• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas insektisida ekstrak biji annona squamosa, minyak atsiri daun cinnamomum multiflorum, ekstrak daun tephrosia vogelii, dan campuran ketiganya terhadap larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas insektisida ekstrak biji annona squamosa, minyak atsiri daun cinnamomum multiflorum, ekstrak daun tephrosia vogelii, dan campuran ketiganya terhadap larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae)"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK BIJI Annona squamosa,

MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum, EKSTRAK

DAUN Tephrosia vogelii, DAN CAMPURAN KETIGANYA

TERHADAP LARVA Plutella xylostella (L.) (LEPIDOPTERA:

YPONOMEUTIDAE)

ASTRI FEBRIANNI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

ASTRI FEBRIANNI. Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Annona squamosa, Minyak Atsiri Daun Cinnamomum multiflorum, Ekstrak Daun Tephrosia vogelii, dan Campuran Ketiganya terhadap Larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae). Dibimbing oleh AUNU RAUF dan DJOKO PRIJONO.

Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas insektisida ekstrak biji Annona squamosa, minyak atsiri daun Cinnamomum multiflorum, ekstrak daun Tephrosia vogelii, dan campuran ketiga bahan nabati tersebut terhadap larva Plutella xylostella. Setiap ekstrak diuji pada enam taraf konsentrasi yang ditentukan berdasarkan uji pendahuluan terhadap larva instar III P. xylostella dengan metode celup daun (lama pemberian daun perlakuan 48 jam). Perbandingan konsentrasi ekstrak dalam uji campuran adalah 1:1:2 masing-masing untuk A. squamosa, C. multiflorum, dan T. vogelii dan diuji dengan taraf konsentrasi 0.16%, 0.32%, 0.48%, 0.64%, dan 0.80%. Pengamatan dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan (JSP). Data mortalitas kumulatif pada 24, 48, dan 72 JSP diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC. Pada semua perlakuan, mortalitas larva masih rendah pada 24 JSP dan mulai meningkat pada 48 JSP. Berdasarkan kesetaraan toksisitas pada taraf LC50 pada

72 JSP, ekstrak daun T. vogelii masing-masing 3.78 dan 1.70 kali lebih toksik dibandingkan dengan minyak atsiri daun C. multiflorum dan ekstrak biji A. squamosa. Ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa lebih efektif dibandingkan dengan minyak atsiri daun C. multiflorum. Pada taraf LC95,

(3)

AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK BIJI Annona squamosa,

MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum, EKSTRAK

DAUN Tephrosia vogelii, DAN CAMPURAN KETIGANYA

TERHADAP LARVA Plutella xylostella (L.) (LEPIDOPTERA:

YPONOMEUTIDAE)

ASTRI FEBRIANNI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul : Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Annona squamosa, Minyak Atsiri Daun Cinamommum multiflorum, Ekstrak Daun Tephrosia vogelii dan Campuran Ketiganya terhadap Larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae)

Nama : Astri Febrianni NIM : A34063465

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I

Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc NIP 19500622 197703 1 001

Dosen Pembimbing II

Ir. Djoko Prijono, MAgrSc NIP 19590827 198303 1 005

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Dadang, M.Sc NIP 19640204 199002 1 002

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tulungagung, Jawa Timur pada tanggal 29 Februari 1988. Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Sutomo, SP dan Ibu Suratmi, SP.

Penulis menyelesaikan pendidikan lanjutan atas di SMA Negeri 1 Boyolangu, Kabupaten Tulungagung pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) lewat jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dengan kurikulum berbasis Mayor-Minor.

(6)

PRAKATA

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Annona squamosa, Minyak Atsiri Daun Cinnamomum multiflorum, ekstrak daun Tephrosia vogelii dan Campuran Ketiganya terhadap Larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae). Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Dari bulan April 2010 hingga Desember 2010

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc, selaku Dosen Pembimbing I atas bimbingan Ridho Putrotomo, yang telah menjadi salah satu bagian berharga dalam sebuah cerita.

7. Rekan-rekan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Herma Amalia, Gatot Budi Santoso, Petronella Sy. Nenotek, Eka Candra Lina, Meike Isna, Nelly Nailufar, Dadang M. Hasyim, Izzuddin, Devi N. Saragih, Agus Setyawan, Hendy Irawan, dan Agus Sudrajat sebagai laboran, atas suasana rumah di Laboratorium.

8. Teman-teman Departemen Proteksi Tanaman 43, yang menjadi masa perkenalan selama 3 tahun, dan menjadi sahabat seterusnya.

9. Teman-teman Sri Rahayu yang telah memberikan banyak inspirasi khususnya untuk Ratri H, Elham CB, Bunga Ayu N, dan Elwidya B yang selalu bersemangat dalam tugas akhirnya.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu pestisida.

Bogor, Maret 2011

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Plutella xylostella ... 4

Arti Ekonomi ... 4

Siklus Hidup ... 4

Pengendalian ... 5

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Annona squamosa ... 6

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Cinnamomum multiflorum ... 8

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Tephrosia vogelii ... 8

Penggunaan Ekstrak Campuran ... 9

BAHAN DAN METODE ... 11

Tempat dan Waktu ... 11

Perbanyakan Plutella xylostella ... 11

Bahan Nabati Uji ... 11

Metode Pengujian ... 11

Analisis Sifat Aktivitas Campuran Ekstrak A. squamosa, C. multiflorum, dan T. vogelii ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Pengaruh Ekstrak Uji terhadap Mortalitas Larva P. xylostella ... 15

Pembahasan Umum ... 19

KESIMPULAN DAN SARAN ... 22

Kesimpulan ... 22

Saran ... 22

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak biji

A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum, dan ekstrak daun

T. vogelii terhadap larva P. xylostella dengan metode celup daun .... 18

2 Sifat aktivitas campuran ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum dan daun T. vogelii (1:1:2) terhadap larva instar III

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ulat daun kubis Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) merupakan salah satu hama utama pada pertanaman kubis dataran tinggi (Sastrosiswojo 1990). Kerusakan yang berat pada daun sering terjadi ketika populasi larva tinggi. Hampir seluruh daun dimakan larva dan hanya tinggal tulang daun. Larva P. xylostella biasanya menyerang tanaman kubis yang masih muda, yang belum membentuk krop. Tingkat populasi larva P. xylostella yang tinggi biasanya terjadi pada 6-8 minggu setelah tanam. Kehilangan hasil yang disebabkan P. xylostella bersama-sama dengan Crocidolomia pavonana dapat mencapai 100% pada musim kemarau jika insektisida tidak digunakan (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Pengendalian hama kubis dianjurkan dengan menerapkan pengendalian hama terpadu (PHT), dengan penekanan pada pengendalian hayati dan cara-cara bercocok tanam. Pengendalian hayati terhadap P. xylostella dilakukan dengan pemberdayaan parasitoid Diadegma semiclausum yang dapat menekan populasi P. xylostella hingga 86% bila insektisida tidak digunakan (Sastrosiswojo & Sastrodihardjo 1986). Namun, banyak petani yang masih mengandalkan penggunaan insektisida sintetik untuk mengendalikan hama kubis (Rauf et al. 2005).

Penggunaan insektisida sintetik dianggap memiliki keuntungan antara lain memberikan hasil yang cepat dan nyata, harganya lebih murah dibandingkan dengan pengendalian nonkimiawi, tidak memerlukan banyak tenaga, dan tidak memerlukan pendidikan tinggi untuk pengaplikasiannya (Norris et al. 2003). Namun, penggunaan insektisida juga memiliki dampak negatif, antara lain dapat menyebabkan resistensi dan resurjensi hama, terbunuhnya organisme bukan sasaran, keracunan pada pengguna, adanya residu pada hasil panen, dan pencemaran lingkungan secara umum (Metcalf 1982; Norris et al. 2003; Djojosumarto 2008).

(10)

melalui sistem PHT. Dalam pasal 19 disebutkan bahwa penggunaan pestisida sintetik merupakan langkah terakhir untuk mengendalikan hama jika pengendalian nonkimiawi tidak berhasil, dan dampak yang ditimbulkan harus seminimal mungkin. Untuk itu perlu dikembangkan sarana pengendalian hama yang efektif membunuh hama sasaran tetapi dampaknya minimal. Salah satu alternatif yang memenuhi kriteria tersebut ialah penggunaan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang potensial untuk dijadikan insektisida nabati antara lain Annona squamosa (Annonaceae), Cinnamomum multiflorum (Lauraceae), dan Tephrosia vogelii (Leguminosae).

Ekstrak biji srikaya dilaporkan aktif terhadap berbagai jenis serangga pemakan daun dan pengisap cairan tanaman (Grainge & Ahmed 1988). Sebagai contoh, Prijono et al. (1997) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji A. squamosa menunjukkan aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dan lebih aktif daripada ekstrak akar tuba, Derris elliptica. Ekstrak biji srikaya juga toksik terhadap larva P. xylostella, kumbang Callosobruchus chinensis, dan wereng hijau Nephotettix cincticeps (Dadang 1999). Sifat insektisida A. squamosa disebabkan oleh kandungan senyawa golongan asetogenin, terutama asimisin (squamosin H) dan squamosin (anonin I) (Ohsawa et al. 1994; Zafra-Polo et al. 1996).

Thantsin et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak eter kulit batang C. multiflorum mengandung senyawa sinamaldehida 29.6%, eugenol 3%, dan asam palmitat 4.2%. Namun hingga saat ini sifat insektisida C. multiflorum belum pernah dilaporkan. Perlakuan dengan minyak atsiri salah satu spesies Cinnamomum lain, yaitu C. aromaticum, menyebabkan mortalitas imago Callosobruchus maculatus sebesar 94.4% (Islam et al. 2009). Kim et al. (2001) juga melaporkan bahwa ekstrak kulit akar C. sieboldii menyebabkan kematian Sitophilus oryzae dan C. chinensis sebesar 100% pada 2 hari setelah perlakuan.

Sifat insektisida daun T. vogelii, yang mengandung senyawa rotenoid, termasuk rotenon, tefrosin, dan deguelin (Delfel et al. 1970; Lambert et al.1993), juga telah lama diketahui. Morallo-Rejesus (1986) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii dapat membunuh dan menghambat makan larva P. xylostella.

(11)

obtectus, C. maculatus, dan C. chinensis. Fraksi 2-4 kromatografi kolom T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva P. xylostella dengan LC95 pada 72 JAP hanya sekitar 0.031% (Zarkani 2008). Abizar &

Prijono (2010) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii bunga ungu lebih aktif terhadap larva C. pavonana dibandingkan dengan ekstrak daun T. vogelii bunga putih, serta ekstrak biji T. vogelii bunga ungu dan bunga putih.

Insektisida nabati dapat digunakan secara tunggal atau campuran, namun sebelum insektisida digunakan dalam bentuk campuran, sifat aktivitasnya perlu diketahui. Perlakuan dengan campuran ekstrak A. squamosa dan P. retrofractum mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana yang tinggi (100%) pada konsentrasi 0,05%. Perlakuan dengan campuran ekstrak tersebut juga memberikan mortalitas larva C. pavonana yang tinggi pada pengujian semilapangan (Isnaeni 2006). Campuran ekstrak daun T. vogelii bunga ungu dan fraksi padatan ekstrak buah P. cubeba (5:9) lebih aktif terhadap larva C. pavonana dibandingkan ekstrak komponennya secara terpisah. Campuran tersebut bersifat sinergistik terhadap larva C. pavonana, baik pada taraf LC50 maupun LC95 (Abizar & Prijono 2010).

Aktivitas campuran insektisida nabati yang mengandung tiga jenis ekstrak, yaitu T. vogelii, A. squamosa, dan C. multiflorum sampai sekarang belum pernah dilaporkan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas insektisida ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum, dan ekstrak daun T. vogelii serta campuran ketiga bahan nabati tersebut terhadap larva P. xylostella.

Manfaat

(12)

TINJAUAN PUSTAKA

Plutella xylostella

Arti Ekonomi

Plutella xylostella merupakan hama penting di daerah pertanaman kubis di seluruh dunia (Kalshoven 1981). Hama tersebut dapat ditemukan hampir di setiap daerah tempat tanaman kubis-kubisan ditanam (Satrosiswojo & Setiawati 1993). Jika tidak ada tanaman kubis-kubisan yang ditanam, beberapa spesies Brassicaceae liar dapat menjadi inang alternatif, misalnya Nasturtium indicum (L.) dan Cardamine hirsuta (L.) (Kartosuwondo 1994).

Gejala pada tanaman inang akibat aktivitas makan larva P. xylostella sangat khas, yaitu adanya jendela-jendela yang tidak beraturan dan berwarna putih. Jendela tersebut disebabkan oleh larva yang memakan permukaan bawah daun dan menyisakan lapisan epidermis bagian atas (Kalshoven 1981). Instar I memakan daun kubis dengan mengorok ke dalam permukaan bawah daun. Larva instar I mengorok daun selama 2-3 hari (Soeroto et al. 1994). Larva instar II keluar dari liang korok dan makan jaringan daun pada permukaan bawah daun. Larva instar III dan IV akan makan bagian daun lebih banyak. Sejalan dengan pertumbuhan jaringan daun, bekas gigitan akan pecah dan menimbulkan lubang besar pada daun kubis. Jika populasi larva tinggi, kerusakan berat pada daun sering terjadi. Hampir seluruh daun dimakan larva dan hanya tinggal tulang-tulang daun yang ditinggalkan (Satrosiswojo & Setiawati 1993).

Siklus Hidup

(13)

Larva P. xylostella melewati empat instar. Larva instar I mengorok di dalam jaringan permukaan bawah daun. Larva keluar dari korokan pada saat instar I akhir dan berganti kulit di permukaan bawah daun. Larva instar II makan dari permukaan bawah daun. Larva instar III dan IV makan daun lebih banyak. Jika terganggu larva akan menggeliat dengan cepat, bergerak ke belakang dan memintal seutas sutera untuk turun. Secara keseluruhan panjang tubuh instar I sampai dengan IV berturut-turut 1.7, 3.5, 7.0, dan 11.2 mm. Larva tidak berwarna saat instar I, kemudian berwarna hijau, terdapat rambut pada tubuhnya, dan memiliki lima pasang tungkai palsu. Tubuh larva berbentuk lancip di kedua ujungnya, dengan sepasang tungkai palsu yang menonjol dari bagian posterior, membentuk huruf “V”.

Pada saat akan berpupa, larva instar IV akan memintal kokon berwarna putih yang longgar, biasanya terbentuk pada bagian daun terluar atau di permukaan bawah daun. Pada kol bunga dan brokoli pupa terbentuk di bunga. Pupa berwarna kekuningan, dengan panjang sekitar 7 hingga 9 mm. Rata-rata waktu berpupa 8,5 hari dengan rentang waktu sekitar 5 hingga 15 hari (Capinera 2001). Lama stadium instar I, II, dan III di Bogor masing-masing sekitar 2 hari, lama stadium instar IV sekitar 3 hari, larva stadium pupa sekitar 3 sampai 5 hari, dan lama hidup imago berkisar dari 2 sampai 4 minggu (Vos 1953)

Imago berwarna cokelat kelabu. Pada sayapnya terdapat pola seperti berlian (Kalshoven 1981). Imago mulai aktif pada sore hingga malam hari. Perkawinan terjadi pada sore hari. Imago betina memiliki masa peletakan telur 4 hari (Talekar & Shelton 1993). Siklus hidup P. xylostella di dataran tinggi lebih panjang daripada di dataran rendah. Pada ketinggian 1100 m dpl, siklus hidupnya 20-25 hari, sedangkan pada 250 m dpl hanya 12-15 hari (Kalshoven 1981).

Pengendalian

(14)

bioinsektisida B. thuringiensis dan insektisida kelompok penghambat perkembangan serangga. Pengendalian lainnya antara lain adalah pengendalian secara kultur teknis, hayati, dan kimiawi. Pengendalian kultur teknis dapat dilakukan dengan menerapkan sistem tumpang sari, mengatur waktu tanam, dan menanam tanaman perangkap (Satrosiswojo & Setiawati 1993).

Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, terutama parasitoid larva Diadegma semiclausum yang mampu menekan populasi hama P. xylostella dengan tingkat parasitisasi hingga 86% bila insektisida tidak digunakan (Sastrosiswojo & Satrodihardjo 1986). Kartosuwondo (1994) melaporkan bahwa tumbuhan Brassicaceae liar seperti N. indicum dan C. hirsuta dapat berperan sebagai reservoir dan faktor penstabil populasi parasitoid D. semicalusum. Namun cara yang sering dilakukan petani adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida sintetik yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif (Rauf et al. 2005).

Insektisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang relatif aman dan sesuai dengan konsep PHT. Ekstrak tumbuhan yang dilaporkan efektif terhadap hama P. xylostella antara lain Tephrosia vogelii (Fabaceae), Calophyllum soulattri (Clusiaceae), Swietenia mahogani (Meliaceae), Azadirachta indica (Meliaceae), Aglaia harmsiana (Meliaceae), Dysoxylum acutangulum (Meliaceae), P. retrofractum (Piperaceae) (Soeroto et al. 1994; Dadang & Ohsawa 2000; Yuswanti 2002; Zarkani 2008).

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Annona squamosa

Tanaman Annona squamosa (srikaya) berbentuk perdu hingga pohon dengan tinggi tanaman sekitar 4-6 m. Tanaman tersebut merupakan anggota dari suku Annonaceae yang tersebar paling luas di dunia (Garner & Chaundri 1977). A. squamosa ditanam untuk diambil buahnya dan biasanya dikonsumsi langsung. Buah majemuk berbentuk bulat dengan jari tengah 5-10 cm, kulit luar berlilin. Buah masak berwarna hijau kebiru-biruan, biji dari buah masak berwarna hitam mengkilat dan daging buah berwarna putih (van Steenis et al. 1975)

(15)

beberapa jenis hama penting pertanian dan hama dalam penyimpanan (Prakash & Rao 1997). Ekstrak air A. squamosa pada konsentrasi 5-10 g biji/liter menunjukkan aktivitas insektisida dan penghambat makan terhadap beberapa serangga (Prijono 1998).

Prijono et al. (1994) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji srikaya pada konsentrasi 0.25% efektif terhadap wereng cokelat Nilaparvata lugens dengan perlakuan celup bibit padi. Pada penelitian lain, Prijono & Manuwoto (1995) melaporkan bahwa perlakuan dengan ekstrak aseton biji A. squamosa pada konsentrasi 0.4% menyebabkan kematian kumbang Callosobruchus maculatus sebesar 90% pada 3 hari setelah perlakuan dan meningkat menjadi 100% pada 5 hari setelah perlakuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Prijono et al. (1997) menunjukkan bahwa ekstrak aseton biji A. squamosa dan memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana dan lebih aktif daripada ekstrak akar tuba, Derris elliptica. Pada penelitian lain, Herminanto et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak biji A. squamosa sangat nyata mempengaruhi pembentukan pupa dan imago C. pavonana.

Baru-baru ini Deshmukhe et al. (2010) melaporkan bahwa perlakuan dengan esktrak etil alkohol biji A. squamosa pada konsentrasi antara 0.5% dan 25% secara kontak menyebabkan kematian larva Spodoptera litura sebesar 61.7% dan meningkat menjadi 80% selama masa perkembangannya. Larva yang diberikan perlakuan melalui makanan menunjukkan kematian sebesar 76.7% pada konsentrasi 25%.

Senyawa insektisida dalam biji A. squamosa adalah skuamosin dan asimisin yang memiliki sifat insektisida dan menghambat perkembangan. Senyawa tersebut bersifat insektisida terhadap larva instar II P. xylostella. LD50 skuamosin

(16)

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Cinnamomum multiflorum

Thantsin et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak eter kulit batang C. multiflorum mengandung senyawa sinamaldehida 29.6%, eugenol 2.95%, dan asam palmitat 4.18%. Namun hingga saat ini sifat insektisida C. multiflorum belum pernah dilaporkan. Perlakuan dengan minyak atsiri salah satu spesies Cinnamomum lain, yaitu C. aromaticum, menyebabkan mortalitas sebesar 94,4% pada imago Callosobruchus maculatus (Islam et al. 2009). Kim et al. (2001) juga melaporkan bahwa perlakuan dengan ekstrak kulit akar C. sieboldii menyebabkan

kematian Sitophilus oryzae dan C. chinensis sebesar 100% pada 2 hari setelah perlakuan. Prajapati et al. (2005) melaporkan bahwa minyak atsiri kulit kayu C.

zeylanicum menunjukkan aktivitas penghambat peneluran dan repelen yang tinggi

terhadap nyamuk Anopheles stephensi, Aedes aegepti, dan Culex

quinquefasciatus. Ekstrak biji C. camphora menujukkan aktivitas insektisida dan

repelen terhadap hama gudang S. oryzae dan Bruchus rugimanus (Liu et al.

2006).

Sinamaldehida atau sinamil asetat dari minyak atsiri daun C. osmophloeum bersifat menghambat perkembangan larva nyamuk A. albopictus. Benzaldehida dalam minyak atsiri tersebut juga memiliki sifat larvasida yang tinggi terhadap nyamuk C. quinquefasciatus dan Armigeres subalbatus (Cheng et al. 2009). Sampai sekarang sifat insektisida minyak atsiri C. multiflorum terhadap ulat pamakan daun belum pernah dilaporkan.

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Tephrosia vogelii

T. vogelii berasal dari Afrika, dan ditemukan tumbuh dalam berbagai macam habitat, termasuk savana, padang rumput, daerah terlantar maupun tanah tandus. Tanaman tersebut dapat tumbuh di ketinggian dari 0 sampai 2100 m dpl, dengan suhu 12-27 ºC. Curah hujan yang sesuai untuk T. vogelii adalah 850-2650 mm/tahun (Anonim 2010).

(17)

melaporkan bahwa ekstrak heksana daun T. vogelii dengan dosis 10 g/kg biji kacang tanah lebih efektif daripada ekstrak aseton dan etanol dalam melindungi kacang tanah di penyimpana dari serangan kumbang Acanthoscelides obtectus, Callosobruchus maculatus, dan C. chinensis.

Morallo-Rejesus (1986) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii dapat

membunuh dan menghambat makan larva P. xylostella. Zarkani (2008) melaporkan bahwa fraksi 2-4 kromatografi kolom T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva P. xylostella dengan LC95 pada 72 jam setelah

perlakuan hanya sekitar 0.031%. Baru-baru ini, Abizar dan Prijono (2010) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii bunga ungu lebih aktif terhadap larva C. pavonana dibandingkan dengan ekstrak daun T. vogelii bunga putih, serta ekstrak biji T. vogelii bunga ungu dan bunga putih.

Daun T. vogelii mengandung senyawa rotenoid, termasuk rotenon, tefrosin,

dan deguelin (Delfel et al. 1970; Lambert et al.1993), yang memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga baik sebagai racun perut maupun racun kontak (Prakash & Rao 1997; Djojosumarto 2008). Rotenoid terdapat pada seluruh bagian tanaman T. vogelii, namun kandungan tertinggi terdapat pada bagian daun dan yang terendah pada bagian akar (Delfel et al. 1970). Kandungan rotenoid akan meningkat seiring dengan perkembangan tanaman (Kamal & Mangla 1993). Rotenon dan rotenoid sangat mudah terdegradasi oleh sinar matahari (Cabizza et al. 2004).

Penggunaan Ekstrak Campuran

Insektisida campuran pada dasarnya dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu campuran yang terdiri atas dua jenis atau lebih insektisida yang memiliki cara kerja yang berbeda dan cara kerja yang sama. Campuran yang memiiki cara kerja yang berbeda umumnya memiliki kerja bersama bebas (independent joint action) dan campuran yang memiliki cara kerja yang sama umumnya memiliki kerja bersama serupa (similar joint action) (Robertson et al. 2007).

(18)

bahan baku dibandingkan dengan insektisida botani yang mengandung ekstrak tunggal. Hal tersebut dapat mengatasi keterbatasan bahan baku insektisida botani di tingkat petani karena tumbuhan sumber insektisida botani tidak selalu terdapat melimpah di suatu daerah. Penggunaan campuran insektisida botani pada dosis yang lebih rendah juga dapat mengurangi dampak samping terhadap organisme bukan sasaran dan lingkungan. Selain itu, penggunaan campuran insektisida botani yang komponennya memiliki cara kerja berbeda dapat menunda terjadinya resistensi hama (Dadang & Prijono 2008).

Yuswanti (2002) melaporkan bahwa campuran fraksi asetil asetat biji Aglaia harmsiana dan tangkai daun Dysoxilum acutangulum bersifat sinergis terhadap larva instar III P. xylostella pada LC50 tetapi bersifat antagonis pada LC95. Isnaeni

(2006) mengemukakan bahwa perlakuan dengan campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa pada konsentrasi 0,05% mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana sebesar 100%. Campuran ekstrak tersebut juga efektif pada pengujian semi lapangan.

Beberapa campuran ekstrak tanaman memiliki aktivitas yang tinggi terhadap larva C. pavonana. Campuran ekstrak P. retrofractum dan Swietenia mahogani (1:1), S. mahogani dan A. squamosa (3:7), Aglaia odorata dan A. squamosa (3:7 dan 1:1), serta P. retrofractum dan A. squamosa (3:7, 1:1, dan 7:3) pada konsentrasi 0.05% mengakibatkan kematian larva sebesar 90% pada 48 JSP (Dadang et al. 2007)

Zarkani (2008) melaporkan bahwa campuran fraksi 2 kromatografi vakum cair P. retrofractum dan fraksi 2-4 kromatografi kolom T. vogelii dengan perbandingan 8:5 dan 5:1 bersifat antagonis terhadap larva P. xylostella. Baru-baru ini Abizar dan Prijono (2010) mengemukakan bahwa pada taraf LC50

campuran ekstrak daun T. vogelii dan buah P. cubeba bersifat sinergistik kuat terhadap larva C. pavonana.

(19)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorum Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) dari bulan April 2010 sampai Desember 2010.

Perbanyakan Plutella xylostella

Koloni P. xylostella yang digunakan merupakan keturunan dari larva yang dikumpulkan dari pertanaman kubis di daerah Ciloto, Cianjur. Larva dari lapangan tersebut dipelihara dalam kotak plastik (33.5 cm x 26 cm x 6.5 cm) yang dialasi kertas stensil dan bagian atasnya berjendela kasa. Setiap hari larva diberi makan daun brokoli bebas pestisida dan alas kertas dalam kotak pemeliharaan diganti. Larva dibiarkan berpupa dalam kotak dan permukaan daun. Selanjutnya pupa dipindahkan dalam sangkar plastik dengan tinggi 35 cm dan diameter 19 cm yang bagian atasnya ditutup kain kasa. Imago diberi pakan larutan madu 10% yang diserapkan pada kapas, yang diletakkan di atas kasa sangkar. Di dalam sangkar tersebut diletakkan daun brokoli, yang tangkainya dicelupkan dalam air di tabung film, sebagai tempat peletakan telur. Setiap hari daun brokoli untuk peletakan telur diganti. Daun peletakan telur diambil dan dibiarkan hingga telur menetas, kemudian dipindahkan ke kotak plastik seperti di atas. Larva yang digunakan adalah larva instar III.

Bahan Nabati Uji

Bahan percobaan yang digunakan ialah ekstrak heksana biji Annona squamosa, minyak atsiri daun Cinnamomum multiflorum, dan ekstrak aseton daun Tephrosia vogelii bunga ungu dari Cianjur, yang diperoleh dari Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB.

Metode Pengujian

(20)

vogelii diuji pada konsentrasi 0.1% dan 0.3% (w/v), sedangkan minyak atsiri daun C. multiflorum diuji pada konsentrasi 0.5% dan 1% (w/v).

Semua pengujian dilakukan dengan menggunakan metode celup daun. Ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum, dan ekstrak daun T. vogelii masing-masing dicampur dengan pelarut metanol dan pengemulsi Tween 80 (5:1), kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume tertentu sesuai konsentrasi yang diinginkan. Konsentrasi akhir metanol dan Tween 80 dalam suspensi bahan uji masing-masing 1% dan 0.2% (v/v). Air yang mengandung pelarut metanol 1% dan pengemulsi Tween 80 0.2% digunakan sebagai larutan kontrol.

Untuk pengujian campuran, ketiga jenis ekstrak (A. squamosa + C. multiflorum + T. vogelii 1:1:2 w/w) dicampur dengan campuran metanol, Solvesso R-100, dan Tween 80 9:1:2 (konsentrasi akhir 1.2%), kemudian diencerkan dengan akuades sampai volume tertentu sesuai konsentrasi yang diinginkan. Larutan kontrol berupa akuades yang mengandung metanol 0.9%, Solvesso R-100 0.1%, dan Tween 80 0.2%. Semua suspensi ekstrak dikocok dengan mengunakan pengocok ultrasonik agar ekstrak dapat tersuspensikan secara merata di dalam air.

Potongan daun brokoli segar dan bebas pestisida 4 cm x 4 cm dicelup satu per satu dalam suspensi ekstrak dengan konsentrasi tertentu sampai basah merata lalu dikeringudarakan. Daun kontrol dicelup dalam larutan kontrol yang sesuai. Setiap potong daun perlakuan dan daun kontrol diletakkan secara terpisah di dalam cawan petri (diameter 9 cm) yang dialasi tisu yang ukurannya melebihi diameter cawan. Cawan petri diletakkan pada posisi terbalik. Alas tisu diletakkan pada bagian tutup cawan, sedangkan bagian dasar cawan ditutupkan di atas tisu. Dengan demikian, bagian tutup dan dasar cawan tersekat tisu sehingga larva uji tidak dapat keluar dari dalam cawan.

(21)

perlakuan diganti dengan daun tanpa perlakuan. Jumlah larva yang mati diamati dan dicatat setiap hari sampai hari ke-3 (72 jam sejak perlakuan [JSP]).

Pada uji lanjutan, setiap jenis ekstrak diuji pada enam taraf konsentrasi yang diharapkan dapat mengakibatkan kematian serangga uji antara 15% dan 95%. campuran sama seperti pada uji pendahuluan. Data mortalitas kumulatif pada 24, 48, dan 72 JSP diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC (LeOra Software 1987).

Analisis Sifat Aktivitas

Campuran Ekstrak A. squamosa, C. multiflorum, dan T. vogelii

Interaksi penyusun campuran (ekstrak A. squamosa, C. multiflorum, dan T. vogelii) dianalisis berdasarkan model kerja bersama bebas (Robertson et al. 2007). Berdasarkan nilai LC50 dan LC95 setiap penyusun campuran dan campurannya

dihitung indeks kombinasi sebagai kriteria untuk menentukan sifat interaksi campuran (sinergis, aditif atau antagonis). Indeks kombinasi (IK) dihitung dengan rumus berikut (Chou & Talalay 1984):

IK = + + + pq + pr + qr + pqr

LCx1(M), LCx2(M), dan LCx3(M) masing-masing konsentrasi komponen 1

(ekstrak T. vogelii), komponen 2 (minyak atsiri daun C. multiflorum), dan komponen 3 (ekstrak A. squamosa) dalam campuran yang mengakibatkan mortalitas x (50% atau 95%). LCx1, LCx2, dan LCx3 masing-masing konsentrasi

komponen 1, komponen 2, dan komponen 3 yang mengakibatkan mortalitas x bila digunakan secara terpisah. LCx1(M), LCx2(M), dan LCx3(M) masing-masing dihitung

dari LCx campuran dikalikan dengan proporsi konsentrasi komponen 1, 2, dan 3

dalam campuran. LCx1(M)

LCx1

LCx2(M) LCx3(M)

(22)

p = q = r =

Kategori sifat interaksi campuran adalah sebagai berikut (diadaptasi dari Gisi 1996 berdasarkan kebalikan dari nisbah ko-toksisitas):

(1) bila IK < 0.5 maka komponen campuran bersifat sinergistik kuat, (2) bila IK = 0.5-0.77 maka komponen campuran bersifat sinergistik lemah, (3) bila IK > 0.77-1.43 maka sifat interaksi campuran tidak tentu,

(4) bila IK > 1.43 maka komponen campuran bersifat antagonistik. LCx1(M)

LCx1

LCx2(M) LCx3(M)

(23)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ekstrak Uji terhadap Mortalitas Larva P. xylostella

Pada uji pendahuluan, perlakuan dengan minyak atsiri daun C. multiflorum pada konsentrasi 1% mengakibatkan kematian larva P. xylostella 100% pada 48 JSP, sedangkan perlakuan dengan ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa pada konsentrasi 0.3% mengakibatkan kematian kurang dari 80% sehingga konsentrasinya perlu dinaikkan.

Hasil uji lanjutan menunjukkan bahwa mortalitas larva P. xylostella pada 24 JSP masih kurang dari 50% untuk semua perlakuan ekstrak, kemudian meningkat pada 48 JSP. Pada perlakuan dengan ekstrak A. squamosa dan T. vogelii pada konsentrasi tertinggi, kematian larva P. xylostella mencapai 100%, sedangkan pada perlakuan dengan minyak atsiri C. multiflorum kematian larva mendekati 70% pada 24 JSP dan kematian larva hanya sedikit meningkat pada 48 JSP. Perlakuan dengan campuran ketiga ekstrak tersebut pada konsentrasi tertinggi mengakibatkan mortalitas mendekati 100%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak uji, semakin tinggi pula mortalitas larva P. xylostella (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas larva bergantung pada kandungan bahan aktif ekstrak uji.

Secara visual daun yang diberi perlakuan hanya sedikit dimakan oleh larva P. xylostella, terutama pada konsentrasi tinggi. Hal ini berbeda dengan larva yang diberi daun kontrol (tanpa perlakuan) yang memakan hampir seluruh daun yang diberikan. Larva yang makan daun perlakuan menunjukkan penurunan aktivitas yang sangat drastis, dan akhirnya mati. Hal ini menunjukkan bahwa gejala tersebut disebabkan oleh toksisitas bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum, ekstrak daun T. vogelii, dan campuran ketiga bahan nabati tersebut.

Analisis probit dilakukan terhadap data kematian larva pada 24, 48, dan 72 JSP. LC50 A. squamosa pada 72 JSP lebih kecil dibandingkan dengan pada 48

JSP, dan lebih kecil pula daripada LC50 pada 24 JSP. Hal ini menunjukkan

peningkatan mortalitas larva P. xylostella pada 48 JSP dan 72 JSP. LC95 pada 72

(24)
(25)

24 JSP dan 48 JSP tidak jauh berbeda, sehingga dapat disimpulkan bahwa mortalitas larva baru meningkat nyata saat 72 JSP. LC50 dan LC95 saat 72 JSP dan

48 JSP tidak berbeda nyata (SK 95% tumpang-tindih), namun C. multiflorum keduanya lebih rendah dibandingkan dengan pada 24 JSP. Hal ini menunjukkan bahwa mortalitas larva meningkat nyata antara 24 dan 48 JSP. LC50 dan LC95 T.

vogelii dan campuran pada 72 JSP lebih kecil daripada 48 JSP dan lebih kecil juga dibandingkan dengan LC50 dan LC95 pada 24 JSP (Tabel 1.). Hal ini sesuai

dengan pola perkembangan mortalitas, yaitu pada 48 JSP dan 72 JSP terjadi peningkatan mortalitas. Berdasarkan kesetaraan toksisitas pada taraf LC50 pada

72 JSP, ekstrak daun T. vogelii masing-masing 3.78 dan 1.70 kali lebih toksik dibandingkan dengan minyak atsiri daun C. multiflorum dan ektrak biji A. squamosa.

Berdasarkan indeks kombinasi (IK) menurut model kerja bersama berbeda, aktivitas campuran ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum dan ekstrak daun T. vogelii bersifat tidak tentu pada taraf LC50 pada 24 dan 48

JSP, dan antagonis pada 72 JSP, sedangkan pada taraf LC95 campuran tersebut

bersifat antagonis pada 24 JSP dan 72 JSP dan bersifat tidak tentu pada 48 JSP (Tabel 2). Perubahan sifat pada taraf LC50 dan LC95 dari tidak tentu pada 48 JSP

(26)

Tabel 1 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum, dan ekstrak daun T. vogelii terhadap larva P. xylostella dengan metode celup daun

Ekstrak uji Waktu pengamatan

(JSP) a a ± GB b ± GB

b LC50 (SK 95%) (%) b LC95 (SK 95%) (%) b

Annona squamosa 24 0.637 ± 0.388 6.383 ± 1.294 0.795 (-) 1.438 (-)

48 0.861 ± 0.243 4.789 ± 0.676 0.661 (-) 1.458 (-) 72 2.034 ± 0.209 5.235 ± 0.486 0.409 (-) 0.843 (-) Cinnamomum

multiflorum

24 -0.851 ± 0.126 5.033 ± 1.270 1.476 (-) 3.133 (-) 48 0.309 ± 0.108 8.884 ± 1.049 0.923(0.888-0.970) 1.414(1.273-1.666) 72 0.337 ± 0.107 8.290 ± 0.996 0.911(0.876-0.958) 1.438(1.287-1.716)

Tephrosia vogelii 24 -1.273 ± 0.274 0.747 ± 0.486 50.515 (-) 8029.592 (-)

48 0.984 ± 0.179 2.532 ± 0.319 0.409(-) 1.823 (-)

72 2.443 ± 0.219 3.953 ± 0.376 0.241(0.192-0.286) 0.628 (0.479-1.106)

Campuran 24 -0.413 ± 0.176 3.090 ± 0.657 1.360 (-) 4.634 (-)

48 0.716 ± 0.162 3.824 ± 0.569 0.590 (-) 1.219(-)

72 1.461 ± 0.198 4.412 ± 0.657 0.466(-) 1.100(-)

a

JSP = jam setelah perlakuan.

b

a = intersep garis regresi probit, b = kemiringan regresi probit, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan.

1

(27)

Tabel 2 Sifat aktivitas campuran ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum dan daun T. vogelii (1:1:2) terhadap larva instar III P. xylostella dengan metode celup daun

Pembahasan Umum

Berdasarkan LC95 pada 72 JSP, ekstrak aseton daun T. vogelii lebih toksik

terhadap larva P. xylsotella dibandingkan dengan ekstrak heksana biji A. squamosa dan minyak atsiri daun C. multiflorum, dan ekstrak biji A. squamosa lebih toksik daripada minyak atsiri daun C. multiflorum. Perbedaan toksisitas di antara ketiga bahan nabati yang diuji dapat disebabkan oleh perbedaan toksisitas dan kandungan senyawa aktifnya. Daun T. vogelii mengandung senyawa rotenoid seperti rotenon, tefrosin, dan deguelin (Delfel et al. 1970; Lambert et al. 1993), yang memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap berbagai jenis serangga baik sebagai racun perut maupun racun kontak (Prakash & Rao 1997; Djojosumarto 2008). Ekstrak biji A. squamosa mengandung senyawa asetogenin, termasuk squamosin dan asimisin, yang juga bersifat sebagai racun perut dan racun kontak yang kuat terhadap berbagai jenis serangga (Grainge & Ahmed 1988; Ohsawa et al. 1994). Baik rotenoid maupun asetogenin bekerja sebagai racun respirasi sel dengan cara menghambat transfer elektron pada rantai transpor elektron di dalam mitokondria (Zafra-Polo 1996; Hollingworth 2001). Perbedaan aktivitas ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kandungan senyawa aktifnya. Daun T. vogelii diekstrak dengan aseton yang dapat melarutkan senyawa rotenoid dengan baik (Delfel et al. 1970), sedangkan biji A. squamosa diekstrak dengan heksana yang bersifat nonpolar sehingga ekstrak yang diperoleh berbentuk minyak dan kemungkinan kandungan asetogeninnya relatif rendah. Ekstrak biji A. squamosa yang diekstrak dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran cukup tinggi, seperti aseton dan metanol, memiliki aktivitas insektisida yang kuat (Prijono et al. 1997; Isnaeni 2006).

Waktu pengamatan (JSP) a Indeks kombinasi Sifat interaksi

(28)

Minyak atsiri daun C. multiflorum memiliki aktivitas insektisida yang paling rendah di antara ketiga bahan nabati yang diuji. Komposisi lengkap minyak atsiri daun C. multiflorum belum pernah dilaporkan. Thantsin et al. (2008) melaporkan kandungan senyawa kimia daun C. multiflorum yang diekstrak dengan dietil eter. Ekstrak tersebut mengandung sinamaldehida sebagai komponen utama (29,57%). Sinamaldehida memiliki aktivitas insektisida sedang terhadap beberapa jenis hama gudang seperti Sitophilus oryzae (Lee et al. 2008) tetapi aktivitasnya terhada hama pemakan daun belum pernah dilaporkan.

Larva P. xylostella secara visual hanya memakan sedikit daun yang diberi perlakuan ekstrak T. vogelii dengan konsentrasi tinggi, Hal ini sesuai dengan sifat antifeedant dari ekstrak tersebut (Morallo-Rejesus 1986). Gejala tersebut juga ditunjukkan oleh larva P. xylostella yang diberi perlakuan ekstrak biji A. squamosa yang dilaporkan, selain mematikan, juga bersifat menghambat makan (Ohsawa et al. 1994). Aktivitas menghambat makan tersebut dapat meningkatkan kepekaan serangga terhadap insektisida, termasuk insektisida nabati.

Larva P. xylostella yang diberi perlakuan ekstrak T. vogelii dan A. squamosa menurun aktivitas geraknya dan bagian dalam tubuhnya tampak berwarna gelap. Hal ini sesuai dengan cara kerja rotenoid (bahan aktif T. vogelii) dan asetogenin (bahan aktif A. squamosa) pada tingkat seluler, yaitu menghambat respirasi sel pada tahapan yang terjadi di dalam mitokondria (Zafra-Polo 1996; Hollingworth 2001). Proses penghambatan respirasi sel memerlukan waktu tertentu hingga menghasilkan efek yang mematikan, kecuali komponen aktifnya mengalami translokasi dengan cepat pada organ vital. Penghambatan respirasi sel mengakibatkan berkurangnya produksi ATP sebagai sumber energi di dalam sel dan jaringan sehingga terjadi kelumpuhan otot dan jaringan lain, yang akhirnya mengakibatkan kematian. Penghambatan respirasi sel pada jaringan saluran pencernaan makanan larva dapat menyebabkan penurunan aktivitas makan larva lebih lanjut sehingga bila hal ini terjadi di lapangan, kerusakan tanaman dapat ditekan sampai tingkat minimal.

(29)

daun C. multiflorum, dan ekstrak daun T. vogelii pada taraf LC50 dan LC95

(30)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Di antara tiga jenis ekstrak yang diuji, ekstrak aseton daun T. vogelii memiliki aktivitas imsektisida yang kuat terhadap larva P. xylostella, diikuti oleh ekstrak heksana biji A. squamosa, dan yang aktivitasnya paling rendah adalah minyak atsiri daun C. multiflorum. Dengan demikian pengembangan insektisida nabati dengan menggunakan ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa lebih disarankan dibandingkan dengan menggunakan minyak atsiri C. multiflorum. Campuran ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum, dan ekstrak daun T. vogelii dengan perbandingan 1:1:2 bersifat antagonis, sehingga penggunaan secara tunggal lebih dianjurkan dibandingkan dengan penggunaan dengan bentuk campuran.

Saran

(31)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2010. Tephrosia vogelii. www.paceproject.net. [27 Juli 2010].

Abizar M, Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida ekstrak daun dan biji Tephrosia vogelii J.D. Hooker (Leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L. (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Crambidae). Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 10:1-12.

Cabizza M, Angioni A, Mellis M, Cabras M, Tuberoso CV, Cabras P. 2004. Rotenone and rotenoids in cube` resins, formulations, and residues on olives. Journal of Agricultural and Food Chemistry 52: 288-293.

Capinera JL. 2001. Diamondback Moth, Plutella xylostella (L.) (Insecta: Lepidoptera: Plutellidae). http://edis.ifas.ufl.edu. [12 Agustus 2010].

Cheng SS, Liu JY, Huang CG, Hsui YR, Chen Wj, Chang ST. 2009. Insecticidal activities of leaf essential oils from Cinnamomum osmophloeum against three mosquito species. Bioresource Technology 100: 457-464.

Chou TC, Talalay P. 1984. Quantitative analysis of dose-effect relationships: the combined effects of multiple drugs or enzyme inhibitors. Advances in Enzyme Regulation 22: 27-55.

Dadang. 1999. Sumber insektisida alami. Di dalam: Nugroho BW, Dadang, Prijono D, penyunting. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami; Bogor, 9-13 Agustus 1999. Bogor: Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu Institut Pertanian Bogor. hlm 8-20.

Dadang, Ohsawa K. 2000. Penghambatan aktivitas makan larva Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae) yang diperlakukan ekstrak biji Swietenia mahogani (Meliaceae). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 12(1): 27-32.

Dadang, Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Dadang, Yunia N, Ohsawa K. 2007. Insecticidal activity of extract mixture of four plants species against Crocidolomia pavonaa (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). Journal of International Society for Southeast Asian Agriculture Sciences 13(2): 9-17.

Delfel NE, Tallent WH, Carlson DG, Wolff IA. 1970. Distribution of rotenone and deguelin in Tephrosia vogelii and separation of rotenoid-rich fractions. Journal of Agricultural and Food Chemistry 18:385−390.

Delobel A, Malonga P. 1987. Insecticidal properties of six plant material against Caryedon serratus (OL.) (Coleoptera: Bruchidae). Journal of Stored Product Research 23 (3): 173-176

(32)

Djojosumarto P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Jakarta: Agromedia.

Garner RJ, Chaundhri SA. 1997. The Propagation of Tropical Fruit Trees. East Malling: Commonwealth Bureau of Horticulture and Plantation Crops. Gisi U. 1996. Synergistic interactions of fungicides in mixtures. Phytopathology

86:1273-1279.

Grainge M, Ahmed S. 1988. Handbook of Plants with Pest Control Properties. New York: J Wiley.

Herminanto, Wiharsi, Sumarsono T. 2004. Potensi ekstrak biji srikaya (Annona squamosa L.) untuk mengendalikan ulat krop kubis Crocidolomia pavonana F. Agrosains 6(1): 31-35.

Hollingworth RM. 2001. Inhibitors and uncouplers of mitochondrial oxidative phosphorylation. Di dalam: Krieger R, Doull J, Ecobichon D, Gammon D, Hodgson E, Reiter L, Ross J, editor. Handbook of Pesticide Toxicology. Vol 2. San Diego: Academic Press. hlm 1169-1227.

Islam R, Khan RI, Al-Reza SM, Jeong YT, Song CH, et al. 2008. Chemical composition and insecticidal properties of C. aromaticum (Nees) essential oil against the stored product beetle Callosobruchus maculatus (F.). Journal of Science of Food and Agriculture 89:1241-1246.

Isnaeni N. 2006. Ketahanan dan pengaruh fitotoksisitas campuran ekstrak Piper retrofractum dan Annona squamosa pada pengujian semi lapang [skripsi]. Bogor: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baruvan Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Kamal R, Mangla M. 1993. In vivo and in vitro investigations on rotenoids from Indigofera tinctoria and their bioefficacy against the larvae of Anopheles stephensi and adults of Callosobruchus chinensis. Journal of Bioscience 18(1): 93-101.

Kartosuwondo U. 1994. Populasi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) dan parasitoid Diadegma semiclausum Hellen (Hymenoptera: Ichneumonidae) pada kubis dan dua jenis Brassicaceae liar. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 7(2): 39-49.

Kim SI, Roh JY, Kim DH, Lee HS, Ahn YJ. 2001. Insecticidal activities of aromatic plant extracts and essential oils against Sitophilus oryzae and Callosobruchus chinensis. Journal of Stored Product Research 39:293-303. Koona P, Dorn S. 2005. Extract from Tephrosia vogelii for the protection of

stored legume seeds against damage by three bruchid species. Annals of Applied Biology 147:43-48.

(33)

Lee EJ, Kim JR, Choi DR, Ahn YR. 2008. Toxicity of cassia and cinnamon oil compounds and cinnamaldehyde-related compound to Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae). Journal of Economic Entomology 101 (6): 1960-1966.

LeOra Software. 1987. POLO-PC User’s Guide. Petaluma (CA): LeOra Software. Liu Ch, Mishra AK, Tan RX, Tang C, Yang H, Shen YF. 2006. Repellent and insecticidal activities of essential oils from Artemisia princeps and Cinnamomum camphora and their effect on seed germination of wheat and broad bean. Bioresource Technology 97: 1969-1973.

Metcalf RL. 1982. Insecticides in pest management. Di dalam: Metcalf RL, Luckmann WH, editor. Introduction to Insect Pest Management. Ed ke-2. New York: J Wiley. hlm 217-277.

Morallo-Rejesus B. 1986. Botanical insecticides against the diamondback moth. Di dalam: Griggs TD, editor. Diamondback Moth Management. Proceedings of the First International Workshop; Tainan (Taiwan), 11-15 March, 1985. Shanhua (TW):.AVRDC. hlm 241-256.

Norris RF, Caswell-Chen EP, Kogan M. 2003. Concepts in Integrated Pest Management. New Jersey: Pearson Educations.

Ohsawa K, Kato S, Manuwoto S. 1994. Bio-active substances from tropical plants. Di dalam: Sanches FF, Ohsawa K, editor. Natural Bio-active Substances in Tropical Plants. Tokyo: Tokyo University of Agriculture. hlm 65-72.

Prajapati V, Tripati AK, Aggarwal KK, Khanuja SPS. 2005. Insecticidal, repellent, and oviposition-deterrent activity of selected essential oils against Anopheles stephensi, Aedes aegepti, and Culex quinquefasciatus. Bioresource Technology 96 : 1749-1757

Prakash A, Rao J. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: Lewis Publishers.

Prijono D. 1998. Research on botanical insecticide in Indonesia. Di dalam National Conference on Biopesticides with Emphasis on Neem; Surabaya, 11-12 Agustus 1997. Eschborn: GTZ. Hal.58-72.

Prijono D, Gani MS, Syahputra E. 1997. Insecticidal activity of annonaceous seed extracts against Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera: Pyralidae). Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 9(1):1-6.

Prijono D, Manuwoto S. 1995. Evaluation of insecticidal activity of seed extracts of Annonaceous, Fabaceous, and Meliaceous plants against mungbeen beetle, Callosobruchus maculatus (L.). Di dalam: Sidik M et al., editor. BIOTROP Special Publication 59. Proceeding of The Symposium on Pest Management for Stored Food and Feed; Bogor, 5-7 September 1995. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Hlm.161-171.

(34)

Unesco National Seminar. Depok, 15-16 Desember 1994. Depok: University of Indonesia.

Robertson JL, Russell RM, Preisler HK, Savin NE. 2007. Bioassays with Arthropods. Ed ke-2. Boca Raton: CRC Press.

Rauf A, Prijono D, Dadang, Winasa IW, Russell DA. 2005. Survey on pesticide use by cabbage farmers in West Java, Indonesia. Report of research collaboration between Departement. of Plant Protection, IPB and LaTrobe University, Australia.

Sastrosiswojo S. 1990. Penggunaan pestisida secara bijaksana dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman hortikultura, khususnya sayuran. Di dalam: Pawiroesoemardjo S, Sudarmaji D, Harsono, Basuki IS, editor. Perlindungan Tanaman untuk Menunjang Terwujudnya Pertanian Tangguh dan Kelestarian Lingkungan. Bogor: PT. Agricon. hlm 315-336.

Sastrosiswojo S, Sastrodihardjo S. 1986. Status of biological control of diamondback moth by introduction of parasitoid Diadegma eucerophaga in Indonesia. Di dalam: Talekar NS, Griggs TD, editor. Diamondback Moth Management. Proceedings of the First International Workshop; Tainan (Taiwan), 11–15 March 1985. Shanhua (Taiwan): AVRDC. hlm 185-194. Sastrosiswojo S, Setiawati W. 1993. Hama-hama kubis dan pengendaliannya. Di

dalam: Permadi AH, Sastrosiswojo S, editor. Kubis. Bandung: Balithor. hlm 39−50.

Soeroto, Hikmat A, Cahyaniati. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan Secara Terpadu pada Tanaman Kubis. Jakarta: Direktorat Bina Perlindungan Tanaman.

Talekar NS, Shelton AM. 1993. Biology, ecology, and management of the diamondback moth. Annual Review of Entomoogyl 38: 275-301.

Thantsin K, Zhang Q, Yang J, Wang Q. 2008. Composition of semivolatile parasite of Plutella maculipennis (Curt.). Contribution Central Agriculture Research Station 134: 1-32.

Yuswanti L. 2002. Pengaruh campuran ekstrak Aglaia harmsiana Perkins dan Dysoxylum acutangulum Miq. (Meliaceae) terhadap mortalitas dan oviposisi Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) [skripsi]. Bogor: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(35)
(36)

AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK BIJI Annona squamosa,

MINYAK ATSIRI DAUN Cinnamomum multiflorum, EKSTRAK

DAUN Tephrosia vogelii, DAN CAMPURAN KETIGANYA

TERHADAP LARVA Plutella xylostella (L.) (LEPIDOPTERA:

YPONOMEUTIDAE)

ASTRI FEBRIANNI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(37)

ABSTRAK

ASTRI FEBRIANNI. Aktivitas Insektisida Ekstrak Biji Annona squamosa, Minyak Atsiri Daun Cinnamomum multiflorum, Ekstrak Daun Tephrosia vogelii, dan Campuran Ketiganya terhadap Larva Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae). Dibimbing oleh AUNU RAUF dan DJOKO PRIJONO.

Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas insektisida ekstrak biji Annona squamosa, minyak atsiri daun Cinnamomum multiflorum, ekstrak daun Tephrosia vogelii, dan campuran ketiga bahan nabati tersebut terhadap larva Plutella xylostella. Setiap ekstrak diuji pada enam taraf konsentrasi yang ditentukan berdasarkan uji pendahuluan terhadap larva instar III P. xylostella dengan metode celup daun (lama pemberian daun perlakuan 48 jam). Perbandingan konsentrasi ekstrak dalam uji campuran adalah 1:1:2 masing-masing untuk A. squamosa, C. multiflorum, dan T. vogelii dan diuji dengan taraf konsentrasi 0.16%, 0.32%, 0.48%, 0.64%, dan 0.80%. Pengamatan dilakukan pada 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan (JSP). Data mortalitas kumulatif pada 24, 48, dan 72 JSP diolah dengan analisis probit menggunakan program POLO-PC. Pada semua perlakuan, mortalitas larva masih rendah pada 24 JSP dan mulai meningkat pada 48 JSP. Berdasarkan kesetaraan toksisitas pada taraf LC50 pada

72 JSP, ekstrak daun T. vogelii masing-masing 3.78 dan 1.70 kali lebih toksik dibandingkan dengan minyak atsiri daun C. multiflorum dan ekstrak biji A. squamosa. Ekstrak daun T. vogelii dan ekstrak biji A. squamosa lebih efektif dibandingkan dengan minyak atsiri daun C. multiflorum. Pada taraf LC95,

(38)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ulat daun kubis Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae) merupakan salah satu hama utama pada pertanaman kubis dataran tinggi (Sastrosiswojo 1990). Kerusakan yang berat pada daun sering terjadi ketika populasi larva tinggi. Hampir seluruh daun dimakan larva dan hanya tinggal tulang daun. Larva P. xylostella biasanya menyerang tanaman kubis yang masih muda, yang belum membentuk krop. Tingkat populasi larva P. xylostella yang tinggi biasanya terjadi pada 6-8 minggu setelah tanam. Kehilangan hasil yang disebabkan P. xylostella bersama-sama dengan Crocidolomia pavonana dapat mencapai 100% pada musim kemarau jika insektisida tidak digunakan (Sastrosiswojo & Setiawati 1993).

Pengendalian hama kubis dianjurkan dengan menerapkan pengendalian hama terpadu (PHT), dengan penekanan pada pengendalian hayati dan cara-cara bercocok tanam. Pengendalian hayati terhadap P. xylostella dilakukan dengan pemberdayaan parasitoid Diadegma semiclausum yang dapat menekan populasi P. xylostella hingga 86% bila insektisida tidak digunakan (Sastrosiswojo & Sastrodihardjo 1986). Namun, banyak petani yang masih mengandalkan penggunaan insektisida sintetik untuk mengendalikan hama kubis (Rauf et al. 2005).

Penggunaan insektisida sintetik dianggap memiliki keuntungan antara lain memberikan hasil yang cepat dan nyata, harganya lebih murah dibandingkan dengan pengendalian nonkimiawi, tidak memerlukan banyak tenaga, dan tidak memerlukan pendidikan tinggi untuk pengaplikasiannya (Norris et al. 2003). Namun, penggunaan insektisida juga memiliki dampak negatif, antara lain dapat menyebabkan resistensi dan resurjensi hama, terbunuhnya organisme bukan sasaran, keracunan pada pengguna, adanya residu pada hasil panen, dan pencemaran lingkungan secara umum (Metcalf 1982; Norris et al. 2003; Djojosumarto 2008).

(39)

melalui sistem PHT. Dalam pasal 19 disebutkan bahwa penggunaan pestisida sintetik merupakan langkah terakhir untuk mengendalikan hama jika pengendalian nonkimiawi tidak berhasil, dan dampak yang ditimbulkan harus seminimal mungkin. Untuk itu perlu dikembangkan sarana pengendalian hama yang efektif membunuh hama sasaran tetapi dampaknya minimal. Salah satu alternatif yang memenuhi kriteria tersebut ialah penggunaan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan. Beberapa tumbuhan yang potensial untuk dijadikan insektisida nabati antara lain Annona squamosa (Annonaceae), Cinnamomum multiflorum (Lauraceae), dan Tephrosia vogelii (Leguminosae).

Ekstrak biji srikaya dilaporkan aktif terhadap berbagai jenis serangga pemakan daun dan pengisap cairan tanaman (Grainge & Ahmed 1988). Sebagai contoh, Prijono et al. (1997) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji A. squamosa menunjukkan aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C. pavonana dan lebih aktif daripada ekstrak akar tuba, Derris elliptica. Ekstrak biji srikaya juga toksik terhadap larva P. xylostella, kumbang Callosobruchus chinensis, dan wereng hijau Nephotettix cincticeps (Dadang 1999). Sifat insektisida A. squamosa disebabkan oleh kandungan senyawa golongan asetogenin, terutama asimisin (squamosin H) dan squamosin (anonin I) (Ohsawa et al. 1994; Zafra-Polo et al. 1996).

Thantsin et al. (2008) melaporkan bahwa ekstrak eter kulit batang C. multiflorum mengandung senyawa sinamaldehida 29.6%, eugenol 3%, dan asam palmitat 4.2%. Namun hingga saat ini sifat insektisida C. multiflorum belum pernah dilaporkan. Perlakuan dengan minyak atsiri salah satu spesies Cinnamomum lain, yaitu C. aromaticum, menyebabkan mortalitas imago Callosobruchus maculatus sebesar 94.4% (Islam et al. 2009). Kim et al. (2001) juga melaporkan bahwa ekstrak kulit akar C. sieboldii menyebabkan kematian Sitophilus oryzae dan C. chinensis sebesar 100% pada 2 hari setelah perlakuan.

Sifat insektisida daun T. vogelii, yang mengandung senyawa rotenoid, termasuk rotenon, tefrosin, dan deguelin (Delfel et al. 1970; Lambert et al.1993), juga telah lama diketahui. Morallo-Rejesus (1986) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii dapat membunuh dan menghambat makan larva P. xylostella.

(40)

obtectus, C. maculatus, dan C. chinensis. Fraksi 2-4 kromatografi kolom T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva P. xylostella dengan LC95 pada 72 JAP hanya sekitar 0.031% (Zarkani 2008). Abizar &

Prijono (2010) melaporkan bahwa ekstrak daun T. vogelii bunga ungu lebih aktif terhadap larva C. pavonana dibandingkan dengan ekstrak daun T. vogelii bunga putih, serta ekstrak biji T. vogelii bunga ungu dan bunga putih.

Insektisida nabati dapat digunakan secara tunggal atau campuran, namun sebelum insektisida digunakan dalam bentuk campuran, sifat aktivitasnya perlu diketahui. Perlakuan dengan campuran ekstrak A. squamosa dan P. retrofractum mengakibatkan mortalitas larva C. pavonana yang tinggi (100%) pada konsentrasi 0,05%. Perlakuan dengan campuran ekstrak tersebut juga memberikan mortalitas larva C. pavonana yang tinggi pada pengujian semilapangan (Isnaeni 2006). Campuran ekstrak daun T. vogelii bunga ungu dan fraksi padatan ekstrak buah P. cubeba (5:9) lebih aktif terhadap larva C. pavonana dibandingkan ekstrak komponennya secara terpisah. Campuran tersebut bersifat sinergistik terhadap larva C. pavonana, baik pada taraf LC50 maupun LC95 (Abizar & Prijono 2010).

Aktivitas campuran insektisida nabati yang mengandung tiga jenis ekstrak, yaitu T. vogelii, A. squamosa, dan C. multiflorum sampai sekarang belum pernah dilaporkan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan menentukan aktivitas insektisida ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum, dan ekstrak daun T. vogelii serta campuran ketiga bahan nabati tersebut terhadap larva P. xylostella.

Manfaat

(41)

TINJAUAN PUSTAKA

Plutella xylostella

Arti Ekonomi

Plutella xylostella merupakan hama penting di daerah pertanaman kubis di seluruh dunia (Kalshoven 1981). Hama tersebut dapat ditemukan hampir di setiap daerah tempat tanaman kubis-kubisan ditanam (Satrosiswojo & Setiawati 1993). Jika tidak ada tanaman kubis-kubisan yang ditanam, beberapa spesies Brassicaceae liar dapat menjadi inang alternatif, misalnya Nasturtium indicum (L.) dan Cardamine hirsuta (L.) (Kartosuwondo 1994).

Gejala pada tanaman inang akibat aktivitas makan larva P. xylostella sangat khas, yaitu adanya jendela-jendela yang tidak beraturan dan berwarna putih. Jendela tersebut disebabkan oleh larva yang memakan permukaan bawah daun dan menyisakan lapisan epidermis bagian atas (Kalshoven 1981). Instar I memakan daun kubis dengan mengorok ke dalam permukaan bawah daun. Larva instar I mengorok daun selama 2-3 hari (Soeroto et al. 1994). Larva instar II keluar dari liang korok dan makan jaringan daun pada permukaan bawah daun. Larva instar III dan IV akan makan bagian daun lebih banyak. Sejalan dengan pertumbuhan jaringan daun, bekas gigitan akan pecah dan menimbulkan lubang besar pada daun kubis. Jika populasi larva tinggi, kerusakan berat pada daun sering terjadi. Hampir seluruh daun dimakan larva dan hanya tinggal tulang-tulang daun yang ditinggalkan (Satrosiswojo & Setiawati 1993).

Siklus Hidup

(42)

Larva P. xylostella melewati empat instar. Larva instar I mengorok di dalam jaringan permukaan bawah daun. Larva keluar dari korokan pada saat instar I akhir dan berganti kulit di permukaan bawah daun. Larva instar II makan dari permukaan bawah daun. Larva instar III dan IV makan daun lebih banyak. Jika terganggu larva akan menggeliat dengan cepat, bergerak ke belakang dan memintal seutas sutera untuk turun. Secara keseluruhan panjang tubuh instar I sampai dengan IV berturut-turut 1.7, 3.5, 7.0, dan 11.2 mm. Larva tidak berwarna saat instar I, kemudian berwarna hijau, terdapat rambut pada tubuhnya, dan memiliki lima pasang tungkai palsu. Tubuh larva berbentuk lancip di kedua ujungnya, dengan sepasang tungkai palsu yang menonjol dari bagian posterior, membentuk huruf “V”.

Pada saat akan berpupa, larva instar IV akan memintal kokon berwarna putih yang longgar, biasanya terbentuk pada bagian daun terluar atau di permukaan bawah daun. Pada kol bunga dan brokoli pupa terbentuk di bunga. Pupa berwarna kekuningan, dengan panjang sekitar 7 hingga 9 mm. Rata-rata waktu berpupa 8,5 hari dengan rentang waktu sekitar 5 hingga 15 hari (Capinera 2001). Lama stadium instar I, II, dan III di Bogor masing-masing sekitar 2 hari, lama stadium instar IV sekitar 3 hari, larva stadium pupa sekitar 3 sampai 5 hari, dan lama hidup imago berkisar dari 2 sampai 4 minggu (Vos 1953)

Imago berwarna cokelat kelabu. Pada sayapnya terdapat pola seperti berlian (Kalshoven 1981). Imago mulai aktif pada sore hingga malam hari. Perkawinan terjadi pada sore hari. Imago betina memiliki masa peletakan telur 4 hari (Talekar & Shelton 1993). Siklus hidup P. xylostella di dataran tinggi lebih panjang daripada di dataran rendah. Pada ketinggian 1100 m dpl, siklus hidupnya 20-25 hari, sedangkan pada 250 m dpl hanya 12-15 hari (Kalshoven 1981).

Pengendalian

(43)

bioinsektisida B. thuringiensis dan insektisida kelompok penghambat perkembangan serangga. Pengendalian lainnya antara lain adalah pengendalian secara kultur teknis, hayati, dan kimiawi. Pengendalian kultur teknis dapat dilakukan dengan menerapkan sistem tumpang sari, mengatur waktu tanam, dan menanam tanaman perangkap (Satrosiswojo & Setiawati 1993).

Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan menggunakan musuh alami, terutama parasitoid larva Diadegma semiclausum yang mampu menekan populasi hama P. xylostella dengan tingkat parasitisasi hingga 86% bila insektisida tidak digunakan (Sastrosiswojo & Satrodihardjo 1986). Kartosuwondo (1994) melaporkan bahwa tumbuhan Brassicaceae liar seperti N. indicum dan C. hirsuta dapat berperan sebagai reservoir dan faktor penstabil populasi parasitoid D. semicalusum. Namun cara yang sering dilakukan petani adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan insektisida sintetik yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif (Rauf et al. 2005).

Insektisida nabati merupakan salah satu alternatif pengendalian yang relatif aman dan sesuai dengan konsep PHT. Ekstrak tumbuhan yang dilaporkan efektif terhadap hama P. xylostella antara lain Tephrosia vogelii (Fabaceae), Calophyllum soulattri (Clusiaceae), Swietenia mahogani (Meliaceae), Azadirachta indica (Meliaceae), Aglaia harmsiana (Meliaceae), Dysoxylum acutangulum (Meliaceae), P. retrofractum (Piperaceae) (Soeroto et al. 1994; Dadang & Ohsawa 2000; Yuswanti 2002; Zarkani 2008).

Ciri Umum dan Sifat Insektisida Annona squamosa

Tanaman Annona squamosa (srikaya) berbentuk perdu hingga pohon dengan tinggi tanaman sekitar 4-6 m. Tanaman tersebut merupakan anggota dari suku Annonaceae yang tersebar paling luas di dunia (Garner & Chaundri 1977). A. squamosa ditanam untuk diambil buahnya dan biasanya dikonsumsi langsung. Buah majemuk berbentuk bulat dengan jari tengah 5-10 cm, kulit luar berlilin. Buah masak berwarna hijau kebiru-biruan, biji dari buah masak berwarna hitam mengkilat dan daging buah berwarna putih (van Steenis et al. 1975)

(44)

beberapa jenis hama penting pertanian dan hama dalam penyimpanan (Prakash & Rao 1997). Ekstrak air A. squamosa pada konsentrasi 5-10 g biji/liter menunjukkan aktivitas insektisida dan penghambat makan terhadap beberapa serangga (Prijono 1998).

Prijono et al. (1994) melaporkan bahwa ekstrak aseton biji srikaya pada konsentrasi 0.25% efektif terhadap wereng cokelat Nilaparvata lugens dengan perlakuan celup bibit padi. Pada penelitian lain, Prijono & Manuwoto (1995) melaporkan bahwa perlakuan dengan ekstrak aseton biji A. squamosa pada konsentrasi 0.4% menyebabkan kematian kumbang Callosobruchus maculatus sebesar 90% pada 3 hari setelah perlakuan dan meningkat menjadi 100% pada 5 hari setelah perlakuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Prijono et al. (1997) menunjukkan bahwa ekstrak aseton biji A. squamosa dan memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva Crocidolomia pavonana dan lebih aktif daripada ekstrak akar tuba, Derris elliptica. Pada penelitian lain, Herminanto et al. (2004) melaporkan bahwa ekstrak biji A. squamosa sangat nyata mempengaruhi pembentukan pupa dan imago C. pavonana.

Baru-baru ini Deshmukhe et al. (2010) melaporkan bahwa perlakuan dengan esktrak etil alkohol biji A. squamosa pada konsentrasi antara 0.5% dan 25% secara kontak menyebabkan kematian larva Spodoptera litura sebesar 61.7% dan meningkat menjadi 80% selama masa perkembangannya. Larva yang diberikan perlakuan melalui makanan menunjukkan kematian sebesar 76.7% pada konsentrasi 25%.

Senyawa insektisida dalam biji A. squamosa adalah skuamosin dan asimisin yang memiliki sifat insektisida dan menghambat perkembangan. Senyawa tersebut bersifat insektisida terhadap larva instar II P. xylostella. LD50 skuamosin

Gambar

Gambar 1  Perkembangan mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan ekstrak biji A. squamosa (A), minyak atsiri daun C
Tabel 1 Penduga parameter hubungan konsentrasi-mortalitas ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C
Tabel 2  Sifat aktivitas campuran ekstrak biji A. squamosa, minyak atsiri daun C. multiflorum dan daun T
Gambar 1  Perkembangan mortalitas larva P. xylostella pada perlakuan ekstrak biji A. squamosa (A), minyak atsiri daun C
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pembentukan posyandu lansia secara garis besar antara lain meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat,sehingga terbentuk pelayanan kesehatan

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk kelompok, partai, atau

Hal ini sesuai dengan pendapat Toly (2001) yang mengatakan bahwa meningkatnya turnover intention saat ini telah menjadi masalah serius bagi banyak perusahaan, bahkan

paket pekerjaan yang sama atau Penyedia Barang/Jasa. yang mampu dan

[r]

If no DOI has been assigned, and you retrieved the article online, provide the URL of the journal home page (if access is provided to the article there), even if the article

Berdasarkan nilai indeks pada Tabel 3, diketahui bahwa nilai indeks dominansi yang terbesar adalah mata air Citaman dengan nilai indeks dominansi 0,94, sedangkan nilai

KEY WORDS: Land surface temperature; Ground coverage ratio; Building volume density; Urban heat island; Landsat