PRODUKTIVITAS INDUKAN SAPI SIMMENTAL PADA UMUR
YANG BERBEDA DENGAN PEMELIHARAAN INTENSIF
(STUDI KASUS DI PETERNAKAN RONI,
HARAU, KABUPATEN 50 KOTA)
SKRIPSI ROCEYANA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
RINGKASAN
Roceyana. D14070147. 2011. Produktivitas Indukan Sapi Simmental pada Umur yang Berbeda dengan Pemeliharaan Intensif (Studi Kasus di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten 50 Kota). Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Hj. Komariah, M. Si. Pembimbing Anggota : Ir. Sri Darwati, M. Si.
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia dan perubahan pola konsumsi berdampak terhadap penyediaan daging yang belum mencukupi. Perlu diupayakan peningkatan produksi daging melalui perbaikan produktivitas ternak pedaging terutama sapi pedaging.
Simmental merupakan sapi pedaging turunan Bos taurus yang dikembangkan di Lembah Simme, Switzerland dan Swiss. Pertumbuhan ototnya bagus dan penimbunan lemak di bawah kulit rendah sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu komoditas yang berpotensi dalam penyediaan daging.
Penelitian yang dilaksanakan di Peternakan Roni, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 23 Januari sampau 23 Februari 2011 ini bertujuan untuk mengkaji produktivitas indukan Sapi Simmental di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Data produktivitas ditinjau dari aspek produksi dan reproduksi. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer yaitu ukuran tubuh dan hasil wawancara aspek produksi dan reproduksi.. Data sekunder meliputi rekording di peternakan dan pencatatan berbagai instansi terkait yaitu Sub Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota, Biro Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kantor Kecamatan Harau.
Ukuran panjang badan, dalam dada, lingkar pinggul, lingkar dada, tinggi pinggul dan tinggi pundak sapi umur <2 tahun masing-masing yaitu 148,62±13,73 cm; 96,36±5,29 cm; 166,05±11,67 cm; 167,60±9,43 cm; 146,78±12,71 cm dan 145,91±14,51 cm. Umur berahi pertama yaitu 12 bulan dan umur kawin pertama terjadi pada umur 18 bulan. Lama berahi dan panjang siklus berahi masing-masing adalah 20 jam dan 18 hari. Waktu yang diperlukan untuk memperoleh berahi kembali setelah melahirkan yaitu 60-90 hari dan selang beranak 330 hari. Bobot lahir Sapi Simmental adalah sebesar 35 kg dengan umur sapih 7 bulan.
Produktivitas indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni adalah tinggi berdasarkan bobot sapih anak, nilai S/C, angka kebuntingan dan calf crop sapi masing-masing sebesar 125-175; 1,2; 82% dan 95%.Ketercapaian penerapan GFP di Peternakan Roni yaitu 20%.
xi ABSTRACT
Productivity of Simmental Cow at The Different Age With Intensive Maintenance (Case Study in Roni Farm, Harau,
Regency of 50 Kota)
Roceyana, Komariah and S. Darwati
Increasing of Indonesian population and changing of impacted consumption pattern to supplies meat that haven't sufficed. Required to increasing of meat product by way of improvement productivity beef cattle. The objective of this research was to observe the productivity of Simmental Cattle at the different age based on body measurements, reproduction and productivity. Simmental Cattle belongs to a
BosTaurus beef cattle category which has an accelerated growth. Research was conducted by the use of primary and secondary data. The result of primary observation shows that Simmental Cattle which were kept at A ranch at Harau subdistrict, Regency of 50 Kota have biggest body measurement. Footage body length, chest depth, hip girth, chest girth, hip height and wither height cattle at the age <2 years each which was 148,62±13,73 cm; 96,36±5,29 cm; 166,05±11,67 cm; 167,60±9,43 cm; 146,78±12,71 cm and 145,91±14,51 cm. Productivity of Simmental Cow is high, can see by weaning weight of Simmental, service per conception point and calf crop each which was 125- 175 kg; 1,2; 82% and 95%. Achieving implementation of Good Farming Practices (GFP) was 20%.
ix
PRODUKTIVITAS INDUKAN SAPI SIMMENTAL PADA UMUR
YANG BERBEDA DENGAN PEMELIHARAAN INTENSIF
(STUDI KASUS DI PETERNAKAN RONI,
HARAU, KABUPATEN 50 KOTA)
SKRIPSI ROCEYANA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
PRODUKTIVITAS INDUKAN SAPI SIMMENTAL PADA UMUR
YANG BERBEDA DENGAN PEMELIHARAAN INTENSIF
(STUDI KASUS DI PETERNAKAN RONI,
HARAU, KABUPATEN 50 KOTA)
ROCEYANA D14070147
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 20 November 1989 di Gunung Melintang,
Sumatera Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak
Wagiman dan Ibu Ngatmini.
Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar
Negeri 30 Pulutan, Sumatera Barat dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan
lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004
di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Harau, Sumatera Barat. Penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Harau Sumatera Barat
pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2008. Penulis pernah
memenangkan beberapa perlombaan seperti Lomba Baca Puisi IPB Art Contest 2008 (Juara 3) dan D’Farm Festival pada tahun 2009 dan 2010 (Juara 1).
xv KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke-Hadirat Allah SWT atas limpahan karunia
dan kasih sayangnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Produktivitas Indukan Sapi Simmental pada Umur yang Berbeda dengan Pemeliharaan Intensif (Studi Kasus di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten 50 Kota). Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Produktivitas ternak pedaging khususnya sapi dapat ditinjau dari segi
produksi dan reproduksi. Populasi ternak sapi pedaging yang belum mencukupi salah
satunya dipengaruhi oleh tingkat produktivitas yang rendah. Pengkajian mengenai
produktivitas perlu dilakukan agar peningkatan populasi ternak sapi pedaging dapat
terwujud.
Penelitian ini mengkaji penerapan Good Farming Practices (GFP) Sapi
Simmental di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Hasil yang
diperoleh dari penelitian ini merupakan informasi mengenai GFP Sapi Simmental di
Peternakan Roni sehingga diharapkan meningkatkan produktivitas.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan.
Tidak ada manusia yang sempurna, begitupun dengan skripsi ini yang masih jauh
dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak untuk perbaikan skripsi ini di masa yang akan datang. Penulis berharap agar
skripsi ini tidak hanya sebagai pelengkap di perpustakaan, tetapi lebih dari itu dapat
memberikan manfaat kepada penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan. Semoga
Allah SWT melimpahkan karunia dan kasih sayangnya kepada kita semua.
Bogor, Agustus 2011
DAFTAR ISI
RINGKASAN ... ii
ABSTRACT ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
LEMBAR PENGESAHAN ... v
RIWAYAT HIDUP ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... xvi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Sapi Pedaging ... 3
Sapi Simmental ... 4
Sistem Pemeliharaan ... 4
Pertumbuhan ... 5
Produktivitas Ternak ... 6
Reproduksi ... 7
Pubertas ... 7
Service per Conception (S/C) ... 8
Siklus Berahi dan Lama Berahi ... 8
Umur Kawin Pertama ... 8
Angka Kebuntingan dan Lama Bunting ... 8
Selang Beranak ... 9
Calf Crop ... 9
Berahi Setelah Melahirkan ... 9
Produksi ... 10
Ukuran Tubuh ... 10
Pakan ... 10
Good Farming Practices (GFP) ... 11
MATERI DAN METODE ... 12
Lokasi dan Waktu ... 12
Materi ... 12
Prosedur ... 12
xvii
Analisis Data ... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16
Keadaan Umum ... 16
Keadaan Geografi ... 16
Kecamatan Harau ... 16
Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian ... 18
Populasi Ternak di Kabupaten Lima Puluh Kota ... 18
Keadaan Ternak Sapi di Peternakan Roni ... 19
Produktivitas Ternak Sapi ... 20
Reproduksi ... 20
Produksi ... 22
Ukuran Tubuh ... 23
Evaluasi Penerapan Good Farming Practices (GFP) ... 24
Sarana ... 24
Proses Produksi ... 28
Pelestarian Lingkungan ... 29
Pengawasan ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ... 30
Kesimpulan ... 30
Saran ... 30
UCAPAN TERIMA KASIH ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Ketinggian Tempat dan Keadaan Iklim Lokasi Penelitian... 15 2. Sumber Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Harau ……… 16 3. Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota ……….. 16 4. Karakteristik Reproduksi Indukan Simmental di Peternakan Roni … 20 5. Rataan Ukuran Tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni ………... 23 6. Kandungan Zat Makanan pada Bahan Pakan pada Peternakan Roni
19 DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ………... 37 2. Data Analisa Deskriptif Ukuran Tubuh Sapi ……… 38 5. Sarana dan Prasarana di Peternakan Roni ………. 39 6. Keadaan Ternak Sapi Simmental di Peternakan Roni ……….. 40 7. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental
di Peternakan Roni ……… 41
8. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental
di Peternakan Roni ……… 47
9. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental
di Peternakan Roni ……… 53
10. Hasil Evaluasi Aspek Sarana Penerapan GFP Sapi Simmental
di Peternakan Roni ……… 55
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah penduduk Indonesia yang semakin bertambah serta adanya perubahan
pola konsumsi dan selera masyarakat menyebabkan konsumsi daging secara nasional
pada tahun 2008 sebesar 6,43 kg/kapita/tahun meningkat menjadi 6,60
kg/kapita/tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Produksi daging khususnya daging
sapi belum dapat memenuhi kebutuhan nasional. Jumlah populasi sapi pedaging
nasional tahun 2010 mencapai 13.632.685 ekor dengan produksi daging yaitu
sebesar 435.298 ton (Badan Pusat Statistik, 2010) belum mencukupi dengan kondisi
ternak yang kurang bagus terutama dalam hal produktivitas. Masalah tersebut dapat
diatasi salah satunya dengan melakukan pengembangan populasi sapi pedaging
melalui peningkatan produktivitas.
Produktivitas ternak adalah hasil yang diperoleh seekor ternak pada ukuran
waktu tertentu. Menurut Hardjosubroto (1994) produktivitas ditentukan oleh dua
aspek yaitu produksi dan reproduksi. Produksi yang tinggi bisa dilihat dari ukuran
tubuh sapi karena memiliki angka ripitabilitas yang cukup tinggi yaitu 70-90%
(Pane, 1985).
Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai salah satu sentra produksi sapi
potong di Sumatera Barat memiliki potensi pengembangan di masa mendatang.
Wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota cukup strategis karena berbatasan dengan Riau
yang merupakan konsumen terbesar produk sapi potong. Jumlah ternak sapi yang
dibawa keluar propinsi terutama Riau dan Sumetera Utara yaitu sebesar 15.000
ekor/tahun (Dinas Peternakan Sumatera Barat, 2010). Rata-rata pertumbuhan ternak
sapi potong di Kabupaten Lima Puluh Kota dalam tiga tahun terakhir adalah sebesar
10,37% per tahun, sementara rata-rata jumlah ternak yang dipotong dalam periode
yang sama menurun menjadi 6,57% (Badan Pusat Statistik, 2009).
Sapi potong yang paling banyak diminati saat ini di Kabupaten Lima Puluh
Kota adalah Sapi Simmental. Populasi Sapi Simmental di Indonesia pada tahun 2009
berjumlah 1.217.000 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2010). Ukuran dan
pertumbuhannya yang cepat serta performa yang baik menyebabkan Sapi Simmental
banyak dipelihara. Sapi Simmental berasal dari Switzerland, mempunyai sifat jinak,
21 berkisar antara 0,6 sampai 1,5 kg/hari. Bobot betina dewasa mampu mencapai 726 kg
(Ensminger, 1991).
Melihat potensi yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota maka perlu adanya
upaya pengembangan ternak sapi potong yang disesuaikan dengan kondisi daerah,
karakteristik peternak dan manajemen produksi sapi potong di daerah tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan data-data mengenai produktivitas ternak sapi
potong di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Tujuan
Magang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memberikan
informasi mengenai produktivitas indukan Sapi Simmental yang dipelihara secara
intensif di Peternakan Roni, Harau, Kabupaten 50 Kota berdasarkan penerapan Good
Farming Practices (GFP), penampilan produksi dan reproduksi. Diharapkan
informasi ini dapat dijadikan data bagi pengembangan potensi indukan Sapi
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Pedaging
Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India).
Bangsa sapi keturunan kontinental Eropa disebut juga dengan bangsa sapi eksotik.
Sapi-sapi yang termasuk ke dalam golongan bangsa sapi ini adalah Sapi Charolais,
Chianina, Gelbvieh, Limousin, Maine Anjou, Salers dan Simmental (Blakely dan
Bade, 1991).
Bangsa sapi eksotik sebagian besar sapi pendatang baru di Amerika Serikat.
Sapi Charolais berasal dari Charolles, Perancis. Sapi ini adalah jenis sapi dwiguna
yaitu untuk keperluan tenaga/tarik dan produksi daging. Sapi Charolais tergolong
sapi yang berukuran besar. Sapi Chianina dikembangkan di Chianina Valley, Italia.
Sapi ini dipelihara untuk tujuan ganda yaitu sebagai penghasil daging, susu dan
hewan pekerja. Ukurannya yang sangat besar dan pertumbuhannya yang cepat
membuat sapi ini disukai peternak. Sapi Gelbiev memiliki ukuran badan yang besar
dan perdagingan yang baik. Sapi Limousin berasal dari sebuah propinsi di Perancis
yang banyak berbukit batu. Warnanya mulai dari kuning sampai merah keemasan.
Fertilitas sapi ini cukup tinggi, mudah melahirkan, mampu menyusui dan mengasuh
anak dengan baik serta pertumbuhannya cepat. Sapi Maine Anjou menghasilkan
karkas yang mengandung sedikit lemak. Sapi Simmental (Swiss) bertanduk kecil,
bulu berwarna coklat muda atau kekuning-kuningan (Blakely dan Bade, 1991).
Bangsa Sapi Inggris yang terkenal adalah Angus, Hereford dan Shorthon.
Angus berasal dari Skotlandia Timur Laut. Sapi ini berwarna hitam, tidak bertanduk,
mempunyai bulu yang halus dan ukuran badannya relatif kecil. Sapi Hereford
memiliki ukuran badan medium sampai berat dan perdagingannya tebal. Sapi
Shorthon memiliki tanduk yang pendek, warna bulu yang khas dan ukuran badannya
besar dibandingkan dengan kebanyakan bangsa sapi lainnya. Sapi Brahman
merupakan bangsa sapi yang dikembangkan di Amerika Serikat dengan
mencampurkan darah tiga bangsa Sapi India yaitu bangsa-bangsa Gir, Guzerat dan
Nellore. Sapi ini ukuran medium, ketahanannya terhadap kondisi tatalaksana yang
sangat minimal, toleransinya terhadap panas, kemampuan mengasuh anak serta daya
23 Sapi Simmental
Simmental merupakan sapi potong turunan Bos taurus yang dikembangkan di
Lembah Simme, Switzerland dan Swiss. Pertumbuhan ototnya bagus dan
penimbunan lemak di bawah kulit rendah. Jenis sapi ini dikembangkan di Australia
dan Selandia Baru sejak tahun 1972 lewat introduksi semen beku dari Inggris dan
Kanada (Blakely dan Bade, 1991).
Simmental berwarna merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir
kuning dengan totol-totol serta mukanya yang berwarna putih. Sapi ini terkenal
karena kemampuannya menyusui anak yang baik serta pertumbuhannya juga cepat,
badannya panjang dan padat. Sapi ini termasuk yang berukuran berat baik pada
kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade, 1991).
Anak sapi yang berumur 2 tahun pertumbuhannya pesat sekali. Semua jenis
hijauan dapat diberikan pada sapi ini termasuk jerami kering. Sapi yang berumur 23
bulan bobotnya mencapai 800 kg dan pada umur 2,5 tahun bobot sapi mencapai 1,1
ton (Gambar 1).
Gambar 1. Sapi Simmental
Sumber : Disnak Sumatera Barat (2010)
Sistem Pemeliharaan
Menurut Adrial (2010) sistem pemeliharaan ternak sapi yang baik akan
memberikan hasil produksi yang baik pula. Sistem pemeliharaan pada ternak sapi
yang sering digunakan terdiri atas tiga bagian yaitu ekstensif, intensif dan semi
intensif (Sanvorini, 2002)
Sistem ekstensif, pemeliharaannya di padang penggembalaan dengan
dilepaskan sepanjang hari tanpa ada perhatian khusus dari pemiliknya. Sapi
mendapatkan hijauan dari merumput.
Menurut Philips (2001) sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem
pemeliharaan, sapi dipelihara dalam kandang dengan pemberian pakan konsentrat
berprotein tinggi dan juga terkadang ditambahkan dengan hijauan. Sistem
pemeliharaan secara intensif akan meningkatkan berat badan ternak. Selain pola
pemeliharaan intensif, dikenal juga sistem pemeliharaan secara semi intensif yaitu
ternak dilepaskan pada siang hari kemudian pada sore hari dimasukkan kembali ke
kandang (Sanvorini, 2002). Sistem pemeliharaan semi intensif merupakan sistem
yang memelihara sapi selain dikandangkan, juga digembalakan di padang rumput
(Phillip, 2001). Pada malam hari sapi-sapi tersebut diberi pakan tambahan berupa
hijauan rumput atau daun-daunan dan pakan penguat berupa dedak halus yang
dicampur dengan sedikit garam (Parakkasi, 1999).
Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah pertambahan berat badan atau ukuran tubuh sesuai
dengan umur, sedangkan perkembangan berhubungan dengan adanya perubahan
ukuran serta fungsi dari berbagai bagian tubuh semenjak embrio sampai menjadi
dewasa. Menurut Anggorodi (1994) pertumbuhan biasanya dimulai perlahan-lahan
kemudian mulai berlangsung lebih cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi atau sama
sekali berhenti sehingga membentuk kurva pertumbuhan yang berbentuk sigmoid.
Pertumbuhan yang cepat terjadi pada periode lahir hingga usia penyapihan
dan pubertas, namun setelah usia pubertas hingga usia dewasa, laju pertumbuhan
mulai menurun dan akan terus menurun hingga usia dewasa. Pada usia dewasa,
pertumbuhan sapi berhenti. Sejak sapi dilahirkan sampai dengan usia pubertas
(sekitar umur 8-10 bulan) merupakan fase hidup sapi yang laju pertumbuhannya
sangat cepat. Field dan Taylor (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan tulang tercapai sebelum ternak dewasa kelamin. Setelah sapi mencapai dewasa kelamin pertumbuhan tulang akan terhenti karena osifikasi tulang rawan sudah sempurna.
Pertambahan bobot badan sapi ditentukan oleh berbagai faktor, terutama jenis
sapi, jenis kelamin, umur, ransum dan teknik pengelolaannya. Lingkungan memiliki
25 bahwa ternak yang dipelihara pada lingkungan bertemperatur tinggi akan memiliki
bobot yang lebih rendah dibandingkan ternak yang dipelihara pada lingkungan yang
bertemperatur rendah.
Sapi mencapai kedewasaan pada umur dua tahun dan pada fase tersebut pertumbuhan otot mencapai klimaks dengan laju pertumbuhan yang mulai menurun (Philips, 2001). Pertumbuhan mempunyai dua aspek yaitu menyangkut peningkatan massa per satuan waktu dan pertumbuhan yang meliputi perubahan bentuk dan
komposisi tubuh sebagai akibat dari pertumbuhan diferensial komponen-komponen
tubuh (Berg dan Butterfild, 1976).
Produktivitas Ternak
Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran
waktu tertentu. Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari
tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, 1978). Menurut Djanuar (1985) aspek
produktivitas sapi potong dapat ditingkatkan baik melalui modifikasi lingkungan atau
mengubah mutu genetiknya.
Menurut Tanari (2001) bahwa yang termasuk dalam komponen performa
produktivitas sapi potong adalah jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen
pedet (calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih,
bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan. Tingkat
produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor kemampuan genetik, faktor lingkungan
serta interaksi antar kedua faktor tersebut. Selanjutnya Hardjosubroto (1994)
menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh
seekor ternak sedangkan faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak
untuk menampilkan kemampuannya.
Produktivitas berkaitan dengan karakter yang dimiliki ternak. Bobot lahir
merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak (Devendra dan
Burn, 1994). Bobot lahir yang tinggi di atas rataan, umumnya akan memiliki
kemampuan hidup lebih tinggi dalam melewati masa kritis. Pertumbuhannya cepat
dan akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi. Menurut Hardjosubroto (1994),
bobot sapih diartikan sebagai bobot anak saat mulai dipisahkan dari induknya.
Pendugaan produktivitas digunakan sebagai pedoman untuk menentukan
produksi ternak yang bersifat komersial. Perbaikan mutu sapi potong haruslah
ditekankan pada peningkatan sifat produksi dan reproduksi yang ditunjang oleh
pengelolaan yang baik (Chamdi, 2004).
Reproduksi
Teknik reproduksi sapi potong terdiri atas Inseminasi Buatan (IB) dan
perkawinan alami. Di daerah-daerah pertanian intensif, IB semakin banyak
digunakan karena keterbatasan sapi pejantan dan adanya pelayanan IB dari Dinas
Peternakan setempat. Sifat reproduksi merupakan salah satu karakter produktivitas
dan gambaran tingkat kemampuan ternak dalam pembentukan hasil atau produk
(Hadi dan Ilham, 2002).
Daya reproduksi ternak sangat dipengaruhi oleh jarak beranak. Jarak beranak
yang ideal adalah 365 hari. Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsung
setelah hewan mencapai masa pubertas dan diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin
dan hormon-hormon yang dihasilkan. Kekurangan pakan atau kesehatan ternak yang
terganggu dapat mempengaruhi datangnya musim reproduksi (Toelihere, 1993).
Ternak ruminansia yang defisien mineral akan mengalami pertumbuhan reproduksi
yang lamban (Parakkasi, 1999).
Lingkungan seperti suhu udara dan kelembaban berpengaruh pada aktivitas
reproduksi. Suhu lingkungan yang tinggi terutama pada musim kemarau mengurangi
lama periode berahi. Aktivitas berahi tidak memberikan sumbangan yang nyata
terhadap fertilitas siklus berahi atau periode berahi terganggu apabila sapi tidak
mendapatkan energi yang cukup, sehingga kondisinya menjadi buruk (Hadi dan
Ilham, 2002).
Pubertas
Pubertas pada ternak betina merupakan suatu keadaan saat pertama kali
menunjukkan berahi disertai ovulasi. Pencapaian umur pubertas ternak dipengaruhi
oleh bangsa sapi dan keadaan pakan. Selain itu, pubertas juga dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yaitu suhu dan iklim (Nuryadi, 2007).
Pertumbuhan ternak yang lambat maka umur pubertasnya juga akan terlambat
27 bangsa sapi dalam kondisi makanan normal adalah 9 bulan, namun dapat berkisar 5
sampai 15 bulan (Djanuar, 1985).
Service per Conception
Service per conception merupakan jumlah perkawinan yang dibutuhkan oleh
seekor betina sampai terjadinya kebuntingan. Nilai S/C yang normal adalah 1,6-2,0
(Toelihere, 1981). Nuryadi (2007) menyatakan bahwa keberhasilan perkawinan pada
induk sapi ditunjukkan dengan adanya kebuntingan dan dipengaruhi oleh faktor
kesuburan betina induk, kesuburan pejantan dan tatalaksana perkawinan sehingga
service per conception (S/C) dapat digunakan sebagai salah satu ukuran efisiensi
reproduksi induk sapi potong.
Siklus Berahi dan Lama Berahi
Siklus berahi adalah kurun waktu yang terletak diantara dua saat berahi yang
berurutan pada ternak betina. Rata-rata siklus berahi pada sapi yaitu 17-24 hari
(Nuryadi, 2007). Lama berahi pada sapi berkisar 6 sampai 30 jam, dengan rata-rata
sekitar 17 jam (Djanuar, 1985).
Siklus berahi dapat dibagi menjadi empat periode berdasarkan
perubahan-perubahan yang terlihat maupun yang tidak terlihat yaitu proestrus, estrus, metestrus
dan diestrus. Sepanjang siklus berahi beberapa bagian dari saluran reproduksi betina
menjalani perubahan-perubahan yang dikendalikan oleh hormon hipofisa dan
hormon ovarial. Hormon ini berfungsi mempersiapkan alat reproduksi untuk
menerima spermatozoa, menghasilkan ova dan membantu terjadinya kebuntingan,
implantasi dan pemberian makanan embrio dan fetus (Djanuar, 1985).
Umur Kawin Pertama
Umur dan bobot badan merupakan faktor penting pada saat kawin pertama.
Seekor ternak betina muda akan mengalami kesulitan beranak jika dikawinkan pada
saat pubertas (Nuryadi, 2007). Umur kawin pertama sapi Eropa menurut Blakely
dan Bade (1991) yaitu umur 12 bulan.
Angka Kebuntingan dan Lama Bunting
Angka kebuntingan atau conception rate (CR) adalah persentase kebuntingan
kebuntingan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu fertilisasi pejantan dan betina, teknik
inseminasi dan iklim (Djanuar, 1985). Angka kebuntingan menurut Toelihere (1981)
ditentukan dari hasil diagnosa palpasi rektal pada 40-60 hari setelah dilakukan
inseminasi.
Lama kebuntingan dihitung semenjak fertilasi sampai dengan kelahiran.
Lama kebuntingan pada sapi beragam. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
bangsa, jenis kelamin anak yang dikandung, jumlah anak dalam kandungan, umur
induk, iklim dan lingkungan (Djanuar, 1985). Menurut Nuryadi (2007) lama
kebuntingan pada sapi yaitu sembilan bulan (270 hari).
Selang beranak
Frekuensi beranak selama sapi hidup berpengaruh terhadap produksi sapi
selama hidupnya. Frekuensi beranak yang optimal dapat terjadi jika peternak
mengetahui pengaruh selang beranak terhadap produksi sapi sehingga dapat
mengatur interval perkawinan sapi setelah melahirkan dan panjang periode kering.
Sapi yang beranaknya lebih sering dengan periode kering lebih banyak akan
menghasilkan anak yang lebih banyak selama hidupnya. Selang beranak sapi yang
dianjurkan yaitu 12 bulan (365 hari) (Blakely dan Bade, 1991).
Calf crop
Calf crop adalah persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu
tahun dari seluruh induk yang diteliti. Nilai calf crop dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu waktu dan lama berahi, ketepatan kawin dan pakan. Rata-rata calf crop
sapi Eropa yaitu 84,9% (Neumman, 1977).
Berahi Setelah Melahirkan
Berahi kembali setelah melahirkan pada sapi berbeda-beda. Menurut Blakely
dan Bade (1991) rata-rata sapi berahi kembali sekitar 60 hari setelah melahirkan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi jarak berahi kembali setelah melahirkan
adalah frekuensi rangsangan pada kelenjar susu. Hal ini mempengaruhi interval
29 Produksi
Produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performanya, seperti
bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Menurut Williams (1982) sapi tipe kerangka besar memiliki perdagingan yang lebih besar dibandingkan sapi tipe kerangka kecil. Berat induk sapi saat melahirkan akan berpengaruh terhadap berat sapih anak. Berat badan induk merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan
induk.
Menurut Toelihere (1993) berat badan induk mempunyai korelasi positif
dengan berat lahir. Induk yang lebih besar akan menghasilkan berat lahir yang lebih
besar dibanding dengan induk yang kecil, demikian juga dengan berat sapih bagi
anak-anak yang dilahirkan.
Ukuran Tubuh
Beberapa ukuran tubuh seperti tinggi gumba, lingkar dada dan panjang badan
merupakan indikator bagi bobot hidup sapi (Hardjosubroto, 1984). Ukuran tubuh
ternak sangat berperan dalam pendugaan bobot badan (Kadarsih, 2003). Bobot badan
ternak sapi dapat diperoleh dengan cara mengukur lingkar dada dan panjang badan
ternak sapi tersebut dan mempunyai hubungan yang linear. Antara besar lingkar dada
dengan bobot badan ternak sapi terdapat korelasi yang positif. Selain itu, penentuan
bobot fisik tubuh ternak sapi juga dapat digunakan untuk mengkalkulasi berat karkas
pada ternak sapi (Sosroamidjoyo dan Soeradji, 1978).
Ukuran lingkar dada akan meningkat seiring dengan meningkatnya bobot
potong (Sariubang dan Tambing, 2008). Pengamatan bentuk tubuh yang terlihat dari luar, dapat diduga kemampuan untuk menghasilkan sesuatu dari ternak yang
diteliti, misalnya produksi daging dan produksi susunya (Mc Nitt, 1974). Penampilan
ukuran-ukuran tubuh ternak sapi dipengaruhi oleh lingkungan. Persediaan pakan
ternak pada musim hujan cukup tersedia dibandingkan dengan musim kemarau
sehingga mengakibatkan ukuran tubuh berbeda (Kadarsih, 2003).
Pakan
Pakan merupakan salah satu faktor terpenting dalam usaha pemeliharaan
lokal yang cukup tinggi sehingga seharusnya tidak mengalami kendala dalam upaya
penyediaan bahan-bahan pakan ternak. Ketersediaan pakan yang cukup kuantitas
maupun kualitasnya dan berkesinambungan merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan usaha pengembangan peternakan (Umiyasih et al., 2003).
Menurut Hanafi et al. (2005) kebutuhan ternak akan zat gizi terdiri atas kebutuhan
untuk hidup pokok dan produksi. Kandungan nutrisi yang mencukupi dapat
meningkatkan pertumbuhan bagi ternak, sehingga pertumbuhan ternak tersebut akan
normal (Anggraeni et al., 2008).
Bangsa ternak yang berbeda akan mempengaruhi konsumsi pakan karena
kecepatan metabolisme pakan pada setiap bangsa ternak berbeda apabila mendapat
pakan dengan kualitas yang sama (Sumadi et al., 1991). Konsentrat merupakan
bahan pakan ternak yang mudah dicerna sehingga laju aliran pakan dalam saluran
pencernaan lebih cepat dan memungkinkan meningkatnya konsumsi pakan (Tillman
et al., 1998).
Good Farming Practices
Good Farming Practices (GFP) merupakan cara beternak yang baik dan
benar dengan memperhatikan lingkungan dan memenuhi standar minimal sanitasi
kesejahteraan ternak (Departemen of Agriculture, Food and Rural
Development, 2001). Menurut Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2000) ruang
lingkup Pedoman Budidaya Ternak Sapi Potong yang Baik meliputi beberapa aspek
31 MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Peternakan Sapi Simmental Roni di Desa Koto Tangah, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada bulan Januari sampai Februari 2011.
Materi
Ternak yang digunakan adalah ternak Sapi Simmental sebanyak 43 ekor.
Ternak dikelompokkan berdasarkan umur yaitu ternak yang berumur <12 bulan
(I0)14 ekor, 12-24 bulan (I1) 7 ekor, > 25 bulan (I2) 22 ekor.
Penelitian ini menggunakan beberapa alat. Alat-alat yang digunakan yaitu
pita ukur dengan skala terkecil 0,1 cm, tongkat ukur, alat tulis dan borang Good
Farming Practices (GFP). Pita ukur dan tongkat ukur digunakan untuk mengukur
ukuran tubuh sapi.
Prosedur
Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan pengamatan langsung ke
lokasi penelitian. Penentuan lokasi dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa
peternakan Roni sebagai sentra pembibitan Sapi Simmental di Kabupaten Lima
Puluh Kota Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari hasil pengukuran tubuh sapi dan wawancara
langsung dengan peternak berdasarkan data kuisioner yang telah dipersiapkan.
Pengukuran tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni dapat dilihat pada Gambar 2.
Data kuisoner meliputi informasi mengenai peternak, data ternak sapi dan produktivitasnya. Data sekunder diperoleh dari rekording di peternakan dan
pencatatan berbagai instansi terkait yaitu Sub Dinas Peternakan Kabupaten Lima
Puluh Kota, Biro Pusat Statistik Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kantor Kecamatan
Harau.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati adalah ukuran tubuh dan evaluasi pelaksanaan Good
dada, tinggi pundak, tinggi pinggul, lingkar dada dan lingkar pinggul. Metode
pengukuran untuk masing-masing peubah (Gambar 2) berdasarkan metode Mc Nitt
(1983) dan dilakukan sebagai berikut :
1. Panjang badan (cm) yaitu diukur dengan menggunakan tongkat ukur. Ternak
diukur dalam posisi berdiri tegap dan kepala lurus ke depan. Panjang badan
diukur dari tonjolan di bagian lengan kaki depan (tuber humerus) sampai pada
tonjolan yang dekat dengan anus (tuber ischii);
2. Dalam dada (cm) yaitu diukur menggunakan tongkat ukur. Pengukuran
dilakukan tepat di belakang bahu (scapula) lurus dari punggung hingga brisket;
3. Tinggi pundak/tinggi gumba (cm) yaitu diukur dengan menggunakan tongkat
ukur. Pengukuran dilakukan mulai dari titik tertinggi di antara bahu (withers)
hingga lantai tempat berdiri;
4. Tinggi pinggul (cm) yaitu diukur menggunakan tongkat ukur. Pengukuran
dilakukan tegak lurus dari permukaan teratas pinggul (tuber coxae), melalui
pangkal persendian paha sampai ke permukaan tanah;
5. Lingkar dada (cm) yaitu diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran dilakukan
melingkar tepat di belakang tulang bahu (os scapula); dan
6. Lingkar pinggul (cm) yaitu diukur menggunakan pita ukur. Pengukuran
dilakukan dengan melingkari bagian pinggul di depan kaki belakang (tuber
coxae).
Evaluasi Pelaksanaan Good Farming Practise (GFP) dilakukan dengan cara
mengamati dan wawancara dengan peternak. Penerapan GFP meliputi beberapa
aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan.
Pengamatan aspek reproduksi dilakukan melalui wawancara langsung dengan
peternak yaitu :
1. Calf crop(%) yaitu persentase jumlah anak yang dilahirkan hidup dalam satu
tahun dari seluruh induk yang diteliti. Dihitung melalui jumlah anak dibagi
dengan populasi induk dikalikan 100%;
2. Service per conception (S/C) yaitu jumlah perkawinan yang dibutuhkan oleh
33 jumlah perkawinan inseminasi buatan yang dibutuhkan oleh seekor betina
sampai terjadinya kebuntingan;
3. Bobot sapih (kg) yaitu bobot anak sapi pada saat disapih; dan
4. Bobot lahir (kg) yaitu bobot anak sapi pada saat dilahirkan.
Analisis Data
Data ukuran tubuh dan evaluasi penerapan GFP dianalisis secara deskripstif.
Analisis deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran keadaan atau kondisi di
Peternakan Roni dan karakterisasi ukuran tubuh Sapi Simmental. Analisis deskriptif
ukuran tubuh sapi dilakukan dengan menghitung nilai rataan(X), simpangan baku(s)
dan koefisien keragaman (KK) (Steel dan Torrie, 1995).
X =
s = KK=
×
100%Keterangan : X = nilai rataan
Xi = ukuran ke-i dari peubah X
n = jumlah contoh yang diambil dari populasi
s = simpangan baku
Gambar 2. Pengukuran Ukuran Tubuh Sapi; a=Tinggi Pundak; b=Panjang Badan; c=Lingkar Dada; d= Dalam Dada; e=Tinggi Pinggul; f=Lingkar Pinggul
a
e
f c
d
35 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum
Keadaan Geografi
Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu kabupaten yang terletak di
Sumatera Barat. Kabupaten ini terletak di bagian Timur wilayah Propinsi Sumatera Barat atau 124 km dari Kota Padang dan memiliki luas wilayah 3.354,30 km2.
Kabupaten Lima Puluh Kota dikelilingi oleh empat kabupaten dan satu propinsi,
yaitu : sebelah Utara-Timur berbatasan dengan Propinsi Riau, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Sijunjung dan sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman (Lampiran 1).
Kecamatan Harau
Peternakan Sapi Simmental Roni terletak di Desa Kota Tengah, Kecamatan
Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota. Kecamatan Harau memiliki luas daratan
mencapai 416,80 km2. Topografi Kecamatan Harau bervariasi antara datar,
bergelombang dan berbukit-bukit. Ketinggian tempat dan keadaan iklim lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ketinggian Tempat dan Keadaan Iklim Lokasi Penelitian
No Parameter Nilai
1 Suhu rata-rata oC 23
2 Kelembaban nisbi (%) 65
3 Ketinggian tempat (m dpl) 498
4 Curah Hujan (mm/th) 1.308-3.333
Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2011)
Kecamatan Harau memiliki dua gunung yang tidak aktif lagi yaitu: Gunung
Bungsu (1241 m dpl) dan Gunung Sanggul (1459 m dpl). Daerah tersebut memiliki
ketinggian rata-rata 498 meter diatas permukaan laut. Suhu lingkungan pada siang
hari berkisar 22-24 oC, sedangkan pada malam hari berkisar antara 16-20 oC dengan
tingkat kelembaban 65%. Curah hujan relatif tinggi yaitu sekitar 1.308-3.333
tumbuh optimal di daerah dengan suhu ideal yaitu 17-270 oC dan lokasi yang ideal
untuk sapi potong adalah lokasi yang bercurah hujan 800-1.500 mm/tahun.
Jumlah penduduk Kabupaten Lima Puluh Kota adalah 336.067 jiwa. Sumber mata pencaharian di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 2. Sumber mata pencaharian masyarakat yang paling banyak adalah sebagai petani dan peternak yaitu sebesar 80%. Hal ini sangat mendukung perkembangan peternakan di Kabupaten Lima Puluh Kota.
Tabel 2. Sumber Mata Pencaharian Masyarakat di Kabupaten 50 Kota
Sumber Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Nilai (%)
Petani dan peternak 137.716 80
Pedagang 25.821 15
Pegawai Negeri Sipil/TNI/Polri 5.164 3
Jasa dan buruh lainnya 3.444 2
Total 172.145 100
Sumber : BPS Kabupaten Lima Puluh Kota (2010)
Kabupaten Lima Puluh Kota mempunyai potensi yang dapat diandalkan
dalam bidang pertanian untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Penggunaan lahan
di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penggunaan Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota
Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)
Sawah 22.286 6,64
Pekarangan 8.325 2,48
Tegalan/Ladang 33.395 9,96
Penggembalaan/Padang Rumput 23.208 6,92
Hutan Rakyat 53.797 16,04
Hutan Negara 139.432 41,57
Perkebunan 47.971 14,30
Lain-lain 7.016 2,09
Total 313.430 100,00
37 Total luas sawah 22.286 ha dengan kisaran produksi 34.228 ton Gabah
Kering Giling (GKG) setiap tahun berhubungan dengan produksi sisa-sisa pertanian
yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak sapi seperti jerami padi (Dinas
Pertanian Kabupaten Lima Puluh Kota, 2011).
Lahan di Kabupaten Lima Puluh Kota sebagian besar digunakan sebagai
lahan pertanian produktif. Jenis penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan sapi potong adalah hutan rakyat, perkebunan, sawah, penggembalaan/padang rumput dan tegalan/ladang. Ternak sapi yang dipelihara di lahan perkebunan sawit akan menguntungkan.
Lahan sawah mayoritas ditanami padi dengan periode tanam tiga kali per tahun. Lahan tegalan ditanami dengan tanaman palawija periode tanam dua kali per tahun. Hal ini akan berpotensi terhadap ketersediaan pakan.
Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian
Umur peternak yang menjadi responden yaitu 32 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa umur peternak masuk dalam kisaran umur produktif. Umur produktif
menurut Djenen (1982) berkisar antara 20-40 tahun. Adiwilaga (1973) menyatakan
bahwa peternak yang berada pada usia produktif akan lebih efektif dalam mengelola usahanya bila dibandingkan dengan peternak yang lebih tua.
Tingkat pendidikan berperan penting dalam pengembangan sumber daya
masyarakat. Peternak responden memiliki latar belakang Sekolah Tinggi
Keperawatan di Pekanbaru, Riau. Mosher (1983) menyatakan bahwa pendidikan
merupakan faktor pelancar yang dapat mempercepat pembangunan pertanian.
Pendidikan yang baik akan memudahkan seorang peternak dalam mengadopsi
teknologi baru, mengembangkan ketrampilan dan memecahkan permasalahan yang
dihadapi.
Beberapa alasan beternak Sapi Simmental adalah sebagai sumber
penghasilan, turun temurun dan sebagai upaya untuk pengembangan bibit unggul di
Kecamatan Harau. Pendapatan rata-rata peternak dari hasil penjualan sapi adalah di
atas lima juta rupiah hingga mencapai dua puluh juta per bulan. Pendapatan ini
dihitung berdasarkan hasil penjualan sapi umur 6-12 bulan dan jumlah anak yang
peternak lain untuk lebih mengembangkan usaha ternak sapi khususnya peternak
yang ada di sekitar Peternakan Roni.
Populasi Sapi Potong
Budidaya ternak yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Harau antara
lain sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, ayam ras petelur, ayam buras, ayam
pedaging dan puyuh. Populasi ternak sapi potong dibandingkan dengan ternak
ruminansia lainnya menduduki peringkat pertama pada tahun 2009 di Kabupaten
Lima Puluh Kota yaitu sebanyak 63.214 ekor. Perkembangan populasi sapi potong di
Kabupaten Lima Puluh Kota meningkat selama tiga tahun terakhir terutama sapi
betina yaitu sebesar 12,19%.
Ternak yang dipelihara di Kabupaten Lima Puluh Kota berasal dari berbagai
wilayah di Pulau Sumatera. Ternak ruminansia besar berasal dari daerah-daerah di
Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Bengkulu, sedangkan ternak unggas sebagian
didatangkan dari Sumatera Utara. Beberapa daerah tujuan hasil ternak yang ada di
Kabupaten 50 Kota yaitu Propinsi Riau, Bukittinggi, Payakumbuh, Kepulauan Riau,
Palembang, Bangkulu, Sumatera Utara, Agam, Jambi dan Pekanbaru.
Jumlah pemotongan ternak ruminansia besar yaitu sapi potong menurun dari
tahun 2008 sebanyak 4.655 ekor menjadi 3.955 pada tahun 2009. Pemotongan yang
dilakukan terutama pada sapi betina sebesar 1.048 ekor.
Kabupaten Lima Puluh Kota merupakan salah satu sentra produksi daging
ruminansia besar di Sumatera Barat. Total produksi daging di Kabupaten Lima Puluh
Kota pada tahun 2009 yaitu 909.428 kg. Sapi potong menyumbang produksi daging
paling besar yaitu 828.128,07 kg.
Keadaan Ternak Sapi di Peternakan Roni
Peternakan Sapi Simmental Roni berdiri sejak tahun 2001. Jumlah ternak sapi
ketika pertama kali dipelihara yaitu 2 ekor betina dara. Pertambahan ternak selama
satu tahun terakhir yaitu 37 ekor. Jumlah ternak sapi yang dipelihara saat ini yaitu
jantan pedet 1 ekor, betina dewasa 28 ekor, betina muda 4 ekor dan betina pedet 10
ekor. Perbandingan jumlah ternak sapi betina yang dipelihara lebih banyak daripada
pejantan karena dapat memberi nilai tambah berupa anak. Sapi jantan umumnya
39 pasar ternak yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota. Sapi dikawinkan dengan cara
kawin IB. Semen pejantan yang digunakan yaitu bangsa Simmental dan berasal dari
Balai Inseminasi Buatan Kabupaten Lima Puluh Kota.
Produktivitas Ternak Sapi
Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran
waktu tertentu. Produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari
tingkat reproduksi dan pertumbuhan (Seiffert, 1978).
Reproduksi
Karakteristik reproduksi indukan Sapi Simmental dapat dilihat pada Tabel 4.
Umur berahi pertama Sapi Simmental di Peternakan Roni sesuai dengan hasil survei
Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu 12 bulan. Hal ini disebabkan
pemberian pakan yang berkualitas selama pemeliharaan. Selain itu, suhu lingkungan
juga memiliki peranan penting terhadap umur berahi. Suhu di Peternakan Roni
rata-rata 23 oC sesuai dengan suhu nyaman ternak Sapi Simmental yaitu <25 oC, sehingga
kapasitasi sperma pada saluran reproduksi betina dapat berjalan normal (Hafez dan
Hafez, 2000).
Tabel 4. Karakteristik Reproduksi Indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni
Sifat Reproduksi Peternakan Roni Literatur
Umur berahi pertama (bulan) 12 12 a)
Umur kawin pertama (bulan) 18 24a)
Lama berahi (jam) 20 17-20a)
Panjang siklus berahi (hari) 18 18-21a)
Service per conception 1,2 1,5-1,76b)
Angka kebuntingan (%) 82 72,22b)
Lama kebuntingan (bulan) 9 285a)
Persentase kelahiran (%) 90 94,44b)
Calf crop (%) 95 65-85a)
Umur kematian anak (%) - -
Berahi kembali setelah melahirkan (bulan)
2-3 3c)
Selang beranak (hari) 365 450c)
Beranak pertama (bulan) 28 31-32c)
Sumber : a)Dinas Peternakan Kabupaten 50 Kota (2004), b) Nuryelliza et al. (2008), c)Iskandar dan
Umur kawin pertama terjadi pada umur 18 bulan. Umur kawin pertama sapi
di Peternakan Roni lebih cepat dibandingkan laporan Dinas Peternakan Kabupaten
50 Kota (2004) yaitu 24 bulan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu
pemberian pakan bernutrisi, manajemen pemeliharaan yang baik dan penataan
lingkungan yang nyaman bagi ternak sehingga dewasa tubuh yang dicapai lebih
cepat.
Sapi betina muda yang diberi nutrisi yang baik mencapai pubertas pada umur
9 bulan dan dikawinkan pada umur 18 bulan (Djanuar, 1985). Faktor utama yang
mempengaruhi umur berahi pertama di Peternakan Roni yaitu bangsa sapi dan
keadaan pakan yangberkualitas. Seekor ternak betina akan mengalami kesulitan
beranak jika dikawinkan pada saat pubertas (Nuryadi, 2007).
Lama berahi dan panjang siklus berahi berdasarkan hasil wawancara
masing-masing adalah 20 jam dan 18 hari. Menurut Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh
Kota (2004) adalah 18-21 hari dengan lama berahi yaitu 17-20 jam. Lama berahi setiap jenis ternak berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, musim, ketersediaan pejantan dan bobot badan.
Nuryadi (2007) menyatakan bahwa keberhasilan perkawinan pada induk sapi
ditunjukkan dengan adanya kebuntingan dan dipengaruhi oleh faktor kesuburan
induk betina, kesuburan pejantan dan tatalaksana perkawinan. Nilai S/C yang
diperoleh dari hasil penelitian adalah 1,2. Nilai ini lebih rendah dibandingkan hasil
penelitian Nuryelliza (2008) yaitu 1,5-1,76. Nilai yang rendah mengindikasikan
bahwa pelayanan IB yang dibutuhkan sapi sampai terjadi kebuntingan hanya sedikit.
Angka kebuntingan Sapi Simmental di Peternakan Roni menunjukkan nilai
yang lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Nuryelliza (2008) yaitu 82%.
Penelitian Nuryelliza (2008) menunjukkan angka kebuntingan sebesar 72,22%.
Angka kebuntingan yang tinggi di Peternakan Roni dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kesuburan ternak, kondisi pada saat inseminasi dan deteksi estrus yang tepat. Menurut Tarmudji et al. (2001) secara normal suatu kelompok ternak sapi yang dikelola dengan baik menunjukkan angka konsepsi 65-70%.
Calf crop adalah persentase jumlah anak saat lepas sapih yang hidup dalam
satu tahun dari seluruh induk yang diteliti. Calf crop ternak Sapi Simmental di
41 calf crop di Peternakan Roni adalah ketepatan waktu kawin, kasus penyakit jarang
ditemukan dan pakan yang diberikan berkualitas baik.
Waktu yang diperlukan oleh induk untuk berahi kembali setelah melahirkan
di Peternakan Roni relatif lebih cepat dibandingkan dengan hasil penelitian
Iskandar dan Arfa’i (2007) yaitu 2-3 bulan. Hal ini disebabkan oleh hijauan pakan yang tersedia baik jumlah maupun mutu sesuai dengan kondisi setempat (musim hujan). Gejala estrus kembali setelah melahirkan diduga disebabkan oleh kondisi tubuh, lingkungan, pemeliharaan dan ketersediaan pakan (Yanhendri, 2007). Pakan berpengaruh yang sangat besar terhadap penundaan aktifitas estrus setelah melahirkan. Perbaikan pakan harus dilakukan pada triwulan terakhir dari kebuntingan, sapi yang kehilangan berat badan yang ekstrim sering gagal memperlihatkan gejala estrus (Spitzer, 1987).
Selang beranak Sapi Simmental di Peternakan Roni lebih cepat dibandingkan
laporan Dinas Peternakan Kabupaten Lima Puluh Kota (2004) yaitu 365 hari. Selang
beranak pada sapi sangat ditentukan oleh kemunculan estrus setelah melahirkan,
perkawinan yang terjadi setelah melahirkan dan jumlah perkawinan setelah
melahirkan. Pada sebagian ternak, aktifitas menyusui akan menunda terjadinya estrus
kembali setelah melahirkan. Selain itu selang beranak di peternakan ini juga
dipengaruhi oleh lingkungan dan penerapan manajemen pemeliharaan yang cukup
baik.
Produksi
Sapi Simmental termasuk sapi yang memiliki bobot lahir yang tinggi
dibandingkan dengan bangsa sapi potong Hereford dan Angus. Bobot lahir Sapi
Simmental di Peternakan Roni adalah sebesar 35 kg. Menurut Rincker et al. (2006)
bobot lahir Sapi Simmental bisa mencapai 44,1 kg. Rendahnya bobot lahir
disebabkan oleh manajemen pemeliharaan induk bunting yang kurang baik.
Bobot sapih adalah bobot anak sapi pada saat dipisahkan dari induknya
(Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih anak sapi di Peternakan Roni yaitu 125-175 kg
dengan umur sapih 7 bulan. Bobot sapih yang tinggi dipengaruhi oleh bobot lahir dan
manajemen pemeliharaan anak, terutama pemberian pakan selama penyapihan.
Performa produksi ternak sapi dapat dilihat dan diukur dengan mengetahui
dalam menentukan kematangan ternak. Bangsa Sapi Simmental merupakan bangsa
tipe kerangka besar. Sapi dengan tipe kerangka besar memiliki perdagingan yang
lebih banyak dibandingkan sapi tipe kerangka kecil (Williams, 1982).
Ukuran Tubuh
Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengetahui produktivitas ternak
adalah ukuran tubuh (Sariubang dan Tambing, 2008). Rataan ukuran tubuh Sapi
Simmental di Kecamatan Harau disajikan pada Tabel 5. Peningkatan ukuran tubuh terutama pada tinggi pinggul dan tinggi pundak yang relatif lebih tinggi pada kelompok umur dua tahun yaitu 146,78±12,71 cm dan 145,91±14,51 cm, sedangkan pada umur >2 tahun sapi tersebut menunjukkan laju pertumbuhan yang menurun. Tabel 5. Rataan Ukuran Tubuh Sapi Simmental di Peternakan Roni, Kecamatan Dalam Dada (cm) 50,86±15,30
30,08
96,36±5,29 5,49
106,43±10,42 9,79 Lingkar Pinggul (cm) 115,26±22,56
19,57 Tinggi Pinggul (cm) 93,42±17,55
18,78
146,78±12,71 8,66
158,58±8,35 5,27 Tinggi Pundak (cm) 94,81±18,62
19,64
145,91±14,51 9,95
159,16±8,19 5,15 Keterangan : KK = Koefisien Keragaman (%), sb = simpangan baku
43 Menurut Williams (1982) sapi tipe kerangka besar memiliki tingkat perdagingan yang lebih besar daripada sapi tipe kerangka kecil. Ukuran lingkar dada Sapi Simmental×Bali betina pada umur 1, 2 dan >3 tahun masing-masing adalah 131,5±7,1; 143±5,4 dan 157,5±3,6 cm (Deni, 2006). Bobot potong yang semakin tinggi menyebabkan perlemakan dan perdagingan di daerah dada semakin meningkat (Sariubang dan Tambing, 2008).
Koefisien keragaman berdasarkan Tabel 5 digunakan untuk melihat tingkat
keragaman ukuran tubuh sapi pada setiap kelompok, semakin tinggi nilai koefisien
keragaman berarti ukuran tubuh sapi pada kelompok tersebut beragam. Tabel 5
menunjukkan bahwa koefisien keragaman paling tinggi adalah kelompok ternak I0 yaitu 8,13–30,08%. Tingkat keragaman yang tinggi pada kelompok umur I0 disebabkan sapi masih dalam fase pertumbuhan. Sapi mencapai dewasa tubuh pada umur dua tahun dan pada fase tersebut pertumbuhan otot mencapai klimaks dengan laju pertumbuhan yang mulai menurun (Philips, 2001).
Evaluasi Penerapan Good Farming Practices (GFP)
Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2000) Good Farming Practices (GFP) meliputi empat aspek yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan dan pengawasan. Hasil penerapan aspek Good Farming Practices di Peternakan Roni, Harau-Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat pada Lampiran 5 sampai 8. Sarana
Penerapan GFP secara keseluruhan belum memenuhi persyaratan seperti pemeriksaan baku mutu air dan kualitas air secara berkala. Selain itu, alat penerangan (lampu) pada setiap kandang tidak ada. Berdasarkan GFP Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2000) aspek sarana yang baik meliputi lokasi, lahan, penyediaan air dan alat penerangan, bangunan, alat dan mesin peternakan, bibit/bakalan, pakan, obat hewan dan tenaga kerja sesuai dengan persyaratan peternakan nasional.
Peternakan Roni terletak sekitar 2 km dari jalan raya dan memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 489 m di atas permukaan laut.
Bangunan yang diperlukan untuk usaha peternakan sapi potong yaitu kandang pemeliharaan, kandang isolasi sapi yang sakit, gudang pakan dan peralatan, barak pekerja, unit penampungan dan pengolahan limbah. Kandang isolasi ternak yang sakit tidak terdapat di Peternakan Roni. Hal ini dapat membahayakan ternak sapi yang sehat. Menurut Office International des Epizooties (OIE) (2006) bangunan dan fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat menjadi sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan ternak secara langsung dan tidak langsung.
Konstruksi bangunan di Peternakan Roni belum memenuhi standar GFP. Bangunan kandang di Peternakan Roni terbuat dari bahan yang mudah patah sehingga anak sapi khususnya dapat dengan mudah keluar dari kandang.
Letak kandang dan bangunan lain menurut GFP harus ditata sedemikian rupa agar memudahkan karyawan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan oleh limbah yang dihasilkan. Kandang ternak cukup sirkulasi udara, sehingga di dalam kandang akan selalu terdapat udara yang segar, bersih dan sehat.
Ventilasi kandang yang sempurna menguntungkan ternak di dalam kandang, karena ventilasi bermanfaat untuk mengeluarkan udara kotor dari dalam kandang dan menggantinya dengan udara segar dari luar kandang. Letak kandang sebagian besar menghadap ke arah sinar matahari. Sinar matahari pagi banyak mengandung sinar ultraviolet. Sinar matahari pagi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak karena dapat membantu proses pembentukan vitamin D, membunuh bibit penyakit dan dapat mempercepat pengeringan kandang yang basah akibat air kencing dan lainnya. Kandang yang basah menyebabkan kelembaban. Kelembaban kandang berpengaruh terhadap kesehatan ternak, pertumbuhan dan perkembangan bibit penyakit. Kelembaban kandang disebabkan oleh beberapa hal yaitu berasal dari tubuh ternak itu sendiri, kotoran dan air kencing serta percikan air minum.
45 masuk peternakan tidak didesinfektan. Hal ini memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit dari luar. Unit penampungan limbah berlokasi terlalu dekat dengan perkandangan, sehingga dapat menyebabkan pencemaran penyakit terhadap ternak.
Bakalan sapi yang dipelihara berasal dari pasar ternak Kabupaten Lima Puluh Kota yang terbebas dari penyakit menular. Pemerikasaan kesehatan hanya dilakukan sebelum ternak sampai di peternakan.
Peralatan di Peternakan Roni sesuai dengan kapasitas/jumlah sapi yang dipelihara. Alat dan mesin yang perlu disediakan yaitu timbangan sapi, chopper (pemotong rumput), tempat bongkar muat yang memadai.
Gambar 3. Alat Transportasi yang Digunakan di Peternakan Roni
Pakan merupakan semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin (Parakkasi, 1999). Darmono (1993) menjelaskan bahwa bahan pakan yang baik adalah bahan pakan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta tidak mengandung racun yang dapat membahayakan ternak.
Air minum pada ternak sapi diberikan secara ad libitum. Kebutuhan air
tergantung pada kondisi iklim, bangsa sapi, umur dan jenis pakan yang diberikan.
Pakan yang diberikan adalah hijauan (rumput/jerami) dan konsentrat (ampas
tahu/dedak). Jumlah jerami yang diberikan untuk induk yaitu ± 30kg/ekor/hari dan
ampas tahu sebanyak ± 6kg/ekor/hari. Menurut GFP pemberian pakan hijuan segar
Pakan diberikan sebanyak 3 kali/hari. Ampas tahu diberikan pada pagi hari
sekitar pukul 07.00-08.00. Pemberian jerami fermentasi dilakukan pada siang dan
sore hari yaitu sekitar pukul 10.30-11.00 dan pukul 16.00-17.00. Hal ini sesuai
dengan pendapat Siregar (2008) yaitu pemberian konsentrat yang dilakukan 2 jam
sebelum pemberian hijauan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan
organik, karena konsentrat relatif banyak mengandung pati sebagian besar dicerna
mikroorganisme rumen pada saat hijauan mulai masuk ke dalam rumen. Konsumsi pakan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu lingkungan, palatabilitas, selera, satatus fisiologi, kandungan nutrisi, bentuk pakan dan bobot tubuh.
Jerami padi terlebih dahulu dipotong-potong dan dicampur dengan urea.
Penggunaan urea pada jerami basah yaitu sebanyak 7,5 kg campuran urea untuk
setiap 300 kg jerami basah. Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO (Parakkasi, 1999). Pencampuran ini bertujuan agar ikatan silika dan liginin pada selulosa dapat dilonggarkan, sehingga jerami mudah dicerna dan memperkaya
jumlah nitrogen (N) dalam jerami (Agus, 2003).
Mineral dan vitamin diberikan kepada ternak sapi dalam jumlah terbatas.
Pemberian mineral dan vitamin dilakukan terhadap ternak terutama ternak yang
sedang bunting dan menyusui. Penggunaan mineral dan vitamin yaitu dicampur
dengan ampas tahu sebanyak 0,01%. %. Tillman et al. (1981) menyatakan bahwa mineral memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai bahan pembentukan tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan keras dan kuat, mempertahankan keadaan koloidal dari beberapa senyawa dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam basa tubuh, aktivator sistem enzim tertentu, komponen dari suatu enzim dan mempunyai sifat yang spesifik terhadap kepekaan otot dan saraf.
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kebutuhan zat makanan induk sapi
pedaging yaitu bahan kering (5,5-11,6%), konsentrat (0-15% dalam ransum), protein
kasar (5,9-9,2%). Menurut Agus (2003) kandungan nutrisi jerami padi fermentasi
yaitu bahan kering (67,08%), protein kasar (9,66%), serat kasar (32,04%), lemak
kasar (1,73%), BETN (39,57%) dan total nutrient tercerna (54,42%). Kandungan zat
makanan pada jerami padi dan ampas tahu yang digunakan di Peternakan Roni dapat
47 Tabel 6. Kandungan Zat Makanan pada Bahan Pakan pada Peternakan Roni di
Kecamatan Harau
Bahan Pakan Nutrien
BK Abu PK SK LK Beta-N
Jerami Padi 95,2 18,60 8,84 41,67 1,77 29,09 Ampas Tahu 32,51 4,5 21,28 24,63 6,52 43,40
Keterangan : Hasil Analisa di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Teknologi Peternakan, FAPET, IPB (2011).
Karyawan yang bekerja pada usaha peternakan sapi potong menurut GFP harus berbadan sehat. Tenaga kerja di Peternakan Roni berjumlah dua orang dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sistem pemberian gaji berdasarkan kesepakatan bersama antara pemilik dan karyawan. Proses Produksi
Pemilihan sapi bakalan yang akan dipelihara di Peternakan Roni berasal dari bangsa Sapi Simmental dengan kisaran umur 1-2 tahun. Penggunaan sapi ini diharapkan mampu memberikan keuntungan maksimal bagi peternak.
Usaha Peternakan Roni didirikan dengan merencanakan jumlah kandang. Hal ini sesuai dengan GFP bahwa setiap usaha peternakan sapi potong yang akan didirikan harus merencanakan jumlah kandang yang akan dibangun sesuai dengan jumlah dan bangsa sapi yang akan dipelihara. Sistem kandang yang digunakan adalah individu/tunggal dengan luas 6 m2.
Tempat penampungan limbah (kotoran) dibuat terpisah dengan kandang ternak. Jarak kandang dengan tempat penampungan limbah terlalu dekat. Jarak seharusnya 25 m. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan ternak. Pemanfaatan limbah (kotoran) di Peternakan Roni digunakan sebagai pupuk. Pupuk digunakan untuk rumput dan beberapa tanaman lainnya seperti cabai, kopi coklat dan pepaya yang ada di sekitar peternakan.
Usaha peternakan sapi potong berdasarkan GFP berlokasi di daerah yang bebas endemik penyakit zoonis. Semenjak peternakan ini berdiri, ternak yang dipelihara tidak pernah menderita penyakit zoonis. Pemberian vaksin dilakukan di Peternakan Roni namun tidak ada pencatatan tehadap pelaksanaan dan jenis vaksin yang digunakan.
Peternakan Roni yaitu mudah dimasuki binatang liar seperti anjing yang dipelihara masyarakat sekitar. Perlu peningkatan pengawasan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan.
Peternakan Roni tidak melakukan desinfeksi kandang dan peralatan dengan pemakaian insektisida tabur dan cair. Ternak yang sakit tidak dikandangkan secara khusus. Hal ini memungkinkan adanya penularan penyakit terhadap ternak sehat. Pembagian kerja di Peternakan Roni tidak dilakukan sehingga setiap orang bebas keluar masuk kandang ternak dan dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit. Usaha Peternakan Roni tidak memiliki unit keamanan dan fasilitas desinfeksi untuk karyawan dan kendaraan tamu.
Penanganan sapi potong di Peternakan Roni telah memenuhi standar GFP. Sapi yang dijual yaitu berumur 6-12 bulan. Ternak sapi yang akan dijual bebas dari antibiotik dan hormon serta tidak cedera atau cacat.
Pelestarian Lingkungan
Bangunan kandang di Peternakan Roni ditanami dengan pepohonan. Pepohonan digunakan dalam upaya pencegahan erosi di wilayah sekitar peternakan. Selain itu, pepohonan menyebabkan udara menjadi sejuk dan segar pada saat cuaca panas.
Pengawasan
49 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Produktivitas indukan Sapi Simmental di Peternakan Roni adalah tinggi
berdasarkan besarnya ukuran tubuh ternak yaitu panjang badan, dalam dada, lingkar
pinggul, lingkar dada, tinggi pinggul, tinggi pundak sapi umur <2 tahun
masing-masing yaitu 148,62±13,73; 96,36±5,29; 166,05±11,67; 167,60±9,43; 146,78±12,71;
145,91±14,51 dan bobot sapih anak, nilai S/C, angka kebuntingan dan calf crop sapi
masing-masing sebesar 125-175; 1,2; 82% dan 95%.Ketercapaian penerapan GFP di
Peternakan Roni yaitu 20%.
Saran
Perlu adanya perhatian terhadap penerapan Good Farming Practise yang
sesuai dengan perundang-undangan untuk perkembangan peternakan dalam jangka
panjang. Peternak perlu melakukan pencatatan produksi dan reproduksi. Pemerintah
diharapkan lebih memperhatikan sarana dan prasarana peternakan seperti timbangan
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT, Rahmaan dan Ar-Rohiim, atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya dan hanya dengan pertologan-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada orang tua yang telah banyak membantu baik materi, motivasi serta do’a yang tiada henti diberikannya, juga kepada Ibu Ir. Hj. Komariah, M. Si dan Ibu Ir. Sri Darwati, M. Si yang telah banyak membantu dalam membimbing dan mengarahkan penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan pula kepada Bapak Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M. Sc, Ibu Dr. Irma Isnafia Arief, S. Pt, M. Si serta Ibu Ir. Lucia Cyrilla, ENSD, M. Si selaku panitia sidang yang telah menguji, mengkritik dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya kepada bang Roni dan keluarga yang telah bersedia menyediakan tempat penelitian dan juga kepada tante Wirna Lidya atas bantuannya selama penelitian. Selain itu Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada mbak Ekawati, Iwan, seluruh keluarga besar di Sijunjung dan Pasir Pangaraian dan teman-teman (Rithoh, Tri Utami, Sarwar, Yunita, Devianti, Ribka, Kasih, Khairani, Gilang Ayuningtyas, Priskila, Ferdy, Riri, Betari, Arif, Mayang, Tantia Safitri, Naila Rachmawati, Melati Lestari, Desi Ariyanti) serta teman-teman jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Angkatan 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan spirit dan morilnya kepada Penulis. Semoga Allah SWT memberikan keberkahan kepada orang-orang yang tersebut di atas.