KABUPATEN INDRAMAYU PROVINSI JAWA BARAT
LERI NURIADI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012
Area of Biawak Islands of Indramayu, West Java Province. Under direction of SULISTIONO and GATOT YULIANTO.
The research was conducted in Marine Conservastion Area of Biawak Island of Indramayu, West Java Province. The Marine Conservastion Area is located in the Java Sea, northern part of the Indramayu District which familiar with high pressure from fishings, industries, and other human activities. The objective of the research were to assess condition of coral reefs, to assess role and importance of key stakeholders in the coral reef management and to evaluate current its management and recommend to better coral reef management in the area. I employed Line Intercept Transect, Visual Cencus Methods, Reef Check Benthos, Household interview and Expert interview to collect biophysical and socio-economic data. Coral reefs condition categorized as bad to medium condition with percent coral cover variated among 22,7±5,9% to 45,7±13,2%, 13 families and 39 genuses were found. The density of reef fishes were variated among 5.967±1.767 ind/ha to 20.433±10.355 ind/ha with 85 species and 18 families and the density of benthos were variated among 2.000±1.000 ind/ha to 14.667±14.964 with 29 species and 23 families. Result showed that anthropogenic activities gaves high pressure on coral reef condition. Destructive fishing still practiced around the protected area. Law enforcement, surveillance and monitoring actions were not implemented well. Government institution and private sectors need to be collaborated to create good coral reefs management. Collaboration among stakeholders became the key to successful MPA management. Implementation of management policy need to be focused on protect and conserve coral reefs to restore the condition.
LERI NURIADI. Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.Dibimbing oleh SULISTIONO and GATOT YULIANTO.
Pulau Biawak dan sekitarnya di perairan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) pada tahun 2004 melalui Surat Keputusan Bupati Indramayu nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. Salah satu tujuan penetapannya adalah perlindungan habitat dan populasi sumberdaya hayati, diharapkan dapat mempertahankan kondisi ekosistem dan memberikan dampak positif terhadap sumberdaya kelautan di wilayah perairan Indramayu baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial. Sejak Tahun 2006, pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya secara hukum dilaksanakan oleh Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor: 523.1.05/Kep.80A-Diskanla/2006 tentang Pembentukan Forum Pengelola KKLD Kab. Indramayu.
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki ekosistem pesisir penting yang salah satunya adalah terumbu karang. Luas sebaran terumbu karang di Pulau Biawak adalah 21,43 ha, Pulau Gosong seluas 37,06 ha dan Pulau Candikian seluas 42,79 ha (LAPAN 2006, diacu dalam Nurhakim 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya, mengkaji peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang, dan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang serta memberikan saran/rekomendasi kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan pasca penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai kawasan konservasi laut daerah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2010 di Kawasan Konservasi dan Wisata Laut Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi kondisi umum lokasi penelitian, persentase tutupan terumbu karang serta peran dan fungsi stakeholder terkait.
menjadi ancaman yang harus segera mendapat perhatian dari pengelola kawasan dengan melakukan respon terhadapnya.
Rencana operasional pengelolaan KKLD di titikberatkan kepada kegiatan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi terumbu karang terutama mengurangi laju degradasi terumbu karang, dengan pelaksanaan program-program seperti: a) peningkatan pengawasan KKLD dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi; b) pengembangan program rehabilitasi karang; dan c) Pengembangan kegiatan penelitian (research) terumbu karang.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.
Nama Mahasiswa : Leri Nuriadi
Nomor Pokok : C252080444
Diketahui,
Tanggal Ujian: 17 April 2012 Tanggal Lulus: Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.
Ketua Komisi
Ir. Gatot Yulianto, M.Si. Anggota Komisi
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Puji syukur atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan oleh-Nya hingga tesis dengan judul “Evaluasi Pengelolaan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan Sekitarnya Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat.” dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Master of Sains pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir Sulistiono, M.Sc. dan Ir. Gatot Yulianto, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing atas arahan dan bimbingannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan;
2. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta seluruh staf;
3. Dr. Ir. Handoko Adi Susanto, M.Sc. sebagai penguji luar atas arahan dan masukan untuk perbaikan tesis ini;
4. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI melalui Program COREMAP II yang telah mensponsori beasiswa pendidikan ini;
5. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu beserta staf atas keramahtamahan dan bantuannya;
6. Istri tercinta, Anita Syamsudin, S.Pi., yang senantiasa setia mendampingi dan memotivasi dalam meraih cita-cita;
7. Kedua orang tua, Ibu serta Bapak mertua yang selalu memberi semangat terselesaikannya tesis ini;
8. Pak Tasid beserta keluarga atas peminjaman perahu, Jimmy, Luki, Andra, Ratih, yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan serta Heri Rasdiana dan Sukendi Darmasyah yang telah bersama-sama melakukan penelitian di Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat;
9. Rekan-rekan Program Studi SPL angkatan 2008 yang telah menjadi teman diskusi, memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini;
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.
xix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xxi
DAFTAR GAMBAR ... xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii
1 PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Perumusan Masalah ... 5
1.3Tujuan Penelitian ... 8
1.4Manfaat Penelitian ... 8
1.5Kerangka Pemikiran ... 8
2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1Terumbu Karang ... 11
2.2Ikan Karang ... 13
2.3Degradasi Ekosistem Terumbu Karang ... 15
2.4Pengelolaan Terumbu Karang ... 18
2.5Kawasan Konservasi Laut ... 20
2.6Stakeholder Pengelolaan Terumbu Karang ... 22
2.7Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang ... 23
3 METODE ... 27
3.1Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27
3.2Metode Pengumpulan Data ... 28
3.3Analisis Data ... 32
3.4Analisis Stakeholder... 34
3.5Analisis Kebijakan ... 35
4 HASIL PENELITIAN ... 37
4.1Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 37
4.2Kondisi Terumbu Karang ... 42
4.2.1 Persentase Tutupan Karang ... 42
4.2.2 Kondisi Ikan Karang ... 51
4.2.3 Kondisi Benthos ... 60
4.3Peran dan Kepentingan Stakeholder ... 66
4.4Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang ... 69
5 PEMBAHASAN ... 81
5.1 Kondisi Terumbu Karang ... 81
5.2 Peran dan Kepentingan Stakeholder ... 88
xix
6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 105
6.1 Kesimpulan ... 105
6.2 Saran ... 106
DAFTAR PUSTAKA ... 109
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang ... 16
2 Manfaat dan kerugian yang disebabkan oleh ancaman terhadap terumbu karang (dalam ribuan US$ km-2) ... 17
3 Lokasi dan koordinat stasiun pengamatan ... 27
4 Kategori kondisi persentase tutupan karang hidup ... 32
5 Kategori kelimpahan ikan karang ... 33
6 Parameter fisik perairan Pulau Biawak dan sekitarnya ... 41
7 Persentase tutupan karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun 2010... 50
8 Kelimpahan ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya per stasiun pengamatan ... 51
9 Kelompok ikan indikator yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya ... 57
10 Kelompok ikan target yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya ... 58
11 Kelompok ikan mayor yang ditemukan di Pulau Biawak dan sekitarnya ... 59
12 Kelimpahan benthos di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 60
13 Daftar stakeholder pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 67
14 Matriks analisis stakeholder ... 68
15 Faktor kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats) pada KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 73
16 Hasil analisis komponen SWOT KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya . 73 17 Hasil analisis faktor kekuatan pengelolaan terumbu karang ... 75
18 Hasil analisis faktor kelemahan pengelolaan terumbu karang ... 76
19 Hasil analisis faktor peluang pengelolaan terumbu karang ... 77
20 Hasil analisis faktor ancaman pengelolaan terumbu karang ... 78
21 Hasil analisis kebijakan pengelolaan terumbu karang ... 70
22 Persentase tutupan karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun 2003 ... 87
xxi
24 Respon terhadap pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Skema kerangka pemikiran penelitian ... 10
2 Peta stasiun pengamatan ... 28
3 Metode pengumpulan data karang, ikan karang dan benthos ... 30
4 Contoh tabel stakeholder dan analisis stakeholder ... 34
5 Contoh format analisis stakeholder ... 35
6 Format stakeholder grid dalam analisis stakeholder ... 35
7 Hirarki Analisis A’WOT ... 36
8 Satwa endemik di Pulau Biawak (Biawak dari jenis Varanus salvator) 37
9 Gerbang masuk Pulau Biawak ... 38
10 Kondisi Terumbu Karang Pulau Biawak dengan kehadiran genus
Porites sp terbesar ... 42
11 Kegiatan sampling terumbu karang dengan metode TGM ... 42
12 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling ... 43
13 Karang dengan persen tutupan tebesar di stasiun 1, Gambar
A: Porites sp, Gambar B: Turbinaria sp ... 44
14 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling ... 44
15 Karang dengan persen tutupan terbesar di stasiun 2, Gambar A:
Acropora, Gambar B: Diploastrea ... 45
16 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling ... 45
17 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling ... 46
18 Karang Pocillopora dengan persen tutupan terbesar di stasiun 4 ... 47
19 Grafik persentase tutupan karang di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan
10 m pada setiap titik sampling. ... 47
20 Persentase tutupan karang setiap stasiun ... 48
21 Grafik persepsi masyarakat terhadap kegiatan yang merusak
terumbu karang ... 50
22 Grafik kelimpahan ikan di Pulau Biawak dan sekitarnya per stasiun
xxiii
23 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan mayor di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling ... 52
24 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan mayor di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling... 53
25 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan mayor di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling ... 53
26 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan mayor di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling ... 54
27 Grafik kelimpahan kelompok ikan indikator, ikan target dan ikan mayor di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan 10 m pada setiap titik
sampling... 55
28 Grafik kelimpahan kelompok ikan setiap stasiun ... 56
29 Grafik kelimpahan benthos di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya
(ind/ha)... 60
30 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 1 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ... 61
31 Acanthaster plancii di lokasi pengamatan ... 62
32 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 2 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ... 62
33 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 3 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ... 63
34 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 4 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ... 64
35 Grafik kelimpahan benthos di Stasiun 5 di kedalaman 3 m dan 10 m
pada setiap titik sampling ... 65
36 Grafik kelimpahan benthos setiap stasiun ... 66
37 Stakeholder Grid pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 69
38 Grafik persepsi masyarakat terkait pengelolaan terumbu karang ... 71
39 Grafik prioritas faktor SWOT terhadap kebijakan pengelolaan terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 73
40 Grafik prioritas faktor kekuatan terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 75
41 Grafik prioritas faktor kelemahan terhadap kebijakan pengelolaan
terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 76
xxiii
43 Grafik prioritas faktor peluang terhadap kebijakan pengelolaan terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 77
44 Grafik prioritas faktor ancaman terhadap kebijakan pengelolaan terumbu karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 78
45 Grafik prioritas terhadap alternatif kebijakan pengelolaan terumbu
karang KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 79
46 Skema pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ... 82
47 CoralBleaching, indikasi dari penangkapan ikan dengan sianida ... 83
48 Patahan karang indikasi penangkapan ikan dengan bahan peledak ... 84
49 Pencemaran minyak di pesisir Pulau Biawak dan sekitarnya Tahun
2005 ... 86
50 Skema peran stakeholder dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 88
51 Peran DPRD dalam Proses penyusunan APBD ... 90
52 Persepsi masyarakat terhadap pengawasan di KKLD Pulau Biawak
dan sekitarnya ... 97
53 Kegiatan transplantasi karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya . 100
54 Kegiatan demplot budidaya terumbu karang di Kab. Indramayu ... 100
xxvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Jenis dan persen kehadiran karang di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ... 119
2 Jenis dan distribusi kehadiran ikan di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ... 120
3 Jenis dan distribusi kehadiran benthos di KKLD Pulau Biawak dan
sekitarnya ... 122
4 Surat Keputusan Penetapan KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya ... 123 5 Surat Keputusan Forum Pengelola KKLD Indramayu Tahun 2006 ... 125
6 Surat Keputusan Forum Pengelola KKLD Indramayu Tahun 2007 ... 129
7 Kuesioner analisis stakeholder ... 134
8 Kuesioner persepsi masyarakat terhadap 7 kebijakan operasional
pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya .. 146
9 Kuesioner Analisis A’WOT Pengelolaan KKLD Pulau Biawak dan
1.1 Latar Belakang
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan. Ekosistem ini tumbuh umumnya di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas primer yang tinggi, yaitu bisa mencapai lebih dari 10 kgC/m2/tahun,
dibandingkan dengan produktivitas perairan laut lepas pantai, yang hanya berkisar antara 50–100 mgC/m2/tahun (Supriharyono 2007). Tingginya produktivitas
primer di daerah terumbu karang ini menyebabkan terjadinya pengumpulan hewan-hewan yang beranekaragam, seperti ikan, udang, moluska (kerang-kerangan) dan lainnya (Supriharyono 2007). Luas terumbu karang di perairan
Indonesia diperkirakan sekitar 85.707 km2 yang terdiri dari 50.223 km2 terumbu
penghalang, 19.540 km2 terumbu cincin (atol), 14.542 km2 terumbu tepi, dan
1.402 km2 oceanic platform reef (Tomascik et al. 1997, in Dahuri 2003).
Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan bagi biota laut dan sebagai sumber plasma nutfah. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.
Terumbu karang sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia, sehingga layak mendapat perhatian yang khusus. Besar tutupan karang di dunia tidak lebih dari 1% dari luas wilayah lautan, namun dapat menyokong kehidupan hampir sepertiga dari jumlah spesies ikan laut di dunia, menyediakan sekitar 10% dari total jumlah ikan yang di konsumsi oleh manusia, dan dapat menjadi objek yang penting dalam industri wisata (Rinkevich 2008).
dibandingkan dengan hutan daratan sekitar 2%/tahun (Bruno dan Selig 2007). Berdasarkan hasil penelitian P3O LIPI pada tahun 1996, kondisi terumbu karang di Indonesia 7% dalam kondisi sangat baik, 33% kondisi baik, 46% rusak dan 15% lainnya dalam kondisi sudah kritis (Supriharyono 2007). Penelitian pada tahun 2008 menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia adalah 5,47% kondisi sangat baik, 25,48% kondisi baik, 37,06% kondisi cukup, dan 31,98% dalam kondisi rusak, penelitian ini dilakukan di 985 lokasi (Suharsono 2008). Data kondisi terumbu karang di Indonesia pada tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan nilai 5,56% kondisi sangat baik, 25,89% kondisi baik, 37,10% kondisi cukup dan 31,45% kondisi kurang/rusak.
Ditinjau dari aspek ekonomi, terumbu karang memberikan sumbangan yang cukup besar untuk sektor perikanan. Menurut Cesar (2006) in Sjafrie (2010) menyatakan bahwa terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik dapat menyumbangkan 18 ton ikan per km2 per tahun, kategori baik sebesar 13
ton/km2/tahun, dan kategori cukup sebesar 8 ton/km2/tahun. Apabila
dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada di perairan Indonesia adalah sebesar 4,2 milyar US$ dari aspek perikanan, wisata dan perlindungan laut.
Tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia sangat bervariasi. Kerusakan berat lebih ditemukan di bagian barat Indonesia dibandingkan dengan
bagian timur. Tutupan karang hidup di bagian barat kurang dari 50% bahkan ada yang lebih rendah dari 25%, sedangkan bagian tengah Indonesia memiliki kondisi lebih baik dimana lebih dari 30% karang hidupnya dalam keadaan yang baik, dan di bagian timur kondisinya lebih baik lagi dibanding bagian barat dan tengah (Hidayati 2003).
penggunaan alat tangkap ikan yang membahayakan kehidupan karang seperti penggunaan bahan peledak dan bahan beracun, penambangan karang, dan pembuangan limbah baik dari aktivitas industri maupun rumah tangga yang ada di daerah daratan (Supriharyono 2007).
Dalam rangka penyelamatan terumbu karang, berbagai usaha telah dilakukan baik secara lokal, regional maupun nasional. Upaya penyelamatan terumbu karang merupakan tanggung jawab semua pihak, baik itu pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun swasta adalah program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang.
Salah satu upaya pemerintah untuk melindungi suatu kawasan laut dengan ekosistem terumbu karang adalah dengan menetapkan kawasan perairan menjadi kawasan konservasi perairan. Konservasi sumberdaya terumbu karang merupakan salah satu implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang, dimana kawasan konservasi ini biasanya dilindungi oleh hukum, sehingga sering disebut pula sebagai kawasan lindung. Salah satu upaya perlindungan terhadap terumbu karang melalui pembentukan Kawasan Konservasi Perairan atau Kawasan Konservasi Laut Daerah.
Perencanaan pendirian Kawasan Konservasi Laut pertama kali masuk dalam program pemerintah Indonesia pada Repelita V (1988-1993) dengan tujuan mendirikan Kawasan Konservasi Laut seluas 10 juta ha. Luas areal konservasi
tersebut ditargetkan 10% dari luas batas daerah laut teritorial yang dijadikan tujuan konservasi. Diperkirakan bahwa areal seluas itu dapat mewakili seluruh contoh ekosistem yang terdapat di daerah pesisir dan laut (Dahuri 2003).
10 dijelaskan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayah laut adalah eksploitasi dan konservasi sumberdaya alam di wilayahnya. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya di revisi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya amanat konservasi ekosistem tercantum dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Bab IV pasal 13 yang menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis, dan konservasi genetika ikan.
Sampai dengan tahun 2010, Indonesia telah menetapkan kurang lebih sebanyak 36 Kawasan Konservasi Laut Daerah yang tersebar dari wilayah barat sampai wilayah timur Indonesia. Jumlah luasan kawasan konservasi yang dapat dicapai oleh pemerintah Indonesia mencapai ±13,5 juta ha. Pemerintah Indonesia menetapkan angka 20 juta ha sebagai target capaian penetapan kawasan konservasi laut di tahun 2020.
Kabupaten Indramayu adalah salah satu kabupaten di wilayah barat Indonesia yang memiliki perairan laut dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati yang tinggi ini ditandai dengan keberadaan tiga pulau di wilayah utara yaitu Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian. Pulau
Dengan diimplementasikannya kawasan konservasi laut daerah sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang, diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kondisi terumbu karang dan juga dapat memberikan hasil dan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar. Tantangan selanjutnya dari sebuah penetapan kawasan konservasi laut adalah upaya pengelolaan kawasan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait untuk tetap menjaga kelestarian terumbu karang sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar kawasan yang memiliki ketergantungan dengan keberadaan ekosistem ini. Dengan pembentukan kawasan konservasi tersebut maka dilakukan upaya-upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang salah satunya dengan berpedoman kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman Umum pengelolaan terumbu karang.
Berdasarkan uraian di atas, maka pembentukan kawasan konservasi laut daerah harapannya mampu menjadi salah satu alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang, sehingga mampu memberikan dampak positif terhadap kelangsungan hidup terumbu karang dan sumberdaya alam lain yang berada di sekitarnya, sehingga penulis akan melakukan evaluasi pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat.
1.2 Perumusan Masalah
Sejak Tahun 2004 Pulau Biawak dan sekitarnya telah menjadi sebuah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor 556/Kep.528-Diskanla/2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut pada tanggal 7 April 2004. Berdasarkan ketetapan ini, KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya dibagi dalam 2 (dua) zonasi, yaitu:
1. Internal Zone, yang merupakan kawasan perlindungan habitat dan
populasi Sumber Daya Hayati,
2. Eksternal Zone, yang merupakan perlindungan dan Pemanfaatan Wisata.
waktu tersebut diharapkan telah menunjukan adanya perubahan yang positif terhadap pola-pola upaya konservasi, pemanfaatan dan rehabilitasi sumberdaya alam yang ada di wilayah tersebut, dan mampu menjaga serta memperbaiki biodiversitas dan fungsi ekosistem yang terdapat di wilayahnya (Pomeroy et al. 2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan Selig dan Bruno (2010) bahwa kondisi terumbu karang di dalam kawasan yang dilindungi mengalami peningkatan, sebagai contoh tutupan karang di wilayah Karibia meningkat 0,05% dan di wilayah Pasifik dan Hindia meningkat 0,08% dalam kurun waktu satu tahun. Sementara kondisi tutupan karang di wilayah perairan yang tidak dilindungi mengalami penurunan dengan rata-rata 0,27-0,41% di wilayah Karibia dan 0,43% di wilayah Pasifik dan Hindia.
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting yang berada di dalam KKLD. Secara umum, konservasi terumbu karang seringkali mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Kendala yang dihadapi umum dalam pengelolaan terumbu karang adalah bahwa degradasi tidak hanya disebabkan oleh peristiwa alam, tetapi juga karena faktor manusia (antropogenik).
Beberapa kegiatan yang masih bisa ditemukan di lokasi KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya terkait aktivitas antropogenik adalah: 1) penangkapan ikan di wilayah KKLD, bahkan tidak sedikit masih bersifat merusak seperti penggunaan bom, 2) tempat peristirahatan kapal-kapal nelayan, 3) pengambilan
karang hias oleh nelayan luar Indramayu, 4) pencemaran minyak.
didukung oleh suatu upaya pengelolaan yang efektif dari pihak yang bertanggung jawab sebagai pengelola kawasan konservasi laut tersebut (Martinez et al. 2009).
Secara global, sudah banyak kawasan yang ditetapkan sebagai sebuah kawasan konservasi laut, tapi sangat disayangkan kebanyakan masih sekedar “aturan dalam kertas” dengan pengelolaan yang kurang efektif (Hodgson 1999). Data terkini di wilayah Asia Tenggara, dari 332 kawasan konservasi laut menunjukkan 14% dikelola dengan efektif, 48% kurang efektif dan 38% tidak efektif (Pomeroy et al. 2004). Sebanyak 12% terumbu karangnya berada dalam tekanan (Mora et al. 2006, in Christie dan White 2007) dan proses pengelolaannya tidak berjalan baik (Christie dan White 2007). Sebuah kawasan konservasi laut yang dikelola dengan baik merupakan “perhiasan” yang tidak banyak ditemukan (Sale 2008).
Sebuah kawasan konservasi laut akan ditantang kemampuannya dalam mencapai tujuan sekalipun dengan permasalahan seperti kurangnya jumlah staf pengelola, rendahnya dana, logistik dan dukungan teknis, kurangnya informasi keilmuan, lemahnya kelembagaan, lemahnya pengambilan keputusan, dan lemahnya dukungan politik (Pomeroy et al. 2004). Masalah lain yang dihadapi dalam pengelolaan sebuah kawasan konservasi laut adalah kurangnya koordinasi pada setiap level yang berbeda (Martinez et al. 2009).
Pengelolaan kawasan konservasi laut adalah pengelolaan yang kolektif.
Keberhasilannya tergantung kepada implementasi kerjasama antar setiap stakeholder seperti organisasi massa, kelompok swasta, kelompok lingkungan hidup, institusi pemerintah, akademisi, dan masyarakat (Davos 1999). Banyak kajian yang memperlihatkan bahwa input peran stakeholder sangat mempengaruhi terhadap output keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi laut (Himes 2007). Keterlibatan stakeholder adalah kunci sukses keberhasilan sebuah kawasan konservasi laut (Gleason et al. 2009).
bagaimana pengelolaannya (Martinez et al. 2009). Penetapan kawasan menjadi kawasan konservasi laut adalah upaya yang tepat dalam konservasi terumbu karang, tetapi disitu ada resiko kegagalan bilamana kawasan tidak dikelola dengan benar.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis melakukan kajian tentang evaluasi pengelolaan terumbu karang di KKLD Pulau Biawak dan sekitarnya pasca ditetapkannya sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
a Mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi
Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya;
b Mengkaji peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan terumbu
karang;
c Melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terumbu karang dan
memberikan rekomendasi kebijakan operasional pengelolaan terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Biawak dan sekitarnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
a Memberikan kontribusi yang baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap pengelolaan terumbu karang secara terpadu dan berkelanjutan;
b Menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam
pengelolaan terumbu karang;
c Menjadi bahan informasi dan acuan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi
Laut Daerah;
d Menambah khasanah akademik bagi studi lebih lanjut tentang pengelolaan terumbu karang.
1.5 Kerangka Pemikiran
ekosistem yang terdapat didalamnya. Salah satu ekosistem penting adalah ekosistem terumbu karang. Menurut Supriharyono (2007) penetapan kawasan kawasan konservasi merupakan salah satu bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang.
Sistem pengelolaan terumbu karang dan kawasan konservasi laut telah banyak dibentuk. Sayangnya, hanya sekitar 14% dari 332 kawasan konservasi laut dikelola dengan efektif (Pomeroy et al. 2004). Hal ini dikarenakan hanya sedikit pengelola kawasan yang terlatih dengan baik dan seringkali sedikitnya fasilitas dalam penegakan hukum terhadap aktivitas yang merusak. Diantara sekian banyak permasalahan, salah satunya adalah lemahnya koordinasi dan komunikasi antar stakeholder yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan kawasan (Kunzmann 2002, in Wolff 2009). Penangkapan ikan secara ilegal bahkan masih tercatat sekalipun di dalam wilayah kawasan konservasi laut yang memiliki pengelolaan yang baik seperti Great Barrier Reef Marine Park (GBRMP) (Gribble dan Robertson 1998, in Hodgson 1999).
Kelestarian terumbu karang sepenuhnya ditentukan oleh kepedulian pemerintah bersama-sama dengan masyarakat setempat untuk mengelolanya dengan tetap menjamin keberlanjutannya. Oleh karena itu, kesadaran dan partisipasi aktif dalam setiap program, pengelolaan yang seimbang antara pemanfaatan dan konservasi menjadi sangat penting.
Peranan stakeholder yang terkait menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengelolaan terumbu karang di dalam sebuah KKLD. Stakeholder yang terkait terdiri dari berbagai unsur yaitu pemerintah, swasta, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pelaku bisnis, akademisi, dan lainnya. Setiap stakeholder memiliki kepentingan masing-masing terhadap keberadaan terumbu karang dan keberadaan KKLD. Sehingga dalam pelaksanaannya, perlu adanya aturan dan kebijakan dalam pengelolaan terumbu karang supaya setiap kepentingan dapat terintegrasi dengan baik.
dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang pedoman umum pengelolaan terumbu karang.
Berhasil tidaknya pengelolaan sebuah kawasan konservasi laut sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Faktor internal meliputi faktor kekuatan dan kelemahan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, sementara faktor eksternal adalah faktor peluang dan ancaman yang ada dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang.
[image:35.595.85.470.196.722.2]Untuk dapat merumuskan suatu kajian evaluasi pengelolaan ekosistem terumbu karang, sangat penting untuk mengetahui bagaimana mengintegrasikan aspek ekologis dan peranan stakeholder dalam suatu program pengelolaan yang ada, sehingga menjadi sebuah strategi dalam pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang. Berdasarkan konsep pemikiran yang telah diuraikan diatas, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
2.1 Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) adalah ekosistem yang unik sifatnya. Terumbu ini dibangun seluruhnya oleh kegiatan biologik. Terumbu karang
merupakan timbunan masif dari CaCO3 yang terutama telah dihasilkan oleh
hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Madreporaria=Scleractinia)
dengan tambahan penting dari alga berkapur dan organisme-organisme lain
penghasil kapur (Romimohtarto dan Sri 2007). Terumbu karang menyimpan
sekitar 7x108 tons Carbon per tahun dalam bentuk kalsium karbonat, sehingga
mereka memiliki peranan penting dalam siklus karbon global yang bisa membantu
menetralkan akumulasi karbon dioksida (CO2) sebagai efek rumah kaca di dalam
atmosfer (Wolff 2009).
Sebagai ekosistem dasar laut terumbu karang dengan penghuni utama
karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan
hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri atas
satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang
terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan
spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu
yang disebut koloni. Karang (corals) dibedakan kedalam dua kelompok yaitu
hermatypic dan ahermatypic. Karang hermatypic membentuk terumbu sementara
ahermatypic tidak, pada kebanyakan karang hermatypic di dalam jaringannya
terdapat sel alga yang bersimbiosis dan hidup bersama yaitu zooxanthellae yang
tidak dimiliki oleh kebanyakan karang ahermatypic (Nybakken 1997).
Terdapat tiga tipe struktur terumbu karang di Indonesia, yaitu terumbu tepi
(fringing reef), terumbu penghalang (barrier reef) dan terumbu berbentuk cincin
atau atol (atoll). Terumbu tepi adalah terumbu karang yang berada dekat dan
sejajar dengan garis pantai. Terumbu penghalang serupa dengan terumbu tepi,
dengan kekecualian jarak antara terumbu karang dengan garis pantai atau daratan
terumbu tepi yang berbentuk seperti cincin dan ditengahnya terdapat goba (danau)
dengan kedalaman mencapai 45 meter. Selain ketiga kelompok besar tersebut, di
Indonesia terdapat jenis terumbu gosong (patch reef), seperti terumbu karang di
Kepulauan Seribu di utara Pulau Jawa (Dahuri 2003).
Terumbu karang merupakan salah satu dari ekosistem pantai yang
memiliki kenakeragaman hayati dan produktivitas yang tinggi. Tingginya tingkat
keanekaragaman disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang
terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang menempati areal
yang cukup luas dan terdiri atas berbagai bentuk asosiasi yang kompleks, dengan
sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda, dan semuanya berada di satu sistem
yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis. Indonesia merupakan
pusat segitiga terumbu karang dunia yang dikenal dengan istilah “The Coral
Triangle” yang merupakan kawasan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dengan lebih dari 70 genera dan 500 spesies (Dermawan dan
Mulyana 2008). Nilai produksi primer bersih terumbu karang berkisar 300–5.000
g C (Carbon) m-2 tahun-1, lebih tinggi daripada ekosistem sekitarnya, yaitu hanya
sebesar 20–40 C m-2 tahun-1 (Dahuri 2003). Tingginya produktivitas primer di
perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering merupakan tempat
pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), dan mencari makan
(feeding ground) dari kebanyakan ikan. Sehingga secara langsung produktivitas
sekunder dari hewan-hewan laut lainnya seperti ikan, udang-udangan (lobster),
dan kerang-kerangan yang berasosiasi dengannya menjadi tinggi pula. Menurut
WWF (1994) in Supriharyono (2008) menyatakan bahwa hasil produksi perikanan
karang bisa mencapai sekitar 10–30 ton/km2/tahun. Dengan luas area karang di
Indonesia sekitar 50.000 km2, maka produksi tahunan ikan karang di Indonesia
mencapai 500.000 – 1.500.000 ton.
Ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis
yang sangat penting diantaranya adalah: (a) pelindung pantai dari hempasan
gelombang, (b) habitat bagi berbagai jenis biota laut, (c) nursery, feeding dan
spawning ground bagi biota laut, (d) penyuplai bahan organik, (e) sumber
biodiversitas dan segala potensinya, (f) peredam proses pemadaman global
sedimen, (g) penyedia sumberdaya perikanan ekonomis penting, (h) penyedia
bahan makanan dan obat-obatan, dan (i) daerah pariwisata laut yang sangat indah
(Kusumastanto et al. 2006).
Terumbu karang yang masih baik mempunyai nilai estetika yang tinggi
dan dapat dimanfaatkan pula untuk mendorong industri pariwisata laut. Kegiatan
pariwisata laut yang memberikan kesempatan orang untuk menyelam, mengamati
dan memotret kekayaan serta keindahan bawah air ini tampak semakin
berkembang di Indonesia dan dapat merupakan sumber penghasil devisa (Nontji
2007).
Melihat pentingnya terumbu karang baik sebagai ekosistem maupun
sebagai sumberdaya ekonomi maka perlu untuk menjaga kelestariannya. Sekali
terumbu karang hancur, maka akan sangat sulit dan memerlukan waktu yang
sangat lama untuk memulihkannya kembali seperti sedia kala, itu pun bila masih
mungkin.
2.2 Ikan Karang
Pada daerah terumbu karang, organisme yang paling banyak ditemukan
dalam jumlah besar adalah dari jenis ikan. Sekitar satu pertiga bagian dari semua
spesies ikan hidup pada terumbu karang, sedangkan lainnya memiliki
ketergantungan pada karang, lamun dan mangrove dalam siklus hidupnya
(Hinrichsen 1998, in Dirhamsyah 2005). Indonesia diyakini merupakan salah satu
wilayah di dunia yang kaya akan ikan karang, sekalipun belum ada publikasi yang
komprehensif tentang daftar ikan karang, Indonesia memiliki biodiversitas karang
tertinggi di dunia, terutama di wilayah Indonesia bagian Timur (Allen 2002, in
Dirhamsyah 2005). Dengan jumlahnya yang besar ini, ikan karang menjadi
penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken
1997). Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi
keragaman dan produktivitas biologinya. Banyak celah dan lubang di terumbu
karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan
berkembang biak bagi ikan dan hewan invertebrata yang berada disekitarnya.
Kelompok-kelompok penting ikan karang meliputi kerapu (groupers), baronang
(shark), pari (ray fish), squirre fish, belut laut (eels), croackers, tigawaja (drums),
grunts, priacanthids, dan rudder fish (Supriharyono 2007). Keberadaan ikan
karang sangat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan terumbu karang yang
ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Menurut penelitian kondisi
terumbu karang dengan sistem penangkapan ikan karang secara tradisional
memiliki kondisi karang yang lebih sehat (Hoffman 2002).
Ikan karang terbagi kedalam tiga kelompok yaitu: (1) kelompok ikan
indikator, yaitu ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi kesehatan
terumbu karang di suatu perairan seperti famili Chaetodontidae; (2) ikan target,
yaitu ikan-ikan yang lebih dikenal oleh nelayan sebagai ikan konsumsi seperti
famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; dan (3) kelompok ikan
mayor, yaitu kelompok ikan yang berperan dalam rantai makanan, karena peran
lainnya belum diketahui seperti famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae,
Caesionidae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae (Adrim 1993).
Semua jenis ikan pada terumbu karang masuk ke dalam jaring-jaring
makanan dalam beberapa cara sehingga terdapat keseimbangan yang rumit dari
hubungan mangsa-dimangsa. Beberapa kelompok ikan sangat penting bagi
terumbu karang. Ikan kupu-kupu misalnya, yang memakan hanya polip karang.
Ikan ini hanya hadir kalau terdapat karang hidup dan dapat digunakan sebagai
indikator kesehatan dan tutupan karang dengan melihat keanekaragaman jenis dan
banyaknya ikan ini. Ikan kakatua memakan karang dan batuan kapur, dan
membuang butiran-butiran putih yang telah digerus oleh penggiling farengialnya,
mereka penyebab penting erosi terumbu dan pembentuk pasir. Seekor ikan
kakatua dewasa dapat menimbun 500 kg pasir karang/tahun pada terumbu
(Romimohtarto dan Sri 2007).
Pada wilayah kawasan konservasi komunitas ikan dan total biomass ikan
karang lebih besar dibanding komunitas ikan dan biomass ikan diluar kawasan
konservasi. Penelitian ini diteliti dengan melakukan pengamatan underwater
visual cencus (UVC) (Pet-Soede et al. 2001). Berdasarkan hasil penilaian dari 112
penelitian yang dilakukan di 80 kawasan konservasi memperlihatkan peningkatan
ukuran (size) individu dari sebuah organisme, peningkatan biomass dan
adalah peningkatannya terjadi pada jarak 1-3 tahun (Briggs 2005). Menurut
Wantiez et al. (1997) dan Aswani et al. (2007) in Rudi et al. (2009) menyatakan
bahwa kelimpahan spesies, kepadatan dan biomassa ikan pada wilayah yang
mendapat perlindungan lebih tinggi dan lebih signifikan secara statistik dibanding
dengan wilayah yang tidak dilindungi.
2.3Degradasi Ekosistem Terumbu Karang
Secara umum, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh kegiatan
antropogenik dan gangguan alam. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa
kerusakan terumbu karang utamanya disebabkan oleh dampak yang ditimbulkan
oleh aktivitas manusia (Nontji 1999, in Kunzman 2002). Dampak dari
antropogenik terhadap terumbu karang dapat terjadi baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kegitan manusia yang memiliki dampak negatif terhadap terumbu
karang adalah kegiatan penambangan karang, penangkapan ikan yang merusak,
polusi (run off dan tumpahan minyak), pembangunan wilayah pesisir dan
wisatawan yang tidak terkontrol (Nontji 2000). Menurut Burke et al. (2002)
beberapa penyebab kerusakan terumbu karang yaitu: 1) Pembangunan di wilayah
pesisir yang tidak dikelola dengan baik; 2) akivitas di laut antara lain dari kapal
dan pelabuhan termasuk akibat langsung dari pelemparan jangkar; 3) penebangan
hutan dan perubahan tata guna lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi;
4) penangkapan ikan secara berlebihan; 5) penangkapan ikan dengan
menggunakan bom atau racun; dan 6) perubahan iklim global. Burke et al. (2002)
menambahkan ancaman utama bagi terumbu karang di Indonesia adalah
penangkapan ikan secara berlebihan dan penangkapan ikan yang merusak.
Persentase ancaman akibat penangkapan ikan secara berlebihan dapat mencapai
64% dari luas keseluruhan, dan mencapai 53% akibat penangkapan ikan dengan
metode yang merusak.
Aktivitas antropogenik memberikan gangguan yang terus menerus,
sementara gangguan dari alam terjadi secara sporadis sehingga perlu waktu yang
cukup lama bagi terumbu karang untuk kembali pada kondisi semula. Beberapa
gangguan alam diantaranya: angin topan, El Nino, gempa bumi dan tsunami, serta
Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari aktivitas manusia
baik di daratan maupun pada ekosistem pesisir dan lautan. Kegiatan manusia di
daratan seperti industri, pertanian, rumah tangga akhirnya dapat menimbulkan
dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga pada ekosistem
terumbu karang atau pesisir dan lautan. Menurut UNEP (1990) in Dahuri et al.
(2001) sebagian besar (80%) bahan pencemar yang ditemukan di laut berasal dari
kegiatan manusia di daratan (land basic activities).
Secara rinci Bengen (2001) merinci dampak kerusakan terumbu karang
sebagai akibat kegiatan manusia baik di darat maupun di pesisir dan lautan seperti
terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang
No. Kegiatan Dampak Potensial 1. Penambangan karang dengan
atau tanpa bahan peledak
Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu
2. Pembuangan limbah panas Meningkatnya suhu air 5-10 oC di atas suhu ambien,
dapat mematikan karang dan biota lainnya.
3. Pengundulan hutan di lahan atas
Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip.
4. Pengerukan di sekitar terumbu karang
Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu pertumbuhan karang.
5. Kepariwisataan • Peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dari pembangkit listrik perhotelan • Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan eutrofikasi.
• Kerusakan fisik karang karena jangkar kapal • Rusaknya karang oleh penyelam.
• Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun.
6. Penangkapan ikan hias dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida)
Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan biota avertebrata.
7. Penangkapan ikan dengan bahan peledak
Mematikan ikan tanpa dikriminasi, karang dan biota avertebrata yang tidak bercangkang.
Sumber: Bengen 2001
Cesar (2000) melaporkan terjadi praktek penangkapan besar–besaran
dengan bahan peledak dan sianida di Indonesia. Penyebabnya adalah permintaan
yang tinggi terhadap ikan karang terutama jenis kerapu (groupers) maupun ikan
60-180 per kilo sehingga menyebabkan perburuan ikan karang hampir di seluruh
perairan Indonesia. Untuk menjaga profit yang menggiurkan ini mau tidak mau
supply tetap banyak dan biaya ektraksi harus murah, sehingga masyarakat
beramai-ramai memanen ikan menggunakan bahan peledak dan sianida.
Penangkapan ikan dengan bahan peledak berlangsung sejak Tahun 1930 dan
merupakan kegiatan ilegal, menyebar selama terjadinya perang dunia II dimana
bahan peledak mudah didapatkan.
Jika berbagai ancaman terhadap terumbu karang terjadi, maka kerugian
yang dialami negara akan jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Agar
[image:42.595.100.517.331.589.2]lebih jelas dapat dilihat data-data pada Tabel 2.
Tabel 2 Manfaat dan kerugian yang disebabkan oleh ancaman terhadap terumbu karang (dalam ribuan US$ km-2)
Fungsi/ Ancaman Manfaat bersih jumlah manfaat
Kerugian bagi Negara
Perikanan Perlindungan pantai Pariwisata Lain-nya (*) Jumlah kerugian (**) Penangkapan ikan dengan bahan racun
33,3 40,2 0,0 2,6-435,6 n.q 42,8-475,6
Penangkapan ikan dengan peledak
14,6 86,3 8,9-193,0 2,9-481,9 n.q 98,1-761,2
Pengambilan
batu karang 121,0 93,6 12,0-260,0 2,9-481,9
>67
(**) 175,5-902,5 Sedimentasi–
penebangan kayu
98,0 81,0 - 192,0 n.q 273,0
Sedimentasi-
perkotaan n.q n.q n.q n.q n.q n.q Penangkapan
ikan berlebihan
38,5 108,8 - n.q n.q 108,9
Sumber: Cesar (1996) in Dahuri 2003
Keterangan : Selang menunjukkan lokasi nilai rendah dan tinggi atas nilai potensi pariwisata dan perlindungan pantai
n.q tidak dapat dihitung
(*) mencakup kerugian kehilangan pengamanan pangan dan nilai kenaekaragaman hayati (tidak dapat dihitung)
(**) kerusakan hutan yang disebabkan oleh pengambilan kayu untuk pengolahan batu kapur (karang) diperkirakan US$ 67.000
Umumnya penyebab sedimentasi karena penebangan hutan atau aktivitas
penangkapan cahaya matahari. Sedimentasi yang lebih parah terjadi apabila
penutupan lahan seperti reklamasi daerah estuaria dan pantai. Sedangkan polusi
yang terjadi disebabkan oleh bahan kimia pertanian dan limbah industri yang
dibuang ke perairan. Menurut penelitian Cesar (2000) biaya polusi dan sampah
kota selama 1 (satu) tahun di Indonesia adalah 987 milyar US$. Sedangkan
keuntungan dari pariwisata adalah 101 milyar USD, dari perikanan 221 milyar
US$, dan kesehatan (farmasi) sebesar 4,8 milyar US$ Sehingga total manfaat
yang didapatkan dari ekosistem terumbu karang adalah 327 milyar US$, atau
sepertiga dari total biaya sebesar 987 milyar US$.
2.4Pengelolaan Terumbu Karang
Sumberdaya ekosistem terumbu karang mempunyai sifat terbatas dan
dapat mengalami kerusakan, maka sumberdaya ini perlu dikelola untuk menjamin
bahwa sumberdaya dimanfaatkan secara berkesinambungan dan bertanggung
jawab, dan potensi ekonominya tidak dihamburkan secara tidak efisien yang
membuat keuntungan menjadi kecil bahkan tidak ada lagi (Suadi dan Widodo
2006). Untuk mencegah semakin memburuknya kondisi terumbu karang, terutama
dari aktivitas antropogenik, maka diperlukan pengelolaan ekosistem terumbu
karang. Pengelolaan ini pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan
tindakan manusia agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara
bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan.
Penurunan kondisi terumbu karang yang berkelanjutan sudah menjadi
kenyataan yang menyedihkan bagi para ilmuwan biologi, konservasionis, dan
semua pihak yang memberi nilai terhadap keberadaannya. Banyak terumbu
karang yang sudah menjadi patahan-patahan sehingga terjadi perubahan fase pada
berkembangnya alga dan rumput laut (seaweeds). Beberapa tahun belakangan,
banyak penelitian mengarah kepada pengidentifikasian karakteristik lokasi
konservasi yang harus segera mendapat perhatian, utamanya di daerah tropis yang
merupakan wilayah sebaran terumbu karang (Briggs 2005).
Salah satu cara dan mungkin satu-satunya cara untuk melindungi
kepulauan karang adalah dengan pembentukan Kawasan Konservasi Laut (KKL).
Laut terbukti dapat diterapkan dalam kerangka menuju pemanfaatan yang
berkelanjutan seperti dengan adanya zona inti, zona berkelanjutan, zona
pemanfaatan dan zona lainnya (Wolff 2009).
Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang mengandung sumber
daya alam yang dapat memberi manfaat besar bagi manusia, oleh karena itu
diperlukan kearifan manusia untuk mengelolanya, yang bisa menjadikan sumber
daya alam ini menjamin kesejahteraan manusia sepanjang zaman. Tanpa
menghiraukan masa depan dan terus-menerus merusak, ekosistem terumbu karang
akan menjadi semacam padang gurun tandus di dalam laut yang hanya dipenuhi
oleh patahan-patahan karang dan benda mati lainnya. Karena itu pengelolaan
sangat diperlukan untuk mengatur aktivitas manusia serta mengurangi dan
memantau cara-cara pemanfaatan yang merusak. Pengelolaan terumbu karang
harus berbasis pada keterlibatan masyarakat, sebagai pengguna langsung sumber
daya laut ini. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya terumbu
karang sangat penting mulai dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan
sampai pada tahap evaluasi dari suatu cara pengelolaan.
Nontji (2000) menyatakan bahwa degradasi terumbu karang di Indonesia
terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang terumbu karang,
lemahnya penegakan hukum, lemahnya koordinasi antar institusi, adanya tekanan
terhadap terumbu karang dari masyarakat pesisir dan lemahnya kebijakan nasional
tentang pengelolaan terumbu karang.
Dalam hal kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang, pemerintah
membuat suatu pedoman umum pengelolaan terumbu karang melalui Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004 tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Terumbu Karang. Pedoman umum ini dimaksudkan sebagai
acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta
masyarakat dalam rangka pengelolaan terumbu karang.
1) mewujudkan pengelolaan yang seimbang antara intensitas dan variasi
pemanfaatan yang didasarkan pada data ilmiah yang tersedia dan kemampuan
daya dukung lingkungan;
2) mengembangkan pengelolaan yang mempertimbangkan prioritas ekonomi
nasional, masyarakat lokal dan kelestarian sumberdaya terumbu karang;
3) mengembangkan pengelolaan terumbu karang secara kooperatif semua pihak;
4) melaksanakan peraturan formal dan peraturan non formal;
5) menciptakan insentif bagi pengelolaan yang berkeadilan dan berkesinambungan.
2.5 Kawasan Konservasi Laut
Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan suatu kawasan yang
berfungsi untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang terdapat di
dalam kawasan tersebut dari berbagai gangguan. Berbagai gangguan terhadap
kawasan konservasi laut yang terjadi semakin meningkat dalam beberapa tahun
belakangan ini, baik gangguan dari alam maupun dari aktivitas kegiatan manusia.
Salah satu langkah yang nyata dalam mengurangi berbagai gangguan tersebut
adalah penetapan kawasan konservasi laut (Dermawan dan Suraji 2006).
Pengertian KKL diusulkan oleh Komite Nasional Konservasi Laut
(KOMNASKOLAUT) sebagai terjemahan resmi dari Marine Protected Area
(MPA). Dengan mengadopsi definisi dari IUCN, KKL dibagi kedalam beberapa
kategori yang dapat disetarakan dengan jenis KKL di Indonesia , definisi kategori
tersebut adalah sebagai berikut (Dermawan 2006) :
“Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut termasuk kawasan pesisir
dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta
termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang
dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi
seluruh atau sebagian wilayah tersebut.”
Menurut IUCN (1994) in Supriharyono (2007) ada beberapa tujuan
kawasan konservasi laut, yaitu ; (1) melindungi dan mengelola sistem laut dan
estuaria supaya dapat dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang
tekanan, populasi dan spesies langka, terutama pengawetan habitat untuk
kelangsungan hidup mereka; (3) mencegah aktivitas luar yang memungkinkan
kerusakan kawasan konservasi laut; (4) memberikan kesejateraan yang terus
menerus kepada masyarakat dengan menciptakan konservasi laut; dan (5)
menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi
aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumber Daya Ikan, Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan
sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan, disebutkan jenis-jenis
dari Kawasan Konservasi Perairan, yaitu:
1) Taman Nasional Perairan adalah kawasan konservasi perairan yang
mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
pengkajian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang
perikanan yang berkelanjutan, wisata bahari dan rekreasi.
2) Taman Wisata Perairan adalah kawasan perairan dengan tujuan utama
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.
3) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas
tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan
ekosistemnya.
4) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau
maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu, sebagai tempat
berlindung/berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang
berfungsi sebagai daerah perlindungan.
Menurut Dahuri (2003), masalah yang mendasar dalam pengelolaan
kawasan konservasi laut adalah (1) batasan hukum kawasan konservasi; (2)
perusakan habitat; (3) penangkapan yang berlebihan terhadap sumberdaya hayati;
(4) polusi dan sedimentasi; (5) kurangnya fasilitas dan infrastruktur; (6) lemahnya
keikutsertaan dan kesadaran masyarakat lokal; (7) rendahnya keahlian SDM yang
ada; dan (8) lemahnya komitmen politik.
Dalam melakukan penelitian terhadap suatu wilayah, perhatian terhadap
masyarakat dan institusi yang mengatur wilayah tersebut merupakan hal yang
penting. Banyak penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil
dengan mengedepankan interaksi antara masyarakat dengan institusinya. Dalam
kaitan ini, stakeholder menjadi sangat penting (Budiharsono et al. 2006).
Freeman (1984) in Budiharsono et al. (2006) mendefinisikan stakeholder
sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi
oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset (1998) mendefinisikan
stakeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada
permasalahan. Stakeholder sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu
dari segi kekuatan dan kepentingan relatif stakeholder terhadap isu atau dari segi
posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez 1999, in Budiharsono
et al. 2006).
Salah satu pendekatan dalam mengklasifikasikan model pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah berdasarkan tingkat pengendalian stakeholder.
Dalam pendekatan ini, Jentoft (1989) diacu dalam Satria (2002)
mengklasifikasikannya menjadi tiga, yakni pemerintah (command and control),
community based-management (CBM) dan Co-Management.
Model command and control merupakan model konvensional. Dalam hal
ini, pemerintah memegang seluruh kendali pengelolaan sumberdaya perikanan,
khususnya dalam hak inisiatif maupun pengawasan melalui organisasi formal
yang dimilikinya. Nelayan atau pelaku usaha perikanan tidak mendapat
kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengelola sumberdaya perikanan. Dengan
demikian proses pengelolaan sumberdaya perikanan berlangsung secara
sentralistik. Model community based-management (CBM) atau pengelolaan yang
berbasis pada masyarakat yang merupakan kebalikan dari model command and
control. Dalam CBM, pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh nelayan atau
pelaku usaha perikanan di suatu wilayah tertentu melalui organisasi yang sifatnya
informal. Dalam model ini, partisipasi nelayan sangatlah tinggi dan mereka
memiliki otonomi terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut. Terakhir
adalah model co-management yang akhir-akhir ini terus disosialisasikan. Model
dan masyarakat yang seringkali diawali organisasi nelayan atau koperasi
perikanan bersama-sama terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya mulai dari
perencanaan hingga pengawasan (Satria 2002).
Analisis stakeholder adalah suatu sistem untuk mengumpulkan informasi
mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan
menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang
memungkinkan terjadinya trade-off.
2.7 Kebijakan Operasional Pengelolaan Terumbu Karang
Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan
informasi yang relevan, sehingga kebijakan dapat dimanfaatkan ditingkat politik
dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn 2001). Kebijakan
adalah dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan dengan
maksud untuk membangun suatu landasan yang jelas dalam pengambilan
keputusan dan langkah yang diambil. Kebijakan didasarkan pada masalah yang
ada di daerah, selanjutnya kebijakan harus secara terus menerus dipantau, direvisi
dan ditambah agar tetap memenuhi kebutuhan yang terus berubah.
Kebijakan umum pengelolaan terumbu karang di Indonesia adalah:
“Mengelola ekosistem terumbu karang berdasarkan keseimbangan antara
pemanfaatan dan kelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara
terpadu dan sinergis oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, masyarakat, swasta, perguruan tinggi, serta organisasi non
pemerintah”.
Tujuan kebijakan umum pengelolaan terumbu karang nasional adalah
terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan keseimbangan antara
pemanfaatan dan kelestariannya yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu
dan sinergis oleh masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah, swasta,
perguruan tinggi serta lembaga non pemerintah. Kebijakan tersebut merupakan
suatu upaya menjawab dan mengantisipasi berbagai isu dan permasalahan yang
menjadi penyebab terbesar semakin terdegradasinya ekosistem terumbu karang di
Kebijakan umum sebagaimana tersebut di atas, dijabarkan menjadi tujuh
kebijakan operasional sebagai berikut (Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: KEP.38/MEN/2004):
a. Kebijakan 1
Mengupayakan pelestarian, perlindungan, dan peningkatan kondisi
ekosistem terumbu karang, terutama bagi kepentingan masyarakat yang
kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada pemanfaatan ekosistem
tersebut, berdasarkan pada kesadaran hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta mengacu kepada standar-standar nasional dan
internasional dalam pengelolaan sumberdaya alam.
b. Kebijakan 2
Mengembangkan kapasitas dan kapabilitas Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan meningkatkan
hubungan kerjasama antar institusi untuk dapat menyusun dan
melaksanakan program-program pengelolaan ekosistem terumbu karang
berdasarkan prinsip keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam
yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan masyarakat dan karakteristik
biofisik dan kebutuhan pembangunan wilayah.
c. Kebijakan 3
Menyusun rencana tata ruang pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk
mempertahankan kelestarian ekosistem terumbu karang dan sumberdaya
alam pesisir dan laut secara nasional serta mampu menjamin kelestarian
fungsi ekologis terumbu karang dan pertumbuhan ekonomi kawasan.
d. Kebijakan 4
Meningkatkan kerjasama, koordinasi dan kemitraan antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta masyarakat dalam
pengambilan keputusan mengenai pengelolaan ekosistem terumbu karang
yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi,
pengawasan dan penegakan hukum.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan
kegiatan ekonomi kerakyatan, dengan mempertimbangkan sosial budaya
masyarakat setempat dan tetap memperhatikan kelestarian ekosistem
terumbu karang dan lingkungan sekitar.
f. Kebijakan 6
Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian, sistem
informasi, pendidikan dan pelatihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu
karang dengan meningkatkan peran sektor swasta dan kerjasama
internasional.
g. Kebijakan 7
Menggali dan meningkatkan pendanaan untuk pengelolaan ekosistem
terumbu karang.
Kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian teori
deskriftif umum maupun teori-teori ekonomi, karena masalah-masalah kebijakan
yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini seringkali gagal untuk
memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil kebijakan
mengontrol dan memanipulasi proses-proses kebijakan. Walaupun demikian
analisis kebijakan juga menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan
yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan suatu masalah dan juga
menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai serta arah tindakan yang lebih baik.
Jadi analisis kebijakan mencakup kegiatan evaluasi dan anjuran kebijakan.
Quandun in Dunn (2001) menyebutkan bahwa analisis kebijakan adalah
setiap jenis analisa yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat
menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan dalam menguji pendapat mereka.
Kata “analisis” digunakan dalam pengertian yang paling umu