PENGGUNAAN HASIL UJI BALISTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
BERDASARKAN PASAL 184 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
(Skripsi)
Oleh
Martha Elvin Maika
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ……… 1
B.
Permasalahan dan Ruang Lingkup ……….
7
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ………. 7
D.
Kerangka Teoritis dan Konseptual ……….
8
E.
Sistematika Penulisan ……….
12
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Tentang Hukum Pembuktian ………..………
14
B.
Pengertian Alat Bukti ……….………
17
C.
Tinjauan Tinjauan Umum Tentang Uji Balistik Sebagai Pendekatan
Scientific Crime Investigation (SCI)
………...………. 21
D.
Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan ……….
26
III.
METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan Masalah ……….…………..………..
30
B.
Sumber dan Jenis Data ……….…………..………..
30
C.
Penentuan Populasi dan Sampel ...
31
D.
Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ….…..…….………..
32
A.
Karakteristik Responden ……….………..…………
34
B.
Hasil Uji Balistik Dapat Dijadikan Sebagai Alat Bukti Dalam
Perkara Tindak Pidana Pembunuhan ………...…...…..
35
C.
Kekuatan Pembuktian Hasil Uji Balistik Yang Digunakan
Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan Kasus Pembunuhan
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP ………...
41
V.
PENUTUP
A.
Kesimpulan ………..……….
53
B.
Saran ……….………
54
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1993. Kriminalistik : Pengetahuan Tentang Teknik dan Taktik Penyidikan. Angkasa. Bandung.
Anwar, H.A.K Moch., 2009, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, Cet. V Citra Aditya Bakti, Bandung.
Bassar, M. Sudrajat, 2004, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, Remadja Karya, Bandung.
Bronger, W.A., 2007, Pengantar Tentang Kriminologi, Cet. IV, Pustaka Sarjana, Jakarta.
Edy Nathan, 2009, Antasari Azhar Dalang atau Korban? Konspirasi Penghancuran KPK!. Best Publisher, Yogyakarta.
Hamzah, Andi, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka Kartini. Jakarta.
Lamintang, P.A.F.,2005, Hukum Pidana Indonesia, Cet II, Sinar Baru, Bandung.
Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 2002, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.
Soekanto, Soerjono, 2010, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sasangka, Hari, dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Alumni. Bandung.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya dinamika masyarakat modern yang ditandai dengan berkembangnya
hasil-hasil teknologi, ternyata berdampak sosiologis yang bersifat regional,
nasional bahkan internasionalpun semakin komplek. Namun disamping
memberikan dampak perubahan yang bersifat positif, tak kalah pentingnya
dinamika masyarakat modern yang semakin mengglobal itu, ternyata
menghasilkan pula dampak negatif berupa kejahatan semakin terstruktur dari segi
metode dan jaringannya.
Tindak pidana terstruktur yang terorganisir secara rapi biasanya melibatkan
banyak pihak yang mempunyai peran masing-masing yang sangat berhubungan
dan menentukan hasilnya agar sesuai dengan yang telah direncanakan. Tidak
dapat dipungkiri pula bahwa tindak pidana yang terstruktur dan terorganisir serta
melibatkan banyak pihak tersebut dapat menghabiskan cost yang tidak sedikit
sebagai operational cost sehingga tidak jarang melibatkan para pihak yang
mempunyai kedudukan dan harta yang berlimpah.
Perkembangannya tindak pidana dengan menggunakan senjata api banyak sekali
menggunakan teknologi yang canggih dan seorang ahli yang berkompeten di
bidang balistik untuk mengungkapkan kebenaran materiil dalam persidangan dari
tindak pidana dengan menggukan senjata api. Teknologi canggih di bidang
balistik tersebut diperuntukkan untuk menguji senjata api dan mendapatkan data
yang akurat berkaitan dengan senjati api yang digunakan untuk selanjutnya dapat
disampaikan oleh ahli yang berkompeten di bidang Balistik tersebut di dalam
persidangan. Dalam upaya mencari dan mengumpulkan bukti dalam proses
penyidikan, penyidik diberi kewenangan seperti yang tersirat dalam Pasal 7 ayat
(1) huruf h KUHAP yang menyatakan bahwa mendatangkan orang ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara dan Pasal 120 ayat
(1) KUHAP menyatakan dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Pengertian mendatangkan para ahli/memiliki keahlian khusus tersebut salah
satunya dapat dipenuhi oleh Laboratorium Forensik, yang dalam hal ini sesuai
dengan Keputusan Kapolri No : Kep/22/VI/2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang
perubahan atas Keputusan kapolri No. Pol. : KEP/30/VI/2003 tanggal 30 Juni
2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia lampiran ”G” Bareskrim
Polri Laboratorium Forensik mempunyai tugas membina dan melaksanakan
kriminalistik/forensik sebagai ilmu dan penerapannya untuk mendukung
forensik, toksiologi forensik, fisika forensik, ballistik forensic serta fotografi
forensic.1
Balistik forensik sangat berperan dalam melakukan penyidikan kasus tindak
kriminal dengan senjata api dan bahan peledak. Seorang balistik forensic meneliti
senjata apa yang telah digunakan dalam kejahatan tersebut, berapa jarak dan dari
arah mana penembakan tersebut dilakukan, meneliti apakah senjata yang telah
digunakan dalam tindak kejahatan masih dapat beroperasi dengan baik, dan
meneliti senjata mana yang telah digunakan dalam tindak kriminal tersebut.
Pengujian anak peluru yang ditemukan di TKP dapat digunakan untuk merunut
lebih spesifik jenis senjata api yang telah digunakan dalam kejahatan tersebut.
Pada bidang ini memerlukan peralatan khusus termasuk miskroskop yang
digunakan untuk membandingkan dua anak peluru dari tubuh korban dan dari
senjata api yang diduga digunakan dalam kejahatan tersebut, untuk
mengidentifikasi apakah memang senjata tersebut memang benar telah digunakan
dalam kejahatan tersebut. Dalam hal ini diperlukan juga mengidentifikasi jenis
selongsong peluru yang tertinggal. Dalam penyidikan ini analisis kimia dan fisika
diperlukan untuk menyidikan dari senjata api tersebut, barang bukti yang
tertinggal.
Adanya suatu laboratorium forensik untuk keperluan pengusutan kejahatan
sangatlah diperlukan. Laboratorium forensik sebagai alat Kepolisian, khusus
membantu Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas-tugas
penegakan hukum. Laboratorium forensik mempunyai tanggung jawab dan tugas
1
yang sangat penting dalam membantu pembuktian, khususnya BALMETFOR
(Balistik dan Metalurgi Forensik) POLRI yang menangani barang-barang bukti
fisik dari kejahatan dengan menggunakan senjata api. Usaha-usaha untuk lebih
meratakan pemeriksaan ilmiah barang bukti, yaitu dengan adanya cabang-cabang
Laboratorium Forensik di Surabaya, Medan, Palembang, Semarang, Denpasar dan
Ujung Pandang. Dengan demikian apabila Hasil Uji Balistik itu di dapatkan maka
kebenaran materiil akan terungkapkan.
Seperti kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Pada tanggal 14 Maret 2009,
terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan Tanah Air. Direktur Putra Rajawali
Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen tewas ditembak orang yang tidak dikenal dengan
dua peluru bersarang dikepalanya setelah 22 jam dirawat di RSPAD Gatot
Subroto. Setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan kasus besar ini
melibatkan 9 orang tersangka yang berperan dilapangan dan 3 orang tersangka
dari kalangan Pejabat Tinggi yang telah dinyatakan sebagai aktor behind the scene
baik sebagai penyokong dana maupun sebagai aktor intelektual. Adapun ketiga
Pejabat Tinggi yang dinyatakan sebagai tersangka oleh Hakim Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yaitu Sigit Haryo Wibisono (Komisaris Utama PT. Pers
Indonesia Merdeka), Kombes Pol. Williardi Wizar (POLRI), dan Antasari Azhar
(Ketua KPK). Dari ketiga nama Pejabat Tinggi tadi yang diduga oleh Hakim
Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan sebagai aktor intelektualnya adalah Antasari
Azhar yang pada saat sebelum kasus pembunuhan tersebut memegang jabatan
sebagai Ketua KPK.2
2
Pembunuhan Dirut PT. Putra Rajawali banjaran Nasrudin Zulkarnaen ternyata
menghabiskan dana yang tidak sedikit. Pihak yang terlibat dan mendalangi
eksekusi itu menyiapkan uang sebesar Rp. 10 Millar untuk menghabisi Nasrudin.
Pengacara Nasrudin, Boenyamin menuturkan eksekutor dilapangan akan dibayar
Rp. 500 juta, tapi baru dibayar Rp. 250 juta. Sementara total anggaran untuk
melenyapkan Nasrudin mencapai Rp. 10 Miliar.3
Beberapa kasus kejahatan lainnya yang menggunakan senjata api antara lain kasus
kejatahatan perampokan Bank CIMB Niaga cabang Medan dan kejahatan
perampokan toko emas di daerah Tebet. Ada kesamaan diantara dua kasus
kejahatan perampokan dengan menggunakan senjata api tersebut yaitu kejahatan
tersebut dilakukan dengan senjata api dan dilakukan secara berkelompok,
terorganisir, dan dilakukan dalam waktu yang singkat dengan tujuan untuk
meminimalisir jejak kejahatan yang tertinggal di tempat kejadian dengan asumsi
agar perbuatan yang dilakukan oleh para perampok tersebut dapat menyulitkan
pihak yang berwajib untuk mengendus pergerakan para perampok tersebut. Dilain
kesamaan tersebut terdapat juga perbedaannya yaitu bahwa kejahatan perampokan
dengan menggunakan senjata api di Bank CIMB Niaga cabang Medan dilakukan
oleh orang-orang yang terlatih menggunakan senjata. Hal tersebut terbukti dengan
jenis senjata yang digunakan merupakan jenis senjata mesin otomatis M-16 dan
AK-47 yang banyak digunakan oleh para aparat penegak hukum di Indonesia
seperti Polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam kasus perampokan
Bank CIMB Niaga cabang Medan tersebut diduga ada keterlibatan teroris
kelompok Abu Tholut yang sempat menggelar latihan di daerah Aceh yang
3
sedang membutuhkan dana besar untuk melancarkan kegiatan terorisme di Negara
Indonesia berikutnya.
Permasalahan mengenai pembuktian untuk kasus kejahatan dengan menggunakan
senjata api merupakan suatu hal yang penting untuk dikaji lebih dalam
dikarenakan perkembangan kejahatan dengan menggunakan senjata api begitu
pesat dan teknologi yang digunakan semakin canggih serta cara yang dilakukan
para pelaku kejahatan begitu terorganisir dan cepat sehingga menjadi tantangan
tersendiri bagi pihak yang berwenang dalam mengungkapkan dan membuktikan
kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan senjata api tersebut.
Adanya kajian mengenai uji balistik ini dapat diketahui cara mengungkapkan dan
membuktikan kejahatan dengan menggunakan senjata api dengan metode dan data
yang akurat untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan.
Sebaliknya, jika kajian tentang uji balistik ini tidak dilakukan maka sulit untuk
mengetahui tindakan-tindakan apa saja yang diambil oleh pihak yang berwenang
dalam mengungkapkan dan membuktikan suatu kejahatan yang dilakukan dengan
senjata api sehingga para pelaku kejahatan dengan senjata api akan semakin
merajalela dan mengganggu ketentraman dan kenyamanan lingkungan
masyarakat.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk
menelitinya dan menyusunnya kedalam penulisan hukum dengan judul
“Penggunaan Hasil Uji Balistik Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak
Pidana Pembunuhan Berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
a. Apakah hasil uji balistik dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara
tindak pidana pembunuhan?
b. Bagaimana kekuatan pembuktian hasil uji balistik yang digunakan sebagai alat
bukti dalam persidangan kasus pembunuhan berdasarkan Pasal 184 KUHAP?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Adapun lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah bagian dari kajian
Hukum Pidana. Sedangkan lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya
terbatas pada hasil uji balistik dalam konsepsi alat bukti berdasarkan Pasal 184
KUHAP dan kekuatan pembuktian hasil uji balistik yang digunakan sebagai alat
bukti dalam persidangan kasus pembunuhan berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian pastilah mempunyai tujuan, dimana tujuan-tujuan yang
hendak dipakai penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a. Hasil uji balistik dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara tindak
pidana pembunuhan.
b. Kekuatan pembuktian hasil uji balistik yang digunakan sebagai alat bukti
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana mengenai hasil
uji balistik dalam konsepsi alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada
Praktisi Hukum dan masyarakat khususnya mengenai kekuatan pembuktian
hasil uji balistik yang digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan kasus
pembunuhan berdasarkan Pasal 184 KUHAP.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori
pembuktian serta beberapa teori tujuan pemidanaan yang juga mnecakup teori
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis dalam perkara pidana.
Secara teoritis mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan dalam proses
persidangan sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno yaitu:
“…..maka dalam usaha pencapaian proses peradilan pidana Indonesia secara terpadu, pembuktian dalam proses di persidangan merupakan salah satu masalah urgen untuk diperhatikan. Oleh sebab itu, dalam menjatuhkan vonis maka hakim harus dapat memperhatikan beberapa dasar pertimbangan untuk memberikan sanksi pidana”.4
4
Berdasarkan pemaparan tersebut, pembuktian merupakan kekuatan-kekuatan yang
berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga
merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang dan yang boleh dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang
didakwakan.5
Berkaitan dengan hal itu, hukum pembuktian merupakan suatu persoalan tentang
bagaimana untuk mencari atau mendapatkan kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa tertentu sehingga tercapai suatu kebenaran yang
materil atau setidak-tidaknya mendekati pada kebenaran yang sempurna. Menurut
Wirjono Prodjodikoro menyatakan kebenaran dari suatu peristiwa adalah sebagai
berikut :
“kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu yang sudah lampau, oleh karena roda waktu didunia tidak mungkin diputar kembali maka seorang hakim didalam meyakini kebenaran dari suatu peristiwa haruslah dengan kepastian seratus persen. Untuk mendapatkan keyakinan tersebut hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu. Alat-alat tersebut dapat berupa tanda-tanda yang terwujud benda atau barang atau juga ingatan-ingatan orang orang yang mengalami keadaan itu”.6
Berdasarkan pemaparan di atas maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah
suatu proses beracara yang telah diatur oleh undang-undang dalam mencari suatu
kebenaran yang sejati dari suatu tindak pidana yang telah terjadi.
5
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid 2 (Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan Kembali). Sinar Grafika. Jakarta, 1993, hlm. 793.
6
Berkaitan dengan hal itu, menurut Van Bukkelen, menyatakan bahwa
membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk)
tentang:
a. Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi;
b. Apa sebabnya demikian halnya.7
Senada dengan pengertian di atas, Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan
bahwa membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan
kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran
peristiwa tersebut.8
Berkaitan dengan hal di atas, sistem pembuktian yang dianut KUHAP Pasal 183
KUHAP mengatur, menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk
menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa harus:
a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
b. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim
memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Adapun Alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP ayat (1) adalah
sebagai berikut :
a. Keterangan saksi.
b. Keterangan ahli.
c. Surat.
7
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm. 80. 8
d. Petunjuk.
e. Keterangan terdakwa.
Sehubungan dengan hal itu, alat bukti merupakan segala sesuatu yang ada
hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut,
dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan
hakim atas kebenaran atas suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa.9
Kedudukan Hasil Uji Balistik dalam konsepsi alat bukti tidak disebutkan secara
langsung dalam Pasal 184 KUHAP dan juga tidak diatur secara khusus dalam
jenis peraturan lainnya. Oleh karena itu, Hasil Uji Balistik dari Laboratorium
Forensik bidang BALMETFOR (Balistik dan Metalurgi Forensik) dalam
konsepsinya sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP dapat dikualifikasikan
kedalam jenis alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat, atau alat bukti petunjuk
dengan ketentuan dalam keadaan bagaimana Hasil Uji Balistik tersebut diajukan
sebagai alat bukti.
2. Konseptual
Berdasarkan judul akan diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :
a. Pembuktian adalah kekuatan-kekuatan yang berisi penggarisan dan pedoman
tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan
9
yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh
dipergunakan oleh hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.10
b. Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu
perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai
bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran atas
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.11
c. Balistik adalah ilmu mengenai gerakan, sifat, dan efek dari proyektil,
khususnya peluru, bom grafitasi, roket, dan lain-lain juga bisa diartikan
sebagai ilmu atau seni merancang dan mengerakkan proyektil untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan.12
d. Uji balistik adalah uji perilaku dan efek dari proyektil, khususnya peluru ,bom,
roket , atau sejenisnya untuk melihat kinerja dari proyektil.13
e. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum
yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai
dengan perundang-undangan.14
f. Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan
atau beberapa orang, yang mengakibatkan beberapa orang meninggal dunia.15
E. Sistematika Penulisan Hukum
Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 5 (lima) bab yang saling
berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah
sebagai berikut :
10
Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 793 11
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit., hlm. 11.
12 http://www.alatuji.com/kategori/166/balistik diakses 23 November 2012 13
www.testindo.com/Integrated/Online/Monitoring/Military diakses 23 November 2012 14
Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 25 15
I. PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan hukum.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka
teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum
tentang tindak pembunuhan.
III. METODE PENELITIAN
Pada bab ini memuat metode yang digunakan dalam penulisan yang menjelaskan
mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan
masalah, yaitu mengenai kedudukan hasil uji balistik dalam konsepsi alat bukti
berdasarkan Pasal 184 KUHAP dan kekuatan pembuktian hasil uji balistik yang
digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan kasus pembunuhan berdasarkan
Pasal 184 KUHAP.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisi simpulan yang
diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Hukum Pembuktian
Secara umum tujuan acara pidana untuk mendapatkan kebenaran tentang
terjadinya suatu tindak pidana. Disamping itu acara pidana juga bertujuan untuk
mengatasi kekuasaan para penegak hukum dan melindungi terdakwa dari
tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan oleh hukum. Namun suatu permasalahan
yang amat penting tetapi juga amat sukar ialah bagaimana hakim dapat
menetapkan hal adanya kebenaran itu. Permasalahan ini adalah pembuktian dari
hal sesuatu peristiwa.15
Komposisi dalam hukum acara pidana yang berkewajiban membuktikan bahwa
telah terjadi tindak pidana dan terdakwa pelakunya adalah Jaksa Penuntut Umum
dengan mengemukakan alat bukti yang sah yang telah diakui oleh
Undang-Undang, dengan minimal dua alat bukti yang sah, demikian KUHAP, barulah
hakim diperbolehkan untuk memberikan penilaian dalam rangka mendapatkan
keyakinan untuk memutuskan suaru perkara pidana. Sehubungan dengan hal itu,
untuk lebih memperjelas hal di atas ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP
menjelaskan bahwa:
15
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali dengan
sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 di atas, KUHAP hanya menentukan minimal
batas alat bukti yang berarti hakim baru dibolehkan memberikan penilaian untuk
mendapatkan keyakinan apabila minimal ada dua alat bukti yang sah. Sedangkan
batas maksimal tidak ada, yang berarti tidak ada keterikatan bagi hakim untuk
memberikan keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah
pelakunya walaupun penuntut umum mengemukakan lebih dari dua alat bukti
yang sah menurut Undang-Undang, namun demikian ketidak keterkaitan ini tidak
berarti KUHAP memberikan kebebasan tanpa batas kepada hakim untuk tidak
memberikan keyakinan, hal ini karena di dalam Pasal 182 Ayat (5) KUHAP
djelaskan bahwa: “Dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta
alasannya”. Selanjutnya Pasal 199 huruf b KUHAP menjelaskan bahwa:
“Pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala ketentuan
hukum, dengan menyebutkan alasan dan peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar putusan”.16
Menelaah kedua Pasal di atas serta menghubungkannya dengan sistem
pembuktian yang negatif sebagaimana dianut oleh KUHAP, maka dapat diketahui
bahwa dalam hal pembuktian hakim dibolehkan untuk tidak meyakini alat-alat
16
bukti yang dikemukakan oleh jaksa penuntut umum, dengan ketentuan hakim
harus menyebutkan alasan ketidak yakinannya itu serta pasal peraturan
perundang-undang yang menjadi dasar putusan. Apapun yang telah ditentukan
oleh Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman serta sistem pembuktian yang negatif
dalam KUHAP, tidak lain tujuan nya agar keputusan hakim yang mengandung
pemidanaan betul-betul sesuai dengan kenyataan, dalam arti betul-betul telah
terjadi tindak pidana dan terdakwa pelakunya, dengan kata lain tidak terjadi
penghukuman terhadap orang terhadap orang yang tidak bersalah dalam hal ini
hokum acara pidana mengakui pendapat yang menyatakan bahwa “lebih baik
melepaskan seratus orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang
tidak bersalah”.17
Sehubungan dengan hal tersebut, acara pidana sebetulnya hanya merupakan jalan
untuk mendapatkan kebenaran yang sejati yang intinya adalah pembuktian, maka
dalam acara pidana dikenal tiga bagian hukum pembuktian, yaitu:
a. Penyebutan alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim untuk mendapatkan
gambaran dari peristiwa pidana yang sudah lampau.
b. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti dipergunakan.
c. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.18
Ketiga macam hukum pembuktian di atas akan dibahas dalam uraian tentang
petunjuk sebagai alat bukti yang sah dalam dalam perkara pidana sebagai
pencapaian proses peradilan pidana Indonesia secara terpadu.
17
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Pustaka Kartini. Jakarta. 1993. Hlm 73.
18
B. Pengertian Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,
dimana alat-alat tersebut, dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang
telah dilakukan oleh terdakwa. Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menjelaskan
tentang apa saja kah yang menjadi bukti yang sah menurut Hukum Formil ini.
Ditegaskan bahwa Alat bukti yang sah ialah :
1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat,
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.
Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan satu persatu berdasarkan teori hukum yang
Penulis pelajari.
a. Keterangan saksi
Saksi adalah setiap orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan
mengalami sendiri tentang suatu tindak pidana. Agar suatu keterangan saksi atau
kesaksian dapat dianggap sah dan memilki kekuatan pembuktian, maka harus
dipenuhi ketentuan sebagai berikut:
1) Merupakan keterangan atas suatu peristiwa pidana yang telah saksi lihat,
dengar atau alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
tersebut (pengertian “‘keterangan saksi” berdasarkan Pasal 1 butir 27
2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup tanpa disertai oleh alat bukti yang
sah lainnya.
3) Bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh sebagai hasil dari
pemikiran.
4) Harus diberikan oleh saksi yang telah mengucapkan sumpah.
5) Harus diberikan di muka sidang pengadilan .
6) Keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri dapat digunakan sebagai alat bukti
bila keterangan tersebut bersesuaian satu sama lain sehingga dapat
menggambarkan suatu kejadian tertentu.19
Untuk menilai kebenaran atas keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti, maka
hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dan mempertimbangkan
hal-hal berikut :
1) Kesesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya.
2) Kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
3) Alasan saksi dalam memberikan keterangan tertentu.
4) Cara hidup dan kesusilaan serta hal-hal lain yang pada umumnya
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan tersebut dipercaya.20
b. Keterangan ahli
Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memilki keahlian khusus mengenai suatu hal yang diperlukan guna membuat
terang suatu perkara pidana demi kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli harus
dinyatakan dalam sidang pengadilan dan diberikan dibawah sumpah (Pasal 186
19
Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 793 20
KUHAP). Selain itu, keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu
pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum dan dituangkan dalam suatu
bentuk laporan (Pasal 133 jo penjelasan Pasal 186 KUHAP).21
Visum et repertum merupakan alat bukti yang dikatakan memiliki dualisme
sebagai alat bukti dimana visum menyentuh dua sisi alat bukti yang sah menurut
undang-undang; yaitu keterangan ahli dan surat. Visum sebagai alat bukti
keterangan ahli merupakan bentuk dari keterangan ahli yang diberikan pada waktu
penyidikan dan dituangkan dalam bentuk laporan (sebagaimana ditegaskan dalam
penjelasan Pasal 186 KUHAP).22
c. Surat
Surat sebagai alat bukti yang sah harus dibuat atas sumpah jabatan dan dikuatkan
dengan sumpah. Dalam Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas bentuk-bentuk
surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu:
1) Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu kejadian yang
didengar/dilihat/dialami sendiri disertai alasan yang jelas mengenai keterangan
tersebut.
2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangan atau yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya.
3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat keterangan berdasarkan
keahliannya mengenai suatu hal yang dimintakan secara resmi kepadanya.
21
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 102 22
4) Surat lain yang berhubungan dengan alat bukti yang lain.
Alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan memiliki kekuatan
mengikat bagi hakim (volledig en beslissende bewijskracht). Namun demikian,
kesempurnaan dan kekuatan mengikat tersebut hanyalah secara formal. Pada
akhirnya, keyakinan hakimlah yang menentukan kekuatan pembuktiannya.
Berdasarkan keterangan tersebut, visum et repertum juga dapat digolongkan
sebagai alat bukti surat yaitu surat keterangan seorang ahli atas suatu hal yang
dibuat berdasarkan keahliannya, dan dimintakan secara resmi kepadanya oleh
penyidik.
d. Petunjuk
Petunjuk adalah suatu “isyarat” yang dapat ditarik atas suatu perbuatan atau
kejadian atau keadaan yang bersesuaian, sehingga menandakan telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh secara terbatas
dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Pada umumnya, alat bukti
petunjuk baru diperlukan bila alat bukti yang lain belum dianggap hakim cukup
membuktikan kesalahan Terdakwa.23
e. Keterangan Terdakwa
Keterangan Terdakwa dapat diberikan di dalam dan diluar sidang. Yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang adalah keterangan
Terdakwa di hadapan sidang. Keterangan yang diberikan diluar sidang dapat
23
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang; selama didukung oleh
suatu alat bukti yang sah lainnya.24
Adapun keterangan Terdakwa sebagai alat bukti, tanpa disertai oleh alat bukti
lainnya, tidak cukup untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Hal ini merupakan
ketentuan beban minimum pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183
KUHAP, yaitu dua alat bukti yang sah menurut undang-undang.
C. Tinjauan Umum Tentang Uji Balistik Sebagai Pendekatan Scientific Crime Investigation (SCI)
Apakah itu ilmu balistik ? Ilmu balistik itu juga dibagi dalam beberapa bagian
yaitu Balistik dalam, Balistik Luar Dan Balistik Akhir. Adapun Pengertian dari
masing masing adalah :
a. Balistik Dalam
Pengertian balistik dalam. Balistik dalam adalah suatu ilmu yang mempelajari
semua kejadian proyektil pada saat amunisi mulai dinyalakan (premer mulai
dipukul) sampai pada saat proyektil keluar dari mulut laras.25 Adapun hal- hal
yang terjadi selama proses perjalanan proyektil menuju mulut laras adalah
meliputi hal-hal antara lain : Proses pembakaran isian dorong mulai primer
membakar propelan sampai propelan habis terbakar, tekanan gas yang dihasilkan
digunakan untuk melepas proyektil dari kelongsong dan untuk menggerakan
proyektil. Yang mempunyai proses perjalanan proyektil adalah adanya alur dan
galangan yang menyebabkan tejadinya hambatan yang lebih besar dan perputaran
proyektil, bentuk alur dan galangan apakah progesif, degresif ataupun campuran
24
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 105 25
dan juga panjang laras akan berpengaruh terhadap kecepatan mulut laras
proyektil.
b. Balistik Luar
Balistik luar adalah sebagian dari ilmu balistik yang hanya mempelajari lintasan
peluru setelah meninggalkan laras. Batas antara balistik dalam dan balistik luar
dimulai pada saat peluru meninggalkan laras. Kaliber adalah adalah istilah yang
dipergunakan untuk menyebut ukuran diameter dari peluru.Di Amerika Serikat
umumnya diukur pada seperseratus inchi, peluru berukuran diameter = 0,32 inchi
adalah disebut peluru kaliber 32. Di Eropah ukuran metrik yang pergunakan untuk
peluru kaliber 32 akan disebut peluru7,65 mm.26
c. Balistik Akhir
Balistik akhir adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang pola atau bentuk
tingkah laku dari suatu peluru atau proyektil dan pecahannya (fragmentasi) pada
suatu perkenaan (sasaran) serta tentang efek dari perkenaannya, tetapi bukan
berbicara tentang pengaruh luka yang diakibatkan oleh unsur kimia atau racun.
Pada perkenaan (sasaran) nantinya kita banyak berhubungan dengan bagaiman
menentukan kemungkinan kena (Probability of Hit) dan menghitung tentang
kemungkinan membunuh (Probability of Kill) dari peluru yang ditembakan ke
perkenaan (sasaran) tersebut sehingga di dalanm balistik akhir nantinya kita
banyak sekali berhubungan dengan penggunaan pelajaran statistik seperti
penggunaan rumus untuk menghitung nilai rata-rata , nalai standart deviasi
(simpangan baku) dan menghitung titik kena rata-rata (TKRR) terhadap bidang
26
Horizontal dan Vertikal serta penggunaan beberapa Distribusi statistik lainnya
(Distribusi Normal, Distiribusi Binomial dan Distribusi F).
Hal-hal lain yang berhubungan dengan balistik akhir juga akan kita pelajari seperti
menghitung energi dari pacahan (fragmentasi) dari munisi khusus (granat, mortir
dan lainnya) dan juga akan kita pelajari tentang perhitungan daya tembus terhadap
suatu perkenaan berupa sararan baja serta permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan ketelitian tembaknya.27
Balistik adalah ilmu yang mempelajari gerakan proyeksi dari proyektil.Dalam arti
yang lebih luas lagi dikalangan militer balistik adalah mempelajari gerakan
proyektil, gerakan roket, gerakan bom dan sebagainya. Dalam prosesnya balistik
dalam dibagi menjadi tiga periode yaitu:
1) Periode Pertama
2) Periode Kedua (adiabatic)
3) Periode ketiga (setelah desakan gas dalam laras).28
Periode pertama dimulai saat peluru mulai bergerak dan berahir pada saat
pembakaran bahan pendorong selesai. Periode kedua mulai dari saat ahir
pembakaran bahan pendorong dan akan berahir pada saat peluru meninggalkan
ujung laras. Periode ketiga dimulai saat peluru meninggalkan laras dan berahir
pada jarak kira kira 50 meter dari ujung laras.Dalam periode ini tekanan akan
terus bertambah kecil sehingga menjadi nol, tetapi kecepatan akan terus
bertambah besar dan akan mencapai harga maksimum pada saat tekanan sama
27
http://ilmuballistik.blogspot.com Diakses 1 November 2012 28
dengan nol. Kecepatan inilah yang kita pergunakan sebagai kecepatan awal pada
tabel penembakan.29
Scientific Crime Investigation (SCI) disebut juga dengan penyidikan secara
ilmiah, sedangkan divisinya disebut Scientific Crime Investigation Division
(SCID) atau Laboratorium Kriminal. SCID dibagi menjadi tiga bagian yaitu The
Support Section (Bagian Penyokong), The Criminalistics Section (Bagian
Kriminalistik), dan The Crime Scene Section (Bagian Olah TKP). The Support
Section (Bagian Penyokong) terdiri dari beberapa sub unit sebagai berikut :
a. Unit Diteksi Pemalsuan, Pemusnahan dan Perubahan Dokumen serta
membandingkan dan mengidentifikasi tulisan tangan
b. Unit Senjata Api meliputi Unit Penanganan Senjata Api yang
bertangungjawab untuk menguji semua senjata api yang dimiliki oleh
Kepolisian kedalam sebuah tangki balistik yang dirancang khusus dan Unit
Pemeriksaan Senjata Api dimana para ahli diarahkan untuk membandingkan
peluru dengan casing untuk diidentifikasi. Bagian Senjata Api bekerjasama
secara reperesentatif dengan pemasok alkohol, tembakau, senjata api dan
bahan peledak atau dalam istilah asingnya Bereau of Alcohol, Tobacco,
Firearms & Explosives (ATF).
c. Integrated Ballistic Identification System (IBIS) Unit atau Sistem Identifikasi
Balistik Terpadu dimana dilakukan uji tembak dan mengumpulkan bukti
senjata api yang dimasukkan kedalam database nasional untuk pencarian dan
perbandingan. New Orleans Polis Departement Integrated Balistic
Identification System (NOPD IBIS) telah diakui oleh ATF sebgai salah satu
29
unit yang paling produktif dan paling sukses di negaranya yaitu Amerika
Serikat.
d. The Forensic Light Unit Processes atau Unit Proses Penerangan Forensik
yaitu unit yang mengajukan bukti sidik jari pelaku, semua kendaraan yang
digunakan dalam pembunuhan, penembakan, pemerkosaan, oknum-oknum
perwira yang mungkin terlibat dan menyediakan peralatan canggih yang
digunakan dalam olah TKP.
e. Unit Video dan Unit Komputerisasi Forensik, menggunakan teknologi terbaru
dalam memproses bukti elektronik. Dalam Unit Video, video keamanan
ditingkatkan untuk membantu penyelidikan dan jika diperlukan dapat
digunakan untuk mendistribusikan informasi kepada media. Sedangkan Unit
Komputerisasi Forensik akan menangani pemulihan bukti dari computer dan
media digital lainnya seperti ponsel.
f. Unit Fotografi, mengembangkan semua foto yang diambil oleh Bagian Olah
TKP dan memberikan bukti foto penting untuk penyelidikan.30
Bagian kedua dari Laboratorium Kriminal adalah Bagian Kriminalistik yang
terdiri dari beberapa sub unit sebagai berikut :
a. Unit Laboratorium Kimia & Obat-Obatan Terlarang, memproses bukti adanya
bahan-bahan yang terlarang mulai dari ganja hingga obat resep. Analisis
dalam bagian ini menggunakan kombinasi bahan kimia, mikroskopis, dan uji
instrumental.
b. Unit Serology/DNA, mengidentifikasi cairan tubuh pada bukti yang
disampaikan dan atas permintaan, mengumpulkan dan mempersiapkan sampel
30
untuk analisis DNA lebih lanjut. Dalam analisis jejak, rambut, serat dan bukti
lainnya yang berhubungan dikumpulkan dan dibandingkan dengan sampel
yang dikenal untuk membantu menghubungkannya dengan subyek kejahatan.
Sejak Badai Katrina, Unit DNA Laboatorium Kriminal menggunakan
instrumen seni negaranya untuk menganalisis sampel yang dimaksudkan
untuk mengidentifikasi penjahat.
Bagian Olah TKP, menangani dokumentasi kejahatan dan bukti atas kejahatan
mulai dari pencurian mobil hingga pembunuhan. Terdiri dari perwira Polisi dan
teknisi sipil. Bagian Olah TKP menanggapi pengaduan sepanjang tahun untuk
memberikan berbagai layanan, seperti pengembangan sidik jari, bukti yang sah
dan koleksi, fotografi forensic, dan reka adegan. Di Indonesia sendiri penerapan
metode SCI ini dilakukan oleh Laboratorium Forensik (LABFOR) Polri yang
tersebar dibeberapa kota di Indonesia.
D. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
Kejahatan merupakan sebagian dari masalah manusia, di dalam kehidupan
sehari-hari kejahatan dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Perkembangan masyarakat
juga diikuti berkembangnya kejahatan, seperti misalnya teknologi maju yang
dipergunakan masyarakat juga dapat dipergunakan oleh para pelaku kejahatan.
Dengan kata lain bahwa kejahatan merupakan salah satu penyakit masyarakat.31
Dalam Pasal 338 KUHP adalah suatu rumusan tindak pidana materill (materieel
delict), yakni suatu tindak pidana yang baru dapat dianggap sebagai telah selesai
31
pelakunya dengan timbulnya akibat yang terlarang atau tidak dikehendaki oleh
undang-undang.32
Kiranya sudah cukup bahwa yang tidak dikehendaki undang-undang itu
sebenarnya ialah kesengajaan yang menimbulkan akibat meninggalnya orang lain.
Tindak pidana pembunuhan adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain sehingga dalam perbuatannya tersebut dapat
menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Jenis tindak pidana kejahatan terhadap
nyawa orang, yaitu terutama penganiayaan dan pembunuhan kedua macam tindak
pidana ini sangat erat hubungannya satu dengan yang lain karena tindak pidana
pembunuhan selalu didahului dengan penganiayaan yang selalu tampak sebagai
tuntutan subsider setelah tuntutan pembunuhan berhubungan dengan keadaan
pembuktian.33
Pembunuhan dapat diartikan setiap perbuatan yang menyebabkan mati atau
menghilangkan nyawa, kalau perbuatan tersebut ditujukan pada seseorang maka
akan menimbulkan kematian orang tersebut. Tindak pidana pembunuhan diatur di
dalam BAB XIX Buku II KUHP, yang oleh pembentuk undang-undang
ditempatkan mulai dari Pasal 338 KUHP sampai dengan Pasal 350 KUHP. Pada
kejahatan terhadap nyawa seseorang akan menimbulkan akibat mati. Ini adalah
suatu perumusan secara material, yaitu secara mengakibatkan sesuatu tetentu
tanpa tanpa menyebutkan wujud perbuatan dari tindak pidana.
Perbuatan ini dapat berwujud macam-macam, yaitu dapat berupa menembak
dengan senjata api, menikam dengan pisau, memukul dengan sepotong besi,
32
Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Cet II, Sinar Baru, Bandung, 2005, hlm. 24. 33
mencekik leher dengan tangan, memberikan racun dalam makanan, dan
sebagainya. Perbuatan-perbuatan itu harus ditambah dengan unsur kesengajaan
dalam salah satu dari tiga wujud, yaitu sebagai tujuan untuk mengadakan akibat
tertentu, atau sebagai keinsyafan kepastian akan datangnya akibat itu.34
Pembunuhan biasa diatur dalam Pasal 338 KUHP, yang rumusannya adalah:
”Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Istilah ”orang”
dalam Pasal 338 itu, maksudnya ”orang lain”.35 Terhadap siapa pembunuhan itu
dilakukan tidak menjadi soal. Meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap
bapak atau ibu sendiri termasuk juga pada pembunuhan yang dimaksud dalam
Pasal 338 KUHP. Pada umumnya rumusan suatu delik berisi bagian inti suatu
delik.36 Artinya, bagian-bagian inti tersebut harus sesuai dengan perbuatan yang
dilakukan, barulah seseorang dapat di ancam dengan pidana. Rumusan Pasal 338
KUHP mempunyai dua bagian inti, yaitu ”sengaja” dan ”menghilangkan nyawa
orang lain”.
Menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu
atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain
dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa
meninggalnya orang lain tersebut. Kejahatan terhadap badan itu dapat juga
menimbulkan akibat hilangnya jiwa seseorang, meskipun akibat ini tidak
34
H.A.K Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, Cet. V Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 88.
35
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam KUHP, Remadja Karya, Bandung, 2004, hlm. 120.
36
dikehendaki, sedangkan kejahatan terhadap nyawa seseorang mempunyai
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Proses pengumpulan dan penyajian sehubungan dengan penelitian ini maka
digunakan pendekatan secara yuridis normatif. Pendekatan Yuridis Normatif
adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data
dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta
peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan hasil uji balistik
dalam konsepsi alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP dan kekuatan
pembuktian hasil uji balistik yang digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan
kasus pembunuhan berdasarkan Pasal 184 KUHAP
B. Sumber dan Jenis data
Sumber dan jenis data dalam penelitian ini hanya menggunakan data sekunder
saja, yaitu data yang diperoleh dari bahan literatur kepustakaan dengan melakukan
studi dokumen, arsip yang bersifat teoritis, konsep-konsep, doktrin dan asas-asas
hukum yang berkaitan dengan pokok cara membaca, mengutip dan menelaah
peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan
1. Bahan Hukum Primer, antara lain:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
bahan hukum primer dalam hal ini teori-teori yang dukemukakan para ahli,
peraturan-peraturan pelaksana dari Undang, RUU Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dan RUU Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari Literatur,
Kamus, Internet, surat kabar dan lain-lain
C. Penetuan Populasi dan Sampel
Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-duga.
Populasi adalah sejumlah manusia atau unit yang mempunyai ciri-ciri dan
karakteristik yang sama. Sedangkan Sampel merupakan sejumlah objek yang
jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa
orang populasi secara “purposive sampling” atau penarikan sample yang bertujuan
dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.
1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang
2. Penyidik Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung = 1 orang
3. Dokter Ahli Forensik RSUDAM .= 1 orang +
Jumlah = 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan, dengan studi pustaka dan studi
literatur.
a. Studi Pustaka
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari undang-undang,
peraturan pemerintah dan literatur hukum yang berkaitan dengan pokok
bahasan. Hal ini dilakukan dengan cara membaca, mengutip dan
mengidentifikasi data yang sesuai dengan pokok bahasan dan ruang lingkup
penelitian ini.
b. Studi lapangan
Studi lapangan dilakukan melalui wawancara dengan responden yang telah
direncanakan sebelumnya. Metode yang dipakai adalah pengamatan langsung
dilapangan serta mengajukan pertanyaan yang disusun secara teratur dan
mengarah pada terjawabnya permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
2. Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
a. Identifikasi data, yaitu mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan
pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau
artikel yang berkaitan dengan judul dan permasalahan.
b. Klasifikasi data, yaitu hasil identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi
atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.
c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah
ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam
menginterprestasikan data.
E. Analisis Data
Analisis terhadap data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif
yaitu analisis yang dilakukan secara deskriftif yakni penggambaran argumentasi
dari data yang diperoleh di dalam penelitian. Dari hasil analisis tersebut
dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu suatu cara berfikir
yang didasarkan pada realitas yang bersifat umum yang kemudian disimpulkan
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan penulis sebelumnya, maka terdapat
beberapa simpulan yang merupakan jawaban atas rumusan masalah. Keimpulan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hasil uji balistik dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara tindak
pidana pembunuhan, kedudukan Hasil Uji Balistik dalam konsepsi alat bukti
tidak disebutkan secara langsung dalam Pasal 184 KUHAP dan juga tidak
diatur secara khusus dalam jenis peraturan lainnya. Oleh karena itu, Hasil Uji
Balistik dari Laboratorium Forensik bidang BALMETFOR (Balistik dan
Metalurgi Forensik) dalam konsepsinya sebagai alat bukti dalam Pasal 184
KUHAP dapat dikualifikasikan kedalam jenis alat bukti keterangan ahli, alat
bukti surat, atau alat bukti petunjuk dengan ketentuan dalam keadaan
bagaimana Hasil Uji Balistik tersebut diajukan sebagai alat bukti dalam
persidangan.
2. Kekuatan pembuktian hasil uji balistik yang digunakan sebagai alat bukti
dalam persidangan kasus pembunuhan berdasarkan Pasal 184 KUHAP bersifat
bebas, artinya di dalam keterangan ahli tidak ada melekat nilai kekuatan
Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan
bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Hakim
dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian
harus benar-benar bertanggung jawab, atas landasan moral dan terwujudnya
kebenaran sejati dan demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. Selain itu,
sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP, keterangan ahli tidak dapat berdiri sendiri harus didukung dengan
persesuaian dengan alat bukti yang lain, begitupun jika dikaitkan dengan Pasal
185 ayat (2) KUHAP seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa, maka demikian halnya dengan keterangan ahli harus disertai dengan
alat bukti yang lain.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis ingin memberikan saran sebagai
berikut:
1. Hendaknya ada pengaturan secara khusus mengenai jenis-jenis alat bukti yang
baru yang belum diatur dalam Pasal 184 KUHAP mengingat perkembangan
masyarakat dan teknologi yang sangat pesat dan dinamis sehingga dapat
memungkinkan timbulnya jenis-jenis tindak pidana yang memanfaatkan
teknologi yang canggih dengan modus-modus baru.
2. Hendaknya hakim lebih cermat, tepat, adil dan bijaksana dalam memberikan
putusan berdasarkan alat-alat bukti dan barang bukti yang dihadirkan di
persidangan. Semua alat-alat bukti yang dihadirkan dalam sidang tersebut
keyakinannya terhadap fakta-fakta hukum yang dihadirkan dalam