• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

SERANGAN HAMA PENGOROK DAUN DAN KELIMPAHAN

SERANGGA LAIN YANG BERASOSIASI DENGAN

TANAMAN KENTANG MONOKULTUR DAN

TUMPANGSARI

HANIFAH NURAENI SUTEJA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Hanifah Nur’aeni Suteja

(4)
(5)

ii

ABSTRAK

HANIFAH NURAENI SUTEJA. Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari. Dibimbing oleh PUDJIANTO.

Kentang merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi dan merupakan sumber bahan pangan karbohidrat lain selain beras, jagung, dan gandum. Salah satu hama utama tanaman kentang dan tanaman sayuran lainnya adalah lalat pengorok daun (Liriomyza huidobrensis[Blanchard]). Serangan berat hama ini dapat mengakibatkan gugurnya daun tanaman kentang di lapangan kadang-kadang tanaman harus dipanen sebelum waktunya. Penelitian ini bertujuan mengamati serangan hama lalat pengorok daun serta kelimpahan serangga lainnya pada tanaman kentang yang dibudidayakan secara monokultur dan tumpangsari. Lahan tanaman kentang dengan sistem budidaya yang berbeda (monokultur dan tumpangsari) diamati dalam penelitian ini. Pengamatan dilakukan selama dua minggu sekali dengan cara pengamatan langsung dan penggunaan perangkap. Pengamatan langsung dilakukan dengan cara menghitung jumlah daun pertanaman contoh dan jumlah daun yang terserang hama pengorok daun serta pemakan daun. Jumlah tanaman contoh yang diamati adalah 10 tanaman per petak amatan. Pemasangan perangkap dilakukan dengan memasang perangkap likat kuning dan lubang perangkap. Lima perangkap likat kuning dipasang secara diagonal pada masing-masing petak amatan monokultur dan tumpangsari. Lima lubang perangkap digunakan pada petak amatan tumpangsari. Serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang tumpangsari dengan kacang merah lebih tinggi dari pada tanaman kentang monokultur. Kacang merah diketahui sebagai tanaman inang lain dari hama pengorok daun. Adanya tumpangsari antara tanaman kacang merah dengan tanaman kentang meningkatkan serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang. Sedangkan hama yang dominan menyerang tanaman kentang monokultur adalah ulat grayak. Serangga yang lebih banyak terperangkap pada perangkap likat kuning adalah serangga dari ordo Thysanoptera and Diptera.

(6)
(7)

iv

ABSTRACT

HANIFAH NURAENI SUTEJA. Infestation of Leafminer and Abundance of Other Insects Associated with Potato Grown in Monoculture and Intercropping System. Supervised by PUDJIANTO.

Potato is one of economically-high-valued horticultural crops, and an important crop as source of carbohydrate after rice, corn, and wheat. One of the major pests of potato and other vegetables in Indonesia is leafminer (Liriomyza huidobrensis [Blanchard]). Severe infestation of this pest causes defoliation of potato plants in the field land sometime potato must be harvested before getting mature. The purpose of this research was to get information on the infestation of leafminer and the abundance of other insects on potato grown in monoculture and intercropping systems. Two potato fields with different cropping system (monoculture and intercropping) were observed in this study. In each cropping system, three plots of 100 m2 each were set. Observations were conducted biweekly by direct observations and using traps. Direct observations were conducted by counting the amount of leaves and the leaves attacked by leafminer and leaf eater on the sample plants. Ten potato plants per plot were observed as sample plants. The traps used in this research were yellow sticky trap and pitfall trap. Five yellow sticky traps were set diagonally in each plot in the monoculture and intercropping fields. Five pitfall traps were set each plot of intercropping system. Infestation of leafminer on the potato intercropped with common bean was higher than on potato grown in monoculture system. Common bean is known as another host plant of leafminer. The presence of common bean intercropped with potato might have increased the infestation of leafminer on potato. Meanwhile, the dominant pest on the potato grown in monoculture system was armyworm. The most common insects trapped on the yellow sticky trap were Thysanoptera and Diptera.

(8)
(9)

vi

SERANGAN HAMA PENGOROK DAUN DAN KELIMPAHAN

SERANGGA LAIN YANG BERASOSIASI DENGAN

TANAMAN KENTANG MONOKULTUR DAN

TUMPANGSARI

HANIFAH NUR

AENI SUTEJA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(10)
(11)

viii

Judul : Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari Nama : Hanifah Nur’aeni Suteja

NIM : A34090060

Disetujui oleh

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si Ketua Departemen Proteksi Tanaman

(12)
(13)

x

PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Serangan Hama Pengorok Daun dan Kelimpahan Serangga Lain yang Berasosiasi dengan Tanaman Kentang Monokultur dan Tumpangsari. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Gelar Sarjana di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua dan keluarga besar penulis yang senantiasa memberikan doa, motivasi, dan dukungan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Pudjianto, MSi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam melaksanakan serta menyusun skripsi. Terimakasih kepada Ir. Ivone Oley Sumarauw, MSi selaku dosen penguji tamu atas semua masukan, saran, dan kritik kepada penulis untuk penyempurnaan penulisan skripsi. Terimakasih kepada semua pihak Balai Pengembangan Benih Kentang (BPBK) Pangalengan atas semua bantuan dan saran selama penelitian.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Elischa, Meyta, Kak Anggi, Kak Ummi, sahabat dan keluarga Departemen Proteksi Tanaman angkatan 46, keluarga di Andika House dan kepada semua pihak yang terlibat atas kebersamaan, nasihat, semangat, serta dukungan yang tidak akan penulis lupakan.

Semoga penelitian lapangan yang dilaksanakan oleh penulis dapat menambah pengetahuan dan memberikan manfaat kepada banyak pihak.

Bogor, Desember 2013

(14)
(15)

xii

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

BAHAN DAN METODE ... 4

Tempat dan Waktu ... 4

Bahan dan Alat ... 4

Metode Penelitian ... 4

Budidaya Tanaman Kentang ... 4

Penentuan Petak Amatan ... 6

Pengamatan Hama Secara Langsung ... 7

Pengamatan dengan Perangkap Likat (yellow sticky trap) ... 7

Pengamatan dengan Lubang Perangkap (pitfall trap) ... 8

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 9

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

Gejala Serangan Hama Pengorok Daun dan Pemakan Daun ... 10

Luas Serangan Hama Pengorok Daun ... 11

Intensitas Serangan Hama Pengorok Daun... 13

Intensitas Serangan Hama Pemakan Daun ... 14

Kelimpahan Serangga pada Perangkap Likat ... 15

Keragaman dan Kelimpahan Artropoda Permukaan Tanah pada Pertanaman Kentang Tumpangsari ... 17

SIMPULAN DAN SARAN ... 20

Simpulan ... 20

Saran ... 20

DAFTAR PUSTAKA ... 21

LAMPIRAN ... 23

(16)
(17)

xiv

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata luas serangan hama pengorok daun dilahan pertanaman kentang

monokultur dan tumpangsari ... 12

2 Keragaman dan proporsi serangga dari perangkap likat di pertanaman kentang ... 16

3 Rata-rata kelimpahan serangga per perangkap likat per pengamatan ... 17

4 Keragaman dan proporsi artropoda permukaan tanah pada pertanaman kentang tumpangsari ... 18

DAFTAR GAMBAR

1 Lahan pertanaman kentang monokultur (a) dan lahan pertanaman kentang tumpangsari (b) ... 6

2 Layout petak amatan dan penentuan tanaman contoh pada pertanaman kentang monokultur (a) dan tumpangsari (b) (titik-titik merah merupakan letak tanaman contoh yang diamati) ... 6

3 Pemasangan perangkap likat di petak amatan ... 8

4 Lubang perangkap di petak amatan tumpangsari ... 9

5 Imago pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) (a) dan gejala korokan pada daun kentang (b) ... 10

6 Hama pemakan daun dan gejala serangan hama pemakan daun ... 11

7 Rata-rata intensitas serangan hama pengorok daun di lahan monokultur dan tumpangsari ... 14

8 Rata-rata intensitas serangan hama pemakan daun di lahan monokultur dan tumpangsari ... 15

DAFTAR LAMPIRAN

1 Rata-rata intensitas serangan hama pengorok daun di lahan monokultur dan tumpangsari ... 24

2 Rata-rata intensitas serangan hama pemakan daun di lahan monokultur dan tumpangsari ... 24

3 Lahan pertanaman kentang monokultur pada saat pengamatan ... 24

4 Lahan pertanaman kentang tumpangsari pada saat pengamatan... 24

5 Aplikasi pestisida di lahan monokultur ... 25

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kentang merupakan salah satu jenis tanaman hortikultura yang bernilai ekonomis tinggi dan merupakan sumber bahan pangan karbohidrat selain beras, jagung, dan gandum (Eslita 2010). Kentang tergolong ke dalam famili Solanaceae, genus Solanum, spesies Solanum tuberosum L. dan berasal dari wilayah pegunungan Andes di Peru dan Bolivia (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Kentang termasuk jenis tanaman sayuran semusim dan berumur pendek (90 sampai 180 hari). Tanaman ini cocok ditanam di dataran tinggi dengan ketinggian 1000 – 3000 m dpl (di atas permukaan laut). Suhu rata-rata harian yang optimal bagi pertumbuhan kentang adalah 18-21 ºC (Samadi 2007). Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998), tanah yang bertekstur sedang hingga kasar dengan pH 5.5-6.5 (agak masam), berdrainase baik, dan beraerasi baik sangat cocok untuk menanam kentang.

Di lapangan, tanaman kentang dapat terserang berbagai OPT (organisme pengganggu tanaman). Salah satu OPT yang dapat menurunkan nilai ekonomi tanaman kentang adalah hama. Hama-hama yang umum ditemukan di pertanaman kentang menurut Duriat et al. (2006) adalah penggerek umbi (Phthorimaea operculella), pengorok daun (Liriomyza huidobrensis), ulat tanah (Agrotis ipsilon), kutu daun (Myzus persicae), trips (Thrips palmi), kutu kebul (Bemisia tabaci), ulat grayak (Spodoptera sp.), dan ulat jengkal (Chrysodeixis sp.). Namun Eslita (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa hama yang ditemukan di pertanaman kentang khususnya di Pangalengan adalah tungau kuning (Acarina: Tarsonemidae) dan lalat pengorok daun (Diptera: Agromyzidae).

Lalat pengorok daun (Liriomyza huidobrensis [Blanchard]) (Diptera: Agromizidae) merupakan salah satu hama utama pada tanaman kentang. Hama ini pertama kali ditemukan menyerang pertanaman kentang di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua-Bogor pada pertengahan tahun 1994. Hama ini bersifat polifag dan serangannya pada tanaman kentang dapat menurunkan hasil hingga 70% (Rauf 1995). Berdasarkan hasil penelitian Rauf (1999), di Pangalengan sebanyak 60% petani telah merasakan masalah hama lalat pengorok daun sejak tahun 1992-1993. Kerusakan yang disebabkan oleh hama ini berasal dari imago dan larvanya. Kerusakan yang ditimbulkan oleh imago berupa bintik-bintik kecil pada daun karena lalat menusukkan alat peletak telur (ovipositor) pada daun dan menghisap cairan tanaman yang keluar dari daun. Larva mengorok ke bawah epidermis daun dan tulang daun sehingga pada permukaan daun tampak larikan yang berkelok-kelok seperti lukisan berwarna putih. Daun menjadi kering, dan akhirnya mati. Larva bisa ditemukan di dalam jaringan daun yang terserang (Suwandi 2006). Berdasarkan hasil penelitian Winasa et al. (2010) mengenai persebaran pengorok daun berdasarkan ketinggian tempat di Jawa Barat termasuk Pangalengan disebutkan bahwa pengorok daun L. huidobrensis ditemukan pada tanaman krisan, brokoli, horinso, zucchini, buncis, kacang merah, bawang daun, kentang, dan seledri.

(20)

2

kedalam famili Eulophidae (Hemiptarsenus varicornis, Neochrysocharis sp., Asecodes sp., Quadrasticus sp., dan Chrysocharis sp.), famili Braconidae (Opius

sp.), famili Eucoilidae (Chrysonotomya sp., Gronotoma sp.). Sedangkan predator

L. huidobrensis berasal dari ordo Diptera famili Muscidae yaitu Coenosia humilis.

Hal tersebut dilaporkan juga oleh Rustam (2009) dalam penelitiannya mengenai jenis parasitoid yang menyerang lalat pengorok daun pada sayuran di dataran tinggi di Kabupaten Cianjur-Bogor. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa parasitoid yang menyerang lalat pengorok daun adalah Opius chromatomyiae,

Gronotoma micromorpha, Asecodes deluchii, Hemiptarsenus varicornis,

Neochrysocharis okazakii, Neochrysocharis formosa, Neochrysocaris sp., dan

Quadrastichus liriomyzae.

Menurut Setiawati et al. (2004) dan Warsito (2004), Hemiptarsenus varicornis dan Opius chromatomyiae merupakan parasitoid penting pada hama

Liriomyza huidobrensis. Parasitoid tersebut dapat ditemukan di seluruh areal pertanaman kentang dan sayuran lainnya yang terserang L. huidobrensis. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Rustam (2009) yang menyebutkan bahwa parasitoid Hemiptarsenus varicornis merupakan parasitoid yang paling dominan di berbagai daerah ketinggian, dan Opius chromatomyiae menempati urutan kedua terbanyak ditemukan.

Dalam proses produksinya di dataran tinggi terutama di daerah Pangalengan, tanaman kentang dapat dibudidayakan secara monokultur maupun tumpangsari. Menurut Prasetyo et al. (2009), pola tanam monokultur adalah sistem penanaman satu jenis tanaman yang dilakukan sekali atau beberapa kali dalam setahun tergantung jenis tanamannya. Tumpangsari adalah penanaman dua jenis tanaman atau lebih pada sebidang tanah dalam waktu yang sama. Tujuan dari pola tanam tumpangsari adalah untuk memanfaatkan faktor produksi yang dimiliki petani secara optimal (diantaranya keterbatasan lahan, tenaga kerja, dan modal kerja), mengefisienkan pemakaian pupuk dan pestisida, mengurangi erosi, konservasi lahan, stabilitas biologi tanah, dan mendapatkan produksi total yang lebih besar dibandingkan penanaman secara monokultur. Menurut Subhan (1996), dalam sistem pola tumpangsari, disarankan agar mengkombinasikan tanaman-tanaman tinggi dengan tanaman-tanaman-tanaman-tanaman rendah yang dapat hidup dengan naungan.

Dalam hasil penelitian Setiawati dan Asandhi (2003) disebutkan bahwa tumpangsari antara tanaman cruciferae dan solanaceae ternyata dapat menekan seragan OPT sebesar 55.20%. Tumpangsari antara tanaman pokok dengan jenis tanaman lainnya dapat mereduksi populasi hama. Hal ini disebabkan karena tumpangsari dapat memperbesar keanekaragaman jenis tanaman. Pola tanam tumpangsari dapat menurunkan serangan hama dengan cara mencegah penyebaran hama karena adanya pemisah tanaman yang rentan, salah satu jenis tanaman berperan sebagai tanaman perangkap hama, dan salah satu jenis tanaman menjadi penolak hama dari jenis tanaman lain.

Tujuan Penelitian

(21)

3

Manfaat Penelitian

(22)

4

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lahan pertanaman kentang di Desa Sukamanah, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Selatan, Jawa Barat mulai bulan Maret 2013 sampai bulan Juni 2013. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Balai Penelitian Benih Kentang Pangalengan dan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertanaman kentang dengan sistem budidaya monokultur dan tumpangsari. Untuk perangkap likat digunakan yellow sticky trap yang dibeli dari toko pertanian setempat, sedangkan untuk lubang perangkap (pitfall traps) digunakan gelas bekas air mineral volume 240 ml, alkohol 70%, dan seng berukuran 20 cm x 10 cm sebagai pelindung. Selain itu digunakan pula alkohol 70% untuk mengawetkan artropoda sebelum diidentifikasi, ajir untuk menandai petak amatan, kantong plastik, dan kertas label. Alat-alat yang digunakan yaitu meteran, sekop, kuas, cawan petri, kaca pembesar, botol serangga, hand counter, kamera digital, gunting, alat tulis, spidol permanen, dan mikroskop untuk alat bantu identifikasi.

Metode Penelitian

Budidaya Tanaman Kentang

(23)

5

Pemasangan ajir dilakukan saat tanaman berumur 20 HST. Penyiangan dilakukan hanya satu kali yakni pada saat tanaman berumur 35 HST. Pemasangan tali dilakukan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur 37 HST dan 50 HST. Hal tersebut dilakukan agar tanaman tetap tegak. Tindakan pencegahan dan pengendalian hama atau penyakit dilakukan dengan penggunaan insektisida dan fungisida (Lampiran 5). Insektisida yang digunakan adalah insektisida berbahan aktif klorantanilliprol dan imidakloropid, sedangkan fungisida yang digunakan berbahan aktif simoksanil dan mepenoksan, mankozeb, serta klorotalonil. Aplikasi pestisida dilakukan sebanyak 17 kali selama tiga hari sekali sampai empat hari sekali. Tanaman kentang dipanen setelah berumur 104 hari.

Tanaman Kentang Tumpangsari. Penelitian dilaksanakan di lahan tanaman kentang milik Bapak Mara dengan luas 700 m2 (Lampiran 4). Lahan berbatasan dengan screen house sayuran tomat dan brokoli di sebelah timur, kebun kacang di sebelah selatan, kebun bera di sebelah barat, dan screen house

(24)

6

Gambar 1 Lahan pertanaman kentang monokultur (a) dan lahan pertanaman kentang tumpangsari (b)

Penentuan Petak Amatan

Penentuan petak amatan dilakukan dengan cara menandai tiga petak amatan masing-masing seluas 100 m2 pada setiap lahan. Dalam 100 m2 petak amatan tanaman kentang monokultur terdapat 8 guludan atau 16 baris tanaman sedangkan dalam 100 m2 petak amatan tanaman kentang tumpangsari terdapat 13 guludan atau 13 baris tanaman. Pada petak amatan tanaman kentang monokultur 10 tanaman contoh diambil pada guludan ke-3 (2 tanaman keenam dari pinggir kanan dan 2 tanaman keenam dari pinggir kiri), guludan ke-4 dan ke-5 (2 tanaman yang berada ditengah petak), dan guludan ke-6 (2 tanaman keenam dari pinggir kanan dan 2 tanaman keenam dari pinggir kiri) (Gambar 2a). Sedangkan pada petak amatan tanaman kentang tumpangsari 10 tanaman contoh diambil pada guludan 3 (tanaman 10 dan tanaman 20 dari pinggir kanan), guludan ke-5 (tanaman ke-10 dan tanaman ke-20 dari pinggir kanan), guludan ke-7 (tanaman ke-10 dan tanaman ke-20 dari pinggir kanan), guludan ke-9 (tanaman ke-10 dan tanaman ke-20 dari pinggir kanan), dan guludan ke-11(tanaman ke-10 dan tanaman ke-20 dari pinggir kanan) (Gambar 2b).

Gambar 2 Layout petak amatan dan penentuan tanaman contoh pada pertanaman kentang monokultur (a) dan tumpangsari (b) ( = tanaman contoh yang diamati)

a b

(25)

7

Pengamatan Hama Secara Langsung

Pengamatan secara langsung dilakukan terhadap 10 tanaman contoh pada setiap petak amatan untuk mengetahui luas serangan dan intensitas serangan L. huidobrensis serta untuk mengetahui intensitas serangan hama pemakan daun.

Pengamatan luas serangan dan intensitas serangan Liriomyza huidobrensis. Pengamatan luas serangan dan tingkat serangan Liriomyza huidobrensis dilakukan dua minggu sekali. Pengamatan ini dilakukan pada setiap tanaman contoh dengan cara menghitung jumlah daun pertanaman contoh dan jumlah daun yang terserang L. huidobrensis. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung luas serangan L. huidobrensis adalah sebagai berikut:

Luas serangan (%) =

x 100%

Sedangkan intensitas serangan Liriomyza huidobrensis adalah sebagai berikut:

Intensitas serangan (%) =

x 100%

Pengamatan intensitas serangan hama pemakan daun. Pengamatan intensitas serangan hama pemakan daun dilakukan dua minggu sekali. Pengamatan dilakukan pada setiap tanaman contoh dengan cara menghitung jumlah daun pertanaman contoh dan jumlah daun yang berlubang. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung persen luas serangan hama pemakan daun dan intensitas serangan hama pemakan daun adalah rumus seperti diatas.

Pengamatan dengan Perangkap Likat (yellow sticky trap)

Pada setiap 100 m2 petak amatan masing-masing dipasang sebanyak 5 buah perangkap likat. Penempatan perangkap ditentukan secara sistematis dan menyebar di dalam petak amatan. Perangkap dipasang pada guludan dengan jarak antar perangkap 2.5 m sampai 3 m. Pada pertanaman kentang monokultur perangkap dipasang pada ajir di guludan baris ke-3, guludan baris ke-4, dan guludan baris ke-6. Sedangkan pada pertanaman kentang tumpangsari perangkap dipasang pada ajir di guludan baris ke-4, guludan baris ke-7, dan guludan baris ke-10.

(26)

8

Gambar 3 Pemasangan perangkap likat di petak amatan

Jumlah serangga yang terperangkap pada perangkap likat kuning dihitung kemudian diidentifikasi sehingga diketahui ordonya. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi Borror et al. (1992).

Pengamatan dengan Lubang Perangkap (pitfall trap)

Pemasangan lubang perangkap hanya dilakukan di lahan tanaman kentang tumpang sari. Hal tersebut terjadi karena pada lahan pertanaman kentang monokultur petani tidak memberikan izin untuk memasang lubang perangkap pada guludan yang berplastik mulsa perak hitam. Pada setiap 100 m2 petak amatan masing-masing dipasang sebanyak 5 buah perangkap. Penempatan lubang perangkap ditentukan secara sistematis dan menyebar di dalam petak amatan. Perangkap dipasang pada guludan dengan jarak antar perangkap 2.5 meter sampai 3 meter. Pada pertanaman kentang tumpangsari perangkap dipasang pada ajir di guludan baris ke-4, guludan baris ke-7, dan guludan baris ke-10.

Pemasangan perangkap dilakukan dengan cara menggali tanah di antara baris tanaman dalam guludan kemudian dimasukkan gelas bekas air mineral volume 240 ml sampai permukaan atas gelas rata/sejajar dengan permukaan tanah. Kemudian dituangkan alkohol 70% sebanyak 60-65 ml ke dalam gelas dan di beri atap dari seng berukuran 20 cm x 10 cm agar perangkap tidak terkena air hujan (Gambar 4). Perangkap dipasang selama 48 jam kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah ditandai dengan menggunakan spidol permanen untuk dihitung dan diamati di laboratorium. Pemasangan perangkap diulang setiap dua minggu sampai tanaman akan dipanen.

(27)

9

Gambar 4 Lubang perangkap di petak amatan tumpangsari

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian terdiri dari dua perlakuan, yaitu lahan dengan sistem budidaya monokultur dan tumpangsari. Parameter yang diamati adalah luas serangan dan intensitas serangan L. huidobrensis, serta luas serangan dan intensitas serangan hama pemakan daun yang lain.

(28)

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Serangan Hama Pengorok Daun dan Pemakan Daun

Serangan hama yang ditemukan di pertanaman kentang monokultur dan tumpangsari sangat beragam. Serangan hama ini dipisahkan menjadi serangan hama pengorok daun dan hama pemakan daun. Gejala serangan hama pengorok daun berasal dari imago dan larvanya. Berdasarkan hasil identifikasi imago pengorok daun yang dipelihara, diketahui bahwa hama pengorok daun yang menyerang tanaman kentang adalah Liriomyza huidobrensis (Gambar 5a). Gejala serangan yang ditimbulkan oleh imago lalat pengorok daun yaitu berupa titik-titik hitam bekas tusukan ovipositor saat meletakkan telur dan menghisap cairan daun yang keluar, sedangkan gejala yang ditimbulkan oleh larva berupa terbentuknya liang korokan berwarna putih yang berkelok-kelok pada daun (Gambar 5b). Gejala korokan lebih banyak ditemukan pada daun-daun yang terletak di tajuk bawah. Menurut Supartha (1998), daun kentang yang masih muda (belum berkembang sempurna) jarang terinfestasi Liriomyza huidobrensis karena gangguan rambut yang tumbuh cukup rapat pada permukaan daun tersebut. Rambut-rambut halus yang tumbuh pada permukaan daun bisa berfungsi sebagai alat pertahanan tanaman dari gangguan serangga fitofag.

Gambar 5 Imago pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) (a) dan gejala korokan pada daun kentang (b)

Serangan hama pemakan daun yang mendominasi pada pertanaman kentang monokultur adalah hama ulat grayak (Gambar 6a) dan ulat jengkal (Gambar 6b). Hama pemakan daun pada pertanaman kentang tumpangsari adalah hama ulat grayak, ulat jengkal, kumbang pemakan daun (Gambar 6e), dan belalang pemakan daun (Gambar 6c). Gejala serangan yang ditimbulkan oleh hama pemakan daun adalah berupa daun berlubang (Gambar 6d) yang disebabkan oleh serangan hama ulat grayak, ulat jengkal, dan belalang pemakan daun, serta terbentuknya jendela transparan (Gambar 6f) akibat aktivitas makan serangga kumbang pemakan daun. Duriat et al. (2006) menyatakan bahwa gejala serangan ulat pemakan daun pada masa instar muda berupa epidermis yang putih menerawang, sedangkan gejala

(29)

11

serangan oleh larva instar lanjut adalah daun berlubang bahkan sampai tinggal tulang daunnya saja. Gejala daun berlubang ditemukan di setiap daun tanaman yang diamati sehingga luas serangan dan intensitasnya lebih tinggi dibanding dengan serangan hama pengorok daun khususnya pada tanaman kentang monokultur.

Gambar 6 Hama pemakan daun dan gejala serangan hama pemakan daun

Luas Serangan Hama Pengorok Daun

Serangan hama pengorok daun yang disebabkan oleh imago sangat sulit diamati karena gejalanya berupa titik-titik hitam bekas tusukan ovipositor saat meletakkan telur, namun gejala serangan yang disebabkan oleh larva hama pengorok daun sangat mudah diamati. Dalam pengamatan luas serangan hama pengorok daun ini digunakan gejala korokan yang disebabkan oleh larva. Berdasarkan hasil pengamatan pada dua lahan tanaman kentang dengan sistem

b

a

c

d

(30)

12

budidaya yang berbeda menunjukkan luas serangan yang berbeda pula. Serangan di lahan tanaman kentang dengan sistem budidaya monokultur mulai terlihat pada pengamatan ketiga. Di lahan tanaman kentang dengan sistem budidaya tumpangsari, serangan sudah terlihat sejak pengamatan pertama. Namun berdasarkan hasil pengamatan Eslita (2010) terhadap serangan hama pengorok daun di lapangan, hama tersebut menyerang tanaman kentang mulai dari tanaman berumur antara 2 MST (minggu setelah tanam) hingga 3 MST.

Luas serangan hama pengorok daun di petak amatan tanaman kentang monokultur menunjukkan angka yang sangat rendah. Berbeda dengan luas serangan yang terjadi di petak amatan tanaman kentang tumpangsari yang menunjukkan angka yang tinggi. Perbedaan luas serangan yang tinggi antara pertanaman kentang monokultur dengan tumpangsari disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pengaruh budidaya, adanya serangan penyakit busuk daun, dan ketersediaan makanan (keberadaan tanaman inang lain). Budidaya tanaman kentang monokultur yang menggunakan ajir dan plastik mulsa diperkirakan mempengaruhi luas serangan hama pengorok daun. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan mulsa plastik ternyata mampu menekan serangan OPT dibandingkan dengan tanpa penggunaan mulsa plastik. Kemudian berdasarkan laporan Susiawan (2002) tanaman kentang umumnya diserang secara bersamaan oleh L. huidobrensis dan penyakit busuk daun, dengan gejala di lapangan yang sering sulit dibedakan. Selain itu serangan hama pengorok daun dipengaruhi oleh ketersediaan makanan atau tanaman inang lainnya di pertanaman. Pada penelitian ini pertanaman kentang tumpangsari yang diamati merupakan kombinasi dari tanaman kentang dengan tanaman kacang merah yang juga merupakan tanaman inang hama pengorok daun.

Rata-rata luas serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang monokultur pengamatan pertama dan pegamatan kedua belum terlihat, sedangkan pada pengamatan ketiga dan keempat mengalami peningkatan (Tabel 1). Adanya peningkatan dapat dipengaruhi oleh daya pencaran hama pengorok daun yang luas (cenderung bermigrasi) juga dipengaruhi oleh letak petak amatan. Petak amatan yang paling banyak terserang adalah petak amatan kedua yang terletak di tengah-tengah lahan. Sedangkan petak amatan pertama dan ketiga cenderung tidak terserang hama pengorok daun yang diperkirakan karena letaknya berada di pinggir lahan dan bersebelahan dengan pemukiman warga. Selain itu, peningkatan rata-rata luas serangan terjadi karena kerusakan tertinggi akibat serangan hama pengorok daun terjadi pada minggu ke-8 dan ke-9 setelah tanam (Supartha 1998).

Tabel 1 Rata-rata luas serangan hama pengorok daun dilahan pertanaman kentang monokultur dan tumpangsari

(31)

13

diamati terserang oleh hama pengorok daun ini. Terbukti dengan nilai rata-rata luas serangan yang meningkat sejak pengamatan pertama dan konstan pada pengamatan ketiga. Namun pada pengamatan keempat tidak diperoleh data luas serangan hama pengorok daun karena pada minggu pengamatan dilakukan daun tanaman contoh yang diamati semuanya membusuk.

Intensitas Serangan Hama Pengorok Daun

Serangan hama lalat pengorok daun di lapangan dilihat berdasarkan jumlah daun yang bergejala korokan. Gejala korokan tersebut disebabkan oleh adanya larva pengorok daun yang hidup di dalam jaringan daun. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan, daun tanaman kentang yang terserang oleh hama pengorok daun adalah daun-daun yang letaknya berada di pertengahan batang tanaman sampai yang letaknya diatas permukaan tanah. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Supartha (1998) mengenai lalat pengorok daun dimana imagonya lebih memilih daun tengah untuk aktivitas makan dan peneluran. Sebaran vertikal populasi telur dan larva pada tanaman terpusat pada daun tengah.

Hasil pengamatan menunjukkan intensitas serangan hama pengorok daun pada tanaman kentang monokultur baru ditemukan pada pengamatan ketiga sedangkan pada tanaman kentang tumpangsari serangan hama sudah terlihat sejak pengamatan pertama (Gambar 7). Namun berdasarkan data rata-rata intensitas serangan hama pengorok daun di lahan tanaman kentang monokultur dan tumpangsari tidak berbeda nyata (Lampiran 1). Hal tersebut dapat terjadi karena intensitas kerusakan tanaman yang terserang tergantung pada umur dan cara makan larva, bagian tanaman yang terserang, fase pertumbuhan tanaman saat terjadi infestasi, dan kepadatan populasi serangga hama (Supartha 1998). Namun berdasarkan hasil penelitian Suryaningsih (2006), sebelum tanaman berumur 30 hari, data populasi L. huidobrensis belum teramati. Setelah tanaman berumur 30 hari, lalat pengorok ini telah teramati meskipun dalam jumlah yang masih sedikit. Hal tersebut diduga dapat dipengaruhi oleh adanya serangan ulat grayak yang memakan daun tanaman kentang di lapangan dan juga penggunaan mulsa plastik pada tanaman kentang monokultur. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiawati dan Asandhi pada tahun 2003, penggunaan mulsa plastik ternyata mampu menekan serangan OPT sebesar 39.27% bila dibandingkan dengan tanpa penggunaan mulsa plastik. Meskipun tingkat serangan hama pengorok daun rendah namun tingkat serangan ini mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Peningkatan yang terjadi dapat dipengaruhi oleh adanya aktivitas terbang dari imago hama pengorok daun di sekitar petak amatan dilahan yang diamati. Selain itu meningkatnya intensitas serangan hama pengorok daun berkaitan dengan meningkatnya kelimpahan lalat tersebut pada petak dengan mulsa plastik yang diduga berhubungan dengan cahaya yang direfleksikan oleh permukaan mulsa (Susiawan 2002). Berdasarkan hasil penelitian Supartha (1998), tingkat kerusakan mempunyai korelasi positif dengan kerapatan populasi dan jumlah korokan larva.

(32)

14

dimana pengorok daun L. huidobrensis ditemukan pada tanaman krisan, brokoli, horinso, zucchini, buncis, kacang merah, bawang daun, kentang, dan seledri.

Gambar 7 Rata-rata intensitas serangan hama pengorok daun di lahan monokultur dan tumpangsari

Intensitas serangan hama pengorok daun di lahan tumpangsari tidak meningkat seiring bertambahnya umur tanaman, namun tingkat serangannya mengalami fluktuasi. Fluktuasi tingkat serangan ini dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor yaitu serangan penyakit, cara budidaya, dan perlakuan tanaman. Pada tanaman tumpangsari banyak daun yang menguning dan membusuk seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Hal tersebut terjadi karena tanaman yang tidak tumbuh tegak (merunduk ke permukaan tanah), tingginya curah hujan, dan serangan penyakit. Banyaknya tanaman yang tidak tumbuh tegak (merunduk ke permukaan tanah) membuat jalan antar guludan menjadi tertutup sehingga banyak batang yang terinjak dan patah karena terinjak. Namun fluktuatif intensitas serangan ini juga dapat dipengaruhi oleh perkembangan populasi imago yang meningkat seirama dengan peningkatan umur tanaman. Populasi imago hama pengorok daun mencapai puncaknya pada umur 8 dan 10 MST, sedangkan telur pada umur 4-5 MST (Supartha 1998).

Intensitas Serangan Hama Pemakan Daun

Di lapangan banyak hama yang menyerang tanaman kentang dengan cara memakan daun dan menyebabkan daun berlubang. Serangan hama pemakan daun di lapangan sangat tinggi bahkan pada lahan monokultur mencapai 100%. Serangan hama pemakan daun di lahan monokultur semakin meningkat seiring bertambahnya umur tanaman (Gambar 8). Hama pemakan daun yang ditemukan menyerang tanaman kentang monokultur adalah ulat penggerek umbi, ulat grayak, dan ulat jengkal. Namun serangan hama ulat grayak lebih tinggi. Ulat grayak merupakan hama pemakan daun yang bersifat polifag. Samadi (2007) menyatakan bahwa ulat grayak menyerang daun dengan memakan bagian epidermis dan jaringan, hingga daun tanaman habis. Setelah itu, ulat akan pindah ke daun lain. Gejala yang sangat tampak adalah daun habis, tinggal tersisa tulang-tulang

(33)

15

daunnya saja. Berdasarkan hasil penelitian Ratini (1986) tentang pengaruh berbagai tanaman sebagai makanan terhadap Spodoptera litura Fabricius, menyatakan bahwa larva S. litura merupakan stadium yang paling merugikan tanaman dan mempunyai perkembangan yang paling lama dibandingkan dengan stadium telur, pupa, maupun imago. Kerusakan yang diakibatkan oleh larva ini di lahan tanaman kentang monokultur sangat tinggi karena banyaknya populasi larva per tanaman. Tingginya intensitas serangan ulat grayak pada tanaman kentang monokultur dapat terjadi karena melimpahnya sumber makanan.

Gambar 8 Rata-rata intensitas serangan hama pemakan daun di lahan monokultur dan tumpangsari

Serangan hama pemakan daun di lahan tumpangsari tidak terlalu tinggi. Namun hama pemakan daun yang menyerang tanaman kentang tumpangsari lebih beragam. Hama pemakan daun yang ditemukan di lahan tumpangsari yaitu ulat grayak, ulat jengkal, hama penggerek umbi, kumbang koksi, dan belalang daun. Secara keseluruhan serangan hama pemakan daun di lahan tumpangsari tidak terlalu tinggi. Serangan hama pemakan daun di lahan monokultur dan tumpangsari sangat berbeda nyata karena serangannya sangat tinggi di lahan monokultur (Lampiran 2).

Kelimpahan Serangga pada Perangkap Likat

Serangga yang tertangkap perangkap likat pada lahan tanaman kentang monokultur sebanyak 21 102 ekor. Serangga yang terperangkap berasal dari ordo Diptera, Hymenoptera, Thysanoptera, Lepidoptera, dan Coleoptera (Tabel 2). Secara keseluruhan serangga yang memiliki kelimpahan populasi tertinggi adalah serangga dari ordo Thysanoptera. Thysanoptera juga memiliki proporsi yang paling besar dibanding dengan serangga lainnya. Hal tersebut dapat terjadi karena serangga dari ordo Thysanoptera sangat tertarik pada warna kuning. Serangga

(34)

16

lainnya yang memiliki kelimpahan populasi dan proporsi yang cukup tinggi adalah serangga dari ordo Diptera.

Serangga yang tertangkap perangkap likat pada lahan tanaman kentang tumpangsari sebanyak 10 267 ekor. Serangga berasal dari ordo Diptera, Hymenoptera, Thysanoptera, Lepidoptera, Coleoptera, dan Orthoptera (Tabel 2). Secara keseluruhan serangga yang memiliki kelimpahan populasi dan proporsi tertinggi adalah serangga dari ordo Thysanoptera. Namun kelimpahan dan proporsinya tidak terlalu jauh berbeda dengan kelimpahan populasi dan proporsi serangga dari ordo Diptera. Tingginya populasi dan proporsi dari kedua ordo ini membuktikan bahwa ordo Thysanoptera dan ordo Diptera tertarik pada warna kuning.

Kelimpahan dan proporsi serangga tertinggi dari hasil perangkap likat berasal dari ordo Thysanoptera yang kemungkinan besar berperan sebagai hama, ordo Diptera yang berperan sebagai saprofag karena adanya penggunaan pupuk kandang dan bahan-bahan organik yang terdekomposisi, dan ordo Hymenoptera yang kemungkinan besar berperan sebagai parasitoid. Menurut Dibiyantoro (1998), thrips yang menyerang tanaman kentang adalah T. palmi, T. tabaci, dan T. pallidus. Namun ordo Thysanoptera yang banyak dilaporkan menyerang tanaman kentang adalah Thrips palmi. Berdasarkan hasil penelitian Suryaningsih (2008), T. palmi mampu merusak daun kentang dengan cara menggaruk dan menghisap isi cairan daun. Tingginya kelimpahan dan proporsi ordo Diptera pada perangkap likat tidak dapat dijadikan data acuan untuk melihat intensitas serangan hama pengorok daun karena ordo Diptera yang terperangkap pada perangkap likat tersebut tidak diidentifikasi sampai tingkat famili.

Tabel 2 Keragaman dan proporsi serangga dari perangkap likat di pertanaman kentang

Serangga terperangkap

Monokultur Tumpangsari

Jumlah (ekor) Proporsi (%) Jumlah (ekor) Proporsi (%) Coleoptera 13 0.06 106 1.03

(35)

17

Kelimpahan serangga perangkap likat pada tanaman monokultur dan tumpangsari mengalami peningkatan yang tajam dari awal pengamatan dan menurun pada saat pengamatan terakhir. Rata-rata kelimpahan serangga per perangkap yang paling tinggi selama pengamatan terjadi pada saat pengamatan ketiga yaitu sebanyak 599.7 ekor dilahan tanaman kentang monokultur dan sebanyak 239.5 ekor dilahan tanaman kentang tumpangsari.

Tabel 3 Rata-rata kelimpahan serangga per perangkap likat per pengamatan

Pengamatan

SD=standar deviasi. p-value < 5% artinya tolak H0 dan berbeda nyata

Keragaman dan Kelimpahan Artropoda Permukaan Tanah pada Pertanaman Kentang Tumpangsari

Artropoda permukaan tanah yang tertangkap pada pertanaman kentang tumpangsari adalah sebanyak 12 115 ekor. Artropoda yang tertangkap tersebut berasal dari ordo Coleoptera, Dermaptera, Diptera, Hemiptera, Hymenoptera, Orthoptera, Acarina, Araneae, dan Collembola (Tabel 4). Ordo Coleoptera yang tertangkap meliputi famili Scarabaeidae dan Staphylinidae. Sedangkan dari ordo Dermaptera yang tertangkap adalah dari famili Carcinophoridae (cecopet), ordo Diptera dari famili Muscidae (lalat rumah) dan Sphaeroceridae. Ordo Hemiptera yang tertangkap adalah dari famili Aphididae (kutu daun), ordo Hymenoptera dari famili Eulophidae dan Formicidae (semut), ordo Orthoptera dari famili Gryllidae (jangkrik). Ordo Acarina yang tertangkap terdiri dari famili Tarsonemidae (tungau kuning) dan Tetranychidae (tungau merah), ordo Araneae (laba-laba) dari famili Salticidae.

(36)

18

Tabel 4 Keragaman dan proporsi artropoda permukaan tanah pada pertanaman kentang tumpangsari

Artropoda tertangkap Jumlah (ekor) Proporsi (%)

Coleoptera

Collembola memiliki kelimpahan populasi tertinggi dari semua artropoda yang tertangkap. Selain itu proporsi Collembola merupakan yang paling besar dibanding proporsi artropoda lainnya. Borror et al. (1992) menyatakan bahwa Collembola berperan sebagai pengurai bahan organik tanah. Kebanyakan Collembola penghuni tanah makan bahan tumbuh-tumbuhan yang sedang busuk, jamur, dan bakteri. Banyaknya tanaman yang merunduk ke permukaan tanah membuat daun dan batangnya menjadi busuk. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelimpahan Collembola. Namun banyaknya tanaman yang merunduk ke permukaan tanah juga diduga menjadi penyebab ditemukannya ordo Hemiptera dan Acarina pada lubang perangkap.

(37)

19

famili Eulophidae. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Setiawati et al.

(38)

20

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Serangan hama pengorok daun di pertanaman kentang tumpangsari lebih tinggi dibandingkan dengan serangan di pertanaman kentang monokultur. Selain serangan hama pengorok daun, di lapangan juga ditemukan serangan hama pemakan daun. Serangan hama pemakan daun lebih tinggi di pertanaman kentang monokultur. Hal tersebut berbanding terbalik dengan tingkat serangan hama pengorok daun. Serangga yang berasosiasi dengan tanaman kentang dan memiliki kelimpahan populasi tertinggi pada perangkap likat meliputi ordo Thysanoptera dan Diptera. Hasil dari pemasangan lubang perangkap mendapatkan serangga yang berperan sebagai parasitoid dan predator hama di pertanaman kentang. Serangga yang berperan sebagai parasitoid adalah famili Eulophidae dari ordo Hymenoptera. Sedangkan yang berperan sebagai predator meliputi cecopet (famili Carcinophoridae) dari ordo Dermaptera, semut (famili Formicide) dari ordo Hymenoptera, kumbang famili Staphylinidae dari ordo Coleoptera, dan laba-laba famili Salticidae dari ordo Araneae.

Saran

(39)

21

DAFTAR PUSTAKA

Borror DJ, Triplehorn CA, Jhonson N. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga.

Partosoedjono Soetiyono, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect.

Dewi NAU. 2012. Kelimpahan artropoda permukaan tanah pada pertanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dan brokoli (Brassica oleracea L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Dibiyantoro ALH. 1998. Thrips pada Tanaman Sayuran. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

Duriat AS, Gunawan OS, Gunaeni N. 2006. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kentang . Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Eslita C. 2010. Pengendalian organisme pengganggu tumbuhan pada budidaya

kentang di kecamatan Pangalengan, kabupaten Bandung, dan nilai ekonominya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Prasetyo, Sukardjo EI, Pujiwati H. 2009. Produktivitas lahan dan NKL pada tumpang sari jarak pagar dengan tanaman pangan. Jurnal Akta Agrosia

[internet]. [diunduh 2012 November 17]; 12(1): 51-55. Tersedia pada: http://repository.unib.ac.id/222/1/prasetyo_akta_Vol12%20No.1.pdf.

Ratini LPE. 1986. Pengaruh berbagai jenis tanaman makanan terhadap biologi

Spodoptera litura Fabricius [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rauf A. 1995. Liriomyza: hama pendatang baru di Indonesia. Buletin HPT.

8(1):46-48.

Rauf A. 1999. Persepsi dan tindakan petani kentang terhadap lalat pengorok daun,

Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae). Buletin HPT.

11(1): 4-6.

Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia 1. Ed ke-2. Bandung (ID): Penerbit ITB.

Rustam R. 2009. Lalat pengorok daun Liriomyza spp. (Diptera: Agromyzidae) dan parasitoidnya pada sayuran dataran tinggi dengan perhatian utama pada parasitoid Opius chromatomyiae Bleokobylskij & Wharton (Hymenoptera: Braconidae) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Samadi B. 2007. Kentang dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisisus.

Setiawati W, Asandhi AA. 2003. Pengaruh sistem pertanaman monokultur dan tumpangsari sayuran Cruciferae dan Solanaceae terhadap hasil dan struktur dan fungsi komunitas artropoda. J. Hort. 13(1):41-57.

Setiawati W, Uhan TS, Udiarto BK. 2004. Pemanfaatan Musuh Alami dalam Pengendalian Hayati Hama pada Tanaman Sayuran. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

Subhan. 1996. Pengaruh naungan plastik dan tumpangsari tanaman tembakau terhadap hasil kubis di dataran rendah. Di dalam: Duriat AS et al.,editor.

(40)

22

Supartha IW. 1998. Bionomi Liriomyza huidobrensis (Blanchard)(Diptera: Agromyzidae) pada tanaman kentang [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suryaningsih E. 2006. Pengendalian lalat pengorok daun pada tanaman kentang menggunakan pestisida biorasional dirotasi dengan pestisida sintetik secara bergiliran. J. Hort. 16(3):229-235.

Suryaningsih E. 2008. Efikasi pestisida biorasional untuk mengendalikan Thrips palmi Karny pada tanaman kentang. J. Hort. 18(3):319-325.

Susiawan E. 2002. Pengaruh mulsa plastik perak hitam dalam budidaya kentang terhadap lalat pengorok daun, musuh alami, dan hasil panen [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Suwandi W. 2006. Pengenalan Penyakit dan Hama Utama Pembenihan Kentang.

Bandung (ID): Dinas Pertanian Tanaman Pangan.

Warsito. 2004. Keanekaragaman, kelimpahan, dan peranan musuh alami lalat pengorok daun Liriomyza huidobrensis (Blanchard) (Diptera: Agromyzidae) pada tanaman kentang Solanum tuberosum L. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(41)

23

(42)

24

p-value < 5% artinya tolak H0 dan berbeda nyata

Lampiran 3 Lahan pertanaman kentang monokultur pada saat pengamatan

(43)

25

Lampiran 5 Aplikasi pestisida di lahan monokultur

(44)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 08 Mei 1991, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Mara Suteja dan ibu Een Kurniati. Tahun 2009 penulis lulus SMA Negeri 1 Pangalengan dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti organisasi Organic Farming

Gambar

Gambar  2  Layout petak amatan dan penentuan tanaman contoh pada pertanaman kentang monokultur (a) dan tumpangsari (b) (   = tanaman contoh yang diamati)
Gambar  3  Pemasangan perangkap likat di petak amatan
Gambar  4  Lubang perangkap di petak amatan tumpangsari
Gambar  5  Imago pengorok daun (Liriomyza huidobrensis) (a) dan gejala korokan pada daun kentang (b)
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Permen jeli susu terbaik dihasilkan dari perlakuan penambahan kadar kalsium karbonat 3,06% dengan nilai tingkat kesukaan (organoleptik) terhadap warna 5,77; rasa 5,20; tekstur

Sesuai dengan data dan hasil penelitian dan pembahasan yang sudah disebutkan sebelumnya tentang pengaruh pembelajaran model ropes terhadap keaktifan dan

Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh secara langsung dengan menyebarkan kuesioner kepada responden untuk menjawab pertanyaan dalam

Program-program pada kategori Program Pokok Tema yaitu Perancangan Infrastruktur Permukiman yang Berwawasan Lingkungan Sehat Dengan Membantu Pengajuan Proposal Ke

Menurut Handoko (dalam Damayanthi, 2012) menyatakan bahwa efektivitas SIA merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran sejauh mana target dapat dicapai dari suatu kumpulan

Berdasarkan perumusan masalah, peneliti menggunakan model CTL (Contextual Teaching and Learning) menggunakan CD interaktif dalam upaya memecahkan permasalahan tentang

Tidak / salah dalam membuat bidang yang lain (segitiga kedua dst) sesuai dengan ukuran yang diperintahkan. Tidak / salah menuliskan panjang masing-masing rusuk. Tidak / salah

Kegiatan PKM ini dilakukan di Desa Montongsari Kec. Kelompok tani yang terlibat adalah kelompok “Tani Maju I” dan “Tani Maju II”. Metode yang dilaksanakan meliputi