• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zoonosis yang baru muncul bersumber satwa liar dan tantangan kesehatan masyarakat veteriner

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Zoonosis yang baru muncul bersumber satwa liar dan tantangan kesehatan masyarakat veteriner"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ZOONOSIS YANG BARU MUNCUL BERSUMBER

SATWA LIAR DAN TANTANGAN

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

YAYAN TAUFIQ HIDAYAT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

YAYAN TAUFIQ HIDAYAT. Emerging Zoonoses Originated from Wildlife and Challenges for Veterinary Public Health. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.

(3)

RINGKASAN

YAYAN TAUFIQ HIDAYAT. Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar dan Tantangan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.

Penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious disease/EID) dan penyakit menular yang muncul kembali (re-emerging infectious disease/REID) menjadi ancaman nyata terhadap kesehatan manusia karena dapat berkembang luas secara geografis, berpindah dari satu jenis induk semang ke induk semang lainnya, meningkatkan dampak dan keganasan penyakit, dan mengalami perubahan patogenesis. EID dan REID telah menimbulkan dampak besar pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Contohnya adalah wabah SARS telah menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 50 milyar dolar Amerika Serikat dan 916 jiwa meninggal pada tahun 2003 di Asia. SARS juga menyebabkan masalah sosial karena menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan serta kekisruhan politik dan gangguan keamanan nasional.

Sekitar 60.3% EID dan REID adalah zoonosis atau yang dikenal sebagai zoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses/EZ) dan zoonosis yang muncul kembali (re-emerging zoonoses/REZ). Contoh EZ antara lain simian immunodeficiency virus (SIV) dan acquired immune deficiency syndrome (AIDS), virus Ebola, hantavirus, virus Hendra, virus Nipah, virus Menangle, virus West Nile, SARS, influenza A, monkeypox, lyme borreliosis, ehrlichiosis, dan bovine spongiform encephalopathy (BSE). Contoh REZ antara lain Rift Valley fever, alveolar echinococcosis, rabies, virus Marburg, bovine tuberculosis, bruselosis, tularemia, plague, dan leptospirosis. Sekitar 71.8% EZ dan REZ bersumber dari satwa liar. Kepentingan satwa liar yang bertindak sebagai reservoar zoonosis semakin meningkat. Contoh satwa penting dalam kemunculan EZ dan REZ adalah simpanse sebagai sumber HIV/AIDS, burung liar dan burung air sebagai sumber influenza A, gorila sebagai sumber virus Ebola, serta kelelawar sebagai sumber virus Nipah dan virus Hendra. Beberapa EID dan REID yang terjadi di Indonesia, antara lain demam berdarah dengue, tuberkulosis, malaria, polio, AIDS, SARS, H5N1 influenza, dan rabies.

Kemunculan EID dan REID dipicu oleh empat faktor utama, yakni (1) faktor genetik dan biologik, (2) faktor fisik dan lingkungan, (3) faktor ekologi, serta (4) faktor sosial, politik, dan ekonomi. Sebagian besar faktor tersebut erat kaitannya dengan faktor risiko antropogenik atau berasal dari manusia. Penyebaran EID dan REID yang bersifat zoonotik (EZ dan REZ) dipengaruhi oleh perubahan demografi dan perilaku manusia, perubahan lingkungan dan penggunaan lahan, gangguan kesehatan masyarakat, perubahan teknologi industri, perjalanan internasional dan perdagangan, serta adaptasi dan perubahan mikroba.

(4)

yang bebas zoonosis baru; peningkatan perlindungan masyarakat; penguatan kapasitas sumber daya manusia; penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis; serta pemberdayaan masyarakat

(5)

ZOONOSIS YANG BARU MUNCUL BERSUMBER SATWA

LIAR DAN TANTANGAN KESEHATAN MASYARAKAT

VETERINER

YAYAN TAUFIQ HIDAYAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar dan Tantangan Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

Judul Skripsi : Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar dan Tantangan Kesehatan Masyarakat Veteriner

Nama : Yayan Taufiq Hidayat

NIM : B04070098

Disetujui

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi Ketua

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(9)

PRAKATA

Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul skripsi ini adalah Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar dan Tantangan Kesehatan Masyarakat Veteriner.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku dosen pembimbing yang tanpa lelah dan penuh kesabaran memberikan waktu, arahan, kritik, dan saran yang mendukung membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Penulis sangat berterima kasih kepada Bapak drh. Chusnul Choliq, MS, MM. sebagai Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasihat, serta kepada Ibu Dr. drh. Ita Djuwita, MPhil. yang telah memberikan pelajaran berharga tentang kehidupan. Terima kasih disampaikan kepada Ibu Wakil Dekan dan staf Administrasi dan Jaminan Mutu Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian tugas akhir. Selanjutnya, kepada Pengelola Bantuan Belajar Mahasiswa IPB penulis sampaikan terima kasih.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, dan Adik tercinta (Aji Prakoso, SP, Siti Qomariah, dan Rizqi Amalia Nur Islami) serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang telah diberikan. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Sukron Sauri, Eddy Sukma Winata, Rissar Siringo Ringo, Dian Permana Putra, Wahid Fakhri Husein, dan Achmad Muntaqo yang telah banyak mendukung selama penulisan. Terima kasih pula kepada Deni Juniwati, Tita, Arni, Arini, Sandra, Niken, Divo, Andi, Dian, Nisa, dan Dara yang selalu memberikan dukungan moralnya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Angkatan 44 Gianuzzi FKH IPB yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB dan keluarga besar Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB).

Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 5 November 1988 dari ayah Aji Prakoso, SP dan ibu Siti Qomariah. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 1 Gunem, Rembang tahun 1996 hingga lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Pamotan, Rembang dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007, kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Mayor yang dipilih penulis adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

(11)

x Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Emerging Infectious Disease dan Re-emerging Infectious Disease ... 3

Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar ... 7

Faktor Pemicu Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar …. 16 Pengendalian Zoonosis Bersumber pada Satwa Liar …... 20

Tantangan Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dari Zoonosis yang Baru Muncul ... 21

METODE PENULISAN ... 23

PEMBAHASAN ………... 24

SIMPULAN DAN SARAN ... 40

Simpulan ... 40

Saran ... 40

(12)

xi Halaman

1 Kategori EID bersumber satwa liar berdasarkan parameter

kemunculan penyakit dan epizootiologi ………....

4

2 Patogen baru yang diketahui sejak 1973 ……… 6

3 Zoonosis yang bersumber dari satwa liar ………. 9

4 Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya EID dan REID ……….. 17

5 Beberapa agen patogen dengan faktor yang mempengaruhi

kemunculannya ……….. 19

6 EID dan REID yang melibatkan hubungan antara manusia, hewan

domestik, dan satwa liar ………... 30

7 Contoh virus yang telah muncul sebagai hasil dari lompatan spesies 33

8 Zoonosis yang bersumber dari kelelawar ……….. 35

9 Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian dan pemberantasan

(13)

xii Halaman

1 Hubungan EID antara satwa liar, hewan domestik, dan manusia

(14)

Latar Belakang

Penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious disease/EID) dan penyakit menular yang muncul kembali (re-emerging infectious disease/REID) telah menjadi ancaman nyata terhadap kesehatan manusia dalam beberapa dekade terakhir. EID dan REID akhir-akhir ini dapat berkembang luas secara geografis, berpindah dari satu jenis induk semang ke induk semang lainnya, meningkatkan dampak dan keganasan penyakit, serta mengalami perubahan patogenesis (Daszak et al. 2004). EID dan REID yang bersifat zoonotik atau yang dikenal sebagai emerging zoonoses (EZ) dan re-emerging zoonoses (REZ) menimbulkan dampak besar pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, keamanan, dan budaya (Anonim 2008). Sekitar setengah dari jumlah keseluruhan penduduk dunia memiliki risiko terhadap penyakit endemik (WHO 1996). Contoh dari EZ adalah wabah severe acute respiratory syndrome (SARS) yang menyebar hingga 29 negara, terutama Cina, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura, dengan 8422 kasus dan 916 meninggal. Kerugian ekonomi global akibat SARS tahun 2003 adalah 50 miliar dolar Amerika (Siu dan Wong 2004). SARS terbukti bersumber pada satwa liar (Bell et al. 2004).

(15)

pertumbuhan kepadatan penduduk, perkembangan pertanian, dan industri perkayuan (Sunderlin dan Resosudarmo 1997; Butler 2006).

Perlawanan terhadap keberadaan EZ dan REZ penting dilakukan dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat secara nasional dan global (Daszak et al. 2004). Terjadinya peningkatan ancaman EZ dan REZ tidak diiringi dengan

pemahaman mengenai proses terjadinya penyakit dan penyebarannya, khususnya yang bersumber dari satwa liar (Wolfe et al. 2005). Informasi mengenai zoonosis bersumber satwa liar dan peran satwa liar dalam kemunculan EZ dan REZ masih sangat terbatas, terutama di Indonesia. Kurangnya informasi mengenai hal tersebut menjadi kendala dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, sangat diperlukan informasi mengenai zoonosis bersumber satwa liar bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengantisipasi ancaman yang ditimbulkan dan menjadi tantangan yang dihadapi dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

Tujuan

(16)

Emerging Infectious Disease dan Re-emerging Infectious Disease

Permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit menular (infectious disease) dalam dua dekade terakhir menunjukkan peningkatan yang signifikan (Daszak et al. 2004). Penyakit menular dan parasit menjadi penyebab kematian utama pada

manusia di seluruh dunia (WHO 1996) dengan lebih dari setengahnya berusia di bawah lima tahun (Zowghi et al. 2008). Pada akhir abad ke-20, penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious disease/EID) dan penyakit menular yang muncul kembali (re-emerging infectious disease/REID) yang terjadi pada populasi hewan dan manusia telah menyebabkan keterkejutan (shock) pada kesehatan masyarakat dan komunitas veteriner terhadap bahaya yang ditimbulkan (Brown 2004; Chomel et al. 2007).

EID didefinisikan sebagai penyakit yang timbul akibat patogen yang telah diketahui muncul pada suatu area geografis baru, atau patogen yang telah diketahui dan berkerabat dekat pada spesies yang tidak peka, atau patogen yang tidak diketahui sebelumnya terdeteksi untuk pertama kali (Bengis 2004; Brown 2004). REID didefinisikan sebagai penyakit yang pernah muncul di masa lampau yang sudah mengalami penurunan tingkat kejadian akan tetapi akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan insidensi, cakupan geografis, atau cakupan inang (Morens et al. 2004). EID dan REID lebih mengacu pada penyakit menular pada manusia dengan tingkat kejadian yang meningkat dalam dua dekade terakhir atau akan menjadi ancaman terhadap peningkatan kejadian penyakit pada masa yang akan datang dan cakupan geografis yang meluas (Chomel 1998; Zowghi et al. 2008).

(17)

al. (2000) mengategorikan EID bersumber satwa liar berdasarkan parameter karakteristik spesifik kemunculan penyakit dan epizootiologinya menjadi empat tipe (Tabel 1). Pada tabel, pengategorian diberi keterangan emerging untuk EID dan REID, serta recognized untuk penyakit yang sudah dikenal.

Tabel 1 Kategori EID bersumber satwa liar berdasarkan parameter kemunculan penyakit dan epizootiologi (Daszak et al. 2000)

Tipe EID Agen penyakit

menular Spesies inang

Insidensi atau cakupan geografis

1 Emerging Emerging Emerging

2 Recognized Emerging Emerging

3 Recognized Emerging Recognized

4 Recognized Recognized Emerging

Sebagian besar EID dan REID disebabkan oleh agen patogen yang telah ada di lingkungan dan hewan lebih sering bertindak sebagai reservoar alami sumber agen penyakit pada manusia (Chomel 1998). Diperkirakan sekitar 75% EID dan REID pada awal abad ke-21 bersifat zoonotik yang disebabkan oleh patogen bersumber hewan atau produk asal hewan, terutama penyakit yang disebabkan oleh virus dan atau yang ditularkan melalui vektor (Taylor et al. 2001; WHO/FAO/OIE 2004). Zoonosis terhitung sebagai mayoritas penyakit EID dan REID (Chomel 2003). Di sebagian besar negara berkembang, zoonosis menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat yang secara signifikan berkontribusi terhadap terganggunya sistem kesehatan. Di negara maju, zoonosis menjadi perhatian khusus bagi kelompok berisiko tinggi terinfeksi, yakni orang tua, anak-anak, ibu melahirkan, dan individu imunosupresif (Katare dan Kumar 2010).

(18)

Bengis et al. 2004; WHO/FAO/OIE 2004). Menurut Wolfe et al. (2007), EZ dan REZ berpotensi terjadi perubahan penularan dari hewan ke manusia menjadi manusia ke manusia, misalnya human immunodeficiency virus (HIV). Contoh dari EZ antara lain simian immunodeficiency virus (SIV) dan acquired immune deficiency syndrome (AIDS), virus Ebola, hantavirus, virus Hendra, virus Nipah, virus Menangle, virus West Nile, SARS, influenza A, monkeypox, lyme borreliosis, ehrlichiosis, dan bovine spongiform encephalopathy (BSE). Contoh dari REZ antara lain Rift Valley Fever, alveolar echinococcosis, rabies, virus Marburg, bovine tuberculosis, bruselosis, tularemia, plague, dan leptospirosis (Bengis et al. 2004; Brown 2004).

Sebanyak 29 dari 96 penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada manusia dan 25% kematian global berasal dari penyakit menular (WHO 2000). Zoonosis merupakan mayoritas dari penyakit menular yang menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada manusia (Katare dan Kumar 2010). Menurut Jones et al. (2008), sebanyak 335 penyakit menular pada manusia muncul antara tahun 1940 dan 2004 dengan kejadian tertinggi saat terjadi pandemi HIV. Menurut Taylor et al. (2001), sebanyak 1415 jenis organisme penyebab penyakit pada manusia yang telah diidentifikasi. Jumlah tersebut terdiri atas 217 virus dan prion, 538 bakteri dan riketsia, 307 cendawan (fungi), 66 protozoa, serta 287 cacing. Sekitar 868 (61%) dari organisme tersebut bersifat zoonotik dan 175 jenis di antaranya terkait EID dan REID, dengan 132 (75%) adalah patogen zoonotik. Menurut Woolhouse (2002) dan Zowghi et al. (2008), sejak tahun 1973 telah dilakukan identifikasi patogen yang menjadi penyebab utama penyakit menular pada manusia (Tabel 2). Woolhouse (2002) menjabarkan bahwa beberapa patogen penyakit tersebut termasuk dalam patogen yang menyebabkan EID, seperti HIV, virus Ebola, dan prion new variant Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD).

(19)

Tabel 2 Patogen baru yang diketahui sejak 1973 (Woolhouse 2002; Zowghi et al. 2008)

Tahun Patogen Penyakit

1973 Rotavirus Diare pada bayi

1976 Cryptosporidium parvum Diare akut dan kronis

1977 Virus Ebola Ebola hemorrhagic fever

Legionella pneumophilla Legionnaires disease

Hantavirus Haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS)

Campylobacter jejuni Enteric diseases

1982 Eschericia coli O157:H7 Kolitis hemoragi, haemolytic uraemic syndrome

HLTV-2 Hairy cell leukemia

1985 Enterocytozoon bieneusi Diare kronis

1986 HIV-2 AIDS

Cyclospora cayetanensis Diare kronis

1988 Virus hepatitis E Hepatitis non-A, non-B

Virus herpes 6 manusia Roseola infantum

1990 Virus Guanarito Venezuelan haemorrhagic fever

1991 Encephalitozoon hellem Konjungtivitis

1992 Vibrio cholerae O139 Galur baru dikaitkan dengan epidemi kolera

Bartonella henselae Bacillary angiomatosis, cat-scratch disease

1993 Virus Sin Nombre Hantavirus pulmonary syndrome

Encephalitozoon cuniculi Mikrosporidiosis

1994 Virus Sabia Brazillia haemorragic fever

Virus Hendra (equine morbilivirus) Ensefalitis

1995 Virus hepatitis G Hepatitis non-A, non-B ditularkan secara

parenteral

Virus herpes 8 manusia Dikaitkan dengan sarkoma Kaposi pada penderita

AIDS

1997 Virus avian influenza tipe A

(H5N1)

Influenza

Virus Menangle (paramyxovirus) Defek kongenital dan kegagalan reproduksi

1999 Virus Nipah (paramyxovirus) Ensefalitis

Virus influenza H9N2 Influenza

(20)

Beberapa EID dan REID yang terjadi di Indonesia, antara lain demam berdarah dengue, tuberkulosis, malaria, polio, AIDS, SARS, H5N1 influenza, dan rabies (Kandun 2006). Menurut Jones et al. (2008), kemunculan penyakit disebabkan oleh (1) galur agen patogen yang baru berevolusi (misalnya tuberkulosis multi-drug-resistant, dan malaria yang resisten terhadap chloroquine); (2) agen patogen yang menginfeksi populasi manusia untuk

pertama kali (misalnya HIV-1, coronavirus severe acute respiratory syndrome/SARS); atau (3) patogen yang kemungkinan telah ada sejak lama namun menunjukkan peningkatan tingkat kejadian (misalnya lyme diseases). Sebagian besar EID disebabkan oleh patogen yang telah ada di lingkungan dan hewan lebih sering bertindak sebagai reservoar alami bagi agen penyakit baru pada manusia (Chomel 1998).

Dampak yang diakibatkan dari munculnya EZ dan REZ sangat besar (Reilly 2009; Gummow 2010). Contoh dari EZ dan REZ antara lain plague yang menyebabkan 54 kematian manusia di India dari April hingga Oktober 1994 (Chugh 2008). Dari Agustus hingga Oktober 2007 virus Ebola dari filovirus menyebabkan sindrom pendarahan dengan 249 kasus dan 183 kematian di Republik Demokratik Kongo (Shakespeare 2009). Virus Nipah yang termasuk paramyxovirus muncul kali pertama di Malaysia tahun 1998 menyerang babi

dengan gejala pada respirasi dan syaraf dan menyebabkan kematian beberapa manusia yang kontak langsung dengan babi dan memakan dagingnya (Wild 2009). SARS menyebabkan kematian 774 manusia pada tahun 2003 di Asia. SARS juga berdampak sosial karena menyebabkan kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan masyarakat. Di bidang politik, SARS menyebabkan kekisruhan politik sebagai akibat dari penerapan sistem peringatan perjalanan (travel warning) dan boikot perdagangan oleh negara lain yang dapat mengganggu

hubungan internasional. SARS juga menurunkan budaya konsumsi masyarakat dalam menggunakan karnivora liar sebagai obat dan makanan. Selain itu, spora bakteri antraks yang disebarkan di Amerika Serikat tahun 2001 menyebabkan gangguan keamanan yang dikaitkan dengan bioterorisme (Gummow 2010; Coker et al. 2011).

Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar

(21)

peradaban Mesopotamia awal tahun 2300 SM yang terjadi akibat perburuan anjing liar (Kruse et al. 2004), dan kematian 90% populasi kerbau dan satwa liar di Kenya akibat pemasukan sapi asal India yang terinfeksi rinderpest (Gummow 2010). Kewaspadaan masyarakat dunia terhadap EZ dan REZ terutama yang bersumber dari satwa liar menunjukkan peningkatan.

Sekitar 60.3% dari 335 EID dan REID selama 60 tahun terakhir disebabkan oleh agen penyakit zoonotik, yang 71.8% diantaranya bersumber dari satwa liar (Cunningham 2005; Jones et al. 2008). Satwa liar diketahui berperan dalam peningkatan frekuensi kejadian penyakit menular pada manusia. Satwa liar bertindak sebagai reservoar utama berkembangnya penyakit menular dan zoonosis pada manusia dan hewan domestik (Daszak et al. 2000; Kruse et al. 2004). Zoonosis yang bersumber pada satwa liar diketahui sebagian besar berasal dari bakteri, virus, dan parasit, sementara cendawan kurang berdampak serius terhadap manusia (Kruse et al. 2004). Menurut Krauss et al. (2003), beberapa zoonosis yang bersumber dari satwa liar telah berhasil diidentifikasi di seluruh dunia (Tabel 3).

Suatu penyakit zoonotik dapat berubah menjadi pandemi setelah melalui tiga langkah, yakni (1) agen patogen harus berhasil ditularkan dari satwa liar yang bertindak sebagai reservoar ke manusia, (2) agen patogen ditularkan ke manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dan (3) agen patogen mampu bergerak dari area endemik lokal ke populasi global. Terjadinya kontak antara hewan dan manusia secara signifikan meningkatkan kemungkinan langkah pertama. Perjalanan internasional, urbanisasi, dan peningkatan populasi manusia, secara signifikan meningkatkan kemampuan langkah ketiga (Karesh dan Noble 2009).

(22)
(23)
(24)
(25)

Salah satu EZ bersumber satwa liar adalah HIV/AIDS pada manusia yang disebabkan oleh dua dari 26 galur simian immunodeficiency virus (SIV) yakni virus HIV-1 dan HIV-2. Kedua galur virus berevolusi dari simpanse (Pan troglodytes) dan sooty mangabeys (Cercocebus torquatus) di Afrika.

Penyebaran virus terjadi pertama kali pada tahun 1980-an di daerah ekuator Afrika akibat perburuan kera untuk bahan pangan. Kedua galur virus bertahan dan menyebar pada populasi manusia (Hahn et al. 2000; Bengis et al. 2004). Faktor pemicu kemunculan HIV/AIDS adalah perubahan ekologi, perkembangan populasi manusia, deforestasi, urbanisasi, perilaku seksual, penggunaan obat secara parenteral, serta perjalanan lokal dan internasional (Hahn et al. 2000). Menurut WHO (2010), HIV/AIDS menjadi pandemi zoonosis terbesar dalam sejarah manusia dengan jumlah 2.6 juta manusia baru terinfeksi pada tahun 2009.

Infeksi virus Ebola pertama kali terjadi di bagian barat daya Sudan dan Republik Demokratik Kongo tahun 1976 (Shakespeare 2009). Virus Ebola memiliki tingkat mortalitas tinggi pada manusia karena memiliki subtipe yang berbeda-beda (Leroy et al. 2004). Kasus yang terjadi pada manusia dikaitkan dengan penanganan karkas gorila (Gorilla sp.), simpanse, atau duiker (Sylvicapra grimmia), dan kontak langsung manusia dengan hewan mati (Bengis et al. 2004). Contoh lainnya adalah hantavirus yang menyebabkan hemorrhagic

fever with renal syndrome (HFRS) di Eropa dan Asia serta hantavirus pulmonary syndrome (HPS) di Amerika Serikat. Hantavirus menyebar ke lingkungan melalui

aerosol dari ekskreta deer mouse Amerika Utara (Peromyscus maniculatus) dengan gejala asimtomatik. Di Amerika Serikat, penyebaran hantavirus dipengaruhi oleh perubahan iklim El Niňo Southern Oscillation (ENSO) dan peningkatan aktivitas manusia, seperti deforestasi dan perkembangan populasi manusia (Mills et al. 2010).

Paramyxovirus yang merupakan EZ adalah virus Hendra dan virus Nipah.

(26)

menimbulkan gejala respirasi dan syaraf pada babi terjadi di semenanjung Malaysia dari tahun 1998 hingga 1999 (Lam dan Chua 2002). Virus menyerang pekerja di peternakan dan rumah potong babi dan menyebabkan ensefalitis (Mohd et al. 2000). Kelelawar buah (Pteropus sp.) diketahui sebagai inang alami dan reservoar virus Nipah. Pada April hingga Mei 2004 di Bangladesh terjadi penularan antar manusia sebanyak 33 kasus yang disebabkan kontak langsung dengan pasien penderita virus Nipah (Gurley et al. 2007). Faktor pemicu kemunculan virus Nipah adalah perubahan kondisi lingkungan oleh akibat aktivitas manusia, perubahan iklim ENSO yang terjadi pada tahun 1997 hingga 1998, deforestasi secara besar-besaran di Asia Tenggara, dan perluasan peternakan babi di Malaysia (Lam dan Chua 2002).

Tahun 1999 virus West Nile (WNV) mengancam kesehatan populasi kuda, manusia, dan burung liar di Amerika Utara. WNV merupakan flavivirus kompleks dari virus Japanese encephalitis yang tersebar di Eropa, Asia bagian barat, dan Afrika yang berasal dari spesies burung liar dan burung pemakan nyamuk. Mamalia, termasuk manusia, bertindak sebagai inang akhir (dead-end) namun tidak berperan dalam pemeliharaan virus (Bengis et al. 2004). Menurut CDC (2010), tercatat sebanyak 1021 kasus WNV pada manusia dengan 629 (62%) diantaranya dilaporkan sebagai penyakit neuroinvasif.

Tahun 2002 dan 2003, muncul severe acute respiratory syndrome (SARS) pertama kali di Asia. Virus SARS bersifat kontagius dan cepat menyebar terutama melalui perjalanan internasional. SARS bersumber dari karnivora liar bangsa viverridae, mustelidae, dan canidae. Penyebab kemunculan coronavirus SARS adalah eksploitasi satwa secara berlebihan, perusakan habitat alami satwa, perdagangan satwa liar hidup atau hewan pseudo-domestikasi di Asia bagian selatan (Bell et al. 2004).

(27)

virus influenza A subtipe H5N1 menyebabkan mortalitas unggas di peternakan dan pasar serta 33% pada manusia di Hong Kong. Tahun 1999 terjadi tujuh kasus akibat infeksi influenza A subtipe H9N2 di Hong Kong dan daratan Cina (Bengis et al. 2004). Tahun 2003 hingga 2004 influenza A subtipe H5N1 menyerang peternakan unggas di Asia Tenggara menginfeksi manusia yang pertama terjadi di Vietnam dan Thailand. Hingga tahun 2011, Indonesia tercatat sebagai negara endemik influenza A dengan jumlah 174 kasus dan 144 kematian manusia atau yang tertinggi di dunia (WHO 2011a). Sebanyak 18 kasus baru H5N1 dilaporkan pada 26 April 2011 pada perunggasan desa di Gorontalo yang merupakan kasus pertama di provinsi tersebut sejak Juni 2007 (WHO 2011b).

Contoh EZ bersumber satwa liar yang ditularkan melalui vektor caplak adalah lyme borreliosis dan ehrlichiosis. Lyme borreliosis terjadi di belahan bumi utara disebabkan spirochaeta Borrelia burgdorferi oleh vektor caplak Ixodes ricinus di Eropa dan Ixodes scapularis dan Ixodes pacificus di Amerika Utara. Siklus silvatik menjadikan inang dan reservoar tetap pada mamalia liar kecil, rodensia, dan burung pemakan tanah di area endemik. Perubahan ekologi pada lahan pertanian, deforestasi, dan perkembangan populasi manusia menyebabkan meningkatkannya populasi reservoar rodensia (Peromyscus spp. dan Tamias spp.) yang diiringi dengan peningkatan populasi vektor caplak. Kasus pertama pada manusia terjadi tahun 1970-an di Amerika Utara dan menyebabkan gangguan kulit, sistem saraf, jantung, dan persendian (Bengis et al. 2004). Ehrlichiosis adalah penyakit pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh bakteri Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii, dan Anaplasma phagocytophilum oleh vektor caplak Amblyomma americanum, Ixodes scapularis,

dan Ixodes pacificus (Rikihisa 2010).

(28)

Rift Valley Fever (RVF) disebabkan oleh Phlebovirus famili Bunyaviridae yang ditularkan melalui gigitan nyamuk (mosquito-borne) Aedes spp. yang menyerang hewan dan manusia. RVF diidentifikasi pertama kali tahun 1931 saat terjadi wabah di peternakan domba di daerah Rift Valley Kenya. Penularan ke manusia melalui gigitan nyamuk dan kontak secara langsung dan tidak langsung melalui darah atau organ hewan terinfeksi, seperti penanganan karkas dan jaringan hewan di rumah potong dan ingesti susu yang tidak dipasteurisasi. Kerbau (Syncerus spp.), antelope (Tragelaphus spp.), dan onta (Camelus spp.) bertindak sebagai inang. Musim hujan lebat dan banjir akibat perubahan iklim ENSO mempengaruhi kemunculan kembali RFV. Awal tahun 2007, terjadi wabah RVF di Kenya, Somalia dan Tanzania dengan jumlah 1 000 kasus dan 300 kematian pada manusia (Breiman et al. 2008).

Tahun 1967 terjadi infeksi pertama kali virus Marburg yang menyerang pekerja laboratorium di Marburg, Jerman dan Belgrade, Yugoslavia setelah terpapar monyet hijau Afrika (Cercopthecus aethiops) atau suspensi sel kultur primer monyet. Kasus sporadik terjadi di Zimbabwe tahun 1975 dan Kenya 1987. Pada 1999 terjadi kemunculan virus Marburg di Republik Demokratik Kongo dan menyebabkan kematian 10 jiwa (Bengis et al. 2004).

Bovine tuberculosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium bovis yang menyerang ternak, satwa liar, dan manusia. M. bovis berevolusi dari M. tuberculosis yang menyerang manusia. Di Amerika Utara, TB menginfeksi bison

(Bison bison), wapiti (Cervus elaphus), dan rusa ekor putih. Infeksi pada satwa liar berasal dari ternak terinfeksi yang saling kontak satu sama lain. Satwa liar bertindak sebagai reservoar bakteri yang ditularkan ke manusia melalui produk asal satwa liar. Kemunculan TB pada satwa liar dikaitkan dengan perubahan ekologi dan penggunaan lahan sehingga menyebabkan kepadatan populasi dan kerentanan satwa liar (Bengis et al. 2004).

Bruselosis yang menyerang ternak dan satwa liar yang disebabkan oleh Brucella abortus dan Brucella melitensis. Kejadiannya dikaitkan dengan konflik antara kepentingan satwa liar dan pertanian. Penularan ke manusia terjadi karena penanganan hewan atau konsumsi produk hewan terinfeksi yang menyebabkan penyakit serius pada manusia. Brucella suis juga diketahui menyerang satwa liar. Bakteri Brucella sp. ada yang diisolasi dari paus dan seals. Bruselosis menyebabkan aborsi, kelemahan dan kemandulan (Bengis et

(29)

Tularemia disebabkan oleh bakteri Francisella tularensis yang ditularkan oleh rodensia. F. tularensis memiliki dua tipe galur, yakni tipe A dan tipe B, menyerang 190 spesies mamalia, 23 spesies burung, dan 3 spesies amfibi. Penularan dapat terjadi melalui gigitan serangga dan caplak penghisap darah, kontak langsung dengan jaringan dan eksudat terinfeksi, kontaminasi membran mukosa, inhalasi, dan ingesti. Tularemia merupakan zoonosis yang ditularkan melalui air (water-borne), terutama galur tipe B. Epidemi pada manusia terjadi selama musim panas, masa berburu pada musim dingin, atau terkait dengan penanganan karkas. Pada 2003 terjadi wabah dengan 500 kasus pada manusia di Swedia (Bengis et al. 2004).

Plague adalah zoonosis yang disebabkan oleh Yersinia pestis. Saat terjadi

endemik pada populasi satwa liar, bakteri Y. pestis berada pada reservoar rodensia dan ditularkan melalui kutu. Tikus dan kutu menjadi sumber penularan penting pada manusia di lingkungan urban (Bengis et al. 2004). Leptospirosis disebabkan oleh Leptospira interrogans yang tiap serovarnya di alam berada pada inang resisten satwa liar dan mamalia domestik. L. interrogans menyebabkan penyakit klinis pada mamalia dan berada pada ginjal inang sehingga penularan bisa terjadi melalui urin. Penularan ke manusia melalui ingesti air yang terkontaminasi, penanganan dan ingesti susu atau jaringan terinfeksi, invasi transplasenta, kontak seksual, dan pemandian umum. Wabah terjadi pada musim hujan, terutama pada habitat yang kurang drainase dan kepadatan hewan (Bengis et al. 2004).

Faktor Pemicu Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar

(30)

antropogenik atau berasal dari manusia. Lebih lanjut Lashley (2004) mengategorikan faktor-faktor kemunculan EZ dan REZ menjadi 13 kategori faktor (Tabel 4).

Tabel 4 Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya EID dan REID (Lashley 2004)

Faktor Penyebab Contoh EID dan REID terkait dengan faktor penyebab

Perubahan dan adaptasi mikroba

Escherichia coli O157:H7 yang lebih virulen

Kerentanan manusia terhadap infeksi

Manusia yang homozygous metionin pada kodon 129 gen

prion protein lebih rentan terhadap penyakit Creutzfeldt

-Jakob

Iklim dan cuaca Hujan lebat meningkatkan perkembangbiakan vektor

nyamuk dan penyakit menular oleh nyamuk

Perubahan ekosistem Pembangunan dam menyebabkan perubahan vektor ekologi

dan kemunculan Rift Valley fever di Mesir

Demografi dan perilaku manusia

Tindik anggota tubuh dan potensi infeksi hepatitis C

Perkembangan ekonomi dan pemanfaatan lahan

Penebangan hutan di Venezuela meningkatkan populasi tikus yang menjadi inang reservoar virus Guanarito dan

wabah Venezuelan hemorrhagic fever

Perjalanan internasional dan perdagangan

Impor raspberi Guatemala dan wabah siklosporiasis di Amerika Serikat

Teknologi dan industri Pengobatan massal menggunakan floroquinolon pada infeksi

Escherichia coli ayam menyebabkan resistensi antimikroba

pada manusia dan organisme lainnya

Gangguan kesehatan masyarakat

Gangguan pengendalian vektor meningkatkan distribusi dan

kelimpahan Aedes aegyptii penyebab demam berdarah

dengue

Kemiskinan dan ketimpangan sosial

Memakan daging hewan yang mati akibat antraks

menyebabkan terjadinya kasus antraks gastrointestinal pada manusia

Perang dan kelaparan Bencana alam dan kerusuhan merusak sarana kesehatan

masyarakat terutama layanan pencegahan seperti imunisasi dan pengendalian vektor

Kurangnya kebijakan politik

Tidak dilaporkannya kejadian penyakit karena alasan

ekonomi dan politis menyebabkan kemunculan wabah SARS di Cina

Kedekatan terhadap kuman penyebab penyakit

Penyebaran spora Bacillus anthracis di Amerika Serikat

tahun 2001

(31)

konsumsi daging asal satwa liar (bushmeat), perdagangan global, serta gangguan habitat satwa (misalnya pelanggaran batas hutan); (2) perubahan perilaku manusia, seperti besarnya kesempatan kepemilikan dan perpindahan hewan kesayangan, perjalanan melalui udara, ekoturisme, perburuan, perkemahan (camping), pilihan makanan (misalnya makanan asal satwa liar), demografi, serta tingkat ketaatan melaksanakan tindakan pencegahan; (3) kekurangan infrastruktur dan kebijakan pada kesehatan masyarakat akibat kurangnya integrasi surveilans kesehatan hewan, pendanaan sektor kesehatan masyarakat, serta kurangnya pendanaan bagi penelitian dan pembangunan keahlian dalam menjawab permasalahan kesehatan masyarakat; dan (4) faktor terkait agen penyebab penyakit, seperti adaptasi ke vektor dan inang baru, mutasi dan rekombinasi di manusia dan hewan setelah terpapar banyak patogen (misalnya foodborne virus dan virus influenza), serta perkembangan peningkatan virulensi atau resistensi terhadap obat (WHO/FAO/OIE 2004).

Penyakit ternak dapat berpindah ke satwa liar (spill-over) yang kemudian berpindah lagi ke hewan ternak (spill-back). Paparan agen patogen pada suatu populasi bergantung pada interaksi yang melibatkan inang, agen, dan lingkungan. Populasi hewan yang terpapar faktor kemungkinan resisten terhadap infeksi atau dapat menjadi inang akhir, inang antara, atau inang alami (maintenance host). Spesies inang dan agen yang sama belum tentu memiliki respon yang sama bergantung pada situasi yang berbeda. Menurut Wolfe et al. (2005), risiko kemunculan agen zoonotik baru bersumber satwa liar bergantung pada keragaman mikroba satwa liar dalam wilayah, dampak perubahan lingkungan pada prevalensi patogen pada populasi satwa liar, serta frekuensi manusia dan hewan domestik yang kontak dengan reservoar satwa liar (Tabel 5).

(32)

Tabel 5 Beberapa agen patogen dengan faktor yang mempengaruhi kemunculannya (Morse 1995)

Agen patogen Faktor yang berkontribusi terhadap kemunculannya

Virus

Bolivian hemorrhagic fever,

Argentinahemorrhagic fever

Perubahan pertanian yang memicu populasi inang rodensia

Bovine spongiform

encephalopathy (BSE)

Perubahan pada proses rendering

Demam berdarah dengue Transportasi, perjalanan, migrasi, dan urbanisasi

Ebola, Marburg Tidak diketahui (di Eropa dan Amerika Serikat dari impor

monyet)

Hantavirus Perubahan ekologi atau lingkungan yang meningkatkan kontak

dengan inang rodensia

Hepatitis B, C Transfusi darah, transplantasi organ, peralatan hipodermik

terkontaminasi, penularan seksual, penyebaran vertikal dari induk terinfeksi ke anak

HIV Migrasi ke kota dan perjalanan, penularan seksual, penularan

vertikal dari induk ke anak, peralatan hipodermik terkontaminasi (penggunaan obat intravena), transfusi darah, transplantasi organ

Influenza (pandemi) Kemungkinan peternakan babi dan bebek yang memfasilitasi

re-assortment virus avian dan mamalia

Lassa fever Urbanisasi inang rodensia, peningkatan paparan

Rift Valley fever Pembangunan bendungan, pertanian, irigasi, kemungkinan

perubahan virulensi atau patogenitas virus

Demam kuning (yellow fever)

Kondisi yang mempengaruhi vektor nyamuk

Bakteri

Kolera Epidemi di Amerika Selatan kemungkinan berasal dari kapal

Asia yang menyebar melalui klorinasi air, perjalanan

Haemolitic uremic syndrome (Escherichia coli O157:H7)

Penggunaan teknologi pemrosesan makanan massal yang memungkinkan kontaminasi daging

Legionella Sistem pendinginan (organisme yang tumbuh pada biofilm yang

terbentuk pada penyimpanan tank air)

Lyme borreliosis Reforestrasi sekeliling rumah dan kondisi yang mempengaruhi

vektor caplak pada rusa (inang reservoar sekunder)

(33)

Pengendalian Zoonosis Bersumber pada Satwa Liar

Dalam rangka mencegah dan mengendalikan EZ dan REZ beberapa langkah perlu diambil yang meliputi, pengenalan (recognition), penyidikan (investigation), kolaborasi (collaboration), pengembangan struktur percepatan untuk diagnosis dan surveilans, intervensi internasional dan interdisipliner, penelitian penerapan epidemiologi dan ekologi, edukasi (pelatihan dan pemindahan teknologi), serta informasi komunikasi (Chomel 2003).

WHO/FAO/OIE (2004) merekomendasikan deteksi, surveilans, respon dan pengendalian zoonosis dengan cara (1) sistem pelaporan dan peringatan dini ke World Organisation of Animal Health (OIE), (2) menjalankan sistem peringatan dini terhadap EZ dan REZ, (3) sistem pemantauan (monitoring), (4) perkiraan matematis kejadian penyakit, (5) studi kompleksitas dalam mencari agen di reservoar satwa liar, (6) strategi pengendalian dengan penerapan standar keamanan, (7) kemitraan antara kesehatan hewan dan masyarakat dalam pengendalian zoonosis, serta (8) peningkatan kesiapan (preparedness) dan respon terhadap EZ dan REZ.

Metode yang dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian EZ dan REZ bersumber satwa liar adalah isolasi dan pembuatan pembatas fisik untuk mengasingkan satwa liar dari peternakan atau pemukiman penduduk, pengendalian populasi satwa melalui seleksi, perawatan dan vaksinasi dalam populasi satwa (misalnya vaksinasi rabies secara oral pada rubah), pembatasan pergerakan satwa liar, melakukan tindakan tentatif pengujian melalui karantina pada semua satwa hidup impor dan ekspor, serta peningkatan keterampilan perawatan dalam mengadopsi dan translokasi satwa liar (WHO/FAO/OIE 2004).

(34)

pemusnahan sumber zoonosis pada hewan apabila diperlukan; (4) penguatan perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan zoonosis baru; (5) peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis; (6) penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia, logistik, pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan anggaran pengendalian zoonosis; (7) penguatan penelitian dan pengembangan zoonosis; (8) pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta pihak-pihak lain.

Tantangan Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dari Zoonosis yang Baru Muncul

Globalisasi berdampak pada peningkatan permasalahan yang terkait kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Banyaknya EID dan REID yang disebabkan kontak antara manusia, hewan domestik, dan satwa liar memerlukan pemahaman mengenai strategi efektif dalam upaya pengendalian dan pencegahan penyakit. Para profesi yang terkait dengan kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan memiliki peran strategis dalam menjawab berbagai tantangan yang timbul akibat globalisasi. Upaya pendekatan kolaborasi interdisipliner antara bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sangat diperlukan dalam penanggulangan penyakit. Hal tersebut memicu dicetuskannya konsep one health untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan global (Sherman 2010).

One health adalah upaya kolaboratif multidisiplin yang bekerja secara lokal,

(35)

memerlukan pengendalian atau pengaturan melalui kerjasama beberapa negara. Penyakit-penyakit TAD antara lain penyakit mulut dan kuku (PMK), rinderpest, contagious bovine pleuropneumonia, BSE, peste des petits ruminants, classical swine fever, African swine fever, Newcastle disease (ND), dan avian influenza (AI) (Otte et al. 2004). Sejak Juni 2011, OIE mengeluarkan resolusi 18/2011 yang menyatakan bahwa dunia bebas dari rinderpest dari 198 negara yang rentan terserang (OIE 2011).

Meningkatnya mobilitas hewan hidup dan produk hewan di seluruh dunia meningkatkan tingkat risiko penyebaran TAD. World Trade Organization (WTO) secara aktif mendukung pengembangan regulasi dan kebijakan dalam menjamin kesehatan hewan dan keamanan pangan dalam perdagangan internasional. World Organization for Animal Health (OIE) menyediakan pakar dan ilmuwan bagi WTO dalam meregulasi perdagangan ternak di dunia. Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO) dan World Health Organization (WHO)

dalam Codex Alimentarius menyediakan panduan untuk regulasi pangan termasuk pangan asal hewan (Sherman 2010). American Veterinary Medical Association pada tahun 2007 mengeluarkan One Health Initiative dan membuat One Health Initiative Task Force untuk mempelajari kemungkinan kolaborasi dan

(36)
(37)

Jumlah dan keanekaragaman spesies satwa liar di seluruh dunia sangat besar dan terdistribusi pada habitat dan ekologi yang berbeda-beda. Keanekaragaman hayati terus mengalami penyusutan, terutama di hutan tropis (Anonim 2011a). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup RI (2008), kecenderungan penyusutan keanekaragaman hayati disebabkan oleh penebangan hutan, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, penambangan, perburuan, perdagangan satwa liar, dan introduksi spesies asing invasif (invasive alien species). Kemunculan agen patogen penyebab penyakit dihubungkan dengan perubahan ekologi dan faktor risiko spesifik yang terkait dengan tipe patogen, rute penularan, dan cakupan inang (Woolhouse 2002). Dari 1415 agen patogen penyebab penyakit menular pada manusia yang saat ini diketahui, sekitar 58-61%-nya bersumber pada hewan. Persentase tersebut akan meningkat hingga 73-75% bila EID dan REID yang selama 30 hingga 40 tahun terakhir masih diperhitungkan (Roche dan Guégan 2011). Sebanyak 75% dari jumlah penyakit menular pada manusia bersifat zoonotik (Taylor et al. 2001) yang lebih dikategorikan sebagai EID dan REID (Woolhouse dan Sequera 2005). EZ dan REZ merupakan tantangan besar bagi manusia dan dunia veteriner karena memiliki dampak besar bagi kesehatan masyarakat (Sleeman 2006). Kejadian EZ dan REZ muncul akibat perubahan lingkungan dan peningkatan aktivitas manusia (Smolinski et al. 2003). Perubahan lingkungan sering dikaitkan dengan faktor risiko yang dapat mempengaruhi dinamika infeksi agen patogen zoonotik, yaitu (1) terjadi peningkatan jumlah inang reservoar; (2) peningkatan insidensi infeksi pada inang reservoar; atau (3) perubahan pola, laju, dan frekuensi kontak antara hewan sebagai inang reservoar dan manusia. Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut digunakan untuk menentukan keberhasilan upaya pengendalian penyakit zoonotik (Cleaveland et al. 2007).

(38)

resisten terhadap obat antimikroba dipisahkan sebagai patogen tersendiri karena galur yang berbeda dapat menyebabkan wabah penyakit yang secara signifikan berbeda.

Patogen yang menyebabkan penyakit menular pada manusia jarang yang terbatas hanya menularkan ke manusia saja. Kemampuan agen patogen menginfeksi cakupan inang yang luas menjadi faktor risiko bagi kemunculan penyakit baik pada manusia maupun hewan domestik (Cleaveland et al. 2001). Woolhouse dan Sequera (2005) menunjukkan bahwa lebih dari 40% patogen EID dan REID memiliki cakupan spesies luas (tiga atau lebih spesies inang). Sebanyak 77% patogen pada ternak dan 91% patogen pada karnivora domestik menginfeksi lebih dari satu inang (Haydon et al. 2002). Ruminansia, karnivora, rodensia, burung, dan primata merupakan lima kategori hewan utama penular penyakit ke manusia (Roche dan Guégan 2011). Patogen multispesies terdapat pada beberapa populasi inang dengan membentuk reservoar infeksi. Oleh karena itu, kunci penting dalam pengendalian patogen multispesies adalah mengidentifikasi reservoar infeksi (Haydon et al. 2002).

Reservoar didefinisikan sebagai satu atau lebih populasi dan lingkungan yang secara epidemiologi terhubung dimana patogen dapat secara permanen dipelihara dan infeksi dapat ditularkan ke target populasi yang terbatas. Reservoar inang infeksi yakni semua inang yang secara epidemiologi terhubung atau berkontribusi pada penularan ke inang target (Haydon et al. 2002). Reservoar infeksi meliputi semua populasi inang, inang antara atau vektor pada lingkungan yang diperlukan untuk mempertahankan agen tanpa batas. Inang insidentil atau inang penghubung adalah inang yang dapat terinfeksi patogen namun tidak ikut berperan dalam pemeliharaan populasi patogen (Ashford 2003).

(39)

berimplikasi pada banyaknya spesies satwa liar merupakan reservoar patogen yang mengancam hewan domestik dan manusia, serta EID mengancam konservasi keanekaragaman hayati global. Satwa liar berperan sebagai pangkalan zoonotik (zoonotic pool) patogen yang sebelumnya tidak diketahui. Hal tersebut secara klasik dapat terjadi pada virus influenza yang menyebabkan pandemi pada manusia setelah terjadi perubahan gen antara virus di burung liar dan domestik, babi, serta manusia.

Pemahaman proses emergence (baru muncul) memerlukan kajian

dinamika mikroorganisme pada populasi reservoar satwa liar, biologi populasi

reservoar, serta perubahan demografi dan perilaku manusia (seperti perburuan,

produksi ternak) terhadap perubahan lingkungan, seperti deforestasi dan

perkembangan pertanian (Wolfe et al. 2005). Risiko kemunculan patogen

zoonotik bergantung pada tiga faktor, yaitu (1) keragaman mikroorganisme pada

satwa liar dalam suatu wilayah, (2) pengaruh perubahan lingkungan pada

prevalensi patogen dalam populasi satwa liar, dan (3) frekuensi kontak manusia

dan hewan domestik dengan satwa liar sebagai reservoar penyakit zoonotik.

Faktor pertama menjadi perhatian utama ahli virologi, khususnya yang mengkaji

kecenderungan evolusi dalam virus-virus yang baru. Faktor kedua dan ketiga

menjadi kajian dokter hewan satwa liar, ahli ekologi penyakit, ahli biologi populasi

satwa liar, ahli antropologi, ahli ekonomi dan ahli geografi (Wolfe et al. 2005).

Menurut Daszak et al. (2000), faktor risiko kemunculan penyakit pada program konservasi sangat kompleks. EID menyebabkan kepunahan spesies terancam punah; mengubah rasio predator, mangsa, kompetitor; serta mengubah habitat melalui fragmentasi dan perubahan iklim global. Agen patogen yang berinduk semang pada satwa liar memiliki risiko relatif (relative risk) lebih tinggi dalam kemunculan penyakit baru (emergence) daripada agen patogen yang memiliki sebaran induk semang yang terbatas (Cleaveland et al. 2007).

Deforestasi hutan tropis menyebabkan peningkatan kontak antara satwa

liar dan pemburu. Penebangan hutan sekaligus (clear-cut logging) kurang

menyebabkan munculnya zoonotik dibandingkan dengan tebang pilih (selective

extraction) karena terjadinya kontak antara manusia dan satwa liar relatif kurang

dibandingkan dengan tebang pilih. Praktik tebang pilih dapat menjaga

kelestarian keragaman hayati satwa liar dibandingkan dengan penebangan hutan

sekaligus, yang berarti juga menjaga keragaman patogen zoonotik potensial bagi

(40)

Faktor risiko lain yang terkait dengan kemunculan penyakit zoonotik bersumber satwa liar adalah peningkatan konsumsi bushmeat atau daging asal satwa liar di beberapa belahan dunia, terutama Afrika Tengah dan lembah sungai Amazon. Virus simian foamy diidentifikasi sebagai retrovirus yang menginfeksi manusia melalui kontak langsung bushmeat primata non-manusia segar. Hal tersebut mengindikasikan bahwa zoonosis menjadi lebih sering, lebih meluas penyebarannya, dan lebih kontemporer. Retrovirus baru yakni tipe 3 dan 4 penyebab limfotropik-T manusia ditemukan pada pemburu, butcher, dan penjaga monyet dan/atau kera yang digunakan sebagai hewan kesayangan di Kamerun bagian selatan. Permintaan bushmeat, akses luas ke habitat primata, penebangan hutan, dan perburuan di Afrika menyebabkan peningkatan frekuensi paparan retrovirus dari primata ke manusia. Wabah virus Ebola di Afrika bagian barat dikaitkan dengan konsumsi bushmeat simpanse yang telah mati (Chomel et al. 2007). Risiko munculnya zoonosis yang disebabkan oleh perburuan dan konsumsi satwa liar masih menjadi perhatian global karena terkait dengan

peningkatan populasi manusia, perdagangan global, dan kontak antara manusia

dan hewan. Perburuan satwa liar oleh manusia dapat membawa risiko

perpindahan patogen antar spesies (Wolfe et al. 2005).

(41)

Peningkatan jumlah EID bersumber satwa liar menimbulkan kewaspadaan karena terdapat hubungan yang saling terkait faktor penyebab kemunculan penyakit antara manusia dan satwa liar (Gambar 1). Hubungan paralel antara manusia dan EID pada satwa liar terjadi sudah terjadi sejak lama yang secara global menyebabkan terjadinya penyebaran patogen eksotik. Sebagai contoh adalah introduksi smallpox dan measles oleh bangsa Spanyol ke Amerika melalui perpindahan hewan domestik selama masa penjajahan. Panzootik rinderpest Afrika terjadi karena introduksi, penyebaran, dan dampak dari virulensi patogen eksotik dari Asia pada populasi satwa liar (Daszak et al. 2000).

Gambar 1 Hubungan EID antara satwa liar, hewan domestik, dan manusia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi (Daszak 2000).

(42)

memicu kemunculan penyakit menular. Sebagian besar penyakit muncul sebagai akibat dari perubahan ekologi inang, agen patogen, atau keduanya. Penularan agen patogen menular dari populasi hewan reservoar (hewan domestik) ke satwa liar diistilahkan dengan spill-over, sebaliknya penularan agen patogen menular dari satwa liar ke hewan domestik yang rentan disebut spill-back. Spill-over dan spill-back menjadi ancaman yang membahayakan spesies karena terjadi proses timbal balik patogen antara hewan domestik, satwa liar, dan manusia (Tabel 6). Selain itu, keberadaan inang reservoar terinfeksi dapat menurunkan ambang batas kepadatan patogen dan memicu kepunahan populasi lokal. Contoh spill-over adalah perkembangan populasi manusia dan anjing domestik menyebabkan kemunculan rabies pada anjing liar, sedangkan contoh spill-back adalah bruselosis dapat menular ke elk dan bison akibat hewan ternak

domestik merumput di sekeliling habitat satwa liar (Daszak et al. 2000).

Virus merupakan agen patogen yang paling sering menyebabkan wabah penyakit pada satwa liar (Tabel 7). Virus RNA lebih banyak menjadi penyebab EID dan REID pada manusia dan hewan dibandingkan dengan virus DNA (Cleaveland et al. 2007). EID dan REID muncul diakibatkan oleh gangguan manusia pada habitat satwa liar, yakni deforestasi, perkembangan pemukiman penduduk, dan pertambangan. Sebagai contoh adalah kemunculan kembali rabies pada manusia oleh gigitan kelelawar vampir di lembah sungai Amazon yang menyebabkan 46 orang meninggal dunia tahun 2004 (Chomel et al. 2007).

Perdagangan satwa liar memungkinkan penularan penyakit yang mengancam manusia, peternakan, perdagangan internasional, populasi satwa liar asli, dan kesehatan ekosistem. Perdagangan satwa liar mencakup barter lokal hingga internasional baik secara ilegal informal maupun formal (Karesh et al. 2005). Mamalia, burung, dan reptil liar yang ditampung di pusat perdagangan

(43)
(44)
(45)
(46)

Tabel 7 Contoh virus yang telah muncul sebagai hasil dari lompatan spesies. Bagian A menunjukkan waktu lampau (5000 hingga 10000 tahun lalu) dan bagian B menunjukkan waktu beberapa dekade terakhir (Cleaveland 2007)

Penyakit/patogen Inang asal Inang baru

Tahun pertama

Virus distemper Harp seal Harbor seal 1988

Virus Hendra Kelelawar pemakan

Virus distemper anjing Anjing Singa 1994

Sledge dog Crab-eating seal 1955

Anjing/karnivora liar Lake Baikal seal 1987/1988

Anjing/karnivora liar Caspian sea seal 2000

H5N1 influenza A Ayam Manusia 1997

Virus hepatitis E Rusa Manusia 2003

(47)

Afrika, penggunaan satwa liar, seperti cane rat hingga gorila, untuk dijadikan makanan. Peningkatan perdagangan bushmeat dipicu oleh faktor kebudayaan, politik, dan ekonomi (Karesh dan Noble 2009). Di Asia Timur dan Tenggara, puluhan juta satwa liar didatangkan tiap tahun dari regional dan seluruh dunia untuk makanan atau penggunaan obat tradisional. Diperkirakan lebih dari satu miliar kilogram bushmeat diperdagangkan di Afrika Tengah baik untuk konsumsi lokal maupun regional, sedangkan di lembah Sungai Amazon diperdagangkan 67 hingga 164 kilogram bushmeat dengan jumlah mamalia yang dikonsumsi sebanyak 6.4 juta hingga 15.8 juta individu (Karesh et al. 2005).

Mekanisme yang digunakan dalam menyediakan satwa liar sebagai bahan pangan, obat, hewan kesayangan, kesenangan baru, dan produk lainnya sangat kompleks dan bervariasi bergantung pada wilayah, penggunaan, dan spesies satwa liar. Di hutan Afrika Tengah, bushmeat menjadi sumber utama protein hewani karena kemampuan keterbasan beternak hewan domestik (Karesh dan Noble 2009). Pemburu satwa liar, pedagang, dan konsumen merupakan golongan manusia yang paling sering kontak dan terpapar satwa liar (Karesh et al. 2005). Bushmeat monyet juga menularkan parasit gastrointestinal, seperti Trichuris sp., Entamoeba coli, Strongyloides fulleborni, dan Ancylostoma spp. di Kamerun. Menurut Pourrut et al. (2010), parasit-parasit tersebut ditularkan ke manusia secara transkutaneus melalui infeksi larva selama penanganan daging (butchering). Kelelawar juga sering digunakan sebagai bushmeat untuk dikonsumsi. Kelelawar memiliki peran signifikan bagi kesehatan karena berperan sebagai inang reservoar beberapa virus (Calisher et al. 2006). Menurut Krauss et al. (2003), kelelawar menularkan virus ke hewan domestik dan manusia melalui kontak, gigitan, dan aerosol (Tabel 8).

(48)
(49)

EZ dan REZ disebabkan pula oleh kerusakan lingkungan melalui introduksi spesies asing invasif (invasive alien species/IAS) dalam suatu wilayah. IAS merupakan spesies yang bukan menjadi spesies asli suatu habitat yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak disengaja (Sharp et al. 2011). IAS secara sengaja diintroduksi karena faktor ekonomi, lingkungan, dan sosial. IAS merusak spesies asli pada ekosistem secara global, menyebabkan degradasi lingkungan, serta kehilangan habitat bagi spesies yang terancam punah (Stroud 2009). Contoh penyakit yang disebabkan yang terkait dengan IAS adalah H5N1 avian influenza dan SARS yang disebabkan karena introduksi burung liar melalui migrasi dan introduksi karnivora liar ke Cina yang bukan merupakan habitat aslinya akibat perdagangan (Crowl et al. 2008).

Aktivitas perubahan ekologi dan penggunaan lahan, antara lain gangguan pertanian, deforestasi, pembangunan bendungan, irigasi, modifikasi lahan basah, pertambangan, urbanisasi, pembuatan jalan, degradasi pantai (Patz et al. 2004). Perburuan spesies dan deforestasi hutan hujan tropis di dunia berdampak turunnya kemampuan regenerasi hutan dan kehilangan keanekaragaman spesies. Deforestasi menimbulkan munculnya agen patogen dan vektor baru yang sebelumnya tidak diketahui. Penyakit oleh vektor nyamuk yang timbul akibat deforestasi adalah demam berdarah dengue, Rift Valley Fever, malaria, dan water-borne disease like cholera. Di Indonesia, deforestasi menyebabkan kemunculan wabah malaria (Butler 2006).

(50)

Tabel 9 Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit zoonotik di beberapa negara

Penyakit Negara Tahun Biaya yang

dikeluarkan Pustaka

Avian influenza Indonesia 2003 470 juta dolar

Amerika

Foster (2009)

Vietnam 2003-2004 630 juta dolar

Amerika

Anonim (2011b)

Hong Kong 1997 13 juta dolar

Amerika

Anonim (2008)

HIV/AIDS Thailand 2000 7.3 miliar dolar

Amerika

Virus Nipah Malaysia 1999 350-400 miliar

dolar Amerika

Anonim (2008)

Lyme disease Amerika Serikat 1997 2.5 miliar dolar

Amerika

Anonim (2008)

BSE Inggris 1994-1996 10-13 miliar dolar

Amerika

Anonim (2008)

BSE Amerika Serikat 2003 3.5 miliar dolar

Amerika

Anonim (2008)

Agricultural Organization (FAO) dengan kesepakatan membentuk World Trade Organization (WTO), Sanitary and Phytosanitary (SPS), EMPRES, dan GLEWS (Otte et al. 2004).

(51)

suplai makanan, ekonomi, dan biodiversitas; (2) mengetahui penggunaan lahan dan air yang berimplikasi pada kesehatan; (3) mengetahui ilmu kesehatan satwa liar yang penting dalam pencegahan, surveilanss, monitoring, pengendalian dan mitigasi penyakit global; (4) mengenali program kesehatan manusia yang berkontribusi terhadap usaha-usaha konservasi; (5) menciptakan pendekatan adaptif, holistik, dan pandangan ke depan terkait pencegahan, surveilanss, monitoring, pencegahan, dan mitigasi kemunculan penyakit antar spesies; (6) mengintegrasikan pandangan konservasi biodiversitas dan kebutuhan manusia terhadap ancaman penyakit menular; (7) mengurangi permintaan perdagangan satwa liar dan bushmeat untuk melindungi populasi satwa liar, memperkecil risiko perpindahan penyakit, penularan lintas spesies, dan perkembangan hubungan inang dan patogen, perkembangan perdagangan yang mengancam keamanan sosio-ekonomi global; (8) membatasai pergerakan bebas satwa liar dalam pengendalian penyakit secara luas; (9) meningkatkan investasi pada infrastruktur kesehatan manusia dan hewan yang sepadan dengan keseriusan dalam menangani ancaman penyakit; (10) menjalin hubungan kolaboratif antara pemerintahan, masyarakat lokal, dan kepentingan umum dalam menangani kesehatan global dan konservasi; (11) menyediakan sumber daya memadai dan dukungan untuk surveilans kesehatan satwa liar dan sistem peringatan dini ancaman EID; (12) mengedukasi dan meningkatkan kewaspadaan antar manusia di dunia

Medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan mengedepankan kaitan antara kesehatan manusia dan hewan dengan perubahan kesehatan ekosistem dan lingkungan global. Prinsip utama dari medik konservasi adalah kesehatan menghubungkan semua spesies sehingga terjadi hubungan proses ekologik (Aguirre dan Gomez 2009). Pendekatan ekosistem pada kesehatan (ecohealth) adalah suatu sistem pendekatan dalam pemahaman dan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan melalui interaksi sosial dan ekologi (Nguyen 2011). Ecohealth mengkaji perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan,

(52)
(53)

Simpulan

1. Satwa liar diketahui berperan sebagai reservoar dalam kemunculan beberapa EID dan REID yang bersifat zoonotik (EZ dan REZ) dan menimbulkan dampak negatif pada manusia dan hewan di bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan.

2. EID dan REID muncul akibat ketidakseimbangan hubungan ekosistem antara inang dan patogen yang dipicu oleh faktor-faktor sosio-ekonomi, lingkungan, dan ekologi, seperti perkembangan pemukiman penduduk dan deforestasi.

3. Pencegahan dan pengendalian zoonosis bersumber satwa liar dilakukan dengan mengutamakan prinsip pencegahan dan pengendalian pada sumber penularan melalui penguatan koordinasi lintas sektor, sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan strategi dan program perencanaan terpadu terhadap wabah, serta penguatan kapasitas sumber daya masyarakat.

4. Permasalahan yang timbul akibat EZ dan REZ menjadi tantangan bagi profesi bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan melalui pendekatan konsep one health dan ecohealth melalui kerjasama antar organisasi-organisasi dunia, seperti OIE, FAO, dan WHO.

Saran

1. Diharapkan terjadi peningkatan kewaspadaan semua lapisan masyarakat dunia terhadap bahaya zoonosis yang baru muncul bersumber satwa liar. 2. Perlunya upaya intensif untuk menurunkan faktor risiko EID dan REID yang

bersifat zoonotik bersumber hewan liar.

3. Perlunya penguatan kolaborasi dan kerjasama antar semua pihak yang terkait antar bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan dalam mencegah dan mengendalikan zoonosis yang baru muncul bersumber satwa liar.

(54)
(55)

Aguirre AA, Gomez A. 2009. Essential veterinary education in conservation medicine and ecosystem health: a global perspective. Rev sci tech Off int Epiz 28(2):597-603.

[Anonim]. 2008. The economic and social impact of emerging infectious disease: mitigation through detection, research, and response. [terhubung berkala]. http://www.healthcare.philips.com/main/shared/assets/documents/ since late 2003. [terhubung berkala]. http://www.avianinfluenza.org.vn/ index.php?option=com_content&view=category&id=45&Itemid=72&lang=en possible links with the international trade in small carnivores. Phil Trans R Soc Lond B 359:1107-1114.

Bengis RG, Leighton FA, Fischer JR, Artois M, Mörner T, Tate CM. 2004. The role of wildlife in emerging and re-emerging zoonoses. Rev sci tech Off int Epiz 23(2):497-511.

Breiman RF, Njenga MK, Cleaveland S, Sharif SK, Mbabu M, King L. 2008. Lesson from the 2006-2007 Rift Valley fever outbreak in East Africa: implications for prevention of emerging infectious diseases. Future Virol 3(5):411-417.

Brown C. 2004. Emerging zoonoses and pathogens of public health significance – an overview. Rev sci tech Off int Epiz 23(2):435-442.

Butler RA. 2006. Impact of deforestation: species loss, extinction and disease. [terhubung berkala]. http://rainforests.mongabay.com/0904.htm. [6 Juli 2011].

(56)

Castrucci MR, Donatelli I, Sidoli L, Barigazzi G, Kawaoka Y, Webster RG. 1993. Genetic reassortment between avian and human influenza A virus in Italian pigs. Virology 193(1):503-506.

[CDC] Center for Diseases Control and Prevention. 2010. Final 2010 West Nile virus human infections in the United States. [terhubung berkala]. http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/westnile/surv&controlCaseCount10_detail ed.htm. [28 Juni 2011].

Chomel BB. 1998. New emerging zoonoses: a challenge and an opportunity for the veterinary profession. Comp Immunol Microbiol Infect Dis 21:1-14.

Chomel BB. 2003. Control and prevention of emerging zoonoses. J Vet Med

Cleaveland SC, Laurenson MK, Taylor LH. 2001. Diseases of humans and their domestic mammals: pathogen characteristic, host range and the risk of emergence. Phill Trans R Soc Lond B 356:983-989.

Cleaveland SC, Haydon DT, Taylor L. 2007. Overviews of Pathogen Emergence: Which Pathogens Emerge, When and Why?. Dalam: Childs JE, Mackenzie JS, Richt JA, editor, Wildlife and Emerging Zoonotic Diseases: The Biology, Circumstances and Consequences of Cross-Species Transmission. Berlin: Springer. Hlm 85-111.

Coker RJ, Hunter BM, Rudge JW, Liverani M, Hanvoravongchai P. 2011. Emerging infectious diseases in Southeast Asia: regional challenges to control. Lancet 377:599-609.

Crowl TA, Crist TO, Parmenter RR, Belovsky G, Lugo AE. 2008. The spread of invasive species and infectious disease as drivers of ecosystem change. Ecol Soc Am 6(5):234-246.

Cunningham AA. 2005. A walk on the wild side – emerging wildlife diseases. Brit Med J 331:1214-1215.

Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD. 2000. Emerging infectious diseases of wildlife – threats to biodiversity and human health. Science 287:443-449.

Daszak P, Tabor GM, Kilpatrick AM, Epstein J, Plowright R. 2004. Conservation medicine and a new agenda for emerging diseases. Ann NY Acad Sci 1026:1-11.

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2011. Food chain crisis management framework. Prevention and early warning. [terhubung berkala]. http://www.fao.org/foodchain/prevention-and-early-warning/en/ [11 Juli 2011].

Gambar

Tabel 2  Patogen baru yang diketahui sejak 1973 (Woolhouse 2002; Zowghi et
Tabel 4 Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya EID dan REID (Lashley
Tabel 5 Beberapa
Gambar 1 Hubungan EID antara satwa liar, hewan domestik, dan manusia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, khususnya untuk proyek energi terbarukan berbasis masyarakat yang besarnya kurang dari 200KW, kriteria kapasitas teknis tambahan yang diperlukan untuk Pemohon

Peran filologi sangat penting dalam usaha penanganan naskah, yang meliputi perbaikan huruf dan bacaan, ejaan, bahasa, tata tulisnya, kemudian menyunting dan

Kondisi rank menyatakan dalam suatu model D persamaan dalam D variabel endogen, suatu persamaaan disebut identified jika dan hanya jika sekurang-kurangnya

Model kuantitatif yang digunakan untuk memperkirakan potensi kerugian maksimum pada portofolio bank dalam risiko pasar disebut:.. Credit

Walaupun bagian jangka panjang MPS dapat diubah berdasarkan perubahan kondisi pasar, rencana produksi harus tetap untuk beberapa minggu ke depan agar dapat

Dari hasil data penelitian pada Tabel 3, untuk ZAS tanpa kalsinasi kadar Si menunjukkan lebih tinggi yakni sebesar 80,28% dibandingkan dengan kalsinasi sebesar

Program ini berisi perintah untuk melakukan simulasi random number serta memanggil beberapa subroutine yang berfungsi untuk dan menjalankan proses evolusi meneruskan evolusi hingga