• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu Rendah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu Rendah"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON PERKECAMBAHAN POLEN PEPAYA IPB 6 DAN

IPB 9 TERHADAP PENYIMPANAN SUHU RENDAH

FIDIANINTA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Perkecamba- han Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu Rendah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

(4)

ABSTRAK

FIDIANINTA. Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu Rendah. Dibimbing oleh KETTY SUKETI dan WINARSO DRAJAD WIDODO.

Percobaan dilakukan untuk mempelajari daya simpan dan daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang disimpan pada suhu 10 oC, 5 oC, dan -20 oC dengan waktu penyimpanan hingga 4 minggu. Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Biofisik dan Biologi Reproduksi, Laboratorium Kultur Jaringan 3, dan Laboratorium Mikroteknik, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan April–Juni 2014. Parameter yang diamati pada percobaan ini adalah diameter polen, daya berkecambah, dan panjang tabung polen. Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi ketiga parameter yang diamati. Selama penyimpanan 4 minggu, daya berkecambah terbaik untuk pepaya IPB 6 ditunjukkan oleh polen yang yaitu sebesar 47.72 µm. Diameter dan panjang tabung polen tidak mempengaruhi daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9.

Kata kunci: daya berkecambah, daya simpan, diameter polen, tabung polen

ABSTRACT

The experiment was conducted at Laboratory of Biophysics and Reproductive Biology, Laboratory of Tissue Culture 3, and Laboratory of Microtechnic, Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University on April to June 2014. Three parameters were observed in this experiment: pollen diameter, the germination rate, and length of pollen tube. The experimental results showed that storage temperature affects the three parameters were observed. The best germination for IPB 6 indicated by pollen stored at 10 °C (23.11%) while for IPB 9 indicated by pollen stored at 5 °C (30.68%). The longest pollen tube for IPB 6 indicated by pollen stored at -20 °C (63 µm), while for IPB 9 indicated by pollen stored at 10 °C (47.72 µm). There is no corellation between pollen diameter and length of pollen tube with pollen germination of papaya pollen IPB 6 dan IPB 9.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Agronomi dan Hortikultura

RESPON PERKECAMBAHAN POLEN PEPAYA IPB 6 DAN

IPB 9 TERHADAP PENYIMPANAN SUHU RENDAH

FIDIANINTA

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu Rendah

Nama : Fidianinta NIM : A24100144

Disetujui oleh

Dr Ir Ketty Suketi, MSi Pembimbing I

Ir Winarso D. Widodo, MS, PhD Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MSc Agr Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Respon Perkecambahan Polen Pepaya IPB 6 dan IPB 9 terhadap Penyimpanan Suhu Rendah”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dan sebagai tugas akhir Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini juga tidak lepas dari peranan berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungannya. Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Keluarga yang telah memberikan dukungan secara moril maupun materil selama penulis kuliah di Institut Pertanian Bogor

2. Dr Ir Ketty Suketi, MSi dan Ir Winarso Drajad Widodo, MS, PhD sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan panduan dan bimbingannya selama penelitian ini berlangsung

3. Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP, MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis belajar di Institut Pertanian Bogor

4. Pusat Kajian Hortikultura Tropika yang telah menyediakan fasilitas kebun pepaya untuk penelitian ini

5. Bapak Joko sebagai laboran dari Laboratorium Mikroteknik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian

6. Bapak Baesuni dan Bapak Awang sebagai petugas Kebun Percobaan PKHT Pasir Kuda dan Tajur

7. Wina, Tika, SOBAT (Abang Jarjit, Radhiya, Imdad, Agung, Ufa, dan Nilam) yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama belajar di Institut Pertanian Bogor

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Bunga Pepaya 3

Polen 4

Penyimpanan Polen 5

METODE PENELITIAN 6

Tempat dan Waktu Percobaan 6

Bahan Percobaan 6

Peralatan Percobaan 6

Prosedur Percobaan 6

Pengamatan 7

Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Diameter Polen 9

Daya Berkecambah 11

Panjang Tabung Polen 12

KESIMPULAN 14

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 18

(12)

DAFTAR TABEL

1 Diameter polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 9

2 Persentase polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang mengalami plasmolisis 10

3 Daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 11

DAFTAR GAMBAR

1 Kriteria perkecambahan polen; (a) polen yang telah berkecambah

(b) polen yang belum berkecambah 8

2 Polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 sebelum perlakuan penyimpanan 9 3 Diameter polen pepaya IPB 6 setelah disimpan selama 4 minggu 10 4 Diameter polen pepaya IPB 9 setelah disimpan selama 4 minggu 10 5 Panjang tabung polen pepaya IPB 6 selama 4 minggu penyimpanan 13 6 Panjang tabung polen pepaya IPB 9 selama 4 minggu penyimpanan 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi pepaya IPB 6 (varietas Sukma) 18

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pepaya merupakan salah satu tanaman buah yang banyak ditanam oleh masyarakat Indonesia. Menurut Suketi (2011), kendala pengembangan pepaya diantaranya adalah produktivitas yang masih rendah dan beberapa varietas unggul belum memenuhi kriteria yang disukai konsumen karena mutu buah yang belum optimum. Permasalahan mutu buah yang belum optimum memiliki keterkaitan dengan sifat penyerbukannya. St-Pierre (2006) melaporkan bahwa penyerbukan pada tanaman buah berhubungan dengan pembentukan buah dan jumlah biji. Pembentukan buah didefinisikan sebagai bagian dari urutan perkembangan ovarium sekaligus penentu keberhasilan penyerbukan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Shore dan Barrett (1984) pada tanaman Turnera ulmifolia menunjukkan rata-rata jumlah polen yang dibutuhkan untuk pembentukan 1 biji berkisar 2–7 polen dan lebih dari 95 polen dibutuhkan untuk mencapai jumlah biji yang maksimum. Sabran et al. (2012) menyatakan bahwa penyerbukan pada bunga tergantung pada ketersediaan polen itu sendiri, sehingga apabila polen tidak habis dipakai dapat disimpan.

(14)

2

produksi karena penyerbukan mempengaruhi produktivitas dan kualitas. Semakin banyak polen yang diserbukan maka semakin besar buah yang dihasilkan karena semakin banyak biji yang terbentuk. Selain itu menurut Widiastuti dan Palupi (2008), pada kelapa sawit semakin banyak polen yang digunakan cenderung meningkatkan pembentukan buah normal.

Polen merupakan salah satu komponen yang berperan dalam penyerbukan. Pengecambahan polen memerlukan media yang sesuai dengan polen yang akan dikecambahkan. Salah satu metode pengecambahan adalah dengan cara pengecambahan polen secara in vitro. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Warid (2009), metode ini tidak dapat digunakan secara umum karena setiap tanaman memerlukan media perkecambahan polen yang berbeda, sehingga diperlukan komposisi dan konsentrasi bahan kimia yang tepat, selain itu media perkecambahan polen PGM dan BK (Brewbaker dan Kwack) tidak menunjukkan adanya hasil yang berbeda pada daya berkecambah famili Poaceae, Euphorbiaceae, Solanaceae, dan Myrtaceae.

Sari et al. (2010) menyatakan bahwa lama simpan polen dapat ditingkatkan dengan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitasnya. Khan dan Perveen (2006) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang paling mempengaruhi viabilitas polen selama penyimpanan adalah suhu. Setiawan dan Ruskandi (2005) juga menjelaskan bahwa tidak semua polen habis dipakai dalam 1 hari pada persilangan buatan, bergantung pada jumlah bunga betina yang sudah siap untuk diserbuki, sehingga polen perlu disimpan dan proses penyimpanan polen akan mempengaruhi viabilitasnya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Perveen (2007), mempertahankan kapasitas perkecambahan polen yang disimpan dapat bermanfaat untuk menghemat waktu dalam program pemuliaan dan juga dalam perbaikan tanaman. Perveen et al. (2007) menunjukkan bahwa faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kondisi polen adalah suhu dengan hasil polen pepaya yang disimpan pada suhu -60 oC menghasilkan viabilitas terbaik yaitu 60% setelah disimpan selama 48 minggu.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penyimpanan suhu rendah terhadap daya simpan dan daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9.

Hipotesis

(15)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Bunga Pepaya

Genus Carica L. merupakan tanaman asli Amerika Tropis dan berasal dari proses hibridisasi alami antara Carica peltata Hook. dan Arn. Tanaman ini kemudian dibawa ke Karibia dan Asia Tenggara melalui eksplorasi Spanyol pada abad ke-16, lalu menyebar dengan cepat ke India, Afrika, dan saat ini sudah banyak ditemukan baik di daerah subtropika maupun daerah tropika (Villegas 1991). Tanaman pepaya banyak ditemukan di berbagai daerah Indonesia. Sebagai salah satu negara tropika, hampir seluruh pelosok negeri Indonesia terdapat pepaya dengan ragam bentuk dan jenis yang berbeda-beda, mulai dari yang berbentuk lonjong, bulat, dan silindris. Berbagai pepaya berukuran kecil, sedang, dan besar dengan daging buah berwarna merah, kuning, hingga oranye serta kulit buah yang berwarna hijau muda, hijau tua, dan kuning. Keanekaragaman ini merupakan bahan genetik tanaman pepaya yang menjadi bahan dasar untuk merakit varietas pepaya unggul (Sujiprihati dan Suketi 2009).

Bunga pepaya banyak diproduksi di dekat puncak batang dan membuka antara jam 07.00 sampai 09.00 pagi. Umur dari bunga pepaya berkisar antara 3–4 hari, namun untuk masa reseptif putik masih belum diketahui. Tanaman hermafrodit dan betina menghasilkan jumlah bunga yang bervariasi, antara 2–15 bunga. Tanaman jantan menghasilkan jumlah bunga yang lebih banyak dibandingkan tanaman hermafrodit dan betina, bunga yang dihasilkan bisa mencapai puluhan bahkan ratusan bunga dalam 1 tanaman. Produksi nektar dan aroma yang banyak dihasilkan oleh bunga pepaya dapat menarik serangga seperti ngengat, kupu-kupu, lebah, lalat, burung kolibri, dan lainnya (Decraene dan Smets 1999). Proses penyerbukan sampai penetrasi pada ovul membutuhkan waktu selama 25 jam dan suhu 28 oC (Cohen et al. 1989).

(16)

4

Polen

Polen juga hidup seperti organisme hidup lainnya. Perilaku dan keberlangsungan hidup polen dipengaruhi oleh lingkungan dan genotipe. Penggunaan kontrol dan variabel juga harus diperhatikan untuk menilai kualitas polen. Kualitas polen dapat dilihat melalui penilaian dalam beberapa kondisi seperti dalam penelitian ataupun kondisi dari tanaman seperti produksi polen dari jam ke jam, hari ke hari, dan musim ke musim. Antera mulai pecah pada pukul 05.00 pagi dan polen yang dikumpulkan 12 jam setelah antera pecah dapat dikatakan sebagai polen yang tidak viabel. Nutrisi dari tanaman induk juga mempunyai pengaruh besar terhadap viabilitas polen dan mungkin juga akan berpengaruh terhadap hasil dari tes perkecambahan polen secara in vitro (Harrison 1992).

Perkembangan polen terjadi di dalam antera. Antera terdiri dari 4 lapis dinding (epidermis, endotesium, lapisan tengah, dan tapetum) yang disertai dengan lokul berisi cairan. Lokul mengandung sel sporogenic yang akan mengalami meiosis. Lapisan pada antera yang berdekatan dengan lokul disebut sebagai tapetum, dimana jaringan ini sangat berperan dalam mikrosporogenesis. Setiap mikrosporosit mengalami 2 pembelahan meiosis selama kurang lebih 3 hari. Pembelahan ini menghasilkan 4 sel haploid yang disebut mikrospora yang masih terbungkus dalam dinding kalus. Setelah peleburan dinding kalus, mikrospora tumbuh cepat selama 5 hari dan membentuk bagian terluar dinding polen yaitu exine. Sekitar 5 hari setelah pembelahan meiosis, bagian asimetris yang disebut mikrospora mengalami mitosis dan menghasilkan dua sel dengan fungsi yang berbeda. Sel yang dihasilkan ini disebut sebagai polen. Selama 7 hari berikutnya, proses pematangan pada polen terjadi. Sel generatif dalam polen terbagi menjadi 2 sel gamet jantan, pada beberapa spesies tanaman lain, mitosis kedua ini terjadi hanya setelah perkecambahan tabung polen (Bedinger 1992).

(17)

5 Penyimpanan Polen

Widiastuti dan Palupi (2008) menyatakan bahwa salah satu masalah dalam pengelolaan polen adalah kontinuitas ketersediaannya sehingga perlu dilakukan upaya agar viabilitas polen dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama dengan penyimpanan. Polen merupakan jaringan hidup yang mengalami kemunduran seiring lamanya waktu penyimpanan. Modifikasi suhu dan kelembaban relatif (RH) yang rendah, atau salah satu diantaranya dapat mempertahankan viabilitas lebih lama. Menurut Agustin et al. (2014) pengelolaan polen pada melon bermanfaat dalam pengembangan produksi benih hibrida, di antaranya menjamin ketersediaan polen jika sewaktu-waktu diperlukan, menjamin keamanan koleksi plasma nutfah, meningkatkan efisiensi penggunaan lahan penangkar benih karena tidak perlu menanam tanaman tetua jantan, dan mempertahankan viabilitas polen tetap tinggi sampai periode waktu tertentu.

Sedgley dan Harbard (1993) menyatakan bahwa dalam upaya pengendalian hibridisasi, penyimpanan polen merupakan hal yang penting untuk mempertahankan produksi benih yang fertil. Selain itu, fleksibilitas dari teknik hibridisasi akan meningkat jika polen berhasil disimpan dalam jangka waktu yang lama. Hal ini juga akan mempermudah transportasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan memungkinkan penyimpanan polen dari tahun ke tahun sehingga tanaman yang memiliki perbedaan umur dan waktu pembungaan akan dapat dihibridisasi. Bhat et al. (2012) menyatakan bahwa penyimpanan polen dalam jangka panjang dapat bermanfaat untuk konservasi gen dan mengisolasi spesies induk dalam program pemuliaan, selain itu polen yang disimpan diperlukan untuk pengendalian penyerbukan dan memecahkan beberapa kendala dalam produksi buah. Hal ini penting untuk program pemuliaan, konservasi plasma nutfah, dan penyerbukan buatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Akond et al. (2012) pada Lagerstroemia spp. menyatakan bahwa penyimpanan polen yang layak tidak lebih dari 75 sampai 100 hari, sehingga akan membuat kegiatan hibridisasi yang dilakukan oleh para pemulia menjadi cukup efisien dalam penggunaan polen meskipun lokasi yang berjauhan.

(18)

6

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Percobaan

Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Biofisik dan Biologi Reproduksi, Laboratorium Mikroteknik, dan Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Percobaan dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan bulan Juni 2014.

Bahan Percobaan

Polen diperoleh dari Kebun Percobaan Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) IPB, Tajur dan Pasir Kuda. Bunga pepaya yang digunakan dalam percobaan ini adalah bunga pepaya hermafrodit. Polen yang digunakan berasal dari bunga 2 genotipe pepaya yaitu IPB 6 (varietas Sukma) yang berasal dari pohon pepaya berumur 5 bulan setelah tanam dan IPB 9 (varietas Callina) yang berasal dari pohon pepaya berumur 6 bulan setelah tanam dengan masing-masing deskripsi dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Media perkecambahan polen pepaya yang digunakan adalah Brewbaker dan Kwack (BK) yang terdiri atas 0.01 g H3BO3, 0.03 g Ca(NO3)2 4H2O, 0.02 g MgSO4 7H2O, 0.01 g KNO3,

10% sukrosa, dan 100 ml aquades.

Peralatan Percobaan

Alat yang digunakan antara lain cool box, kain strimin, aluminium foil, kain nilon, pinset, wadah plastik, microtube, deck glass, cover glass, kertas label, pipet, mikroskop Olympus BX 51, dan perlengkapan dokumentasi.

Prosedur Percobaan

Persiapan dan Penyimpanan Polen

(19)

7 Polen yang telah diekstrak kemudian dimasukkan ke dalam microtube dan disimpan pada 3 jenis lemari pendingin dengan suhu yang berbeda, yaitu 10 oC, 5 oC, dan -20 oC. Setiap lemari pendingin menyimpan 3 microtube untuk 1 genotipe dimana 1 ulangan merupakan 1 microtube. Penyimpanan polen untuk minggu ke-1 dilakukan dengan cara mengambil microtube yang ada pada 3 lemari pendingin, kemudian dikeluarkan dan didiamkan selama 30 menit, setelah itu microtube dimasukkan kembali ke lemari pendingin. Metode penyimpanan polen pada minggu selanjutnya sama dengan penyimpanan minggu ke-1.

Perkecambahan

Media perkecambahan yang digunakan adalah media Brewbaker dan Kwack dengan komposisi yang terdiri atas 0.01 g H3BO4, 0.03 g Ca(NO3)2 4H2O, 0.02 g

MgSO4 7H2O, 0.01 g KNO3, 10% sukrosa dan 100 ml aquades. Bahan-bahan

tersebut ditakar kemudian dicampur. Bahan-bahan yang telah tercampur dimasukkan ke dalam botol kultur lalu ditutup rapat dengan plastik dan disimpan dalam lemari pendingin untuk menjaga kualitas dan kesterilannya. Microtube yang berisi polen dikeluarkan dari lemari pendingin lalu didiamkan selama 30 menit, setelah 30 menit, polen yang akan dikecambahkan ditaburkan masing-masing di atas 3 deck glass, 1 deck glass mewakili 1 ulangan. Polen yang telah ditaburkan di atas deck glass ditetesi media perkecambahan lalu diinkubasi selama 4 jam dengan cara diletakkan pada wadah plastik yang di dalamnya telah diberi kertas tisu lembab kemudian ditutup rapat.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 4 minggu. Pengamatan pertama dilakukan dengan mengukur diameter polen, daya berkecambah polen, dan panjang tabung polen pada hari ke-0 atau sebelum disimpan. Pengamatan selanjutnya dilakukan pada 7, 14, 21, dan 28 hari setelah penyimpanan. Parameter yang diamati yaitu daya berkecambah, panjang tabung polen, dan diameter polen yang telah diinkubasikan selama 4 jam. Waktu inkubasi selama 4 jam mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Suketi et al. (2011). Perkecambahan polen diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya Olympus BX 51 dengan perbesaran 200 kali. Setiap ulangan terdiri atas 4 bidang pandang dan 1 bidang pandang polen yang diamati terdiri dari 20 polen. Setiap parameter memiliki perbedaan kriteria untuk diamati.

Diameter Polen

Pengukuran diameter polen dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer. Diameter polen diukur dengan perbesaran 200 kali. Jumlah polen yang diamati dalam 1 deck glass sebanyak 80 polen. Daya Berkecambah

(20)

8

Raganata (2006), daya berkecambah polen diamati dengan mikroskop dengan perhitungan sebagai berikut :

Daya Berkecambah = Jumlah polen yang berkecambah

Jumlah total polen yang diamati

×

100%

(a) (b)

Panjang Tabung Polen

Pengukuran panjang tabung polen tidak jauh berbeda dengan pengukuran diameter polen, untuk mempermudah pengamatan, perbesaran dapat ditingkatkan menjadi 400 kali.

Analisis Data

Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor tunggal yaitu perbedaan suhu dalam penyimpanan. Pengujian dilakukan terhadap 2 genotipe dengan 3 taraf perlakuan yaitu suhu 10 oC, 5 oC, dan -20 oC dengan masing-masing 3 ulangan sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Setiap deck glass merupakan 1 ulangan dan diperlukan 4 bidang pandang.

Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij= π + σi + εij

Keterangan:

Yij : Respon pengamatan viabilitas polen pada perlakuan suhu ke-i dan

ulangan ke-j (i = 1,2,3) (j = 1,2,3)

π : Rataan umum

σi : Pengaruh perlakuan suhu ke-i (i = 1,2,3)

εij : Pengaruh galat percobaan perlakuan suhu ke-i dan ulangan ke-j

(i = 1,2,3) (j = 1,2,3)

Data percobaan perkecambahan polen pepaya dianalisis dengan Uji-F menggunakan software SAS pada selang kepercayaan 95% (α = 5%). Hasil yang menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).

(21)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Diameter Polen

Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ukuran antara kedua genotipe, terlihat pada penyimpanan minggu ke-4 dimana diameter polen pepaya IPB 6 lebih kecil dibandingkan minggu sebelumnya, namun diameter polen pepaya IPB 9 hampir sama pada setiap minggunya (Tabel 1).

Tabel 1 Diameter polen pepaya IPB 6 dan IPB 9

Polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 segar atau tanpa perlakuan penyimpanan memiliki ukuran diameter rata-rata sebesar 31.31 µm dan 35.03 µm (Gambar 2).

Kelly et al. (2002) juga melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa pada Mimulus guttatus polen yang viabel merupakan polen yang memiliki ukuran berkisar antara 25 sampai 35 µm dan polen yang tidak viabel memiliki ukuran 10 sampai 25 µm.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang telah disimpan dalam suhu 5 oC dan -20 oC selama 4 minggu terdapat perubahan

Genotipe

Suhu simpan

Umur simpan (minggu)

1 2 3 4

IPB 6

10 oC (µm) 32.93 31.23 30.11 31.18 5 oC (µm) 33.09 31.05 32.21 28.83 -20 oC (µm) 32.51 32.89 29.51 28.81

IPB 9

10 oC (µm) 33.63 33.23 32.60 33.76 5 oC (µm) 34.15 32.38 33.38 32.88 -20 oC (µm) 33.65 34.24 33.42 34.19

(22)

10

bentuk dan diameter dari beberapa bidang pandang yang diamati. Polen yang disimpan pada suhu lebih tinggi yaitu 10 oC memiliki diameter dan bentuk yang lebih menyerupai polen segar. Perubahan tersebut dapat dilihat dari polen yang disimpan pada suhu 5 oC dan -20 oC dan ditunjukkan oleh panah merah, polen tersebut terlihat lebih kecil dan mengkerut dibandingkan dengan polen yang disimpan pada suhu 10 oC (Gambar 3 dan Gambar 4).

Hasil percobaan juga menunjukkan saat diamati terdapat polen yang mengalami plasmolisis setelah disimpan pada beberapa suhu. Jumlah polen yang mengalami plasmolisis berbeda antara suhu dan umur penyimpanan (Tabel 2).

Tabel 2 Persentase polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang mengalami plasmolisis

Menurut Knowlton (1922) polen yang mengalami plasmolisis dapat disebabkan oleh kandungan air yang terdapat pada polen. Polen yang memiliki kandungan air tinggi dan aktivitas respirasi tinggi lebih mudah mengalami

Genotipe

Suhu simpan Umur simpan (minggu)

1 2 3 4

IPB 6

10 oC (%) 7.68 9.63 2.17 4.21 5 oC (%) 4.64 8.98 4.17 7.57 -20 oC (%) 2.48 6.00 2.78 0.00 IPB 9

10 oC (%) 2.08 13.19 6.87 11.49 5 oC (%) 7.21 8.46 9.93 2.27 -20 oC (%) 7.14 7.95 2.73 4.33 Gambar 3 Diameter polen pepaya IPB 6 setelah disimpan selama 4 minggu

(23)

11 kerusakan. Hussein (2014) menunjukkan bahwa pada Impatiens glandulifera pertumbuhan tabung polen memang terlihat lebih cepat pada suhu ruang dibandingkan dengan suhu rendah (4–8 oC), namun pada suhu ini jumlah polen yang mengalami plasmolisis lebih sedikit. Bhojwani dan Bhatnagar (2009) menyatakan bahwa pada polen beberapa spesies dalam famili angiospermae akan mengalami plasmolisis jika ditempatkan dalam air. Penambahan gula dalam jumlah tertentu akan membatasi laju difusi air ke dalam polen dan hal tersebut dapat mencegah polen dari plasmolisis. Menurut Jon dan Lesley (1990) ukuran polen dapat menentukan pertumbuhan tabung polen maksimum. Daya berkecambah mungkin memang tidak dipengaruhi oleh ukuran polen baik yang berukuran kecil maupun yang lebih besar, namun luas permukaan yang lebih luas terhadap ukuran polen yang lebih kecil menyebabkan polen dapat terhidrasi dan aktivitas metabolisme menjadi lebih cepat dibandingkan dengan polen yang berukuran lebih besar.

Daya Berkecambah

Polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang telah disimpan selama 4 minggu menunjukkan respon perkecambahan yang berbeda pada masing-masing suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan lama penyimpanan mempengaruhi daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 (Tabel 3).

Tabel 3 Daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom dan genotipe yang sama tidak berbeda nyata menurut DMRT taraf 5%

Polen pepaya IPB 6 segar atau kontrol yang dikecambahkan pada suhu ruang memiliki daya berkecambah sebesar 17.8% sedangkan untuk polen pepaya IPB 9 sebesar 22.11%. Sampai penyimpanan minggu ke-4, polen pepaya IPB 6 yang disimpan dalam suhu 10 oC dan -20 oC mengalami peningkatan persentase daya berkecambah dari minggu sebelumnya dan memiliki persentase daya berkecambah yang lebih tinggi dibandingkan polen pepaya IPB 6 yang disimpan pada suhu 5 oC. Hal ini menunjukkan bahwa polen pepaya IPB 6 masih dapat berkecambah dengan baik sampai 4 minggu apabila disimpan pada suhu 10 oC dan -20 oC. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sari et al. (2010) pada buah naga putih menunjukkan bahwa adanya kecenderungan peningkatan viabilitas pada penyimpanan minggu ke-4 berkaitan dengan respon polen terhadap suhu rendah.

(24)

12

Suhu rendah dapat memecahkan dormansi karena adanya adaptasi polen pada kondisi lingkungan yang dingin atau beku.

Polen pepaya IPB 9 mengalami penurunan persentase daya berkecambah pada penyimpanan minggu ke-4, namun jika dilihat dari persentase daya berkecambah, polen yang telah disimpan selama 4 minggu dalam suhu 5 oC memiliki nilai persentase daya berkecambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan polen pepaya IPB 9 yang disimpan dalam suhu 10 oC dan -20 oC, bahkan pada suhu -20 oC daya berkecambah polen pepaya IPB 9 menjadi 0.00%. Berdasarkan penelitian Handayani et al. (2012) pada Hemerocallis fulva L. polen yang disimpan pada suhu 4 oC viabilitasnya menurun hingga penyimpanan pada minggu ke-4 sedangkan penelitian Martinez-Gomez et al. (2002) menunjukkan bahwa penyimpanan polen almond (Prunus dulcis) pada suhu 4 oC tidak menunjukkan penurunan viabilitas yang signifikan selama 2 bulan.

Penurunan persentase daya berkecambah pada minggu ke-4 dapat disebabkan oleh pengeringan polen pada saat sebelum polen disimpan dalam pendingin. Menurut Daher et al. (2008) pada polen Arabidopsis thaliana yang dikeringkan selama 24 jam sebelum disimpan dalam pendingin menyebabkan daya berkecambah berkurang sebanyak 20%, sedangkan jika dikeringkan selama 2 jam maka daya berkecambahnya akan sama dengan daya berkecambah polen segar.

Daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 pada Tabel 3 rata-rata kurang dari 80%, nilai daya berkecambah yang rendah ini dapat disebabkan oleh suhu ruangan pada saat inkubasi sebesar 27 oC. Menurut Beyhan dan Serdar (2008), pada tanaman Castanea sativa L. persentase viabilitas polen yang tinggi tidak kurang dari 80%. Boavida dan McCormick (2007) menyatakan bahwa suhu 24 oC atau lebih, meskipun tabung polen terlihat tumbuh lebih cepat, perkecambahan polen berkurang dan sekitar 50% tabung polen menunjukkan morfologi yang abnormal dan cacat. Suhu di bawah 20 oC sangat menghambat perkecambahan dan banyak butir polen yang mengalami plasmolisis. Hal ini sangat penting untuk menjaga suhu selama jalannya penelitian, karena variasi suhu sewaktu-waktu dapat menyebabkan tabung polen tertahan ataupun memiliki morfologi yang abnormal.

Data pada Tabel 3 menunjukkan persentase daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 tidak konsisten. Masing-masing genotipe memiliki respon yang berbeda, terdapat peningkatan dan penurunan persentase daya berkecambah pada setiap suhu dan umur penyimpanan. Menurut Handayani et al. (2012) peningkatan dan penurunan viabilitas setiap minggunya pada polen Hemerocallis fulva L, berkaitan dengan adaptasi pada suhu dan lama penyimpanan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Baki (1992) pada buah tomat menyatakan bahwa daya berkecambah polen akan menurun seiring bertambahnya waktu penyimpanan dan suhu penyimpanan yang terbaik adalah 6 oC.

Panjang Tabung Polen

(25)

13

Gambar 5 Panjang tabung polen pepaya IPB 6 selama 4 minggu penyimpanan

(26)

14

berkurang yang mengindikasikan terjadinya penurunan vigor polen. Shivanna et al. (1991) melaporkan bahwa suhu dan RH tinggi (38/45 oC) tidak mempengaruhi viabilitas polen, namun akan berpengaruh terhadap vigor polen. Polen dengan perlakuan suhu 38 oC membutuhkan waktu yang lama untuk berkecambah dan tabung polen untuk muncul sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ovarium akan lebih lama.

Suhu rendah memang dapat mempertahankan viabilitas polen namun akan menghasilkan tabung polen yang lebih pendek. Suhu tinggi (>20 oC) dapat menurunkan viabilitas dan memberikan pengaruh yang bervariasi pada panjang tabung polen. Penelitian pada Crassula ovata yang disimpan selama 12 jam menunjukkan bahwa suhu penyimpanan mempengaruhi pertumbuhan tabung polen. Suhu penyimpanan sebesar -20 oC dan 16 oC mempengaruhi panjang tabung polen sedangkan pada suhu 4 oC dan 35 oC tidak berpengaruh terhadap panjang tabung polen (Tong 2014).

Panjang tabung polen pada Gambar 5 dan Gambar 6 tidak menunjukkan adanya hubungan dengan persentase daya berkecambah pada Tabel 3. Hal ini dapat dilihat dari persentase daya berkecambah paling tinggi pada polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 yang sudah disimpan sampai minggu ke-4 tidak menunjukkan tabung polen paling panjang. Kamrani (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara persentase perkecambahan dengan pertumbuhan panjang tabung polen. Lord dan Eckard (1986) menunjukkan pada Collomia grandiflora bahwa polen yang berukuran kecil menghasilkan pertumbuhan tabung polen yang lambat dibandingkan dengan polen yang berukuran lebih besar.

KESIMPULAN

Polen pepaya IPB 6 dapat disimpan selama 4 minggu pada suhu 10 oC, 5 oC, dan -20 oC, sedangkan untuk polen pepaya IPB 9 dapat disimpan selama 4 minggu pada suhu 10 oC dan 5 oC. Suhu penyimpanan 5 oC dan 10 oC dapat digunakan untuk menyimpan polen pepaya IPB 6 dan IPB 9 selama 4 minggu.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin H, Palupi ER, Suhartanto MR. 2014. Pengelolaan polen untuk produksi benih melon hibrida Sunrise Meta dan Orange Meta. J Hort. 24(1): 32–41. Akond ASMG, Pounders CT, Blythe EK, Wang X. 2012. Longevity of

crapemyrtle pollen stored at different temperatures. Scientia Horticulturae. 139(2012): 53–57.

Baki AAA. 1992. Determination of pollen viability in tomatoes. J Amer Soc Hort Sci. 117(3): 473–476.

Bedinger P. 1992. The remarkable biology of pollen. The Plant Cell. 4: 879–877. Beyhan N, Serdar U. 2008. Assesment of pollen viability and germinability in

(27)

15 Bhat ZA, Dhillon WS, Shafi RHS, Rather JA, Mir AH, Shafi W, Rashid R, Bhat JA, Rather TR, Wani TA. 2012. Influence of storage temperature on viability and in vitro germination capacity of pear (Pyrus spp.) pollen. Journal of Agricultural Science. 4(11): 128–135.

Bhojwani SS, Bhatnagar SP. 2009. The Embryology of Angiosperms. New Delhi (IN): Vikas Publishing.

Boavida LC, McCormick S. 2007. Temperature as a determinant factor for increased and reproducible in vitro pollen germination in Arabidopsis thaliana. The Plant Journal. 52: 570–582.

Cohen E, Lavi U, Spiegel-Roy P. 1989. Papaya pollen viability and storage. Scientia Horticulturae. 40(4): 317–324.

Daher FB, Chebli Y, Geitmann A. 2008. Optimization of conditions for germination of cold storage Arabidopsis thaliana pollen. Plant Cell Rep. 28(3): 347–357.

Decraene RLP, Smets EF. 1999. The floral development and anatomy of Carica papaya. Can J Bot. 77(4): 582–598.

Denney JO. 1992. Xenia includes metaxenia. Hort Science. 27(7): 722–728. Edlund AF, Swanson R, Preuss D. 2004. Pollen and stigma structure and fuction:

the role of diversity in pollination. The Plant Cell. 16: 84–97.

Febriyanti N, Sujiprihati S, Widodo WD. 2010. Kajian metaxenia pada buah pepaya genotipe IPB 9. Di dalam: Utama IMS, Susila AD, Poerwanto R, Antara NS, Putra, Susrua KB, editor. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura; 20 Nop 25–26; Denpasar, Indonesia. Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia.

Handayani NKSD, Kriswiyanti E, Astarini IA. 2012. Uji viabilitas serbuk sari Hemerocallis fulva L. (Liliceae) setelah penyimpanan pada waktu dan suhu yang berbeda. Jurnal Metamorfosa. 1(1): 17–24.

Harrison JSH. 1992. Cytological techniques to assess pollen quality. Di dalam: Cresti M, Tiezzi A, editor. Sexual Plant Reproduction. Norwich(GB): Springer-Verlag.

Hoekstra FA. 1995. Collecting pollen for genetic resources conservation. Di dalam: Guarino L, Rao R, Reid R, editor. Collecting Plant Genetic Diversity: Technical Guidelines [internet]. Fort Collins(USA): IUCN. [Diunduh 2014 Feb 2]. Tersedia pada: http://cropgenebank.sgrp.cgiar.org/index.php?.php?option= com_ content& view=article&id=654.

Hussein N. 2014. In vitro manipulation of Impatiens glandulifera pollen for transporting extracellular substances to the embryo sac. Curr Res J Biol Sci. 6(2): 66–70.

Jett JB, Bramlett DL, Webber JE, Eriksson U. 1993. Pollen collection, storage, and testing. Di dalam: Bramlett DL, Askew GR, Blush TD, Bridgwater FE, Jett JB, editor. Advances in Pollen Management. Washington DC (US): United States Departemen of Agriculture.

Jon LD, Lesley LD. 1990. Plant Reproductive Ecology Patterns and Strategies. New York (US): Oxford University Press.

(28)

16

Kelly JK, Rasch A, Kalisz S. 2002. A method to estimate pollen viability from pollen size variation. American Journal of Botany. 89(6): 1021–1023.

Khan SA, Perveen A. 2006. Germination capacity of stored pollen of Abelmoschus esculentus L. (Malvaceae). Pak J Bot. 38(2): 233–236.

Knowlton HE. 1922. Studies in Pollen with Special Reference to Longevity. New York(US): Cornell University.

Lord EM, Eckard KJ. 1986. Ultrastructure of the dimorphic pollen and stigmas of the cleistogamous species Collomia grandiflora. Protoplasma. 132(1–2): 12– 22.

Martinez-Gomez P, Gradziel TM, Ortega E, Dicenta F. 2002. Low temperature storage of almond pollen. Hort Science. 37(4): 691-692.

Nadila D. 2014. Fenologi pembungaan dan penyerbukan buah naga Hylocereus undatus, Hylocereus costaricensis, dan Selenicereus megalanthus [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Perveen A. 2007. Pollen germination capacity, viability, and maintanence of Pisium sativum L. (Papilionaceae). Middle – East Journal of Scientific Research. 2(2): 79–81.

Perveen A, Khan SA, Abid R. 2007. Maintenance of pollen germination capacity of Carica papaya L (Caricaceae). Pak J Bot Sci. 39(5): 1403–1406.

Raganata AP. 2006. Kajian pengelolaan serbuk sari kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pisifera [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Sabran M, Gunawan E, Hardono, Prabawati S, Pitono J, Sankarto B, Wardana IP, Mamat HS, Rachmat R, Romjali E, Pardal S, Wachid, Hermawanto R. 2012. Inovasi Teknologi Membangun Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani. Jakarta(ID): IAARD Press.

Sari NKY, Kriswiyanti E, Astarini IA. 2010. Uji viabilitas dan perkembangan serbuk sari buah naga putih (Hylocereus undatus (Haw.) Britton & Rose), merah (Hylocereus polyrhizus (Web.) Britton & Rose) dan super merah (Hylocereus costaricensis (Web.) Britton & Rose) setelah penyimpanan. J Biologi. 14(2): 39–44.

Santos LMS, Pereira TNS, Souza MM, Damasceno PC, Costa FR, Ribeiro BF, Freitas NG, Pereira MG. 2008. Optical and ultrastructural study of the pollen grain development in hermaphrodite papaya tree (Carica papaya L.). Braz arch biol technol. 51(3).

Sedgley M, Harbard J. 1993. Pollen storage and breeding system in relation to controlled pollination of four species of Acacia (Leguminosae: Mimosoidae). Aust J Bot. 41: 601–609.

Setiawan O, Ruskandi. 2005. Teknik penyimpanan serbuk sari tiga kultivar kelapa dalam. Bul Teknik Pertanian. 10(1): 37–38.

Shivanna KR, Linskens HF, Cresti M. 1991. Pollen viability and pollen vigor. Theor Appl Genet. 81(1): 38–42.

Shore JS, Barrett SCH. 1984. The effect of pollination intensity and incompatible pollen on seed set in Turnera ulmifolia. Can J Bot. 62: 1298–1303.

St-Pierre RG. 2006. Factors affecting fruit yield and quality [internet]. [Diunduh 2014 Des 23]. Tersedia pada: http://www.prairie-elements. ca/ sas katoon/15.1-yield&quality.pdf.

(29)

17 Suketi K. 2011. Studi morfologi bunga penyerbukan dan perkembangan buah sebagai dasar pengendalian mutu buah pepaya IPB [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suketi K, Sujiprihati S, Handayani TL. 2010. Peningkatan kualitas buah pepaya melalui pengendalian penyerbukan. Di dalam: Utama IMS, Susila AD, Poerwanto R, Antara NS, Putra NK, Susrua KB, editor. Reorientasi Riset untuk Mengoptimalkan Produksi dan Rantai Nilai Hortikultura. Seminar Nasional Hortikultura Indonesia; 20 Nop 25–26; Denpasar, Indonesia. Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura Indonesia. hlm 111–116.

Suketi K, Tuharea CIH, Widodo, WD. 2011. Pollen viability and pollen tube

growth of IPB’s papaya. J Agron Indonesia. 39(1): 43–48.

Sulistyo A, Sujiprihati S, Trikoesoemaningtyas. 2006. Studi persilangan efek metaxenia pada pepaya. Di dalam: Dwiyanto K, Agung T, Muladno, Sujiprihati S, Siagian PH, editor. Pemuliaan Sebagai Pendukung Kemandirian dan Ketahanan Pangan 2020; 2006 Agu 25–26; Purwokerto, Indonesia. Bogor (ID): PERIPI. hlm 282–289.

Tong J. 2013. The effect of storage temperature on Crassula ovata pollen tube elongation [internet]. [Diunduh 2015 Jan 03]. Tersedia pada : https://uci.academia.edu/JuneTong/Activity

Twiddle CL. 2012. Pollen analysis: not just a qualitative tool. Geomorphological Techniques. 4(1):1–11.

Villegas VN. 1991. Carica papaya L. Di dalam: Verheij EWM, Coronel RE, editor. Plant Resources of South-East Asia No. 2: Edible Fruits and Nuts. Bogor (ID): Prosea Foundation. hlm 108–112.

Warid. 2009. Korelasi metode pengecambahan in vitro dan pewarnaan dalam pengujian viabilitas polen [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Webber JE. 1991. Interior Spruce Pollen Management Manual. Columbia (CO):

Ministry of Forests.

(30)

18

Lampiran 1 Deskripsi pepaya IPB 6 (varietas Sukma) Bentuk buah : lonjong

Ukuran buah : sedang Panjang buah (cm) : 15–18

Diameter buah (cm) : 12.425  0.34 (ujung) 13.484  0.28 (tengah) 10.703  0.32 (pangkal) Bobot per buah (g) : 2.700  240

Warna daging buah : kemerahan/jingga Kulit buah : hijau tua

Rasa daging buah : manis (10–11 O Brix)

Umur petik :  140–150 hari setelah antesis (bunga mekar) Sumber : Sujiprihati dan Suketi (2009)

Lampiran 2 Deskripsi pepaya IPB 9 (varietas Callina) Bentuk buah : silindris

Ukuran buah : sedang Panjang buah (cm) : 23.00  0.00 Diameter buah (cm) : 9.36  0.18 Bobot per buah (g) : 1236.67  63.51 Bobot 100 biji (g) : 7.89  0.08 Jumlah biji : 1 048.00  84.87 Tekstur kulit : halus

Warna daging buah : jingga Warna kulit buah : hijau

Rasa daging buah : manis (10.67  0.58 OBrix)

pH : 5.68  0.15

Kadar vitamin C : 78.6  5.7

(31)

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang, 23 Maret 1992 dan merupakan anak pertama dari Bapak Abdul Haris dan Ibu Mimin Mintarsih. Penulis memiliki 1 saudara kandung laki-laki bernama Gede Nugraha Trimurti. Penulis lulus dari SMAN 5 Depok pada tahun 2010 dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk Ujian Talenta Mandiri (UTM).

Gambar

Tabel 1  Diameter polen pepaya IPB 6 dan IPB 9
Gambar 3 Diameter polen pepaya IPB 6 setelah disimpan selama 4 minggu
Tabel 3  Daya berkecambah polen pepaya IPB 6 dan IPB 9
Gambar 6  Panjang tabung polen pepaya IPB 9 selama 4 minggu penyimpanan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh persepsi pendapatan, ketenaga kerjaan, dan gaya hidup terhadap persepsi permintaan kredit konsumsi dosen dan

Full Domain Controler ( disini kita asumsikan bahwa anda menggunakan free dari co.cc ya..), artinya domain yang Kontrolnya ada pada kita, karena nanti kita akan melakukan

Perbedaan warna kerabang tersebut berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai pH telur, relatif samanya pH telur selama penyimpanan 0 hari pada telur yang

Karpet yang awalnya memiliki motif 2 dimensi yang awalnya memiliki motif 2 dimensi kotak diganti dengan motif 3 dimensi dengan kotak diganti dengan motif 3 dimensi

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI PUSKESMAS TIGAPANAH KECAMATAN

Pemberian nilai tiap kriteria ditentukan sendiri sesuai tingkat kepentingan perbandingan antar kriteria dengan metode pairwise tingkat kepentingan perbandingan antar

bertujuan melengkapkan frasa tersebut.  Ada ayat komplemen yang berfungsi sebagai pelengkap kepada kata kerja ini yang bukan frasa nama..  Sekali imbas, ayat ini kelihatan

Kesalahan yang dialami oleh GP dalam petikan wawancara yaitu penyelesaian suatu masalah yang disebabkan karena konsep yang terkait dengan masalah tersebut (dalam hal ini