HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN DAN STATUS BESI
DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWI SMK PELITA
KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR
YUDHI ADRIANTO
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
ABSTRACT
YUDHI ADRIANTO. The Relation between Food Consumption and Iron Status with Academic Score in Schoolgirls of Pelita Senior High School Ciampea, Bogor. Supervised by DODIK BRIAWAN and CESILIA M DWIRIANI
The research objective is to study relationship of food consumption and iron status with academic score of girl students in Pelita Senior High School Ciampea. This cross sectional study design research was conducted at Ciampea Bogor. The number of samples were 74 schoolgirl. This research using recall method of food consumption, iron bioavailability calculated with Du et al (1999) method, the iron status of Hb concentration and academic score are showed in the rapot. The results show nutritional status (BMI/Age) majority of the student (82.4%) are in the normal category with the mean of 20.5±3.2. Most of the students (89.1%) were in normal iron status and 10.8% anemia. Majority of students (83.2%) had low food consumption compared to Indonesian Dietary Guidelines (PUGS 2005) recommendation, and level of adequacy of energy is on severe deficit category (86.5%). Percent of iron bioavailability is in a moderate category (10.04%) with a total of bioavailability 1.09 g. Consumption of food enhancer is still lacking, with consumption of vitamin C 25.01±26.2 mg and fruits-vegetables 116.7±137 g. Academic score based on report book are in good category, both of general academic score (87.8%) with an average of 81.9±2.3 and vocational academic score (78.3%) with an average of 82.7±2.6. Pearson’s correlation shown there’s no relationship between food consumption and iron status with academic score (p>0.05).
RINGKASAN
YUDHI ADRIANTO. Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Besi dengan Prestasi Belajar Siswi SMK Pelita Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan DODIK BRIAWAN dan CESILIA M DWIRIANI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan prestasi belajar siswi SMK Pelita Ciampea. Adapun tujuan khusus adalah 1) Mengetahui karakteristik contoh, termasuk status gizi dan status besi; 2) Mengetahui konsumsi pangan, asupan dan tingkat kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C siswi; 3) Mengetahui bioavailabilitas zat besi dari pangan yang dikonsumsi; 4) Mengetahui prestasi belajar; 5) Menganalisis hubungan antara bioavalibilitas zat besi dengan status besi dan 6) Menganalisis hubungan status besi dengan prestasi belajar.
Desain penelitian adalah cross sectional study. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari SEAFAST Centre-IPB. Pengumpulan data sekunder tersebut dilakukan di Kota Bogor pada bulan Mei 2012 - Juni 2012. Contoh adalah siswi kelas X Jurusan Butik dan kelas X-XI Jurusan Keperawatan SMK Pelita Ciampea Bogor yang berjumlah 74 orang. Contoh diambil secara purposive yaitu siswi yang sudah menstruasi, bersedia berpartisipasi dan diwawancarai sampai selesai, telah mengisi informed consent
dan tidak sedang menderita sakit.
Usia contoh (96%) tergolong dalam remaja pertengahan yaitu 71 siswi, remaja akhir sebanyak 3 siswi (4%), umur termuda terdapat pada umur 14.7 tahun, umur tertua contoh terdapat pada umur 18.5 tahun dan rata-rata umur contoh tergolong pada remaja pertengahan dengan umur 16.6±0.7 tahun. Umur pertama kali contoh mengalami menstruasi berkisar antara 9-15 tahun, dengan rata-rata umur 12.8±1.1 tahun. Lama menstruasi berkisar antara 4-7 hari, dengan rata-rata 4±1.1 hari. Siklus menstruasi contoh berkisar antara 14-90 hari, dengan rata-rata 28.6±9.0 hari.
Sebaran status gizi contoh sebagian besar berada dalam sebaran kategori normal yaitu sebanyak 61 siswi (82%). Terdapat 5 siswi (6.8%) yang condong ke dalam kategori gizi kurang yaitu satu siswi yang memiilki status gizi kurang (1.4%) dan sebanyak empat siswi memiliki status gizi kurus (5.4%). Kisaran IMT antara 12.4-30.9 dengan rata-rata 20.5±3.2 atau dalam kategori normal. Jumlah siswi anemia terdapat 8 siswi (10.8%) dan normal sebanyak 66 sisiwi (89.2%). Rata-rata konsumsi pangan serealia dan umbi-umbian sebesar 122.6±74.4 g. Seluruh contoh mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, konsumsi tersebut masih rendah dibandingkan anjuran PUGS yaitu 500 g/hari. Konsumsi kacang-kacangan sebesar 45.8±47 g dari rekomendasi sebanyak 150 g/hari. Konsumsi daging sebesar 77.9±23.7 g, telur sebesar 50±29.2 g dan ikan sebesar 20.1.3±68.8 g, konsumsi daging terbesar adalah daging ayam dan daging sapi. Konsumsi pangan hewani tergolong cukup sebanyak 150 g/hari.
Makanan sepinggan yang sering dikonsumsi oleh contoh selama istirahat adalah bakso, mie ayam, batagor, siomay dan pempek dengan rata-rata konsumsi total makanan sepinggan sebesar 141±53.4 g.
Konsumsi rata-rata energi sebesar 1008±446 kkal, protein sebesar 38.3±19.8 g, zat besi sebesar 10.8±6.3 mg, vitamin C sebesar 25±16.1 mg dan vitamin A sebesar 448.3±409 RE. Tingkat kecukupan energi, zat besi dan vitamin C siswi tergolong dalam tingkat defisit berat yaitu kurang dari 70% AKG, sedangkan tingkat kecukupan protein tergolong dalam defisit tingkat sedang (70-79% AKG) dan tingkat kecukupan vitamin A tergolong dalam kategori cukup. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kecukupan gizi remaja masih defisit tingkat berat. Konsumsi vitamin C contoh sebagai zat pendorong (enhancer) tersebar pada 1.8-128 mg dengan rata-rata konsumsi vitamin C contoh sebesar 25.01±26 mg dan konsumsi sayuran dan buah rata-rata contoh adalah 116.7±137 g atau berada dalam kategori kurang. Konsumsi zat penghambat (inhibitor) pada pangan serealia berkisar antara 110-625 g dengan rata-rata konsumsi serealia 214.4±223 g. Rata-rata konsumsi kacang-kacangan contoh adalah 45.8±42 g dan rata-rata konsumsi teh contoh sebesar 0.8±0.5 g. Sebagian besar contoh mengkonsumsi teh sebagai minuman pada waktu istirahat sekolah.
Perhitungan perkiraan penyerapan besi didasarkan pada bioavabillitas konsumsi makan yaitu, penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%) (WNPG 2004). Persen total bioavalabilitas sebesar 10.04±0.5 % yaitu berada dalam kategori penyerapan besi sedang dengan sebaran kisaran persen total bioavailabilitas antara 8.7-11.2%. Prestasi belajar umum contoh berada dalam selang nilai 74.5-87.9. Rata-rata prestasi belajar umum contoh berada dalam kategori baik dengan nilai 81.9±2.3. Prestasi belajar kejuruan berbeda dengan prestasi belajar umum. Mata pelajaran kejuruan yang diberikan berbeda antara kelas butik dan kelas keperawatan. Nilai prestasi belajar kejuruan terkecil sebesar 78.0, nilai prestasi belajar kejuruan terbesar yaitu 89.3 dan nilai rata-rata prestasi belajar kejuruan sebesar 82.7±2.6 atau berada dalam kategori baik.
HUBUNGAN KONSUMSI PANGAN DAN STATUS BESI
DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWI SMK PELITA
KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR
YUDHI ADRIANTO
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul : Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Besi dengan Prestasi
Belajar Siswi SMK Pelita Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor
Nama : Yudhi Adrianto
NIM : I14104004
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc NIP. 19660701 199002 1 001 NIP. 19660527 199203 2 003
Mengetahui:
Ketua
Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. NIP. 19621218 198703 1 001
PRAKATA
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat Rakhmat dan
Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul
“Hubungan Konsumsi Pangan dan Status Besi dengan Prestasi Belajar Siswi
SMK Pelita Ciampea” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku Dosen Pembimbing 1 dan Ibu Dr.
Ir. Cesilia Meti Dwiriani,M.Sc selaku Pembimbing 2 yang selalu memberikan
dukungan, arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan penelitian ini,
serta Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc selaku pembimbing akademik
selama peneliti menempuh pendidikan.
2. Ibu Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, M.Kes sebagai pemandu seminar dan penguji
sidang yang selalu memberikan semangat, dukungan dan arahannya
kepada penulis.
3. Keluarga tercinta dan tersayang yang selalu memberikan bantuan dan
dukungannya baik secara moril maupun materil.
4. Teman-teman Gizi Masyarakat (GM) yang mendukung dan menyemangati
penulis.
5. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala
bantuan dan dukungan selama penyusunan penelitian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini ada kekurangan baik
materi maupun penulisannya. Oleh karena itu segala kritik dan sara yang sifatnya
membangun sangat diharapkan untuk penelitian ini. Penulis juga berharap agar
penelitian ini dapat terlaksana dengan baik sehingga dapat bermanfaat bagi
semua.
Bogor, Januari 2013
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 21 Maret 1990 di Bogor, anak ke dua dari dua
bersaudara pasangan Bapak Juhartono dan Ibu Yoyoh. Penulis lulus sekolah
dasar di SD Negeri 2 Cibinong, setelah itu penulis melanjutkan sekolah
menengah pertama di SMP Negeri 2 Cibinong dan menyelesaikan sekolah
menengah atas di SMA Negeri 2 Cibinong jurusan Ilmu Pengetahuan Alam pada
tahun 2007.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada bulan Mei 2007 melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Program Keahlian Manajemen
Industri Jasa Makanan dan Gizi Diploma IPB. Penulis melakukan Praktek Usaha
Jasa Boga di Hotel Kartika Chandra sejak tanggal 7 Oktober 2009 sampai
tanggal 7 Januari 2010. Penulis Praktek Kerja Lapang di RSUP Persahabatan
sejak tanggal 4 Januari 2010 sampai tanggal 24 April 2010. Setelah menempuh
pendidikan diploma, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya di
program alih jenis (ekstensi) ilmu gizi IPB pada tahun 2010. Selama kuliah di
program alih jenis, penulis pernah menjadi Ketua Divisi Sponsorship dalam
kegiatan Seminar Pangan dan Gizi Nasional ”FIT FESTIVAL” yang dilaksanakan
di Hotel Brajamustika. Selain itu, penulis pernah melakukan kuliah kerja profesi di
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
Kegunaan ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Remaja ... 3
Kecukupan Gizi Remaja... 6
Konsumsi Pangan ... 7
Konsumsi Pangan Hewani ... 8
Bioavailabilitas Zat Besi ... 10
Anemia pada Remaja Putri ... 13
Prestasi Belajar ... 16
KERANGKA PEMIKIRAN ... 19
METODE PENELITIAN... 21
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 21
Pengolahan dan Analisis Data ... 22
Definisi Operasional ... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
Gambaran Umum Sekolah ... 27
Karakteristik Contoh ... 27
Umur ... 27
Uang Saku ... 29
Besar Keluarga ... 29
Pendidikan Orang Tua ... 30
Pekerjaan dan Pendapatan Orang Tua ... 31
Umur, Lama dan Siklus Menstruasi ... 32
Status Gizi Antropometri ... 32
Status Besi ... 35
Konsumsi Pangan dan Asupan Gizi ... 36
Asupan Zat Gizi ... 38
Bioavailabilitas Zat Besi ... 41
Pangan Pendorong Penyerapan Fe (enhancer) ... 41
Pangan Penghambat Penyerapan Fe (inhibitor) ... 41
Nilai Bioavailabilitas ... 42
Prestasi Belajar ... 43
Prestasi Belajar Umum ... 45
Prestasi Belajar Kejuruan ... 46
Hubungan antara Bioavailabilitas dengan Status Besi ... 47
Hubungan Status besi dengan Prestasi Belajar ... 48
KESIMPULAN DAN SARAN ... 50
Kesimpulan ... 50
Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 52
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Angka kecukupan gizi remaja ... 7
2 Konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008 ... 10
3 Kandungan besi heme dan non-heme, besi total dan persen besi heme dari pangan hewani mentah dan olahan (mg/100g BDD) ... 12
4 Batasan hemoglobin (Hb) untuk penentuan anemia berdasarkan WHO/UNICEF/UNU (1996) ... 15
5 Kategori variabel penelitian ... 23
6 Contoh perhitungan bioavailabilitas konsumsi pangan metode Du et al. (1999) ... 24
7 Sebaran besar keluarga contoh ... 29
8 Sebaran tingkat pendidikan orang tua contoh ... 30
9 Sebaran pekerjaan orang tua contoh ... 31
10 Sebaran pendapatan orang tua contoh ... 32
11 Sebaran status gizi contoh ... 33
12 Sebaran status gizi berdasar status besi contoh ... 36
13 Rata-rata konsumsi pangan contoh ... 37
14 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh ... 39
15 Hasil perhitungan persen total bioavailabilitas metode Du et al. (1999) ... 42
16 Sebaran bioavailabilitas berdasarkan tingkat kecukupan zat besi ... 42
17 Sebaran bioavailabilitas besi berdasar status besi contoh ... 47
18 Sebaran prestasi belajar dengan status besi contoh ... 48
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka Pemikiran hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan
prestasi belajar ... 20
2 Sebaran contoh berdasarkan kelas dan jurusan ... 28
3 Sebaran contoh berdasarkan umur ... 28
4 Sebaran contoh berdasarkan uang saku ... 29
5 Distribusi IMT/U contoh dibandingkan WHO ... 34
6 Distribusi TB/U contoh dibandingkan WHO ... 34
7 Sebaran status anemia contoh ... 35
8 Sebaran tingkat kecukupan gizi contoh ... 40
9 Rutinitas belajar contoh ... 44
10 Gaya belajar contoh ... 44
11 Kebiasaan belajar contoh... 45
12 Sebaran prestasi belajar umum contoh ... 46
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Human Developement Index (HDI) Indonesia pada tahun 2009 berada
pada posisi 111 dari 182 negara, posisi tersebut menunjukan bahwa Indonesia
masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, untuk
mengejar ketertinggalannya diperlukan peningkatan kualitas sumberdaya
manusia terutama pada usia remaja. Salah satu faktor yang menentukan
terciptanya sumberdaya manusia yang berkualitas adalah pangan yang bergizi,
yang diperoleh melalui konsumsi pangan yang baik (Khomsan 2002).
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok orang
sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi dari
makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al. 2001). Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan masalah kesehatan yang penting terkait
prevalenisnya yang tinggi dan dampaknya terutama pada wanita. Prevalensi
anemia defisiensi zat besi mencapai 36% dari populasi 3800 juta di negara
berkembang (Arisman 2004), prevalensi anemia menurut Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2011 pada anak usia sekolah sebesar 25.5%.
Prevalensi anemia pada remaja wanita di Indonesia masih cukup tinggi
yaitu 26.5% (Depkes 2006). Kekurangan zat besi juga berkaitan erat dengan
anemia gizi besi yang merupakan masalah gizi mikro terbesar dengan jumlah
penderita mencapai 1.2 milyar orang di seluruh dunia (Rofes & Withney 2008).
Hasil analisis Permaesih dan Herman (2005) prevalensi anemia remaja (10-19
tahun) sebesar 25.5%. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2008)
menyebutkan bahwa prevalensi anemia nasional sebesar 11.9%, prevalensi
anemia wanita dewasa (>15 tahun) sebesar 19.7% (Depkes 2008).
Seorang remaja membutuhkan asupan zat besi yang baik agar
menghasilkan prestasi akademik yang tinggi. Pada remaja wanita, kebutuhan
yang tinggi akan zat besi terutama disebabkan kehilangan zat besi selama
menstruasi. Penelitian mengenai hubungan antara status besi dan kemampuan
kognitif telah banyak dilakukan lebih dari tiga dekade. Penelitian Soewondo et al.
(1989) yang dilakukan di Bandung dengan melibatkan remaja anemia dan non
anemia (anemia n=34 & non anemia n=34) membuktikan bahwa anak remaja
non anemia dapat belajar dengan cepat dibandingkan anak remaja anemia
dengan anemia defisiensi besi. Hal ini berkaitan dengan pembentukan fungsi iron
neurotransmitter yaitu dopamineric neurons yang dapat berdampak permanen.
Pada remaja anemia defisiensi besi dapat berdampak pada kebiasaan yang
buruk seperti malas, sering mengantuk, lemah dan sering tertidur. Hal ini terkait
dalam fungsi hemoglobin dalam perannya mengangkut oksigen pada proses
pernafasan ke jaringan tubuh dan otak, pada kejadian anemia berkurangnya
hemoglobin dapat mengurangi sirkulasi oksigen dalam tubuh sehingga
ketersediaan deoksihemoglobin menurun dan terjadi gejala anemia (Arisman
2004). Review studi longitudinal mengenai anemia juga telah membuktikan
bahwa pada anak anemia memiliki kemampuan kognitif, perkembangan motorik
dan prestasi belajar yang buruk (Grantham & Cornelius 2001).
Penelitan di atas telah memperlihatkan adanya hubungan konsumsi
pangan khususnya zat besi terhadap kemampuan kognitif yaitu prestasi belajar.
Konsumsi merupakan hal yang akan berdampak terhadap asupan zat besi yang
tercermin pada bioavailabilitas zat besi. Penelitian dan pustaka yang membahas
mengenai prestasi akademik dan kaitannya dengan anemia sudah banyak,
namun penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan konsumsi pangan dan
status besi dengan prestasi belajar pada remaja putri di Indonesia
Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan konsumsi
pangan dan status besi dengan prestasi belajar siswi Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Pelita Ciampea.
Tujuan khusus penelitian ini adalah:
1. Mengetahui karakteristik contoh, termasuk status gizi dan status besi
2. Mengetahui konsumsi pangan, asupan dan tingkat kecukupan energi,
protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C
3. Mengetahui bioavailabilitas zat besi dari pangan yang dikonsumsi
4. Mengetahui prestasi belajar
5. Menganalisis hubungan antara bioavalibilitas zat besi dengan status besi
6. Menganalisis hubungan status besi dengan prestasi belajar.
Kegunaan
Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang
tingkat konsumsi pangan, status besi dan prestasi belajar pada siswi SMK di
Indonesia. Penelitian ini juga berisi mengenai pentingnya konsumsi pangan
TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa.
Masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri.
Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri sering
menimbulkan masalah pada diri remaja. Pardede (2002) mendefinisikan remaja
dengan batasan usia yaitu 10-24 tahun dan belum menikah, dengan
pertimbangan karena usia 10 tahun merupakan usia dimana remaja putri
mengalami perubahan dalam tubuhnya, tetapi perubahan yang terjadi bisa
berbeda-beda pada setiap remaja putri. Remaja dalam tumbuh kembangnya
menuju dewasa akan terjadi kematangan psikososial dan seksual yang melewati
beberapa tahap, yaitu masa remaja awal (early adolescence) umur 11-13 tahun, masa remaja pertengahan (middle adolescence) umur 14-16 tahun , dan masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17-20 tahun.
Syafiq et al. (2007) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa transisi anak dan dewasa, selama remaja terjadi perubahan hormonal
mempercepat pertumbuhan. Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan
mengalami menstruasi yang pertama atau menarche, sedangkan pada anak laki-laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1998). Waktu terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan
perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat
anak-anak. Kematangan seksual di negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di
negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di
masing-masing negara (Arisman 2004).
Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak satupun angka yang pasti
dapat memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja.
Beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda-beda. Banyak
para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja.
Dari berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, disimpulkan bahwa
secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21 tahun
bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal dan
akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau 18
tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21 atau
Periode remaja merupakan periode kritis dimana terjadi perubahan fisik,
biokimia dan emosional yang cepat. Pada masa ini terjadi growth spurt yaitu puncak pertumbuhan tinggi badan (peak high velocity) dan berat badan (peak
weight velocity). Kecepatan pertumbuhan tinggi badan rata-rata mencapai 20
cm/tahun pada laki-laki dan 16 cm/tahun pada perempuan. Demikian juga
kecepatan pertumbuhan berat badan rata-rata mencapai 20 kg/tahun pada
laki-laki dan 16 kg/tahun pada perempuan (Syafiq et al. 2007)
Menginjak masa remaja, kebutuhan gizi meningkat jauh lebih besar
seperti yang tercermin dalam meningkatnya angka kecukupan gizi yang
direkomendasikan yang harus terpenuhi dengan cara meningkatkan asupan dari
semua kelompok makanan. Makanan berlemak dan bergula harus dibatasi dan
variasi makanan perlu diperhatikan untuk mengurangi terjadinya resiko defisiensi
nutrien tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah menunjukan
pada anak-anak di Inggris telah memilih makan kentang goreng, burger dan
hidangan tinggi lemak lainnya serta minuman ringan, hanya sedikit yang memilih
buah, sayuran atau salad (Barasi 2009).
Remaja putri banyak yang merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya,
sehingga berusaha memperbaikinya dengan berdiet. Berbagai macam diet
banyak diikuti remaja putri baik dalam jangka waktu panjang maupun singkat,
namun semua diet memiliki masalah yang sama yaitu tidak mendidik remaja
menerapkan kebiasaan makan baru yang lebih sehat. Cara yang lebih drastis
seperti penggunaan diuretik, laksatif atau merangsang dirinya untuk muntah yang
bertujuan untuk menurunkan berat badan dalam jangka pendek (Barasi 2009).
Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi
gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa
pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Satu tahun setelah
peak growth, remaja putri biasanya akan mengalami haid pertama (menarche). Kebutuhan zat besi yang lebih tinggi pada saat peak growth akan menetap karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada
saat menstruasi atau haid.
Anemia pada remaja akan berdampak pada produktivitas dan konsentrasi
belajar menurun. Bila remaja perempuan tersebut memasuki perkawinan mereka
akan hamil dengan status gizi yang rendah, karena membutuhkan peningkatan
dikandung. Perkembangan kepribadian pada masa remaja tidak saja dipengaruhi
oleh orangtua dan lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan sekolah dan
teman-teman pergaulan di luar sekolah. Di samping itu, pengaruh lain bisa
berasal dari pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik media cetak maupun
media elektronik (Supariasa 2001).
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan masa lalu. Dengan menilai status gizi seseorang, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang
tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Status gizi merupakan masukan zat
gizi dan pemanfaatannya dalam tubuh. Status gizi merupakan tanda-tanda atau
penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang di konsumsi. Status gizi
yang baik dapat dicapai dengan cara mengkonsumsi pangan yang mengandung
cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan. Status gizi seseorang dipengaruhi
oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi dan keadaan tubuh seseorang
yang dapat disebabkan gangguan penyerapan zat gizi atau investasi penyakit
parasit (Riyadi 2001).
Penilaian status gizi berdasarkan konsumsi makanan dilakukan dengan
cara melihat perbandingan konsumsi pangan dengan kecukupan gizinya, karena
tingkat kecukupan gizi seseorang sepenuhnya tergantung pada apa yang
dikonsumsi. Makanan penting dalam jumlah cukup dan seimbang untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Setiawan (1994) menyatakan bahwa keadaan
pertumbuhan erat kaitannya dengan masalah konsumsi energi dan protein, maka
ukuran tubuh sebagai refleksi keadan pertumbuhan dapat digunakan untuk
menilai gangguan pertumbuhan dan keadaan kurang gizi.
Salah satu cara pengukuran status gizi adalah pengukuran secara
antropometri, terutama apabila terjadi ketidakseimbangan antara intake energi
dan protein dalam jangka waktu yang lama. Indikator terbaik yang digunakan
untuk remaja adalah indikator IMT (Indeks Massa Tubuh) menurut umur. Husaini
et al. (2000) menyatakan bahwa anemia di Indonesia disebabkan oleh penyebab
langsung dan tidak langsung, penyebab langsung berupa ketersediaan zat besi
dalam makanan yang rendah, rendahnya keadaan sosial ekonomi, status gizi
Remaja membutuhkan zat gizi yang tinggi, bahkan fase remaja
merupakan fase kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi dan adanya
kekurangan zat gizi makro maupun zat gizi mikro dapat mengganggu
pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Masalah gizi remaja perlu
mendapat perhatian khusus karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi saat dewasa (Syafiq
et al. 2007). Remaja wanita yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami
menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk pertumbuhan akan
terhambat, mestruasinya lebih lambat dan beresiko terkena anemia gizi besi
(ADB/SCN 2001).
Keadaan status gizi dan kesehatan yang baik akan sangat mempengaruhi
kesegaran fisik dan daya pikir yang baik dalam belajar. Tanpa makanan yang
cukup, energi sebagai sumber tenaga dalam aktivitas sehari-hari akan diambil
dari cadangan energi dan protein di dalam sel tubuh. Kekurangan dan kelebihan
zat gizi yang diterima tubuh seseorang akan mempunyai dampak negatif.
Perbaikan konsumsi pangan dan peningkatan status gizi sesuai atau seimbang
dengan yang diperlukan tubuh merupakan unsur penting bagi peningkatan
kualitas hidup manusia, sehat, kreatif dan produktif (Kartasapoetra & Marsetyo
2005).
Menurut Moehji (2002) manusia yang sehat dan mendapatkan makanan
yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya akan memiliki kesanggupan
maksimal dalam menjalani hidupya. Kemampuan ini disebut dengan kapasitas.
Jadi untuk memperoleh kapasitas yang maksimal, manusia harus memperoleh
makanan yang cukup sehingga memperoleh semua zat gizi yang diperlukan
untuk pertumbuhan, perbaikan dan pemeliharaan jaringan tubuh serta
terlaksananya fungsi faal normal dalam tubuh.
Kecukupan Gizi Remaja
Kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang
disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat
meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang
tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan
sebagainya (Ricket 1996).
Remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga banyak
(Sediaoetama 2000). Tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan
zat gizi para remaja. Mereka bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama
sarapan) dengan alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat senang mengkonsumsi
junk food. Disamping itu, kekhawatiran menjadi gemuk telah memaksa mereka
untuk mengurangi jumlah pangan yang seharusnya dikonsumsi. Gaya hidup dan
kebiasaan makan cenderung berubah ketika masa remaja, hal ini sangat
mempengaruhi asupan zat gizi (Arisman 2004). Kebutuhan zat gizi remaja
secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Angka kecukupan gizi remaja
Zat Gizi Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)
13-15 16-18 13-15 16-18
Energi (Kal) 2350 2200 2400 2600
Protein (g) 57 55 60 65
Kalsium (mg) 1000 1000 1000 1000
Besi (mg) 26 26 19 15
Vit A (RE) 600 600 600 600
Vit E (mg) 15 15 15 15
Vit B1 (mg) 1.1 1.1 1.2 1.3
Vit C (mg) 65 75 75 90
Folat (mg) 400 400 400 400
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI (2004)
Banyaknya zat besi yang hilang dari tubuh seseorang berbeda-beda,
tergantung simpanan zat besi yang dimilikinya. Apabila tubuh mempunyai
simpanan zat besi dalam jumlah banyak, maka zat besi yang dikeluarkan dari
tubuh juga banyak. Sebaliknya pada orang yang menderita anemia gizi, jumlah
zat besi yang dikeluarkan juga sedikit (Wirakusumah 2001).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi
seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan
mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat
gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis
pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang
pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1989). Kebiasaan makan yang
diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase
kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Menurut Madanijah
(2004) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu.
Pola konsumsi pangan diartikan sebagai cara seseorang atau
sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai
ekonomi. Pola konsumsi dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan pangan
atau pola pangan. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan dan
kebiasaan pangan individu, tiga faktor yang terpenting adalah ketersediaan
pangan, pola sosial budaya dan faktor pribadi (Riyadi 2006).
Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi seseorang atau kelompok pada waktu tertentu. Penilaian konsumsi
pangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu metode
pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang bersifat kuantitatif adalah
metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan
mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24
jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulangulang dan harinya
tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka
data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan
makan individu (Supariasa et al. 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran
asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang
intake harian individu (Sanjur 1982).
Penentuan jumlah hari recall sangat ditentukan oleh keragaman jenis
konsumsi antar waktu, antar tipe responden dalam memperoleh pangan. Metode
recall membutuhkan biaya yang sangat murah dan tidak memakan waktu yang
banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena
mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian
tenaga pencatatan dalam mengkonversi URT ke dalam satuan berat serta
adanya variasi URT antar daerah, dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran
antar responden (besar, sedang, kecil, dll) (Kusharto & Yayah 2006).
Konsumsi Pangan Hewani
Sanjur (1982) menyatakan bahwa jumlah pangan yang tersedia di suatu
wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Perkembangan
teknologi yang pesat dan perubahan pola hidup yang tidak sehat saat ini
mempengaruhi pola konsumsi pangan dengan peningkatan asupan kalori
terutama dari bahan pangan sumber lemak dan karbohidrat. Ketersediaan
pangan tidak selalu mencerminkan konsumsi pangan yang sebenarnya, karena
konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, tetapi juga oleh
harga makanan dan faktor sosial budaya. Secara umum ada dua kriteria untuk
protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok,
sedangkan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan seperti ikan, daging,
telur dan susu (Hardinsyah & Martianto 1989).
Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang berupa atau
berasal dari hewan atau produk-produk yang diolah dengan menggunakan
bahan dasar asal hewan. Pangan hewani mempunyai berbagai keunggulan
dibanding pangan nabati. Pangan hewani terasa gurih atau enak karena
mengandung protein dan lemak yang banyak. Pangan hewani mengandung
protein yang lebih berkualitas karena mudah digunakan tubuh dan memiliki
komposisi asam amino yang lengkap (Hardinsyah & Martianto 1989).
Pangan hewani mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan
mudah digunakan oleh tubuh. Misalnya kalsium pada susu, zat besi, zink dan
selenium yang banyak di dalam daging, hati dan telur. Kalsium dan zink
berperan dalam pertumbuhan dan berbagai proses dalam tubuh. Zat besi
bersama zat gizi lainnya berperan dalam pembentukan sel-sel darah merah
hemoglobin. Hemoglobin berguna untuk membawa oksigen ke seluruh bagian
tubuh. Bila kadar hemoglobin rendah (anemia) maka tubuh kekurangan oksigen,
badan menjadi lemah, konsentrasi belajar dan stamina atau produktivitas kerja
menjadi menurun. Pangan hewani mengandung zat gizi vitamin yang unik,
misalnya vitamin A dalam hati dan kuning telur yang mudah digunakan tubuh.
Kemudian vitamin B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati. Vitamin B12
yang kaya dalam pangan hewani berperan penting dalam pembentukan sel
darah merah yang menangkap oksigen bagi tubuh dan dalam pembentukan
myelin syaraf (Hardinsyah 2004).
Mutu protein pangan hewani ditentukan oleh jenis dan proporsi
asam-asam amino yang dikandungnya. Pola asam-asam amino pada protein hewani
merupakan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan manusia karena polanya
menyerupai pola kebutuhan asam amino manusia. Oleh karena itu, apabila
pangan hewani digunakan sebagai sumber protein tunggal dalam jumlah
memenuhi kebutuhan manusia maka ia memberikan semua asam-asam amino
esensial dalam jumlah cukup. Kelebihan asam-asam amino esensial dapat
digunakan untuk mensintesis asam-asam amino nonesensial. Pangan sumber
protein hewani adalah daging, ayam, ikan, telur, susu, dan produk olahannya
Konsumsi pangan hewani masyarakat dapat menjadi indikator kuantitas
dan kualitas status gizi baik atau buruk. Selain itu, konsumsi pangan juga
menjadi determinan dalam menentukan suatu wilayah rawan pangan dan
mengalami kelaparan. Berikut tabel konsumsi pangan hewani masyarakat
Indonesia tahun 2008.
Tabel 2 Konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008
Komoditas
Konsumsi Jumlah
(kg/kap/tahun)
Protein (g/kap/hari) Daging
Telur dan Susu Ikan
4.8 17.7 28.0
2.4 3.0 7.9
Sumber: Badan Pusat Statistik (Susenas 2007 dan 2008)
Pangan yang dikonsumsi mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam
tubuh. Faktor yang mempengaruhi absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong
(enhancer) dan menghambat (inhibitor) penyerapan zat besi. Bila tubuh
kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan,
absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi
heme dua kali (Almastier 2003).
Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap
kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan
sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga bila pangan tersebut
dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya,
kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika
pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat
menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak
akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia.
Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi yaitu: vitamin C, makanan
hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri. Sedangkan pangan yang dapat
menghambat penyerapan zat besi antara lain: makanan yang mengandung tanin,
fitat dan kalsium (Monsen et al. 1987).
Bioavailabilitas Zat Besi
Manusia dapat menggunakan besi yang di konsumsi dalam dua tipe, besi
heme dan non-heme. Heme adalah sumber zat gizi besi yang mudah dan siap
diserap dibandingkan besi non-heme. Besi heme memiliki molekul besi aktif yang
tubuh lebih tinggi dibandingkan zat besi non-heme. Namun demikian sebagian
besar bahan pangan mengandung zat besi non-heme, oleh karena itu bentuk
non-heme menyumbang kebutuhan zat besi tubuh dalam jumlah yang relatif lebih
banyak.
Mahan dan Stump (2008) menyatakan bioavailabilitas mineral adalah
ketersediaan mineral dalam usus untuk diabsorbsi dengan kata lain penyerapan
aktual (efisiensi) dari mineral yang menunjukan retensi mineral dalam tubuh yang
digunakan dalam fungsi selular atau jaringan. Kualitas zat besi dalam makanan
atau dinamakan juga ketersediaan biologis zat besi (bioavailabilitas) harus
diperhatikan. Menurut FAO/WHO (2001), bioavailabilitas zat besi dalam makanan
sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Absorbsi besi
sangat tergantung pada jumlah dalam bahan makanan yang menghambat dan
meningkatkan absorbsi, sehingga absorbsi besi dari makanan yang dikonsumsi
sehari-hari bervariasi antara 5-10%. Untuk masyarakat yang banyak
mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari hewani seperti di negara
Eropa, Amerika serikat dan negara maju lainnya absorbsi zat besi dari makanan
yang di konsumsinya dapat berkisar antara 10-20% sedangkan di negara-negara
berkembang hanya berkisar antara 5-10% (Almatsier 2002).
Almatsier (2002) mengatakan bahwa, banyak faktor yang berpengaruh
pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan
zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam organik,
tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi. Makan besi heme
dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi non-heme.
Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu penyerapan
besi. Sedangkan asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat mengikat besi
sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh
besar terhadap absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya
meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat
sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali.
Menurut Latunde & Neale (1986), faktor yang mempengaruhi
ketersediaan biologis zat besi dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu faktor
endogen (kondisi dalam tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor
endogen antara lain kebutuhan tubuh dan sekresi saluran cerna. Faktor eksogen
yaitu berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat
pangan, faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi besi yang berasal
dari bahan makanan. Bahan pangan hewani memiliki kandungan besi total, besi
heme dan besi non-heme yang berbeda pada setiap jenisnya, selain itu proses
pengolahan juga berpengaruh terhadap zat besi yang terkandung. Berikut tabek
bahan pangan hewani yang mengandung heme dalam persen (mg/100g).
Tabel 3 Kandungan besi heme dan non-heme, besi total dan persen besi heme dari pangan hewani mentah dan olahan (mg/100g BDD)
Jenis Pangan Besi Heme Besi Non-Heme Total Besi Besi Heme (%)
Produk Hewani Mentah
Daging sapi Dadih ayam Dada ayam Hati ayam Dadih babi Hati babi Daging babi Ikan lele Ikan nila Ikan gabus Ikan tuna makarel Udang galah
Produk Hewani Olahan
Daging sapi, rebus Dadih ayam, rebus Dada ayam, rebus Drumstick ayam, rebus Hati ayam, rebus Dadih babi, rebus Hati babi, rebus Bola-bola daging, rebus Bola-bola ayam, rebus Bola-bola babi, rebus Ayam asap, rebus Ikan lele, rebus Ikan nila, rebus Ikan gabus, rebus Tuna makarel, rebus Udang galah, rebus
1.3 9.2 0.1 3.1 15.4 2.9 1.3 0.7 0.4 0.4 0.8 0.1 1.1 9.0 0.1 0.3 2.6 15.0 2.3 0.3 0.1 0.1 0.3 0.5 0.3 0.3 0.9 0.1 0.7 2.4 0.3 6.7 2.6 9.4 0.7 1.2 0.7 0.7 1.2 0.4 1.3 2.8 0.3 1.0 8.0 3.2 10.3 1.2 0.8 0.7 0.7 1.3 0.9 0.9 1.4 0.6 2.1 11.6 0.4 9.9 18.1 12.3 2.1 1.9 1.1 1.1 2.0 0.5 2.4 12.1 0.4 1.2 10.6 18.1 12.6 1.4 0.9 0.8 1.0 1.8 1.2 1.2 2.4 0.7 66.2 79.3 30.0 31.1 85.6 23.3 66.2 36.8 36.6 36.6 40.0 20.0 45.0 76.3 23.4 22.4 24.2 76.3 18.2 19.1 8.8 5.6 33.7 27.9 27.1 23.6 37.7 10.5 Sumber: Kandungan Besi Heme dan Non-Heme pada Produk Hewani di Thailand
(R.Kongkachuichai et al. Mahidol University2002)
Metode penetapan bioavailabilitas terdapat banyak cara metode dan
langkah dalam penetapan zat besi, salah satu metode yang digunakan adalah
metode Du et al. (1999). Metode Du et al. (1999), dilakukan di China melalui tiga langkah pendekatan. Langkah pertama adalah dengan menganalisa makanan
dan zat gizi yang dapat meningkatkan dan menghambat penyerapan zat besi
yaitu konsumsi pangan hewani, asam askorbat (vitamin C), sayuran dan buah,
serealia, kacang-kacangan dan teh. Langkah kedua adalah dengan menentukan
faktor yang mempengaruhi besi yang terbagi menjadi dua grup, yaitu estimasi
bioavailabilitas besi dengan status hemoglobin. Langkah ketiga adalah kombinasi
diasumsikan 40% besi berasal dari pangan hewani dan 23% bioavailabilitas besi
heme.
Menurut MacPhail (2000) tingkatan bioavablitas terbagi menjadi tiga tipe.
Tipe yang pertama adalah tipe bioavailabilitas rendah merupakan besi dari
bahan makanan pokok beras, jagung atau umbi-umbian, kurang mengandung
unsur daging, ikan dan vitamin C dengan penyerapan besi tipe ini kurang dari
5%. Kedua tipe bioavailabilitas menengah terdapat pada golongan dengan
makanan pokok beras dan jagung dengan sejumlah daging dan vitamin C
dengan penyerapannya antara 5-15%. Dan tipe ketiga bioavailabilitas tinggi
terdapat pada susunan makanan yang banyak mengandung daging dan vitamin
C dengan penyerapan besi lebih dari 15%.
Besi yang berasal dari pangan hewani dapat diserap lebih baik 30%
dibanding yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam dan
daging) sendiri mengandung non-heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi heme
memiliki keuntungan ganda yaitu besinya mudah diserap dan juga membantu
penyerapan besi non-heme. Perhitungan perkiraan penyerapan besi didasarkan
pada bioavabillitas konsumsi makan yaitu, penyerapan besi tinggi (15%),
penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%) (WNPG
2004).
Anemia pada Remaja Putri
Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin (Hb) yang lebih
rendah daripada normal sebagai akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan
sel darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin
pada tingkat normal. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius, berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja
(Rasmaliah 2004). Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin
(Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal.
Anemia Gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk
pembentukan Hb tersebut. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar
hemoglobin di dalam sel darah merah berkurang dikarenakan adanya kelainan
dalam pembentukan sel, perdarahan atau gabungan keduanya sehingga tubuh
akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan
Anemia pada umumnya terjadi di seluruh dunia, terutama di negara
berkembang dan ada kelompok sosial ekonomi rendah. Pada kelompok dewasa
anemia terjadi pada kelompok usia reproduksi, terutama wanita hamil dan
menyusui. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45% di negara berkembang
dan 13% di negara maju. Di Amerika terdapat 12% anemia pada wanita usia
subur (15-49 tahun) dan 11% wanita hamil mengalami anemia (Syafiq et al. 2007).
Jenis anemia yang paling sering ditemui adalah kekurangan zat besi yang
terjadi bila kita kehilangan banyak darah dari tubuh (baik karena perdarahan luka
maupun menstruasi) ataupun karena makanan yang kita konsumsi kurang
mengandung zat besi (Moehji 2001). Heme merupakan suatu pigmen yang
mengandung inti sebuah atom besi dan merupakan tempat sebagian besi berada
dalam sel-sel darah merah. Terdapat empat heme dalam sebuah molekul
hemoglobin sedangkan untuk sebuah molekul mioglobin hanya terdiri dari satu
pigmen heme untuk setiap protein (Winarno 1997)
Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap
seperti dikemukakan Almatsier (2002), pertama terjadi penurunan simpanan
cadangan zat besi dalam hati karena berbagai hal (iron depletion). Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan
hematokrit masih normal. Pada tahap kedua (iron deficiency) berkurangnya zat besi yang tersedia untuk sistem eritropoesis, yaitu keadaan dimana penyediaan
besi tidak cukup untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang
belakang serta serum feritin juga menurun namun kadar hemoglobin masih
normal (belum berpengaruh). Tahap ketiga (iron deficiency anemia)adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin sudah sangat rendah (dibawah normal)
sehingga terjadi anemia, ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum
menurun dan hematokrit menurun, juga disertai gejala klinis anemia. Kegagalan
gizi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia akan berdampak
pada kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan
produktivitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat
meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian (Arisman 2004).
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin
berfungsi sebagai pembawa oksigen. Hemoglobin memiliki afinitas (daya
gabung) kuat dengan O2 dan dengan oksigen tersebut membentuk
paru-paru ke jaringan tubuh (Roosita et al. 2006). Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang bergabung dengan oksigen dan karbon
dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran darah kedalam jaringan dalam
tubuh. Ion besi dalam bentuk Fe2+ dalam hemoglobin memberikan warna merah
pada darah. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 g hemoglobin
yang mampu mengangkut 0.03 g oksigen atau kadar hemoglobin (Hb) ± 15 g %
(g per dl darah).
Penderita anemia biasanya ditandai dengan penurunan nafsu makan,
sering mengeluh pusing, mata berkunang-kunang, kelopak mata pucat, bibir,
lidah, kulit dan telapak tangan pucat, mengalami lesu, lemah, letih, lelah, lalai,
memiliki sifat apatis, nafas pendek dan kuku mudah pecah. Namun terkadang
tidak ada tanda bila pasien mengalami anemia ringan (Balitbangkes 2005).
Gejala lain dari anemia yaitu Penderita anemia biasanya mudah lemah, letih,
lesu, serta susah berkonsentrasi. Gejala ini disebabkan karena otak dan jantung
mengalami kekurangan distribusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung
penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha mengkompensasi
kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat. Akibatnya
kemampuan kerja dan kebugaran tubuh menurun. Jika kondisi ini berlangsung
lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal jantung
kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya tahan tubuh
sehingga tubuh mudah terinfeksi (Arisman 2004).
Remaja putri cenderung untuk membatasi asupan makanan karena
mereka ingin langsing. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi
anemia cukup tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak
terjadi, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan
zat-zat gizi yang lebih tinggi (Depkes 2003). Adapun batasan kelompok menurut
umur dan jenis kelamin untuk penentuan anemia yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Batasan hemoglobin (Hb) untuk penentuan anemia berdasarkan WHO/UNICEF/UNU (1996)
Kelompok Umur/Jenis Kelamin Hb di bawah (g/L) Hematokrit di bawah (%)
Anak umur 6 bulan-5 tahun 110 33
Anak umur 5-11 tahun 115 34
Anak umur 12-13 tahun 120 36
Wanita tidak hamil 120 36
Wanita hamil 110 33
Laki-laki 130 39
Sumber : Allen dan Gillespie (2001)
Menurut Sediaoetama (2000), faktor risiko terjadinya anemia lebih besar
wanita lebih sedikit daripada pria, sedangkan kebutuhan dalam seharinya lebih
tinggi. Setiap harinya seorang wanita akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat besi
melalui ekskresi secara normal. Pada saat menstruasi, kehilangan zat besi bisa
bertambah hingga 1 mg. Faktor lain yang menyebabkan wanita rentan
mengalami anemia adalah pola makan. Biasanya wanita ingin memiliki tubuh
ideal dengan cara diet secara berlebihan, hal ini mengakibatkan kebutuhan zat
gizi terutama Fe yang berasal dari makanan tidak dapat terpenuhi secara
optimal.
Prestasi Belajar
Pengertian prestasi menurut Sudjana (1999), adalah suatu hasil kerja
yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan
serta waktu. Sedangkan Suryadi (1998) memberikan pengertian prestasi
merupakan kesanggupan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan, bermutu dan tepat mengenai sasaran dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Prestasi menurut Siswanto (1987) adalah hasil kerja yang dicapai
oleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya yang dibebankan
kepadanya. Prestasi adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh
seseorang, unit, atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan
batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan
organisasi/perusahaan (Samsudin 2003).
Prestasi belajar adalah hasil penilaiain pendidik terhadap proses belajar
dan hasil belajar siswa. Keberhasilan siswa dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain kecerdasan kognitif dan kesuksesan belajar di sekolah (school
achievement) yang secara umum diketahui sebagai keberhasilan siswa di
sekolah (Atkinson 2000). Menurut Yuliawati (1997) prestasi akademik atau
prestasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan dasar
(intelegensi), bakat, cara belajar, motivasi/dorongan, kondisi fisik, fasilitas belajar,
lingkungan fisik, keadaan/suasana psikologis dirumah dan hibungan anak
dengan orang tua, guru serta teman. Cangelosi (1995) menyatakan bahwa
prestasi siswa merupakan tingkat kemajuan yang telah dicapai siswa dengan
tujuan belajar. Suparno (2001) mengemukakan kesulitan-kesulitan atau masalah
yang dihadapi dalam proses belajar. Masalah tersebut diklasifikasikan dalam tiga
kategori yaitu masalah internal, eksternal dan lingkungan (fisik, sosial dan
Prestasi belajar merupakan capaian yang sangat penting dan merupakan
alat pengukur kemampuan kognitif siswa. Prestasi belajar dapat diukur dengan
melakukan tes atau ujian. Fungsi tes prestasi belajar adalah untuk menentukan
keterampilan dan pengetahuan yang sudah diajarkan pada berbagai tingkat
pendidikan atau menilai sejauh mana siswa dapat memperoleh manfaat dari
pelajaran yang telah diajarkan. Setiap test mempunyai butir soal yang berfungsi
untuk menilai materi yang telah disajikan (Arikunto 1996).
Banyak siswa yang terhambat perkembangan kecerdasannya karena
kurangnya asupan gizi yang berkualitas. Gizi kurang pada anak dapat
mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan anak. Status gizi yang
buruk, kekurangan zat gizi berupa mineral, vitamin dan zat gizi lainnya dapat
mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA
di susunan syaraf. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel
otak dan melinasi sel otak, terutama pada usia di bawah tiga tahun sehingga
sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak
(Judarwanto 2004).
Penelitian mengenai hubungan antara status besi dan kemampuan
kognitif telah banyak dilakukan lebih dari tiga decade ini. Banyak ahli yang
mempromosikan program fortifikasi atau suplementasi untuk menekan kejadian
akibat dari defisiensi besi (iron deficiency anemia) dengan perkembangan kognitif yang buruk. Kemampuan kognitif pada remaja khususnya siswi sekolah
menengah mempengaruhi kemampuan dalam konsentrasi belajar yang secara
tidak langsung dapat berdampak pada tingkat prestasi akademik yang dihasilkan
selama sekolah. Soemantri et al. (1985) telah meneliti hubungan mengenai anemia defisiensi besi dengan kesuksesan sekolah dengan membandingkan
grup anemia (n=42) dan grup normal (n=17) dengan IQ, prestasi belajar dan
konsentrasi belajar (p<0.05).
Di Indonesia telah ada penelitian yang menunjukan peningkatan
kemampuan kognitif melalui perlakuan pada grup anemia dan tidak anemia yang
dipantau selama tiga bulan sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar, salah satunya adalah faktor kurangnya atau tidak efektifnya pengajaran
oleh guru di sekolah, faktor perhatian siswa, dan motivasi belajar siswa
(Grantham & Cornelius 2001). Murray & John (2007) menemukakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara status besi dengan performa kognitif pada
itu anemia berhubungan kuat dengan perkembangan balita dan rendahnya skor
kognitif pada test dan prestasi belajar anak. Beberapa faktor dapat dihubungkan
antara anemia dan kemampuan kognitif antara lain, kemiskinan, status ekonomi,
IQ, berat bayi lahir rendah (BBLR) dan infeksi parasit. Anemia menyebabkan
remaja wanita menjadi pasif, sering mengantuk dan tidur, tidak melakukan
apa-apa, malas dan jarang bergaul serta bermain dengan teman sebaya (Soewondo
1989).
Survey NHANES pada tahun 1999-2000 melaporkan prevalensi anemia
defisiensi besi terbesar terdapat pada remaja perempuan (9-16%) dan pada anak
balita sebesar 7%. Anemia defisiensi besi dapat berpengaruh pada fungsi
kognitif, pelilaku dan fungsi otak lainnya yang dapat terjadi pada masa
perkembangan otak (Mc Cann 2007). Anemia juga menyebabkan terjadinya
penurunan skor kemampuan mental MDI (Mental Development Index) yang signifikan pada grup anemia. Studi longitudinal mengenai anemia juga telah
membuktikan bahwa pada anak anemia memiliki kemampuan kognitif,
perkembangan motorik dan prestasi belajar yang buruk (Grantham & Cornelius
2001). Besi berperan dalam sistem syaraf pusat perifer dalam enzim yang
diperlukan untuk sintesis neurotransmitter dan berperan dalam mielinisasi. Selain itu, dampak akibat rendahnya status besi yaitu efek negatif pada perkembangan
kognitif, kemampuan berkonsentrasi yang buruk, minat belajar yang kurang dan
prestasi yang buruk di sekolah (Barasi 2009).
Batra & Archana (2005) mengemukakan dampak yang terjadi akibat
anemia pada usia sekolah melalui beberapa tes yang terdiri dari aritmatik tes,
test kurikulum sekolah dan test pembendaharaan kata (vocabulary test), dengan hasil bahwa terjadi penunan skor yang signifikan p=0.02 pada subjek anemia di
usia sekolah. Selain itu pada anak usia lebih dari dua tahun dengan anemia
biasanya memiliki kemampuan kognitif yang buruk dan prestasi sekolah yang
rendah dibandingkan anak tidak anemia. Anemia juga menyebabkan penurunan
kemampuan verbal (verbal learning) dan kemampuan mengingat memori pada remaja wanita, dimana kemampuan verbal dan memori sangatlah penting dalam
KERANGKA PEMIKIRAN
Karakteristik individu yang meliputi jenis kelamin, umur, tinggi badan dan
berat badan akan sangat mempengaruhi konsumsi pangan. Konsumsi makan
yang terbentuk dipengaruhi juga oleh pola aktivitas dan kebiasaan makan.
Pangan protein yang dikonsumsi antara lain pangan heme dan pangan
non-heme, dimana kedua jenis pangan ini memiliki kandungan penyerapan dan
bioavailabilitas zat besi yang berbeda. Masa remaja membutuhkan asupan
pangan yang tinggi dalam mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi untuk
mendukung aktivitas dan menjalankan fungsi biologis tubuh setiap harinya
dengan status gizi yang baik.
Konsumsi pangan mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi yang
mempengaruhi tingkat atau status anemia individu yang akan berdampak
terhadap produktivitas siswi yaitu prestasi belajar. Pangan yang dikonsumsi
memiliki beraneka ragam karakteristik antara lain pangan heme dan pangan
non-heme, dimana kedua jenis pangan ini memiliki kandungan zat besi yang berbeda.
Pangan yang mengandung besi heme akan lebih mudah diserap dibandingkan
pangan yang mengandung besi non-heme. Produktivitas kerja pada siswi
sekolah menengah atas dapat tercermin melalui prestasi belajar siswi pada nilai
ujian semester yang dilaksanakan sekolah. Nilai ujian semester terbagi atas dua
kategori, yaitu nilai mata pelajaran keseluruhan dan mata pelajaran kejuruan.
Masalah gizi yang terjadi pada remaja khususnya anak sekolah akan
mempengaruhi proses belajar di sekolah dan akan berdampak pada prestasi
belajar di sekolah. Status gizi berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan
status kesehatan. Siswi yang mengkonsumsi makanan yang cukup kandungan
gizinya akan memiliki status gizi yang baik. Salah satu masalah defisiensi zat gizi
yang mempengaruhi kemampuan belajar remaja di sekolah adalah anemia yang
ditandai dengan kadar hemoglobin darah yang lebih rendah dari nilai normal.
Anemia juga dapat mempengaruhi kemampuan belajar siswi dan dapat
mempengaruhi prestasi belajar. Selain itu banyak faktor lain yang mempengaruhi
prestasi belajar, antara lain faktor eksternal yaitu lingkungan belajar, sekolah,
masyarakat dan pergaulan serta faktor internal yaitu minat, bakat, intelegensi dan
Keterangan:
: Garis hubungan pengaruh
[image:32.595.113.502.91.658.2]: Variabel yang diamati : Variabel yang tidak diamati
Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan prestasi belajar
Prestasi Belajar (Nilai Rapot)
Karakteristik Contoh
• Umur
• Tinggi badan
• Berat badan
• Uang saku
• Usia menarche
• Lama & Siklus menstruasi
• Pendidikan, Pekerjaan & Pendapatan orang tua
Status Gizi
• Biokimia: Status Besi (Hb)
• Anthropometri: IMT/U
Ketersediaan Pangan Pola
Aktivitas
Konsumsi Pangan Tingkat Kecukupan
• Energi
• Protein
• Zat Besi
• Vitamin C
• Vitamin A
Bioavailabilitas Zat Besi
Enhancer Inhibitor
Faktor Eksternal: Lingkungan belajar sekolah, masyarakat dan pergaulan.
Faktor Internal (individu):
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian proyek intevensi cookies muli gizi IPB, data yang diambil adalah data baseline penelitian. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dan inferensia menggunakan desain cross sectional study,
yaitu pengumpulan data dilakukan pada satu waktu untuk menggambarkan
karakteristik contoh dan hubungan antar variabel.
Penelitian ini dilakukan di SMK Pelita Ciampea. SMK Pelita Ciampea
berada di wilayah Kabupaten Bogor dan merupakan sekolah menengah ke
bawah. Data primer wawancara siswi SMK dipilih sesuai persyaratan yang telah
ditentukan. Data sekunder didapatkan melalui dokumen, arsip dan buku pada
saat penelitian. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Mei 2012 hingga
Juni 2012.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Contoh adalah siswi kelas X jurusan butik dan X-XI keperawatan SMK
Pelita Ciampea Bogor yang berjumlah 74 orang. Cara penarikan contoh diambil
secara purposive yaitu siswi yang memiliki kriteria yang meliputi remaja putri yang sudah menstruasi, bersedia berpartisipasi dan diwawancarai sampai
selesai, telah mengisi informed consent dan tidak sedang menderita sakit. Pemilihan SMK dikarenakan populasi contoh siswa perempuan yang lebih
banyak dibandingkan dengan SMA. Kelas butik dan kelas keperawatan dipilih
berdasarkan proporsi banyaknya jumlah siswi perempuan dibandingkan laki-laki
pada jurusan lainnya.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh merupakan hasil dari konsumsi pangan
yang dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner oleh contoh setelah
mendapatkan penjelasan dari peneliti dan wawancara langsung oleh peneliti.
Karakteristik contoh meliputi umur, usia mencarche, lama menstruasi, siklus menstruasi, uang saku, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan
orang tua, berat badan dan tinggi badan didapatkan dengan cara pengisian
kuesioner, pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat badan. Konsumsi
pangan didapatkan dari pengisian kuesioner berupa recall 2x24 jam yang
dikonsumsi oleh contoh selama 24 jam. Adapun data sekunder yang
dikumpulkan adalah nilai raport pada semester ganjil tahun ajaran 2011/2012.
Status gizi diketahui melalui berat badan dan tinggi badan (antropometri).
Status besi sampel diketahui dari kadar hemoglobin (Hb) darah. Pemeriksaan
darah dilakukan menggunakan analisa Hb dengan menggunakan metode
cyanmethemoglobin oleh tim kesehatan dari Klinik Pandu Bogor. Produktivitas
siswi didapatkan melalui prestasi belajar yang terdapat pada rata-rata nilai ujian
semester.
Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder
kemudian dikumpulkan untuk diolah dan dianalisis secara statistik. Proses
pengolahan data meliputi editing, coding dan entry data. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan statistik inferensia. Data
dianalisis secara deskriptif dengan melihat distribusi frekuensi, nilai maksimum,
nilai minimum, standar deviasi, nilai tengah dan rata-rata variabel penelitian
(karakteristik contoh, status gizi, konsumsi pangan, bioavailabilitas zat besi,
status anemia dan prestasi belajar). Data status gizi dikelompokan menjadi lima
yaitu gizi sangat kurus, kurus, normal, gemuk dan obese berdasarkan indeks
massa tubuh (IMT/U). Status besi dikelompokan menjadi anemia apabila kadar
hb <12 g/dl dan tidak anemia apabila kadar hb>12 g/dl. Umur contoh dibagi
menjadi dua kategori yaitu remaja pertengahan (13-17 tahun) dan remaja akhir
(18-20 tahun). Uang saku dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu kurang (Rp.
<5.000, sedang (Rp. 5.000-10.000) dan cukup (Rp. >10.000). Besar keluarga
dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang),
keluarga sedang (5-6 orang) dan keluarga besar (≥ 7 orang). Pendidikan orang
tua dikategorikan menjadi lima yaitu tidak sekolah, sekolah dasar, sekolah
menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Pekerjaan
orang tua dibagi ke dalam tujuh kategori yaitu PNS, TNI/POLRI, petani, buruh
bangunan, wiraswasta, karyawan swasta dan lainnya.
Data konsumsi pangan diperoleh dari kuesioner recall yang diolah meliputi jumlah dan jenis pangan kemudian dikonversikan dalam kandungan
energi, protein, zat besi dan vitamin C dengan menggunakan Microsoft Excel 2000 selanjutnya konsumsi energi, protein, zat besi dan vitamin C dibandingkan dengan angka kecukupan gizi individu yang didapat berdasar umur (remaja).
Kecukupan Gizi (WNPG 2004) yang dibagi berdasarkan kelompok umur. Angka
kecukupan energi kategori 13-15 tahun yaitu 2350 kkal, usia 16-19 tahun 2200
kkal, angka kecukupan protein usia 13-15 tahun yaitu 57 g dan usia 16-19 tahun
55 g, untuk vitamin A usia 13-15 tahun dan 16-19 tahun sebesar 600 RE, angka
kecukupan vitamin C usia 13-15 tahun dan 16-19 tahun sebesar 75 mg. Angka
kecukupan Fe usia 13-15 tahun sebesar 19 mg dan usia 16-19 tahun sebesar 26
mg.
Tingkat konsumsi energi, protein diukur dalam tiga kategori yaitu defisit
tingkat berat (<70% AKG), defisit tingkat sedang (70-79% AKG), defisit tingkat
ringan (80-89 % AKG), normal (90-119% AKG), dan lebih (≥120% AKG).
Konsumsi zat besi dan vitamin C dig