• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat sekitar situ akibat musibah Situ Gintung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat sekitar situ akibat musibah Situ Gintung"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam

(S.Sos.I)

Oleh:

AZHAR FIRDAUS

NIM. 107054002177

JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 25 Mei 2011

(5)

i

Azhar Firdaus

Dampak Sosial Ekonomi terhadap Masyarakat Sekitar Situ Akibat Musibah Situ Gintung

Situ Gintung dulunya adalah sebuah danau alami berupa rawa-rawa. Setelah itu, danau itu diperluas dengan tambahan fungsi yang bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya. Pada tahun 2009, danau ini ambrol karena tidak kuat lagi menahan limpahan air di dalamnya. Ketika tragedi Situ Gintung terjadi, banyak aspek sosiologis dan ekonomi masyarakat yang berubah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dampak bagi masyarakat sekitar Situ Gintung akibat dari tragedi ini. Dampak ini menghasilkan perubahan-perubahan sosial ekonomi bagi masyarakat. Melalui proses wawancara dan observasi, dapat diketahui bahwa terdapat berbagai dampak yang terjadi di masyarakat, yaitu dampak pada pekerjaan, kelembagaan sosial, dan sistem nilai.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke

Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Pelaksanaan skripsi ini yang berlangsung

selama kurang lebih 3 bulan tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak sebagai berikut:

1. Orang tua, Muhammad Puteh dan Mariani ZA, dan kakak, Amalia

Zahra, atas segala perhatian, kasih sayang, semangat, motivasi,

dukungan, dan do’a yang peneliti dapatkan selama pelaksanaan skripsi.

2. Bapak Dr. Arief Subhan, MA. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan

Ilmu Komuniasi, Bapak Drs. Wahidin Saputra, MA. Selaku Pembantu

Dekan 1, dan Bapak Drs. H. Mahmud Jalal, MA. Selaku Pembantu

Dekan II yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Tantan Hermansah, M. Si, selaku pembimbing skripsi, atas segala

bimbingan, nasihat, kritik, dan motivasi yang diberikan selama

melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

4. Ibu Wati Nilamsari, M.Si selaku Ketua Jurusan Pengembangan

Masyarakat Islam dan Bapak Drs. M. Hudri, M. Ag. selaku Wakil Ketua

Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam atas segala ilmu yang

diberikan selama masa studi peneliti di Jurusan Pengembangan

(7)

iii

membimbing peneliti selama mengikuti perkuliahan di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Tommy, selaku informan dan warga RT 001/08 Kp. Gintung Cirendeu,

yang membantu peneliti untuk mendapatkan data mengenai Situ

Gintung dan memperlancar skripsi ini.

7. Seluruh informan yang bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai

demi mendukung kelancaran penulisan skripsi ini.

8. Teman-teman di Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam yang sudah

peneliti anggap sebagai keluarga kedua, Imron, Yovi, Rijal, Pita, Usni,

Tika, Deden, Febiansyah (Tata), Ega, Nawi, Bayu, Anton (Kolay), dan

yang lainnya, yang maaf tidak bisa peneliti sebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Peneliti

menyadari masih ada kekurangan dalam pelaksanaan skripsi ini. Untuk itu,

peneliti menerima segala saran dan kritikan demi perbaikan dan kemajuan

penelitian di masa mendatang. Terima kasih.

Ciputat, 25 Mei 2011

Azhar Firdaus

(8)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metodologi Penelitian ... 9

1. Pendekatan Penelitian ... 9

2. Jenis dan Sumber Data ... 10

3. Teknik Pengumpulan Data ... 10

4. Analisa Data ... 12

5. Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

6. Penetapan Obyek Penelitian ... 14

7. Teknik Penulisan ... 15

8. Sistematika Penulisan ... 15

(9)

v

3. Teori Solidaritas ... 27

B. Sosial Ekonomi ... 28

BAB III GAMBARAN UMUM SITU GINTUNG A.Data Topografi Situ Gintung ... 30

B. Gambaran Umum Warga Sekitar Situ Gintung Sebelum Tragedi Situ Gintung ... 35

1. RT 001/08 ... 35

2. RT 002/08 ... 36

3. RT 003/08 ... 36

4. RT 004/08 ... 37

C. Gambaran Umum Warga Sekitar Situ Gintung Setelah Tragedi Situ Gintung ... 38

1. RT 001/08 ... 38

2. RT 002/08 ... 41

3. RT 003/08 ... 42

4. RT 004/08 ... 42

D. Gambaran Kelembagaan Sosial ... 44

E. Gambaran dan Peran Pemerintah Tangerang Selatan ... 44

(10)

vi

1. Dampak kepada Pola Pencarian Nafkah ... 47

2. Keadaan Ekonomi ... 49

3. Kehilangan Pekerjaan Lama dan berganti dengan Pekerjaan Baru ... 51

4. Jaringan Sosial Pekerjaan ... 51

5. Warga yang mempunyai Pekerjaan Baru dan Tidak Bekerja ... 54

B. Dampak kepada Kelembagaan Sosial ... 54

1. Tumbuh Organisasi Baru ... 54

2. Perubahan Struktur ... 55

C. Dampak kepada Sistem Nilai ... 56

1. Memaknai Masyarakat ... 56

2. Pendidikan ... 57

3. Memaknai Alam (Situ Gintung) ... 58

4. Memaknai Agama ... 59

5. Rasa Solidartitas ... 60

6. Perubahan Hubungan Antarwarga ... 62

7. Nilai-nilai Kepedulian dan Kebersamaan ... 63

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 67

(11)

vii

Gambar 3.1 ... 31

Gambar 3.2 ... 31

Gambar 3.3 ... 31

Gambar 3.4 ... 31

Gambar 3.5 ... 32

Gambar 3.6 ... 33

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 ... 2

Tabel 1.2 ... 3

Tabel 1.3 ... 3

Tabel 1.4 ... 4

Tabel 1.5 ... 4

Tabel 3.1 ... 35

Tabel 3.2 ... 36

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Buku Pemerintahan Kota Tangerang Selatan yang berjudul Data

Korban Bencana Situ Gintung Buku 1, (Waduk) Situ Gintung terletak di

Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Kotamadya Tangerang Selatan, Propinsi

Banten. Menurut catatan, Situ Gintung dibangun oleh pemerintah Belanda pada

tahun 1933 dengan fungsi utama sebagai penampung air untuk mengairi

persawahan yang terletak di bagian hilir (Timur Laut) di bawah tanggul

bendungan. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh pakar BPPT, luas daerah

tangkapan air (catchment) Situ Gintung diperkirakan sekitar 112,5 hektar.

Luas tubuh air Situ Gintung pada saat dibangun tahun 1933 diperkirakan

sekitar 31 hektar, sedangkan perkiraan luas hasil pengukuran oada citra Google

Earth oleh Tim BNPB menunjukkan angka luasan sekitar 24 hektar. Daerah hilir

yang dahulunya merupakan persawahan terletak di sepanjang bantaran (flood

plain) saluran air Situ Gintung yang terletak di cekungan sebelah Timur Laut

tanggul dan dibatasi oleh tebing di sebelah Timur dan Baratnya, dan membentang

hingga Kali Pesanggrahan. Luas wilayah yang dahulunya persawahan ini menurut

pengukuran perkiraan dari citra Google Earth diperkirakan sekirar 18 hektar.

Bencana banjir bandang Situ Gintung terjadi akibat tanggul utama

pembendung air di sekitar bangunan gelontor (spillway) tidak kuat menahan

jumlah air yang meluap. Penyebab jebolnya tanggul masih terus dalam

(14)

2

yang diperkirakan memiliki volume 2 juta m3 segera setelah pecahnya tanggul

menimbulkan banjir bandang yang menghanyutkan tanah dari tanggul dan lumpur

dari Situ, serta beberapa bangunan yang terletak tepat di bawah tanggul.

Turbulensi aliran ke arah hilir diduga makin membesar volume maupun berat

jenisnya akibat makin banyaknya material dari bangunan dan benda-benda lain

yang tersapu banjir. Dampak terbesar dari aliran air dan lumpur ini diduga

mencapai puncaknya pada kawasan pemukiman dan bangunan di sekitar gedung

perpustakaan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang terletak sekitar 650 meter

dari titik pecahnya tanggul.

Menurut buku yang dterbitkan oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan

mengenai Data Korban Bencana Situ Gintung, terdapat rekapitulasi data akhir

korban Bencana Situ Gintung.1

Sumber: Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 2

Dapat dilihat dari tabel di atas, bahwa jumlah jiwa yang paling banyak

mendapat korban adai RT 04 RW 08 yang berjumlah 135 KK (Kartu Keluarga)

1

(15)

atau berjumlah 381 jiwa. Serta yang paling sedikit adalah di RT 05 RW 02 yang

berjumlah 1 KK (Kartu Keluarga) atau berjumlah 6 jiwa.

Terdapat 87 jiwa yang teridentifikasi dari tragedi Situ Gintung ini, 3 jiwa

tidak teridentifikasi, 8 jiwa memiliki identitas sama, dan 1 orang selamat.

Sumber: Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 1

Jumlah korban meninggal berdasarkan jenis kelamin adalah 28 jiwa

laki-laki, 52 jiwa perempuan, 1 jiwa belum diketahui jenis kelamin. Jumlah korban

meninggal berdasarkan RT/RW adalah 3 jiwa di RT 04/02, 1 jiwa di RT 03/08, 59

Jiwa di RT 04/08, 1 Jiwa di Pratama Hill, 17 Jiwa tidak diketahui RT/RW.3

Tabel 1.3

Sumber: Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 1

Data pekerjaan korban bencana Situ Gintung di RW 02, RW 08, dan RW

11 adalah 90 KK (Kartu Keluarga) bekerja sebagai Wiraswasta, 55 KK (Kartu

Keluarga) bekerja sebagai Swasta, 148 KK (Kartu Keluarga) bekerja sebagai

2

Posko Terpadu Penanggulangan Bencana Situ Gintung, Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 1(Media Center, 2009)

(16)

4

Karyawan, 8 KK (Kartu Keluarga) sebagai mahasiswa, dan 15 KK (Kartu

Keluarga) adalah lain-lain.4 Berikut tabelnya.

Tabel 1.4

Sumber: Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 2

Data pemilik bangunan rumah dan kontrakan yang terkena akibat tragedi

Situ Gintung yaitu Kp. Gunung, Gintung dan Poncol; Charitas; Pratama Hills;

Cirendeu Permai adalah 83 pemilik mengalami rusak berat, 61 pemilik mengalami

rusak sedang, 117 pemilik mengalami rusak ringan, 6 pemilik tidak mengalami

kerusakan, 24 pemilik tidak ada keterangan.5 Berikut tabelnya.

Tabel 1.5

Kp. Gunung, Gintung dan Poncol 157

1 02 03 15 1 5 11 17 Gintung Buku 2(Media Center, 2009)

(17)

6 08 04 63 49 12 14 75

Sumber: Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 2

Dari hasil pengamatan untuk kegiatan penelitian ini, diketahui bahwa

tanggul Situ Gintung sudah selesai dibangun kembali. Dari dua responden yang

diwawancarai, diketahui bahwa tanggul Situ Gintung telah selesai pada bulan

Februari 2011. Perbaikan yang sangat signifikan dari tanggul Situ Gintung, adalah

adanya saluran air untuk mengalirkan air apabila volume air tidak dapat

ditampung. Saluran air ini mengalir sampai ke petukangan. 6

Kita juga bisa melihat bahwa pada sisi kiri saluran air telah dibangun

monumen untuk mengenang korban tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung pada

tahun 2009. Ini menjadi tanda, bahwa kita harus lebih waspada untuk menghadapi

musibah, dan berharap kejadian yang lalu tidak akan terulang kembali.

Ada beberapa warga yang berjalan-jalan di sekitar tanggul Situ Gintung.

Karena sekarang di sekitar Situ Gintung, terdapat jalan untuk pejalan kaki bagi

yang ingin berolahraga atau sekedar melihat tanggul Situ Gintung yang sudah

dibangun kembali. Ada beberapa warung yang menjual makanan bagi para warga

6

(18)

6

sekitar, tetapi memang relatif sepi. Kemudian jika malam tiba, ada berbagai

macam dagangan untuk dijual sehingga di sekitar tanggul Situ Gintung terlihat

ramai oleh pelanggan.7

Kejadian tragedi jebolnya tanggul Situ Gintung menarik untuk diteliti

karena banyak warga yang menjadi korban dan melahirkan trauma. Banyak warga

kehilangan anggota keluarga, aset, termasuk yang kehilangan pekerjaan.

Akibatnya terjadi perubahan sosial di warga pasca tragedi ini.

Dengan melihat konteks perubahan yang terjadi pada warga sebelum dan

sesudah tragedi, maka penelitian ini dilakukan, dan kemudian peneliti

menuangkannya dalam hasil laporan penelitian yang berjudul “Dampak Sosial Ekonomi terhadap Masyarakat Sekitar Situ Akibat Musibah Situ Gintung”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar penulisan tidak meluas, maka peneliti membatasi masalah hanya

pada dampak sosial ekonomi akibat jebolnya tanggul Situ Gintung terhadap warga

sekitar situ dalam kurun waktu pasca jebolnya tanggul Situ Gintung dari tahun

2009 sampai dengan tahun 2010. Rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dampak sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat Situ

Gintung dan sekitarnya setelah musibah Situ Gintung?

2. Perubahan sosial ekonomi seperti apa yang terjadi pada masyarakat Situ

setelah musibah Situ Gintung?

7

(19)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dampak sosial ekonomi yang terjadi pada

masyarakat Situ Gintung dan sekitarnya setelah musibah Situ Gintung.

2. Untuk mengetahui perubahan sosial ekonomi seperti apa yang terjadi

pada masyarakat Situ setelah musibah Situ Gintung.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Akademis

Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai ekologi manusia, dan

diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dan peningkatan akademis

dalam bidang pengembangan masyarakat yang terkait dengan

keseimbangan antara alam dan manusia. 2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi

masyarakat, agar senantiasa menjaga keseimbangan alam namun juga

memberikan manfaat kepada masyarakat sekitarnya.

E. Tinjauan Pustaka

Sebagai bahan perbandingan dan bahan kajian dalam penulisan skripsi ini,

maka peneliti membahas beberapa skripsi sebagai berikut:

1. Skripsi yang berjudul: Tahapan Penanggulangan Bencana Situ Gintung

oleh PKPU.

(20)

8

Prog. Studi : Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam

Konsentrasi Kesejahteraan Sosial

Lulus : 1431 H/2010 M

Masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah, Pertama: apa saja tahapan

penanggulangan bencana yang dilakukan PKPU untuk Situ Gintung?

Kedua: apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam tahapan

penanggulangan bencana Situ Gintung oleh PKPU?

2. Skripsi yang berjudul: Resiliensi Korban Bencana Situ Gintung dan

Hubungannya dengan Kecenderungan PTSD (Post Traumatic Stress

Disorder)

Penulis : Dewi Anisa Nasrah

Prog. Studi : Fakultas Psikologi

Lulus : 1430 H/2009 M

Masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah: apakah ada hubungan

antara resiliensi korban Situ Gintung dengan kecenderungan PTSD? PTSD

atau Gangguan Stres Pascatrauma merupakan suatu kejadian atau beberapa

kejadian yang dialami atau disaksikan secara langsung oleh seseorang

berupa kematian atau ancaman kematian, atau cedera serius, atau ancaman

terhadap integritas fisik atau diri seseorang. Kejadian tersebut harus

(21)

F. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian

kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh masyarakat misalnya perilaku, persepsi,

motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang

alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.8

Menurut Bogdan dan Taylor, metodologi kualitatif sebagai

prosedur yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.9

Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah jenis penelitian yang

menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh)

dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara

lain dari kuantifikasi (pengukuhan).10

Penelitian kualitatif dapat menunjukkan pada penelitian tentang

kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, atau hubungan kekerabatan.11

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 30

11

(22)

10

2. Jenis dan Sumber Data

Dalam hal ini, peneliti melakukan wawancara dengan narasumber

sebanyak 14 narasumber dengan frekwensi kunjungan sekitar 1 sampai 5

kali kunjungan per narasumber.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan informasi dilakukan dengan wawancara dan

observasi. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)

yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu.12

Ada salah satu metode ketika melakukan wawancara. Yaitu metode

wawancara mendalam. Metode wawancara mendalam secara umum adalah

proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya

jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau

orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman

(guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam

kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan

wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan

informan.13

Pewawancara adalah orang yang menggunakan metode wawancara

sekaligus dia bertindak sebagai “pemimpin” dalam proses wawancara

tersebut. Dia pula berhak menentukan materi yang akan diwawancarai

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, Januari 2007), h. 186

13

(23)

serta kapan dimulai dan diakhiri. Namun, kadang kala informan pun dapat

menentukan perannya dalam hal kesepakatan mengenai kapan waktu

wawancara mulai dilaksanakan dan diakhir.14

Informan adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh

pewawancara. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai dan

memahami data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian.15

Sedangkan obeservasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian

manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu

utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan

kulit. Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk

menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pacaindra mata serta

dibantnu dengan pancaindra lainnya. Di dalam pembahasan ini, kata

observasi dan pengamatan digunakan secara bergantian. Seseorang yang

sedang melakukan pengamatan tidak selamanya menggunakan pancaindra

mata saja, tetapi selalu mengaitkan apa yang dilihatnya dengan apa yang

dihasilkan oleh pancaindra lainnya; seperti apa yang ia dengar, apa yang ia

cicipi, apa yang ia cium dari penciumannya, bahkan dari apa yang ia

rasakan dari sentuhan-sentuhan kulitnya.16

Dari pemahaman observasi atau pengamatan di atas, sesungguhnya

yang dimaksud dengan metode observasi adalah metode pengumpulan data

14

M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Maret 2009), h. 108

15

Ibid, h. 108 16

(24)

12

yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan

dan pengindraan.17

Peneliti mewawancarai warga yang menjadi korban Situ Gintung,

beberapa warga yang mengetahui Situ Gintung baik sebelum dan setelah

tragedi Situ Gintung, Pemerintah Daerah Tangerang Selatan, dan warga

yang tidak mengalami dampak dari tragedi Situ Gintung dan tinggal di

sekitar Situ Gintung. Wawancara ini dilakukan tiga sampai lima kali

wawancara.

Peneliti melakukan pengamatan langsung terhadap Situ Gintung dan

sekitar Situ Gintung baik itu dari kegiatan sosial warganya, maupun dari

kegiatan usaha yang dilakukan warga sekitar Situ Gintung.

4. Analisa Data

Dalam melakukan proses analisis data, ada beberapa

langkah-langkah analisis sebagai berikut18:

a. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Peneliti

menyiapkan transkripsi wawancara dari warga sekitar Situ Gintung,

men-scanning materi, mengetik data lapangan, atau memilah-milah

dan menyusun data tersebut ke dalam jenis-jenis yang tergantun pada

sumber informasi yang peneliti dapatkan pada warga sekitar Situ

Gintung.

17

M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Maret 2009), h. 115

18

(25)

b. Membaca keseluruhan data. Membangun general sense atas informasi

yang diperoleh dari warga sekitar Situ Gintung dan merefleksikan

maknanya secara keseluruhan.

c. Menganalisis lebih detail dengan meng-coding dat. Coding merupakan

proses mengolah materi/informasi menjadi segmen-segmen tulisan

sebelum memaknainya (Rossman & Rallis, 1998: 171). Langkah ini

melibatkan beberapa tahap: mengambil data tulisan atau gambar yang

telah dikumpulkan selama proses pengumpulan di sekitar Situ

Gintung, mensegmentasi kalimat-kalimat (atau paragraf-paragraf) atau

gambar-gambar tersebut ke dalam kategori-kategori, kemudian

melabeli kategori-kategori ini dengan istilah-istilah khusus, yang

seringkali didasarkan pada istilah/bahasa yang benar-benar berasal

dari partisipan.

d. Terapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang,

kategori-kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis. Deskripsi ini

melibatkan usaha penyampaian informasi secara detail mengenai

orang-orang, lokasi-lokasi, atau peristiwa-peristiwa di sekitar Situ

Gintung.

e. Tunjukkan bagaimana deskripsi dan tema-tema ini akan disajikan

kembali dalam narasi/laporan kualitatif.

f. Langkah terakhir dalam analisis data adalah menginterpretasi atau

(26)

14

5. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini penulis lakukan di sekitar Situ Gintung, karena tempat

relatif terjangkau dan hemat biaya. Penelitian dilakukan selama 4 bulan,

yaitu dari bulan Maret sampai bulan Juni 2011 dengan perincian sebagai

berikut:

a. Mematangkan proposal penelitian, membuat desain riset dan

menentukan informan,

b. Melakukan diskusi dengan informan yang telah tercatat, untuk

menetapkan calon narasumber antara lain,

i. Korban tragedi Situ Gintung.

ii. Aparat Pemerintah (Ketua RT 001/08 sampai RT 004/08 dan

Pemerintah Daerah Tangerang Selatan)

iii. Aktivis (Penasehat Ketua RT 001/08)

iv. Warga di sekitar Situ Gintung yang tidak kena bencana.

c. Merapikan hasil wawancara, melakukan analisis dan penyusunan

hasil penelitian.

6. Penetapan Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah aparat, korban tragedi Situ Gintung, dan

warga sekitar Situ Gintung. Penetapan obyek penelitian ini didasarkan dari

berbagai informasi yang didapat dari warga sekitar Situ Gintung, yang

menurut mereka mengetahui mengenai Situ Gintung baik sebelum dan

(27)

7. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan dan transliterasi yang digunakan berpedoman pada

buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang

disusun oleh TIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diterbitkan oleh UIN Jakarta

2007, cet. Ke.1.

8. Sistematika Penulisan

Laporan tugas akhir ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,

teknik penulisan, dan sistem penulisan.

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

Bab ini akan memabahas mengenai teori-teori yang terkait dengan penelitian ini,

yang terdiri dari teori mengenai dampak, sosial ekonomi, perubahan sosial,

struktural fungsional, dan solidaritas.

BAB 3 GAMBARAN UMUM SITU GINTUNG

Bab ini membahas mengenai gambaran umum Situ Gintung dari segi Topografi,

Gambaran Umum Masyarakat Sekitar Situ Gintung Sebelum dan Sesudah Tragedi

Situ Gintung, Gambaran Kelembagaan Sosial, dan Gambaran dan Peran

Pemerintah Daerah Tangerang Selatan.

BAB 4 ANALISIS DARI PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI

(28)

16

Bab ini membahas mengenai hasil dan temuan data yang telah ditemukan, yaitu

Dampak kepada Pekerjaan, Dampak kepada Kelembagaan Sosial, dan Dampak

kepada Sistem Nilai. Kemudian peneliti akan menganalisisnya.

BAB 5 PENUTUP

Bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran yang didapatkan hasil dan

(29)

17

A. Dampak

Dampak dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti benturan,

pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif), benturan

yang cukup hebat antara dua benda sehingga menyebabkan perubahan yang

berarti dalam momentum (pusa) sistem yang mengalami benturan itu. Dampak

ekonomis juga berarti pengaruh suatu penyelenggaraan kegiatan terhadap

perekonomian.1

Dari definisi dampak tersebut, terdapat akibat yang terjadi dari suatu

dampak. Akibat sendiri dalam buku Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti

sesuatu yang merupakan akhir atau hasil suatu peristiwa (perbuatan, keputusan);

persyaratan atau keadaan yang mendahuluinya.2 Sedangkan perubahan sendiri

berasal dari kata ubah, yang berarti menjadi lain (berbeda) dari semula. Jadi,

perubahan adalah hal (keadaan) berubah; peralihan; pertukaran.3

Jadi, dari definisi di atas mengenai dampak sosial ekonomi akibat tragedi

Situ Gintung terhadap masyarakat sekitar situ, terdapat dampak akibat tragedi Situ

Gintung. Dampak di sini yaitu sosial ekonomi yang mengalami perubahan. Sosial

yaitu adanya perubahan rasa solidaritas di masyarakat, kebersamaan di

masyarakat, tingkat agama dan lingkungannya, dan lain sebagainya. Sedangkan

untuk yang ekonomi, terdapat perubahan di masyarakat dari segi hilangnya

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 234

2

Ibid, h. 20 3

(30)

18

pekerjaan, warga yang mendapatkan pekerjaan baru, keadaan ekonomi

masyarakat, dan lain sebagainya.

Untuk memperjelas, penulis menggunakan teori perubahan sosial, teori

struktural fungsional Talcott Parsons dan teori solidaritas Emile Durkheim.

1. Perubahan Sosial

Ada yang memandang masyarakat merupakan sesuatu yang life

dan karena itu pastilah berkembang dan kemudian berubah. Karena itu,

kajian utama perubahan sosial mestinya juga menyangkut keseluruhan

aspek kehidupan masyarakat atau harus meliputi semua fenomena sosial

yang menjadi kajian sosiologi. Cara pandang demikian mengindikasikan

bahwa perubahan sosial mengandung perubahan dalam tiga dimensi:

struktural, kultural, dan interaksional. Jadi, orang baru bisa menyebut telah

terjadi perubahan sosial manakala telah dan sedang terjadi perubahan pada

ketiga dimensi dimaksud. Atau singkatnya, perubahan sosial tak lain

merupakan perubahan yang terjadi dalam organisasi sosial.4

Herbert Blumer melihat perubahan sosial sebagai usaha kolektif

untuk menegakkan terciptanya tata kehidupan baru. Ralp Tunner dan

Lewis M. Killin (1962), perubahan sosial sebagai kolektivitas yang

bertindak terus menerus, guna meningkatkan perubahan dalam masyarakat

atau kelompok.5

4

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua(Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, September 2007), h. 362

5

(31)

Jadi dapat disimpulkan, bahwa perubahan sosial itu merujuk

kepada perubahan suatu fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan

manusia mulai dari tingkat individual hingga tingkat dunia.6

Ahli lain berpendapat bahwa perubahan sosial terjadi karena

adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan

keseimbangan masyarakat, seperti misalnya perubahan dalam unsur-unsur

geografis, biologis, ekonomis, atau kebudayaan. Kemudian, ada pula yang

berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial bersifat periodik dan non

periodik. Pendapat-pendapat tersebut pada umumnya menyatakan bahwa

perubahan merupakan lingkaran kejadian-kejadian.7

Beberapa sosiolog berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial

primer yang menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi

ekonomis, teknologis, geografis, atau biologis menyebabkan terjaidnya

perubahan-perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya (William

F. Ogburn menekankan pada kondisi teknologis). Sebaliknya ada pula

yang mengatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu

atau semua akan menelorkan perubahan-perubahan sosial.8

Dalam teori evolusioner mengungkapkan, bahwa semua teori

evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang

dilalui oleh semua masyarakat. Semua masyarakat itu melalui urutan

pentahapan yang sama dan bermula dari tahao perkembangan awal menuju

ke tahap perkembangan terakhir. Di samping, itu, teori-teori evolusioner

6

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua(Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, September 2007), h. 363

7

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006), h. 263

8

(32)

20

menyatakan bahwa manaka tahap terakhir telah tercapai, maka pada saat

itu perubahan evolusioner pun berakhir.9

Para penganut teori siklus juga melihat adanya sejumlah tahap

yang harus dilalui oleh masyarakat, tetapi mereka berpandangan bahwa

proses peralihan masyarakat bukannya berakhir pada tahap ‘terakhir’ yang

sempurna, melainkan berputar kembali ke tahap awal untuk peralihan

selanjutnya.10

Proses perubahan terdiri dari tiga macam, yaitu penemuan, invensi,

dan difusi.

Penemuan merupakan persepsi manusia, yang dianut secara

bersama, mengenai suatu aspek kenyataan yang semula sudah ada.

Penemuan merupakan tambahan pengetahuan terhadap perbendaharaan

pengetahuan dunia yang telah diverifikasi. Penemuan menambahkan

sesuatu yang baru pada kebudayaan karena meskipun kenyataan tersebut

sudah lama ada, namun kenyataan itu baru menjadi bagian dari

kebudayaan pada saat kenyataan tersebut ditemukan.11

Invensi seringkali disebut sebagai suatu kombinasi baru atau cara

penggunaan baru dari pengetahuan yang sudah ada. Serta proses difusi

adalah perubahan sosial masyarakat yang dikenal, yakni penyebaran

unsur-unsur budaya daru suatu kelompok ke kelompok lainnya. Difusi

berlangsung baik di dalam masyarakat maupun antarmasyarakat.12

9

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid 2 Edisi Keenam (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 1984), h. 208-209

(33)

Difusi terjadi manakala beberapa masyarakat saling berhubungan.

Masyarakat juga dapat mengelakkan diri dari difusi dengan dengan cara

mengeluarkan larangan dilakukannya dengan kontak masyarakat lain.13

2. Teori Struktural Fungsional

Teori Struktural Fungsional yang dipakai adalah teori struktural

fungsional Talcott Parsons. Bahasan tentang fungsionalisme struktural

Parsons ini akan dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem

“tindakan”, terkenal dengan skema AGIL.14

A G I L. Suatu fungsi (function) adalah “kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem”

(Rocher, 1975:40). Dengan menggunakan definisi ini, Parsons yakin

bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua sistem, yaitu sebagai

berikut15:

a. Adaptation (Adaptasi): sebuah sistem harus menanggulangi situasi

eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

b. Goal attainment (Pencapaian tujuan): sebuah sistem harus

mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.

c. Integration (Integrasi): sebuah sistem harus mengatur antarhubungan

bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus

mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).

13

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid 2 Edisi Keenam (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 1984), h. 213

14

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam(Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, Februari 2010), h. 121

15

(34)

22

d. Latency (latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus

memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi

individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan

menopang motivasi.

Parsons mendesain skema AGIL ini untuk digunakan di semua

tingkat dalam sistem teoritisnya. Dalam bahasan tentang empat sistem

tindakan di bawah, akan dicontohkan bagaimana cara Parsons

menggunakan skema AGIL.16

Organisme perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan

fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah

lingkungan eksternal. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian

tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya

yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi

integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi

komponennya. Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi

pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai

yang memotivasi mereka untuk bertindak.17

Karya Parsons dengan peralatan konseptual seperti empat sistem

tindakan dan fungsi imperatif menimbulkan tuduhan bahwa ia

mengetengahkan teori struktural yang tak mampu menjelaskan perubahan

sosial. Parsons yang telah lama merasakan tuduhan ini menyatakan bahwa

meski studi tentang perubahan itu perlu, namun harus didahului oleh studi

tentang struktur. Tetapi, sekitar tahun 1960-an ia tak lagi mampu melawan

16

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam(Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, Februari 2010), h. 121

17

(35)

serangan dan mengalihkan perhatiannya ke arah tentang perubahan sosial,

terutama studi evolusi sosial.18

Teori Evolusi. Orientasi umum Parsons untuk studi tentang

perubahan sosial dibentuk oleh biologi. Untuk menerangkan proses ini

Parsons mengembangkan apa yang disebutnya “Paradigma Perubahan

Evolusioner”.19

Komponen pertama paradigma itu adalah proses diferensiasi.

Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan

subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan

makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat

berubah, subsistem baru terdiferensiasi. Tetapi ini belum cukup, subsistem

baru ini juga harus lebih berkemampuan menyesuaikan diri ketimbang

subsistem terdahulu. Jadi, aspek esensial paradigma evolusioner Parsons

adalah kemampuan menyesuaikan diri yang meningkat. Proses ini

dilukiskan Parsons seperti berikut ini20:

Karena proses diferensiasi menghasilkan sistem yang makin

berkembang dan seimbang, setiap instruktur yang baru saja

terdiferensiasi...tentu mempunyai kapasitas menyesuaikan diri yang

meningkat untuk melaksanakan fungsi utamanya jika dibandingkan

dengan pelaksanaan fungsi oleh struktur yang lebih menyebar

18

Ibid, h. 133 19

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam(Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, Februari 2010), h. 133

20

(36)

24

sebelumnya... Proses ini dapat kita sebut sebagai aspek peningkatan

kemampuan menyesuaikan diri dari lingkungan evolusioner.

Selanjutnya Parsons menyatakan bahwa proses diferensiasi

menimbulkan sekumpulan masalah integrasi baru bagi masyarakat. Ketika

subsistem-subsistem berkembang biak, masyarakat berhadapan dengan

masalah baru dalam mengoordinasi operasi unit-unit yang baru muncul

itu.21

Masyarakat yang mengalami evolusi, tentu akan berubah dari

sistem yang berdasarkan kriteria askripsi (ascription) ke sistem yang

berdasarkan kriteria prestasi. Keterampilan dan kemampuan yang lebih

besar diperlukan untuk menangani masalah subsistem yang makin

menyebar. Kemampuan umum para aktor harus dibebaskan dari

ikatan-ikatan askriptifnya sehingga dengan demikian kemampuan aktor itu dapat

dimanfaatkan oleh masyrakat. Ini berarti bahwa kelompok-kelompok yang

semula tidak mendapat peluang untuk memberikan kontribusi kepada

masyarakat, harus mendapat kebebasan sebagai anggota penuh dari

masyarakat.22

Terakhir, sistem nilai dari masyarakat sebagai satu kesatuan pasti

mengalami perubahan serentak dengan perubahan struktur dan fungsi

sosial yang tumbuh semakin terdiferensiasi. Tetapi karena sistem baru itu

semakin bervariasi, maka semakin sulit pula bagi sistem nilai untuk

mencakupnya. Karena itu, masyarakat yang semakin terdiferensiasi

21

Ibid, h. 134 22

(37)

memerlukan sistem nilai yang “menggariskan ketentuan-ketentuan umum

pada tingkat yang lebih tinggi untuk melegitimasi keanekaragaman tujuan

dan fungsi yang semakin meluas dari subunit masyarakat”. Tetapi, proses

generalisasi nilai ini sering tak dapat berjalan mulus karena berhadapan

dengan perlawanan dari kelompok-kelompok yang melaksanakan sistem

nilai sempit mereka sendiri.23

Selanjutnya Parsons menganalisis sederetan masyarakat khusus

yang berada dalam evolusi dari tahap primitif menuju masyarakat modern.

Ada satu hal penting yang ditekankan di sini: Parsons beralih ke teori

evolusi, setidaknya sebagian, karena ia dituduh tak mampu menjelaskan

perubahan sosial. Tetapi analisisnya tentang evolusi bukan dilihat dari

sudut proses; analisisnya itu lebih merupakan upaya untuk menyusun

tipe-tipe struktural dan menghubungkannya secara berurutan. Ini adalah sebuah

analisis perbandingan struktural, bukan studi tentang proses perubahan

sosial. Jadi, ketika ia seharusnya mengamati perubahan pun, ia tetap

melakukan studi tentang struktur dan fungsi.24

Media Pertukaran Umum. Salah satu cara Parsons memasukkan

aspek dinamis, yang berubah-ubah, ke dalam sistem teorinya adalah

melalui gagasannya tentang media pertukaran umum di dalam dan di

antara empat sistem tindakan (terutama dalam sistem sosial) yang dibahas

di atas. Model untuk media pertukaran umum ini adalah uang, yang

berperan sebagai medium di dalam perekonomian. Tetapi, selain

memusatkan perhatian pada fenomena material seperti uang, Parsons juga

23

Ibid, h. 134 24

(38)

26

memusatkan perhatian pada media simbolik dari pertukaran. Bahkan

ketika Parsons membicarakan uang sebagai medium pertukaran di dalam

sistem sosial, ia lebih memusatkan perhatian pada kualitas simboliknya

ketimbang kepada kualitas materialnya. Di samping uang dan

simbol-simbol yang lebih jelas lainnya, terdapat media pertukaran umum

lainnya—seperti kekuasaan politik, pengaruh, dan komitmen terhadap

nilai. Parsons menjelaskan mengapa ia memusatkan perhatian pada media

simbolik pertukaran: “Pengenalan suatu teori media ke dalam perspektif

struktural bagi saya adalah untuk menolak tuduhan bahwa tipe analisis

struktural ini secara inheren ternoda oleh bias statis, yang membuatnya

mustahil untuk diterapkan pada problem-problem yang dinamis”.25

Media simbolik pertukaran, seperti uang, mempunyai kapasitas

dapat diciptakan dan beredar dalam masyarakat yang lebih luas. Jadi, di

dalam sistem sosial, orang yang berada dalam sistem politik mampu

menciptakan kekuasaan politik. Lebih penting lagi, mereka dapat

mengeluarkan kekuasaan politik itu, dengan demikian memungkinkannya

beredar secara bebas di dalam dan berpengaruh terhadap sistem sosial.

Melalui pengeluaran kekuasaan seperti itu, para pemimpin memperkuat

sistem politik maupun masyarakat secara keseluruhan. Lebih umum lagi,

inilah media umum yang beredar antara empat sistem tindakan dan di

dalam struktur masing-masing sistem itu. Keberadaan dan gerakan media

25

(39)

umum pertukaran inilah yang memberikan dinamisme terhadap sebagian

besar analisis struktural Parsons.26

3. Teori Solidaritas

Menurut Durkheim, masyarakat kuno ditandai dengan adanya

solidaritas mekanis: bahwa individu bisa dipertukarkan secara internal

(interchangeable), sedangkan kesadaran sepenuhnya berupa moral dan

kepercayaan kolektif. Masyarakat baru juga memiliki ciri berupa

solidaritas organik: yang terdiri dari individu-individu yang jelas-jelas

dibedakan karena pembagian kerja, sehingga kesadaran individual

beremansipasi (bebas) secara luas dalam hal moral dan nilai-nilai

kelompok.27

Sekalipun begitu ada satu risiko utama: bahwa

“Perubahan-perubahan mendalam terjadi pada struktur masyarakat kita, dan dalam

waktu yang agak sedikit singkat. Selanjutnya moral yang terkait dengan

tipe sosial lama mengalami kemunduran, sedangkan moral lain tidak

cukup cepat berkembang dalam kesadaran kita. Keyakinan kita semakin

kabur, tradisi sudah kehilangan kekuasaannya dan penilaian individual

terbebas dari penilaian kolektif. Namun kehidupan yang baru muncul ini

tidak terorganisasi sedemikian rupa sehingga bisa memenuuhi kebutuhan

akan keadilan yang bangkit dari hati kita.” Masyarakat baru yang selalu

mendorong lebih jauh pembagian kerja ini tampaknya mereduksi individu

dari pekerjaan yang dilakukannya: karena “Perintah yang menjadi

26

George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam(Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, Februari 2010), h. 136

27

(40)

28

kategori kesadaran moral tengah mengambil bentuk berikut: mulailah

dengan situasi yang bisa mengisi fungsi yang telah ditentukan.” Oleh

karena itu tidak ada satu masyarakat pun yang bisa bertahan hidup tanpa

moral, tanpa keyakinan bersama dan tanpa jiwa.28

B. Sosial Ekonomi

Sosial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berkenaan

dengan masyarakat dan perlu adanya komunikasi dalam usaha menunjang

pembangunan ini; suka memperhatikan kepentingan umum (suka

menolong, menderma, dsb).29

Istilah ekonomi lahir di Yunani (Greek), dan dengan sendirinya

istilah ekonomi itu pun berasal dan kata-kata bahasa Yunani pula. Asal

katanya adalah Oikos Nomos. Orang-orang Barat menerjemahkannya

dengan management of household or estate (tata laksana rumah tangga

atau pemilikan)

Ekonomi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian

barang-barang serta kekayaan (seperti hal keuangan, perindustrian, dan

perdagangan); pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dan sebagainya yang

berharga; tata cara kehidupan perekonomian (suatu negara); urusan

keuangan rumah tangga (organisasi negara).30

28

Anthony Giddens, Daniel Bell, Michael Forse, etc, Sosiologi Sejarah dan Berbagai Pemikirannya(Yogyakarta :KREASI WACANA, Mei 2008), h. 49

29

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1085

30

(41)

Dari definisi di atas mengenai sosial dan ekonomi, dapat

disimpulkan bahwa sosial ekonomi adalah suatu interaksi masyarakat yang

terjadi, dan di dalamnya ada proses kegiatan ekonomi yaitu perindustrian,

perdagangan, dan lain sebagainya, serta selalu memperhatikan kepentingan

(42)

30

BAB III

GAMBARAN UMUM SITU GINTUNG

A. Data Topografi Situ Gintung

Menurut Buku Pemerintahan Kota Tangerang Selatan yang berjudul Data

Korban Bencana Situ Gintung Buku 1, (Waduk) Situ Gintung terletak di

Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat, Kotamadya Tangerang Selatan, Propinsi

Banten. Menurut catatan, Situ Gintung dibangun oleh pemerintah Belanda pada

tahun 1933 dengan fungsi utama sebagai penampung air untuk mengairi

persawahan yang terletak di bagian hilir (Timur Laut) di bawah tanggul

bendungan. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh pakar BPPT, luas daerah

tangkapan air (catchment) Situ Gintung diperkirakan sekitar 112,5 hektar.

Luas tubuh air Situ Gintung sendiri pada saat dibangun tahun 1933

diperkirakan sekitar 31 hektar, sedangkan perkiraan luas hasil pengukuran oada

citra Google Earth oleh Tim BNPB menunjukkan angka luasan sekitar 24 hektar.

Daerah hilir yang dahulunya merupakan persawahan terletak di sepanjang

bantaran (flood plain) saluran air Situ Gintung yang terletak di cekungan sebelah

Timur Laut tanggul dan dibatasi oleh tebing di sebelah Timur dan Baratnya, dan

membentang hingga Kali Pesanggrahan. Luas wilayah yang dahulunya

persawahan ini menurut pengukuran perkiraan dari citra Google Earth

diperkirakan sekirar 18 hektar.

Berikut ini beberapa foto yang saya ambil dari aplikasi Google Earth, foto

(43)

berikut ini adalah sebelum terjadinya tragedi Situ Gintung, tepatnya di bagian

belakang Kampus 2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Gambar 3.1 Gambar 3.2

Gambar berikut ini, adalah gambar setelah terjadinya tragedi Situ Gintung.

Tepatnya berada di dekat TK Tunas Mentari yang menjadi sumber jebolnya

tanggul situ gintung.

(44)

32

Gambar di bawah ini, adalah gambar dari lokasi tragedi situ gintung secara

keseluruhan.

(45)

Peneliti mengambil gambar yang diambil dari Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB) menggunakan Citra Satelit. Berikut gambar

sebelum terjadinya tragedi Situ Gintung.1

Gambar 3.6

1

Geospasial, artikel diakses pada 22 Mei 2011 dari

(46)

34

Gambar di bawah ini, adalah gambar yang diambil setelah terjadinya

tragedi Situ Gintung.2

Gambar 3.7

2

Geospasial, artikel ini diakses pada 22 Mei 2011

(47)

B. Gambaran Umum Warga Sekitar Situ Gintung Sebelum Tragedi Situ Gintung

1. RT 001/08

Peneliti mendapatkan data warga RT 001/08 hanya sebatas korban

dari tragedi Situ Gintung. Jumlah warga tetap korban Situ Gintung

berjumlah 27 KK (Kartu Keluarga) dan untuk warga musiman berjumlah

14 KK (Kartu Keluarga).

Untuk pekerjaan di RT 001/08, 16 KK (Kartu Keluarga) bekerja

sebagai Wiraswasta, 10 KK (Kartu Keluarga) bekerja sebagai Swasta, 13

KK (Kartu Keluarga) bekerja sebagai Karyawan, tidak ada mahasiswa, dan

2 KK (Kartu Keluarga) bekerja selain dari berbagai pekerjaan tersebut.3

Berikut tabel data pekerjaan korban bencana Situ Gintung.

Tabel 3.1

Jenis Pekerjaan

RT 001/08 (Berdasarkan

KK)

Wiraswasta 16

Swasta 10

Karyawan 13

Mahasiswa -

Lain-lain 2

Jumlah 41

Sumber: Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 2

3

(48)

36

2. RT 002/08

Tidak ada data yang peneliti dapat dari buku data korban bencana

Situ Gintung Pemerintah Kota Tangerang Selatan.

3. RT 003/08

Peneliti mendapatkan data korban warga RT 003/08 dari tragedi Situ

Gintung. Jumlah warga tetap adalah 20 KK (Kartu Keluarga) dan untuk

warga musiman berjumlah 42 KK (Kartu Keluarga).4

Pekerjaan yang ada di warga korban RT 003/08 adalah 31 KK (Kartu

Keluarga) sebagai Wiraswasta, 22 KK (Kartu Keluarga) sebagai Swasta, 9

KK (Kartu Keluarga) sebagai Karyawan, dan tidak ada mahasiswa.5

Tabel 3.2

Sumber: Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 2

4

Posko Terpadu Penanggulangan Bencana Situ Gintung, Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 2(Media Center, 2009)

(49)

4. RT 004/08

Peneliti mendapatkan data korban warga RT 004/08 dari tragedi Situ

Gintung. Jumlah warga tetap adalah 78 KK (Kartu Keluarga) dan untuk

warga musiman berjumlah 57 KK (Kartu Keluarga).6

Pekerjaan yang dilakukan bagi warga korban Situ Gintung RT

004/08 adalah 27 KK (Kartu Keluarga) sebagai Wiraswasta, 9 KK (Kartu

Keluarga) sebagai Swasta, 87 KK (Kartu Keluarga) sebagai Karyawan, 5

KK (Kartu Keluarga) sebagai Mahasiswa, dan 7 KK (Kartu Keluarga)

memiliki pekerjaan selain dari berbagai pekerjaan tersebut.7

Tabel 3.3

Jenis Pekerjaan

RT 003/08 (Berdasarkan

KK)

Wiraswasta 31

Swasta 22

Karyawan 9

Mahasiswa -

Lain-lain -

Jumlah 62

Sumber: Buku Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 2

6

Posko Terpadu Penanggulangan Bencana Situ Gintung, Data Korban Bencana Situ Gintung Buku 2(Media Center, 2009)

7

(50)

38

C. Gambaran Umum Warga Sekitar Situ Gintung Setelah Tragedi Situ Gintung

1. RT 001/08

Suku warga di sekitar Situ Gintung campuran. Ada yang dari

suku Jawa, Sunda, Betawi dan Aceh. Narasumber sendiri berasal dari

Garut, dan istrinya berasal dari Bogor. Lebih banyak warga sebagai

perantau daripada penduduk asli.8

Peneliti mendapatkan data penduduk ini dari Wakil Ketua RT

001/08, bernama Bapak Bongas. Setelah peneliti mengunjungi Bapak

Bongas, peneliti menanyakan kepada Bapak Yudi, selaku Ketua RT

001/08, yang mengatakan bahwa data penduduk sebelum tahun 2009

belum ada, dan baru dilakukan pendataan penduduk setelah tahun

2009.9

Jumlah penduduk yang peneliti dapatkan dari Bapak Bongas

dari tahun 2010 sampai sekarang, adalah 98 penduduk laki-laki dan

102 penduduk perempuan. Serta data penduduk baru yang berjumlah 5

penduduk laki-laki dan 4 penduduk perempuan.

Menurut penuturan dari Bapak Iqin, selaku keamanan di RT ini.

Ia bertemu tetangga sekitar setiap hari, yaitu bertemu dengan Pak

Ujang, Pak Hamid, Egi, dan Pak Joko. Menurutnya, ia sebagai

keamanan harus menyatu dengan warga. Bapak iqin biasanya

membicarakan dengan warga sekitar mengenai keluhan-keluhan akibat

8

Wawancara Pribadi dengan Shodiqin (Keamanan RT 001/08), Gintung, 26 April 2011 Malam Hari

9

(51)

tragedi Situ Gintung tahun 2009. Menurutnya ketika seseorang

seringkali merenung, akan berakibat penyakit TBC, karena penyakit

TBC berasal dari pikiran kita yang selalu memikirkan mengenai

musibah-musibah yang dialaminya.10

Kebersamaan menurut Bapak Iqin tetap terus dilakukan baik itu

sebelum dan sesudah tragedi Situ Gintung. Kegiatan gotong royong

masih tetap dilakukan dan tidak ada perubahan. Mas Tommy selaku

penasehat Ketua RT 001/08 sering melakukan pendekatan ke

anak-anak remaja, dan mereka dekat dan patuh dengan Mas Tommy.11

Manfaatnya sendiri bagi Bapak Shodiqin ketika sering bertemu

warga sekitar adalah dapat meningkatkan silaturahmi. Karena dalam

agama Islam, diharuskan untuk silaturahmi. Silaturahmi menurutnya

dapat membuat kita awet muda.12

Perasaan trauma yang dialami oleh Bapak Shodiqin masih

tersisa. Tetapi, ia mencoba untuk tidak terlalu menghayati apa yang

sudah terjadi. Ketika Bapak Shodiqin selalu menghayati apa yang

terjadi, ia bisa menjadi gila. Bapak Shodiqin tidak ada keinginan untuk

pindah rumah dari lingkungan sekitar situ, karena menurutnya situ

10

Wawancara Pribadi dengan Shodiqin (Keamanan RT 001/08), Gintung, 14 April 2011 Malam Hari

11

Wawancara Pribadi dengan Shodiqin (Keamanan RT 001/08), Gintung, 26 April 2011 Malam Hari

12

(52)

40

dengan kehidupannya sudah menyatu, sudah menjadi sejarah

baginya.13

Untuk suasana tempat tinggal sendiri, baik sebelum dan sesudah

tragedi Situ Gintung, Bapak Shodiqin merasa nyaman, karena warga

sudah kenal dengannya. Menurutnya, sikap warga di sini, lebih banyak

mengeluarkan keluhan-keluhan yang mereka miliki. Untuk kegiatan

sosial seperti kerja bakti, warga sudah pasti ikut serta, ia yang

mengarahkan warganya.14

Menurut Bapak Bongas, ketika ia bertemu dengan tetangga,

justru tetangga yang mampir ke rumahnya yang sekaligus menjadi

tempat usahanya, ia tidak mengunjungi tetangga sekitar rumah. Yang

dibicarakan biasanya hanya mengenai pendapatan dagang, jika bukan

pendapatan dagang, membicarakan masalah-masalah lain.

Menurutnya, warga berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti. Tetapi

jarang melakukan kegiatan gotong royong.15

Pencarian nafkah di warga RT 001/08 sebelum tragedi Situ

Gintung sebagian besar anak-anak masih bersekolah. Ada yang

menjadi tukang parkir. Ketika sudah lulus sekolah, ada yang bekerja,

ada yang melanjutkan kuliah. Setelah tragedi Situ Gintung, ada yang

kembali melanjutkan untuk berdagang. Tetapi, dulu dengan sekarang

berbeda. Dulu ketika berdagang, ketika ada keuntungan yang didapat,

(53)

bisa ditabung. Tetapi sekarang ketika berdagang, keuntungan yang

didapat tidak bisa untuk ditabung, melainkan digunakan untuk

membayar kontrakan atau tempat sewa berdagang.16

2. RT 002/08

Dari data yang peneliti dapat, Ibu Iyok ternyata baru menjabat

sebagai ketua RT 002/08. Ibu Iyok belum mendata kembali penduduk,

yang ada hanya data dari KK (Kartu Keluarga). KK (Kartu Keluarga)

di RT 002/08 kira-kira 67 KK (Kartu Keluarga).17

Memang di RT 002/08 tidak ada akibat dari tragedi Situ

Gintung. Yang kena hanya warga RT 001/08, 003/08, dan 004/08.

Lokasi yang paling parah terkena akibat tragedi Situ Gintung adalah

warga RT 004/08.18

Warga kompak untuk warga yang lagi dirawat di rumah sakit.

Besuk bersama. Kalau ada orang lahiran, dikasih uang tambahan dari

uang kas yang dikumpulkan. Kebersamaan sesama RT kompak, ada

pengajian, kondangan. Selalu bareng. Sedangkan untuk RT 001/08

tidak aktif. Arisan RW tidak pernah ikut, sekalipun undangan sudah

Wawancara Pribadi dengan Iyok (Ketua RT 002/08), Gintung, 28 April 2011 Siang Hari

18 Ibid

19

(54)

42

sekitar lebih banyak di pengajian, yang dibicarakan biasanya masalah

keluarga. Dan Ibu Iyok lebih banyak melakukan kegiatan di pengajian

sekalipun Ibu Iyok juga bekerja di POSYANDU.20

Pola-pola pencarian nafkah di RT 002/08 sebagian besar

berdagang. Sebagian ada yang bekerja dan menganggur juga. Ada

yang bekerja sebagai guru.21

3. RT 003/08

Warga di RT 003/08 menurut Bapak Sumarno termasuk aktif

dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti pengajian, kerja bakti, dan lain

sebagainya.22

Serta peneliti mendapatkan data dari KK (Kartu Keluarga). Pada

KK (Kartu Keluarga) terdapat perbedaan, yaitu dari segi tahun

dikeluarkan KK (Kartu Keluarga) tersebut.

Untuk di RT 003/08, mayoritas pekerjaan yang dilakukan oleh

warga adalah wiraswasta, guru, dan pegawai. Tidak ada perubahan

dari pekerjaan yang dilakukan oleh warga baik itu sebelum dan setelah

jebol. Karena rumah warga di RT 003/08 tidak ada yang hanyut.23

4. RT 004/08

Untuk RT 004/08, sebelum terjadinya tragedi situ gintung,

terdapat 97 KK (Kartu Keluarga). Bapak Nana selaku Ketua RT

20

Wawancara Pribadi dengan Iyok (Ketua RT 002/08), Gintung, 2 Mei 2011 Siang Hari

21

Wawancara Pribadi dengan Iyok (Ketua RT 002/08), Gintung, 28 April 2011 Siang Hari

22

Wawancara Pribadi dengan Sumarno (Ketua RT 003/08), Gintung, 2 Mei 2011 Siang Hari

(55)

004/08, tidak pernah mendata setiap orang penduduk di RT 004/08, ia

hanya menyalin dari KK (Kartu Keluarga) yang dibentuk menjadi

arsip. Setelah terjadinya tragedi Situ Gintung, ada penambahan

menjadi 119 KK (Kartu Keluarga). Di RT 004/08 lebih banyak

pendatang daripada penduduk asli. Kontrakan di RT 004/08 sangat

banyak. Lebih banyak anak mahasiswa dari UMJ (Universitas

Muhammadiyah Jakarta) dan UIN (Universitas Islam Negeri).24

Yang menjadi korban waktu tragedi Situ Gintung ada 57 pintu

kontrakan. Belum terhitung yang menjadi korban dari warga tetap.25

Kegiatan sosial di warga ini sebelum jebol agak lumayan, tetapi

setelah jebol memang warga sudah pindah dan meninggal, jadi warga

yang mengikuti kegiatan sosial menjadi sedikit. Kegiatan kerja bakti

masih dilakukan di warga RT 004/08.26

Pencarian nafkah di warga RT 004/08 bekerja sebagai kuli

bangunan. Ada juga beberapa yang menjadi karyawan. Sebelum kena

musibah, sebagian ada yang kerja harian lepas, seperti kuli bangunan.

Pegawai hanya beberapa orang, serta Pegawai Negeri Sipil hanya ada

satu. Ada yang bekerja sebagai Guru SD dan sampai sekarang masih

mengajar sebagai Guru SD, sebagian besar bekerja di swalayan.

Untuk yang mengontrak tidak hanya mahasiswa di RT 004/08.27

24

Wawancara Pribadi dengan Nana (Ketua RT 004/08), Gintung, 28 April 2011 Siang Hari

(56)

44

Bapak Nana selaku Ketua RT 004/08, baru tinggal di rumah

yang baru ini selama 1,5 tahun. Sebelumnya Bapak Nana sekeluarga

tinggal di bawah.28

D. Gambaran Kelembagaan Sosial

Ketika peneliti menanyakan mengenai suatu organisasi di sekitar situ

gintung dari Bapak Shodiqin, terdapat organisasi yang bernama Ikatan Pemuda

Situ Gintung. Tetapi ketika peneliti menanyakan mengenai seberapa besar

pengaruh organisasi tersebut dengan warga sekitar dari Mas Tommy, selaku orang

yang mengetahui seluk-beluk Situ Gintung. Menurutnya, organisasi tersebut tidak

berjalan dengan lancar. Maka dari itu, Mas Tommy mendirikan Forum Situ

Gintung.29

E. Gambaran dan Peran Pemerintah Daerah Tangerang Selatan

Pemerintah Daerah Tangerang Selatan menurut Bapak Lamro dari bagian

Kessos Pemerintah Daerah Tangerang Selatan dibentuk pada bulan Januari 2008

berdasarkan UU Nomor 51 Tahun 2008.30 Setelah peneliti menelusuri situs

28

Wawancara Pribadi dengan Nana (Ketua RT 004/08), Gintung, 28 April 2011 Siang Hari

29

Wawancara Pribadi dengan Tommy (Penasehat RT 001/08), Gintung, 30 April 2011 Malam Hari

30

(57)

Tangerang Selatan ternyata persetujuan dari terbentuknya Pemerintah Daerah

Tangerang Selatan pada tanggal 27 Desember 2006.31

Pada bulan Maret 2009 terjadilah tragedi Situ Gintung. Jadi, perbaikan

tanggul dilakukan oleh Pemerintah Tangerang, Pemerintah Daerah Tangerang

Selatan hanya melanjutkan apa yang telah dilakukan.32

Menurutnya, sebelum tragedi Situ Gintung, tidak diperbolehkan warga

untuk membangun rumah di bagian bawah tanggul Situ Gintung. Karena itu

bahaya bagi warga sekitar, baik bertempat tinggal ataupun sekedar bermain di

sekitar tanggul Situ Gintung. Tetapi itu kembali dari kesadaran warga sendiri

untuk mentaatinya.33

Bantuan bencana sendiri sudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah

Tangerang Selatan baik yang terkena korban bencana maupun yang tidak terkena

korban bencana.34

31

Sejarah Kota Tangerang Selatan, artikel diakses pada 28 Juni 2011 dari http://www.tangerangselatankota.go.id/

32

Wawancara Pribadi dengan Lamro S. (Bagian Kessos Pemerintah Daerah Tangerang Selatan), Pamulang, 28 Juni 2011 Siang Hari

33 Ibid

(58)

46

BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS

Terdapat dampak yang terjadi dari jebolnya tanggul Situ Gintung. Bagi

warga, dampak dari tragedi ini, membuat sertifikat tanah rumahnya hilang. Untuk

mendapatkan kembali sertifikat tanah yang sudah hilang warga harus membayar

seharga 1 juta rupiah, yang menurut mereka sangat berat.1

Ketika tragedi Situ Gintung pada tahun 2009, akibatnya tidak lain karena

ulah manusia sendiri. Sekarang bendungan Sintung tidak curam seperti dahulu.

Dan sekarang bendungan Gintung telah dibangun dengan benar-benar aman, agar

kejadian yang dahulu tidak terulang kembali.

Dampak bagi sosial ekonomi warga korban tragedi Situ Gintung, yaitu

kehilangan pekerjaan, kehilangan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Mereka,

sebelum tragedi Situ Gintung, dapat membuka usaha di rumahnya dan bisa

menabung, tetapi sekarang mereka hanya bisa menyewa tempat usaha dari orang

lain, yang diharuskan untuk membayarkan sewa tiap bulannya. Salah satu

informan yang dahulu mempunyai rumah sendiri sekalipun ukuran rumahnya

kecil, sekarang menyewa kontrakan, yang sudah dua bulan belum dibayar.2

Berikut peneliti akan menjelaskan lebih lanjut berbagai dampak sosial

ekonomi yang terjadi setelah tragedi Situ Gintung yang mengakibatkan perubahan

1

Wawancara Pribadi dengan Tommy (Penasehat RT 001/08), Gintung, Maret 2011 Siang Hari

2

(59)

sosial ekonomi di warga sekitar Situ Gintung, yaitu Dampak pada Pekerjaan,

Dampak pada Kelembagaan Sosial, dan Dampak pada Sistem Nilai.

A. Dampak kepada Pekerjaan

Peneliti akan membahas mengenai dampak kepada pekerjaan. Dampak

kepada pekerjaan terbagi menjadi dampak kepada pola pencarian nafkah,

keadaan ekonomi, kehilangan pekerjaan lama dan berganti kepada pekerjaan

baru, jaringan sosial pekerjaan, dan warga yang mempunyai pekerjaan baru dan

tidak bekerja.

1. Dampak kepada Pola Pencarian Nafkah

Warga RT 001/08 sebelum tragedi Situ Gintung sebagian besar

bekerja sebagai wiraswasta, swasta, dan karyawan.3

Di RT ini memang tidak ada korban, tetapi rumah warga hanyut

dari tragedi ini. Dari segi perubahan ekonomi, ada beberapa perubahan

yang dialami warga. Ketika mereka sebelum tragedi Situ Gintung bisa

berdagang di rumahnya sendiri, dan ketika keuntungan yang didapat dapat

ditabung untuk keperluan keluarganya. Tetapi sekarang, mereka

mengontrak dan menyewa tempat untuk berdagang. Ketika mendapatkan

3

Gambar

Gambar 3.1 .......................................................................................................
Tabel 1.1 ...........................................................................................................
Lokasi Tabel 1.1 Jumlah
Tabel 1.2 Jumlah Jiwa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dampak sosial yang dirasakan langsung oleh masyarakat Desa Laksana diantaranya adalah tentang kependudukan dimana dari 30 responden seluruhnya merasakan adanya

Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi kedalam

Dalam mengendalikan dampak sosial setelah adanya pembangunan perumahan, dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat, Sehingga

Dengan pertimbangan bahwa daerah ini adalah merupakan desa yang terkena dampak dari pengembangan ekowisata hutan mangrove di Kota Langsa dan juga merupakan desa

Dampak sosial yang dirasakan langsung oleh masyarakat Desa Laksana diantaranya adalah tentang kependudukan dimana dari 30 responden seluruhnya merasakan adanya

terjadi perubahan signifikan terhadap kondisi drainase yang sebelum ada pembangunan perumahan hanya masih berupa drainase tanah dan setelah adanya pembangunan

Informan : Dari sebelum dan setelah perkembangan ya meningkat mba karena kan setelah mengalami pembangunan dan perawatan oleh pihak pengelola, jadinya kawasan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan Presiden Jokowi Widodo yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No 47 Tahun 2016 Tentang Penetapan Pelabuhan Patimbang Di Kabupaten Subang Provinsi Jawa