• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN POLA KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN

KONFLIK PADA WANITA INDONESIA YANG MENIKAH

DENGAN PRIA ASING (BARAT)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

SABETHIA MARISTHELLA CESSY SIHOMBING

081301109

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita

Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, 21 Desember 2012

(3)

Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)

Sabethia Sihombing dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRAK

Komunikasi merupakan cara yang tepat guna mengatasi konflik yang timbul antar pasangan, terutama pasangan beda bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat). Adapun pola komunikasi yang dianalisa meliputi 4 pola dari DeVito (1997) yaitu Equality Pattern(terjadi kesetaraan dalam berkomunikasi antar pasangan), Balance Split Pattern(hubungan sejajar tetapi masing-masing pihak memiliki otoritas yang berbeda)¸ Unbalanced Split Pattern(salah satu pihak yang memimpin dan pihak yang lain berpegang pada pemimpin), Monopoly Pattern(salah satu pihak memonopoli komunikasi).

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi terhadap 2 orang responden. Responden I menikah dengan pria Inggris selama 2 tahun dan responden II menikah dengan pria Amerika selama 11 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam konflik yang dialami oleh responden I dan II dikarenakan banyaknya perbedaan antar pasangan. Dari hasil didapat, responden I dan II menggunakan pola komunikasi yang berbeda-beda dalam mengatasi konflik-konflik yang muncul. Responden I lebih menggunakan pola komunikasi Equalitty Pattern dan Balance Split Pattern, sedangkan responden II lebih menggunakan pola komunikasi Equality Pattern¸ Balance Split Pattern, dan Unbalanced Split Pattern. Walaupun responden I dan II menggunakan beberapa pola komunikasi yang tidak ideal dalam penyelesaian konfliknya,tetapi didapat bahwa konflik mereka tetap terselesaikan.

Kata kunci: pola komunikasi, konflik pernikahan, wanita Indonesia, menikah

(4)

The Description of Communication Patternin Conflict Resolution on Indonesian Women Who Are Married to Foreigners (Westerners)

Sabethia Sihombing and Elvi Andriani Yusuf

ABSTRACT

Communication is the proper way to resolve the conflicts that arise between couples, particularly couples of different nationalities. This study aims to explore about the description of communication pattern in conflict resolution on Indonesian women who are married to foreigners (westerners). There are four communication pattern from DeVito (1997) analyzed : Equality Pattern (equality in communication between couples), Balance Split Pattern (parallel relations yet each partner has a different authority), Unbalanced Split Pattern (one as the leader and the other depends on the leader), Monopoly Pattern (one partner dominates the communication).

This research was qualitative method involving indepth interviews and observation at the two subjects. Respondents I has been married a England gentleman for 2 years and respondent II has been married to American gentleman for 11 month.

The results showed that a variety of conflicts experienced by respondents I and II because of the many differences between the couple. From the results obtained, respondents I and II use different communication patterns in addressing conflicts that appear. Respondents I leans more to using Equality Pattern and Balance Split Pattern, while respondents II leans more to using Equality Pattern, Balance Split Pattern, and Unbalanced Split Pattern.Although respondents I and II use some communication pattern that is not ideal in the settlement of the conflict, but it was obtained that their conflict remains intractable.

Keywords: communication pattern, marriage conflict, Indonesian women,

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat, dan syukur penulis panjatkan bagi Tuhan Yesus Kristus atas limpahan karunia dan kekuatan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul : Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat).

Rasa syukur tidak henti-hentinya penulis panjatkan karena kasih-Nya yang begitu besar telah menghadirkan orang-orang terkasih untuk memberikan bimbingan, dukungan, serta kasih sayang sehingga menjadi berkat bagi penulis, yaitu :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, psikolog, selaku dosen pembimbing utama yang selalu mengarahkan, membimbing, dan memberikan semangat kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Siti Zahreni, M.Si, psi., selaku dosen pembimbing akademik yang bersedia meluangkan waktunya untuk selalu membimbing saya, memberikan masukan, nasihat, dan semangat selama masa perkuliahan. 4. Seluruh staff pengajar Fakultas Psikologi yang telah memberikan segala

(6)

pegawai Fakultas Psikologi yang telah membantu penulis baik selama masa perkuliahan maupun dalam penyusunan skripsi.

5. Kedua orangtuaku “terima kasih super dad dan super mom” atas dukungan serta doa untukku selama ini, dan terima kasih atas segala pengertian dan kesabarannya selama ini, serta bantuannya “I love you more and more my super dad and super mom

6. Kakak-kakak dan abang tersayang Juli Anna Inggrid Maulisa Imelda Sihombing, S.Si., Shelly Jocelyn Sihombing, S.P., dr. Ryki Sihombing, terima kasih atas semua dukungan, doa, nasihat dan semangat yang tidak ada hentinya untukku dan tidak lupa selalu bertanya “kapan sidang skripsi stella? kapan wisudanya?”

7. Abang-abang iparku tersayang Cipto Hosari P. Nababan, SH.MH., Palti Unedo Silitonga, S.TP, MM., terima kasih atas setiap doa, dan dukungan serta penghiburannya selama ini.

8. Ucapan terima kasih terkhusus buat Alm. Amangboru Romulus Simanjuntak dan Namboru Heddy Sihombing, atas bantuan serta dukungan guna penyelesaian skripsi ini “amangboru namboru love you more

(7)

kebahagiaan dan keceriaan selama melalui masa kuliah bersama “I love you so much girls

10. Sahabat-sahabat tercintaku, Triyana Puji Astuti, Okky Tiffany, dan Ester Panjaitan, yang selalu memberikan semangat, serta selalu memberikan penghiburan dengan selalu mengajak jalan-jalan disaat ada waktu luang “makasih sayangku”

11. Kakak senior paling baik, Indah Sebayang, yang selalu memberikan masukan, pengertian, pembelajaran, serta semangat dalam pengerjaan dan penyusunan skripsi ini sampai selesai “makasih ya kakak ku…

12. Semua saudara-saudarku yang tidak bisa disebutkan satu-satu, terima kasih atas pertanyaan yang tidak henti-hentinya ditanyakan yaitu “kapan wisuda?” yang membuat saya merasa termotivasi untuk cepat menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman seperjuangan skripsi yang saling menguatkan dan memberi semangat serta doa, Calvina, Titien, Heny, Della Oktavia, Rica Amelia, Nadrah husnah, dan Beby Haryati. Terima kasih karena selalu memberi masukan dan saran yang bermanfaat untuk penelitian ini.

(8)

15. Kedua responden penelitian saya yang mau meluangkan waktu serta mau membagi pengalaman kepada penulis sehingga menambah pengetahuan dan pemahaman penulis.

16. Segenap pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya selama ini hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan memiliki kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat terbuka terhadap masukan, kritikan, serta saran yang membangun, yang dapat digunakan untuk perbaikan skripsi ini di kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya

Medan, 21 Desember 2012 Penyusun

(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ……….. v

DAFTAR TABEL ……….. viii

DAFTAR GAMBAR ………. ix

DAFTAR LAMPIRAN ……….. x

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

I.A Latar Belakang ……….. 1

I.B Perumusan Masalah ………. 11

I.C Tujuan Penelitian ……….. 11

I.D Manfaat Penelitian ……… 11

I.E Sistematika Penulisan ……….. 12

BAB II LANDASAN TEORI ……… 14

II.A Komunikasi ……….. 14

II.A.1 Pola Komunikasi …..………. 14

II.A.2 Pola Komunikasi Keluarga ………... 14

II.A.3 Definisi Komunikasi ………... 19

II.A.4 Komunikasi Efektif………... 20

II.A.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi… 21 II.B Pernikahan Antar Bangsa ……… 22

(10)

II.B.2 Permasalahan Pernikahan Antar Bangsa ………. 23

II.C Konflik dalam Pernikahan……….. 27

II.C.1 Konflik Interpersonal ………... 27

II.C.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Konflik Interpersonal ………. 27

II.D Dewasa Awal ……… 28

II.E.1 Definisi Dewasa Awal ……….. 28

II.E.2 Tugas-tugas Perkembangan Dewasa Awal ……. 29

II.E Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat) ………... 29

BAB III METODE PENELITIAN ………. 34

III.A Metode Penelitian Kualitatif ……… 34

III.B Responden Penelitian ……….. 36

III.B.1 Karakteristik Responden Penelitian ……… 36

III.B.2 Jumlah Responden Penelitian ……….. 36

III.B.3 Prosedur Pengambilan Responden Penelitian …. 37 III.B.4 Lokasi Penelitian ………... 37

III.C Metode Pengumpulan Data ………. 38

III.D Alat Bantu Pengumpulan Data ……… 39

III.E Kredibilitas Penelitian ………...………….. 41

III.F Prosedur Penelitian ………...…….…….. 52

III.F.1 Tahap Persiapan Penelitian ………..……….….. 43

III.F.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian …….………..….. 45

III.F.3 Tahap Pencatatan Data ………. 47

(11)

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ……….. 53

IV.A Responden I ………. 53

IV.A.1 Identitas Diri ………. 53

IV.A.2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ……….. 54

IV.A.3 Gambaran Umum Responden I ………... 54

IV.A.4 Data Observasi Selama Wawancara ………. 56

IV.A.5 Analisa Data Wawancara ……….. 60

IV.B Responden II ……… 95

IV.B.1 Identitas Diri ……….. 95

IV.B.2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara ………... 95

IV.B.3 Gambaran Umum Responden II ……….. 95

IV.B.4 Data Observasi Selama Wawancara ………. 98

IV.B.5 Analisa Data Wawancara ……….. 102

IV.C Pembahasan ……….. 142

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 158

V.A Kesimpulan ……….. 158

V.B Saran ………. 160

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Gambaran Umum Responden I ………... 53

Tabel 2 Jadwal Wawancara Responden I ………. 54

Tabel 3 Interpretasi Responden I ……….. 86

Tabel 4 Gambaran Umum Responden II ……….. 95

Tabel 5 Jadwal Wawancara Responden II ……… 95

Tabel 6 Intrpretasi Responden II……….. 132

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Paradigma berpikir ……….. 33

Gambar 2 Gambara Pola Komunikasi dalam Penyelesaian Konflik pada Responden I ………. 93

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Pedoman Observasi

(15)

Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik Pada Wanita Indonesia Yang Menikah Dengan Pria Asing (Barat)

Sabethia Sihombing dan Elvi Andriani Yusuf

ABSTRAK

Komunikasi merupakan cara yang tepat guna mengatasi konflik yang timbul antar pasangan, terutama pasangan beda bangsa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat). Adapun pola komunikasi yang dianalisa meliputi 4 pola dari DeVito (1997) yaitu Equality Pattern(terjadi kesetaraan dalam berkomunikasi antar pasangan), Balance Split Pattern(hubungan sejajar tetapi masing-masing pihak memiliki otoritas yang berbeda)¸ Unbalanced Split Pattern(salah satu pihak yang memimpin dan pihak yang lain berpegang pada pemimpin), Monopoly Pattern(salah satu pihak memonopoli komunikasi).

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi terhadap 2 orang responden. Responden I menikah dengan pria Inggris selama 2 tahun dan responden II menikah dengan pria Amerika selama 11 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam konflik yang dialami oleh responden I dan II dikarenakan banyaknya perbedaan antar pasangan. Dari hasil didapat, responden I dan II menggunakan pola komunikasi yang berbeda-beda dalam mengatasi konflik-konflik yang muncul. Responden I lebih menggunakan pola komunikasi Equalitty Pattern dan Balance Split Pattern, sedangkan responden II lebih menggunakan pola komunikasi Equality Pattern¸ Balance Split Pattern, dan Unbalanced Split Pattern. Walaupun responden I dan II menggunakan beberapa pola komunikasi yang tidak ideal dalam penyelesaian konfliknya,tetapi didapat bahwa konflik mereka tetap terselesaikan.

Kata kunci: pola komunikasi, konflik pernikahan, wanita Indonesia, menikah

(16)

The Description of Communication Patternin Conflict Resolution on Indonesian Women Who Are Married to Foreigners (Westerners)

Sabethia Sihombing and Elvi Andriani Yusuf

ABSTRACT

Communication is the proper way to resolve the conflicts that arise between couples, particularly couples of different nationalities. This study aims to explore about the description of communication pattern in conflict resolution on Indonesian women who are married to foreigners (westerners). There are four communication pattern from DeVito (1997) analyzed : Equality Pattern (equality in communication between couples), Balance Split Pattern (parallel relations yet each partner has a different authority), Unbalanced Split Pattern (one as the leader and the other depends on the leader), Monopoly Pattern (one partner dominates the communication).

This research was qualitative method involving indepth interviews and observation at the two subjects. Respondents I has been married a England gentleman for 2 years and respondent II has been married to American gentleman for 11 month.

The results showed that a variety of conflicts experienced by respondents I and II because of the many differences between the couple. From the results obtained, respondents I and II use different communication patterns in addressing conflicts that appear. Respondents I leans more to using Equality Pattern and Balance Split Pattern, while respondents II leans more to using Equality Pattern, Balance Split Pattern, and Unbalanced Split Pattern.Although respondents I and II use some communication pattern that is not ideal in the settlement of the conflict, but it was obtained that their conflict remains intractable.

Keywords: communication pattern, marriage conflict, Indonesian women,

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

I. A LATAR BELAKANG

Manusia disebut sebagai mahluk sosial, karena setiap manusia saling membutuhkan satu sama lain. Sepanjang hidupnya manusia mempunyai tugas-tugas perkembangan yang berbeda pada masing-masing masa. Diantara masa-masa tersebut ada masa-masa yang disebut masa-masa dewasa awal yang mana merupakan masa yang paling lama dialami oleh seorang manusia dalam rentang kehidupannya (Hurlock, 2000). Pada masa ini, individu memiliki tugas perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan ikatan pernikahan (Havighurst dalam Hurlock, 2000).

Pernikahan adalah penyatuan suami dan istri yang disetujui secara sosial dan melibatkan serangkaian peran dan tanggung jawab sebagai pasangan suami istri yang telah menikah (Duvall dan Miller, 1985). Pernikahan bertujuan untuk mencapai

suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa kelompok masyarakat,

pernikahan dianggap sebagai alat agar seseorang mendapat status yang lebih diakui di

tengah kelompoknya (Koentjaraningrat, 1994).

Secara umum, sebelum memasuki lembaga pernikahan yang sesungguhnya

seseorang individu akan melakukan proses pemilihan pasangan sebagai langkah awal.

Memilih pasangan merupakan salah satu keputusan terpenting yang akan dibuat oleh

(18)

Sears et al (1992) mengatakan dalam hal pemilihan pasangan alasan seseorang untuk melangkah ke jenjang pernikahan biasanya cenderung untuk memilih pasangan yang mempunyai kesamaan antara dia dan pasangan, baik kesamaan dalam agama, hobi, sifat, bahasa, pola berpikir bahkan adat istiadat. Hal ini disebut sebagai prinsip kesesuaian (matching principle). Namun, perkembangan teknologi saat ini memungkinkan seseorang untuk berinteraksi walau dengan jarak yang cukup jauh, bahkan lebih dari sekedar interaksi yang biasa, tetapi juga dapat memungkinkan terjadinya pernikahan campur (Yoshida, 2008).

Pernikahan campur (intercultural marriage) dilatar belakangi dengan berbagai perbedaan, salah satunya adalah perbedaan kebangsaan (Yoshida, 2008). Pernikahan yang berasal dari latar belakang budaya dan bangsa yang berbeda dikategorikan sebagai pernikahan antar bangsa (Maretzki dalam Tseng, 1977). Saat ini pernikahan antar bangsa sudah menjadi fenomena yang terjadi pada masyarakat modern dan merupakan dampak dari semakin berkembangnya sistem komunikasi yang memungkinkan individu untuk mengenal dunia dan budaya lain (McDemott & Maretzki, 1977).

(19)

Data-data tersebut menunjukkan bahwa wanita Indonesia memiliki minat yang tinggi untuk menikah dengan pria asing.

Secara umum, kebanyakan orang dulunya melihat pernikahan antar bangsa cenderung negatif, tidak dapat diterima ataupun tidak normal. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mills & Daly (1995) menyimpulkan bahwa baik pria maupun wanita memandang negatif pada hubungan antar-ras. Hal ini terjadi karena baik pria maupun wanita tidak memiliki keberanian dan keoptimisan dalam menghadapi kesulitan yang nantinya akan mereka hadapi atas perbedaan budaya, bahasa, serta kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat kedua negara (Mills & Dally, 1995).

(20)

ini terlihat dari hasil wawancara yang peneliti dapatkan dari surat kabar online (Koran SI, 2010) dimana EH (wanita, 35 tahun) pada tanggal 16 Agustus 2010, menunjukkan bahwa terdapat banyak konflik yang timbul dalam pernikahan antar bangsa :

“sekitar dua tahun pernikahan saya, saya mengakui bahwa cukup sering terjadi perdebatan karena masalah sepele, seperti misalnya masalah masakan. Bukan hanya itu saja, bahkan mengenai waktu berkunjung dalam keluarga pun menjadi perdebatan kita di awal pernikahan…”

NSA (Pelancaran Komunikasi Pernikahan Campuran, 18 Agustus 2010)

(21)

“Perbedaannya sama kita Indonesia, kita lagi makan ya kan, kita suapin ke anak kita dari piring kita kan gitu nggak masalah, jadi anak kita pingin nyobain punya mama punya papa… kalo sama dia itu nggak boleh… anak kecil itu selalu harus uda mandiri, umur dua tahun tiga tahun itu uda harus mandiri dia itu, pokoknya semuanya sendiri gitu.”

(Komunikasi Interpersonal, 23 April 2012)

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa pola asuh anak pada pernikahan antar bangsa berbeda dikarenakan adanya perbedaan budaya yang dianut oleh masing-masing pasangan, sehingga pada akhirnya hal tersebut dapat menimbulkan konflik di dalam kehidupan rumah tangga. Selain konflik yang disebabkan perbedaan dalam pola asuh anak, wanita yang menikah dengan pria asing (barat) juga mengalami konflik yang disebabkan oleh perbedaan bahasa yang digunakan. Perbedaan bahasa terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan JH (wanita, 32 tahun) yang sudah menikah selama 2 tahun dengan pria berkebangsaan Inggris yang menunjukkan adanya konflik dikarenakan perbedaan bahasa yang menyebabkan kesalahpahaman dengan suami :

“ada jugalah pasti dek...kadang karna masalah ini juga muncul pertengkaran kakak sama dia, hanya karna salah paham dengan apa yang kakak maksud dengan apa yang dia tanggepin…”

(Komunikasi Interpersonal, 26 July 2012)

Konflik lain yang dirasakan adalah dalam hal perbedaan nilai. Hal ini terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan DC (wanita, 29 tahun) yang sudah menikah selama 9 bulan dengan pria berkebangsaan Amerika yang menunjukkan bahwa adanya perbedaan nilai dalam hal kebiasaan mengelola keuangan :

(22)

uangnya, misalnya beberapa bulan yang kamu butuhkan dia beri, nafkahi saya.. tapi kalo semua keuangan dari gaji dia gak pernah memberikan kepada saya full, karna dia yang megang, tapi tetap diketahui oleh saya.. karna dulu waktu menikah, konsep saya lebih ikut budaya timur karna orang tua saya seperti itu, ya yang namanya nafkah harus ke istri.. tapi kalo konsep dia, dia bilang ternyata bapaknya yang mengelola keuangan.. pas awal-awal menikah sih saya shock ya karna dia yang harus mengelola keuangan, sempat marah dan sebel juga..”

(Komunikasi Interpersonal, 09 Oktober 2012)

Berdasarkan kutipan wawancara diatas menunjukkan bahwa konflik yang terjadi pada pasangan suami-istri yang berbeda bangsa disebabkan oleh banyak hal. Bahkan masalah yang seharusnya tidak diributkan bisa menjadi persoalan besar yang tak kunjung selesai. Liliwery (2001) menyatakan bahwa konflik yang terjadi antar pasangan suami-istri biasa disebut sebagai konflik interpersonal, dimana konflik interpersonal merupakan konflik yang ditimbulkan oleh persepsi terhadap perilaku yang sama, namun bersumber dari harapan-harapan yang berbeda-beda. Konflik interpersonal selalu terjadi hanya karena mereka yang terlibat dalam komunikasi menampilkan persepsi yang berbeda (Liliwery, 2001).

Perbedaan persepsi merupakan hal yang wajar terjadi di dalam kehidupan pernikahan, karena setiap pasangan memiliki pandangan sendiri terhadap suatu masalah. Karena itulah dalam kehidupan pernikahan, konflik merupakan hal yang tidak bisa dihindari, karena terjadi penyatuan dua pribadi yang unik yang membawa sistem keyakinan masing-masing berdasarkan latar belakang kebangsaan atau kebudayaan serta pengalaman yang berbeda-beda.

(23)

Inggris (suami) dan Indonesia (istri), yang menyebutkan bahwa kendala yang dihadapi pada pasangan pernikahan antar bangsa umumnya adalah kendala dalam pola komunikasi, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Perbedaan tersebut nyata terlihat, sehingga mereka berusaha saling mendukung dan saling percaya jika ada masalah yang terjadi di antara mereka, sehingga perbedaan tersebut tidak akan memunculkan konflik. Sama halnya dengan penelitian oleh Nabeshima (2007) dimana dia pernah meneliti 20 pasangan yang menikah antar-bangsa, khususnya laki-lakinya berkebangsaan Amerika dan wanita berkebangsaan Jepang yang banyak ditemui sejak Perang Dunia II; hasil penelitian Nabeshima menunjukkan bahwa dalam kasus pasangan antar-bangsa Amerika-Jepang, 80% justru memiliki keakraban yang lebih intens, kerjasama dan saling pengertian yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan pola komunikasi yang harmonis lebih terjalin erat di antara mereka dengan adanya saling mendukung, saling berkomunikasi dengan lebih intim baik verbal maupun non verbal.

Berdasarkan hasil penelitian para ahli di atas, di dapat bahwa komunikasi diperlukan dalam penyelesaian masalah yang ada, dengan memilih pola komunikasi yang tepat untuk digunakan. Hal ini dapat terlihat dari hasil wawancara yang peneliti dapatkan dari surat kabar online (Bisnis Indonesia, 2011) dimana TI (wanita, 32 tahun) pada tanggal 15 Desember 2011, yang menunjukkan bahwa dengan pola komunikasi yang tepat dapat menyelesaikan konflik :

(24)

menerapkan pola komunikasi yang jujur dan juga terbuka sama suami kita,

trus bersikap konstruktif lah dalam menghadapi masalah di dalam rumah tangga yang beda bangsa seperti saya.. mau itu masalah kecil atau besar..

kan kalo perbedaan itu bisa dikomunikasikan secara terbuka, trus jujur serta masih dapat dicari kesepakatan, tentunya kan konflik yang muncul dapat ditekan..”

Saleh dan Nugrahani (Kokoh dalam Perbedaan, 18 Desember 2011) Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa pola komunikasi merupakan hal penting dalam pernikahan antar bangsa dimana menuntut saling pengertian antar pasangan. Komunikasi yang baik merupakan hal penting dalam mencapai kesuksesan suatu pernikahan, dan juga menghasilkan dampak psikologis yang baik bagi pasangan pernikahan. Hal tersebut terlihat dari hasil wawancara peneliti dengan JH (wanita, 32 tahun) yang menikah dengan pria berkebangsaan Inggris, yang menunjukkan bahwa jalinan komunikasi yang terjadi dengan baik dapat mengurangi kekhawatiran dalam diri responden :

“kakak sih ngerasa selama jalinan komunikasi antara kakak dan dia tetep baik dan terus dek, kakak ngerasa tenang aja gitu ya.. kakak ngerasa semua yang kakak khawatirkan jadi hilang.. beda halnya kalo kami misalnya udah berantem gitu kan, trus entah diem-dieman gitu, kakak ngerasa keknya banyak beban yang dipikirkan gitu.. stress aja gitu..”

(25)

Perbedaan pola komunikasi di atas jelas terjadi, dan jika tidak ada saling pengertian antar pasangan, hal tersebut seringkali dapat memunculkan miss-communication, dan akibat terburuknya adalah muncul konflik antara kedua pihak (Degenova, 2008). Pada awalnya, pria dan wanita memang sudah memiliki perbedaan dalam hal berkomunikasi, dimana pria pada umumnya berkomunikasi lebih serius dan hanya membicarakan hal-hal yang perlu diselesaikan, sedangkan wanita pada umumnya berkomunikasi guna mengekspresikan dirinya dan guna mengungkapkan semua masalah yang ada dipikirannya (Kusuma, 2009 dalam Perbedaan Cara Berkomunikasi Pria dan Wanita). Dari perbedaan tersebut terlihat jelas bahwa pria dan wanita memiliki gaya berkomunikasi yang bertolak belakang satu sama lain, sehingga pasangan yang menikah, khususnya yang melakukan pernikahan antar bangsa membutuhkan pola komunikasi guna mengurangi konflik yang muncul antar pasangan.

(26)

memiliki cara tersendiri dalam berkomunikasi,yang dikenal dengan pola komunikasi.

Pola komunikasi yang kita gunakan, sudah pasti mempengaruhi kehidupan pernikahan. Devito (1997), mengemukakan terdapat 4 pola komunikasi yang digunakan oleh pasangan suami-istri atau keluarga pada umumnya, dimana pola komunikasi ini dapat berdampak terhadap hubungan antara suami dan istri yaitu :

Equality Pattern dimana terjadi kesetaraan dalam berkomunikasi antar pasangan;

Balance Split Pattern dimana hubungan antar pasangan tetap sejajar tetapi masing-masing pihak memiliki otoritas yang berbeda; Unbalanced Split Pattern

dimana salah satu pihak ada keinginan untuk mendominasi dan pihak yang lain berpegang pada pihak yang mendominasi; dan Monopoly Pattern dimana salah satu pihak sudah memonopoli segala komunikasi yang berlangsung.

Pada pernikahan antar bangsa ini, perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing individu seperti latar belakang budaya, nilai, bahasa hokum, perbedaan pola pikir dan agama dapat menjadi kendala atau masalah dalam pernikahan (Lerrigo, 2005). Wanita dan pria jelas berbeda dalam hal berkomunikasi, sehingga wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (barat) membutuhkan pola komunikasi guna menyelesaikan segala konflik yang terjadi dikarenakan munculnya banyak perbedaan dalam pernikahan.

(27)

I. B PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka penulis mengajukan perumusan masalah, yaitu bagaimanakah pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (Barat)?

I. C TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang menikah dengan pria asing (Barat).

I. D MANFAAT PENELITIAN

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat :

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan hal yang berguna bagi perkembangan ilmu Psikologi, khususnya ilmu Psikologi Perkembangan keluarga, dalam hal pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita Indonesia yang melakukan pernikahan dengan pria barat

b. Menjadi masukan yang berguna dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat :

(28)

b. Memberikan gambaran bagi masyarakat umumtentang pola komunikasi yang tepat pada pasangan antar bangsa dalam menyelesaikan konflik dan menjadi proses belajar untuk nantinya menjalani suatu pernikahan.

I. E SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah : BABI : Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah masalah-masalah dalam pernikahan antar-bangsa, pola komunikasi pada pasangan, tugas perkembangan dewasa awal dan pernikahan antar bangsa. BAB III : Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai alasan dipergunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, metode pengambilan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian serta prosedur penelitian.

(29)

Bab ini menguraikan mengenai data dan pembahasan hasil analisa data penelitian dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A KOMUNIKASI

II.A.1 Pola Komunikasi

Devito (1997) pola komunikasi didefinisikan sebagai komunikasi yang terjadi antara dua orang atau diantara kelompok kecil orang-orang, dimana terjadi proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan, dengan beberapa umpan balik seketika. Sedangkan Djamarah (2004), pola komunikasi merupakan bentuk hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman pesan dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami dan dimengerti. Sehingga secara sederhana, dapat dikatakan bahwa komunikasi merupakan proses menyamakan persepsi, pikiran, dan rasa antara komunikator dengan komunikan (Mulyana, 2000).

Dari pengertian diatas maka suatu pola komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan secara tepat.

II.A.2 Pola Komunikasi Keluarga

(31)

akhirnya membentuk suatu pola tertentu yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.

Pola komunikasi keluarga menentukan tingkat kepuasan anggota keluarga didalamnya. Kehadiran komunikasi memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam menciptakan suasana kondusif dalam keluarga. Sebab, setiap masalah yang mungkin muncul dalam sebuah keluarga dapat diselesaikan dengan cara berkomunikasi. John Gottman (dalam DeGenova, 2008) menemukan bahwa pola komunikasi pada keluarga atau pasangansangat penting dalam kebahagiaan pernikahan.

Triandis (1994), menyatakan bahwa pola komunikasi di dalam keluarga berbeda berdasarkan budayanya, dimana budaya Asia (atau sering disebut budaya Timur) umumnya memiliki jenis komunikasi High Context communication, di mana apa yang diucapkan belum tentu sama maksud yang sebenarnya. Sementara budaya di negara-negara Barat lebih ke arah Low Context communication, yaitu mengemukakan apa yang ingin disampaikan secara tegas dan apa adanya bahkan di depan public, apa yang disampaikan adalah apa yang dirasakan

Pola komunikasi keluarga merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan pernikahan. Menurut Joseph A. Devito (1997) terdapat empat pola komunikasi keluarga yang umum pada keluarga inti ataupun pasangan suami-istri yaitu :

a. Pola Komunikasi Persamaan (Equality Pattern)

(32)
(33)

b. Pola Komunikasi Seimbang Terpisah (Balance Split Pattern)

Dalam pola ini, persamaan hubungan tetap terjaga, namun dalam pola ini tiap orang memegang kontrol atau kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Tiap orang dianggap sebagai ahli dalam wilayah yang berbeda. Sebagai contoh, dalam keluarga biasa, suami dipercaya untuk bekerja/mencari nafkah untuk keluarga dan istri mengurus anak dan memasak. Dalam pola ini, bisa jadi semua anggotanya memiliki pengetahuan yang sama mengenai agama, kesehatan, seni, dan satu pihak tidak dianggap lebih dari yang lain. Konflik yang terjadi tidak dianggap sebagai ancaman karena tiap orang memiliki wilayah sendiri-sendiri. Sehingga sebelum konflik terjadi, sudah ditentukan siapa yang menang atau kalah. Sebagai contoh, bila konflik terjadi dalam hal bisnis, suami lah yang menang, dan bila konflik terjadi dalam hal urusan anak, istri lah yang menang. Namun tidak ada pihak yang dirugikan oleh konflik tersebut karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri-sendiri.

c. Pola Komunikasi Tak Seimbang Terpisah (Unbalanced Split Pattern)

(34)

berpenghasilan lebih rendah berkompensasi dengan cara membiarkan pihak yang lebih itu memenangkan tiap perdebatan dan mengambil keputusan sendiri. Pihak yang mendominasi mengeluarkan pernyataan tegas, memberi tahu pihak lain apa yang harus dikerjakan, memberi opini dengan bebas, memainkan kekuasaan untuk menjaga kontrol, dan jarang meminta pendapat yang lain kecuali untuk mendapatkan rasa aman bagi egonya sendiri atau sekedar meyakinkan pihak lain akan kehebatan argumennya. Sebaliknya, pihak yang lain bertanya, meminta pendapat dan berpegang pada pihak yang mendominasi dalam mengambil keputusan.

d. Pola Komunikasi Monopoli (Monopoly Pattern)

(35)

Pemegang kekuasaan mendapat kepuasan dengan perannya tersebut dengan cara menyuruh, membimbing, dan menjaga pihak lain, sedangkan pihak lain itu mendapatkan kepuasan lewat pemenuhan kebutuhannya dan dengan tidak membuat keputusan sendiri sehingga ia tidak akan menanggung konsekuensi dari keputusan itu sama sekali.

II.A.3 Definisi Komunikasi

Joseph A. Devito (1997) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu tindakan oleh dua orang atau lebih, yang mengirim dan menerima suatu pesan yang terdistorsi oleh suatu gangguan (noise), terjadi dalam konteks tertentu, dengan pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Sedangkan, menurut Effendy (2000) komunikasi adalah proses penyampaia mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media).

Untuk mencapai komunikasi yang efektif dan efisien tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Banyak hal-hal yang harus diperhatikan agar pesan atau pernyataan yang disampaikan kepada orang lain bisa dimengerti serta dipahami. Komunikasi akan dapat berhasil baik apabila timbul saling pengertian, yaitu jika kedua belah pihak, si pengirim dan penerima informasi memahami.

(36)

caranya penyampaian itu agar penerima mudah mengerti dan memahami dengan perasaan ikhlas.

II.A.4 Komunikasi Efektif

Joseph A. Devito (1997), menyatakan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi komunikasi yang efektif, yaitu :

a. Keterbukaan (openess)

Keterbukaan yang menunjukkan adanya sikap untuk saling terbuka antara pelaku komunikasi dalam melangsungkan komunikasinya. b. Empati (emphaty)

Kemampuan seseorang memproyeksikan dirinya dalam peran terhadap orang lain.

c. Sikap positif (positiveness)

Sikap yang positif terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. d. Dukungan (Supportivenees)

Sikap pelaku komunikasi yang mendukung terjadinya komunikasi tersebut, tetapi pihak yang diajak berkomunikasi sudah menolak sejak awal, maka komunikasi yang diharapkan tidak akan terjadi.

e. Kesetaraan (equality)

(37)

Effendy (2000) menambahkan bahwa komunikasi dapat dikatakan efektif jika dapat menimbulkan dampak sebagai berikut :

a. Kognitif  meningkatan pengetahuan komunikan.

b. Afektif  perubahan sikap dan pandangan komunikan, karena hatinya tergerak akibat komunikasi.

c. Konatif  perubahan perilaku atau tindakan yang terjadi pada komunikan.

II.A.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi

Scott M. Cultip dan Allen H. Center (dalam IG. Wursanto, 1987) mengemukakan bahwa ada faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi, yaitu :

a. Keterpercayaan

Dalam komunikasi antara komunikator dengan komunikan harus saling mempercayai. Jika tidak ada unsur saling mempercayai, komunikasi tidak akan berhasil atau menghambat komunikasi.

b. Hubungan

Keberhasilan komunikasi berhubungan erat dengan situasi atau kondisi lingkungan pada waktu komunikasi berlangsung

c. Kepuasan

(38)

d. Kejelasan

Kejelasan yang dimaksud adalah kejelasan yang meliputi kejelasan akan berita, tujuan yang hendak dicapai dan kejelasan istilah-istilah yang dipergunakan

e. Kesinambungan dan konsistensi

Komunikasi harus dilakukan terus-menerus dan informasi yang disampaikan jangan bertentangan dengan informasi yang terdahulu. f. Kemampuan pihak penerima berita/pesan

Komunikator harus menyesuaikan istilah-istilah yang dipergunakan dengan kemampuan dan pengetahuan komunikan

g. Saluran pengiriman berita

Agar komunikasi berhasil, hendaknya dipakai saluran-saluran komunikasi yang sudah biasa dipergunakan dan sudah dikenal oleh umum.

II.B PERNIKAHAN ANTAR BANGSA

II.B.1 Definisi Pernikahan Antar Bangsa

(39)

Indonesia. Tseng, Dermott, J.F., & Maretzki, T.W (1977) mengatakan bahwa pernikahan antar bangsa adalah :

"Marriage which, takes place between spouses of different cultural background. They maybe different in their values, beliefs, customs, traditions, on

style of life so that cultural dimensions are a relatively significant aspect of such

marriage".

Pernikahan antar bangsa dapat diartikan sebagai pernikahan yang terjadi antar pasangan yang berbeda kultur atau budaya, dimana mereka berbeda dalam hal nilai-nilai, kepercayaan, adat istiadat, tradisi, gaya hidup, sehingga dimensi budaya itu menjadi aspek signifikan yang relatif dalam pernikahan.

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan antar bangsa adalah pernikahan yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya dan kewarganegaraan yang berbeda.

II.B.2 Permasalahan Pernikahan Antar Bangsa

Roland (1996) mengemukakan sumber-sumber masalah yang mungkin muncul dalam pernikahan antar bangsa, yang dapat menyebabkan konflik terutama pada pasangan individual-kolektif :

a. Perbedaan konsep “aku” (I-self)dan “kita” (we-self)

(40)

bagi dirinya. Misalnya keluarga, teman, masyarakat. Dalam budaya kolektivis, hubungan sesama individu adalah interdependent atau saling tergantung satu sama lain, sebaliknya dalam budaya individualis hubungan antar individu adalah independent atau tidak tergantung pada orang lain. Dalam pernikahan antar bangsa, perbedaan konsep ini dapat menimbulkan suatu permasalahan tersendiri. Misalnya di kebudayaan kolektivis, anak-anak tetap memiliki keterikatan yang erat pada keluarganya meskipun sudah menikah, bahkan membahas masalah keluarga bersama-sama. Sebaliknya dalam kebudayaan individualis, hubungan antar individu termasuk dengan keluarganya tidak terlalu bergantung.

b. Perbedaan dalam hubungan yang hierarkis

Dalam budaya kolektivis, hubungan ditandai dengan rasa hormat dari yang posisinya lebih rendah kepada yang lebih superior, dan bimbingan serta nasihat dari superior kepada yang lebih rendah. Usia dan kedudukan menentukan mana yang superior dan mana yang lebih rendah. Dalam budaya individualis, hubungan hierarkis ditandai dengan hak dan kewajiban yang setara. Orang dihargai bukan berdasarkan status dan kekuasaan yang dimilikinya, namun berdasarkan prestasi yang dimilikinya.

c. Perbedaan dalam menghadapi konflik

(41)

akibatnya orang lebih suka memendam hal yang tidak disukainya dibanding ia harus berkonflik dengan orang lain. Berbeda dengan kebudayaan individualis konflik harus dipecahkan secara terbuka dan diselesaikan secara terbuka pula. Perbedaan ini dapat menimbulkan masalah dalam pernikahan antar bangsa.

d. Perbedaan dalam berekspresi

Dalam kebudayaan individualis setiap emosi baik itu rasa senang, kekecewaan, penghargaan harus diekspresikan. Sebaliknya dalam budaya kolektivis emosi tidak perlu diekspresikan dengan asumsi bahwa orang disekitar kita dapat merasakan apa yang kita rasakan (Roland, 1996)

e. Perbedaan dalam pola asuh

(42)

f. Perbedaan bahasa

Roland (1996) menyatakan yang dimaksud dalam perbedaan bahasa adalah dalam pemahaman bahasa, dimana seringkali perbedaan pemahaman bahasa ini menimbulkan kesalahpahaman dan akhirnya memicu konflik. Perbedaan bahasa dalam pernikahan antar bangsa ini perlu mendapat perhatian karena dapat menimbulkan kesalahpahaman jika masing-masing pasangan tidak berusaha mengerti perbedaan bahasa yang ditimbulkan karena perbedaan budaya ini.

g. Perbedaan sistem nilai

Sistem nilai berimplikasi pada pola pikir, kebiasaan, adat istiadat, dan kepribadian seseorang. Adanya perbedaan system nilai yang tertanam dalam diri individu dalam pernikahan antar bangsa dapat menimbulkan kesalahpahaman.

h. Perbedaan konsep peran

(43)

II.C KONFLIK DALAM PERNIKAHAN

II.C.1 Konflik Interpersonal

Joseph A. Devito (2004) mengemukakan “interpersonal conflict refers to a disagreement between or among connected individuals: close friends, lovers, or

family members”, dapat diartikan konflik interpersonal berarti suatu ketidaksetujuan antar individu-individu yang saling berhubungan, sebagai contoh: teman dekat, pasangan kekasih, atau anggota-anggota keluarga. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Luthans (2005), yaitu konflik interpersonal merupakan konflik yang muncul di antara dua individu.

Liliwery (2001) menyatakan bahwa konflik yang terjadi antar pasangan suami-istri biasa disebut sebagai konflik interpersonal, dimana konflik interpersonal merupakan konflik yang ditimbulkan oleh persepsi terhadap perilaku yang sama, namun bersumber dari harapan-harapan yang berbeda-beda. Konflik interpersonal selalu terjadi hanya karena mereka yang terlibat dalam komunikasi menampilkan persepsi yang berbeda (Liliwery, 2001).

Dari uraian diatas disimpulkan konflik interpersonal adalah konflik yang muncul ataupun terjadi antara dua individu, yaitu baik dengan rekan sekerja, sesama pasangan, anggota keluarga ataupun teman, yang terjadi dikarenakan adanya perbedaan persepsi satu sama lain.

II.C.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Interpersonal

(44)

a. Attitudes

Banyak orang memandang konflik sebagai sesuatu yang buruk dan destruktif, jadi mereka menghindari segala upaya yang berhubungan dengan

b. Perceptions

Menurut Luthans (2005), persepsi yaitu proses pengenalan arti dari apa yang kita lihat atau dengar, merupakan inti dalam menentukan dan mempengaruhi konflik menghadapi situasi konflik

c. Control or Power Imbalance

Faktor lain adalah tingkat dimana individu merasa diri mereka kehilangan kendali atas suatu situasi, dan dengan demikian menyebabkan suatu ketidakseimbangan kekuatan

d. Outcome Importance

Kepentingan hasil yaitu tingkat dimana kita merasa bahwa kita kehilangan kontrol atas masalah-masalah yang penting bagi kita dalam menentukan apakah konflik akan muncul

II.D DEWASA AWAL

II.D.1 Definisi Dewasa Awal

(45)

madya dimulai pada usia 40 sampai 60 tahun dan dewasa lanjut dimulai dari usia 60 tahun keatas. Hurlock (2000) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.

Dari uraian diatas disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yangmenyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis dan berusia18 hingga 40 tahun.

II.D.2 Tugas-Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Menurut Havighurs (dalam Hurlock, 2000), tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa awal adalah:

a. Mencari dan menemukan calon pasangan hidup.

b. Mulai membina kehidupan rumah tangga dan mengasuh anak.

c. Meniti karier dalam rangka rnemantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga.

d. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab. e. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan.

II.E GAMBARAN POLA KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN

KONFLIK PADA WANITA INDONESIA YANG MENIKAH DENGAN PRIA ASING (BARAT)

(46)
(47)

antar bangsa umumnya adalah kendala dalam pola komunikasi, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural; hal tersebutlah yang dapat memunculkan konflik.

John Gottman (dalam DeGenova, 2008) menyatakan bahwa pola komunikasi padapasangan suami dan istri sangat penting dalam kebahagiaan pernikahan. Hal ini juga didukung oleh pernyataan DeGenova (2008), dimana ketika pernikahan mendapati konflik, itu dikarenakan gagalnya komunikasi. Triandis (1994) menambahkan bahwa pola komunikasi dalam keluarga yang berbeda budaya memang berbeda, dimana budaya Asia (budaya timur) umumnya menggunakan High Context communication, dimana memiliki karakteristik komunikasi yang dicirikan oleh pesan bersifat eksplisit, tidak langsung, dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dalam perilaku non verbalnya seperti intonasi suara, gerakan tangan, ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik. Sementara budaya di negara-negara Barat lebih ke arah

Low Context communication, dimana memiliki karakteristik komunikasi yang dicirikan oleh pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, dan berterus terang.

Gaya pola komunikasi yang digunakan di dalam kehidupan pernikahan atau dalam keluarga, sudah jelas berbeda dari satu keluarga dengan keluarga lainnya. Menurut Devito (1997) terdapat 4 pola komunikasi yang biasanya digunakan di dalam keluarga ataupun pasangan suami istri pada umumnya, yaitu :

(48)

suami dan istri di dalam kehidupan pernikahan, agar terjalin pernikahan yang sehat dan dapat mencegah terjadinya konflik serta dapat menyelesaikan konflik dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Dewi Minangsari (dalam Konselor Keluarga, 2011), yang menyatakan bahwa pola komunikasi yang tepat merupakan inti keberhasilan pernikahan pada pasangan pernikahan antar bangsa, karena melalui pola komunikasi yang tepat konflik dalam pernikahan dapat dihindari dan diselesaikan dengan baik.

(49)

Gambar 1. PARADIGMA BERPIKIR

•Mencari pasangan hidup

•Mulai membina kehidupan rumah tangga dan mengasuh anak pernikahan (Roland, 1996) :

•Perbedaan menghadapi konflik

•Perbedaan sistem nilai

•Perbedaan bahasa

•Perbedaan pola asuh

•Perbedaan persepsi

• Balance Split Pattern

• Unbalance Split Pattern

• Monopoly Pattern

John Gottman (1998) “Pola Komunikasi yang tepat pada keluarga inti / pasangan suami-istri sangat penting dalam

kebahagiaan pernikahan” Pernikahan antar

(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2002). Pada bagian pendahuluan telah dijelaskan bahwa tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana penyesuaian pernikahan pada wanita yang menikah dengan pria asing (barat), maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena pada pendekatan ini memungkinkan individu untuk memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton dalam Poerwandari, 2009). Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pendekatan yang akan dipakai, metode pengambilan data, lokasi penelitian, subjek penelitian, alat bantu pengumpulan data, prosedur penelitian, kredibilitas dan analisis data.

III.A METODE PENELITIAN KUALITATIF

(51)

tentang fenomena yang diteliti. Dengan kata lain metode ini dipilih karena dapat memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif (Poerwandari, 2009).

Tak hanya itu, penelitian kualitatif juga bersifat lebih deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan semua yang dikumpulkan disini menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Kelebihan metode kualitatif adalah prosedur yang khusus menghasilkan data yang detail dan kaya tentang individu dan kasus kasusnya. Kelebihan lainnya adalah menghasilkan data yang mendalam dan detail serta penggambaran yang hati-hati tentang situasi, kejadian-kejadian, orang-orang, interaksi dan perilaku yang teramati (Poerwandari, 2009).

(52)

III.B RESPONDEN PENELITIAN

III.B.1 Karakteristik Responden Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, karakteristik responden penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Responden adalah seorang wanita yang berusia 18-40 tahun (dewasa awal), yang menikah dengan pria asing (barat). Pengambilan responden disesuaikan dengan tugas perkembangan yang dipaparkan oleh Havighurst (dalam Hurlock, 2000), bahwa salah satu tugas perkembangan dewasa awal adalah mencari pasangan dan menikah b) Memilik anak

c) Pernikahan masih berlangsung hingga sekarang d) Subyek berdomisili di Medan dan sekitarnya

III.B.2 Jumlah Responden Penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2009) desain kualitatif memiliki sifat luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil untuk penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia.

(53)

responden yang digunakan adalahsebanyak dua orang wanita dewasa awal yang menikah dengan pria asing (barat)

III.B.3 Prosedur Pengambilan Responden Penelitian

Patton (dalam Poerwandari) menguraikan bahwa pengambilan sampel pada penelitian kualitatif, harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Prosedur pengambilan responden yang digunkan dalam penelitian ini adalah pengambilan sampel bola salju/berantai (snowball/chain sampling).

Menurut Patton (dalam poerwandari), teknik sampling ini dilakukan secara berantai, dimana peneliti meminta informasi dengan bertanya pada subjek penelitian, pada orang yang telah diwawancarai atau pada orang yang dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya.

Adapun pertimbangan dalam menggunakan teknik sampling ini adalah karena wanita yang menikah dengan warga asing(barat) cukup sulit untuk ditemukan secara berkelompok atau dalam komunitas tertentu. Pengambilan responden dilakukan secara berantai mulai dari ukuran kecil dan makin lama makin besar.

III.B.4 Lokasi Penelitian

(54)

III.C METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancaradan observasi sebagai teknik pembantunya selama wawancara berlangsung. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2009). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna respondentif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dalam Poerwandari 2009).

Wawancara yang digunakan adalah dengan wawancara pedoman umum, dimana dalam proses wawancara, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan dan bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit yang tujuannya untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek tersebut relevan untuk dibahas atau ditanyakan (Poewandari,2009). Wawancara dalam penelitian ini yaitu dengan wawancara mendalam (in depth-interview) yang berbentuk open-ended question.

(55)

peneliti akan melakukan penggalian informasi lebih lanjut (probing) kepada responden. Selain itu juga dilakukan wawancara yang berbentuk open-ended question dimana peneliti mencoba mendorong responden untuk berbicara lebih lanjut tentang topik pola komunikasi dalam penyelesaian konflik di dalam pernikahan responden tanpa membuat responden merasa diarahkan.

Selama wawancara berlangsung akan dilakukan obeservasi terhadap situasi dan kondisi serta perilaku yang muncul pada responden. Tujuan dilakukannya observasi dalam penelitian ini sebagai alat bantu tambahan agar peneliti mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai pola komunikasi dalam penyelesaian konflik pada wanita yang menikah dengan pria asing (barat). Poerwandari (2009), mengatakan observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Berdasarkan hal ini maka hasil observasi akan digunakan sebagai data pelengkap dari hasil wawancara. Adapun hal-hal yang akan diobservasi adalah lingkungan fisik dilakukannya wawancara, penampilan fisik responden, perilaku responden kepada peneliti selama wawancara, perubahan ekspresi wajah responden selama wawancara berlangsung, hal-hal yang mengganggu selama wawancara dan hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara.

III.D ALAT BANTU PENGUMPULAN DATA

(56)

mengumpulkan data, hingga analisis, menginterprestasikan dan menyimpulkan hasil penelitian. Dalam mengumpulkan data-data penelitian penulis membutuhkanalat bantu (instrumen penelitian), yaitu :

1. Pedoman Wawancara

Menurut Poerwandari (2009), penggunaan pedoman wawancaraberfungsiuntuk memuat pokok-pokok pertanyaan yang diajukan yaituopen-ended questiostujuannya adalah menjaga arah wawancara agartetap sesuai dengan tujuanpenelitian. Pelaksanaan wawancara tidakdigunakan secara kaku, dan tidak tertutupkemungkinan untukmenanyakan hal lain yang masih berhubungan dengan topikpenelitianagar data yang didapatkan lebih lengkap dan akurat (Poerwandari,2009).Pedoman umum wawancara dalam penlitian ini dibuatberdasarkan teori pola komunikasi yang dikemukakan oleh DeVito (1997) dan permasalahan perkawinan antar bangsa oleh Roland (1996). Pedoman umum wawancara dalam penelitianini bertujuan untukmengingatkan dan membantu peneliti saat melakukanwawancaramengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftarpengecek dari aspek-aspek tersebut telah ditanya atau dibahas.

2. Tape Recorder (Alat Perekam)

(57)

karena itu,dalam penelitian ini penelitimerasa perlu untuk menggunakan alatperekam agar peneliti dapat berkonsentrasipada proses pengambilandata tanpa harus berhenti untuk mencatat jawabanjawaban dariresponden. Dalam pengumpulan data, alat perekam baru dapatdipergunakan setelah mendapat ijin dari responden untukmempergunakan alat tersebut pada saat wawancara berlangsung.

3. Alat Tulis dan Kertas untuk Mencatat

Pencatatan dilakukan untuk menunjang data yang terekam melalui perekam dan kertas untuk mencatat berfungsi sebagai data kontrol dan jalannya wawancara dan observasi.

III.E KREDIBILITAS PENELITIAN

Kredibilitas merupakan istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk mengganti konsep validitas, yaitu ketepatan suatu alat ukur dalammengukurapa yang hendak diukur. Kredibilitas studi kualitatif terletak padakeberhasilannyamencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikansetting, proses,kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari,2009).Kredibilitas penelitian ini nantinya terletak pada keberhasilan penelitiandalammengungkapkan bagaimana pola komunikasi dalam penyelesaian konflik padawanitayang menikah dengan pria asing (barat).

(58)

menyimpan secara lengkap data yang terkumpul untuk meningkatkan kredibilitas penelitian. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Marshall dan Rossman (dalam Poerwandari, 2009) yang mengatakan langkah-langkah yang dapat meningkatkan kredibilitas suatu penelitian adalah mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul. Secara keseluruhan adapun upaya peneliti nantinya dalam menjaga keabsahan data dalam penelitian ini, antara lain dengan:

a) Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian.

b) Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori pola komunikasi yang dikemukakan oleh DeVito (1997) dan permasalahan pada perkawinan antar bangsa oleh Roland (1996). Selain itu, peneliti juga menjaga standarisasi pedoman wawancara dengan melakukan profesional judgement bersama beberapa ahli.

c) Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat. Pernyataan responden yang ambigu atau kurang jelas akan ditanyakan kembali (probing) di saat wawancara atau pada pertemuan selanjutnya, hal ini dilakukan untuk memperoleh data yang akurat.

d) Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap setting, responden ataupun hal lain yang terkait.

(59)

f) Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

g) Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking and rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda.

III.F PROSEDUR PENELITIAN

III.F.1 Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian:

a) Mencari informasi mengenai dewasa awal. Bagaimana tugas-tugas perkembangan mereka dan apa yang menunjang mereka untuk dapat berkembang.

b) Mencari informasi mengenai perkawinan antar bangsa. Berapa banyak wanita yang menikah dengan pria asing, khususnya pria barat. Mencari informasi mengenai alasan mereka melakukan pernikahan antar bangsa dan mencari jurnal pendukung mengenai pernikahan antar bangsa. c) Melakukan wawancara awal terhadap wanita yang menikah dengan

(60)

perkawinan mereka. Setelah itu, merumuskanpermasalahan yang akan diteliti.

d) Mengumpulkan konsep teori mengenai dewasa awal, penyesuaian pola komunikasi, dan interculturalmarriage,khususnya pernikahan antar bangsa. Pada tahap ini, peneliti berusahamengumpulkan dan mempelajari informasi serta konsep teori tersebut.

e) Peneliti menganalisa dan memilih teori-teori mengenai dewasa awal,penyesuaian pernikahan dan perkawianan antar bangsa yang akandigunakan dalam penelitian ini.

f) Mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan selama penelitian. Hal yang dibutuhkan dimulai dari pedoman dasar wawancara, menyusun serangkaian pertanyaan untuk dijadikan sebagai pedoman wawancara yang didasarkan dari teori-teori yang dipakai yaitu pola komunikasi oleh DeVito (1997). Selain itu juga peneliti mempersiapkan alat-alat pembantu seperti recorder, kamera, alat tulis untuk pengolahan data dan sebagainya.

(61)

h) Mengurus izin pengambilan data. Pengurusan izin dilakukan denganmeminta Surat Permohonan IzinPenelitian pada Administrasi Fakultas Psikologi USU

i) Persiapan untuk mengumpulkan data. Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian dariteman – temanpeneliti dan memastikan bahwa calon responden tersebuttelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Setelah mendapatkannya,lalu peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Dalam tahap ini disertai pembanggunan rapport antara peneliti dan responden penelitian

III.F.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini, peneliti melakukan beberapa hal yang diperlukan dalam penelitian, yaitu:

a) Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b) Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

(62)

menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan. Responden juga mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

• Peneliti mulai melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya dan meminta izin kepada responden untuk merekam pembicaraan dengan menggunakan tape recorder dari awal sampai akhir wawancara. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

c) Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim. Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2007).

d) Melakukan analisa data

(63)

data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara. Peneliti membagi penjabaran analisa data responden ke dalam faktor-faktor penyesuaian pernikahan.

e) Menarik kesimpulan. Akhir dari penelitian, setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan, diskusi dan data hasil penelitian

III.F.3 Tahap Pencatata Data

Pencatatan data dapat dipermudah dengan menggunakan alat perekam oleh peneliti sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan dengan tape recorder. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah salinan hasil wawancara dalam pita suara yang dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

III.G ANALISA DATA

(64)

Menurutnya, suatu laporan yang baik harus menjelaskan metode-metode pengumpulan data secara eksplisit. Stategi pengumpulan data dan analisa data harus diungkapkan secara terbuka, dan keputusan-keputusan di lapangan yang mengubah strategi atau fokus substantif harus didokumentasikan dengan baik. Data apapun bentuknya (catatan lapangan, transkripsi wawancara, catatan refleksi dan lain sebagainya) perlu disimpan dan dijaga dengan baik kelengkapannya. Peneliti juga perlu menilai kelengkapan dan kebenaran data yang telah dikumpulkan.

Lebih lanjut, Marshall (1985) menyarankan pentingnya peneliti untuk sungguh-sungguh mengembangkan konstruk analisis melalui data. Konstruk analisis harus berpijak pada data, bukan rekaan atau refleksi dari kerangka berpikir peneliti sendiri. Analisis dan interpretasi terhadap data diharapkan dapat mendalam bila fakta-fakta negatif (hal-hal yang tidak menyokong dugaan atau kecenderungan umum) diungkapkan dan mendapatkan analisis/diskusi yang baik. Dugaan-dugaan berbeda perlu dipresentasikan dan didiskusikan secara teliti. Peneliti juga dituntut untuk bersikap terbuka dan reflektif: bias-bias perlu didiskusikan, baik itu bias interest (seperti minat pribadi, minat profesional, ataupun keterkaitan dengan kebijakan tertentu) maupun bias-bias teoritis dan asumsi-asumsi yang ada dibenak peneliti.

(65)

1. Organisasi Data

Dengan data kualitatif yang sangat beragam dan banyak, menjadi kewajiban peneliti untuk mengorganisasikan datanya dengan rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Higlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2009) mengungkapkan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yangbaik,mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.Hal-hal yang penting untuk diorganisasikan diantaranya adalah data mentah yang merupakan hasil rekaman dan catatan lapangan penelitian yang berkaitan dengan pola komunikasi serta konflik pernikahan pada responden wanita Indonesia yang menikah dengan pria barat, dimana data tersebut akan diproses sebagian dalam bentuk verbatim dari hasil wawancara yang telah dilakukan dan kemudian akan ditandai/dibubuhi kode-kode khusus untuk mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data.

2. Koding dan Analisis

(66)

yang menikah dengan pria barat. Dengan demikian peneliti akan dapat menemukan makna dari data yang dikumpulkannya. Peneliti berhak memilih cara melakukan koding yang dianggap paling efektif bagi data yang dikumpulkan, pemilihan koding bisa dilakukan dengan tanda, huruf, maupun angka. Pemberian koding dan analisis pada data dapat dilakukan setelah membuat transkip wawancara dalam bentuk tabel, transkip tersebut perlu diperhatikan dan dibaca secara berulang-ulang dan jika pada transkip wawancara ditemukan materi yang diharapkan maka dapat dilakukan analisa awal dan kemudian dapat dikoding berdasarkan aspek-aspek pola komunikasi serta sumber konflik pernikahan sesuai dengan teori.

3. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data, kita dapat mengembangkan dugaan-dugaan yang adalah juga kesimpulan-kesimpulan sementara. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat, bahkan bertumpuk dalam upaya mencari penjelasan-penjelasan yang berbeda mengenai data yang sama.

4. Hal-Hal yang Penting Sebagai Strategi Analisis

(67)

oleh peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis.Pada penelitian ini, peneliti menganalisa masing-masing individu dimana dalam hal ini terdiri dari dua wanita Indonesia (istri) yang menikah dengan pria barat (suami). Hal ini sesuai dengan Poerwandari (2009) yang menyarankan untuk melakukan studi kasus terhadap masing-masing individu terlebih dahulu bila fokus penelitian adalah variasi individu-individu.

5. Tahapan Interpretasi

Menurut Kvale (dalam Poerwandari, 2009) interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut.Interpretasi dilakukan sesuai dengan teori yang digunakana oleh peneliti yaitu teori DeVito (1997) mengenai pola komunikasi yang pada umumnya digunakan oleh pasangan suami-istri. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan partisipan untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkripsi wawancara).

6. Penulisan Laporan Penelitian

(68)

Gambar

Gambaran Pola Komunikasi Dalam Penyelesaian Konflik
Gambar 1. PARADIGMA BERPIKIR
Tabel 1. Gambaran Umum Responden I
Tabel 2. Jadwal Wawancara Responden 1
+6

Referensi

Dokumen terkait

In the research, the collaborative planning approach is used as a basis to explain the inter-regions collaboration strategies used for cross-regions border

Diketahui tingkat kematangan dari proses evaluasi yang dilakukan COBIT 5 dengan menggunakan proses DSS01, DSS02, DSS04, APO08 dan BAI04 rata-rata pada tingkat 2

Pembacaan sensor PIR untuk mendeteksi keberadaan manusia memiliki tingkat akurasi 90%, kemudian untuk pembacaan sensor LDR , LM35 dan IR Obstacle dapat dikatakan

Objektif kajian ini adalah bertujuan untuk mengenal pasti tahap kualiti udara persekitaran selepas banjir di kawasan yang terjejas dengan banjir di sekitar negeri Kelantan

Pendekatan Research and Development (R&D) adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dianalisis dengan menggunakan Unifed Modeling Language

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi potensi kebangkrutan dengan menggunakan metode Altman Z-Score pada perusahaan manufaktur sektor industri barang konsumsi sub

pada ekstraksi tanin dari daun ketapang ( Terminalia Catappa Linn ) dengan menggunakan.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh faktor internal bank yang terdiri dari Dana Pihak Ketiga (DPK), CAR, ROA, NPL’s terhadap jumlah kredit yang disalurkan oleh bank