• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

DRAMATISME PIDATO KENEGARAAN PERTAMA

PRESIDEN JOKO WIDODO

(Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko

Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

SKRIPSI

RIA SITUMORANG

110904054

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

DRAMATISME PIDATO KENEGARAAN PERTAMA

PRESIDEN JOKO WIDODO

(Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko

Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

RIA SITUMORANG

110904054

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

LEMBAR PERSETUJUAN

Nama : Ria Situmorang

NIM : 110904054

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo

(Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

Medan, 2015

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Hendra Harahap, M.Si

NIP. 196710021994031002 NIP. 196208281987012001

Dra. Fatma Wardy Lubis, MA

Dekan FISIP USU

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Ria Situmorang

NIM : 110904054

Tanda Tangan :

(5)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Ria Situmorang

NIM : 110904054

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ……….………(………)

Penguji : ……….(………)

Penguji Utama : ……….(………)

Ditetapkan di : Medan

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

karena kasih dan berkatnya penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo

(Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca

Dilantik Dalam Perspektif Dramatisme)”. Adapun skripsi ini disusun untuk

memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari

Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara.

Selama proses pengerjaan skripsi ini penulis menyadari banyak pihak

yang berperan penting dalam hal membantu menyelesaikan skripsi ini. Penulis

dalam kesempatan ini ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Bapak Jhonny Situmorang yang telah berakhir masa baktinya di dunia ini

namun cinta dan kasih sayangnya tidak pernah berhenti penulis rasakan sampai

dengan sekarang. Skripsi ini pun adalah salah satu hadiah untuk cita–cita dan

harapan beliau kepada penulis semasa hidupnya. Terima kasih juga penulis

ucapkan kepada Ibu Christina Banjarnahor atas untaian doa setiap harinya dan

motivasi tanpa henti serta abang dan kakak ipar penulis yang banyak memberikan

nasihat serta dukungan moril juga materil.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan dukungan,

bimbingan, motivasi, saran dan kritik membangun dari banyak pihak. Pada

kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas

Sumatera Utara

2. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera

Utara.

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si, selaku Sekertaris Departemen Ilmu Komunikasi

(7)

4. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah

banyak direpotkan penulis dalam usaha menyelesaikan skripsi ini.

Merupakan suatu penghargaan bagi penulis dapat dibimbing serta

diberikan arahan selama proses pengerjaan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Safrin, M.Si, selaku dosen penasihat akademik penulis selama

perkuliahan.

6. Seluruh Staff Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU baik pengajar

maupun pegawai yang ikut membantu melalui dukungan dalam proses

administrasi, moril atau sekedar berbagi cerita kepada penulis.

7. Kakak dan abang LDIK terutama Kak Hanim yang selalu dengan tangan

terbuka menerima pertanyaan serta ide sampai kebingungan, kecerobohan

dan kejenuhan penulis selama proses pengerjaan skripsi.

8. Semua sahabat-sahabat Ilmu Komunikasi 2011 Neni, Davit, Eva, Grace,

Sondang, Andreas, Tabitha, Susi, Nabila, Putri, Mira, Endo, Ardi dan

seluruh teman–teman terbaik penulis yang banyak memberikan semangat,

sindiran dan cerita konyol yang banyak mewarnai hari–hari penulis.

Terima kasih atas segala cerita kurang penting dan dukungan kurang

mendukungnya kepada penulis sehingga penulis tetaplah penulis yang apa

adanya dan tidak berubah sedikit pun.

9. Salah satu sahabat terbaik penulis, Ella Puspita Siregar. Sahabat dalam

segala petualangan, sahabat dengan prinsip bermental baja dan tahan

banting dalam segala cuaca serta selalu mengatasnamakan kepentingan

dan keuntungan diatas segalanya.

10.Sahabat–sahabat sepermainan penulis, baik sahabat jarak dekat maupun

jarak jauh para alumni Budi Mulia Pematangsiantar; Camelia, Aurelia,

Rouli, Margaretha, Elvan, Clara, Daniel, Dedy, Richard, Irene dan

Wilson. Terima kasih atas sesi menghedon, sesi per-bully-an dan sesi

berpeluh keringat serta air mata.

11.Adik–adik yang sudah seperti saudara kandung sendiri bagi penulis;

Lidya, Ribka, Sarah, Raymond, dan Bianda yang banyak memberikan

bahan tertawaan setiap harinya atau sekedar bertanya “kak, kakak kok ga

(8)

12.Teman–teman relawan tutor dan murid Yayasan Pemimpin Anak Bangsa

yang telah mengajarkan penulis cara untuk bersyukur sebanyak–

banyaknya meski dalam kondisi seberat-beratnya.

13.Semua pihak–pihak yang banyak membantu selama proses pengerjaan

skripsi ini yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu. Yakinlah bahwa

masing–masing dari kalian sudah diberikan bonus poin di surga nantinya.

Penulis juga menghaturkan maaf atas semua kesalahan dan kekurangan

yang telah penulis buat selama penulisan skripsi ini, baik yang disengaja maupun

yang tidak disengaja. Akhir kata penulis mengharapkan semoga saja skripsi ini

berguna bagi orang yang membacanya.

Medan, 2015

Penulis

(9)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ria Situmorang

NIM : 110904054

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan. Menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif di Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmediakan/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta)

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : 2015

Yang Menyatakan

(10)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme). Penelitian ini memfokuskan pada penelitian analisis wacana dengan memakai teori dramatisme oleh Kenneth Burke dalam keseluruhan analisis sebagai kajian teori komunikasi. Penelitian ini memakai paradigma konstruktivis sebagai pendekatan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui manipulasi bahasa (dramatisme) serta realitas sosial yang ingin dibentuk oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato perdananya pasca dilantik tanggal 20 Oktober 2014. Subjek penelitian ini adalah teks pidato kenegaraan pertamanya yang setelah pelantikan dan objek dari penelitian ini adalah manipulasi bahasa (dramatisme). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses identifikasi bekerja melalui bahasa verbal dan non verbal yang ditampilkan Presiden Joko Widodo. Terdapat berbagai macam persoalan ambiguitas makna dalam berbagai istilah yang diucapkan Joko Widodo dalam pidatonya. Pemilihan kata dan kalimat dikonsep sedemikian rupa dengan banyak pertimbangan mengingat pentingnya mengkonstruksi kehidupan Joko Widodo sebagai sebuah panggung pertunjukkan drama di depan publik.

Kata Kunci:

(11)

ABSTRACT

This research entitled The Dramatism of President Joko Widodo’s First Official Speech (Discourse Analysis of The President of Indonesia Joko Widodo’s First Speech after The Inauguration based on The Perspective of Dramatism). This research focused on the study of discourse analysis using dramatism theory by Kenneth Burke in the entire analysis as the study of communication theory. This research used the constructivist paradigm as an approach. The purposes of this research were to discover the manipulation language (dramatism) and kind of social reality that wanted to be formed by The President, Joko Widodo, in his first speech after the inauguration on October 21st 2014. The subject of this research was the text of his first official speech after the inauguration and the object of this research was the language manipulation (dramatism). The results showed that the identification processes had worked through verbal and non-verbal language showed by The President. There were various ambiguity problems of the meaning in different terms of Joko Widodo’s speech. The selection of words and sentences conceptualized in such a way with a lot of consideration reminded that it such important constructing Joko Widodo’s life as a stage drama performance in public.

Keyword:

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II DRAMATISME DALAM KAJIAN KOMUNIKASI 2.1 Dramatisme ... 11

2.1.1 Sejarah ... 12

2.1.2 Asumsi Dramatisme ... 16

2.1.3 Dramatisme dan Retorika ... 18

2.1.4 Identifikasi dan Subtansi ... 19

2.1.5 Proses Rasa Bersalah dan Penebusan ... 20

2.1.6 Istilah Tuhan dan Iblis ... 21

2.1.7 Heurisme ... 22

2.2 Dramatisme dan Komunikasi Politik ... 23

(13)

2.3.1 Rasio Dramatistik ... 29

2.4 Kritik Dramatisme ... 29

2.4.1 Kegunaan ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma ... 31

3.2 Metode Penelitian ... 36

3.3 Subjek Penelitian ... 39

3.4 Objek Penelitian ... 39

3.5 Aspek Kajian ... 39

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.7 Teknik Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 42

4.1.1 Latar Belakang Presiden Joko Widodo ... 42

4.1.2 Pendekatan Dramatisme dalam Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo ... 50

4.1.2.1 Ekstra Tekstual ... 50

4.1.2.2 Tekstual Sentrik ... 58

4.1.2.3 Tekstual Seminal ... 92

4.2 Pembahasan ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 100

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Ilustrasi Pentad Drama 26

Paragraf 1 58

Paragraf 2 61

Paragraf 3 64

Paragraf 4 66

Paragraf 5 70

Paragraf 6 72

Paragraf 7 74

Paragraf 8 75

Paragraf 9 77

Paragraf 10 80

Paragraf 11 81

Paragraf 12 82

Paragraf 13 85

Paragraf 14 86

Paragraf 15 88

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul

1 Teks Pidato

2 Biodata Joko Widodo

3 Foto Joko Widodo saat pembacaan pidato

kenegaraan pertama dan suasana pelantikan

4 Biodata Peneliti

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Salah satu fenomena yang menarik dalam dunia politik Indonesia adalah

Joko Widodo. Karier pria yang akrab dipanggil Jokowi ini terbilang luar biasa

dari pengusaha meubel ia banting setir ke dunia politik dan terpilih menjadi Wali

Kota Solo selama dua periode dengan masa bakti 2005-2010 dan 2010-2015.

Belum genap masa kepemimpinannya menjadi Wali Kota Solo di periode

keduanya, ia lalu ditunjuk oleh warga ibukota menjadi Gubernur Jakarta pada

tahun 2012. Kemenangannya sering kali dinilai memberikan harapan baru bagi

pemerintahan yang baru dan bersih.

Semenjak dilantik menjadi Gubernur Jakarta periode 2012-2017 pada 8

Oktober 2012, ia terus menjadi sorotan media. Muncul wacana untuk

menjadikannya calon presiden ditambah hasil survey yang menunjukkan

keunggulan namanya dibanding calon presiden lain. Pada 14 Maret 2014, Joko

Widodo menerima mandat dari Megawati Soekarnoputri ketua umum Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk maju sebagai calon presiden berpasangan

dengan Jusuf Kalla.

Lima hari setelah deklarasi pencalonan dirinya tepatnya pada tanggal 19

Maret 2014, Joko Widodo digugat oleh Tim Advokasi Jakarta Baru di Pengadilan

Tinggi Jakarta Pusat. Ia dianggap telah melanggar hukum perdata karena

meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur Jakarta sebelum menepati janji–

janjinya menyelesaikan permasalahan Jakarta. Gugatan ini langsung diklarifikasi

oleh Menteri Dalam Negeri pada saat itu, Gamawan Fauzi dengan menjelaskan

Undang–Undang No. 47 tahun 2008 mengenai Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden yang intinya bahwa seorang kepala daerah yang hendak ikut serta dalam

pemilihan presiden berhak maju setelah mengajukan surat permintaan kepada

Presiden dan mendapatkan izin Presiden tanpa harus mengundurkan diri

(18)

Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 sendiri diikuti

oleh dua pasangan calon yaitu Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad

berpasangan dengan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

2009-2014, serta Joko Widodo berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil

Presiden RI pada periode 2004-2009. Dua pasang calon kemudian melakukan

pengundian nomor urut pada 1 Juni 2014 di kantor KPU pusat Jakarta. Hasil

pengambilan nomor urut ini menempatkan pasangan Prabowo-Hatta Radjasa

pada nomor urut pertama dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada nomor

urut kedua.

Joko Widodo mempunyai strategi sendiri untuk menggalang dana

kampanye. Jika kebanyakan para politisi menggalang dana kampanye dari

dompet sendiri atau sumbangan dari beberapa instansi terkait Joko Widodo kali

ini menggalang sumbangan dari para relawan pendukungnya. Penggalangan dana

kampanye tersebut dilakukan pihak Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan membuka

tiga akun rekening di sejumlah bank di Indonesia. Ratusan pendukung pun

beramai-ramai menyumbangkan beberapa rupiah ala kadarnya untuk mendukung

pasangan calon presiden pilihan mereka tersebut.

Kampanye pemilu presiden dimulai pada 4 Juni hingga 5 Juli 2014 dalam

rapat terbuka dan debat calon yang terdiri dari lima sesi yang dilaksanakan pada

tanggal 9 Juni, 15 Juni, 22 Juni, 29 Juni dan 5 Juli 2014 yang masing-masing

membahas materi masalah umum seperti masalah kepastian hukum, demokrasi,

pembangunan ekonomi, politik internal, ketahanan nasional dan sebagainya.

Menjelang pemilihan umum presiden, terdapat berbagai macam kampanye hitam

yang dialamatkan kepada Joko Widodo, seperti isu capres boneka, keislaman

Joko Widodo yang diragukan, tuduhan bahwa Joko Widodo adalah orang

Tionghoa yang merupakan putra dari Oei Hong Leong, hingga klaim bahwa ia

adalah antek zionis dan antek Amerika.

Tanggal 9 Juli 2014 seluruh warga negara Indonesia diberikan hak untuk

memberikan suaranya pada pemilu presiden dan wakil presiden. Di hari yang

sama pada sore harinya, Joko Widodo mengklaim kemenangannya berdasarkan

hitung cepat suara di beberapa wilayah. Lembaga survey independen

(19)

kemenangannya sambil mengutip lembaga survey lainnya. Sebelum

pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum, Prabowo meminta KPU

menunda pengumuman agar partainya dapat memeriksa dugaan kecurangan pada

proses pemungutan suara, namun permintaan ini ditolak oleh KPU. Ia menuntut

diadakannya pemungutan suara ulang di beberapa daerah yang diduga melakukan

manipulasi pada proses pemilihan suara. Pada tanggal 22 Juli 2014, tepat di hari

pengumuman hasil resmi oleh KPU yang menyatakan kemenangan pasangan

Joko Widodo-Jusuf Kalla, Prabowo menyatakan menarik diri dari proses

pemilihan umum dalam pidatonya yang disiarkan langsung berimplikasi bahwa ia

akan menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi (http://id.wikipedia.org/wiki/

Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014 bagian 7 tentang Penghitungan dan

Hasil).

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi akhirnya dimasukkan pihak Prabowo

pada tanggal 25 Juli 2014 dengan klaim kemenangan seharusnya ada di pihak

Prabowo dengan membawa bukti–bukti. Inti gugatannya adalah adanya

kejanggalan jumlah DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan). Pelanggaran

pemilu yang terstruktur, sistematis dan masif, mempermasalahkan sistem noken

di Papua serta kesaksian kubu Prabowo yang mengklaim merasa diancam saat

pemilu berlangsung. Pada tanggal 21 Agustus 2014, MK memutuskan menolak

secara keseluruhan gugatan tim hukum Prabowo–Hatta (http://id.wikipedia.org/

wiki/Pemilihan_umum_Presiden_Indonesia_2014 bagian 8 tentang gugatan pasca

pilpres)

Meski kemenangan Joko Widodo sudah resmi dinyatakan secara jelas

namun jalannya menuju kursi RI-1 tidak serta merta berjalan mulus. Kontroversi

menjelang pelantikannya menguak semenjak terbentuknya koalisi merah putih.

koalisi merah putih terbentuk sebelum pemilihan umum presiden yang

merupakan himpunan partai pendukung Prabowo Subianto yang pada

pemerintahan Joko Widodo disebut partai oposisi. Partai–partai tersebut adalah

Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar),

Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Kesejahteraan (PKS), Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dari 560 total

(20)

jumlah kursi DPR sementara partai pendukung Joko Widodo yang terdiri atas

Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai

Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai

Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) hanya memegang 36,46% kursi DPR

dengan jumlah 208 kursi parlemen. Partai oposisi terlihat menguasai lebih banyak

kursi di lembaga legislatif tersebut jika dibandingkan dengan partai pendukung

Joko Widodo sendiri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_Presiden

_Indonesia_2014 bagian 1 tentang kandidat)

Menjelang pemerintahan Joko Widodo, koalisi merah putih memegang

kendali terhadap parlemen. koalisi merah putih mulai bergerak di parlemen saat

pemilihan ketua DPR. koalisi merah putih bersitegang mengenai legalisasi

menyangkut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Yang pada intinya,

partai pemenang pemilu tidak harus menjadi pimpinan di parlemen. Terpilihnya

lima elite dari partai politik koalisi merah putih sebagai pimpinan DPR dan

dominannya koalisi pengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di parlemen

diduga akan menjadi ganjalan bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam menjalankan

program yang juga butuh persetujuan DPR (http://lipsus.kompas.com/topik

pilihanlist/3143/1/ pro.kontra.uu.md3).

Hal ini menimbulkan amarah bagi partai pendukung Joko Widodo-Jusuf

Kalla yang disebut koalisi indonesia hebat dimana partai–partai tersebut pernah

sekali melontarkan wacana untuk membuat parlemen tandingan. Kondisi politik

menjelang pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla kian hari kian bertambah buruk.

Diduga, efek dari manuver lawan politik Joko Widodo-Jusuf Kalla ini akan

sangat terasa setelah keduanya resmi dilantik. Joko Widodo-Jusuf Kalla

membutuhkan persetujuan DPR untuk merevisi anggaran ataupun penerapan

kebijakan terkait subsidi. Selain itu, pemerintah juga butuh bekerja sama dengan

kepala daerah se-Indonesia, yang sebagian besar berasal dari partai politik koalisi

merah putih. Sehingga pada akhirnya, Joko Widodo dan Jusuf Kalla pun ikut

campur tangan melobi koalisi merah putih agar partai pendukungnya bisa ajukan

(21)

bagi koalisi merah putih yang akan bergabung pada pemerintahan Joko Widodo.

Padahal, pada masa kampanye Joko Widodo pernah mengutarakan bahwa

pemerintahan bukan ajang bagi–bagi kekuasaan.

PDI-P sebagai partai pemenang pemilu yang mengusung Joko Widodo

mencurigai ada maksud tersembunyi dibalik ngototnya partai politik yang

tergabung dalam koalisi merah putih tersebut untuk menguasai jajaran pimpinan

DPR dan MPR beserta alat kelengkapannya. PDI-P khawatir koalisi merah putih

sedang merancang strategi untuk menghambat pelantikan Joko Widodo-Jusuf

Kalla pada 20 September 2014. Koalisi merah putih menyatakan bahwa

keinginan partai koalisi merah putih untuk menduduki kursi kepemimpinan

semata–mata demi kemaslahatan bangsa dan meningkatkan peran dan fungsinya

(DPR dan MPR) dalam pembangunan nasional ke depan bukan untuk mengincar

kekuasaan. Wacana penjegalan pelantikan Joko Widodo-Jusuf Kalla terdapat

pada pernyataan Wakil Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim

Djojohadikusumo yang juga merupakan adik kandung Prabowo Subianto.

Hashim mengaku ia menjadi penyandang dana utama Joko Widodo selama masa

kampanye pilkada DKI Jakarta. Ini bukan pertama kalinya Hashim mengungkit

soal dana kampanye saat pilkada Jakarta. Di masa kampanye pilpres, Hashim

menyebut dirinya dibohongi Joko Widodo. Ia mengaku mengeluarkan Rp.

52.000.000.000 (lima puluh dua miliar) untuk kampanye pilkada Jakarta.

(http://www.pemilu.com/jokowi-vs-prabowo-pilpres-2014/)

Hashim mengatakan, ada harga yang harus dibayar Presiden terpilih Joko

Widodo atas langkahnya "meninggalkan Jakarta" dan mencalonkan diri dalam

pilpres yang lalu. Hashim, dalam artikel yang ditayangkan "The Wall Street

Journal" online, menganggap langkapersonal betrayal". Ia

menyatakan, koalisi merah putih yang menguasai parlemen akan menjadi oposisi

yang aktif dan konstruktif dalam mengawal pemerintahan Joko Widodo. Prabowo

kini aktif terlibat dalam membangun dan memimpin koalisi di parlemen. koalisi

merah putih, memiliki otoritas yang cukup untuk mengawasi pemerintahan Joko

Widodo, termasuk penentuan sejumlah jabatan di pemerintahan dan lembaga

seperti kepala polri, panglima TNI, hakim agung dan anggota Mahkamah. Ketua

(22)

bahwa tidak akan ada yang mengganggu pelantikan Joko Widodo sebagai

presiden pada 20 Oktober 2014. Ia membantah isu tentang rencana penjegalan

Konstitusi

(http://nasional.kompas.com/read/2014/10/07/20455591/Hashim.Sebut.Ada.Harg

a.yang.Harus.Dibayar.Jokowi.atas.Pencapresannya)

Menjelang pelantikan Joko Widodo–Jusuf Kalla, pesta syukuran rakyat di

sebagian jalan protokol Jakarta siap merayakan pelantikan Joko Widodo.

Sebelum pelantikannya Joko Widodo tengah bersiap dengan pidato kenegaraan

pertamanya. Ia menyampaikan pidato pertamanya sebagai RI-1 usai pembacaan

sumpah di Gedung DPR/MPR. Diduga, Tim 11 yang merupakan orang terdekat

Joko Widodo yang sudah mendampingi sejak mencalonkan diri sebagai calon

gubernur DKI Jakarta memang diminta oleh Joko Widodo untuk mempersiapkan

struktur naskah pidato. Namun naskah pidato tetap ditulis dan difinalisasikan

sendiri oleh Joko Widodo. Awalnya, MPR memberikan alokasi waktu 45 menit

bagi Joko Widodo untuk berpidato. Namun durasi ini dipangkas oleh Joko

Widodo yang hanya memanfaatkan waktu sebanyak 10 menit.

(http://www.jpnn.com/read/2014/10/19/264520/Siapa-Saja-Pembuat-Pidato-Pela

ntikan-Jokowi-)

Tanggal 20 Oktober 2014 menjadi sejarah besar bangsa Indonesia.

Pelantikan Joko Widodo–Jusuf Kalla berlangsung aman tanpa penjegalan seperti

yang dijanjikan Ketua MPR Zulkifli Hasan. Seusai mengucap sumpah jabatan

presiden, Joko Widodo menyampaikan pidato yang tidak terlalu panjang. Dalam

pidatonya, beberapa hal diuraikan Joko Widodo, sebagaimana janjinya dalam

masa kampanye pemilu presiden lalu. Misalnya, mewujudkan Indonesia yang

berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di

bidang budaya. Joko Widodo mengingatkan pentingnya menjadikan sektor

maritim sebagai prioritas. Ia juga menyatakan pentingnya persatuan dan kerja

keras.

Sebagai sebuah kajian, ilmu komunikasi terus mengalami perkembangan,

baik menyangkut teori, metode penelitian, maupun dari aspek praktis. Teori–teori

komunikasi juga sering dilihat dari segi topik seperti yang dilakukan Littlejohn

(23)

Encyclopedia of Communication Theory (2009) yang di dalamnya memuat

lengkap berbagai macam teori mulai dari teori sistem, semiotika, wacana

(discourse), produksi pesan, proses dan penerimaan pesan, interaksionisme

simbolik, dramatisme, naratif, realitas sosial dan budaya, pengalaman dan

interpretasi, hingga teori kritis. Adapula yang melihat teori komunikasi dari topik

dan levelnya, sebagaimana dikerjakan Heath dan Bryant dalam bukunya Human

Communication Theory and Research: Concepts, Contexts, and Challenges

(2012) yang mencakup proses komunikasi, bahasa, makna, dan pesan, informasi

dan ketidakpastian, persuasi, komunikasi interpersonal, komunikasi organisasi

dan komunikasi massa.

Tanpa menghilangkan tradisi kualitatif yang lebih dahulu berkembang,

dalam dekade 90-an metode penelitian komunikasi diperkaya dengan analisis

wacana (discourse analysis). Analisis wacana berkembang pesat, termasuk di

Indonesia. Kehadiran buku–buku yang berkenaan dengan wacana antara lain

Fairclough (1995a dan 1995b), Mills (1997), Gee (1999,2005) dan Titscher dkk

(2000) serta penerbitan buku dalam negeri seperti Sobur (2001), Eriyanto (2001),

dan Hamad (2004), memperkuat metode dan pelaksanaan riset dengan memakai

analisis wacana, baik sebagai analisis teks maupun sebagai analisis wacana kritis

(critical discourse analysis) di program Strata-1, Strata-2, dan Strata-3 Ilmu

Komunikasi, bahkan dalam dunia praktis terutama bidang humas korporasi

(Hamad dalam jurnal komunikasi Mediator 2006: 260)

Berkenaan dengan praktek komunikasi, dewasa ini masyarakat, terutama

para pelaku komunikasi cenderung menggunakan teknik pengemasan pesan

(message packaging) demi memperoleh tujuan–tujuan komunikasinya. Mereka

tidak lagi sekedar membuat, menampilkan, dan mengirimkan pesan berdasarkan

apa yang diingininya, tetapi merancang pesan dengan dilandasi dan dipengaruhi

oleh visi dan misi strategisnya sekaligus mengirimkannya kepada khalayak

melalui cara dan taktik yang sangat persuasif. Dalam konteks ini, mereka

mengembangkan suatu wacana tertentu jika bermaksud menyampaikan pesan

kepada khalayak. Sekarang ini, kesadaran wacana memang cenderung bertambah

bukan saja dipihak yang memproduksi pesan tetapi juga dipihak yang menerima

(24)

Semua perkembangan ini tentu aja mengharuskan kita menata kembali

cara pandang kita terhadap pendekatan komunikasi. Bahwasanya dari segi

caranya pesan dikelola terdapat satu pendekatan lain dari komunikasi. Itulah yang

disebut perspektif komunikasi sebagai wacana. Komunikasi sebagai proses

konstruksi realitas dalam pandangan ini dipilih peneliti karena penelitian

dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau “kenyataan kedua”

melalui pembentukan sebuah wacana (discourse) sebagai “pengganti” dari

realitas atau kenyataan pertama. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana

itu adalah suatu proses yang disebut konstruksi realitas atau construction of

reality sehingga realitas yang telah diwacanakan itu disebut dengan realitas yang

telah dikonstruksikan (constructed of reality) (Hamad, 2004: 234).

Dari uraian di atas, kita dapat menarik implikasi bahwa khasanah teori

komunikasi konstruksi realitas (communication as discourse) tidak hanya bersifat

mengirimkan pesan, memajang sejumlah pesan untuk menarik perhatian,

memanfaatkan simbol untuk menciptakan makna tertentu, atau membangun

suasana kebersamaan. Komunikasi juga bersifat mengemas kepentingan dalam

bentuk struktur pesan yang bermakna. Kehadiran ragam pendekatan komunikasi

ini juga memberikan implikasi pada metode penelitian komunikasi. Pendekatan

konstruksi realitas menghidupkan metode analisis wacana untuk membongkar

realitas dibalik wacana. Akhirnya, perspektif komunikasi sebagai wacana

memberi implikasi sosial. Kita dapat mendayagunakan wacana untuk kebaikan

pada level individu, kelompok, organisasi sosial, dan global. Mengurangi dan

mencegah konflik individu, sosial dan global melalui wacana yang bersifat

meredam kekerasan (Hamad dalam jurnal komunikasi Mediator 2006: 266).

Penggunaan discourse dalam dunia politik ini lebih biasa lagi, bahkan

telah menjadi tradisi. Para aktor politik senantiasa menciptakan discourse

manakala mereka berbicara politik. Hal itu mereka lakukan bukan saja untuk

menyampaikan ideologi politik yang diyakininya, melainkan pula untuk

menciptakan opini publik demi meraih keuntungan–keuntungan politik yang

ingin diperolehnya, entah itu kekuasaan, jabatan, maupun material (Nimmo,

(25)

Hampir di segala tindakan, komunikasi Presiden dianggap penting sebagai

unsur politik Presiden modern. Seiring berjalannya waktu, Presiden lebih banyak

mencurahkan perhatian terhadap komunikasinya. Sekarang ini, banyak presiden

yang memiliki staff yang dikhususkan untuk kegiatan komunikasi tunggalnya.

Komunikasi Presiden menjadi pusat pertumbuhan politik di media massa dalam

abad terakhir. Kebanyakan masyarakat sebenarnya hanya berharap pemimpinnya

untuk berkomunikasi lebih intens dan panjang lebar tentang masalah publik saat

ini, mereka tidak peduli tentang formalitas dalam pemerintahan. (Ryfe, 2005: 3)

Banyak literatur menganalisis tentang kemampuan presiden untuk

memimpin opini publik. Penelitian seperti ini biasanya menganalisis kemampuan

presiden untuk memanipulasi popularitas mereka seperti drama politik,

pembuatan pidato dan kunjungan ke negara lain (MacKuen 1983; Ragsdale 1984,

1987). Dengan mempelajari sebuah pidato sebenarnya tidak berpatokan pada

aspek fisilogi dan psikologi dari si pembicara. Namun, mempelajari bahasa yang

disampaikan. Esensi dari bahasa terdiri dalam penugasan konvensional, secara

sukarela diartikulasikan sesuai dengan unsur pengalaman (Sapir, 1921: 183).

Penelitian tentang pidato dengan menggunakan perspektif dramatisme

semacam ini masih jarang dilakukan oleh akademisi di Indonesia, namun

penelitian semacam ini sudah mulai marak diberlakukan di wilayah barat. Bahkan

saat ini sudah terdapat jurnal online khusus yang membahas analisis teori yang

diciptakan oleh Kenneth Burke terkhususnya Dramatisme. Hal ini yang menarik

perhatian peneliti untuk mengkaji secara keilmuan pidato presiden Joko Widodo

dalam perspektif dramatisme.

1.2Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, peneliti merumuskan bahwa

fokus yang akan diteliti lebih lanjut adalah: “Bagaimana strategi manipulasi

bahasa (dramatisme) yang didesain Presiden Joko Widodo dalam pidatonya

(26)

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini di lakukan dengan maksud untuk mencapai tujuan berikut:

1. Untuk mengetahui manipulasi bahasa (dramatisme) yang didesain

Presiden Joko Widodo dalam pidatonya.

2. Untuk mengetahui realitas sosial yang ingin dibentuk Presiden Joko

Widodo dalam pidatonya.

1.4Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan dampak positif dan

menambah pengetahuan dalam khasanah penelitian komunikasi serta

dapat dijadikan sebagai sumber bacaan mahasiswa FISIP USU khususnya

Departemen Ilmu Komunikasi

2. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa

sumbangan pengetahuan baik kepada mahasiswa Ilmu Komunikasi

maupun masyarakat secara umum untuk memperluas wacana

pengetahuannya tentang dramatisme melalui pidato pemimpin.

3. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan bermanfaat dan memberikan

(27)

BAB II

DRAMATISME DALAM KAJIAN KOMUNIKASI

2.1 Dramatisme

Dramatisme adalah teori retorika konvensional yang cenderung

memusatkan perhatian pada bagaimana wacana memengaruhi cara orang

berpikir. Diformulasikan oleh Kenneth Duva Burke, dramatisme menambah

kedalaman pada teori retorika. Teori ini menambah pengetahuan tentang

bagaimana bahasa dan hubungannya untuk berpikir sebagai hasil dari tindakan

dibandingkan cara menyampaikan informasi. Lalu, Burke mencurahkan studi

bahasa dan masyarakatnya secara besar-besaran pada analisis aksi simbolis

berdasarkan dalilnya bahwa “bahasa adalah aksi spesies secara primer, atau

ekspresi dari kebiasaan, daripada sebuah instrumen definisi”. (Heath, 2013: 274).

Dramatisme membandingkan kehidupan dengan sebuah pertunjukan dan

menyatakan bahwa, sebagaimana dalam sebuah karya teatrikal, kehidupan

membutuhkan adanya seorang aktor, sebuah adegan, beberapa alat untuk terjadi

pada adegan itu, dan sebuah tujuan. Teori ini memungkinkan kritikus retoris

untuk menganalisis motif pembicara dengan mengidentifikasi dan mempelajari

elemen-elemen ini. Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis

untuk memahami motif tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa

yang mereka lakukan. Selanjutnya Burke percaya, rasa bersalah adalah motif

utama bagi pembicara, dan dramatisme menyatakan bahwa seorang pembicara

akan menjadi lebih sukses ketika mereka memberikan khalayaknya cara untuk

menghapuskan rasa bersalah mereka. (Turner dan West 2007: 26)

Secara sederhana, teori Burke ini melihat bagaimana bahasa dimanipulasi

sebagai bagian dari strategi simbolis. Dalam hal ini, komunikator selaku aktor

sosial merupakan pihak yang berstrategi dan memainkan peran tertentu sesuai

tujuannya. Teori ini melihat bagaimana manusia menggunakan simbol dalam

(28)

simbolis, dimana bahasa merupakan bagian dari sebuah strategi ketika

berhadapan dengan situasi tertentu (Littlejohn, 2009: 320).

Dramatisme menyediakan cara yang menarik tentang bagaimana manusia

mengorganisir pengalaman mereka ketika harus berhadapan dengan dunia sosial.

Fokus utama dari dramatisme terutama pada bagaimana manusia menggunakan

teks atau bahasa untuk menggambarkan dunia sosial dalam perspektifnya.

Manusia adalah pembuat simbol, manusia juga memberikan respon terhadap

simbol, serta memahami situasi di sekitarnya melalui simbol-simbol. Secara lebih

luas, Burke melihat kekuatan bahasa sebagai komponen yang dapat menyatukan

atau memisahkan kita. Konteks ini merupakan bagian yang penting dalam

analisis menggunakan pendekatan dramatisme. (Akmajian, 2001: 418).

2.1.1 Sejarah

Kenneth Duva Burke adalah seorang teoritis retorika amerika ternama di

abad dua puluh. Tidak seperti akademisi modern lainnya, Burke bukanlah

seorang intelektual eropa atau ekspatriat prancis. Lahir di Pittsburg, Burke

banyak menghabiskan masa mudanya di sebuah desa kecil. Burke tidak pernah

lulus sarjana. Ia hanya belajar secara otodidak di bidang literatur kritik, filosofi,

komunikasi, sosiologi, ekonomi, teologi dan linguistik. Ia mengajar hampir dua

puluh tahun di beberapa universitas termasuk Harvard, Princeton, dan Universitas

Chicago. (Kuypers, 2009: 143).

Burke memiliki tiga pemikiran besar. Ketiganya memberikan makna dan

tujuan bagi hidupnya. Satu dari pemikiran awalnya adalah symbolic action. Ia

menjelaskan bahwa manusia tidak langsung terlibat dalam lingkungan. Manusia

bertindak karena ada simbol. Pemikiran kedua yang menarik adalah perspektif

keganjilan. Ini adalah metode utama Burke dari tahun 1930-an. Burke

menggunakan metode ini untuk membawa pandangan baru dan segar untuk

analisis masalah konvensional. Ia melakukannya dengan menyandingkan istilah

asing atau bahkan menantang, metafora, atau gambar. Image Burke yang radikal

(29)

Burke, bahasa memiliki kehidupannya sendiri, dan apapun yang kita lihat atau

kita rasakan sudah ada dalam bahasa, diberikan kepada kita oleh bahasa, dan

bahkan diproduksi sebagai kita oleh bahasa (Kuypers, 2009: 145).

Pemikirannya yang ketiga yang paling berpengaruh dalam kajian retorika

adalah dramatisme. Di awal tahun 1920 sampai 1930-an sebagai seorang kritis,

Burke mulai menciptakan teori dramatisme untuk membantu menunjukan

pandangannya terhadap literasi. Burke memulai karirnya sebagai kritikus literasi

namun diperluas dengan ketertarikannya menganalisis dan mengkritik semua

wacana, terkhususnya yang mengarah pada kerjasama dan persaingan dalam

masyarakat. Evolusi ini melihat bahwa pandangannya berkembang di luar kritik

literasi untuk kritik sosial. Pandangannya berpengaruh pada cara pandang

akademisi dalam bidang literatur, teori retorika, sosiologi, sejarah, komunikasi,

ilmu politik dan lain–lain. Teorinya menawarkan kritik yang luas terhadap

bagaimana pasar bebas dapat bekerja untuk meraih keuntungan sementara

memberikan kerugian bagi yang lain. Dalam konteks ini, Burke mengungkapkan

bagaimana progres berjangka bisa menjadi penerang bagi masyarakat. Tindakan

apapun dapat dilakukan atas nama kemajuan. Seperti komitmen, ia beralasan, di

titik konflik antara pemimpin bisnis dan kelompok-kelompok lain, seperti buruh

dan aktivis lingkungan. Kemajuan satu kelompok mungkin memberikan

pengorbanan pada kelompok lain. (Heath, 2013: 274)

Kontribusi inovatif pada kritik literasi dan komentar sosial dimulai karena

keingintahuan yang lebih pada cara kerja dan pemikiran dari pembuat puisi,

drama dan novel. Burke mencari instrumen kritik yang akan mendekatkannya

pada alasan dan motif dibalik setiap literatur. Ia percaya bahwa penting untuk

membuka ikatan antara penulis dan pembaca. Dalam literatur yang lebih baik,

pembaca dan penulis diharapkan mampu berpartisipasi dan bertindak bersama

dalam pengalaman literatur. Literatur bekerja bukan untuk menyampaikan

perasaan, harapan dalam pandangan penulis, melainkan membangkitkan

perasaan–perasaan tersebut kepada pembaca. (Heath, 2013: 274)

Burke memberikan catatan pada awal penelitian tentang puisi atau karya

(30)

kesenangan saat melihat alam, pohon misalnya, menuliskan puisi bukan sekedar

memberikan laporan atau menyampaikan pengetahuannya tentang pohon, tetapi

membangkitkan pengalaman serupa dari kesenangannya pada karakter simbolis

pohon di puisi tersebut. Pandangan itu yang membawa Burke mengkategorikan

elemen pada komunikasi dengan menyampaikan pengetahuan (epistimologi)

kurang penting dibandingkan dengan penciptaan tindakan (ontologi). Ia

berpendapat bahwa pembaca tidak menginterpretasikan dan merespon terhadap

puisi sebagai sebuah laporan tapi sebagai pengalaman simbolis sebuah tindakan.

Penulis, dengan berbagai alasan, ingin pembacanya berpartisipasi dalam

pengalamannya dibanding menerima laporan dari pengalamannya. (Heath, 2013:

275).

Dengan logika ini, Burke menyatakan bahwa penderitaan Hamlet (kisah

pangeran legendaris oleh Shakespeare) membandingkan, tidak hanya

memberitahukan keadaan dan perasaannya, tetapi karena Shakespeare mampu

berbagi tindakan simbolisnya tentang perasaan terkhianati dan balas dendam

kepada pembacanya. Sikap adalah tujuan dari literatur, bukan pengetahuan yang

didapat dari laporan. Satu dari elemen kunci dramatisme adalah kesadaran bahwa

kata adalah dalil. Kata “Guru” memberitahukan tentang seseorang dalam suatu

profesi. Namun yang terpenting adalah perintah untuk tindakan tertentu, orang

yang berbagi substansi simbolis tentang guru mengharapkan respon melalui

tindakan yaitu mengajar. (Heath, 2013: 276)

Sigmund Freud memberikan Burke pandangan terhadap kumpulan kata

dan motif yang datang dari kata–kata. Dalam isu sosial, Burke cenderung

mempertimbangkan pedoman Karl Max, yang menyarankan cara

mengungkapkan perangkap tersembunyi dari tindakan yang terdapat dalam kata-

kata. (Heath, 2013: 276)

Burke begitu tertarik pada tindakan. Ia ingin mengetahui bagaimana

bahasa bisa menyelesaikan segalanya. Dia tidak memperhatikan kebenaran,

akurasi atau kekuatan strategi. Satu dari banyak cara manusia mengartikan dunia

adalah melalui bahasa dalam bentuk drama. Ia percaya jika orang melihat tokoh

(31)

Burke berpendapat jika manusia secara otomatis memproses dunianya melalui

kategori drama. Dunia adalah drama. Panggung adalah produk penyulingan

kedua dari drama pengalaman hidup; dramatisme adalah cara manusia

berinteraksi dengan bahasanya. Burke tidak menganalisis bahasa sebagai

penyampai informasi atau kebenaran, tetapi alat bagi setiap tindakan. (Turner dan

West, 2007: 28)

Burke melihat drama dimana–mana. Benar adanya jika pemerintahan

presiden yang baru sedang mencoba mendapatkan drama yang bagus secepat

mungkin, tim sepakbola terkenal karena ada konflik antar pemain, bisnis

mengiklankan cerita dan para pemimpin perusahaan sedang mencari naskah yang

baik untuk dipertontonkan. Kebanyakan orang melihat “saat yang menentukan”

dalam kehidupan mereka seperti mereka tinggal diluar skenario, dan

memberitahukan kepada orang sekelilingnya bagaimana jika mereka yang ada di

posisi dia dan menemukan peran yang cocok serta suara–suara baru. Kehidupan

manusia dikelilingi bahasa drama. (Griffin, 2005: 299)

Gusfield menuliskan ada empat aspek dari pemikiran Burke yang sangat

berpengaruh dalam memandang dunia sosial (Miller, 2005: 98):

1. Untuk memahami bahasa sebagai bentuk aksi

2. Untuk memahami aksi/perilaku manusia sebagai sebuah bentuk drama,

karenanya dapat digunakan untuk kerangka analisis yang sama, misalnya

karya sastra.

3. Memahami aksi/perilaku manusia sebagai sebuah tindakan retorika, yang

dikembangkan untuk menganalisis situasi yang melibatkan penampil

maupun khalayak

4. Program yang pluralistik dan dialektikal untuk menganalisis perilaku

manusia

Teori ini banyak dipengaruhi oleh interaksi simbolik, Teori ini

memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan menggunakan

simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh yang sedang

(32)

dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu.

(Denzin, 1992: 145)

Drama adalah metafora yang berguna bagi ide–ide Burke untuk tiga

alasan (Turner dan West, 2007: 27):

1. Drama mengindikasikan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat

klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai

keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna

dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada

interaksi atau dialog. Dalam dialognya, drama menjadi model hubungan

dan menjadi penerangan pada hubungan.

2. Drama cenderung mengikuti tipe–tipe atau genre yang mudah dikenali:

komedi, musikal, melodrama, dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita

membentuk atau menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara

drama manusia itu dimainkan. Sebagaimana yang diamati oleh Barry

Brummett (1993), “Kata–kata akan terangkai menjadi wacana berpola

pada tingkat makro dari keseluruhan teks atau wacana. Burke berargumen

bahwa pola berulang yang menggarisbawahi suatu teks menjelaskan

bagaimana teks tersebut menggerakkan kita.

3. Drama selalu ditujukan kepada khalayak. Dalam hal ini drama bersifat

retoris. Burke memandang sastra sebagai “peralatan untuk hidup”, artinya

bahwa literatur atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan

masalah serta memberikan orang reaksi untuk menghadapi pengalaman

ini.

Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara–cara dimana bahasa dan

penggunaanya berhubungan dengan khalayak.

2.1.2 Asumsi Dramatisme

Brummett menyebutkan asumsi Burke sebagai ontologi simbolis

(33)

yang dapat dilakukan seseorang, dalam mencari inti dari pemikiran Burke adalah

menemukan sebagian ontologinya, dasar bagi kebanyakan bagian. Bagi Burke,

orang umumnya melakukan apa yang harus mereka lakukan, dan dunia

kebanyakan adalah seperti itu adanya, karena sifat dasar dari sistem simbol itu

sendiri. Gambaran mengenai tiga asumsi teori dramatisme berikut ini adalah

(Griffin, 2005: 303):

1. Manusia adalah hewan yang menggunakan simbol

2. Bahasa dan simbol membentuk sebuah sistem yang sangat penting bagi

manusia

3. Manusia adalah pembuat pilihan

Asumsi pertama berbicara tentang hal yang kita lakukan dimotivasi oleh

naluri hewan yang ada dalam diri kita dan beberapa hal lainnya dimotivasi oleh

simbol–simbol. Ide bahwa manusia adalah hewan yang menggunakan simbol

menggambarkan sebuah ketegangan dalam pemikiran Burke. Seperti yang

diamati oleh Brummett, asumsi terombang–ambing antara kesadaran bahwa

beberapa dari yang kita lakukan dimotivasi oleh sifat naluriah hewan dan

beberapa oleh sifat simbolik. Dari semua simbol yang di gunakan manusia,

bahasa adalah yang paling penting bagi Burke (Turner dan West, 2007: 28)

Asumsi kedua (mengenai pentingnya bahasa), posisi Burke cukup mirip

dengan prinsip relativitas linguistik yang dikenal sebagai hipotesis Sapir–Whorf.

Mereka menyatakan bahwa sangat sulit untuk berpikir mengenai konsep atau

objek tanpa adanya kata–kata bagi mereka. Jadi, orang dibatasi (dalam batasan

tertentu) dalam apa yang dapat mereka pahami oleh karena batasan bahasa

mereka. Bagi Burke, seperti halnya Edward Sapir dan Benjamin Whorf, ketika

orang menggunakan bahasa, mereka juga digunakan oleh bahasa tersebut. Selain

itu, ketika bahasa dari suatu budaya tidak mempunyai simbol untuk motif

tertentu, maka pembicara yang menggunakan bahasa tersebut juga cenderung

untuk tidak memiliki motif tersebut. Burke berargumentasi bahwa hal ini adalah

hasil langsung dari sistem simbol kita. Respon Burke dalam hal ini adalah bahwa

simbol membentuk pendekatan hanya/atau kita terhadap masalah yang kompleks.

(34)

Burke menambahkan bahwa kata–kata, pemikiran, dan tindakan memiliki

hubungan yang sangat dekat satu dengan lainnya. Penjelasan Burke mengenai hal

ini adalah bahwa kata–kata bertindak sebagai layar terministik (terministic

screens) menuju pada ketidakmampuan yang terlatih (trained incapacities), yang

berarti bahwa orang tidak mampu melihat dibalik hal kemana kata–kata mereka

menuntun mereka (Burke, 1965: 86).

Asumsi kedua menyatakan bahwa bahasa memiliki pengaruh

deterministik terhadap orang, tetapi asumsi yang terakhir mengatakan bahwa

manusia adalah pembuat pilihan. Burke secara gigih mengatakan bahwa ontologi

deterministik behaviorisme harus ditolak karena hal itu bertentangan dengan apa

yang dia lihat sebagai dasar utama dari dramatisme; pilihan manusia. (Turner dan

West, 2007: 29)

Kebanyakan teori banyak berpijak pada konseptualisasi akan agensi

(agency), atau kemampuan aktor sosial untuk bertindak sebagai hasil pilihannya.

Seperti yang diamati oleh Charles Conrad dan Macom menyatakan lebih lanjut,

Burke berkutat dengan konsep agensi sepanjang kariernya, terutama karena

sulitnya menegosiasikan ruang di antara kehendak bebas yang sepenuhnya dan

determinisme yang sepenuhnya. Pemikiran Burke terus berevolusi pada titik ini,

tetapi dia tetap mempertahankan agensi sebagai konsep terdepan dalam teorinya.

(Turner dan West, 2007: 29)

2.1.3 Dramatisme dan Retorika

Dalam bukunya A Rhetoric of Motivates (1950, 16), Burke

memperhatikan tentang persuasi dan dia banyak berdiskusi mengenai prinsip

tradisional retorika yang dikembangkan oleh Aristoteles. Burke menyatakan

bahwa definisi retorika intinya adalah persuasi, dan tulisannya mengeksplorasi

cara–cara dimana persuasi dapat terjadi. Menanggapi hal ini, Burke mengatakan

bahwa sebuah retorika baru berfokus pada beberapa isu penting, dan yang paling

penting di antara semuanya adalah identifikasi. Marie Nichols (Griffin, 2005:

(35)

adalah bahwa perbedaan antara retorika lama dan retorika baru mungkin dapat

dirangkum dalam cara ini: Kata kunci untuk retorika lama adalah persuasi dan

menekankan pada desain yang terencana, dan kata kunci untuk retorika baru

adalah identifikasi dan dalam hal ini dapat mencakup faktor–faktor yang secara

parsial tidak sadar dalam mengajukan pernyataannya. Tetapi tujuan Burke tidak

untuk menggantikan konseptualisasi Aristoteles tetapi lebih kepada memberikan

tambahan terhadap pendekatan tradisional.

2.1.4 Identifikasi dan Substansi

Identifikasi adalah kesamaan yang ada antara pembicara dan penonton.

Burke menggunakan substansi sebagai istilah umum untuk menggambarkan

seseorang mulai dari karakteristik fisik, bakat, pekerjaan, pengalaman,

kepribadian, keyakinan, dan sikapnya. Semakin banyak tumpang tindih antara

substansi pembicara dan substansi pendengar, semakin baik tingkat

identifikasinya. Kebalikannya juga benar, semakin kecil tingkat

ketumpangtindihan individu, makin besar pemisahan yang ada di antara mereka.

Walaupun demikian, pada kenyataannya dua orang tidak dapat sepenuhnya

memiliki ketumpangtindihan satu dengan yang lainnya. Burke sadar akan hal ini

dan menyatakan bahwa “ambiguitas substansi” menyatakan bahwa identifikasi

akan selalu terletak pada kesatuan dan pemisahan. Para individu akan bersatu

pada masalah–masalah substansi tertentu tetapi pada saat bersamaan tetap unik,

keduanya disatukan dan dipisahkan. Selanjutnya Burke mengindikasikan bahwa

retorika dibutuhkan untuk menjembatani pemisahan dan membangun kesatuan.

Burke merujuk proses ini sebagai konsubstansiasi atau meningkatkan identifikasi

mereka satu sama lain. Konsubstansiasi atau masalah mengenai identifikasi dan

substansi berhubungan dengan siklus rasa bersalah/penebusan karena rasa

bersalah dapat dihilangkan sebagai hasil identifikasi dan pemisahan. (Turner dan

(36)

2.1.5 Proses Rasa Bersalah dan Penebusan

Burke percaya bahwa drama kehidupan dimotivasi oleh rasa bersalah.

Bagi Burke, proses rasa bersalah dan penebusan mengamankan kesuluruhan

konsep simbolisasi. Rasa bersalah adalah motif utama untuk semua aktivitas

simbolik, dan bagi Burke mendefinisikan rasa bersalah secara luas untuk

mencakup berbagai jenis ketegangan, rasa malu, rasa bersalah, rasa jijik atau

perasaan yang tidak menyenangkan lainnya. Hal yang utama dalam teori Burke

adalah bahwa rasa bersalah adalah sifat intrinsik yang ada dalam kondisi

manusia. Karena kita terus merasa bersalah, kita juga terus berusaha untuk

memurnikan diri kita sendiri dari ketidaknyamanan rasa bersalah. (Griffin, 2005:

303)

Proses merasa bersalah dan berusaha untuk menghilangkannya ada di

dalam siklus Burke, yang mengikuti pola yang dapat diprediksi (Turner dan

West, 2007: 31); tatanan atau hierarki, negativitas, pengorbanan

(pengkambinghitaman dan mortifikasi) dan penebusan.

1. Tatanan atau hierarki merupakan peringkat yang ada dalam masyarakat terutama karena kemampuan kita untuk menggunakan bahasa. Kategori

ini membentuk hierarki sosial. Seringkali kita merasa bersalah karena

posisi kita di dalam hierarki. Jika kita punya kelebihan, kita mungkin

merasa kita memiliki kekuasaan yang lebih dibandingkan mereka yang

tidak punya. Perasaan ini akan menimbulkan rasa bersalah.

2. Negativitas merupakan perasaan menolak tempat seseorang dalam tatanan sosial memperlihatkan resistensi. Burke menciptakan frase

digrogoti kesempurnaan. Ia mengatakan demikian karena simbol kita

memungkinkan diri kita untuk membayangkan kesempurnaan, kita selalu

merasa bersalah mengenai perbedaan antara kenyataan yang

sesungguhnya dan kesempurnaan yang dapat kita bayangkan.

3. Pengorbanan adalah cara dimana kita berusaha memurnikan diri dari rasa bersalah yang kita rasakan sebagai bagian dari kondisi manusia. Ada

dua tipe dasar pengorbanan/memurnikan rasa bersalah kita. Pertama

(37)

memurnikan diri dari rasa bersalah dengan menyalahkan diri kita sendiri.

Kedua adalah pengkambinghitaman yaitu salah satu metode untuk

memurnikan diri dari rasa bersalah, dengan menyalahkan orang lain.

4. Penebusan adalah langkah terahir dalam proses ini yang berarti penolakan sesuatu yang tidak bersih dan kembali pada tatanan baru

setelah rasa bersalah diampuni sementara. Kunci tahap penebusan adalah

fakta bahwa rasa bersalah hanyalah dihilangkan secara sementara. Saat

tatanan dan hierarki di bangun kembali, raSa bersalah kembali

menjangkiti kondisi manusia.

2.1.6 Istilah Tuhan dan Iblis

Peneliti perilaku telah menggunakan istilah homofili untuk

menggambarkan kesamaan persepsi antara pembicara dan pendengar, tapi Burke

menggunakan pilihan bahasa agama untuk jargon ilmiah (Griffin, 2005: 300).

Mengambil deskripsi dari Martin Luther tentang apa yang terjadi di meja

perjamuan, Burke menyatakan bahwa identifikasi adalah konsubstansial.

Referensi teologis terdapat pada kutipan lama dari Perjanjian Lama di mana Ruth

menyampaikan janji solidaritasnya kepada ibu mertuanya, Naomi: "Sebab

kemanapun Engkau pergi, aku akan pergi, dan dimana anda menginap aku pun

turut menginap; umatmu akan menjadi umatku dan Allahmu adalah Allahku.”

Hal ini yang disebut identifikasi yang juga merupakan bagian dari cerita Ruth dan

Naomi.

Khalayak merasa bergabung dengan ketertarikannya melalui gaya

maupun konten. Burke menyatakan komunikator yang baik dapat menunjukkan

secara konsubstansial dengan memberikan tanda dalam bahasa dan

menyampaikannya dengan caranya sendiri–sendiri. Gaya penginjil yang banyak

tinggal di perkemahan mungkin akan banyak ditolak oleh para kosmopolitan

New York. Namun suasana hati dan gaya khotbah memegang peranan penting

dalam kedalaman konten pesan antara penginjil dan pendengar baru sampai–

(38)

gaya bicara pendengarnya. Lalu pendengar akan berpikir hal itu masuk akal.

Burke mengatakan bahwa identifikasi bekerja dua arah. Pendengar beradaptasi

tidak hanya memberikan penginjil kesempatan untuk memengaruhi penonton,

tetapi juga membantu pendeta masuk ke dalam arus budaya mereka (Griffin,

2005: 301)

Istilah Tuhan dan Iblis tersebut tidak untuk dideskripsikan. Burke

menggunakan konsubstansi kiasan agama untuk identifikasi. Istilah tersebut

mencakup istilah baik atau buruk yang digunakan untuk memotivasi khalayak

pendengar. Pengelompokan kata mengungkapkan sikap jika Tuhan adalah

kebaikan dan iblis berarti keburukan. Namun Burke berpendapat bahwa seorang

retoris tidak seharusnya terbatas hanya pada istilah. (Bygrave, 1993: 35)

2.1.7 Heurisme

Sehubungan dengan heurisme, kebanyakan kritikus sepakat bahwa teori

dramatisme sangat sukses. Misalnya saja, dramatisme pada mulanya digunakan

dalam analisis retoris dari pidato–pidato, tetapi sekarang fokusnya telah melebar

ke wacana–wacana yang lainnya di dalam ruang publik seperti editorial,

pamphlet, monograf, buku, dll. Selain itu Catherine Fox (2002) melihat

dramatisme sebagai kerangka yang berguna untuk diterapkan dalam profesi

komunikasi, terutama penulisan teknis dalam organisasi transportasi. Peter

Smudde (2004) juga menyerukan penggunaan dramatisme pada praktik hubungan

masyarakat (Turner dan West, 2007: 38)

Kesepakatan umum bahwa teori Burke memberikan kita pemikiran baru

yang imajinatif dan inovatif mengenai motif dan interaksi manusia. Dramatisme

memberikan kita sebuah teori yang memberikan gambaran besar. Teori ini

memunginkan sebuah analisis dan motivasi dan perilaku manusia, dan fokusnya

pada bahasa sebagai sistem simbol yang penting membuat teori ini sangat

(39)

2.2 Dramatisme dan Komunikasi Politik

Dramatisme merupakan pendekatan yang berpikir tentang perilaku politik

yang menggunakan metafora “hidup adalah panggung sandiwara”. Pelaku drama

tidak menganggap modus pemahaman mereka menjadi metafora; mereka percaya

bahwa kerangka secara akurat menggambarkan perilaku politik (Kaid dan Bacha,

2008: 193) Pelaku drama menggunakan bahasa dalam dialog untuk menciptakan

dunia dimana tokoh-tokohnya bertindak, seperti pelaku drama, politisi dan warga

negara menggunakan bahasa untuk mengatur dunia yang mereka hadapi dan

bagaimana mereka bertindak. Dengan bahasa ini, aktor politik memilah kejadian

nyata di dalam dunia membentuk pemahaman tentang hal tersebut. Konflik

politik timbul dari perbedaan interpretasi dan tanggapan.

Dramatisme adalah salah satu bagian kontekstualisme dari gerakan

intelektual yang berpengaruh pada abad 20. Para kontekstualis percaya bahwa hal

yang mendasar pada kegiatan manusia adalah terletak pada kekuatan interaksi

berbasis bahasa yang berorientasi pada orang ke peristiwa lalu membentuk

respon. Mereka mempelajari strategi lewat interaksi yang membentuk respon ke

peristiwa dan membentuk struktur yang stabil dari hubungan manusia. Meskipun

filsuf kontektualisme ternama Wittgenstein, dan penulis paling berpengaruh

adalah Kenneth Burke. Burke mengembangkan teori umum dari peran bahasa

dalam kegiatan manusia. Bukunya Permanence and Change, Attitudes Toward

History, Grammar of Motives, dan Rhetoric of Motives adalah buku yang paling

berpengaruh dalam pendekatan dramatisme dalam komunikasi politik. “The

Rhetoric of Hitler’s Battle” adalah contoh kuat dari penjelasan dan kekuatan yang

telah diprediksi dari penelitian dramatisme ke dalam wacana politik. Teori

penting lain dari aktivitas manusia termasuk di dalamnya Analisis Tema

Fantasi-Ernest Bormann (sebelumnya Teori Konvergensi Simbolis), Analisis

Naratif-Walter Fisher, Dramaturgi-Erving Goffman adalah contoh dari kontekstualis dan

teori dramatisme yang masing–masing mempunyai tingkatan berbeda dalam

pencaplokan teori Burke. Pengadopsi awal dramatisme dalam komunikasi politik

adalah Murray Edelman, Bernard L. Brock, James E. Combs, Michael Calvin

(40)

Akademisi yang belajar tentang komunikasi politik dengan pendekatan

dramatisme membingkainya dalam dua aktivitas. Teori menyaring kosa kata

umum dan munggunakan kosa kata untuk menjelaskan bagaimana aktor politik

menampilkan politik melalui pilihan strategis dari bahasa (dan simbol terkait

lainnya) dan bagaimana masyarakat mengorganisir aktivitas–aktivitas tersebut

secara politik melalui kesamaan dan kemampuan beradaptasi dari sistem simbolik

bersama. Kritikus yang berkonsentrasi pada penampilan politik, menyinggung

tentang arti dari pembatas dan pilihan bahasa dari aktivitas politik per harinya.

Banyak akademisi yang mencampuradukkan tentang aktivitas tersebut,

mengetahui lebih dalam proses politik bahkan mereka berkontribusi dalam dialog

langsung tentang kegiatan politik kontemporer. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

Tiga contoh berikut mengilustrasikan bagaimana pelaku dramatisme

mengerti tentang komunikasi politik. Murray Edelman meletakkan dasar dari

pengertian yang luas tentang simbol dan politik. Dia mempelajari cara bagaimana

pemimpin menguasai simbol dan cara berbicara yang umum untuk

menumbuhkan kekuatan legitimasinya. Seperti kebanyakan para kontekstualis,

bagaimanapun ia tidak bisa fokus pada satu sudut pandang politik saja. Ia juga

mengeksplorasi bagaimana bahasa menghasilkan isu kebijakan membentuk

pelaksanaan dari kebijakan tersebut di dalam birokrasi yang didorong kebijakan

dan mengubah tindakan politik kepada respon kepuasan untuk merasakan

kebutuhan. Akhirnya ia menyajikan pandangan tentang bagaimana tindakan

politik tidak hanya berbentuk ekspresi kepercayaan tetapi kekuatan yang berarti

masyarakat mengorganisir setiap hari untuk merespon keadaan yang terbentuk

sebagai masalah publik. (Kaid, 2004: 414)

Bernard Brock berfokus pada aktor politik sebagai seorang penyebar

strategi yang berorientasi pada tujuan dengan menggunakan simbol untuk

mencapai tujuannya. Brock melihat pidato politik dalam sebuah bingkai kerja

dari pilihan bahasa si pembicara dari antara kemungkinan dari situasi pidato yang

berlangsung. Brock menangkap drama konflik politik dengan cara yang berbeda

dan dalam orientasi yang berbeda untuk mencapai politik. (Kaid dan Bacha,

(41)

Robert Ivie berfokus pada kelanjutan bagaimana kita berbicara tentang

politik dalam suatu waktu. Artikelnya “Presidential Motives of War” menjejaki

keberlanjutan melewati 2 abad dalam pembenaran bahasa ketika pemimpin

amerika mengadakan perang. Kritik Ivie mengilustrasikan cara dramatisme

melihat komunikasi politik yaitu pemilihan bahasa bukan karena dibatasi oleh

keadaan tetapi karena bentuk panggilan yang stabil dan tidak dikembangkan.

Bentukan ini adalah bahasa politik yang sebenarnya, diperkuat dan disusun atas

hal itu, dan disebut dari konteks retorika ketika aktor politik mencari pembenaran

atas tindakan. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

Tidak ada dari kedua konsep yang secara baik mengilustrasikan tentang

perbedaan antara dramatisme dan pendekatan lain untuk memahami politik

daripada ideologi dan motivasi. Dalam pemahaman yunani, “ide-ology” adalah

pembelajaran tentang ide, dan banyak yang memandang bahwa ideologi

dilakukan dengan mengkonseptualisasi cara orang berpikir. Ketika kita melihat

ideologi sebagai bahasa, kita melihat melalui bahasa kepada ide untuk

mengekspresikannya. Pelaku dramatisme tidak melihat hubungan bahasa kepada

ide dengan cara yang begitu jelas. Faktanya, mereka percaya bahwa ide adalah

milik bahasa. Ide yang besar adalah produk sosial. Mereka mencapai kekuatan

mereka melalui pernyataan dalam konteks dimana mereka berhasil mengarahkan

penampilan sistem politik. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

Bagi pelaku dramatisme, kunci untuk memahami motivasi adalah pola

kosa kata dan bahasa yang digunakan untuk menggerakkan masyarakat melalui

respon kepada lingkungan. Motivasi bukanlah sesuatu yang ada di dalam aktor

politik dan dijadikan perilaku baik verbal maupun sebaliknya. Namun, motivasi

adalah objek bahasa yang dibuat oleh manusia yang membentuk perilaku sosial,

terbangun melalui penggunaannya dalam kegiatan sehari–hari, membawa

pemahaman tentang masyarakat, lalu bersedia mengatur respon terhadap kejadian

yang tengah berlangsung. Para pelaku dramatisme, seperti Ivie, menemukan

pola–pola motivasi ini benar ada dalam teks yang dihasilkan oleh kultur politik

dan disebut sebagai momen penting bagi pembentuk tindakan politik. (Kaid dan

(42)

Pendekatan dramatisme mengangkat komunikasi politik sebagai peran

utama dalam pemahaman tentang politik. Dalam bidang tindakan manusia kita

menyebutnya “politik” mengatur orang untuk menghadapi dunia dengan bingkai

kekuatan dan kepemimpinan dari hari ke hari, dengan interaksi politik dibangun

melalui penyebaran dari pemilihan oleh pemimpin dan masyakatnya dari sumber

simbolis budaya mereka bersama. (Kaid dan Bacha, 2008: 193)

2.3 Pentad Drama

Pentad drama adalah metode utama yang digunakan oleh para kritikus

menganalisis penggunaan simbol pada komunikasi. Burke menyebut metodenya

pentad karena metode ini terdiri atas lima poin untuk menganalisis teks simbolik.

Pentad dapat membantu menentukan mengapa seorang pembicara memilih

sebuah retorika tertentu untuk mengidentifikasi dirinya dengan khalayak. Metode

ini menentukan elemen yang memberikan petunjuk terbaik untuk motivasi

pembicara. Pentad ini menawarkan cara untuk mengetahui mengapa pembicara

yang dipilih memberikan strategi retorika untuk mengidentifikasi penonton

(Turner dan West, 2007: 33)

Pentad drama sebenarnya sama dengan standar praktik jurnalistik yang

menjawab siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, dan bagaimana di awal cerita.

Karena Burke menganggap dirinya sebagai interpreter dan bukan wartawan, ia

tidak puas hanya untuk label lima kategori (Griffin, 2005: 302)

Tabel 2.1

Ilustrasi pentad dramatisme

Tindakan Adegan Agen Agensi Tujuan Respon Situasi Subjek Stimulus Target

(Griffin, 2005: 302)

Gambaran pentad di atas menggambarkan perilaku atau tindakan yang di

(43)

di lakukan tanpa tujuan tertentu. Dramatisme memfokuskan pada bagian di atas

yang merupakan aksi yang sengaja dengan tujuan persuasi.

Terdapat lima elemen poin utama dari pentad dramatisme, yaitu (Burke,

1965: 5):

1. Tindakan (act)

Burke menganggap tindakan sebagai apa yang dilakukan oleh seseorang.

Tindakan merupakan aksi yang mengambil peran dalam kisah atau

pernyataan yang diberikan oleh pembicara untuk menunjukkan apa yang

disampaikan pembicara kepada khalayaknya. Tindakan memainkan

peranan yang sangat penting dalam pentad dramatisme ini. Dalam pidato

hal ini menunjukkan komitmen realisme.

2. Adegan (scene)

Adegan merupakan konteks yang melingkupi tindakan. Adegan juga

merupakan setting atau latar belakang dari tindakan yang dilakukan dan

bagaimana setting memberikan efek terhadap pesan termasuk dalam

adegan ini adalah konteks yang immediate (segera) dan konteks sejarah

dan situasi sosial dimana tindakan tersebut terjadi. Berbicara di depan

umum menekankan pengaturan dan keadaan, merendahkan kehendak

bebas dan refleksi sikap determinisme situasional.

3. Agen (agent)

Agen merupakan seseorang atau orang–orang yang melakukan tindakan.

Beberapa pesan dipenuhi dengan referensi diri, pikiran, jiwa, dan

tanggung jawab pribadi. Fokus terdapat pada karakter dan agen sebagai

instigator yang konsisten dengan filosofi idealisme.

4. Agensi (agency)

Agensi merujuk pada cara–cara yang di gunakan oleh agen untuk

menyelesaikan tindakan. Bentuk–bentuk agensi yang mungkin mencakup

strategi pesan, penceritaan kisah, permintaan maaf, pembuatan pidato, dan

seterusnya. Penjelasan panjang tentang metode atau teknik mencerminkan

pendekatan "get-the-job-done" yang bersumber dari pola pikir pembicara

Gambar

Tabel 2.1 Ilustrasi pentad dramatisme
Gambar 2.1
TABEL 4.1

Referensi

Dokumen terkait

• For R2-Central's Fa0/0 interface, use the highest usable address on the existing student LAN subnet and connect it to the Fa0/24 interface on S1-Central. • For hosts 1A and 1B,

[r]

Dari fenomena aktivitas pedagang kaki lima yang terjadi pada Gasibu Bandung, dan tiga kota lainnya sebagai komparasi, diketahui bahwa keberadaan pedagang kaki lima pada ruang

S keluhan keputihan fisiologis yang di alami sudah sesuai dengan teori Stiaputri 2009 yaitu : cairan tidak berwarna atau bening, cairan yang keluar encer, tidak berbau,

2. Kesiapan keluarga di Paviliun Mawar RSUD Jombang sebagian besar termasuk dalam kategori siap untuk menerima informasi kesehatan tentang terapi lanjutan. Ada hubungan

pendamping, dan pengarah atau pembimbing. Guru mengarahkan siswa untuk dapat mengonstruksi pengetahuan mereka sampai dengan mendapatkan pemahaman konsep yang sesuai

Agung Triharso, Permainan Kreatif dan Edukatif Untuk Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Andi Offset, 2013), hal.. lingkaran secara langsung yang dimulai dengan mengetahui,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat Dumortiera hirsuta pada berbagai konsentrasi terhadap bakteri gram