimulus Organism Response (SOR)

Skinner (1938) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia terjadi melalui proses stimulus, organisme, dan respon sehingga teori Skinner ini disebut S-O-R (Stimulus-Organisme-Respons).

Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya : kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat. Proses perubahan perilaku pada hakikatnya sama dengan proses belajar. Proses peubahan perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari :

(53)

itu tidak efektif memengaruhi perhatian individu, dan berhenti di sini. Tetapi bila stimulus diterima oleh organisme, berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut efektif.

2. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.

3. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap).

4. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku).

Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini faktor

(54)
[image:54.612.130.494.175.479.2]

Proses perubahan perilaku berdasarkan teori S-O-R ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Teori S-O-R

2.6. TB Paru

2.6.1. Definisi TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).

Menurut Yunus (1989) yang dikutip Achmadi (2008), sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru-paru, akan tetapi dapat menyerang organ lain di dalam

Stimulus

Reaksi terbuka (perubahan praktek)

Reaksi tertutup (perubahan sikap)

(55)

tubuh. Secara khas kuman membentuk granuloma dalam paru menimbulkan nekrosis

atau kerusakan jaringan. 2.6.2. Klasifikasi TB Paru

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 bagian yaitu :

1. TB paru BTA positif (sangat menular) yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan TB aktif. 2. TB paru BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih meragukan.

Jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif. Foto rontgen dada menunjukkan hasil positif (Laban, 2007). 2.6.3. Etiologi Penyakit Tuberkulosis Paru

(56)

2.6.4. Cara Penularan TB Paru

Menurut Depkes (2008), penderita dapat menularkan kuman TB pada orang lain melalui cara :

a) Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

b) Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

c) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

d) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

2.6.5. Gejala Penyakit TB

(57)

Gejala umum meliputi (Depkes, 2006) :

a) Deman tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama badan dapat mencapai

40-410

b) Batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan berdahak), karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk dapat bersifat kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lebih lanjut adalah batuk bercampur darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah, hal ini terjadi pada kavitas atau pada ulkus dan dinding bronkus.

C, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul, penurunan nafsu makan dan berat badan.

c) Perasaan tidak enak (malaise), lemah. nafsu makan berkurang, tidak enak badan, berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, serta berat badan menurun, demam mering lebih dari sebulan.

Sedangkan gejala khusus yaitu (Depkes, 2006):

(58)

b) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah sampai pada pleura, sehingga menimbulkan pleuritis.

c) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

d) Pada anak-anak yang dapat mengenai otak (lapisan pembuluh otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

2.6.6. Diagnosis TB Paru 1) Pada Orang Dewasa

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya satu spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang. Jika hasil rontgen menunjukan TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita Paru BTA positif. Dan jika hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, maka pemeriksaan dahak SPS diulang (Depkes, 2005).

(59)

selalu memberi gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi over diagnosis. Gambaran Kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukan aktifitas penyakit TB Paru (Chin, 2000).

2) Diagnosis Tuberkulosis pada Anak

Diagnosis yang paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman tuberkulosis dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, biopsi dll. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis tuberkulosis anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin.

Untuk itu penting memikirkan adanya tuberkulosis pada anak kalau terdapat tanda-tanda yang mecurigakan atau gejala-gejala seperti di bawah ini :

Seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis kalau Mempunyai sejarah kontak (serumah) dengan penderita tuberkulosis BTA Positif yaitu : Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (Bacillus Calmette et Guerin) dalam 3-7 hari, Terdapat gejala umum tuberkulosis (Depkes, 2002).

Gejala umum tuberkulosis pada anak :

a) Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik dalam satu bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang baik (failure to thrive).

b) Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat.

(60)

d) Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha (inguinal).

e) Gejala-gejala dari saluran napas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri di dada.

f) Gejala-gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen dan tanda-tanda cairan dalam abdomen.

Gejala spesifik tuberkulosis pada anak :

Gejala spesifik biasanya tergantung dibagian tubuh mana yang terserang, misalnya :

a) Tuberkulosis kulit (skrofuloderma).

b) Tuberkulosis tulang dan sendi yaitu : Tulang punggung, tulang panggul dengan pembengkakan di pinggul, tulang lutut dengan pincang dan atau bengkak, tulang kaki dan tangan

c) Tuberkulosis otak dan syaraf, Meningitis dengan gejala : iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun.

d) Tuberkulosis Mata dengan gejala : Konjungtivitis fliktenularis dan Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan fundusckopi) (Depkes, 2002).

3) Uji Tuberkulin (Mantoux)

(61)

yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimter. Uji tuberkulin dinyatakan positif bila indurasi > 10 mm (pada anak dengan gizi baik), atau >5 mm pada anak dengan gizi buruk.

Bila uji tuberkulin positif, menunjukan adanya infeksi tuberkulosis dan kemungkinan ada tuberkulosis aktif pada anak, namun uji tuberkulin dapat negatif pada anak dengan tuberkulosis berat (malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian

imunosupresif, dll). 4) Reaksi Cepat BCG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat ( dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi

Mycobactrium tuberculosa (Depkes, 2002). 5) Foto Rontgen Dada

Gambaran rontgen tuberkulosis paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati, kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis.

(62)

dada sebaiknya dilakukan PA (postero-Anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja (Depkes, 2002).

6) Pemeriksaaan Mikrobiologi dan Serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Cara baru untuk mendeteksi kuman tuberkulosis dengan cara PCR (Polymery Chain Reaktion) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis.

Bila dijumpai 3 atau lebih dari hal-hal yang mencurigakan atau gejala-gejala klinis umu tersebut di atas. Maka anak tersebut dianggap tuberkulosis dan diberikan pengobatan dengan OAT sambil diobservasi selama 2 bulan. Bila menunjukan perbaikan, maka diagosis tuberkulosis dapat dipastikan dan OAT diteruskan sampai penderita tersebut sembuh.

(63)

2.6.7. Pencegahan Penyakit TB Paru

Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas kesehatan melalui (Hiswani, 2004):

1) Pengawasan pederita, kontak dan lingkungan

a) Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk/bersin dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.

b) Oleh masyarakat dapat dilakukan terhadap bayi dengan memberikan vaksinasi BCG.

c) Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya. d) Isolasi, pemeriksaan kepada orang–orang yang terinfeksi, pengobatan khusus

TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.

e) Desinfeksi, cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, tempat tidur, pakaian) ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.

(64)

g) Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.

h) Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter di minum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaaan penyelidikan oleh dokter. 2) Tindakan Pencegahan.

a) Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect harus selalu dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect.

b) Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan. c) BCG, vaksinasi diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan

bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tindakan pencegahan

(65)

e) Tindakan pencegahan bahaya penyakit paru kronis karena menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya. f) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.

g) Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada kelompok berisiko tinggi, seperti para emigran, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan tuberculin test.

2.6.8. Kebijakan Penanggulangan TB Paru

Menurut Depkes RI (2007) Penanggulangan TB paru di Indonesia ditempuh melalui kebijakan-kebijakan yakni :

a) Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program dalam kerangka otonomi yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).

b) Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS

c) Penguatan kebijakan untuk meni

Gambar

Gambar 2.1. Teori S-O-R
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian
Gambar 3.2. Alur Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis efektifitas metode diskusi dan ceramah terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam membuang limbah medis

Penelitian ini bertujuan untuk Menganalisa perbedaan pengaruh penyuluhan kesehatan metode ceramah dan diskusi terhadap sikap tentang SADARI ditinjau dari pengetahuan. Subyek dan

Hasil penelitian terhadap peningkatan pengetahuan tentang pubertas menunjukan metode diskusi kelompok lebih efektif dibandingkan metode ceramah dengan rata- rata

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode ceramah dan metode diskusi dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang perilaku seksual berisiko di SMAN

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh metode ceramah dan metode diskusi terhadap pengetahuan dan sikap ibu hamil tentang pencegahan Makrosomia di

Hasil penelitian menunjukkan diperoleh ada perbedaan pengetahuan siswi tentang dismenorea sebelum dan sesudah penyuluhan dengan metode ceramah dan diskusi dengan

Efektivitas Metode Ceramah dan Diskusi Kelompok terhadap Pengetahuan dan Sikap tentang Kesehatan Reproduksi pada Remaja di Yayasan Pendidikan Harapan Mekar

Penjelasan-penjelasan mengenai kelebihan dan kekurangan metode ceramah dan diskusi kelompok. Dalam kegiatan pempelajaran banyak faktor yang mempengaruhi, baik yang terikat