• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat"

Copied!
277
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH

DI PROVINSI PAPUA BARAT

MICHAEL ALBERT BARANSANO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini

Bogor, Maret 2011

(3)

MICHAEL ALBERT BARANSANO. Analysis of Regional Development Disparity in the Province of West Papua. Under direction of AKHMAD FAUZI and SLAMET SUTOMO.

Although economic growth has increased over 2005-2008 period, macro economics condition showed an imbalance among the regencies/cities. Based on analysis using Entropi Index, Williamson Index, Theil Index, Location Quontient, Shift Share Analysis and Panel Data Regression, it showed that horizontal gap exist caused by variation in GDRP per capita, population, funding balance allocation and human development index. In general, agriculture sector has contributed greatly to economic growth, although it has experienced a transition to the industrial and service sectors. The results also show sectors of mining and quarrying, manufacturing industry, transport and communication and finance sector have uneven distribution. Local government should be looking forward how to build new paradigm based on leading sectors as prime mover to reduce inequality.

Key Word : Regional Disparity, Development, West Papua Province.

(4)

MICHAEL ALBERT BARANSANO. Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah

di Provinsi Papua Barat. Dibawah bimbingan AKHMAD FAUZI dan SLAMET SUTOMO

Gambaran makro perekonomian di Provinsi Papua Barat menunjukan bahwa terdapat perbedaan kontribusi yang besar antara PDRB Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong dan Kota Sorong dengan Kabupaten lainnya yang memberikan kontribusi paling rendah terhadap PDRB Provinsi Papua Barat. Selain itu perbedaan pembangunan (disparitas) yang terjadi pada kabupaten dan kota adalah terpusatnya kegiatan perekonomian pada daerah kabupaten induk dibandingkan dengan daerah pemekaran, seperti pertanian, jasa, perdagangan, perhotelan dan pendidikan terfokus di Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari yang juga menyerap sumberdaya dari daerah pemekaran baru (hinterland). Hal ini menyebabkan masyarakatnya menikmati pendapatan perkapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan yang lebih rendah serta kualitas SDM yang lebih baik menyebabkan Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) cenderung meningkat. Hal yang dapat dilakukan agar tercapai konvergensi (convergence) pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat pada masa mendatang adalah bagaimana melakukan pengembangan terhadap potensi dari sektor-sektor unggulan (leading sectors) yang memberikan kontribusi terhadap PDRB masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah; tingkat disparitas pembangunan wilayah yang dianalisis dari disparitas proporsional pada PDRB perkapita, jumlah penduduk, alokasi dana perimbangan dan indeks pembangunan manusia; mengidentifikasi sektor-sektor unggulan; dan merumuskan strategi untuk mengurangi disparitas pembangunan wilayah secara horisontal.

(5)

Sorong Selatan 5 sektor unggulan, Kaimana 3 sektor unggulan, Teluk Bintuni, Kabupaten Sorong dan Raja Ampat 2 sektor unggulan dan hanya Kabupaten Wondama yang memiliki 1 sektor unggulan. Analisis juga menggambarkan bahwa sektor perekonomian seperti sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor angkutan dan komunikasi dan sektor keuangan tidak menyebar merata di Provinsi Papua Barat melainkan lebih terkonsentrasi pada beberapa wilayah dibandingkan sektor lainnya.

Hasil analisis differential shift menggambarkan bahwa keseluruhan sektor perekonomian (9 sektor) di Wilayah Pengembangan I memiliki kemampuan kompetitif di Provinsi Papua Barat dan sektor yang memiliki tingkat kompetitif paling tinggi secara berurutan pada WP I adalah sektor pertambangan dan penggalian sektor bangunan, sektor jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor perdagangan hotel dan restoran. Wilayah Pengembangan II, sektor yang memiliki kemampuan kompetitif di Provinsi Papua Barat adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa dan sektor industri. Wilayah Pengembangan III sektor yang memiliki kemampuan kompetitif adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor listrik gas dan air bersih serta sektor bangunan. Secara keseluruhan strategi pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat diarahkan kepada pengembangan paradigma baru pembangunan yang berbasis pada sektor unggulan (sektor basis maupun non-basis) dan berpotensi menjadi prime mover perekonomian.

Sektor unggulan untuk tiap wilayah kabupaten/kota dapat berbeda tetapi hal itu berdampak pada keterkaitan regional secara horisontal sebagai basis pengembangan sektoral. Untuk terus meningkatkan perkembangan wilayah dan mengurangi disparitas pembangunan di Provinsi Papua Barat kedepan dilakukan dengan mengedepankan keterkaitan wilayah antara lain dengan mendorong pemerataan investasi pada semua sektor perekonomian dan semua wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah bisa berkembang. Strategi pembangunan wilayah dapat diarahkan kepada pembangunan regional berbasis pada pemanfaatan sumberdaya wilayah/kawasan baik sektor maupun sub sektor berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif di masing-masing wilayah. Selain itu fungsi dan peranan kelembagaan (institution) sebagai aturan main (rule of game) dan organisasi, berperan penting dalam tata kelola alokasi sumberdaya secara efisien, merata dan berkelanjutan yang meliputi akuntabilitas, transparansi dan partisipasi masyarakat. Bertitik tolak dari kondisi tersebut, maka paradigma baru pendekatan pembangunan wilayah dalam mengurangi disparitas adalah upaya memperkuat kemampuan masyarakat lokal (local institution) dengan menumbuhkan inisiatif dan prakarsa sesuai dengan local knowledge yang dimiliki oleh masyarakat.

(6)

© Hak cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

DI PROVINSI PAPUA BARAT

MICHAEL ALBERT BARANSANO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat

Nama : Michael Albert Baransano

NRP : H152080011

Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Ketua Anggota

Dr. Slamet Sutomo, SE., MS

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu-Ilmu Perencanaan

Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Dr. Ir. Dahrul Syah

(10)

kepada kedua orang tua, Bapak Petrus Baransano, S.Sos dan Ibu Nelly Suruan,

Bapak mertua A. Asyerem dan Ibu Mertua J. Mambobo serta istriku Fenny S.J. Asyerem, SP dan anak-anakku terkasih Jaholyn, Efraim dan Isaiah.

Kiranya karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan “ pro humanitate scientia”.

(11)

Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 30 Maret 1977 dari pasangan Bapak P. Baransano dan Ibu N. Suruan, merupakan anak ke dua dari lima bersaudara.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 10

1.3.Tujuan ... 12

1.4.Manfaat Penelitian ... 13

1.5.Ruang Lingkup Penelitian ... 13

II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Konsep Pengembangan Wilayah ... 14

2.2. Sektor-Sektor Unggulan ... 16

2.3. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah ... 19

2.4. Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya ... 28

2.5. Hipotesis ... 32

III METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 33

3.3. Metode Analisis ... 34

3.3.1. Indeks Entropi ... 34

3.3.2. Location Quontien (LQ) ... 35

3.3.3. Shift Share Analysis ... 36

3.3.4. Indeks Williamson ... 38

3.3.5. Indeks Theil ... 39

3.3.6. Analisis Regresi Berganda ... 39

3.3.7. Alur Pikir Analisis Penelitian ... 43

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 45

4.1. Kondisi Geografi dan Topografi ... 45

4.2. Penduduk dan Tenaga Kerja ... 47

4.3. Ekonomi Regional ... 50

4.3.1. PDRB dan Perkembangannya ... 51

4.3.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Papua Barat ... 51

4.3.3. Struktur Perekonomian Papua Barat ... 51

V HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 53

5.1. Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Papua Barat ... 53

(13)

Pembangunan Wilayah di Provinsi Papua Barat ... 61

5.2.2. Hasil Analisis Ekonometrika Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Disparitas Pembangunan ... 73

5.3. Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Papua Barat .... 82

5.4. Rekomendasi Kebijakan dalam Mengurangi Disparitas Pembangunan Wilayah ... 89

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

6.1. Kesimpulan ... 93

6.2. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(14)

Halaman

1. PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota serta kontribusinya terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2008 ... 6 2. Luas lahan yang sesuai, telah digunakan dan tersedia untuk

pengembangan (perluasan) pertanian di Provinsi Papua Barat……. 10 3. Tujuan penelitian, metode analisis, variabel, sumber data dan

output penelitian ... 34 4. Penduduk Papua Barat menurut jenis kelamin dan sex rasio per

kabupaten/kota ... 47 5. Penduduk Papua Barat menurut rumah tangga dan tingkat

kepadatan per kabupaten/kota ... 48 6. Persentase penduduk 10 tahun keatas menurut status perkawinan

per kabupaten/kota ... 49 7. Penduduk 15 tahun keatas menurut jenis kelamin dan jenis kegiatan

utama ... 50 8. Indeks Entropi sektor-sektor perekonomian di Provinsi Papua Barat

tahun 2005-2008 ... 55 9. Indeks Theil Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 59 10.Rata-rata perkembangan nilai pembentuk IPM berdasarkan

kabupten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 66 11.Ringkasan Hasil Output Eviews ... 74 12.Rata-rata nilai analisis location quotient per sektor di Provinsi

Papua Barat tahun 2005-2006 ... 83 13.Sektor-sektor perekonomian unggulan per kabupaten/kota di

Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 84 14.Nilai analisis shift share di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 . 85 15.Identifikasi sektor unggulan (komparatif dan kompetitif)

(15)

Halaman

1. Tingkat pembangunan ekonomi Provinsi Papua Barat dan nasional

tahun 2004-2009 ... 4

2. Peta komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat ... 11

3. Kurva disparitas pembangunan antar wilayah ... 20

4. Kerangka pemikiran ... 31

5. Peta lokasi penelitian ... 33

6. Alur pikir analisis penelitian disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat. ... 44

7. Luas wilayah Provinsi Papua Barat menurut kabupaten/kota ... 46

8. Distribusi persentase PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha ... 52

9. Trend nilai Entropi wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 54

10. Trend nilai Entropi wilayah di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 55

11. Trend nilai entropi berdasarkan wilayah pengembangan di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 56

12. Transisi sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian ke sektor industri dan jasa di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 57

13. Perkembangan nilai Indeks Williamson di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 58

14. Perkembangan nilai Indeks Theil di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 60

15. PDRB per kapita dan laju pertumbuhannya di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 62

16. Rata-rata perkembangan nilai IPM berdasarkan wilayah pengembangan di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 64

17. Rata-Rata perkembangan nilai IPM berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 65

18. Perkembangan jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 69

19. Dana alokasi umum kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 70

(16)

Barat tahun 2005-2008 ... 72 22. Tingkat kompetitif sektor-sektor perekonomian di Provinsi Papua

(17)

Halaman

1. Hasil analisis Indeks Williamson berdasarkan PDRB per kapitas

tiap kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 100 2. Hasil Analisis Indeks Entropi Berdasarkan Sektor Perekonomian

Tiap Kabupaten/Kota di provinsi Papua Barat Tahun 2005-2008 ... 102 3. Hasil Analisis Indeks Theil Berdasarkan PDRB per Kapita

Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat Tahun 2005-2008 ... 114 4. Hasil Analisis LQ Kabupaten/Kota per Sektor di Provinsi Papua

Barat Tahun 2005-2008 ... 116 5. Hasil Analisis Shift Share Kabupaten/Kota per Sektor di Provinsi

Papua Barat Pada Titik Tahun 2005 dan 2008 ... 118 6. Penetapan Dana Alokasi Khusus untuk Kabupaten/Kota di

Provinsi Papua Barat ... 123 7. Rincian Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota di Provinsi

Papua Barat ... 126 8. Penetapan Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam Bagi

Kabupaten/Kota Di Provinsi Papua Barat ... 127 9. Besaran NIlai Indeks Pembangunan Manusia per Kabupaten/Kota di

Provinsi Papua Barat tahun 2005-2008 ... 128 10.Hasil Perhitungan Indeks Entropi Wilayah kabupaten/kota

berdasarkan sektor Perekonomian di Provinsi Papua Barat Tahun

(18)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan pembangunan nasional dan kebijakan pembangunan daerah telah disusun dalam koridor perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Kebijakan perencanaan jangka panjang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, menyatakan bahwa arah kebijakan pembangunan daerah dalam upaya mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan diprioritaskan pada: (1) pengembangan wilayah yang berbasis potensi unggulan daerah yang berkelanjutan dan memperhatikan daya dukung lingkungan; (2) percepatan pembangunan melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi seperti Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri untuk mengembangkan daerah tertinggal di sekitarnya dengan memperhatikan keterkaitan mata rantai produksi dan distribusi; (3) keberpihakan prioritas pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan pemerintah di daerah tertinggal dan berpotensi cepat tumbuh secara ekonomi; (4) memperhatikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga; (5) peningkatan kapasitas kelembagaan, keuangan dan legislatif pemangku kepentingan pembangunan; serta (6) penanggulangan kemiskinan yang memperhatikan hak-hak dasar masyarakat dengan prinsip kesetaraan dan non diskriminasi.

Saat ini kita telah masuk dalam fase orientasi pembangunan jangka menengah tahun 2010-2014, yang memprioritaskan pemantapan penataan kembali Indonesia disegala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Esensi penguatan daya saing perekonomian dalam pembangunan daerah yang berbasis pengembangan wilayah, diarahkan pada pengembangan strategi pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh serta upaya peningkatan investasi daerah tertinggal. Upaya-upaya pengembangan daerah tertinggal telah diinisiasi melalui pilar-pilar strategi dasar

(19)

(1) meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pengembangan ekonomi lokal, pemberdayaan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana serta peningkatan kapasitas kelembagaan; (2) Mengoptimalkan pemanfaatan potensi wilayah; (3) Memperkuat integrasi ekonomi antara daerah tertinggal dan daerah maju; serta (4) Meningkatkan penanganan daerah khusus yang memiliki karakteristik “keterisolasian”.

Dalam skala nasional, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup besar dan kompleks. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan-kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah disatu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, dimana faktor-faktor penyebab

terjadinya disparitas antar wilayah menurut Rustiadi et. al. (2009) adalah: (1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi;

(6) sosial budaya dan (7) ekonomi.

(20)

didesentralisasikan kepada daerah-daerah kecuali yang menyangkut hubungan luar negeri serta pertahanan dan keamanan. Daerah menjadi memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya alam (natural capital), sumberdaya buatan (man made capital), sumberdaya manusia (human capital) maupun sumberdaya sosial (social capital). Kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab tesebut diberikan kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keberagaman daerah.

Pembangunan di tanah Papua selayaknya dikembangkan secara lebih intensif terutama dengan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal dan sektor perekonomian (sektor basis dan non-basis) yang berpotensi memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pembangunan di tanah Papua telah secara intensif didorong melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Upaya-upaya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan pembangunan tanah Papua seperti Sumber daya alam Papua dan Papua Barat yang melimpah dan hampir merata di semua wilayah, kawasan konservasi yang luas dan merata, tingkat kemajuan antar wilayah yang timpang sehingga masih banyak terdapat daerah-daerah yang tingkat ketertinggalannya masih tinggi, kemiskinan yang relatif merata di seluruh wilayah, kualitas sumber daya manusia yang rendah karena keterbatasan akses terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan, prasarana dan sarana yang terbatas mengakibatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dasar dari pemerintah daerah tidak optimal, serta kondisi sistem usahatani lokal yang belum mampu mengadopsi teknologi pertanian modern sehingga masih rentan terhadap perubahan iklim dan lingkungan biofisik.

(21)

Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Berdirinya Provinsi Papua Barat juga mendapat dukungan dari Surat Keputusan DPRD Provinsi Papua Nomor 10 Tahun 1999 tentang pemekaran Provinsi Papua menjadi tiga provinsi. Provinsi Papua Barat, memiliki luas wilayah sebesar 143.185 km2 dari luas total 8 (delapan) kabupaten yakni Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni dan 1 (satu) kota madya yaitu Kota Madya Sorong. Sebagian besar aksesibilitas antar pusat-pusat pertumbuhan dirasakan sangat kurang akibat terbatasnya jaringan jalan, belum adanya jaringan sentra produksi, terbatasnya sarana dan prasarana kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain, khususnya di pusat-pusat pertumbuhan kawasan.

Sumber : daerah-tahun-2009-provinsi-papua-barat2

2

Seminar Nasional Hasil Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Tahun 2009 Provinsi Papua Barat, Pelaksana Universitas Negeri Papua. Hotel Santika Premiere 18-20 Desember 2009 [februari 2011]

(22)

Pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat jika dilihat secara nasional selama periode 2004-2009 masih berada di bawah tingkat pembangunan ekonomi nasional dan menunjukan trend yang sangat fluktuatif dibanding dengan trend pembangunan ekonomi nasional. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa fluktuasi indikator capaian outcomes Papua Barat yang menurun drastis pada tahun 2006 hingga berada di bawah rata-rata nasional, kemudian meningkat melampaui rata-rata nasional pada tahun 2007 dan selanjutnya turun secara drastis di bawah rata-rata nasional dan mencapai minimum pada tahun 2009 menunjukan bahwa kinerja pemerintah Provinsi Papua Barat dalam pembangunan ekonomi relatif belum relevan dan efektif dalam mengurangi disparitas pembangunan wilayah.

Tabel 1 di bawah memperlihatkan bahwa terjadi disparitas dalam perkembangan ekonomi pada Kabupaten Manokwari, Kabupaten Sorong dan Kota Sorong dibanding dengan kabupaten lainnya. Secara spasial ketiga wilayah tersebut memiliki aksesibilitas cukup tinggi karena berada pada jalur transportasi utama baik laut dan udara yang merupakan pintu masuk dan keluar ke Provinsi Papua Barat.

Tabel 1 PDRB, luas wilayah dan jumlah penduduk per kabupaten/kota serta kontribusinya terhadap Provinsi Papua Barat tahun 2007

Kabupaten/ Kota

Luas Wilayah Jumlah Penduduk PDRB atas dasar harga berlaku Jumlah 143.185,1 100,00 722.981 100,00 10.285.325,67 100,0

(23)

Kondisi lainnya yang menunjukan perbedaan pembangunan (disparitas) pada kabupaten dan kota adalah terpusatnya kegiatan perekonomian pada daerah kabupaten induk dibandingkan dengan daerah pemekaran, seperti pertanian, jasa, perdagangan, perhotelan dan pendidikan terfokus di Kota Sorong, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari yang juga menyerap sumberdaya dari daerah pemekaran baru (hinterland). Hal ini menyebabkan masyarakatnya menikmati pendapatan per kapita yang lebih tinggi, angka kemiskinan yang lebih rendah serta kualitas SDM yang lebih baik menyebabkan Indeks Pembangunan Manusianya (IPM) cenderung meningkat.

Secara umum nilai IPM Papua Barat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun namun ada beberapa daerah yang mengalami peningkatan pesat dan ada yang lambat baik pada kabupaten induk maupun kabupaten pemekaran. Kondisi ini dipengaruhi oleh variasi komponen tingkat kesehatan, tingkat pendidikan dan tingkat daya beli masyarakat pada masing-masing wilayah. Peningkatan Tingkat kesehatan yang dihitung dari Angka Harapan Hidup di Papua Barat sebesar 67,90 tahun pada 2008. Artinya rata-rata masyarakat Papua Barat usia hidupnya 67 tahun. Kota Sorong memiliki Angka Harapan hidup tertinggi sebesar 71,12 tahun dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat sebesar 65,43 tahun. Bila dibandingkan dengan kabupaten pemekaran lainnya, Kabupaten Teluk Bintuni memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) lebih tinggi (67,55 tahun) dari kabupaten induk Manokwari (67,38 tahun).

(24)

dengan rata-rata sebesar Rp 593, 13 ribu dengan daya beli tertinggi pada Kota Sorong dan terendah pada Kabupaten Raja Ampat.

Data laporan Tahunan Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat Tahun 2008 menyebutkan bahwa berdasarkan kesamaan pencapaian nilai IPM, posisi relatif kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) kelompok. Kelompok IPM bawah yaitu Kabupaten Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Manokwari, Raja Ampat dan Sorong Selatan, capaian rata-rata IPM pada tahun 2006-2008 adalah 65 ke bawah. Kelompok IPM menengah terdiri dari Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana dan Kabupaten Sorong dengan capaian rata-rata IPM 2006-2008 antara 66-75. Kelompok IPM atas adalah Kota Sorong dengan rata-rata capaian IPM 2006-2008 lebih dari 75.

Ketimpangan pada jumlah penduduk, PDRB dan PDRB per kapita juga menggambarkan ketimpangan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Kabupaten Sorong misalnya, pada tahun 2008 memiliki nilai PDRB (atas dasar harga berlaku) tertinggi di Papua Barat sebesar Rp 4,28 triliun disusul Kota sorong sebesar Rp 2,15 triliun dan Kabupaten Manokwari sebesar Rp 2,03 triliun. Kabupaten Wondama merupakan kabupaten pemekaran dengan nilai PDRB terendah sebesar Rp 0,27 triliun. Dari segi nilai PDRB per kapita, nilai tertinggi berada pada Kabupaten Teluk Bintuni (Rp 16 juta), Kabupaten Fak-Fak (Rp 15, 57 juta), Kabupaten Kaimana (Rp 14,31 juta) dan Kota Sorong (Rp 12,7 juta). Hal ini disebabkan karena konsentrasi penduduk lebih banyak berada di kabupaten induk sehingga meskipun memiliki pendapatan yang relatif tinggi, PDRB per kapitanya masih rendah.

Dana perimbangan pembangunan yang bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) memberikan kontribusi cukup besar bagi pendanaan pembangunan di kabupaten dan kota maupun di Provinsi Papua Barat. Daerah yang mempunyai kemampuan fiskal rendah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang relatif besar, sebaliknya daerah

yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi akan mendapat DAU dalam jumlah yang

kecil, dimana pemberian DAU tahun berjalan selalu lebih besar dari tahun

sebelumnya (DAUt > DAUt-1). Pemberian DAU ini diharapkan benar-benar dapat

(25)

yang relatif sama dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Daerah diharapkan

mampu mengalokasikan sumber dana ini pada sektor-sektor produktif yang mampu

mendorong adanya peningkatan investasi di daerah dalam meningkatkan

pembangunan ekonomi wilayah dan juga pada sektor yang berdampak pada

peningkatan pelayanan publik sehingga kemandirian daerah menjadi semakin tinggi

seiring dengan meningkatnya kapasitas fiskal daerah, dan pada gilirannya tanggungan

pemerintah untuk memberikan DAU bisa lebih dikurangi.3 Dana bagi hasil daerah meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen

PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah

yang merupakan indikator fiscal capacity bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk

membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan, tanpa tergantung

bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. DAU dan DAK merupakan alokasi

pembiayaan daerah yang termuat dalam APBN yang dimaksudkan untuk membantu

pembiayaan pemerintahan daerah baik secara umum, maupun secara khusus. Dimana

DAU memiliki tujuan utama untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah

untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi,

sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk membantu

pembiayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Selama

periode tahun 2005-2008 alokasi DAU Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-Fak,

Kabupaten Kaimana, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan lebih besar

dari alokasi pemberian DAU Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Wondama dan Kota

Sorong. Sementara untuk alokasi DAK selama periode tersebut lebih besar alokasinya

bagi Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Manokwari,

Kabupaten Wondama dan Kabupaten Fak-Fak.4

Percepatan pembangunan Provinsi Papua Barat merupakan kebijakan utama Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, sehingga pada tahun 2015 diharapkan Provinsi Papua Barat akan bisa mengejar ketertinggalan dalam pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) dari Provinsi lain di Indonesia. Dalam konteks ini, dokumen rencana pembangunan jangka

3

4

(26)

menengah Papua Barat 2006-2011 serta kebijakan percepatan pembangunan Pemerintah Pusat melalui Inpres 5/2007 merupakan arah utama dari proses percepatan dan harmonisasi program pembangunan di Provinsi Papua Barat.

(27)

perekonomian rakyat) serta investasi pengembangan wilayah yang merupakan prioritas pembangunan utama Provinsi Papua Barat.5

Potensi Sumber Daya Alam, Walaupun memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, namum perlu disadari bahwa kondisi fisik dasar wilayah yang ditandai dengan geografis dan topografis yang variatif, dimana 15% adalah wilayah kepulauan, 65% adalah wilayah dataran yang bergelombang dan 20% adalah wilayah yang datar dan sungai. Di sisi lain kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang rendah merupakan issue strategis daerah yang menjadi tuntutan bagi kebutuhan pembangunan di wilayah Papua Barat6

Kab/Kota

.

1.2. Perumusan Masalah

Sebenarnya beberapa daerah kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat memiliki potensi sumberdaya seperti Sumber Daya Laut, serta potensi mineral gas bumi, pertambangan dan keragaman budaya yang dimiliki daerah ini merupakan keunggulan komperatif dan kompetitif untuk akselerasi pembangunan Papua Barat ke depan.yang dapat diandalkan dalam memacu pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan mengurangi disparitas pembangunan yang terjadi.

Tabel 2 Luas lahan yang sesuai, telah digunakan dan tersedia untuk pengembangan (perluasan) pertanian di Provinsi Papua Barat

Luas Lahan

Sumber : BPS Papua Barat, 2008 (data diolah)

5

Arah Kebijakan Harmonisasi Papua Barat [februari 2011]

6

(28)

Data pada Tabel 2 di atas menunjukan bahwa ternyata potensi ketersediaan luasan lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian di Provinsi Papua Barat sangat luas sehingga dapat digunakan untuk memacu produksi komoditas-komoditas unggulan (Gambar 2) masing-masing kabupaten dan kota melalui extensifikasi pertanian. Namun realitasnya, masih sangat kecil total luasan lahan yang telah digunakan untuk pengembangan pertanian pada tiap kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat. Selain itu potensi perikanan yang ada di Kabupaten Kaimana, Kabupaten Fak-fak, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Wondama tidak ditunjang dengan unit penangkapan yang memadai, sehingga produksi perikanan tangkapnya masih rendah bila dibandingkan dengan Kabupaten Manokwari (BPS Papua Barat, 2008).

Sumber : Supriadi, 2008

Gambar 2 Peta komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat.

(29)

Mengacu pada Hipotesa Neo-Klasik (Sjafrizal, 2008), disparitas pembangunan regional di Provinsi Papua Barat cenderung melebar (divergence). Hal ini diakibatkan oleh mobilitas faktor produksi yang kurang lancar pada permulaan proses pembangunan pada beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat yang baru memekarkan diri (Kabupaten Kaimana, Kabupaten Wondama, Kabupaten Bintuni, Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Sorong Selatan). Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin membaiknya mobilitas faktor produksi maka disparitas pembangunan regional di Provinsi Papua Barat akan berkurang (convergence).

Secara khusus konsep yang dapat ditawarkan agar tercapai konvergensi (convergence) pembangunan ekonomi di Provinsi Papua Barat pada masa mendatang adalah bagaimana melakukan pengembangan terhadap potensi dari sektor-sektor unggulan (leading sectors) yang memberikan kontribusi terhadap PDRB masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi Papua Barat. Oleh karena itu diperlukan analisis mengenai disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Dari uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas maka muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Papua Barat

2. Berapa besar tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat.

3. Apa yang menjadi sektor unggulan dari tiap wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat

4. Bagaimana Strategi Pengembangan wilayah di Provinsi Papua Barat

1.3. Tujuan Penelitian

(30)

2. Mengetahui tingkat disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan di Provinsi Papua Barat.

3. Mengidentifikasi sektor unggulan pada tiap wilayah di Provinsi Papua Barat 4. Merumuskan strategi pengembangan wilayah dalam mengurangi disparitas

pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat ke depan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai rumusan kebijakan perencanaan pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat dan masing-masing kabupaten/kota, terutama dalam mengurangi disparitas pembangunan. 2. Sebagai rujukan informasi bagi kegiatan penelitian lanjutan mengenai

disparitas pembangunan wilayah baik dalam skala nasional, regional dan lokal.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(31)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengembangan Wilayah

Di Indonesia, berbagai konsep nomenklatur kewilayahan seperti “wilayah, kawasan, daerah, regional, area, ruang dan istilah-istilah sejenis, banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan yang berbeda-beda. Ketidak konsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingungkan. Secara teoritik, tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan dan daerah. Semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region).

Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berbicara tentang program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembagan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan.

Sementara itu pengembangan wilayah seharusnya mempunyai cakupan yang lebih luas yaitu menelah keterkaitan antar kawasan. Namun perspektif tiap orang tentang keterkaitan suatu wilayah sangat tergantung pada cakupan wilayah perencanaan dan pengelolaannya. Wilayah perencanaan dan pengelolaan bisa mencakup wilayah administratif politis (pusat atau daerah) maupun wilayah perencanaan fungsional.

(32)

pelaksanaan, monitoring, pengendalian maupun evaluasi. Dengan demikian batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah), sehingga istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah.

Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu perumusan tengtang kebijakan yang akan dilaksanakan perlu untuk mengetahui tipe/jenis kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah. Menurut Anwar (2005) dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah yaitu:

1. Wilayah maju

2. Wilayah sedang berkembang 3. Wilayah belum berkembang, dan 4. Wilayah tidak berkembang

(33)

yang belum dikelola atau dimanfaatkan, tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah, pendapatan dan pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (a) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi, sehingga secara alamiah sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan dan (b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah lain.

Alkadri et.al. (2001b

Di Indonesia pembangunan ekonomi secara umum dibagi kedalam sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tesebut secara bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak cukup, maka perlu ada penetapan prioritas pembangunan. Biasanya sektor yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan yang diharapkan dapat mendorong (push factor) sektor-sektor lain untuk berkembang menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah (Rustiadi et. al 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Setiawan

) mengatakan bahwa pengembangan wilayah pada umumnya mencakup berbagai dimensi pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap awal, kegiatan pengembangan wilayah biasanya ditekankan pada pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun begitu, tahapan ini bukan merupakanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap wilayah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan wilayah lain. Potensi sumberdaya alam, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur dan lain-lain sangat berpengaruh pada penerapan konsep pengembangan wilayah yang digunakan.

2.2. Sektor-Sektor Unggulan

7

7

I Dewa Made Darma Setiawan: Peranan Sektor Unggulan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat; Pendekatan Input-Output Multiregional. ejournal.unud.ac.id/.../(5)%20soca-dharma%20setiawan-interehional%20io(1).pdf – [April 2010]

(34)

interregional) masih sangat kecil pengaruhnya dibandingkan dengan dampak intraregional. Sejalan dengan penentuan sektor unggulan, James dan Movshuk (2003) mengatakan bahwa keunggulan komparatif suatu wilayah dapat pula dipengaruhi oleh kedekatan ekonomi wilayah-wilayah tersebut.

Secara garis besar, menurut Rustiadi et. al. (2009); Widodo (2006); Tarigan (2005), sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan,

yaitu sektor basis (leading sector) dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang.

Rustiadi et. al. (2009), lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan terhadap sektor basis (leading sector) didasarkan pada dua kerangka konseptual pembangunan wilayah yang dipergunakan secara luas. Pertama, konsep basis ekonomi; konsep ini terutama dipengaruhi oleh kepemilikan masa depan terhadap pembangunan daerah (dalam konteks nasional adalah merkantilisme). Teori basis ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor lokal hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat. Tetapi peningkatan pendapatan ini hanya terjadi bila sektor basis (ekspor) meningkat. Oleh karena itu, menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi.

Kedua, konsep beranggapan bahwa perbedaan tingkat imbalan (rate of return) adalah lebih dibawakan oleh perbedaan dalam lingkungan dari

(35)

studi empirik dengan menggunakan konsep kedua ini. Hal ini disebabkan karena kelangkaan data (terutama mengenai stok barang modal).

Dengan demikian, penentuan sektor unggulan dapat didasarkan pada kriteria sebagai berikut:

1. Share terhadap PDRB : suatu sektor dikatakan unggul jika memberikan kontribusi minimal 10%, sedangkan sub sektor minimal 2,5%

2. Nilai LQ : sektor/sub sektor dikatakan unggul jika mempunyai nilai LQ>1 3. Pertumbuhan PDRB : suatu sektor dikatakan unggul jika mengalami rata-rata

pertumbuhan minimal 5% per tahun dan terus mengalami pertumbuhan positif setidaknya pada tiga (3) tahun, atau menglami kenaikan pada dua (2) tahun terakhir secara berturut-turut.

4. Selisih antara pertumbuhan share sektor/sub sektor terhadap PDRB wilayah kajian dan wilayah yang lebih besar bernilai positif.

(36)

wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah : (1) kondisi geografis relatif homogen; (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan; (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama.

Shift Share Analysis (SSA) merupakan salah satu dari sekian bayak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil SSA juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas. SSA mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi kedalam tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas atau sektor total wilayah dan sebab dari dinamika wilayah secara umum.

Hasil SSA juga mampu menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Gambaran kinerja tersebut dapat dijelaskan dari tiga (3) komponen hasil analisis, yaitu : (a) komponen laju pertumbuhan total (regional share) yang merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukan dinamika total wilayah; (b) komponen pergeseran proposional (proportional shift) yang merupakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah; (c) komponen pergeseran diferensial (differential shift) yang menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidakunggulan suatu sektor/aktifitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di subwilayah lain.

2.3. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah

(37)

pertumbuhan Neo-klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi nasional suatu negara dengan disparitas pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo-klasik (Sjafrizal, 2008).

Menurut Hipotesa Neo-klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, disparitas pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai disparitas tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur disparitas pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain, kurva

disparitas pembangunan antar wilayah berbentuk huruf “U terbalik” (Reverse U-Shape Curve).

Sumber : Todaro, 2009

Gambar 3 Kurva disparitas pembangunan antar wilayah.

Disparitas pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat

wilayah maju (Developed Region) dan wilayah terbelakang (Underdeveloped Region). Terjadinya disparitas antar wilayah membawa

T

ingka

t

D

is

pa

ri

ta

s

(38)

implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena aspek disparitas pembangunan antar wilayah mempunyai implikasi terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Sjafrizal, 2008). Menurut Rouch et. al. (2001) disparitas yang menyebabkan kemiskinan juga terjadi karena adanya gap antara sistim yang berlaku di suatu wilayah dari services provider dengan masyarakatnya. Selain itu menurut Sodik dan Nuryadin (2005) disparitas yang disebabkan karena country risk tidak identik dengan regional risk, karena resiko lokal tidak dapat dipandang sama dengan resiko makro-nasional. Hal ini terbukti ketika pertumbuhan ekonomi nasional mengalami kontraksi sebesar -13% pada tahun 1998, terbukti perekonomian Irian Jaya (Papua) tumbuh sebesar 12,7% dan Batam dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5%.

Ukuran disparitas pembangunan wilayah yang mula-mula ditentukan adalah index williamson yang digunakan dalam studinya pada tahun 1966. Secara statistik, index ini sebenarnya adalah coefficien of variation yang lazim digunakan untuk mengukur perbedaan. Istilah williamson index muncul sebagai penghargaan terhadap Jeffrey G. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur disparitas pembangunan antar wilayah. Walaupun index ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan untuk mengukur disparitas pembangunan antar wilayah (Sjafrizal, 2008).

Berbeda dengan gini ratio yang lazim digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan, Williamson Index menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebagai data dasar, karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok. Williamson mengembangkan indeks disparitas wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi et. al. 2009) :

... (1) Dimana :

(39)

Yi = PDRB per kapita wilayah kabupaten ke-i = Rata-rata PDRB per kapita

pi = fi/n, dimana fi jumlah penduduk kabupaten ke-i dan n jumlah total penduduk provinsi.

Pengukuran didasarkan pada variasi hasil-hasil pembangunan ekonomi antar wilayah yang berupa besaran PDRB. Kriteria pengukuran adalah semakin besar nilai indeks yang menunjukan variasi produksi ekonomi antar wilayah sekamin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-ratanya. Sebaliknya semakin kecil nilai indeks menunjukan tingkat pemerataan wilayah yang baik. Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika semua Yi = maka akan dihasilkan nilai indeks = 0, yang berarti tidak adanya disparitas ekonomi antar daerah. Indeks yang lebih besar dari nol menunjukan adanya disparitas ekonomi antar wilyah.

Indeks lainnya yang juga lazim digunakan dalam mengukur disparitas pembangunan antar wilayah adalah Theil Index (Sjafrizal, 2008). Sedangkan data yang diperlukan untuk mengukur indeks ini adalah sama dengan yang diperlukan untuk mengukur Williamson Index yaitu PDRB per kapita untuk setiap wilayah dan jumlah penduduk. Demikian pula halnya dengan penafsirannya yang juga sama yaitu bila indeks mendekati 1 artinya sangat timpang dan sebaliknya bila indeks mendekati 0 yang berarti sangat merata. Formulasi Theil Index (Td) adalah sebagai berikut :

... (2)

Dimana :

T = Total disparitas (Indeks Theil) yi = PDRB kabupaten i/PDRB Provinsi xi

Namun demikian, penggunaan Theil Index sebagai ukuran disparitas wilayah memiliki keunggulan tertentu. Pertama, indeks ini dapat menghitung disparitas dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan

(40)

analisa menjadi lebih luas. Kedua, dengan menggunakan indeks ini dapat pula dihitung kontribusi (dalam presentase) masing-masing daerah terhadap disparitas pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup penting.

Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pembangunan wilayah dijelaskan oleh Sjafrizal (2008) sebagai berikut :

1. Perbedaan Kandungan Sumberdaya Alam

Penyebab utama yang mendorong timbulnya disparitas pembangunan antar wilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Dengan demikian perbedaan kandungan sumberdaya alam dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah yang lebih tinggi.

2. Perbedaan Kondisi Demografis

(41)

selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah.

3. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang Dan Jasa

Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa dapat pula mendorong terjadinya peningkatan disparitas pembangunan antar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi, baik yang disponsori oleh pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya dispartias pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

4. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi disparitas pembangunan antar wilayah. Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gama8

8

Ayu Savitri Gama: Jurnal Ekonomi dan Sosial Volume 2 Nomor 1. ejournal.unud.ac.id/?module=detailpenelitian&idf... – [ April 2010]

tentang “Disparitas dan Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Antar

(42)

alam yang lebih banyak pada daerah tertentu. Kedua, meratanya fasilitas transportasi, baik darat, laut dan udara juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah. Ketiga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumberdaya manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik.

5. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Daerah yang mendapat alokasi investasi yang lebih besar dari pemerintah atau dapat menarik lebih banyak investor swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Kondisi ini akan mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yanglebih tinggi. Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistim pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistim daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga disparitas pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi. Bila sistem pemerintahan yang dianut adalah otonom atau federal maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga disparitas pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah. Keuntungan lokasi tersebut ditentukan juga oleh ongkos transport baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk ke dalam keuntungan lokasi ini adalah keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi terkait pada suatu wilayah tertentu.

(43)

politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial budaya dan (7) ekonomi.

Dari aspek kebijakan pemerintah misalnya, menurut Kurian (2007) diakibatkan karena adanya dominasi pemerintah dalam semua aspek pembangunan ekonomi sehingga akan menyebabkan tingginya tingkat disparitas pembangunan dalam wilayah/negara tersebut. Salah satu contoh nyata adalah kebijakan pembangunan di beberapa wilayah di Indonesia dan beberapa negara lainnya yang lebih menekankan pertumbuhan dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan telah menimbulkan kesenjangan antar wilayah yang luar biasa. Tricle down effect yang diharapkan secara efektif tidak terjadi, namun dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect, yaitu pengurasan sumberdaya secara berlebihan dari wilayah hinterland. Matsui (2005), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pemerintah seharusnya memainkan peran penting dalam mempromosikan aktivitas-aktivitas sektor swasta didalam ekonomi regional suatu wilayah.

Ketidakefisienan dibidang administrasi juga dapat menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah. Hasil penelitian yang dilakukan Kimura (2007) menunjukan bahwa “marjinalisasi administrasi” yang terjadi di Provinsi Sulawesi Utara menyebabkan disparitas yang tinggi dengan wilayah Gorontalo, sehingga memacu pembentukan Provinsi Gorontalo. Wilayah-wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih dan sistem administrasi yang efisien. Wilayah-wilayah yang administrainya efisien akan mampu mengundang investasi, karena perijinannya tidak selalu rumit. Sebaliknya daerah dengan kinerja administrasi buruk tidak diminati investor. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa para investor kurang terdorong untuk menanamkam investasinya di daerah-daerah di Indonesia, karena perijinannya yang terlalu rumit dan berbelit-belit.

(44)

dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Mereka percaya pada agama, tradisi, nilai-nilai sosial yang lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya intelektualisme, profesionalisme, moralitas dan social cohesiveness bagi kemajuan untuk semua.

Faktor-faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah, diantaranya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

(1) Faktor ekonomi yang terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan.

(2) Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan (cumulative causation of poverty provensity). Ada dua tipe lingkaran setan kemiskinan di wilayah-wilayah yang tertinggal. Pertama, sumberdaya yang terbatas dan ketertinggalan masyarakat menjadi sebab dan akibat dari kemiskinan. Kedua, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidupnya rendah, efisiensi rendah, produktifitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, pengangguran meningkat, dan pada akhirnya masyarakat menjadi semakin tertinggal. Keseluruhan faktor inisaling berkaitan dan menyebabkan suatu wilayah/kawasan tetap dalam kondisi miskin dan tertinggal. Sebaliknya di negara atau wilayah yang maju, masyarakatnya maju, standar hidup tinggi, efisiensi lebih baik, produktifitas semakin tinggi, produksi semakin tinggi, pendapatan semakin tinggi, konsumsi semakin tinggi, tabungan semakin banyak, investasi semakin banyak, pada akhirnya masyarakat akan semakin maju.

(45)

wilayah-wilayah sekitarnya (backwash effect). Spread effect yang diharapkan terjadi , ternyata lebih lemah dibandingkan dengan backwash effect. Hal ini menyebabkan wilayah atau kawasan yang beruntung akan semakin berkembang, sedangkan kawasan atau wilayah yang kurang beruntung akan semakin tertinggal.

(4)Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya.

2.4. Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya

Mopanga (2010) melakukan penelitian ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo, dimana hasil penelitiannya menunjukan bahwa perbedaan pada PDRB per kapita, Indeks Pembangunan Manusia dan Rasio Belanja Infrastruktur signifikan sebagai sumber utama ketimpangan. Lebih lanjut secara deskriptif, Mopanga (2010) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan (Indeks Gini). Artinya secara vertikal pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan pembangunan.

Rahman (2009) melakukan studi tentang disparitas pembangunan antar wilayah di Kabupaten Sambas, dimana hasil analisis disparitas pembangunan dengan Indeks Williamson menunjukan bahwa kecenderungan tingkat disparitas pembangunan di Kabupaten Sambas pada tahun 2000-2003 menurun dari 0,448

menjadi 0,391 akan tetapi pada tahun 2006 meningkat menjadi 0,532. Rahman (2009) berkesimpulan bahwa dengan bertambahnya desa-desa atau

(46)

antar wilayah di Kabupaten Sambas berasal dari ketimpangan intra wilayah pengembangan dan selebihnya berasal dari ketimpangan antar wilayah pengembangan. Sedangkan faktor-faktor utama yang mempengaruhi tingkat disparitas pembangunan antar wilayah yang dianlisis dengan metode regresi berganda adalah faktor sarana dan penciri perkotaan, aksesibilitas dan faktor kemiringan lereng dan luas hutan (biofisik wilayah).

Penelitian mengenai strategi pengembangan wilayah guna mengurangi disparitas pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Mahbubah (2008) di Kabupaten Purwakarta menunjukan bahwa dari hasil analisis skalogram, terjadi pemusatan sarana prasarana dan fasilitas pelayanan umum pada kecamatan Purwakarta (sebagai ibu kota kabupaten). Hasil anlisis LQ menunjukan bahwa sektor pertanian masih menjadi leading sector pada beberapa kecamatan. Sehingga Mahbubah (2008) berkesimpulan bahwa kebijakan pembangunan di bidang ekonomi oleh pemerintah daerah belum memberi prioritas dalam mengembangkan sektor perekonomian tertentu. Disparitas pembangunan antar wilayah di Kabupaten Purwakarta paling tinggi terjadi di WPP I dengan faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain sarana komunikasi, sarana pendidikan dasar dan menengah, jumlah tenaga kesehatan, PAD tiap kecamatan dan aksesibilitas.

(47)

(random effect) menunjukkan bahwa faktor kesenjangan pendapatan, migrasi keluar dan pengeluaran pemerintah daerah mempunyai pengaruh yang positif signifikan bagi pertumbuhan ekonomi regional, sebaliknya inflasi regional mempunyai pengaruh yang negatif. Terdapat 14 kabupaten/ kota yang pertumbuhan ekonominya lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/ kota di Propinsi Jawa Tengah, sedang 21 kabupaten/ kota lainnya mempunyai rata-rata pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

(48)

Gambar 4 Kerangka pemikiran.

Kondisi existing Papua Barat - PDRB per kapita - SDM

- SDA

- Kebijakan Pemda - Jumlah Penduduk

- Indeks Pembangunan Manusia

Paradigma pembangunan masa lalu - Mengutamakan pertumbuhan

ekonomi tinggi (Growth Pole) - Sentralistik

- sektoral

Terjadi Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Papua Barat

Faktor-faktor penyebab Disparitas Pembangunan Wilayah Di Provinsi Papua Barat

Paradigma baru pembangunan

PDRB Per Kapita

Jumlah Penduduk

Alokasi Dana Perimbangan

Indeks Pembangunan

Manusia

(49)

2.5. Hipotesis Penelitian

1. Diduga tingkat perekonomian wilayah di Provinsi Papua Barat belum berkembang.

2. Diduga paradigma pembangunan yang lebih terfokus pada daerah/kabupaten induk dibandingkan dengan kabupaten pemekaran selama ini telah menimbulkan disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat.

3. Diduga terdapat sektor-sektor perekonomian yang merupakan sektor basis maupun nonbasis dan tidak berubah selama periode 2005-2008.

(50)

III METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Papua Barat yang merupakan provinsi ke 33 di Indonesia dan terdiri dari 8 kabupaten dan 1 kota. Penelitian berlangsung selama 1 (satu) bulan sejak bulan Juli-Agustus 2010.

Sumber : RTRW Provinsi Papua Barat, 2009.

Gambar 5 Peta lokasi penelitian.

3.2. Metode Pengumpulan Data

(51)

Hubungan antara tujuan penelitian, metode analisis, variabel, sumber data dan output yang diharapkan, dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Tujuan penelitian, metode analisis, variabel, sumber data dan output penelitian

No Tujuan Penelitian Metode

Analisis Variabel

Data dan

2 Identifikasi Sektor Unggulan

4 Rekomendasi kebijakan

3.2.1. Indeks Entropi

(52)

(1) memahami perkembangan suatu wilayah; (2) memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; (3) memahami perkembangan aktifitas perusahaan; dan (4) memahami perkembangan aktifitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain (Saefulhakim, 2006).

Prinsip pengertian indeks entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah, artinya wilayah tersebut semakin berkembang (Indeks entropi tinggi = tingkat perkembangan juga tinggi). Persamaan umum indeks entropi adalah sebagai berikut :

... (3)

Dimana: Pij = Proporsi kegiatan i (sektor-sektor perekonomian) di wilayah j (Provinsi Papua Barat) yang dihitung dari persamaan Pij = Xij/ Xij.

Analisis ini digunakan untuk mengetahui perkembangan sektor-sektor perekonomian antar kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat, sehingga dapat

dibandingkan perkembangan perekonomian antar kabupaten/kota tersebut. Jika S semakin tinggi, maka tingkat perkembangan semakin meningkat, dimana nilai S akan selalu ≥ 0.

Data yang digunakan dalam analisis indeks entropi ini adalah data PDRB per sektor per kabupaten/kota tahun 2005-2008 dengan menggunakan data dasar atas harga konstan tahun 2000.

3.2.2. Location Quontient (LQ)

(53)

... (4)

Dimana :

Xij = derajat aktifitas kabupaten/kota ke-i di Provinsi Papua Barat Xi. = total aktifitas kabupaten/kota ke-i

Xj

1. Jika nilai LQ

= total aktifitas di Provinsi Papua Barat

X.. = derajat aktifitas total wilayah di Provinsi Papua Barat.

Hasil analisis LQ akan menunjukan hal sebagai berikut : ij

2. Jika nilai LQ

> 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih besar dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah atau aktifitas ke-j merupakan aktifitas/sektor unggulan di sub wilayah ke-i

ij

3. Jika nilai LQ

< 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah atau aktifitas ke-j bukan merupakan aktifitas/sektor unggulan di sub wilayah ke-i

ij

Dalam analisis ini, nilai LQ yang diperoleh akan dapat diketahui sektor-sektor perekonomian yang merupakan sektor-sektor unggulan tiap kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat.

Trend nilai LQ di Provinsi Papua Barat akan dianalisis berdasarkan data PDRB per sektor per kabupaten/kota tahun 2005-2008 menurut data dasar atas harga konstan tahun 2000.

3.2.3. Shift Share Analysis

= 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa setara dengan aktifitas yang secara umum ditemukan di seluruh wilayah.

(54)

kemampuan berkompetisi aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas.

Dari hasil analisis SSA akan diperoleh gambaran kinerja aktifitas Provinsi Papua Barat, yang dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis berikut: a. Komponen Laju Pertumbuhan Total (komponen Share). Komponen ini

menyatakan pertumbuhan total wilayah di Provinsi Papua Barat pada dua titik waktu (2005 dan 2008) yang menunjukan dinamika total wilayah tersebut. b. Komponen Pergeseran Proporsional (komponen Proportional Shift).

Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam Provinsi Papua Barat yang menunjukan dinamika sektor/aktivitas total dalam Provinsi Papua Barat. c. Komponen Pergeseran Diferensial (komponen differential shift). Komponen

ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam Provinsi Papua Barat. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ketidakunggulan) suatu sektor tertentu di kabupaten/kota tertentu terhadap sektor tersebut di kabupaten/kota lain.

Persamaan Shift Share Analysis adalah sebagai berikut:

... (5)

a b c

Dimana :

a = komponen share

b. = komponen Proportional shift c = komponen differential shift

X.. = nilai total sektor dalam Provinsi Papua Barat

X.i = nilai total sektor tertentu dalam Provinsi Papua Barat

Xij = nilai sektor tertentu dalam kabupaten/kota ke-i di Provinsi Papua Barat t1 = tahun 2008

(55)

Nilai SSA Provinsi Papua Barat dianalisis dengan data PDRB per sektor per kabupaten/kota (berdasarkan data dasar atas harga konstan tahun 2000) dengan menggunakan data dua titik waktu yakni titik awal tahun 2005 dan titik akhir tahun 2008.

3.2.4. Index Williamson

Index Williamson merupakan salah satu index yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Williamson pada tahun 1975 mengembangkan index kesenjangan wilayah yang diformulasikan sama seperti persamaan (1) sebagai berikut,

... (6)

Dimana :

Vw = Index Williamson (Iw)

Yi = PDRB per kapita wilayah kabupaten/kota ke i di Provinsi Papua Barat = Rata-rata PDRB per kapita

pi = fi/n, dimana fi jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i dan n jumlah total penduduk Provinsi Papua Barat.

Index Williamson akan menghasilkan index yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika Yi = maka akan dihasilkan index = 0, yang berarti tidak adanya kesenjangan antar wilayah. Nilai index yang lebih besar dari nol menunjukan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar nilai index yang dihasilkan, semakin besar tingkat kesenjangan antar wilayah/kabupaten di suatu provinsi.

(56)

3.2.5. Indeks Theil

Indeks Theil yang dikembangkan oleh Henri Theil, berguna untuk mendekomposisi total disparitas yang terjadi antar wilayah dan dalam wilayah (within) masing-masing. Dalam penelitian ini wilayah yang dimaksud adalah kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat. Analisis dengan indeks theil ini dapat diketahui kabupaten/kota mana yang menyebabkan disparitas antar wilayah serta wilayah mana yang menjadi dampak dari disparitas tersebut. Selain itu dapat diketahui wilayah mana yang mengalami disparitas terbesar di dalamnya sendiri serta apa yang menyebabkannya. Formula Indeks Theil ini sama seperti persamaan (2)

... (7)

Dimana :

T = Total disparitas (Indeks Theil)

yi = PDRB kabupaten/kota ke-i/PDRB Provinsi Papua Barat

xi = Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i/ penduduk Provinsi Papua Barat. Trend nilai dekomposisi indeks theil juga akan dihitung berdasarkan total nilai PDRB kabupaten/kota dan jumlah penduduk dari data tahun 2005-2008 berdasarkan atas harga konstan tahun 2000.

3.2.6. Analisis Regresi Berganda

Untuk mengetahui sumber disparitas pembangunan digunakan model regresi berganda (multiple regression model) yang memiliki asumsi bahwa peubah tak bebas (respons) Y merupakan fungsi linear dari beberapa peubah bebas X1, X2,...,Xk dan komponen sisaan

ε

(error). Secara umum model regresi adalah sebagai berikut :

Gambar

Gambar 4  Kerangka pemikiran.
Gambar 5  Peta lokasi penelitian.
Tabel 3 Tujuan penelitian, metode analisis, variabel, sumber data dan output
Gambar  6 Alur pikir analisis penelitian disparitas pembangunan wilayah di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa pada tahun 2000 ketika Terdakwa bertugas di Sampit isteri Terdakwa (Saksi Dina Pamean) pernah meminta cerai kepada Terdakwa dengan cara membuat surat pernyataan

Dari Tabel 4.3 tersebut di atas dapat diketahui bahwa koefisien Cronbach's Alpha &gt; 0,60 sehingga seluruh pertanyaan dalam kuesioner pada item-item pertanyaan

Usecase diagram pada gambar 1 menjelaskan tentang alur kerja sistem yaitu user bisa melakukan pemilihan menu komik, menu about dan menu keluar. Setelah menu

Berdasarkan Criticality Analysis dengan menggunakan metode Reliability Centered Spares (RCS), komponen dan part yang termasuk dalam grup A (High Critical) yaitu

Apabila cat melekat pada permukaan dalam container, gunakanlah agitating rod untuk mengikis cat yang melekat tersebut.. Bagaimana benda mendapatkan warna?, benda mendapatkan

2) Kegiatan penambangan (pasir, batu, kapur, dan marmer) serta pengolahan kapur yang tidak terkendali telah menyebabkan kerusakan pada kawasan tersebut. Gejala kerusakan kawasan

Hubungan antar variabel komunikasi antarpribadi petugas kerohanian terhadap kesiapan pasien yang akan menghadapi tindakan operasi adalah dengan Uji

belajar matematika pada kedua kelas ini selain karena kemampuan siswa pada kelas eksperimen yang memang lebih baik dari pada siswa pada kelas kontrol, juga pada