(Kasus Studi : Kampung Daun Culture Galery and Cafe)
Diajukan untuk memenuhi mata kuliah DI.38309 Skripsi Semester II tahun akademik 2010/2011
Oleh:
Ciptaning Mandiri
52006004
PROGRAM STUDI DESAIN INTERIOR
FAKULTAS DESAIN
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2011
i
Arsitektur Nusantara dianggap sebagai cerminan jati diri dan budaya bangsa
Indonesia. Dalam arus globalisasi yang demikian deras, arsitektur Nusantara
diharapkan mampu bertahan dan menunjukkan eksistensinya. Tulisan ini mencoba
mendeskripsikan arsitektur rumah tradisional Kampung Cijelag, Desa Tomo,
Kabupaten Sumedang sebagai bagian dari arsitektur Nusantara yaitu arsitektur
tradisional Sunda. Objek studi yang diambil adalah Kampung Daun Culture
Galery and Cafe, yang merupakan salah satu restoran yang bernuansa
Parahyangan yang mempunyai keunikan tersendiri. Kampung ini merupakan salah
satu contoh perkampungan di Jawa Barat, dimana masih terdapat rumah-rumah
tradisional Sunda yang mampu bercerita tentang bagaimana sebenarnya makna
yang terkandung pada bentukan arsitektur Sunda.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif, dengan kompilasi
data-data yang terdapat di lapangan serta kajian yang diperoleh dari studi pustaka. Data
yang ditelaah meliputi informasi tentang pola ruang dan bentuk arsitektural, dan
susunan ruang. Dari literatur, diambil intisari yang penting untuk penelitian.
Tulisan ini akan tertuju kepada sebuah kesimpulan bahwa arsitektur sebagai
komunikasi visual pada bangunan tidak dapat terlepas dari sebuah budaya, dalam
hal ini adalah budaya Sunda yang dianalisis melalui Kampung Daun Culture
Galery and Cafe.
ii
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang telah memberi kekuatan
hingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini tepat pada waktunya.
Dan atas izin-Nya pula penulis dapat menyelesaikan studi tepat waktu.
Penulis menyusun skripsi ini sebagai tugas akhir dalam rangka memenuhi salah
satu persyaratan guna mencapai gelar Sarjana Desain (S.Ds.) pada Program Studi
Desain Interior Fakultas Seni dan Desain, Program Sarjana Universitas Komputer
Indonesia (UNIKOM).
Mulai dari proses penelitian hingga penyusunan akhir skripsi ini, penulis banyak
mendapat bimbingan, perhatian, dan dukungan yang bermanfaat. Oleh karena itu,
pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Drs. Hary Lubis selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan serta pengarahan dalam
proses asistensi hingga penyusunan akhir skripsi ini.
Demikian pula pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
Drs. Hary Lubis selaku Dekan Fakultas Desain, UNIKOM.
Cherry Dharmawan, S.Sn., M.Sn. sebagai Ketua Program Studi Desain
interior dan sebagai dosen wali yang telah mengarahkan penulis dalam
pengambilan studi.
Tiara Isfiaty, S.Sn., M.Sn. sebagai Dosen Koordinator Tugas Akhir.
Para dosen penguji yang telah memberi masukan-masukan untuk
memperbaiki skripsi ini pada kesempatan preview hingga sidang.
Para staff pengajar terutama dosen Program Studi Desain Interior yang telah
memberikan ilmu dan bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesaian
tugas akhir.
iii
Teman-teman Fakultas Desain angkatan 2006-2007 yang telah berbagi suka
duka selama ini serta memberi dukungan dan semangat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Teman-teman seperjuangan : Ardy Nugraha, Diany Nasution, dan Uky, yang
memberikan dukungan selama ini.
Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah banyak
memberikan dukungan dan bantuan baik moral maupun material.
Demikian pula seluruh keluarga tercinta terutama bunda dan ayahanda
tercinta yang telah mendidik dan membesarkan ananda, serta kakakku
tersayang Sendy Selaras dan Rival Kharisma yang telah menemani dan
memberikan dukungan dalam penelitian.
Untuk seseorang yang disana yang tiada henti-hentinya untuk memberikan
dukungan, terima kasih!
Bandung, Agustus 2011
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pariwisata dewasa ini adalah sebuah bisnis besar. Jutaan orang mengeluarkan
triliunan dollar Amerika, meninggalkan rumah dan pekerjaan untuk memuaskan
atau membahagiakan diri (pleasure) dan untuk menghabiskan waktu luang
(leisure). Hal ini menjadi bagian penting dalam kehidupan dan gaya hidup di
negara-negara maju. Namun demikian memposisikan pariwisata sebagai bagian
yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari merupakan fenomena yang
relatif baru. Hal ini mulai terlihat sejak berakhirnya Perang Dunia II di saat
pariwisata meledak dalam skala besar sebagai salah satu kekuatan sosial dan
ekonomi (MacDonald, 2004 dalam Diarta, 2009: 32).
Pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara
sudah tidak di ragukan lagi, banyak negara sejak beberapa tahun terakhir
menggarap pariwisata dengan serius dan menjadikan pariwisata sebagai sektor
unggulan di dalam perolehan devisa, penciptaan lapangan kerja, maupun
pengetasan kemiskinan. Pergerakan pariwisata berlangsung secara terus menerus
dalam skala waktu yang hampir tidak terbatas. Jika dahulu hanya kelompok elite
masyarakat yang dominan berwisata, sekarang hal itu dilakukan oleh hampir
semua lapisan masyarakat (Hennig,1999 dalam Diarta, 2009: 15) dan jika
berbicara tentang pariwisata tentunya tidak bisa dipisahkan dengan berbagai
sarana akomodasi.
Sebagai suatu komoditas jasa, pariwisata juga dapat dipahami menggunakan
pendekatan produk. Artinya, pariwisata merupakan suatu komoditas yang sengaja
diciptakan untuk merespons kebutuhan masyarakat ( McIntosh, Goeldner, dan
Ritchie, 1995 dalam Diarta, 2009: 17). Seperti salah satu restoran yang berada di
Dikutip dari buku Pengantar Ilmu Pariwisata, budaya sangat penting peranannya
dalam pariwisata. Salah satu hal yang menyebabkan orang ingin melakukan
perjalanan wisata adalah adanya keinginan untuk melihat cara hidup dan budaya
orang lain di belahan dunia lain serta keinginan untuk mempelajari budaya orang
lain tersebut. Industri pariwisata mengakui peran budaya sebagai faktor penarik
dengan mempromosikan karakteristik budaya lokal. Sumber daya budaya
dimungkinkan untuk menjadi faktor utama yang menarik wisatawan untuk
melakukan perjalanan wisatanya.
Seperti yang terjadi pada kasus studi yang merupakan bangunan baru, tetapi
menggunakan unsur-unsur tradisi. Unsur-unsur tradisi yang dipakai disini adalah
tradisi Sunda. Di dalam rumah tradisional Sunda, ruangannya dibagi berdasarkan
kedudukan dan fungsi anggota keluarga. Pembagian itu didasarkan kepada tiga
daerah yang terpisah terbedakan penggunaannya yaitu : daerah wanita, daerah
laki-laki dan daerah netral (dipergunakan bagi wanita dan laki-laki). Di daerah
wanita terdapat sebuah ruangan yang fungsinya untuk memasak yang dinamakan
dengan pawon, ruangan tersebut telah diatur dalam suatu ketentuan yang berlaku
atau sering juga disebut pakem.
Penelitian diarahkan pada kasus studi ini karena memiliki unsur tradisional Sunda
yang sangat kental yang membedakannya dengan restoran-restoran lain. Bukan
hanya makanannya saja yang mengusung unsur tradisional tetapi menerapkan
unsur bangunan tradisional juga. Pada kasus studi mengambil bentuk rumah
tradisional Sunda. Bentuk dan gaya rumah adat Sunda ini pun sudah jarang
ditemui, khususnya di daerah perkotaan. Tentunya hal ini bukan tanpa alasan.
Kemajuan zaman dan adanya pengaruh budaya dari bangsa lain, membuat banyak
bentuk rumah orang Sunda lebih bergaya modern. Hal ini menarik bagi penulis
untuk mempelajarinya secara lebih dalam.
Proses pergeseran kebudayaan di Indonesia, khususnya di pedesaan, telah
menyebabkan pergeseran terhadap wujud-wujud kebudayaan yang terkandung
di negara kita, pada hakekatnya adalah proses pembaharuan di segala bidang dan
merupakan pendorong utama terjadinya pergeseran-pergeseran dalam bidang
kebudayaan, khususnya dalam bidang arsitektur tradisional.
Pergeseran-pergeseran itu cepat atau lambat akan membawa perubahan-perubahan
terhadap bentuk, struktur dan fungsi arsitektur tradisional yang pada gilirannya
akan menjurus ke arah berubah arsitektur tradisional dalam masyarakat.
Suku Sunda memiliki karakteristik yang unik yang membedakannya dengan
masyarakat suku lain. Karakteristiknya tercemin dari kebudayaan yang
dimilikinya baik dari segi agama, bahasa, kesenian, adat istiadat, mata
pencaharian, dan lain sebagainya. Kebudayaan yang dimiliki suku Sunda ini
menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap
dijaga kelestariannya.
Arsitektur dan interior Kampung Daun Culture Galery and Cafe sendiri merujuk
pada rumah masyarakat tradisional Sunda. Penelitian diarahkan pada Kampung
Cijelag, karena Kampung ini memiliki unsur rumah tradisional Sunda yang utuh
dengan sifat tradisional yang menonjol dibandingkan dengan daerah yang lainnya.
1.2Identifikasi Masalah
Bertolak dari latar belakang penelitian yang telah diungkapkan di atas, maka
fokus penelitian ini didasari oleh beberapa permasalahan yang muncul dalam
kasus studi yang terjadi saat ini. Dari hasil observasi pada kasus studi terdapat
beberapa masalah yang dianggap sangat penting, yaitu :
1. Pada kasus studi terdapat tampilan lokal Sunda, pada arsitektur maupun
interiornya yang merujuk pada Kampung Cijelag, Kecamatan Tomo,
2. Kampung Daun Culture Galery and Cafe, menyesuaikan bentuk arsitektur
dan interiornya dengan bentuk dan kebutuhan masa kini pada perancangan
restorannya.
3. Ada perubahan-perubahan bentuk, struktur dan fungsi arsitektur
tradisional pada Kampung Daun Culture Galery and Cafe yang berada di
Jln Sersan Bajuri, Bandung. Perubahan bentuk itu ditandai dengan adanya
bentuk bangunan yang lebih bergaya modern yang dipengaruhi oleh
budaya dari bangsa Eropa. Pada kasus studi terdapat bangunan cafe yang
lebih bergaya modern, hal ini terlihat pada interior bangunan tersebut.
4. Transportasi
Untuk masalah transportasi, kasus studi ini pun sulit dijangkau karena
gerbang masuk menuju restauran jaraknya cukup jauh. Hal ini menyulitkan
pengunjung restauran yang tidak membawa kendaraan. Tetapi sebagian
besar pengunjung yang datang kesini membawa kendaraan pribadi.
Adapun pengunjung yang memakai kendaraan pariwisata, seperti turis
mancanegara yang datang dari negara Korea, Jepang, dan terutama
wisatawan dari Eropa yang datang saat disana sedang liburan musim
panas. Karena pada restauran ini, target segmentasinya adalah kalangan
menengah ke atas.
5. Sosial
Terdapat masalah sosial yang posistif maupun negatif. Hal ini bisa dilihat
hal positifnya, restoran ini menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk
sekitar, karena sebagian besar pegawai disana merupakan penduduk
setempat sehingga mengurangi tingkat pengangguran penduduk setempat.
Sedangkan negatifnya, restoran ini target segmentasinya adalah kalangan
menengah ke atas. Restoran ini ditujukkan restoran keluarga, walaupun
ada sebagian orang yang datang tidak membawa keluarganya. Karena
kasus studi ini merupakan konsep bisnis restoran dan galery, bukan sebuah
penginapan sehingga jauh dari hal-hal yang tidak diinginkan (melanggar
1.3Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada identifikasi masalah, terdapat suatu
masalah yang teramati yaitu mengenai perkembangan salah satu restoran di kota
Bandung yang memakai arsitektur interior tradisional dengan bernuansa
Parahyangan. Dalam rumusan masalah ini hal-hal tersebut ditandai dengan
memunculkan nilai lokal setempat pada arsitektur maupun interior restoran
tersebut.
Berdasarkan hasil observasi maka dapat disimpulkan ada beberapa masalah yang
terjadi di Kampung Daun adalah sebagai berikut :
Berupa apa saja tampilan lokal Sunda pada arsitektur dan interior
Kampung Daun Culture Galery and Cafe yang bergaya rumah tradisional
Sunda ini.
Bagaimana unsur visual yang merujuk pada rumah masyarakat tradisional
Sunda itu disesuaikan dengan bentuk dan kebutuhan masa kini pada
perancangan restoran bergaya Sunda tersebut.
Apa saja perubahan tentang aturan fungsi pakai kebudayaan tradisional
Sunda yang sebenarnya, dengan aturan fungsi pakai yang berada di
Kampung Daun Culture Galery and Cafe.
1.4Batasan Masalah
Berbicara mengenai desain interior tidak lepas kaitannya dengan arsitektur. Maka
dalam tulisan ini banyak uraian yang menyinggung masalah interior dan
arsitekturnya. Permasalahan yang selalu muncul dalam perbincangan umumnya
masalah fungsi, gaya yang dipakai, suasana yang dimunculkan pada arsitektur
interior tersebut. Karena luasnya persoalan arsitektur interior, maka harus
Secara mendasar, permasalahan dibatasi terutama pada unsur visual yang terdapat
dalam kasus studi yang menjadi objek penelitian. Objek penelitian itu pun dibatasi
lagi meliputi segi pertama yaitu jenis bangunan. Jenis bangunan yang akan
dibatasi adalah restoran. Segi kedua dalam pembatasan obyek penelitian adalah
lokasi obyek penelitian yaitu Kampung Daun Culture Galery and Cafe. Ketiga,
telaah dalam skripsi ini membatasi arsitektur tradisional daerah Jawa Barat, yaitu
rumah masyarakat tradisional Sunda. Dan yang akan dibahas dalam tulisan ini,
terutama mengenai unsur visual interior dan arsitektur. Unsur interiornya yang
akan dibahas disini adalah, seperti lantai, pintu, jendela, dinding (bilik), furniture,
skema material, elemen dekoratif, skema warna, konsep penghawaan, konsep
pencahayaan. Sedangkan arsitekturnya yang akan dibahas disini adalah dilihat
dari struktur bangunannya yang dibagi ke dalam tiga bagian pokok, yaitu bagian
bawah (umpak/tatapakan), bagian tengah (tihang-tihang, palupuh, pintu, jendela,
dan bilik), bagian atas (atap/hateup). Terakhir, kategori arsitektur rumah
masyarakat tradisional Sunda yang dijadikan obyek penelitian yaitu Kampung
Cijelag, Desa Tomo, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang.
1.5Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan penelitian kebudayaan tradisional dalam kaitannya
dengan pengungkapan kembali nilai lokal tiada lain untuk :
Maksudnya :
1. Mendeskripsikan unsur-unsur arsitektur tradisional yang terdapat pada
Kampung Daun Culture Galery and Cafe.
2. Mencari, mengolah, dan meninjau data mengenai unsur arsitektur interior
yang mengungkapkan nilai kebudayaan tradisional yang terdapat pada
kasus studi ditinjau dari teori arsitektur masyarakat tradisional daerah Jawa
Barat.
3. Untuk menambah wawasan mengenai arsitektur tradisional, terutama
4. Untuk melengkapi hasil penelitian arsitektur tradisional khususnya
arsitektur tradisional Jawa Barat pada umumnya telah dilakukan oleh para
peneliti sebelumnya.
Tujuannya :
1. Memahami arsitektur interior kebudayaan tradisional salah satunya
kebudayaan Sunda, dalam hal ini bangunan restoran sebagai kasus studi.
2. Membandingkan kebudayaan tradisional setempat dengan bangunan
restoran yang terdapat pada kasus studi.
3. Dapat memberikan informasi mengenai arsitektur tradisional Jawa Barat.
4. Melengkapi pembendaharaan pengetahuan tentang pengertian arsitektur
tradisional, aspek-aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional,
jenis-jenis bangunan arsitektur tradisional, dan susunan ruangan.
1.6Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan metode deskriptif,
yang dimaksud metode deskriptif adalah : “Suatu metode dalam meneliti status
sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran pada
masa sekarang dengan tujuan untuk membuat deskripsi gambaran atau tulisan
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki. ( Nazir, 1982 : 83 ).
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Kajian teoritis mengenai arsitektur tradisional khususnya pada interior dan
arsitektur daerah Jawa Barat yang diperoleh dari studi pustaka dan referensi
lainnya yang dianggap relevan.
2. Survey dilakukan melalui pengamatan secara observasi mekanik terhadap
1.7Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dimaksudkan untuk memudahkan dalam memahami
permasalahan dan pembahasannya. Adapun sistematika penulisan dalam
penelitian ini, antara lain :
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini dikemukakan latar belakang masalah, identifikasi masalah,
rumusan masalah, batasan masalah, maksud dan tujuan, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Arsitektur Interior Kebudayaan Tradisional
Bab ini meliputi uraian teori-teori tentang konsep arsitektur tradisional :
Pengertian arsitektur tradisional, aspek-aspek yang mempengaruhi
arsitektur tradisional, jenis-jenis bangunan arsitektur tradisional, dan
susunan ruangan, teknik dan cara pembuatan rumah tradisional.
Bab III Arsitektur Interior Bangunan Kampung Daun
Bab ini memaparkan tentang pengertian restoran, penerapan arsitektur
interior di Kampung Daun Culture Galery and Cafe, konsep material dan
teknik kontruksi bangunan, elemen dan dekoratif pada kasus studi.
Bab IV Kesimpulan
Pada bab ini akan dikemukakan kesimpulan yang diperoleh dari hasil
kajian dan pembahasan, yang diharapkan dapat berguna dan bermanfaat
BAB II
ARSITEKTUR INTERIOR KEBUDAYAAN TRADISIONAL
2.1 Pengertian Arsitektur Tradisional
Arsitektur berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: yaitu arkhe dan tektoon. Arkhe berarti yang asli, awal, utama, otentik. Tektoon berarti berdiri, stabil, kokoh, stabil statis. Jadi arkhitekton diartikan sebagai pembangunan utama, tukang ahli bangunan (Mangunwijaya dalam Budihardjo, 1996: 61). Jadi,
pengertian arsitektur dapat disimpulkan sebagai seni dan ilmu bangunan, praktik
keprofesian, proses membangun, bukan sekadar suatu bangunan.
Arsitektur selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan manusia
dan zamannya. Karena manusia berubah maka sering pula aturan yang berlaku
berubah. Di dalam beberapa segi bentuk mungkin tetap, sedangkan makna atau
interpretasi dari bentuk tersebut berubah. Demikian pula sebaliknya, karena nilai
kemasyarakatan berubah maka bentuk turut menyesuaikan kepada perubahan
tersebut menurut pernyataan Djauhari Sumintardja (Eko Budihardjo, 1996: 147).
Lebih lanjut dijelaskan dalam Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
(1981/1982), bahwa “ arsitektur tradisional ialah suatu bangunan yang bentuk,
struktur, fungsi, ragam hias dan cara pembuatannya diwariskan secara turun
temurun serta dapat dipakai untuk melakukan aktivitas kehidupan dengan
sebaik-baiknya”. Kebudayaan dilihat dari segi bahasa, berasal dari kata „budaya‟ yang
berarti suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan
merupakan seluruh sikap, adat istiadat, dan kepercayaan yang membedakan
sekelompok orang dengan kelompok lain, kebudayaan ditransmisikan melalui
bahasa, objek material, ritual, institusi (misalnya sekolah), dan kesenian, dari
Gambar 01. Arsitektur Nusantara Sumber : http//www.tamanmini.com
2.2 Aspek-aspek yang mempengaruhi arsitektur tradisional
Mengingat bahwa tuntutan kebutuhan manusia selalu berkembang, arsitekturnya
pun akan terus berkembang. Arsitektur tersebut disesuaikan dengan kebutuhan
kini dengan beragam aspek kehidupan. Ada beberapa hal yang dapat dijadikan
landasan dalam merancang suatu arsitektur masa kini. Dijelaskan Eko Budihardjo,
1996: 62 bahwa “Kekhasan seni-budaya lokal, iklim tropis, bahan bangunan
setempat, dan tuntutan kebutuhan masyarakat wajib ditimba sebagai sumber ilham
dan landasan perancangan.”
Hal tersebut diperinci oleh A. Sindharta dalam makalah “Landasan
Pengembangan Arsitektur Indonesia” (Eko Budihardjo,1997: 39-40) dengan
mengemukakan empat landasan untuk merintis dan mengembangan arsitektur
Indonesia masa kini, antara lain:
1. Karena iklim merupakan faktor sangat penting, harus dipertimbangkan
dalam perancangan dan perencanaan,
2. Penggunaan bahan lokal seperti batu bata, genting, kayu, bambu, hasil
produksi industri rakyat harus tetap dianjurkan, di samping bahan produksi
3. Seni kerajinan yang banyak ragamnya seperti seni ukir, ornamen, seni
pahat, seni tenun, dan seni anyam harus dimanfaatkan untuk memberi ciri
kepada arsitektur modern Indonesia.
4. Keanekaragaman budaya daerah, harus tetap dikembangkan, karena justru
keanekaragaman itulah merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Dalam skripsi ini, akan dijabarkan lebih lanjut dua aspek tradisional meliputi
budaya dan masyarakat.
2.2.1 Aspek Tradisional Budaya
„Bentuk Mengikuti Budaya‟ dicetuskan pertama kali oleh Skolimowski tahun
1976. Hal itu merupakan salah satu upaya menemukan kembali identitas atau jati
diri dalam setiap karya baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional.
Eko Budihardjo (1997: 6) mengemukakan “Karena terkait erat dengan keinginan
kegiatan, dan perilaku manusia, makhluk berbudaya, maka suatu arsitektur
semestinya juga sebagai salah satu cerminan budaya. Sehingga secara idealnya,
arsitektur Indonesia harus dapat pula mencerminkan budaya Bangsa Indonesia.” Ditambahkan olehnya dalam bagian lain tulisannya (1997: 9), “Sebagai budaya
bangsa dapat mempengaruhi arsitektur, maka arsitektur pun dapat membentuk
kebudayaan para pelakunya.”
Masalah kebudayaan merupakan aspek yang berpengaruh dalam pengembangan
arsitektur tradisional. Pola hidup masyarakat pun turut membentuk arsitektur
pemukimannya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arsitektur adalah bagian yang
integral dari pengembangan kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan menjadi
salah satu aspek penting dalam wacana arsitektur interior tradisional. Konsep
tradisional sendiri merupakan satu istilah yang menekankan aspek kebudayaan
2.2.2 Aspek Tradisional Masyarakat
Hindro T. Soemardjan pada Diskusi Panel Ikatan Mahasiswi Arsitektur FT-UI
tahun 1982 sebagaimana dikutip dari buku Menuju Arsitektur Indonesia
(Budihardjo, 1996: 108) yang menuturkan “Arsitektur adalah pengejawantahan
(manifestasi) dari kebudayaan manusia. Atau dengan kata lain, arsitektur selalu
dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakatnya.” Pernyataan ini didukung oleh Adhi Moersid (Budihardjo, 1996: 31) yang secara rinci menyebutkan bahwa “Arsitektur
yang kita huni merupakan manifestasi dari hidup kita sehari-hari, cermin
kebudayaan kita, petunjuk dari tingkat perasaan artistik yang kita miliki,
menggambarkan tingkat teknologi kita, kemakmuran kita, struktur sosial
masyarakat kita.”
Dapat disimpulkan bahwa, bangunan tradisional merupakan suatu bangunan yang
terbentuk karena latar belakang budaya masyarakat. Oleh sebab itu, bangunan
tradisional merupakan ungkapan budaya dan jalan hidup masyarakat, serta
merupakan cerminan langsung dari masyarakat dalam mencoba mengekspresikan
sesuatu.
Dari uraian di atas diketahui bahwa arsitektur merupakan cerminan suatu
masyarakat, maka hal tersebut perlu dikaitkan dengan karakteristik masyarakat
yang bersangkutan. Akan tetapi pada arsitektur tradisional dalam
perkembangannya di waktu sekarang, tradisi dalam masyarakat itu sendiri bukan
faktor penentu sekarang ini disebabkan arsitektur selalu berubah dan
menyesuaikan diri dengan perkembangan manusia dan zamannya. Karena
manusia berubah maka sering pula aturan yang berlaku berubah. Di dalam
beberapa segi bentuk mungkin tetap, sedangkan makna atau interpretasi dari
bentuk tersebut berubah. Demikian pula sebaliknya, karena nilai kemasyarakatan
berubah maka bentuk turut menyesuaikan kepada perubahan tersebut, sesuai
2.3 Jenis-jenis bangunan kebudayaan tradisional Sunda 2.3.1 Bangunan dilihat dari bentuk atapnya
Suhunan Jolopong
Dikenal juga dengan sebutan suhunan panjang. “Jolopong” adalah istilah Sunda, artinya : tergolek lurus. Bentuk jolopong, memiliki suhunan yang sama panjangnya dengan kedua sisi bidang atap yang sejajar dengan suhunan itu.
Bentuk jolopong memiliki dua bidang atap, kedua bidang atap ini dipisahkan oleh
jalur suhunan di tengah bangunan rumah, bahkan jalur suhunan itu sendiri merupakan sisi bersama (rangkap) dari kedua bidang atap. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah
menyebelah. Sedangkan pasangan sisi lainnya lebih pendek dibanding dengan
dengan suhunan dan memotong tegak lurus kedua ujung suhunan itu. Dengan
demikian, di kedua bidang atap itu berwujud dua buah bentukan persegi panjang.
Sisi pendeknya bertemu pada kedua ujung suhunan. Pada tiap ujung batang suhunan, kedua sisi atap pendek membentuk sudut puncak dan apabila kedua ujung bawah kaki itu dihubungkan dengan suatu garis imaginer, akan membentuk
segitiga sama kaki.
Gambar 02. Tampak atas suhunan Jolopong
Gambar 03. Suhunan Jolopong
Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
Gambar 04. Potongan depan suhunan Jolopong
Jogo Anjing atau Tagog Anjing
adalah bentuk atap yang memiliki dua bidang atap yang berbatasan pada garis batang suhunan. Bidang atap yang pertama lebih lebar dibanding dengan bidang atap lainnya, serta merupakan penutup ruangan. Sedangkan atap lainnya yang
sempit, memiliki sepasang sisi yang sama panjang dengan batang suhunan, bahkan batang suhunan itu merupakan puncaknya. Pasangan sisi (tepi) lainnya sangat pendek bila dibanding dengan panjang suhunan. Pada umumnya sisi bawah
tidak disangga oleh tiang. Bidang atap yang sempit ini hanya sekedar pelindung
agar cahaya matahari atau air hujan tidak langsung menyinari ruangan dalam
bagian depan. Tiang-tiang depan pada bangunan dengan atap tagog anjing lebih panjang dibanding dengan tiang-tiang belakangnya, batang suhunan terletak di atas puncak-puncak tiang depan. Ruangan sebenarnya terdapat di bawah atap
belakang. Atap depan hanya berfungsi sebagai emper (tepas).
Gambar 05. Tampak samping suhunan Jogo Anjing
Gambar 06. Tampak depan suhunan Jogo Anjing
Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
Gambar 07. Tampak atas suhunan Jogo Anjing
Badak Heuay ( Hateup Badak Heuay )
adalah bangunan yang atapnya mirip dengan tagog anjing, perbedaanya hanya pada bidang atap belakang. Bidang atap ini langsung lurus ke atas melewati
batang suhunan sedikit. Bidang atap yang melewati suhunan ini dinamakan rambu.
Gambar 08. Tampak samping suhunan Badak Heuay
Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
Gambar 09. Tampak depan suhunan Badak Heuay
Gambar 10. Denah suhunan Badak Heuay
Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
Parahu Kumureb ( Jubleg Nangkub )
adalah bentuk atap yang memiliki empat buah bidang atap. Sepasang bidang atap
sama luasnya, berbentuk trapesium samakaki. Letak kedua bidang atap ini sebelah
menyebelah dan dibatasi oleh garis suhunan yang merupakan sisi bersama. Jadi kedua bidang atap ini menurun masing-masing dari garis suhunan itu. Batang suhunan yang merupakan sisi bersama lebih pendek dari sisi alasnya. Sepasang bidang atap lainnya berbentuk segitiga samakaki dengan kedua titik ujung
suhunan merupakan titik-titik puncak segitiga itu. Kaki-kakinya merupakan sisi bersama dengan kedua bidang atap trapesium. Atap ini disebut juga oleh
masyarakat kampung Panday kabupaten Sumedang terkenal dengan atap jubleg nangkub, yaitu diartikan sebagai bentuk atap yang memiliki lima buah bidang
atap, satu pasang berbentuk trapesium siku-siku, satu bidang berbentuk segitiga
samakaki dan pada sisi lainnya tidak berbidang atap. Pada bentuk atap jubleg nangkub, terdapat dua buah jure (batang kayu yang menghubungkan salah satu ujung batang suhunan kepada kedua sudut rumah), secara landai sehingga terbentuk satu bidang atap segitiga. Sisi bidang atap berbentuk segitiga inilah
yang dijadikan sebagai bagian depan rumah. Bila dilihat bentuk atap ini dari
Gambar 11. Suhunan Parahu Kumureb
Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
Gambar 13. Tampak atas suhunan Parahu Kumureb
Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
Gambar 14. Suhunan Jubleg Nangkub
Gambar 15. Tampak samping suhunan Jubleg Nangkub
Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
Gambar 16. Tampak atas suhunan Jubleg Nangkub
Julang Ngapak
adalah bentuk atap yang melebar di kedua sisi bidang atapnya. Jika dilihat dari
arah muka rumahnya, bentuk atapnya menyerupai sayap dari burung julang (nama
sejenis burung) yang sedang merentang. Bentuk atap julang ngapak, memiliki empat buah bidang atap. Dua bidang pertama merupakan bidang-bidang yang
menurun dari arah garis suhunan, dua bidang lainnya merupakan kelanjutan dari
bidang-bidang itu dengan membentuk sudut tumpul pada garis pertemuan antara
kedua bidang-bidang atap itu. Bidang atap tambahan pada masing-masing sisi
bidang atap itu nampai lebih landai dari bidang-bidang atap utama. Menurut
Yahya Ganda (1982, hal 45-57).
Gambar 17. Suhunan Julang Ngapak
Gambar 18. Potongan depan suhunan Julang Ngapak
Sumber : Yahya Ganda, 1982, Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat
Gambar 19. Suhunan Julang Ngapak
2.3.2 Bagian – bagian Rumah Jika Dilihat dari Fungsinya
Bagian Bawah Tatapakan
yaitu penahan dasar dari pada tiang rumah yang terbuat dari batu. Dibuat dari batu
padas dari bagian yang paling keras, atau dapat pula dibentuk dari bata disusun
menyerupai balok dengan ukuran panjang 1 meter dan tingginya 0,5 meter.
Bagian Tengah Tihang
merupakan bagian rumah tinggal yang sangat penting karena menyangga atap
bangunan. Tihang dibuat dari kayu berbentuk segi empat berukuran 15 x 15 Cm.
Tihang juga berguna untuk menempelkan dinding-dinding. Tihang-tihang untuk atap tambahan (emper) dibuat lebih kecil, dari pada tihang-tihang utama (disebut
pula sasaka).
Palupuh/talupuh
dibuat dari kayu-kayu bilah yang disusun diatas balok-balok kayu atau bambu
yang disebut darurung (dasar palupuh/lantai). Fungsinya sebagai lantai rumah
yang memisahkan kolong dengan ruangan. Karena itu lantai yang terbuat dari
palupuh dapat menghangatkan suasana udara dalam ruangan.
Pintu
dalam bahasa Sunda disebut panto. Bagian ini berbentuk persegi panjang, tingginya disesuaikan dengan ukuran manusia. Bagian ini dapat dibuat dari kayu
atau bambu yang dianyam. Rangka pintu disebut jejeneng panto juga dibuat dari
kayu.
Jendela Jalosi
yakni jendela yang berfungsi untuk mengatur pertukaran udara dari dalam ke luar
ruangan atau sebaliknya. Jendela ini terbuat dari papan-papan kayu sedemikian
Dinding
merupakan bagian rumah yang berfungsi sebagai pemisah antara ruangan dalam
rumah dengan alam sekitar (luar rumah) dan membentuk kesatuan
ruangan-ruangan dalam rumah. Bagian ini terbuat dari bahan bambu yang dianyam
(disebut bilik) dan bahan kayu (disebut gebyog). Dinding menempel langsung pada bagian luar dari tiang rumah, panjangnya dari lincar ( bagian dari rumah, kayu tipis penjepit bagian bawah rumah) sampai ke pamikul (kayu di bawah pangherat).
Bagian Atas Atap/hateup
Merupakan bagian rumah yang berfungsi sebagai penutup rumah, yang
melindungi dari terik sinar matahari dan air hujan.
2.4 Susunan Ruangan
2.4.1 Pembagian ruangan berdasarkan bentuk atap
Ruangan-ruangan yang ada pada bangunan-bangunan rumah tempat tinggal pada
umumnya sebagai berikut :
Pada rumah tinggal dengan atap suhunan panjang atau jolopong, pada umumnya terdiri atas :
- ruangan depan, disebut emper atau tepas.
- ruangan tengah, disebut tengah imah atau patengahan.
- ruangan samping, disebut pangkeng.
- ruangan belakang, terdiri atas :
a. dapur, disebut pawon.
b. tempat menyimpan beras, disebut padaringan.
Pada rumah tinggal dengan atap leang-leang, ruangan-ruangannya, pada
umumnya terdiri atas :
- ruangan depan (emper).
- ruangan tengah (tengah imah).
- kamar tidur (pangkeng)
Pada umumnya rumah-rumah dengan bentuk atap jure, sistem pembagian ruangan
secara lebih lengkap, adalah sebagai berikut :
- ruangan paling depan bawah atap, disebut balandongan.
- ruangan depan dalam rumah disebut tepas.
- ruangan tengah disebut patengahan (tengah imah).
- ruangan-ruangan samping disebut pangkeng.
- ruangan belakang disebut dapur (pawon).
2.4.2 Pembagian ruangan berdasarkan kedudukan dan fungsi anggota keluarga
Pembagian itu didasarkan kepada tiga daerah yang terpisah terbedakan
penggunaannya yaitu :
- daerah wanita
- daerah laki-laki
- daerah netral (dipergunakan bagi wanita dan laki-laki).
Ruangan dapur hanya dipergunakan untuk keperluan memasak makanan
untuk keperluan seluruh keluarga, ruangan ini dipergunakan khusus untuk wanita,
terdiri atas istri atau anak perempuannya. Laki-laki dapat masuk ke ruangan ini,
misalnya untuk mengambil makanan pada saat istri dan anak perempuannya
bekerja di ladang. Selain dapur, goah (tempat untuk menyimpan padi atau gabah)
juga merupakan ruangan untuk wanita.
Ruangan depan adalah ruangan untuk laki-laki, ruangan ini tanpa dinding,
sehingga orang luar dapat langsung berjalan ke ruangan tersebut.
Ruangan netral adalah ruangan tengah yang disebut “tengah imah” atau
2.4.3 Fungsi Ruangan-ruangan
Emper, berfungsi untuk menerima pengunjung (tamu).
Balandongan, berfungsi untuk menambah kesejukkan bagi penghuninya
di dalam rumah.
Pangkeng, dipergunakan sebagai tempat tidur.
Tengah imah, berfungsi sebagai tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga yang terdiri, atas suami, istri dan anak.
Pawon, berfungsi sebagai dapur.
Menurut Yahya Ganda (1982, hal 68).
2.5 Teknik dan cara pembuatan rumah tradisional
Dikutip dari Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah dalam
buku Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat (1981/1982), dilihat dari struktur
bangunannya, rumah-rumah tradisional dapat dibagi dalam tiga bagian pokok,
yang ada pada rumah tradisional. Ketiga pokok tersebut adalah :
Bagian bawah : umpak (tatapakan),
Bagian tengah : tihang-tihang, palupuh, pintu, jendela dan bilik,
Bagian atas : atap (hateup).
2.5.1 Bagian Bawah
Bagian paling bawah dari bangunan tempat tinggal ialah batu tatapakan (umpak) yang berfungsi sebagai pondasi. Pondasi umpak sangat baik digunakan pada tanah
yang mengandung pasir, tanah liat yang kering atau bercadas. Pondasi umpak ini sangat cocok digunakan pada rumah pola panggung. Umpak (tatapakan) dibuat dari batu padas yang diambil dari badan-badan gunung di daerah pegunungan
berbatu padas. Beberapa bentuk-bentuk batu tatapakan, diantaranya :
Bentuk utuh (bulat), yakni batu alam yang diambil dari sungai bekas letusan
gunung, biasa dipakai untuk alas kaki golodog (tangga di muka pintu yg terbuat dari kayu.
Bentuk lesung (lisung), yakni batu berbentuk balok yang berdiri tegak dengan
permukaan pada sisi atas lebih kecil daripada permukaan sisi bawah, banyak
Bentuk kubus (balok), yakni batu berbentuk kubus ditegakkan dengan sisi-sisi
atas dan bawah sama besar.
Pada saat ini batu tatapakan sudah jarang dilakukan, akibat berganti dengan
susunan batu bata yang dilapisi oleh tembok (adonan) semen.
2.5.2 Bagian Tengah
Bagian tengah terdiri dari beberapa bagian, yaitu :
Palupuh
Palupuh (talupuh) adalah bagian yang dibuat dari bambu yang dilempengkan menjadi lempengan-lempengan bambu. Jenis bambu yang dingunakan untuk
membuat palupuh ialah bambu awitali (bambu tali).
Tihang
Bagian ini terbuat dari kayu atau bambu. Jenis kayu yang digunakan ialah
kayu jati, jeungjing, suren. Adapun bambu yang digunakan ialah bambu jenis:
awibitung, awilengka (hideung). Pada tihang tepas (emper), banyak rumah yang menggunakan bambu sebagai bahannya.
Bilik
Bahan untuk membuat bilik ialah bambu tali (awitali) atau menggunakan awi
gombong. Awi tali adalah jenis bambu yang batangnya lurus-lurus berwarna
hijau atau kuning kehijau-hijauan. Panjang batangnya antara 10-20 m, besar
batang 2,5 – 10 cm dan panjang antara ruasnya 30-65 cm.
Panto
Pintu (basa Sunda: panto), adalah bagian rumah yang terbuat dari kayu atau bambu. Pintu dari kayu disebut panto, pintu dari bambu disebut sorolok. Pintu dari bambu sudah jarang ditemukan, kalaupun ada pintu jenis ini
Jenis kayu yang dipergunakan untuk membuat pintu ialah: kayu jati,
jeungjing, dan suren. Sedangkan bambu yang sering digunakan ialah bambu
bitung dan bambu tali atau awi tali (untuk biliknya).
Jendela
Jendela (jandela), adalah bagian rumah yang berfungi sebagai lubang keluar
masuknya angin. Tidak semua tempat tinggal memiliki jendela. Pada rumah
jaman dahulu, jendela dibuat lebih kecil seperti lubang angin.
2.5.3 Bagian Atas
Bagian atas dari bangunan tempat tinggal ialah atap (hateup). Bahan-bahan untuk
membuat atap (hateup) ialah: daun kelapa, jerami ijuk atau alang-alang. Atap
yang dibuat dari bahan-bahan alam ini masih ditemukan sampai sekarang pada
bangunan tradisional. Satu bidang atap terbuat dari anyaman alang-alang (welit)
BAB III
ARSITEKTUR INTERIOR BANGUNAN KAMPUNG DAUN
3.1Pengertian Restoran
Restoran berasal dari Bahasa Inggris „restaurant‟ sebagaimana dikutip dari
Oxford Leaner’s Pocket Dictionary diartikan sebagai tempat di mana makanan
dapat dibeli dan dimakan (Manser, 1995: 353). Menurut Ritchie (1994: 306),
restoran adalah bagian dari sistem industri yang menyediakan layanan kepada
orang-orang yang jauh dari rumah.
Fasilitas pada restoran untuk menyediakan makanan salah satunya ditentukan oleh
permintaan pasar. Adapun hal yang umumnya diharapkan konsumen ketika
memasuki restoran menurut Max Fengler (1971 : ix) antara lain mendapatkan
makan siang dalam suasana informal, murah, dan secepat mungkin. Selain itu,
baik di sore hari, di waktu luangnya, atau pun ketika butuh hiburan, konsumen
ingin menikmati hidangan dan pelayanan.
Jadi, salah satu tuntutan desain interior restoran adalah kemampuan menciptakan
suasana. (Aristiandi dalam Swasty, 2004: 72) mengutarakan lima faktor yang
mempengaruhi suasana restoran yaitu :
1. Faktor penglihatan, yang dihasilkan dari penataan cahaya baik itu cahaya
siang hari maupun cahaya buatan.
2. Faktor penciuman, yang memperlihatkan udara dalam ruang agar terhindar
dari bau-bau yang tidak diinginkan.
3. Faktor pendengaran, dengan memanfaatkan musik untuk menghindari
kebosanan maupun rasa sepi.
4. Faktor sentuhan, yang meliputi segala sesuatu yang disentuh tubuh seperti
kenyamanan posisi duduk, ketinggian meja makan, dan sebagainya.
Dalam menyusun kebutuhan desain, adalah berguna untuk mengelompokkan
restoran ke dalam jenis-jenis berbeda, dan perbedaan yang paling penting adalah
cara penyajian makanan dan pelayanan. Menurut cara pelayanannya, restoran
diklasifikasikan ( Fred Lawson dalam Swasty, 2004 : 72- 77) sebagai berikut :
1. Snack bar
Jenis ini biasanya terbatas pada makanan ringan dan minumam yang dipilih
dari pajangan atau dipesan dan dibawa oleh konsumen ke meja makan. Variasi
konsep ini yang diadaptasi dalam situasi berbeda meliputi:
Public bar catering,
Sandwich bar catering,
Coffe bar.
Gambar 20. Snack Bar Sumber : http//www.google.com
2. Cafe
Jenis ini biasanya dibatasi dua hingga tiga jenis makanan utama yang sudah
dipiringkan di dapur, dan dapat dilayani oleh pramusaji, meskipun sebenarnya
masakan dapat dipesan dan diambil sendiri pada sebuah counter. Untuk kue-kue dan makanan kecil dapat dipilih sendiri pada counter khusus. Tata letak furnitur dalam ruang makan harus dirancang untuk penggunaan area yang
maksimal dan pemberian ruang 0,83 m2 tiap orang sering dipakai.
Gambar 21. Cafe
3. Kafetaria Swalayan
Layanan ini memiliki keuntungan antara lain :
Karyawan yang dibutuhkan untuk menyajikan hidangan dapat dikurangi,
Layanan makanan dalam jumlah besar atas kedatangan konsumen pada satu
waktu dapat dipercepat,
Pilihan jenis makanan dimudahkan dan meja counter berlaku sebagai area promosi penjualan. Sedangkan kerugiannya terletak pada ruang luas yang
dibutuhkan oleh meja counter dan area sirkulasinya. Ruang yang dibutuhkan rata-rata 1,4 – 1,7 m2 per orang tamu.
Gambar 22. Kafetaria Sumber : http//www.google.com
4. Counter
Prinsip layanan ini mirip dengan snack bar tapi menawarkan lebih beragam sajian hidangan kepada konsumen. Untuk memaksimalkan tempat duduk,
seringkali ditambah oleh layanan pramusaji ke meja makan. Ruang yang
dibutuhkan bervariasi dari 1,4 m2 – 1,9 m2 per orang tamu.
5. Coffee Shop
Menghidangkan masakan yang dilakukan pramusaji ke meja makan dengan
pilihan makanan ringan dan minuman yang tercantum di menu. Kue-kue dapat
ditempatkan pada kereta dorong atau rak khusus. Gaya restoran ini biasanya
modern tapi dengan penekanan pada suasana informal dan selera rasa yang
tinggi. Ukuran dan peralatan dapur dibuat minimal dan normalnya meliputi
Gambar 23. Coffee Shop Sumber : http//www.coffecommunity.com
6. Buttery Bar
Jenis ini merupakan pengembangan dari konsep pelayanan counter dengan satu
hingga dua menu utama.
7. Restoran Khusus
Penekanan pada cara penyediaan yaitu:
a. Pada gaya persiapan hidangan dan penampilannya sesuai dengan ciri yang
ditonjolkan, misalkan masakan China, Jepang, Meksiko, dan lain-lain.
b. Keistimewaan tertentu di dalam pengolahan macam-macam masakan
seperti daging sapi, ikan, ayam, udang, dan lain-lain.
Unsur-unsur desain, dekorasi, serta hiasan perlengkapan harus mencerminkan
keistimewaan yang akan ditonjolkan. Jika memungkinkan, hal-hal asli yang
serba khas sebaiknya digabungkan ke dalam desain.
Gambar 24. Restoran Khusus Sumber : http//www.google.com
8. Restoran tradisional
Masakan telah disiapkan dalam piring yang kemudian dihidangkan di hadapan
Penekanan pada penampilan masakan itu sendiri dengan cara menyempurnakan
perlengkapan yang berkenaan dengan penyajian makanan. Restoran jenis ini
umumnya memiliki dapur yang sangat luas.
Gambar 25. Restoran Tradisional Sumber : http//www.google.com
9. Restoran Hiburan
Perhatian dalam desain interior biasanya ditempatkan pada penciptaan suasana
yang tepat menggunakan kombinasi pengaturan tempat duduk, cahaya, warna,
efek permukaan dan unsur dekoratif untuk menghasilkan kesan yang
diinginkan. Furniture biasanya dirancang khusus untuk tujuan ini dan
seringkali diatur dalam kelompok kecil untuk keleluasaan pribadi.
Perlengkapan yang dibutuhkan dalam hiburan meliputi area panggung dan
lantai dansa mempengaruhi tata letak meja dan kursi, pelayanan, dan fasilitas
pendukung.
Gambar 26. Restoran Hiburan Sumber : http//www.google.com
10. Banquet (perjamuan, pesta makan)
Jenis restoran ini biasanya:
dapat menampung konsumen yang banyak pada satu waktu,
memiliki tata suara, tata cahaya dan tata udara yang baik untuk kegunaan
beragam,
terdapat perlengkapan khusus untuk memasak, menyimpan dan membawa
makanan dan minuman untuk memudahkan pelayanan yang cepat.
Gambar 27. Banquet Sumber : http//www.google.com
11. Layanan makanan jarak jauh, terdiri dari:
Bawa pulang,
Pesan antar,
Pelayanan makanan untuk rumah sakit,
Makanan yang disediakan pada unit-unit penjualan,
Pelayanan kamar (hotel/instansi),
Pelayanan dalam perjalanan (pesawat terbang, kereta api, kapal).
Dari berbagai sumber yang berhasil dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa
restoran dalam bentuk apapun merupakan perusahaan jasa dalam bidang makanan
dan minuman. Restoran yang ada kini cenderung tidak hanya menawarkan atau
menjual hidangan saja tetapi juga suasana tempat. Hal tersebut ditegaskan oleh
Agus Sachari (1986: 78) dalam buku Desain Gaya dan Realitas yang
mengungkapkan “Desain Interior, dari segi ekonomi lebih banyak kecenderungan
untuk menjual suasana. Ekonomi suasana ini menjadi penting ketika manusia
menjadikan lingkungan buatan yang nyaman dan bergengsi. “Untuk itu, desain
interior pada suatu restoran memegang peranan yang cukup penting dalam
3.2Penerapan Arsitektur Interior Tradisional di Kampung Daun Culture Galeri and Cafe
3.2.1 Latar Belakang Restoran
Kampung Daun Culture Galery & Cafe berdiri pada 13 November 1999. Gagasan
pendiriannya berasal dari pengelola perumahan Trinity Villas, yang merupakan
satu areal dengan lokasi restoran ini berada. Pengelolaannya juga berada di bawah
manajemen yang sama dengan pengelola Trinity Villas. Kemudian dibuatlah
saung-saung yang dapat digunakan oleh pengunjung. Pada awalnya, saung yang ada baru berjumlah 4 buah. Tahun demi tahun berganti, Kampung Daun terus
berkembang. Saung-saungnya juga terus bertambah, hingga sekarang mencapai 60 buah saung. Areal yang digunakan, yang awalnya tidak mencapai 1 hektar, dan
sekarang luasnya hampir mencapai 2 hektar.
Tempat yang alami, indah dan jauh dari hiruk pikuk kota membuat Ruth Tamzil
de Fernandes terinspirasi membuat saung sederhana untuk tempat makan dan melepas penat. Nama Kampung Daun sendiri diambil karena di tempat ini dahulu
dipenuhi labu-labu siam. Filosofi labu siam adalah semakin rimbun semakin
merunduk. Jadi, Kampung Daun merupakan perkampungan yang low profile serta
penuh kebersahajaan. Daun labu siam pun dijadikan lambang Kampung Daun.
Nama Populer : Kampung Daun Culture Gallery & Cafe
Alamat : Jalan Sersan Bajuri Km. 4,7 No. 88 RR1 Bandung
Utara/Cihideung
Telepon : (022) 2787915, 2784572, 2784573
Fax : (022) 2787881
Situs : kampungdaun.net
Cara pelayanan makanan berupa ala carte (pemesanan makanan melalui
pramusaji) dan cafe (untuk kue-kue dan makanan kecil dapat dipilih sendiri pada
dinamakan Culture Galery and Cafe karena restoran ini bukan hanya sekedar tempat makan, tetapi terdapat juga galery dimana tamu yang datang bisa berbelanja di tempat ini.
Kampung daun berada di sebuah lembah kecil di belahan utara kota Bandung
yang diapit oleh dua tebing batu alami dengan sebuah sungai yang mengalir dari
gunung Burangrang tepatnya di wilayah lingkungan perumahan Villa Trinity.
Dengan tekad untuk mengenalkan keunikan yang dimiliki perkampungan sekitar
kepada para pengunjung yang sebagian besar berasal dari kota besar. Kampung
Daun mempunyai berbagai karakteristik dan keunikan wilayah pedesaan yang
masih bersifat tradisional tapi elegan. Kampung Daun men-service secara casual,.
Kampung Daun menawarkan suasana perkampungan yang eksotik, di tengah
sejuknya udara pegunungan.
3.2.2 Fasilitas dan Pelayanan yang Tersedia di Kampung Daun
“Selamat datang di Kampung Kami, Kampung Daun”, sapaan akrab itu menyambut. Pengunjung saat memasuki area Kampung Daun Culture Galery and
Cafe. Sebelum memasuki area Kampung Daun, pengunjung dapat memesan
tempat terlebih dahulu. Pada sisi kiri sebelum pengunjung masuk. Selanjutnya,
mereka akan menghubungi pelayan lainnya yang ada di dalam dan pengunjung
akan diberi nomor saung tempat pengunjung bersantap. Saung yang diberikan biasanya berdasarkan jumlah orang karena ukuran saung yang berbeda sehingga kapasitas yang ditampung juga berbeda. Di cafe ini pengunjung dapat menemui pedagang keliling yang menjual dodol lipet, gulali, dan harum manis yang duduk
berjejer di tepi jalan setapak Kampung Daun, dan tidak ketinggalan hiburan
setempat dapat dinikmati di sini. Pengamen yang bermain harpa dan kecapi
dengan jari-jarinya yang lentur, berkeliling dari saung ke saung, serasa berada di
Berikut adalah fasilitas yang tersedia di Kampung Daun Culture Galery and Cafe :
Live Music
Lesehan
Wi-fi akses internet
Pembayaran Cash, BCA Card, Visa, Master Card
Kapasitas >600 orang
29 saung kecil
4 saung dengan kapasitas 30-50 orang
Bumi Cai (rumah di atas air)
RB (rumah besar)
Curug 2AB (curug A dan curug B, dimana view-nya langsung ke arah air
terjun
Balai Ageung (berupa pendopo yang berada di atas) dengan kapasitas
200-300 orang
Panggung Hiburan
Galeri yang berisi macam pakaian dan souvenir yang bisa dibeli oleh pengunjung.
3.2.3 Analisis Aspek Visual
Kampung Daun memberikan sesuatu yang lain berupa paduan nilai
seni dan keanekaragaman budaya.
Suasana kampung yang penuh keramahan, tenang, dan hommy
terasa kental.
Kampung Daun mempunyai lebih mengeksplorasi alam.
Selain pemandangannya yang indah, udaranya pun sejuk karena terletak di daerah
yang cukup tinggi. Suasana yang asli tersebut tidak banyak berubah setelah
merupakan hasil budidaya sendiri. Dengan demikian, hadirlah suasana
perkampungan dengan suasana yang alami dan pemandangan yang eksotik.
Saung-saungnya lebih didisain untuk tamu yang datang berkelompok, ada yang dapat menampung untuk 4 orang, 6 atau 8 orang, dan ada juga yang dapat
TABEL ANALISIS ASPEK VISUAL PADA
ARSITEKTUR KAMPUNG DAUN CULTURE GALERY AND CAFE
A: Arsitektur I: Interior
Unsur Visual Tradisional Sunda
(Kampung Cijelag, Desa Tomo) Studi Kasus : Kampung Daun A I Kesimpulan
Bagian Atas
Atap / Hateup ATAP JULANG NGAPAK
atap jolopong ditransformasikan ke dalam
bangunan yang ada pada kasus studi.
Tepas pada rumah tradisional Sunda diadopsi ke dalam tempat makan lesehan pada restoran.
Penggabungan selektif antara unsur tradisional dan modern dan muncul dengan cara berbeda.
Mengawinkan dua unsur berbeda (bangunan
modern dan unsur tradisional); yang
menghasilkan unsur baru di mana identitas masing-masing unsur tidak utuh lagi.
Mendampingkan bangunan bergaya modern di
antara bangunan bergaya tradisional,
penggabungan kedua unsur tersebut tidak berpengaruh dalam arsitektur tradisional itu
sendiri karena masih terlihat unsur
tradisionalnya.
Saung
ATAP JOLOPONG
Saung
Bagian Tengah
Tiang-tiang / Tihang-tihang Kayu :
Jati Jeunjing Suren
Bambu :
Awibitung
Awilengka (hideung)
Kayu
Office
Saung
Galery
Bambu Bitung
Pawon
Pada bagian tihang pada Kampung Cijelag
Lantai / Palupuh penutup lantai palupuh digunakan papan bambu lapis yang dibuat mirip dengan tripleks.
Panto
Bagian ini berbentuk persegi panjang, tingginya disesuaikan dengan ukuran manusia. Dibuat dari bambu atau kayu yang dianyam.
Lantai kayu, untuk lantai interior
menggunakan lantai kayu yang terdapat pada ruang office, saung, dan galeri.
Plesteran, digunakan untuk eksterior yang terdapat pada area pawon, cafe, dan luar galeri.
Batu alam, digunakan untuk jalan yang menuju saung-saung.
Pintu, dengan arah bukaan ke dalam.
Bagian ini berbentuk persegi panjang, tingginya disesuaikan dengan standar desain, dan terbuat dari kayu.
Lantai pada kasus studi menggunakan lantai kayu tidak menggunakan palupuh, karena disesuaikan dengan kondisi pada zaman sekarang. Palupuh sendiri pada zaman
sekarang sulit diperoleh, dan
pemeliharaannya pun sulit.
Jendela
Biliknya menggunakan pola sasak dan kepang.
Pola Kepang
Pola Sasak
Jendela jungkir/jungkit, dengan arah bukaan dalam ke luar.
Dalam Luar
Bilik digunakan pada pawon, tetapi
tidak digunakan penuh, hanya
setengah bagian dari tinggi dinding. Menggunakan pola kepang.
Pada ruang Office dinding
menggunakan kayu jati.
Perbedaannya, jendela yang berada pada Kampung Cijelag adalah menggunakan jendela dengan bukaan sayap, sedangkan pada kasus studi Kampung Daun Culture Galery and Cafe menggunakan jendela jungkir/jungkit.
Pada dindingnya sendiri menggunakan unsur alam yang terbuat dari bilik pada pawon, kayu pada ruang office, dan ada sebagian yang memakai unsur batu alam pada dapurnya.
Untuk biliknya sendiri sama-sama
Pada dapur dinding terbuat dari batu kali yang dipadukan dengan dinding kayu.
Bagian Bawah
Umpak / Tatapakan Bentuk utuh/bulat
Bentuk Lesung Bentuk Kubus/balok
Bentuk Lesung Untuk tatapakannya sendiri pada kasus studi
banyak memakai bentuk lesung.
Furniture - Untuk materialnya sendiri tidak disebutkan
furniture apa saja yang digunakan pada rumah tradisional Sunda, sedangkan pada kasus studi lebih banyak menggunakan furniture yang terpengaruh dari budaya luar seperti kursi, meja.
Skema Material
Bambu
Awibitung ( bambu bitung)
Pada studi kasus material yang banyak dijumpai adalah :
1. Kayu, banyak dijumpai pada tiang bangunan, maupun furniturenya.
Sama-sama menggunakan material alam,
Awitali ( bambu tali )
Awilengka/hideung
Kayu
Jati
Jeunjing
Suren
1. 2. Bambu Bitung, banyak ditemui pada
Daun Kelapa
Jerami ijuk/alang-alang
Alang-alang
3. Daun Kelapa, banyak dipakai pada atap saung.
4. Jerami Ijuk/alang-alang, dipakai pada atap dapur.
Elemen Dekoratif - Kampung Daun sendiri tidak menggunakan
ragam hias yang diambil dari kebudayaan tradisional Sunda, karena seperti kita ketahui bahwa ada kelangkaan akan ragam hias pada rumah-rumah tradisional Sunda, yakni :
1. Tidak ada kebiasaan pada orang Sunda pada
masa lampau membuat ukiran-ukiran
tertentu pada bagian-bagian rumah seperti tiang (saka) rumah dan sebagainya.
2. Perhatian orang Sunda pada waktu itu lebih banyak perhatiannya pada soal bangunan itu sendiri, yang sewaktu-waktu
ditinggalkannya dalam rangka kehidupan semi sedenter.
dibuat pada bagian-bagian rumah yang terbuat dari bambu yang tidak tahan lama sehingga mudah hilang.
Pada kasus studi menggunakan ornamen Betawi (ondel-ondel), dan pada salah satu atap bangunannya terdapat ornamen Bali.
Menurut Drs.Saleh Danasasmita, yang dikutip pada Arsitektur Tradisional Jawa Barat, mengatakan bahwa orang Sunda pada yang masa lampau dikenal sebagai orang nomad, hidup secara semi sedenter dengan
berpindah-pindah mengikuti perladangan, sehingga
mereka tidak pernah mendirikan rumah-rumah permanen.
Skema Warna Pada umumnya bangunan maupun
interior pada rumah tradisional Sunda tidak memiliki warna yang mengikat. Biasanya warna materialnya dipilih sesuai dengan warna asli (alam).
Fibria Mugia Mukti pada makalah
akademik UNIKOM (2002: 51)
sebagimana dikutip dari buku “Sejarah Perkembangan seni Pewayangan di Jawa Barat”, (Proyek Penelitian & Pencatatan Kebudayaan Jawa Barat, 1987) hal 107-109, pada tradisi masyarakat Sunda dikenal konsep penggunaan warna yang memiliki
makna perlambangan, hal ini
penerapannya disesuaikan dengan arah mata angin. Arah mata angin tersebut dikenal dengan istilah “nu opat kalima pancer”, Nu opat kalima pancer melambangkan alam manusia atau buana panca tengah. Persesuaian warna dengan arah mata angin ini dapat dilihat pada bagan sebagai berikut :
Seperti pada rumah tradisional Sunda, pada kasus studi ini pun tidak
menggunakan warna-warna yang
mengikat pada material arsitektur maupun interior restoran. Warna materialnya pun disesuaikan dengan warna aslinya (alam).
Skema warna pada kasus studi, sama halnya
Utara
Konsep Penghawaan Sistem penghawaan yang digunakan
pada rumah tradisional Sunda adalah penghawaan alami. Penghawaan alami ini didapatkan melalui jendela jalosi, yakni jendela yang berfungsi untuk mengatur petukaran udara dari dalam ke luar ruangan atau sebaliknya. Jendela ini terbuat dari papan-papan kayu yang sedemikian rupa sehingga udara dapat bebas keluar masuk.
Sistem penghawaan pada kasus studi ini adalah menggunakan penghawaan alami. Penghawaan alami didapatkan pada ventilasi udara dan lubang-lubang angin.
Sistem penghawaan disini, sama-sama
menggunakan penghawaan alami. Karena Kampung Daun Culture Galery and Cafe sendiri berada di daerah pegunungan yang udaranya cukup sejuk.
Konsep Pencahayaan Pencahayaan disini menggunakan
pencahayaan buatan yaitu
menggunakan lampu minyak/ obor. Selain pencahayaan buatan, rumah
tradisional ini pun menggunakan
pencahayaan alami yang cukup didapat dari sinar matahari melalui jendela dan pintu.
Konsep pencahayaan disini terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Pencahayaan Alami
menggunakan daylight, melalui
lubang ventilasi dan bukaan pintu.
2. Pencahayaan buatan
- General Lighting : menggunakan
lampu downlight. Seperti pada
musholla, office, toilet, dan pada ruang galery.
-Special Lighting : menggunakan
lampu spotlight dan lampu
gantung, pada beberapa tempat yang menjadi vokal point.
-Lampu Obor : sepanjang kiri kanan jalan sepanjang area restoran yang menuju saung-saung.
Pencahayaan disini sama-sama
3.3 Konsep Material dan Teknik Konstruksi 3.3.1 Atap
Atap pada kasus studi menggunakan 2 jenis atap, yaitu menggunakan atap perisai
dan atap pelana. Atap perisai menggunakan jenis atap perisai patah ke dalam,
yang terlihat seperti atap julang ngapak pada rumah tradisional Sunda. Atap perisai ini digunakan pada ruang office dan salah satu saung pada kasus studi.
Sedangkan atap pelana digunakan pada saung-saung. Struktur atapnya memakai
bahan yang terbuat dari daun kelapa, alang-alang, bahkan genting modern.
Gambar 28. Atap Perisai, Kampung Daun
Sumber : Dok Pribadi peneliti
Gambar 29. Atap Pelana, Kampung Daun
Sumber : Dok Pribadi peneliti
3.3.2 Tiang
Unsur utama bangunan terdiri dari rangka tiang dan balok kayu. Tiang ini terletak
di atas kolom batu yang disebut tatapakan. Ketinggian tiang dan dimensi tiang
tersebut ditentukan oleh proporsi bangunan. Bagian ini terbuat dari kayu dan
bambu. Bambu yang digunakan adalah bambu bitung, sedangkan untuk kayu
menggunakan kayu bangkirai. Material bambu digunakan pada pawon, sedangkan
material kayu digunakan kayu pada ruang office, saung-saung, dan ruang serbaguna.
Gambar 30. Tiang Bambu dan Kayu, Kampung Daun
Sumber : Dok Pribadi peneliti
3.3.3 Lantai
Lantai interiornya menggunakan papan kayu bangkirai, sedangkan untuk interior
menggunakan plesteran dan lantai yang terbuat dari batu alam digunakan pada
Gambar 31. Pola Lantai, Kampung Daun Sumber : Dok Pribadi peneliti
3.3.4 Pintu dan Jendela
Daun pintu dan jendela terbuat dari kayu bangkirai, untuk pintunya menggunakan
pintu putar biasa dengan arah buka ke dalam. Sedangkan untuk jendelanya
menggunakan jendela jungkir/jungkit dengan arah bukaan dari dalam ke luar.
Pintu, dengan arah bukaan ke dalam.
Jendela jungkir/jungkit, dengan arah bukaan dalam ke luar.
3.3.5 Dinding
Untuk dindingnya menggunakan dinding permanen dan semi permanen. Untuk
dinding permanen menggunakan dinding batu alam (batu pecah), sedangkan untuk
yang dinding semi permanen menggunakan dinding rangka (menggunakan
kerangka yang terbuat dari kayu). Untuk dinding semi permanen menggunakan
bahan bilik dan papan-papan kayu. Untuk dinding permanen terdapat pada dapur,
sedangkan dinding semi permanen terdapat pada pawon, office, maupun pada saung-saungnya.
Gambar 32. Dinding Permanen (batu pecah), Kampung Daun
Sumber : Dok Pribadi peneliti
Gambar 33. Dinding Semi Permanen (kayu), Kampung Daun
3.3.6 Tatapakan
Pada Kampung Daun Culture Galery and Cafe, untuk tatapakannya
menggunakan batu berbentuk balok yang berdiri tegak dengan permukaan pada
sisi atas lebih kecil daripada permukaan sisi bawah (bentuk lesung).
Gambar 34. Tatapakan bentuk lesung, Kampung Daun
Sumber : Dok Pribadi peneliti
3.4 Elemen Dekoratif dan Warna 3.4.1 Elemen Dekoratif
Kampung Daun sendiri tidak menggunakan ragam hias yang diambil pada
kebudayaan tradisional Sunda, karena seperti kita ketahui bahwa ragam hias pada
arsitektur Sunda hanya terdapat pada rumah-rumah bangsawan (keraton), karena
seperti kita ketahui bahwa ada kelangkaan akan ragam hias pada rumah-rumah
masyarakat tradisional Sunda, yakni ;
1. Tidak ada kebiasaan pada orang Sunda pada masa lampau membuat
ukiran-ukiran tertentu pada bagian-bagian rumah seperti tiang (saka) rumah dan
2. Perhatian orang Sunda pada waktu itu lebih banyak perhatiannya pada soal
bangunan itu sendiri yang sewaktu-waktu ditinggalkannya dalam rangka
kehidupan semi sedenter.
3. Beberapa bentuk ragam hias sederhana dibuat pada bagian-bagian rumah yang
terbuat dari bambu yang tidak tahan lama sehingga mudah hilang.
Gambar 35. Beberapa ragam hias, Kampung Daun
Sumber : Dok Pribadi peneliti
3.4.2 Skema Warna
Pada umumnya bangunan maupun interior pada rumah tradisional Sunda tidak
memiliki warna yang mengikat. Biasanya warna materialnya dipilih sesuai dengan
warna asli (alam). Seperti pada rumah tradisional Sunda, pada kasus studi ini pun
tidak menggunakan warna-warna yang mengikat pada material arsitektur maupun
interior restoran. Warna materialnya pun disesuaikan dengan warna aslinya