• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencitraan Dalam Novel Sepatu Dahlan (Studi Analisis Wacana Kritis Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pencitraan Dalam Novel Sepatu Dahlan (Studi Analisis Wacana Kritis Dalam Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

Leni Cahyani

NIM: 108051000183

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

▸ Baca selengkapnya: identitas film sepatu dahlan

(2)
(3)
(4)
(5)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT, dan kesejahteraan serta kedamaian semoga dilimpahkan kepada mahlukNya yang paling mulia dan sebaik-baik manusia, yakni Nabi Muhammad SAW, para keluarga beliau, para sahabat beliau yang mulia, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan kebaikan hingga hari pembalasan.

Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menyadari benar bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak terkait, peneliti tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, petunjuk dan motivasi yang diberikan, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Strata Satu (S1) di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) Dr. Arief Subhan, M.A, Wakil Dekan I Drs. Wahidin Saputra, M.A, Wakil Dekan II Drs. Mahmud Jalal, M.A, dan Wakil Dekan III Drs. Study Rizal LK, M.A. 2. Drs. Jumroni, M.Si dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan dan

(6)

menyemangati peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 4. Khrisna Pabichara selaku peneliti novel Sepatu Dahlan dan Yunarto Wijaya, S.IP., MM sebagai narasumber pengamat politik yang sudah meluangkan waktunya dan memberikan kesempatan untuk wawancara terkait penelitian novel Sepatu Dahlan.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah mendidik serta memberikan beragam ilmu. Semoga ilmu para dosen dibalas dengan ruang yang tak terhingga.

6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam hal administrasi selama perkuliahan dan penelitian skripsi ini.

7. Orang tua tercinta IbuSutiyah dan Bapak Cecep Sahara atas kesabaran dan kepercayaan mereka yang tak henti-hentinya mendoakan, memberi dukungan moril maupun materil, semangat dan motivasi kepada peneliti. 8. Teman-teman KPI F,C,D 2008 dan teman-teman seperjuangan lainnya

yang tak henti-hentinya menularkan semangat berjuang untuk skripsi. Semoga silaturahmi kita akan tetap terjaga nantinya, dan suatu saat bisa bertemu dan berkumpul kembali untuk mengenang kebersamaan kita. Amin .

(7)

selama ini. Harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi teman-teman mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya bagi peneliti sendiri. Amin

Jakarta, 4 Oktober 2013

(8)

Arifin, Anwar. Komunikasi Politik Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan Strategi dan Komunikasi Politik Indonesia, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2011.

____________. Opini Publik, Jakarta: Gramata Publishing, 2010.

Badara, Aris. Analisis Wacana Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.

Danial, Akhmad. Iklan Politik Tv, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2009.

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LkiS,2006.

Firmanzah, Marketing Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Hasan Lubis, Hamid. Analisis Wacana Pragmatik, Bandung: Angkasa, 1993. Heryanto, Gun gun. Komunikasi Politik Di Era Industri Citra, Jakarta: PT

Laswell Visitama, 2010.

________________. Handout Perkuliahan Matakuliah Komunikasi Politik

________________. dan Farida, Ade rina. Komunikasi Politik, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.

Keraf, Gorys. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende-Flores: Nusa Indah. 1980.

Kurnia Syah Putra, Dedi. Media dan Politik Menemukan Relasi antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Kusmayadi, Ismail. Think Smart Bahasa Indonesia, Bandung : Media Grafindo Pratama, 2006.

Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2007. Margaretha, Selu Kushendrawati. Hiperrealitas dan Ruang Publik:sebuah

analisis cultural studies, Jakarta: penaku, 2011.

(9)

Rachmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.

Sobur, Alex. Dr. M.Si,. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

Sumardjo, Jakob Dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta : Penerbit Gramedia, 1986, cet. Ke-1.

Sutrisno. Metodologi Research, Jogjakarta: Andi Offset, 1989. Wijana. Dasar-dasar Pragmatik, Yogyakarta: ANDI, 1996.

Data Internet

AG Eka Wenats Wuryanta, “perspektif teori kritis dan kultur komunikasi massa”,

http://ekawenats.blogspot.com/2010/05/perspektif-teori-kritis-dan-kultur.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib

Damar Fery Ardiyan, “sedikit catatan: Perspektif Kritis,” artikel diakses pada 30 oktober 2013 dari http://banyulanang.blogspot.com/2011/04/sedikit-catatan-perspektif-kritis,html.

Kamaruddin, “Komunikasi Politik dan Pencitraan,” artikel diakses pada 06

januari 2013 dari

http://kamaruddin-blog.blogspot.com/2010/10/komunikasi-politik-dan-pecitraan.html,

Shinta Kusuma, “Pencitraan Bukan Kamuflase”, artikel diakses pada Tanggal 17

september 2013 Pukul 15:41 wib. Dari

http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pencitraan.bukan.kamuflase/00 1/001/134.

Widodo S Jusuf, Dahlan Iskan Jangan Menapaki Jejak SBY, artikel diakses pada Tanggal 17 september 2013 Pukul 15:41 wib dari

http://politik.kompasiana.com/2012/03/26/dahlan-iskan-jangan-menapaki-jejak-sby-445181.html.

Yasraf Amir Piliag, Simulacra Politik, http://www.unisosdem.org, diakses pada 2 juni 2013. 14.37 wib.

Lain-lain

(10)

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metodologi Penelitian ... 7

F. Tinjauan Kepustakaan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Media Massa Dalam Perspektif Kritis ... 16

B. Analisis Wacana ... 17

C. Citra Politik (Political Image) ... 31

BAB III BIOGRAFI KHRISNA PABICHARA DAN SINOPSIS NOVEL SEPATU DAHLAN A. Riwayat Hidup Khrisna Pabichara ... 39

B. Karya-Karya Khrisna Pabichara ... 41

1. Karya Fiksi Khrisna Pabichara... 41

2. Karya Non-Fiksi Khrisna Pabichara ... 42

C. Gambaran Umum Novel Sepatu Dahlan ... 43

1. Latar Belakang Terbitnya Novel Sepatu Dahlan ... 43

2. Sinopsis Novel Sepatu Dahlan ... 45

(11)

B. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Kognisi Sosial .. 88 C. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Konteks Sosial . 94 D. Interpretasi... 97 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 105 B. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan teknologi sangatlah pesat seiring melihat manusia zaman sekarang yang kini sudah memasuki masyarakat informasi. Beragamnya teknologi sudah menjadi santapan sehari-hari bagi kehidupan manusia. Media misalnya, sebagai alat informasi menjadi sangat penting pada kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ini dikarenakan kebutuhan yang besar dari masyarakat akan informasi. Informasi menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat. Tidak terkecuali yang terjadi pada media tulisan atau cetak yang merupakan bagian dari media massa itu sendiri.

“Beragamnya media massa, khususnya media cetak sangat memperkaya dunia baca bagi masyarakat. Semua pesan dari media massa dikonsumsi oleh masyarakat sebagai bahan informasi dan referensi bagi wawasan ilmu pengetahuan mereka. Karena pada dasarnya media adalah saluran dimana seseorang dapat menyatakan gagasan, isi jiwa atau kesadarannya atau dengan kata lain media adalah alat untuk menyampaikan gagasan.”1

Atar Semi dalam bukunya mengatakan sastra merupakan salah satu karya seni yang bermediakan bahasa. Sastra telah menempati dimensi ruang dan waktu dalam peradaban manusia. Kehadiran sastra tidak dapat ditolak, bahkan kehadirannya telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang mempunyai nilai, hasil imajinasi, dan emosi sehingga dapat diterima sebagai realitas sosial budaya.2

1

Anwar Arifin, Opini Publik (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 116.

2

(14)

Sastra merupakan media komunikasi yang menyajikan keindahan, memberikan makna terhadap kehidupan atau pemberian pelepasan ke dunia imajinasi.3

Dalam era globalisasi ini, media komunikasi merupakan aspek penting dalam edukasi publik dalam hal ini edukasi politik publik. Selain melalui media massa harian seperti surat kabar, media buku saat ini merupakan media informasi yang sangat disukai. Buku mengenai riwayat orang-orang penting di dunia telah banyak digunakan untuk menyampaikan informasi dengan berbagai macam bentuk dan dikemas secara baik. Hal itu dilakukan untuk dapat mencapai sasaran khalayaknya dengan baik dan harus mempertimbangkan dengan cermat dan tepat. Dalam suatu informasi, bahasa merupakan unsur yang terpenting, bahasa tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga bisa menciptakan suatu realitas. Tentu saja dalam hal ini adalah novel.

“Novel adalah salah satu bentuk karya sastra atau karya seni yang mengandung unsur estetika. Hal lain berkaitan dengan isi cerita, sikap yang dideskripsikan dalam novel mampu mengubah sikap hidup seseorang dan memberikan sebuah persepsi terhadap seseorang, mengingat hal itu tentunya novel dapat dimanfaatkan menjadi sarana yang efektif untuk membentuk suatu image dengan sebuah pendekatan yang baru.”4

Novel juga merupakan seni menulis kata-kata yang indah. Itulah kelebihan dari salah satu karya sastra, ia menyodorkan lebih dari sekedar pemberian pengetahuan. Karya sastra seperti novel bisa langsung masuk ke dasar penghayatan yang paling halus dalam diri manusia lewat bahasa, alur cerita, imajinasi yang dirangkai sedemikian rupa. Dalam hal ini sebuah novel menjadi medium dalam pembentukan citra dimana sebuah realita direalisasikan dalam

3

Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi, (Magelang: Indonesiatera, 2003), h. 2.

4

(15)

berupa karya imajinatif. Seperti yang dikemukakan Baudrillard, bahwa kita hidup dalam era simulakra. Dimana batas antara realitas dan citra telah melebur.

Novel dapat memberikan peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, di mana keberadaanya turut membantu perubahan sosial, karena novel tidak hanya sekedar bacaan hiburan saja, tetapi di dalamnya terkandung pelajaran, pengajaran, serta tingkah laku dan pola-pola kehidupan masyarakat. Sehingga hal demikian dapat dengan mudah khalayak terasuki oleh citra yang dibuat tidak sebagaimana adanya.

Di Indonesia buku yang mengupas profil pelaku sejarah, politik, budaya dan sebagainya banyak beredar di pasaran. Buku-buku tersebut mengupas tokoh-tokoh penting yang ada di Indonesia. Termasuk buku dengan berbagai macam alur cerita yaitu novel Sepatu Dahlan. Novel yang salah satunya berfungsi sebagai media komunikasi kini menjadi medium alternatif bagi para politisi untuk melakukan pencitraan, meningkatkan popularitas dan meningkatnya elektabilitas pemilih. Cara ini menjadi efektif karena sebagian isi dari novel mengandung hiburan dan dapat menarik minat pembaca.

Berkaitan dengan hal ini, Noura Books yang menerbitkan novel Sepatu Dahlan pandai memilah sosok yang kisah hidupnya dapat dijadikan sebuah novel.

(16)

sebuah novel juga untuk mendapat keuntungan profit dari terbitnya novel Sepatu Dahlan.5

Novel Sepatu Dahlan adalah karangan Khrisna Pabichara yang menceritakan masa lalu menteri BUMN, Dahlan Iskan. Novel yang memaparkan mengenai profil seorang tokoh politisi merupakan novel yang bertujuan salah satunya adalah untuk menunjukkan citra tokoh tersebut. Selain itu novel dengan konsep seperti ini merupakan buku yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi tokoh tersebut. Bahkan untuk meningkatkan popularitas, berkaitan dengan seorang tokoh Dahlan Iskan yang notabenenya adalah publik figur sebagai Menteri BUMN. Karena terkait dengan citra yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas politisi, begitupun sebaliknya. Sehingga tidak salah politisi melakukan pertarungan pencitraan di dunia politik.

Novel yang mengupas aspek-aspek kehidupan sosial seseorang terkait dengan kehidupan kesehariannya dan menceritakan proses perjuangan hidupnya, serta hal-hal lain yang ada di sekitarnya merupakan suatu media sosialisasi publik yang sangat efektif. Oleh karenanya, saat ini buku maupun novel yang menceritakan profil seseorang seperti autobiografi maupun biografi saat ini banyak bermunculan.

Melihat kisah yang digambarkan dari perjuangan dan pengorbanan yang dialami Dahlan, peneliti melihat bahwa teks tersebut dibentuk berdasarkan kebutuhan dan informasi apa yang akan disampaikan kepada khalayak media, sehingga dikemas melalui sebuah tulisan. Hal itulah yang mendorong keinginan peneliti untuk meneliti lebih jauh cara penyajian suatu pesan dalam novel yang

5

(17)

juga terkait pencitraannya sendiri. Dan mengingat saat ini kesadaran publik mengenai politik pencitraan semakin meningkat. Sehingga, novel yang ditulis Khrisna Pabichara ini menjadi novel best seller yang pernah ditayangkan dalam program Kick Andy Foundation dan diminati oleh para pembaca.

Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini diberi judul “Pencitraan dalam Novel Sepatu Dahlan” (Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel

Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara).

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dalam novel Sepatu Dahlan terdapat banyak pencitraan yang ditekankan ke dalam teks oleh Khrisna Pabichara. Kemampuannya menciptakan citra terhadap sosok Dahlan dapat menunjukkan eksistensi tokoh Dahlan Iskan, bahkan untuk meningkatkan popularitas, berkaitan dengan seorang Dahlan Iskan yang notabenenya adalah aktor politik.

2. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah pada pencitraan tokoh Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Peneliti merumuskan batasan pencitraan tokoh Dahlan Iskan yang mencakup seluruh isi cerita yang terdiri dari 32 bab dan 369 halaman.

3. Rumusan Masalah

(18)

Bagaimana wacana pencitraan dilihat dari segi teks, kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui wacana pencitraan Dahlan Iskan dari segi teks, kognisi sosial dan konteks sosial dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara D. Manfaat Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari segi akademis dan praktis, yaitu:

1. Akademis

Untuk pengembangan ilmu komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi, dan peningkatan wawasan akademis terutama tentang analisis wacana, dengan fokus kepada analisis wacana karya sastra, sehingga secara umum dapat bermanfaat dan memberikan konstribusi bagi kajian komunikasi penyiaran islam.

2. Praktis

(19)

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma penelitian

Peneliti menggunakan paradigma kritis dalam penelitian tentang politik pencitraan Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan. Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat ideologically Oriented Inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai

orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme, materialisme, feminisme, Freireisme, partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara. 6

Dilihat dari ontologis paham paradigma ini sama dengan post positivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical realism) yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan dialog dengan transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. 7

Secara epistimologis hubungan antara pengamat dengan realitas yang menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, aliran ini lebih menekankan subjektifitas dalam menentukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. 8

“Paradigma kritis ini sebenarnya ingin mengoreksi pandangan konstruktivis yang dianggap kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis ataupun institusional. Analisis wacana dalam paradigma kritis ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.

6

Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial

(Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 41.

7

Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, h. 41.

8

(20)

Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai pikirannya.”9

Bahasa ini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa.10

2. Metode penelitian

Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, riset ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data dalam wawancara.11 Pendekatan kualitatif menurut Kirk dan Miller bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia, baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.12

Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teori yang digunakan adalah Teori Wacana Kritis (Critical

9

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lks, 2001), h. 6.

10

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 6.

11

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis: Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2006), h. 58.

12

Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah dengan Pendekatan Kualitatif

(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet ke 1, h. 7.

13

(21)

Discourse) model Teun A. Van Djik. Adapun level yang diteliti menurut level

CD Van Dijk, yaitu level segi teks, level segi kognisi sosial, dan level segi konteks sosial.

Menurut Lexy J. Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subjek penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Penelitian ini dilakukan secara holistik dan dengan cara deskriptif dan dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.14

Dalam skripsi ini penelitian akan dilakukan dengan menggunakan analisis wacana dari Teun Van Dijk dengan perspektif analisis paradigma kritis yang berpandangan bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Komunikasi tidak bisa dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi berlangsungnya komunikasi.15Analisis wacana Teun A Van Dijk menggambarkan wacana dalam 3 dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dalam mengadakan penelitian wacana novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, selain menganalisis teks, juga diperlukan analisis kognisi sosial dan konteks sosial.

Menurut Stuart Hall, titik penting dalam memahami media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan, karena makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, melainkan pada praktik

14

Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 6.

15

(22)

pemaknaan. Dari analisis teks akan diteliti elemen-elemen dari struktur mikro, suprastruktur, dan struktur makro yang terdiri dari tema, latar, detil, maksud, bentuk kalimat, pra anggapan, koherensi, kata ganti, leksikon, grafis dan ekspresi yang digunakan wartawan dalam pemberitaanya. Dengan meneliti hal-hal tersebut, akan diungkap representasi bahasa yang berperan dalam membentuk makna mengenai subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu dan strategi-strategi di dalamnya.

Dimensi kedua yang dipakai dalam penelitian ini adalah kognisi sosial. Paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat yang pada akhirnya posisi tersebut memengaruhi berita, bukan pencerminan dari realitas sebenarnya.16 Hal ini diasumsikan dengan meneliti kesadaran mental individu pengarang dalam membuat teks.

Dimensi ketiga yang diteliti adalah konteks sosial. Dalam aspek konteks sosial akan diteliti kondisi masyarakat (tren yang sedang berkembang dalam masyarakat) yang memengaruhi keluarnya suatu pemberitaan yang disajikan wartawan, karena pada umumnya sebuah pemberitaan yang keluar di media massa mengacu kepada suatu fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Adapun subjek penelitian ini adalah penulis novel Sepatu Dahlan yaitu, Khrisna Pabichara sedangkan objek dari penelitian ini hanya fokus pada isi dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.

4. Teknik Pengumpulan Data

16

(23)

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara teks/ dokumen research. Sebagai metode ilmiah penelitian ini digunakan untuk memperoleh data dalam bentuk pengamatan dan pencatatan dengan sistematis fenomena yang diselidiki.17 Dalam hal ini, melalui wawancara peneliti mempunyai tujuan untuk menggali secara mendalam terkait proses pemaknaan dan pemaknaan itu sendiri dari narasumber.

Peneliti mewawancarai penulis novel Sepatu Dahlan, yaitu Khrisna Pabichara. Dan untuk memperkuat petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara peneliti juga mewawancarai pengamat politik yaitu Yunarto Wijaya, SIP., MM dan penyunting novel Sepatu Dahlan Suhindrati Shinta.

5. Teknik Analisis Data

“Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan ke dalam kategori, menjabarkan dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.”18

Dalam menganalisis data peneliti menggunakan analisis wacana dibandingkan analisis lainnya. Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi.19 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan model Teun A Van Dijk yang menggambarkan wacana dalam 3 dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Alasan peneliti menggunakan analisis wacana karena penelitian ini tidak hanya membahas teks semata, namun juga dapat melihat bagaimana suatu pesan disampaikan melalui kata, frasa, kalimat ataupun bentuk metafora apa yang disajikan juga terdapat makna ideologi dalam produksi teks.

17

Sutrisno, Metodologi Research (Jogjakarta: Andi Offset, 1989), h. 192.

18

Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, cv. 2010), h. 89.

19

(24)

6. Teknik Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance).

F. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penyusunan penelitian ini, terdapat beberapa skripsi yang dijadikan tinjauan pustaka, diantaranya:

1. Analisis Wacana Pesan Moral Dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Skripsi ini ditulis oleh Siti Aminah, mahasiswi fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Skripsi ini menggunakan model wacana Van Djik yang menggambarkan sturuktur pragmatik atau struktur kebahasaan dalam novel laskar pelangi (LP). Novel yang sangat fenomenal beberapa tahun lalu dengan penjualan terbaik di Indonesia .

2. Analisis wacana citra perempuan dalam tabloid nova edisi khusus kecantikan tanggal 21-27 november 2011. Skripsi ini ditulis oleh Tiara Mustika, mahasiswi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Konsentrasi Jurnalistik. Skipsi ini menekankan kepada artikel-artikel tabloid nova yang dapat membentuk pemikiran khalayak mengenai permasalahan seputar makna kecantikan perempuan dan kriteria apa yang harus dimiliki perempuan agar dapat dikatakan cantik.penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kritis.

(25)

media massa melalui program-programnya dapat membuat khalayak untuk berpikir mengenai hal apapun kepada pemikiran yang diarahkan media massa, termasuk citra mengenai perempuan yang ideal. Skripsi ini mencoba meneliti pembentukan citra perempuan ideal tersebut oleh media massa dengan cara menganalisis wacana-wacana yang terdapat dalam sinetron yang berjudul Dewi Fortuna.

Dari beberapa tinjauan pustaka di atas penelitian ini memiliki karakter yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari latar belakang dan analisis yang berbeda dari penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dan penelitian yang penulis lakukan diharapkan memberi tambahan atau pelengkap dari penelitian yang dilakukan sebelumnya.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan dalam penulisan ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan penulisan, dimana masing-masing dibagi ke dalam sub-sub dengan rincian sebagai berikut:

Pada bab satu peneliti akan menguraikan latar belakang masalah yang menjadi alasan peneliti melakukan penelitian terhadap novel Sepatu Dahlan, juga batasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegiatan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, kajian teori dan sistematika penulisan.

(26)

membahas tentang pengertian citra, media massa dalam pencitraan, dan simulakra.

Sedangkan pada bab tiga ini berisi biografi (riwayat hidup) penulis yaitu Khrisna Pabichara yang meliputi sejarah singkat Khrisna Pabichara, Karya-karyanya dan ringkasan cerita novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Selanjutnya pada bab empat berisi hasil analisis dan temuan peneliti yang meliputi Analisis wacana kritis pencitraan Dahlan dalam novel Sepatu Dahlan dilihat dari analisis teks yang meliputi struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro, analisis wacana kritis novel Sepatu Dahlan dilihat dari kognisi sosial, analisis wacana kritis novel Sepatu Dahlan dilihat dari konteks sosial.

(27)

TINJAUAN TEORITIS

A. Media massa dalam perspektif kritis

Perspektif kritis berasal dari asumsi-asumsi teori Marxis. Pendekatan kritis meneliti kondisi sosial serta membongkar tatanan kekuasaan. Teori tradisional cenderung bersifat netral, ia hanya menyediakan diri sebagai alat untuk menganalisis secara teknis setiap hal dan keadaan termasuk masyarakat. Maka teori kritis ini bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari masyarakat yang irasioanal, selain itu, memberikan kesadaran untuk pembangunan masyarakat rasional yang mana merupakan tempat manusia untuk memuaskan semua kebutuhan dan kemampuannya. Sebagaimana yang diungkapkan Marx Horkheimer.1

Bebarapa teoritisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bertahan dari gempuran pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang publik di mana kekuatan elite dominan mampu secara efektif dikritisi secara maksimal. Dalam perdebatan teoritis ini memang harus diperlihatkan sejauh mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang bersifat empirik positivistik.2

Teori kritis secara klasifikatif dapat digolongkan pada kelompok aliran Neo Marxis, namun dalam perdebatan filosofis ada yang menganggap bahwa teori

1Damar Fery Ardiyan, “sedikit catatan: Perspektif Kritis,”

http://banyulanang.blogspot.com/2011/04/sedikit-catatan-perspektif-kritis,html. artikel diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.

2AG Eka Wenats Wuryanta, “perspektif teori kritis dan kultur komunikasi massa”,

(28)

kritis teori yang bukan Marxis lagi. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran Marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Media dalam konteks teori kritis selalu berhubungan dengan ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.3

“Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia. Seluruh aktifitas dan makna simbolik dapat dilakukan dalam teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu eklas tertentu. Pada titik tertentu teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis.”4

Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas dari kepentingan, terutama sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya. Dalam artian ini media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensinya logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada dirinya bias atau terdistorsi.

Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini merupakan proses interplay yang mana proses ekonomi politik dalam media akan membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media tersebut. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum

3

Litlejohn (2002), dalam artikel: AG, Eka Wenats wuryanta, “teori kritis dan varian paradigmatis dalam ilmu komunikasi,” http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-dan-varian-paradigmatis.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.

(29)

tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.

B. Analisis wacana

1. Konsep Analisis Wacana

Dalam suatu studi terhadap media, terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, yaitu analisis isi, analisis framing, analisis semiotika, dan analisis wacana. Posisi keempatnya sama-sama berada dalam pembahasan terhadap isi media, khususnya dengan, metodologi kualitatif. Perbedannya adalah pendekatan analisis isi hanya bertujuan melihat peristiwa apa yang diberitakan pada suatu media (to find what), sementara kegiatan pendekatan lainnya melihat bagaimana wartawan memandang suatu peristiwa (to find how). Seiring perkembangannya, analisis isi dinilai memiliki banyak keterbatasan untuk menganalisis isi pesan, terutama dalam menyingkap tingkat ideologis suatu media.

Sementara seperti yang Alex Sobur katakan bahwa dengan analisis framing, analisis semiotika, dan analisis wacana, dapat dipahami bahwa isi media itu dipengaruhi oleh berbagai komponen dalam institusi media itu sendiri.5 Rincinya, analisis isi hanya melihat apa yang tertulis dalam teks media. Analisis semiotika meneliti tanda-tanda yang terdapat dalam bahasa atau gambar. Analisis framing membedah cara-cara atau ideologi media dalam mengonstruksi fakta dengan melihat bagian-bagian yang ditonjolkan, dihilangkan, dan arah suatu pemberitaan. Sedangkan analisis wacana melihat bagaimana cara media/

5

(30)

wartawan mewacanakan suatu berita, dengan meneliti struktur dan kesinambungan suatu teks. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan analisis wacana.

Istilah wacana secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, artinya „berkata‟ atau berucap‟. Kata tersebut mengalami

perkembangan menjadi wacana. Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan. Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para linguis di Indonesia sebagai terjemahan istilah dari bahasa inggris discourse. Kata ini diturunkan dari dis (dan/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari).6

Dalam buku Alex Sobur dituliskan pengertian wacana menurut Ismail Maharimin, yakni sebagai kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya, komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.7 Sedangkan menurut Roger Flower dalam buku Eriyanto mengatakan wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman.8

Mengenai pengertian analisis wacana, Alex Sobur berpendapat bahwa wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.9

6

Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, dalam PELLBA (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 3.

7

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 10.

8

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media , h. 2.

9

(31)

Pembahasan wacana pada segi lain adalah membahas bahasa dan tuturan itu harus di dalam rangkaian kesatuan situasi penggunaan yang utuh. Analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks dari pada penjumlahan unit kategori, dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan pengamatan dan penafsiran peneliti.10

Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana dalam bahasa. Pandangan pertama dituturkan kaum positivism-empiris, menurutnya analisis wacana menggambarkan tata tuturan kalimat, bahasa, dan pengertian bahasa. Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme, yang menempatkan analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu. Pandangan ketiga, disebut sebagai paradigma kritis yang menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna, di mana bahasa dipahami sebagai reprentasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.11 Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan.12 Pandangan ini melihat bagaimana kedudukan wartawan dan media yang bersangkutan dalam keseluruhan proses berita.

2. Analisis Wacana dalam Paradigma kritis

Menurut Eriyanto, dalam khasanah studi analisis tekstual analisis wacana masuk dalam paradigma kritis dimana paradigma kritis ini melihat pesan sebagai

10

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks (Yogyakarta: LkiS,2006), cet. Ke-7, h. 337.

11

Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 19-20.

12

(32)

pertarungan kekuasaan, sehingga teks dipandang sebagai bentuk dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain.13

Sebagaimana dikutip Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media, paradigma kritis menurut Stuart Hall bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas yang dipandang alamiah tersebut, tetapi juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari pertarungan kekuasaan tersebut, melalui mana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak. Sedangkan menurut Stephen W. Littlejohn paradigma kritis yaitu, perkembangan teori komunikasi massa yang didsasarkan pada tradisi kritis Eropa (Marxis) cenderung memandang media sebagai alat ideologi kelas dominan.14

Fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses pengiriman pesan kepada khalayak, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan pada saat berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan untuk memproduksi makna tertentu.

Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Paradigma kritis melihat komunikasi dan proses yang terjadi di dalamnya haruslah dengan pandangan holistik. Menghindari konteks sosial akan menghasilkan distorsi yang serius. Paradigma kritis bersifat holistik dan bergerak dalam struktur sosial ekonomi masyarakat. Karena menurut pandangan kritis, komunikasi tidak dapat dilepaskan

13

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 21-22.

14

(33)

dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi berlangsungnya komunikasi.

Menurut Eriyanto ada beberapa pertanyaan yang muncul dari sebuah paradigma kritis, yaitu siapakah (orang/kelompok) yang menguasai/mengontrol media? Kenapa ia mengontrol? Dan Apa keuntungan yang didapat oleh seseorang/kelompok tersebut dengan mengontrol media? Pihak manakah yang tidak dominan?, sehingga tidak bisa mempunyai akses dan kontrol terhadap media bahkan hanya menjadi objek pengontrolan?15 Pertanyaan tersebut menjadi penting karena paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang tidak dominan bahkan mengelompokkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media.

3. Pengertian Analisis Wacana Kritis

Sebagaimana dikutip Eriyanto dalam bukunya analisis wacana menurut Michael Foucault sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga memengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.16 Berdasarkan hal tersebut analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkap kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana.

Dari beberapa pengertian wacana yang disampaikan di atas, analisis wacana kritis lebih mengerucut. Dalam pendekatan kritis memandang bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek

15

Alex sobur, Analisis Teks Media, h. 24.

16

(34)

serta berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Analisis wacana kritis yang juga menggunakan pendekatan kritis menganalisis bahasa tidak saja dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks untuk tujuan dan praktik tertentu. Analisis wacana kritis menggali secara mendalam unsur-unsur yang terdapat dalam suatu wacana.

Mengutip Fairclough dan Wodak dalam Analisis Wacana yang ditulis Aris Badara mengatakan bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari analisis kritis17 :

a. Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions) yaitu mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Seseorang berbicara menulis, menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain.

b. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana dipandang produksi dan dimengerti dan dianalisis dalam konteks tertentu.

c. Historis. Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks.

d. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan. Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apapun tidak di pandang sebagai sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat.

17

Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media,

(35)

Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana kelompok dominan memerkuasai dan mengomunikasikan kepada khalayak kekuasaan yang mereka miliki sehingga absah dan benar.18

4. Model Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana ini memiliki beberapa model analisis, yaitu model Roger Fowler dkk., model Theo Van Leeuwen, model Sara Mills, model Teun A. Van Djik dan model Norman Fairclough. Secara singkat, perbedaan kelima model tersebut dapat dilihat pada tiga tingkatan analisis wacana: 1) analisis mikro, yang mempelajari unsur bahasa pada teks, 2) analisis makro, yang menganalisis struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, dan 3) analisis meso, yaitu analisis pada diri individu sebagai pemroduksi teks dan juga analisis pada sisi khalayak sebagai konsumen teks. Pada model analisis Roger Flower dkk., Theo van Leeuwen, dan Sara Mills, analisisnya hanya dipusatkan pada analisis mikro dan analisis makro tanpa mengikutsertakan analisis meso. Ketiga analisis tersebut memiliki kekuatan praktik sosial dan politik yang tercipta dalam masyarakat.

Sebagaimana dikutip Eriyanto, Sara Mils dalam konsepnya lebih melihat pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi subyek penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan akan menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Selain itu juga diperhatikan bagaimana pembaca dan

18

(36)

penulis ditampilkan dalam teks dan bagaimana pembaca diidentifikasikan dirinya dalam penceritaan teks.19

Adapun Theo Van Leeuwen memusatkan analisisnya terutama pada keterkaitan antara analisis di tingkat mikro dengan analisis di tingkat makro. Ia mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana.20

Sementara, pada model Van Dijk dan Farchlough, selain memasukkan analisis mikro dan makro, terdapat juga analisis meso yang melihat bagaimana suatu konteks diproduksi dan dikonsumsi. Sehingga dapat dipahami bahwa di antara lima model analisis wacana, analisis Van Dijk dan Fairclough memiliki kelebihan di antara tiga analisis lainnya. Namun, model yang paling banyak dipakai adalah model analisis Van Dijk yang dapat mengelaborasikan elemen-elemen wacana sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara lebih praktis dan dapat diterapkan pada berbagai bentuk wacana.

Kognisi sosial yang diperkenalkan Van Dijk, diadopsi dari ilmu psikologi sosial. Kognisi sosial ini digunakan untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Dalam metodenya Van Dijk menggunakan metode penafsiran dalam memahami suatu teks. Metode penafsiran ini mempunyai kelebihan yaitu peneliti tidak hanya dapat melihat makna yang terdapat dalam suatu teks semata, tetapi juga dapat menyelami makna yang tersirat dalam teks tersebut.

5. Analisis Wacana Teun A. Van Djik

“Critical discourse analisyst (CDA) has become the general label for a study pf text and talk, emerging from critical linguistics, critical semiotics and in general from sosio-politically conscious and oppositional way of investigating language, discource and communication”.21

19

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 200-201.

20

Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 171.

21

(37)

“Discourse analysis is concerned with the study of relationship between language and the contexts in which it is used. Discourse analysist study language in use: written texts of all kinds, like speech and spoken data from conversation to highly institutionalized forms of talk”.22

Dari dua pernyataan di atas dapat dipahami bahwa analisis wacana kritis bermula dari linguistik kritis, semiotika kritis dan kesadaran sosiopolitik dan merupakan sisi lain penelitian mengenai bahasa, wacana dan komunikasi. Penelitian ini berfokus pada hubungan antara bahasa dan konteks. Konteks dalam analisis wacana Van Dijk berfokus pada aspek bahasa non-verbal, aspek sosial dan aspek situasional dari kegiatan komunikasi, misalnya latar belakang sejarah dan politik, situasi di mana teks tersebut diproduksi dan sebagainya:

Menurut Van Djik, wacana dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat). Wacana juga dapat digunakan untuk mendeskriminasi atau mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi.23 Van Dijk menggambarkan bahwa wacana mempunyai tiga dimensi yang terdiri dari teks, kognisi sosial dan konteks sosial yang digabungkan ke dalam suatu kesatuan analisis.

Skema penelitian dan metode analisis wacana Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1.

Skema Penelitian dan Metode Van Dijk

22

Teun Van Dijk, Handbook of Discourse Analysist (Amsterdam: academic press, 1988), h. 1.

23

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 71.

Struktur Metode

Teks

Menganalisis bagaimana strategi wacana yang digunkan untuk

(38)

Sumber: Eriyanto24 a. Teks

Teun A. Van Dijk membuat kerangka model analisis wacana, ia melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing masing bagian saling mendukung. Van Djik membaginya kedalam tiga tingkatan:

1. Struktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.

2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh.

24

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.

menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu.

Kognisi Sosial

Menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis.

Wawancara mendalam

Konteks Sosial

Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan.

(39)

3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai dan sebagainya.25

Struktur/elemen yang dikemukakan Van Djik ini dapat digambarkan sebagai berikut26:

Tabel 2

Struktur model analisis Wacana Van Dijk

Struktur wacana Hal yang diamati Elemen

kro TEMATIK wacana lainnnya, yaitu unsur kognisi sosial, yang meneliti bagaimana suatu teks diproduksi dengan memperhatikan latar belakang kepercayaan, pengetahuan, prilaku, norma, nilai dan ideologi yang dianut wartawan sebagai bagian dari suatu

25

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.73-74

26

(40)

grup. Dalam kerangka analisis Van Djik, perlu ada penelitian mengenai kognisi sosial yang meneliti kesadaran mental wartawan, dalam hal karya sastra maka bisa dikatakan kesadaran mental pengarangnya dalam membentuk teks dalam karyanya. Dalam pandangan Van Djik, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, maka dibutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa.27

Dalam hal ini diperhatikan bagaimana suatu teks diproduksi dan bagaimana cara ia memandang suatu realitas sosial sehingga dituangkan ke dalam sebuah tulisan tertentu dalam dimensi kognisi sosial yang memiliki hubungan erat dengan proses pembuatan teks dimana peristiwa atau informasi yang hendak ditonjolkan, ditutup- tutupi, waktu, kejadian, dan lokasi, keadaan yang relevan atau perangkat yang dibentuk dalam struktur teks.

c. Konteks sosial

Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi, konteks sangat penting untuk menentukan makna dari suatu tujuan. Konteks sosial berusaha memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa.

Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi dipandang sebagai politik

27

(41)

berkomunikasi suatu acara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang.

Dalam pandangan Van Djik, teks itu dapat di analisis dengan menggunakan elemen tersebut. Untuk memperoleh gambaran dari elemen struktur wacana (teks) di atas, berikut adalah penjelasan secara singkat:

1) Tematik

Elemen tematik menunjukkan pada gambaran umum dari suatu teks.

Secara harfiah tema berarti “sesuatu yang diuraikan”, yaitu suatu amanat

utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya.28 Tema bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.29 2) Skematik

Skematik menggambarkan bentuk wacana umum yang disusun dengan sejumlah kategori seperti pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan masalah, penutup, dan sebagainya. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti.30

Struktur skematik memberikan tekanan pada bagian mana yang didahulukan dan bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting.

28

Gorys Keraf, Komposisi; Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Ende-Flores: Nusa Indah. 1980), h. 107

29

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 229

30

(42)

3) Semantik

Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik leksikal (unit semantik terkecil) maupun makna gramatikal (makna yang terbentuk dari gabungan satuan-satuan kebahasaan).31

4) Sintaksis

Menurut Pateda dalam buku Analisis Teks Media yang ditulis oleh Alex Sobur, Secara etimologis, kata sintaksis berasal dari kata yunani (sun=

„dengan‟ + tattein= „menempatkan‟). Jadi secara etimologis berarti

menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase.32 Sintaksis bisa juga diartikan sebagai tata bahasa yang membahas hubungan antar kata dalam tuturan/kalimat.

5) Stilistik

Stilistik menitikberatkan pada style (gaya bahasa) yaitu cara yang digunakan pengarang untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana.

6) Retoris

Retoris adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya dengan pemakaian kata yang berlebihan (hiperbolik), atau bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat

31

Wijana, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: ANDI. 1996), h. 1.

32

(43)

dengan bagaimana pesan itu disampaikan kepada khalayak.33 Strategi retoris juga muncul dalam bentuk interaksi, yakni bagaimana pembicara menempatkan/memposisikan dirinya diantara khalayak.

C. Citra Politik (Political Image)

Rachmat Kriyantono dalam bukunya yang berjudul Teknik Praktis Riset

Komunikasi menyatakan bahwa citra merupakan “mental pictures” yang dibentuk

akibat terpaan stimulus.34Citra merupakan sebuah persepsi tentang suatu realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas yang ada. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima.35 Menurut Nimmo (1978), citra adalah segala hal yang berkaitan dengan keseharian seseorang menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu.36 Jalaluddin Racmat menyatakan bahwa citra membentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi untuk khalayak dimana informasi tersebut membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra.37

Politik citra merupakan penggambaran tentang suatu tokoh dalam situasi dan kondisi apa saja baik politik, sosial, budaya dan lain-lain. Dimana ia berperan aktif dalam kegiatan politik dan dapat membentuk image diri menjadi sesuatu yang ia inginkan. Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi

33

Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 83-84

34

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana. 2007), h. 350.

35

Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 223.

36

Kamaruddin, Komunikasi Politik dan Pencitraan,

http://kamaruddin-blog.blogspot.com/2010/10/komunikasi-politik-dan-pecitraan.html, artikel diakses pada 06 januari 2013, pukul 11:17

37

(44)

realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis.38

Dari definisi-definisi tersebut di atas maka citra itu pada intinya bisa disimpulkan:

1. Kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan 2. Citra merupakan kesan atau impresi seseorang terhadap sesuatu. 3. Citra merupakan persepsi yang terbentuk dalam benak manusia

4. Citra adalah pencapaian tujuan dari kegiatan PR, Citra sesuatu yang abstrak tidak dapat diukur dalam ukuran nominal, tapi dapat dirasakan, dan bisa diciptakan.39

Citra di dalam politik lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya citra lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat oleh pemilih tetapi citra merupakan negoisasi, evaluasi, dan konstruksi oleh kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama.

Pada dasarnya praktek politik pencitraan merupakan strategi bagi politisi untuk mendapatkan dukungan dan perolehan suara. Melalui berbagai media dapat membantu mengemas secara signifikan citra aktor dengan mengkostruksi

38

Gun gun Heryanto, Komunikasi Politik; Di Era Industri Citra (Jakarta:Lasweel Visitama, 2010), h. 51

39

Akmal Fauzi, “Kajian Pencitraan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

(45)

masyarakat agar dapat memberikan efek positif. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan dengan kekuatan media dalam memproduksi citra politik.

Di masa lampau, bahkan hingga saat ini pun, politik selalu mendapatkan cap buruk. Padahal sesungguhnya semua orang berpolitik, bahkan ketika sikapnya

adalah „tidak berpolitik‟ itu adalah suatu bentuk keputusan politik.40 Dengan

membanjirnya informasi yang diterima konsumen politik, masing-masing partai politik (dan politisi) perlu memikirkan strategi yang dapat menentukan kemenangan. Ketika semua partai politik (dan politisi) melakukan hal yang sama, yaitu membeberkan rancangan program kerja mereka, makai partai politik (dan

politisi) membutuhkan „image‟ untuk membedakan satu partai politik dengan

partai politik lainnya.41

Terdapat beberapa hal yang terkait dalam strategi pembangunan image politik, antara lain:42

1. Waktu

Untuk membangun image dibutuhkan waktu yang relatif lama karena masyarakat dan media perlu merangkai satu-persatu pesan dan aktivitas politik untuk kemudian dimaknai dan dibentuk pemahaman umum atas image politik.

2. Konsistensi

Membangun image membutuhkan konsistensi dari semua hal yang dilakukan partai politik (dan politisi) bersangkutan untuk mencegah ambiguitas

40

Firmanzah, Marketing Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 229

41

Firmanzah, Marketing Politik, h. 230

42

(46)

atau inkonsistensi dalam hal-hal yang dilakukan yang membuat image yang terekam di kalangan publik menjadi tidak utuh.

3. Kesan dan Persepsi

Image politik adalah kesan dan persepsi publik terhadap apa saja yang dilakukan partai politik (dan politisi) sehingga mereka harus mampu menempatkan kesan, citra, dan reputasi olitik mereka dalam benak masyarakat. Hal ini menjadi sangat sulit karena masyarakat memiliki derajat kebebasan (degree of freedom) yang cukup tinggi untuk mengartikan semua informasi yang mereka terima.

4. Kesadaran

Image politik terdapat dalam kesadaran publik yang berasal dari memori kolektif masyarakat. Masyarakat dan publik adalah entitas yang aktif dan dinamis. Penilaian-penilaian yang berlangsung di masyarakat inilah yang dapat memunculkan kesan dan image politik.

D. Simulacra Politik

Simulasi (simulation) adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak mempunyai asal-usul atau referensi realitas, sehingga memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata. Sedangkan simulakra (simulacra) adalah sebuah duplikasi dari duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan asli menjadi kabur.43

Pemikiran Jean Baudrillard masih lekat dengan pemikiran Marshall McLuhan dalam mengkaji fenomena media, dalam membentuk masyarakat

43

(47)

konsumen. The Simulation dan simulacra adalah konsep yang penting dalam menjelaskan efek media, konsep yang diusung oleh Baudrillard ini mengasumsikan apa yang dibangun oleh media akan menjadi kenyataan. Terlebih lagi ketika kenyataan hasil konstruksi media lebih nyata dari kenyataan yang sesungguhnya sehingga menjadi populer konsep hyperrealitas.

Begitu besarnya pengaruh media terhadap pembentukan realitas, efek media terasa sangat kuat terhadap khalayak. Dampak histeris yang dapat dilihat secara kasat mata ketika khalayak dan seorang tokoh yang dikonstruk oleh media melakukan meet and great seolah-olah tokoh itu layak dipuja dan diidolakan.

Menurut Baudrillard penjelasan di atas adalah manusia hidup dalam era ketidaknyataan, kehidupan yang dijalani melebihi dari aturan normal bagi kebanyakan orang, media telah memanipulasi melalui perkembangan teknologi komunikasi. Baudrillard memudahkan para peneliti melihat fenomena komunikasi berbasis teknologi informasi. Seperti fenomena tentang masyarakat informasi dan realitas simbolik media. Budaya elektronik memudahkan media membangun opini kepada khalayak sehingga mudah berkembang.44

Politik pencitraan pada dasarnya adalah merupakan simbiosis antara strategi politik dengan teknik pencitraan yang di dalamnya ada pengemasan terhadap sesuatu objek pelaku politik baik itu perorangan (tokoh politik) maupun kelompok (partai politik). politik pencitraan digunakan dalam rangka mempengaruhi persespi, perasaan, pilihan dan keputusan politik tertentu.45

44

Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik; Menemukan Relasi antara Dimensi Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 113-114.

45

(48)

Pendekatan politik pencitraan secara esensial digunakan untuk menciptakan ketersambungan atau kontinuitas antara realitas dan citra politik. namun dalam imagologi politik, pendekatan pencitraan juga bisa digunakan untuk hal sebaliknya, dimana bila terjadi diskontinuitas antara citra politik dan realitas politik. dalam hal ini pencitraan digunakan untuk menciptakan realitas kedua (second reality) yang didalamnya terdapat kebenaran yang dimanipulasi. Sehingga realitas yang digambarkan lewat pencitraan (realitas virtual) seolah-olah merupakan realitas sebenarnya (realitas aktual). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa politik pencitraan merupakan interprestasi dari simulasi realitas (simulakra).

Jean Baudrillard dalam simulations (1981) mengatakan bahwa simulakra adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Simulakra politik adalah penggunaan tanda dan citra dalam politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya citra telah terputus dari realitas yang direpresentasikan sehingga didalamnya bercampur aduk antara yang asli/palsu, realitas/fantasi, kenyataan/fatamorgana, citra/realitas yang menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas (masquerade of reality).46

46

(49)

SINOPSIS NOVEL SEPATU DAHLAN

A. Riwayat Hidup Khrisna Pabichara

Khrisna Pabichara atau yang biasa disapa Daeng Marewa adalah asli orang indonesia, ia lahir di Sulawesi Selatan, tepatnya di daerah Borongtammatea kabupaten Jeneponto 89 kilometer dari Makassar, pada tanggal 10 november 1975. Beliau merupakan putra kelima dari tujuh bersaudara dari sepasang petani Yadli Malik Daeng Ngadele dan Shafiya Djumpa yaitu seorang pendongeng spesial bagi anak-anak dan cucu-cucunya.

(50)

Group Teater yang dibuatnya sering diundang untuk mengisi acara drama dan teater rakyat di TVRI Stasiun Ujung Pandang.

Kegiatan berkesenian itu agak berkurang sejak pemilik hobi gila menulis ini melanjutkan pendidikan dengan jurusan akutansi yang ditekuninya, dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh sebuah lembaga perbankan. Maka, beliau mengabdi selama tiga tahun untuk mendalami akutansi. Setelah kontrak kerja usai, Juni 1997, pendiri Teater Tutur ini memutuskan berhenti dan merantau ke tanah Jawa. Bogor menjadi pilihan saya. Hingga saat ini bersama keluarga, saya masih menetap di Bogor.1

Penyuka prosa ini merupakan ayah dari dua orang putri, berprofesi sebagai penyunting lepas dan aktif dalam berbagai kegiatan literasi. Terobsesi menjadi penulis sejak kecil ini mengatakan, ‘jika ada mimpi, cita-cita, atau harapan terbesar dalam hidup saya, pasti ‘menulis’ jawabannya.’ Sejak duduk di sekolah menengah beliau kerap membayangkan buku yang dianggitnya bisa terpajang disalah satu toko buku. Lalu, pada 1997 tahun mulanya Khrisna merantau ke pulau Jawa dan meninggalkan tanah kelahiran, Makassar dengan mengusung harapan besar menjadi penulis. Menekuni hobi sebagai penulis merupakan kenyataan tidak semudah yang terbayangkan.

Hingga akhir 2003, tak satupun penerbit yang menerbitkan buku puisi karyanya. Dengan menerima jawaban dari penerbit bahwa kumpulan puisi tak laku di pasar buku, bahkan gubahan penyair ternama sekalipun. Pernyataan tersebut tidak membuatnya putus asa, bahkan akibat penolakan-penolakan itu

1

(51)

membuat gairah pemimpi menjadi seorang penulis ini terbakar semakin membara. Hingga kemudian ia beralih sejenak ke dunia non-fiksi.

Pada tahun 2007, akhirnya lahirlah buku pertama yang berjudul 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang. Membuatnya seolah bertemu jodoh, setelah

sepuluh tahun menunggu untuk dapat melihat hasil karyanya terpajang di sebuah toko buku. Selama sepuluh tahun itu pula, beliau berkutat di dunia pendidikan dan perbukuan, seorang trainer dan motivator pengembangan kecakapan belajar ini juga semakin aktif menulis esai, cerpen dan puisi di media, juga bergiat sebagai penulis dan penyunting di Kayla Pustaka. Dalam bersastra, ia bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara dan Kmunitas Planet Senen. Dengan demikian buku demi buku berlahiran.

Karya-karyanya atau buku-buku yang telah diterbitkan yaitu sejak April 2013, penyuka prosa ini sudah menggait 16 buku. Fiksi dan non-fiksi. Karya fiksi yang berupa kumpulan puisi, cerita pendek, dan novel. Sedangkan non-fiksi selalu terkait dengan pengembangan kecakapan belajar. Sebagai berikut.

B. Karya-karya Khrisna Pabichara

1. Karya-karya fiksi Khrisna Pabichara

(52)

e. Hikayat Para Perindu (Puisi, 2011) f. Seseorang Bernama Cinta (Puisi) g. Semesta Cinta (Puisi)

h. Setitik Embun Menggantung di Sudut Matamu (Puisi, 2011) i. Sakramen Rindu (Puisi)

j. Tuhan Mengirimkan Kamu Untuk Kurindui (puisi) k. Revolusi Berkomunikasi

l. Baby Learning: Cahaya Cinta Cahaya Mata m. Kolecer dan Hari Raya Hantu

n. Pepatu Dahlan (Novel: Noura Books, 2012) o. Surat Dahlan (Novel: Noura Books, 2013) 2. Karya-karya non-fiksi Khrisna Pabichara

a. 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang (Kolbu, 2007) b. Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010) c. Kamus Nama Indah Islami (Zaman, 2010)

d. 10 Rahasia Pembelajar Kreatif (Zaman, 2013)

Yang menginspirasi pengarang dalam penulisan semua hasil karya yang telah ada adalah dari segala juru. Kadang lahir dari peristiwa yang diamati selama berhari-hari, kadang hanya terpantik dari sekelebatan peristiwa atau cerita. Terdapat sebuah cerpen yang di anggit oleh penulis novel Sepatu Dahlan ini tersebab dari sebuah berita yang ia tonton di televisi, tentang seorang anak yang „mengawini‟ ibu tirinya. Namun sebagian cerpen yang di

Gambar

Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk
Tabel 2 Struktur model analisis Wacana Van Dijk
gambar, atau tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.37
Tabel 3. Temuan Teks pada novel Sepatu Dahlan

Referensi

Dokumen terkait

Adapun solusi yang terus dilakukan masyarakat dalam novel Sepatu Dahlan untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka adalah sebagai berikut: (1) bekerja keras

Dalam novel Sepatu Dahlan terdapat berbagai jenis kata ulang yaitu kata ulang dwilingga atau perulangan seluruh bentuk dasar tanpa variasi fonem dan afiksasi, kata ulang

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan struktur yang membangun novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara; (2) mendeskripsikan aspek sosial dalam novel

Novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara memiliki pengaluran dan penokohan, hal tersebut dapat dilihat dari kutipan-kutipan yang dituliskan oleh pengarang

Dengan melihat wacana kepemimpinan yang ada di dalam novel Sepatu Dahlan, maka dapat diklasifiksikan pada gaya kepemimpinan yang digunakan oleh Dahlan Iskan adalah gaya

Nilai pendidikan karakter yang ditemukan dalam novel tersebut adalah: (1) nilai religius pada perilaku tokoh Dahlan dan Bapak Dahlan, sejumlah empat kutipan, (2) nilai

Nilai pendidikan karakter apa sajakah yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan. karya

Based on the above description of character investigation values contained in the novel " Sepatu Dahlan” by Khrisna Pabichara became the object of research based on the character