iv
ABSTRAK
KEMELIMPAHAN JENIS PLANKTON DAN KEANEKARAGAMAN TERUMBU KARANG DI GOSONG SUSUTAN TELUK LAMPUNG
Faisal Rais
Gosong Susutan merupakan sebuah daratan kecil yang muncul ke permukaan laut di wilayah perairan Teluk Lampung, Kec. Padang Cermin, Kab. Pesawaran, Propinsi Lampung. Gosong Susutan terdiri dari hamparan terumbu karang yang mengelilingi daratan tersebut hingga kedalaman 20 meter. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014 dengan tiga stasiun pengamatan di Gosong Susutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemelimpahan plankton dan keanekaragaman terumbu karang di perairan Gosong Susutan. Pengambilan data terumbu karang dilakukan dengan metode LIT (Line Intercept Transect ) sepanjang 100 meter pada kedalaman 5 meter dan 10 meter. Pengambilan sampel plankton dilakukan pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter. Analisis data berupa nilai indeks kemelimpahan, keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi, serta korelasi antara terumbu karang dan plankton. Dari ketiga stasiun yang diambil sampelnya, jenis plankton yang sering ditemukan adalah Rhizosolenia sp dengan jumlah 216 ekor dan Hemiaulus sp dengan jumlah 58 ekor dari total keseluruhan jumlah plankton, yakni ; 586 ekor. Berdasarkan nilai indeks kemelimpahan plankton di Gosong Susutan termasuk dalam kategori rendah. Sedangkan indeks keseragaman plankton dan terumbu karang menunjukkan bahwa termasuk dalam komunitas ke arah stabil. Sementara indeks dominansi plankton dan terumbu karang di Gosong Susutan termasuk dalam kategori rendah. Hasil pengamatan parameter fisika-kimia menunjukkan bahwa nilai suhu berkisar antara 25-28oC, salinitas 31-32 0/00, pH 6,71-6,73, dan kecerahan 11-13 meter. Korelasi antara persentase terumbu karang dan kemelimpahan plankton menunjukkan nilai positif. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) = 0,6014 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kondisi terumbu karang dengan kemelimpahan plankton dan tergolong korelasi kuat yaitu antara 0,5-0,75.
KEMELIMPAHAN JENIS PLANKTON DAN KEANEKARAGAMAN TERUMBU KARANG DI GOSONG SUSUTAN TELUK LAMPUNG
Oleh: Faisal Rais
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS
Pada Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 1 Februari 1992. Sebagai putra pertama dari empat bersaudara adalah anak dari bapak Rais Sudarmanto dan Ibu Yulian. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Tanjung Anom pada tahun 2004. Sekolah menengah pertama diselesaikan di SMP 1 Swadhipa Natar pada tahun 2007. Sekolah menengah atas diselesaikan di SMA Yadika Lampung pada tahun 2010.
Penulis diterima di Universitas Negeri Lampung pada tahun 2010 di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi. Penulis selama kuliah aktif di Klub Selam Anemon FMIPA Unila pada tahun 2011-2015 dan HIMBIO (Himpunan Mahasiswa Biologi) sebagai anggota pada tahun 2011-2012. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah.
Kupersembahkan Karya Kecil Ini Untuk :
Kedua orang tuaku yang sangat kucintai dan kusayangi
Yang Terkasih dan tersayang adikku dan seluruh keluargaku
Bapak dan ibu Dosen yang telah membantu dan
membimbingku selama menjadi mahasiswa
"
Jangan pernah berhenti sebelum memulai dan
bertanyalah ketika ilmu tak cukup menggapai
”
“Waktu itu bagaikan sebilah pedang, kalau engkau
tidak memanfaatkannya, maka ia akan memotongmu”
SANWACANA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur atas rahmat Allah S.W.T yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “ Kemelimpahan Jenis Plankton dan Keanekaragaman Terumbu Karang di Gosong Susutan Teluk Lampung”. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua yang telah membantu sejak memulai pendidikan sampai terselesaikannya skripsi ini, ucapan tulus dan terima kasih, penulis sampaikan kepada :
1. Ibu Endang Linirin Widiastuti, Ph.D, selaku pembimbing I dan pembina selam yang telah memberikan bimbingan, motivasi, ilmu, ide, saran, dan kritik dengan penuh kesabaran selama proses penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. G.Nugroho Susanto, M.Sc, selaku pembahas atas saran , kritik, ilmu serta dukungan yang telah diberikan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan.
4. Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian dan penyusunan skripsi.
5. Bapak Wawan Abdullah Setiawan, M. Si, selaku pembimbing akademik, terimakasih atas bimbingan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjadi mahasiswa Biologi.
6. Felix Dwi Agung Widodo, M.Si, selaku instruktur dan pembimbing saat pengambilan data.
7. Bapak dan Ibu Dosen, serta segenap karyawan di Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung, atas ilmu, bimbingan, serta bantuan yang diberikan kepada penulis
8. Bapak Prof. Suharso, Ph. D, selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung
9. Ayah dan Ibunda tercinta, Rais Sudarmanto dan Yulian yang selalu
mendoakan, memberi semangat, serta mencurahkan kasih sayang yang tiada henti kepada penulis.
10.Adik-adikku tersayang, Reka Septiana Rais, Tri Antoni Rais, dan Risky Iskandar Rais yang selalu memberikan doa, semangat kepada penulis.
12.Kakakku Muchlis Aditya, Mukhlis Irfani, Novriadi, sahabat-sahabatku Adi Ilhan Nuari, Aviy Ryshadianta, Dimas Djulihandoko, Eko Budiono, Elga Oktavianata, Sutanto Pindias Putra, Kadek Wisne, Sayu Kadek Dwi Dani, Benny, CSV, Rachmat Hidayat, Andi Setiawan, dan Ryanto Ari Wibowo terimakasih atas bantuan serta kebersamaannya selama masa kuliah dan penyelesaian skripsi ini.
13.Teman- temanku Biologi Angkatan 2010 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas kebersamaan dan semangat juang selama ini.
14.Klub Selam Anemon dan Himbio FMIPA Unila yang selama ini memberikan dukungan, support, pengalaman, ilmu pengetahuan, dan kebersaman selama penulis mengawali perkuliahan hingga penyelesaian skripsi.
15.Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu, terimakasih atas bantuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Lampung.
Semoga Allah S.W.T membalas kebaikan yang telah mereka berikan dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.Amin Ya Robbal Alamin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Bandar Lampung, Juli 2015
i
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Tujuan Penelitian ... 3
C. Manfaat Penelitian ... 4
D. Kerangka Pikir ... .. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Terumbu Karang... 6
1. Biologi Karang... 7
2. Simbiosis Mutualisme Antara Hewan Karang dengan Zooxanthellae ... 8
3. Proses Reproduksi ... 9
5. Klasifikasi Terumbu Karang ………... 10
6. Faktor-Faktor Pertumbuhan Karang... 10
7. Standar Kategori dan Persentase Tutupan Terumbu Karang .. 12
B. Struktur Komunitas Plankton ... 13
1. Fitoplankton ... 14
2. Zooplankton ... 14
3. Reproduksi dan Siklus Hidup Plankton ... 18
4. Produktivitas Plankton ... 20
5. Peranan Plankton Dalam Ekosistem Laut ... 21
III. METODE PERCOBAAN A. Waktu dan Tempat ... 24
B. Alat dan Bahan ... 25
C. Metode Kerja ... 25
D. Analisis Data ……... 29
1. Penentuan Kemelimpahan Jenis Plankton... 29
2. Penentuan Keanekaragaman Jenis Terumbu Karang ... 31
3. Penentuan Persentase Tutupan Terumbu Karang... 33
B. Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (D) Terumbu Karang di Gosong Susutan, Kec. Padang Cermin,
Kabupaten Pesawaran ... 36
C. Persentase Tutupan Terumbu Karang di Gosong Susutan, Kec. Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran ... 38
1. Persentase Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan I ... 39
2. Persentase Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan II ... 42
3. Persentase Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan III ... 45
D. Parameter Lingkungan ... 47
E. Hubungan Antara Kondisi Terumbu Karang dengan Kemelimpahan Plankton di Gosong Susutan ... 49
V. KESIMPULAN A. Simpulan ... 51
B. Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN Tabel 6-14. Data Terumbu Karang dan Plankton... 59
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup, Karang Mati,
Karang Lunak, Pasir, dan Kerikil (Dahl, 1981)... 13
Tabel 2. Titik Kordinat Pengamatan Terumbu Karang di Gosong Susutan... 26
Tabel 3. Kemelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Plankton di Gosong Susutan... 34
Tabel 4. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Terumbu Karang di Gosong Susutan... 36
Tabel 5. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air Rata-Rata di Perairan Gosong Susutan... 48
Tabel 6. Data Indeks Keragaman Plankton... 59
Tabel 7. Data Indeks Keragaman Terumbu Karang... 61
Tabel 8. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan I (10m)... 63
Tabel 9. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan I (5 m)... 65
Tabel 11. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan II (5 m)... 70
Tabel 12. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan III (10 m)... 72
Tabel 13. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan III (5 m)... 74
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Peta Lokasi Gosong Susutan, Kecamatan Padang Cermin,
Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung ...…... 24
Gambar 2. Metode Line Intercept Transect (LIT) yang dilakukan dalam
pengambilan data (Amrullah Saleh, 2013)..……… 33
Gambar 3. Kerusakan terumbu karang akibat pukat di stasiun pengamatan II dan III... 38 Gambar 4. Persentase Tutupan Karang Hidup di Gosong Susutan………. 39
Gambar 5. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati di stasiun pengamatan sampling I. Gosong Susutan sisi sebelah Barat pada kedalaman 10 meter.……….... 40
Gambar 6. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati di stasiun pengamatan I. Kedalaman 5 meter Gosong
Susutan sisi sebelah Barat………...… 41 Gambar 7. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati
di stasiun pengamatan II. Gosong Susutan sisi sebelah timur
Gambar 8. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati di stasiun pengamatan I. Gosong Susutan sisi sebelah timur
laut pada kedalaman 5 meter...………. 44 Gambar 9. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati
di stasiun pengamatan III. Gosong Susutan sisi sebelah tenggara pada kedalaman 10 meter ………. 45 Gambar 10. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati
di stasiun pengamatan sampling III. Gosong Susutan sisi
sebelah timur laut pada kedalaman 5 meter....……… 47
Gambar 11. Hubungan kondisi karang dengan kemelimpahan plankton di Gosong Susutan ………... 49 Gambar 12. Nitzschia sp (a), Ceratium sp (b), Rhizosolenia sp (c), dan
Melosira sp (d)... 78 Gambar 13. Pectinia elongata (a), Seriatopora hystrix (b), Kima (c), dan
Anemon (d)... 78 Gambar 14. Tutupan Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan I... 79 Gambar 15. Terumbu Karang yang Rusak Akibat Pukat (jala) di Stasiun Pengamatan II... 79 Gambar 16. Tutupan Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan III... 80
Gambar 17. Pengambilan Data Terumbu Karang dan Plankton di
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup, Karang Mati,
Karang Lunak, Pasir, dan Kerikil (Dahl, 1981)... 13
Tabel 2. Titik Kordinat Pengamatan Terumbu Karang di Gosong Susutan... 26
Tabel 3. Kemelimpahan, Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Plankton di Gosong Susutan... 34
Tabel 4. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Terumbu Karang di Gosong Susutan... 36
Tabel 5. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air Rata-Rata di Perairan Gosong Susutan... 48
Tabel 6. Data Indeks Keragaman Plankton... 59
Tabel 7. Data Indeks Keragaman Terumbu Karang... 61
Tabel 8. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan I (10m)... 63
Tabel 9. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan I (5 m)... 65
Tabel 11. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan II (5 m)... 70
Tabel 12. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan III (10 m)... 72
Tabel 13. Data Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan III (5 m)... 74
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Peta Lokasi Gosong Susutan, Kecamatan Padang Cermin,
Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung ...…... 24
Gambar 2. Metode Line Intercept Transect (LIT) yang dilakukan dalam
pengambilan data (Amrullah Saleh, 2013)..……… 33
Gambar 3. Kerusakan terumbu karang akibat pukat di stasiun pengamatan II dan III... 38 Gambar 4. Persentase Tutupan Karang Hidup di Gosong Susutan………. 39
Gambar 5. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati di stasiun pengamatan sampling I. Gosong Susutan sisi sebelah Barat pada kedalaman 10 meter.……….... 40
Gambar 6. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati di stasiun pengamatan I. Kedalaman 5 meter Gosong
Susutan sisi sebelah Barat………...… 41 Gambar 7. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati
di stasiun pengamatan II. Gosong Susutan sisi sebelah timur
Gambar 8. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati di stasiun pengamatan I. Gosong Susutan sisi sebelah timur
laut pada kedalaman 5 meter...………. 44 Gambar 9. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati
di stasiun pengamatan III. Gosong Susutan sisi sebelah tenggara pada kedalaman 10 meter ………. 45 Gambar 10. Perbandingan Persentase karang hidup dengan karang mati
di stasiun pengamatan sampling III. Gosong Susutan sisi
sebelah timur laut pada kedalaman 5 meter....……… 47
Gambar 11. Hubungan kondisi karang dengan kemelimpahan plankton di Gosong Susutan ………... 49 Gambar 12. Nitzschia sp (a), Ceratium sp (b), Rhizosolenia sp (c), dan
Melosira sp (d)... 78 Gambar 13. Pectinia elongata (a), Seriatopora hystrix (b), Kima (c), dan
Anemon (d)... 78 Gambar 14. Tutupan Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan I... 79 Gambar 15. Terumbu Karang yang Rusak Akibat Pukat (jala) di Stasiun Pengamatan II... 79 Gambar 16. Tutupan Terumbu Karang di Stasiun Pengamatan III... 80
Gambar 17. Pengambilan Data Terumbu Karang dan Plankton di
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km2. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan
keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia yang memiliki ekosistem pesisir seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun (Dahuri, 1996).
2 sedimentasi; (4) penangkapan ikan secara berlebihan memberikan dampak terhadap keseimbangan yang harmonis di dalam ekosistem terumbu karang; (5) penangkapan ikan dengan menggunakan racun dan bom, dan (6)
perubahan iklim global. Akibat dari pencemaran tersebut, banyak organisme-organisme laut yang terganggu pertumbuhan dan perkembangannya.
.
Peranan dan kedudukan masing-masing organisme di laut digambarkan dalam piramida makanan di laut. Dasar piramida ditempati oleh
organisme produser atau organisme autotrop yang mampu merubah bahan anorganik menjadi bahan organik dengan memanfaatkan energi matahari . Kemudian bahan organik tersebut akan dimanfaatkan oleh organisme herbivora. Fitoplankton merupakan salah satu organisme autotrop utama dalam kehidupan di laut, melalui proses fotosisntesis yang memiliki ukuran yang kecil dengan jumlah yang tinggi (Nontji, 2002).
Menurut Handayani (2003) rantai makanan grazing dimulai dari proses transfer makanan pertama kali oleh organisme herbivora melalui proses grazing. Makanan pertama itu berupa fitoplankton yang dimanfatkan oleh zooplankton. Kemudian zooplankton akan dimanfaatkan sebagai
3 Detritus yang terbentuk karena kematian akan menjadi awal pembentukan rantai makanan detrital yang banyak dilakukan oleh organisme pengurai atau dekomposer. Hasil dari proses dekomposisi tersebut adalah
terbentuknya bahan anorganik maupun organik. Bahan anorganik akan dimanfaatkan oleh organisme autotrop seperti fitoplankton sedangkan bahan organik dapat dimanfaatkan langsung oleh beberapa organisme pemakan detritus (Nontji, 2002).
Gosong Susutan merupakan daratan kecil yang muncul ke atas permukaan laut dan terbentuk oleh terumbu karang dari dasar laut. Gosong ini terletak di perairan Teluk Lampung, Desa Gebang, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Gosong Susutan memiliki keunikan tersendiri, yaitu ; terumbu karang yang mengelilingi tiap sisinya dari kedalaman 20 meter hingga ke permukaan laut ketika sedang surut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemelimpahan jenis plankton dan keragaman jenis terumbu karang di Gosong Susutan.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, yaitu sebagai berikut ;
1. Untuk mengetahui kemelimpahan jenis plankton dan keanekaragaman terumbu karang di Gosong Susutan.
4 C. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian diharapkan dapat menjadi masukan atau informasi tentang hubungan kemelimpahan jenis plankton dengan keanekaragaman terumbu karang perairan Gosong Susutan.
D. Kerangka Pikir
Kekayaan ekosistem terumbu karang di perairan teluk Lampung seharusnya bisa dijaga dan dilestarikan oleh pemerintah, maupun warga sekitar
perairan Teluk Lampung. Hal ini tidak terlepas dari keterkaitan plankton yang ada di sekitar terumbu karang karena plankton merupakan makanan utama hewan karang yang berasosiasi dengan zooxanthela membentuk terumbu karang. Oleh karena itu kehidupan terumbu karang juga
bergantung terhadap kemelimpahan jumlah plankton di perairan sekitarnya. Beberapa daerah sekitar teluk Lampung, banyak yang mengalami
kerusakan ekosistem terumbu karang. Hal ini dapat disebabkan oleh pencemaran lingkungan oleh limbah plastik, limbah pabrik, pengeboman ikan, zat kimia berbahaya, dan lain-lain. Kerusakan ini dapat kita lihat dari persentase terumbu karang dan jumlah jenis plankton yang hidup di
kawasan teluk Lampung.
Gosong Susutan merupakan daratan kecil yang timbul di atas permukaan laut dengan profil yang relatif datar dengan kedalaman antara 0 – 3 meter di atas permukaan laut. Gosong ini mempunyai keunikan karena di
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan ekosistem khas di perairan tropis. Menurut Timotius (2003), terumbu karang merupakan struktur dasar lautan yang terdiri dari deposit kalsium karbonat (CaCO3) dan dapat dihasilkan oleh hewan karang bekerjasama dengan alga penghasil kapur, sehingga mampu menahan gelombang laut yang kuat. Hewan karang ini termasuk ke dalam Filum Coelenterata. Satu polip karang mempunyai ukuran beranekaragam mulai dari ukuran kecil (± 1 mm) sampai yang besar (>50 cm) (Nybakken, 1998).
7 endapan kalsium karbonat (CaCO3), yang struktur dan bentuk
bangunannya khas.
Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies hewan karang. Menurut Suharsono (1998) habitat terumbu karang dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Habitat reef flat, yaitu habitat karang yang terletak di zona pasang surut dengan kondisi lingkungan selalu mengalami perubahan salinitas, sinar matahari, dan suhu. Tipe reef flat tahan pada perubahan tersebut. 2. Habitat slope, yaitu habitat terumbu karang yang selalu berada di
bawah permukaan air laut.
3. Habitat rampart, yaitu habitat terumbu karang yang berada di antara reef flat dan reef slope.
1. Biologi karang
Hewan karang biasanya hidup dengan cara membentuk suatu koloni, tetapi ada juga yang hidup soliter. Mulut hewan karang terletak di bagian atas. Makanan yang masuk dengan cara menangkap Zooplankton yang melayang di dalam air atau menerima hasil fotosintesis dari Zooxanthellae.
8 1. Lapisan Ektoderm
Lapisan Ektoderm merupakan lapisan terluar yang terdiri dari glandula yang berisi mucus, cilli, dan sel knidoblast yang berisi nematocyst. 2. Lapisan mesoglea
Lapisan mesoglea merupakan lapisan tipis seperti jelly dan terletak diantara lapisan ektoderm dan endoderm.
3. Lapisan endoderm
Lapisan paling dalam dan merupakan tempat alga (Zooxanthellae).
2. Simbiosis Mutualisme Antara Hewan Karang dengan Zooxanthellae
Menurut (Timotius, 2003) zooxanthellae merupakan alga dari kelompok Dinoflagellata yang bersimbiosis mutualisme pada hewan, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Jumlah Zooxanthellae pada karang
diperkirakan > 1 juta sel/cm2 permukaan karang. Beberapa keuntungan yang didapatkan oleh hewan karang dari simbiosisnya dengan
Zooxanthellae antara lain :
a) Hasil fotosintesis, seperti glukosa, asam amino, dan oksigen dapat dipakai dalam fisiologis tubuh.
b)Mempercepat proses kalsifikasi yang menurut Wallace (1998), terjadi melalui skema :
9 2. Dengan pengambilan ion P untuk fotosintesis, berarti Zooxanthellae
telah menyingkirkan inhibitor kalsifikasi.
Bagi Zooxanthellae, karang adalah habitat yang baik karena memberikan zat anorganik (protein, karbohidrat, dan CO2) untuk proses fotosintesis
serta tempat berlindung dari ancaman predator (Timotius, 2003).
3. Proses Reproduksi
Terumbu karang mampu bereproduksi dengan cara sebagai berikut ;
a. Reproduksi aseksual (vegetative) adalah reproduksi yang tidak
melibatkan peleburan gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum). Ada beberapa tipe reproduksi aseksual adalah :
1. Pertunasan terdiri dari Intratentakular yaitu satu polip membelah menjadi dua polip, polip baru tumbuh dari polip lama dan tumbuh diantara polip-polip lain yaitu Ekstratentakular (Timotius, 2003). 2. Fragmentasi adalah suatu proses terbentuknya koloni baru sebab
adanya patahan karang ( Sukarno, 1983)
3. Polip bailout adalah proses terbentuknya polip baru karena adanya pertumbuhan jaringan pada karang yang telah mati.
10 b. Reproduksi seksual (generative) adalah reproduksi yang melibatkan
peleburan sperma dan ovum (fertilisasi).
4. Proses Pertumbuhan dan Kalsifikasi Terumbu Karang
Kalsifikasi adalah proses pembentukan kapur oleh alga Zooxanthellae yang hidup di koloni karang yang pada akhirnya akan membentuk rangka karang. Reaksi kalsifikasi terjadi di dalam ektodermis karang, apabila tersedianya ion kalsium (Ca2+) dan ion karbonat (CO3) (Timotius, 2003).
5. Klasifikasi Terumbu Karang
Menurut Veron (1988), klasifikasi hewan karang adalah sebagai berikut: Filum : Coelentrata
a. Kelas : Anthozoa Bangsa : Scelerentinia (Madreporia) Keluarga : - Astrocoeniidae - Rocilloporidae - Acroporidae
- Poritidae - Siderastreidae - Agariciidae - Fungiida - Oculunidae - Pectinidae - Musidae - Feriidae
- Dendrophyliidae - Trachyphyliidae
b. Kelas : Acynoria (Octocralia)
11 6. Faktor-faktor Pertumbuhan Karang
Faktor-faktor lingkungan yang menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup hewan karang antara lain :
a. Cahaya Matahari
Cahaya matahari merupakan faktor paling penting dalam pertumbuhan terumbu karang, karena cahaya matahari digunakan oleh
Zooaxanthellae dalam proses fotosintesis (Suharsono, 1998).
b. Suhu
Suhu dapat membatasi sebaran terumbu karang secara geografis. Suhu optimal untuk kehidupan karang antara 25oC-28oC, dengan
pertumbuhan optimal merata tahunan berkisar 23oC-30oC. Pada
temperatur di bawah 19oC pertumbuhan karang terhambat bahkan dapat mengakibatkan kematian dan pada suhu diatas 33oC menyebabkan pemutihan karang atau lebih dikenal dengan sebutan bleaching. Bleaching yaitu proses keluarnya Zooaxanthellae dari hewan karang, sehingga dapat menyebabkan kematian karang (Putranto, 1997).
c. Salinitas
12 d. Kekeruhan dan Sedimentasi
Kekeruhan perairan dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke perairan dan akan mempengaruhi kehidupan karang karena karang tidak dapat melakukan fotosintesis dengan baik. Sedimentasi mempunyai pengaruh yang negatif yaitu sedimen yang berat dapat menutup dan menyumbat bagian struktur organ karang untuk mengambil makanan, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan karang secara tidak langsung (Suharsono, 1998).
e. Arus (Pergerakan Air)
Pergerakan air berupa ombak dan arus berperan dalam pertumbuhan karang, karena membawa O2 dan bahan makanan serta terhindarnya
karang dari timbunan endapan dan kotoran yang akan menghambat karang dalam menangkap mangsa. Sehingga karang dapat tumbuh baik (Putranto, 1997).
f. Substrat
Substrat keras sangat tepat untuk larva karang menempel dan tumbuh. Sifat substat yang keras larva karang mampu mempertahankan diri dari hempasan ombak dan arus yang kuat (Aldila, 2011).
13 Tabel 1. Kategori dan Persentase Tutupan Karang Hidup, Karang Mati, Karang Lunak, Pasir, dan Kerikil (Dahl, 1981)
No Kategori Nilai
1 Rusak 0 – 25 %
2 Sedang 25 - 50 %
3 Baik 50 – 75 %
4 Sangat Baik 75 – 100 %
Persentase tutupan terumbu karang metode sederhana dapat digunakan untuk memantau kondisi terumbu karang.Seiring perkembangan teknologi, saat ini telah digunakan metode baru untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang yaitu melalui pendekatan foraminifera bentik di sekitar terumbu karang tersebut, dengan menghitung FORAM (Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring) Indeks atau FI (Hallock et al, 2003).
B. Struktur Komunitas Plankton
14 organisme akuatik yang berbeda yaitu organisme fotosintetik atau
fitoplankton dan organisme non fotosintetik atau zooplankton.
1. Fitoplankton
Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopik (bersel tunggal, berbentuk filamen atau berbentuk rantai) yang menempati bagian atas perairan (zona fotik) laut terbuka dan lingkungan pantai. Nama fitoplankton diambil dari istilah Yunani, phyton atau "tanaman" dan “planktos” berarti
"pengembara" atau "penghanyut”. Walaupun bentuk uniseluler/bersel tunggal meliputi hampir sebagian besar fitoplankton, beberapa alga hijau dan alga biru-hijau ada yang berbentuk filamen (yaitu sel-sel yang berkembang seperti benang). Koloni diatom dan dan alga biru-hijau juga memproduksi rangkaian sel yang saling berhubungan. Organisme fotosintetik pelagis tidak semuanya bersifat mikroskopis, sebagai contohnya adalah alga multiseluler makroskopoik Sargassum spp, yang merupakan hasil biomasa utama di Laut Sargasso di Atlantik Utara. Selain digolongkan berdasarkan taksonominya, fitoplankton biasa digolongkan berdasarkan ukurannya (Grahame, 1987).
2. Zooplankton
15 energi dari fitoplankton ke nekton. Zooplankton dapat merespon
kurangnya oksigen terlarut dalam perairan, tingkatan nutrient, kontaminasi racun, kualitas makanan yang buruk ataupun kelimpahan makanan dan keberadaan predator. Selain itu, pertukaran massa air yang terjadi karena adanya arus, dapat diketahui dengan zooplankton sebagai indikator, yaitu dari biomassanya, kelimpahan dan komposisi jenisnya (Boston, 1985).
a. Ditribusi Horizontal
Distribusi fitoplankton secara horizontal lebih banyak dipengaruhi faktor fisik berupa pergerakan masa air. Sehingga, pengelompokan (pathciness) plankton lebih banyak terjadi pada daerah neritik terutama yang dipengaruhi estuaria dibandingkan dengan oseanik (Grahame, 1987). Faktor-faktor fisik yang menyebabkan distribusi fitoplankton yang tidak merata antara lain arus pasang surut, morfogeografi
setempat, dan proses fisik dari lepas pantai berupa arus yang membawa masa air ke pantai akibat adanya hembusan angin. Selain itu
16 b. Distribusi Vertikal
Distribusi vertikal plankton sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitasnya, selain kemampuan pergerakan atau faktor lingkungan yang mendukung plankton mampu bermigrasi secara vertikal. Distribusi fitoplankton di laut secara umum
menunjukkan densitas maksimum dekat lapisan permukaan (lapisan fotik) dan pada waktu lain berada di bawahnya. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi vertikal sangat berhubungan dengan dimensi waktu (temporal). Selain faktor cahaya, suhu juga sangat mendukung pergerakannya secara vertikal yang sangat berhubungan dengan
densitas air laut yang mampu menahan plankton untuk tidak tenggelam. Perpindahan secara vertikal ini juga dipengaruhi oleh kemampuannya bergerak atau lebih tepat mengadakan adaptasi fisiologis sehingga terus melayang pada kolom air. Perpaduan kondisi fisika air dan mekanisme mengapung menyebabkan plankton mampu bermigrasi secara vertikal sehingga distribusinya berbeda secara vertikal dari waktu ke waktu (Parsons dkk,1984).
Menurut Nybakken (1998) ada beberapa mekanisme mengapung yang dilakukan plankton untuk dapat mempertahankan diri tetap melayang dalam kolom air yaitu antara lain:
17 biasa dilakukan oleh Noctiluca dengan memasukkan amonium klorida (NH4Cl) ke dalam cairan tubuhnya.
2. Membentuk pelampung berisi gas, sehingga densitasnya menjadi lebih kecil dari densitas air. Contoh untuk jenis ini adalah ubur ubur 3. Menghasilkan cairan yang densitasnya lebih rendah dari air laut.
Cairan tersebut biasanya berupa minyak dan lemak. Mekanisme ini banyak dilakukan oleh diatom maupun zooplankton dari jenis copepoda
4. Memperbesar hambatan permukaan. Mekanisme ini dilakukan dengan mengubah bentuk tubuh atau membentuk semacam tonjolan/duri pada permukaan tubuhnya.
c. Distribusi harian dan musiman
18 Seperti dijelaskan tentang migrasi vertikal, setidaknya ada dua teori yang dapat menjelaskan mengapa plankton dapat bergerak secara vertikal. Pertama plankton terangkat oleh mekanisme pergerakan air yang disebabkan oleh perbedaan densitas. Pada siang hari saat air pada lapisan yang lebih dalam memiliki suhu yang relatif dingin
dibandingkan pada daerah lebih atas. Dalam kondisi demikian maka plankton akan terapung diatas lapisan tersebut. Pada malam hari lapisan bagian atas mulai mendingin sehingga plankton terangkat pada lapisan tersebut karena densitas plankton yang lebih rendah dari densitas air dan adanya mekanisme pergerakan yang dilakukan oleh plankton. Dengan pola migrasi tersebut maka plankton baik
fitoplankton maupun zooplankton akan terdistribusi secara tidak merata di perairan (Longhurst dan Pauly, 1987).
3. Reproduksi dan Siklus Hidup Plankton
Menurut Kennish (1990) dan Nybakken (1998) sebagian besar diatom melakukan reproduksi melalui pembelahan sel vegetatif. Hasil
pembelahan sel menjadi dua bagian yaitu bagian atas (epiteka) dan bagian bawah (hipoteka). Selanjunya masing-masing belahan akan membentuk pasangannya yang baru berupa pasangan penutupnya. Bagian epiteka akan membuat hipoteka dan bagian hipoteka akan membuat epiteka.
19 Dengan demikian ukuran individu-individu dari spesies yang sama tetapi dari generasi yang berlainan akan berbeda.
Reproduksi aseksual seperti ini menghasilkan sejumlah ukuran yang bervariasi dari suatu populasi diatom pada suatu spesies. Ukuran terkecil dapat mencapai 30 kali lebih kecil dari ukuran terbesarnya (Kennish, 1990). Tetapi proses pengurangan ukuran ini terbatas sampai suatu generasi tertentu. Apabila generasi itu telah tercapai diatom akan meninggalkan kedua katupnya dan terbentuklah apa yang disebut auxospore. Reproduksi antara zooplankton crustacea pada umumnya unisexual melibatkan baik hewan jantan maupun betina, meskipun terjadi partenogenesis diantara Cladocera dan Ostracoda. Menurut Parsons (1984) siklus hidup copepoda Calanus dari telur hingga dewasa melewati 6 fase naupli dan 6 fase copepodit. Perubahan bentuk pada beberapa fase naupli pertama terjadi kira-kira beberapa hari dan mungkin tidak makan. Enam pase kopepodit dapat diselesaikan kurang dari 30 hari (bergantung suplai makan dan temperatur) dan beberapa generasi dari spesies yang sma mungkin terjadi dalam tahun yang sama (yang disebut siklus hidup
20 4. Produktivitas Plankton
Produktivitas primer suatu sistem ekologi sebagai laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas fotosintesis dari produser atau organisme
(terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan pakan (Odum 1983). Untuk menghasilkan produksi primer, produser melakukan fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari yang ditangkap oleh pigmen-pigmen fotosintesis.
Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi
tanaman. Persamaan umum proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan hijau adalah sbb:
6CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2
Persamaan ini menunjukkan bahwa proses tersebut adalah sebuah reaksi reduksi-oksidasi. CO2 direduksi dan H2O dioksidasi (Fort, 1969; Valiela,
1984). Apabila produksi sekunder adalah produksi yang dihasilkan pada tingkat konsumer, maka produktivitas sekunder sebenarnya meliputi
banyak organisme pada tingkat konsumer seperti herbivora dan karnivora. Akan tetapi biasanya produktivitas sekunder dihitung berdasarkan
21 pertumbuhan biomassa sedangkan pendekatan energy budget mengukur komponen-komponen konsumsi, respirasi, dan ekresi. Permasalahan dalam menentukan produktivitas sekunder antara lain, perbedaan ukuran pada tiap individu menyebabkan jumlah individu/satuan volume berbeda antara satu jenis dengan jenis yang lain atau dalam jenis yang sama pada tahap siklus hidup yang berbeda. Sebagai contoh pada jenis Crustacea Calanus yang siklus hidupnya melewati 6 fase nauplii dan 6 fase
kopepodite dengan masing-masing berbeda ukuran maka jumlah individu per satuan volume dari tiap fase akan berbeda. Oleh karena itu diperlukan ada perbedaan dalam penghitungan untuk masing masing jenis
zooplankton (Nontji, 2002).
5. Peranan Plankton Dalam Ekosistem Laut
Pada ekosistem laut setidaknya ada tiga komponen organisme yang hidup di dalamnya bila diklasifikasikan berdasarkan kemampuan pergerakannya yaitu organisme planktonik, organisme nektonik, dan organisme bentik. Organisme planktonik meliputi organisme yang memiliki pergerakan lemah dan tidak mampu mempertahankan posisinya dari pergerakan arus air. Termasuk di dalamnya adalah plankton baik yang bersifat nabati (fitoplankton) maupun hewani (zooplankton). Organisme nektonik adalah organisme yang memiliki pergerakan yang kuat dan mampu
22 serta menghindari kondisi lingkungan yang tidak cocok bagi kehidupannya (Odum, 1983).
Organisme nektonik sebagian besar terdiri dari Pisces, Reptil, dan Cepalopoda. Sedangkan organisme bentik adalah organisme dengan pergerakan yang sangat terbatas oleh karena itu organisme ini banyak terdapat pada daerah bentik (dasar perairan). Organisme bentik umumnya dari jenis organisme yang hidup menancap, membuat lubang (burrowing) atau merayap di dasar perairan. Beberapa contoh organisme menancap misalnya lamun, karang, teritip, tiram, dan remis. Contoh organisme pembuat lubang antara lain Polychaeta sedentary, Chima, kerang, dan keong (Kennish, 1990).
23 Steeman-Nielsen (1975) menyatakan bahwa kurang lebih 95% produksi primer di laut berasal dari fitoplankton. Sebagai produser primer,
fitoplankton menduduki tingkatan terbawah pada piramida makanan yang mendukung seluruh kehidupan di laut. Fitoplankton berperan mentranfer energi matahari dan mendistribusikan energi tersebut pada organisme laut melalui rantai makanan. Apabila dilihat bentuk piramida makanan terlihat bahwa semakin ke atas ukuran individu bertambah sedangkan jumlah individu menurun. Sebaliknya jumlah fitoplankton jauh lebih besar dibanding zooplankton dan ikan tetapi ukurannya jauh lebih kecil (Djarijah, 1995).
Bahan organik hasil proses fotosintesis dapat dimanfaatkan oleh
24
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-September 2014 di Gosong Susutan sekitar wilayah perairan Teluk Lampung .
25 B. Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan alat selam dasar dan SCUBA untuk
membantu aktivitas penelitian di bawah air, depth meter untuk mengukur kedalaman, kamera bawah air untuk dokumentasi penelitian, alat tulis berupa sabak dan pensil, serta meteran untuk mengukur rapatan terumbu karang. Selain itu untuk mengetahui kondisi perairan dan jumlah plankton menggunakan alat berupa plankton net no.25, plastik, termometer,
botol/wadah plankton, sacchi disc, karet gelang, alumunium foil. Sedangkan bahan yang digunakan adalah alkohol 70%.
C. Metode Kerja
26 1. Penetapan Stasiun Pengamatan
Gosong Susutan merupakan salah satu gosong yang dikelilingi terumbu karang disetiap sisinya yang berada di wilayah teluk Lampung. Pada daerah Gosong ini dilakukan pengamatan untuk dilakukan survei potensi terumbu karang.Pada setiap jarak 100-200 meter dilakukan ‘manta-tow’ yaitu pengamatan secara visual pada area yang luas dengan waktu yang singkat untuk melihat keadaan di dasar perairan. Berdasarkan hasil survei
pendahuluan tersebut, diketahui bahwa terumbu karang banyak dijumpai di perairan ini. Untuk memudahkan pengamatan akan memilih beberapa lokasi terumbu karang untuk dijadikan stasiun pengamatan. Pemilihan ini didasarkan atas hamparan terumbu karang yang dianggap layak untuk dianalisis kondisinya. Koordinat stasiun pengamatan pengamatan
ditentukan dengan alat GPS (Global Positioning System). Titik koordinat tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Titik Kordinat Pengamatan Terumbu Karang di Gosong Susutan
Stasiun Pengamatan Koodinat
South East
I 05°39´05.4” 105°15´48.6” II 05°39´07.1” 105°15´55.5” III 05°38´59.5” 105°15´53.8”
2. Kriteria Kondisi Terumbu
27 kondisi tutupan terumbu karang dibedakan berdasarkan persen karang hidup, persen karang mati, dan persen karang lunak. Untuk kepentingan yang lebih rinci biota komunitas terumbu karang dibedakan menurut kategori-kategori yang berlaku di seluruh dunia.
3. Prosedur Pengamatan dan Analisis
Analisis kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metodeLIT (Line Intercept Transect). Pelaksanaan metode ini memerlukan unsur-unsur berikut ini.
- Meteran gulungan sepanjang 50 meter; - Alat tulis bawah air;
- Alat selam (SCUBA sets); - Kamera video bawah air.
4. Cara kerja sebagai berikut :
a. Keanekaragaman Jenis Plankton :
28 dilengkapi dengan “flowmeter” untuk mengukur volume air yang masuk kedalam jaring.
Kemudian masing-masing sampel diberi kertas label dan alkohol 70% sebanyak 3 tetes.
Selanjutnya sampel diamati di bawah mikroskop untuk diidentifikasi. b. Keanekaragaman Terumbu Karang :
Di atas hamparan terumbu karang dibuat garis transek sepanjang 100 meter dengan cara merentangkan pita meteran sejajar garis pantai pada kedalaman tertentu (5 m dan 10 m);
Setelah itu, dimulai dari stasiun pengamatan nol meteran garis transek, dilakukan pencatatan panjang tutupan setiap kategori objek yang dilalui garis meteran (dengan satuan cm);
Kategori objek didasarkan atas golongan zat penyusun objek tersebut (misalnya air, pasir, dan batu) atau berdasarkan bentuk hidupnya jika objek tersebut adalah karang atau hewan lain yang berasosiasi dengan terumbu karang;
29 D. Analisis Data
1. Penentuan Kemelimpahan Jenis Plankton
a. Untuk mengukur kelimpahan plankton dapat dihitung dengan
menggunakan metode Sedgwick Rafter (Odum, 1983), sebagai berikut:
N =
Keterangan :
N = Kemelimpahan (Ind/liter)
ns = Jumlah individu plankton pada SR
Va = Volume air yang terkonsentrasi dalam botol (30 ml) Vs = Volume air dalam preparat SR (1 ml)
Vc = Volume air sampel yang disaring (20 liter)
b. Untuk menghitung indeks keseragaman plankton yang dikemukakan oleh Daget (1976) sebagai berikut :
= H′
H′maks
Keterangan :
E = Indeks Keseragaman H’ = Indeks Keanekaragaman H maks = Ln S
30 dengan kriteria :
0 < E 0.5 : Komunitas tertekan 0.5 < E 0.75 : Komunitas labil E > 0.75 : Komunitas stabil
c. Indeks Keanekaragaman (H’) (Shanon-Weiner, 1949):
H′= Pi. Ln. Pi
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman
Pi = Jumlah individu spesies ke-i dibagi jumlah total individu Lnpi = Ln Jumlah individu spesies ke-i dibagi jumlah total individu
dengan kriteria :
H’ 2 : Keanekaragaman kecil 2< H’ 3 : Keanekaragaman sedang H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi
d. Indeks dominansi (D) (Krebs, 1989) :
31 Keterangan :
D : Dominansi Simpson
Pi : Jumlah individu spesies ke-i dibagi jumlah total individu
dengan kriteria :
0 < D 0.5 : Dominansi rendah 0.5< D 0.75 : Dominansi sedang 0.75< D 1 : Dominansi tinggi
2. Penentuan Keanekaragaman Jenis Terumbu Karang
Untuk mengetahui keragaman jenis terumbu karang pada setiap stasiun penelitian maka data yang diperoleh diidentifikasikan di Laboratorium Zoologi FMIPA Unila dengan menggunakan buku panduan identifikasi karang Veron (1993). Untuk memperkirakan kondisi lingkungan secara biologis maka dilakukan penghitungan Indeks Diversitas menggunakan rumus Shanon-Wienner, yaitu:
a. Indeks Keanekaragaman (H’) yang paling umum digunakan adalah indeks Shannon-Wiener dimana jumlah spesies diketahui (Krebs, 1989) rumus adalah sebagai berikut :
Keterangan :
H’ = Indeks Keanekaragaman
Pi = Jumlah individu spesies ke-i dibagi jumlah total individu
32 dengan kriteria :
H’ 2 : Keanekaragaman kecil 2 < H’ 3 : Keanekaragaman sedang H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi
b. Indeks Keseragaman (E), merupakan ukuran kesamaan individu dalam suatu komunitas (Daget, 1976), dengan rumus :
S
c. Indeks Dominansi (D), mengetahui jenis karang yang mendominasi, ataupun yang tertekan jumlahnya akibat adanya dominansi (Krebs, 1989), ditentukan dengan rumus :
ni
D = pi2
i=1
Keterangan :
D : Dominansi Simpson
33 dengan kriteria :
0 < D 0.5 : Dominansi rendah 0.5 < C 0.75 : Dominansi sedang 0.75 < D 1 : Dominansi tinggi
3. Penentuan Persentase Tutupan Terumbu Karang
Untuk menghitung persen tutupan terumbu karang di setiap stasiun penelitian, menggunakan rumus diversitas Shannon-Wiener (UNEP, 1993) yaitu :
Keterangan :
PC = Persen Tutupan (%)
ni = Panjang total kategori ke-i setiap transek (cm) n = Panjang total transek (cm)
Gambar 2. Metode Line Intercept Transect (LIT) yang dilakukan dalam pengambilan data (Saleh, 2013)
51
V. KESIMPULAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu ;
1. Keanekaragaman plankton berkisar 1,43-2,48 (rendah-sedang). Keseragaman plankton berkisar 0,6-0,91 (sedang-tinggi). Dominansi Plankton berkisar 0,1-0,42 (kecil). Sedangkan keanekaragaman terumbu karang berkisar 1,85-2,72 (rendah-sedang). Keseragaman terumbu karang berkisar 0,88-0,95 (tinggi). Dominansi terumbu karang berkisar 0,08-0,17 (kecil).
2. Kondisi terumbu karang di Gosong Susutan ini dapat dikategorikan sangat baik pada stasiun pengamatan I dengan persentase terumbu karang sebesar 90,58 % pada kedalaman 5 meter dan 70,03% pada kedalaman 10 meter. Sedangkan pada stasiun pengamatan II termasuk kategori rusak pada kedalaman 5 meter dengan persentase terumbu karang sebesar 15,33 % dan sedang pada kedalaman 10 meter dengan persentase terumbu karang sebesar 39,3 %. Pada stasiun pengamatan III termasuk kategori sedang pada kedalaman 5 meter dan 10 meter.
52 nilai regresi (r) = 0,7755. Jenis plankton yang paling banyak ditemukan di Gosong Susutan adalah Rhizosolenia sp.
B. Saran
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai ikan – ikan karang yang memiliki hubungan terhadap terumbu karang dan kemelimpahan plankton di Gosong Susutan. Sehingga diperoleh data dan informasi yang lengkap, serta dapat dilakukan rehabilitasi terumbu karang, seperti transplantasi terumbu karang, artificial reef, translokasi karang dan lainnya.
53
DAFTAR PUSTAKA
Aldila, A. 2011.Inventarisasi dan Kondisi Terumbu Karang Di Pulau Rimau Balak, Kandang Balak, Dan Prajurit Kec. Bakauheni, Lampung Selatan. Lampung: Unila.
Asdak, 2007. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Basmi, H.J. 1999. Planktonologi ; Bioekologi. Plankton-algae. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Hal 29-33
Boston, 1985. Zooplankton Community Analysis
Burke L., Selig E., Spalding M., 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara (Ringkasan untuk Indonesia), World Resources Institute, Amerika Serikat.
Charton, B dan J. Tietjen. 1989. Seas and Oceans. Collin. Glassglow and London.
Dahl, A.L. 1981.Coral reef monitoring handbook.South Pacific Commission Noumea, New Caledonia. 22p
54 Faliela, I. 1984. Marine Ecology Processis. Springer-Verlag. New York
Forti.G. 1969. Light Energy Utilization in Photosynthesis. In Goldman, C.R.
Grahame, J. 1987. Plankton and Fisheries. Edward-Arnold. Australia.
Gross, G. 1990. Oceanography : A view of the Earth. 5th edition.
Hallock, P; B.H. Lidz; E.M. Cockey-Burkhard and K.B. Donnelly 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring the Foram Index Environmental Monitoring and Assessment 81(1– 3):221–238.
Handayani, S. 2008. Hubungan Kuantiatif antara Fitoplankton dengan
Zooplankton di Perairan Waduk Krenceng Cilegon – Banten. Ilmu dan Budaya 8:13
Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries. Vol.II. Biological Aspect. CRC Press. Boston. Lewis, Jr. 1985. Zooplankton Community Analysis
Krebs, C. J. 1989. Ecologycal Methodology. Harper Collins Publisher, Inc. New York. P 357-367. Harper and Row Publisher. New York.
55 Mason C. F. (1981). Biology of freshwater pollution. London : Longman
Group Limited..250 p.
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey: Princeton University Press.
Nontji, Anugrah. 2002. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Romimohtarto, Kasijan, Sri Juana. 2005. Biologi Laut Tentang Biota Laut.
Jakarta: Djambatan
Nybakken, J.W. 1998. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa : H. M. Eidma, Koesbiantoro et el. Gramedia. Jakarta.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Saunders College Publishing. Philadelpia.
Parsons, T.R., M.Takahashi dan B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic
Putranto, S. 1997. Pengaruh Sedimntasi dan Limbah Terproduksi terhadap Komunitas Terumbu Karang Di Selat Sele, Serong-Irian Jaya.Institut Pertanian Bogor.
Razak, T, B dan K.L.M.A, Simatupang, 2005. Buku Panduan Pelestarian Terumbu Karang; Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Yayasan Terangi, Jakarta, 113 hal.
56 Saleh, A. 2013. http://karangrumpi.blogspot.com/2013/02/bagaimana
melakukan-survei-karang.html
Sarwono. Statistik Itu Mudah : Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009
Sawyer, C.N and Mc Carty, P.L. 1978. Chemistry for Environmental Engineering. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, Tokyo
Simpson EH. 1949. Measurement of diversity. Nature, 163: 688
Soekarno. 1983. Kandungan zooxanthellae pada karang batu di terumbu karang pulau pari. Oseanologi di Indonesia.
Suharsono. 1998. Kesadaran masyarakat tentang terumbu karang (kerusakan di Indonesia). LIPI. Jakarta.
Sunarto. 2002. Hubungan Intensitas Cahaya dan Nutrien dengan Produktivitas Primer Fitoplankton. Jurnal Akuatika. Vol. 2. No.1. Hal 24-48.
Steeman-Nielsen, E. 1975. Marine Photosinthesis with Emphasis on the Ecological Aspect. Elseiver Oceanography Series 13. Elseiver Sci. Publ. Co. Amsterdam.
57 UNEP. 1993. Monitoring Coral Reefs for Global Change. Reference Methods
for Marine Pollution Studies No. 61. Regional Seas
Wallace, C.C. and Wolstenholme, J. 1998. Revision Of The Coral Genus Acropora (Sclerentina: Astrocoeniina: Acroporidae) From Indonesia. Zool. J. Linnean Soc. 123: 199-384.