i
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Agar Memenuhi Salahsatu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
oleh :
MOCHAMAD AWALUDIN ROMDONI 108044100034
KO NSENT RASI PE RADIL AN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
ii
KM 08 KERTASARI-PEBAYURAN KAB. BEKASI-JAWA BARAT)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Agar Memenuhi
Salahsatu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar SarjanaSyariah (S.Sy.)
Oleh
MOCHAMAD AWALUDIN ROMDONI 108044100034
Pembimbing Skripsi
(Dr. Hj. Mesraini, M. Ag) NIP. 197602132003122001
KO NSENT RASI PE RADIL AN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
iii
BARAT)”, telah diujikan dalamSidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 09 Mei
2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 09 Mei 2014 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. J.M. Muslimin, M.A. NIP. 196808121999031014
PANITIA UJIAN
1. Ketua Drs. H.A.Basiq Djalil, SH., MA. (...………..)
NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris Hj. Rosdiana, MA. (...………..)
NIP. 196509081995031001
3. Pembimbing Dr. Hj. Mesraini, M. Ag (...………..)
NIP. 197602132003122001
4. Penguji I Dr. H. J.M. Muslimin, M.A. (...………..)
NIP. 196808121999031014
5. Penguji II Drs. H.A.Basiq Djalil, SH., MA. (...………..)
iv
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil plagiasi dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 April 2014
v
terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya beberapa faktor, baik dalam pengelolaan, masalah administrasi serta pengembangan harta benda wakaf ditemukan dalam masyarakat Indonesia.
Fakta demikian banyak ditemukan di beberapa daerah, yang pada akhirnya perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan namun sebaliknya.Bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis, seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah belum jelas dan banyak lagi yang lainnya.Hal itu seperti yang ditemukan oleh penulis di daerah Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi.Yang mana ada beberapa kendala praktik wakaf di daerah itu, hingga kini belum bisa tersertifikasi tanah wakaf.Padahal menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada pasal 32 dan Pasal 68 diwajibkan untuk didaftarkan kepada pihak yang berwenang setelah dilakukan ikrar wakaf didepan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf). Masalah lain dari praktik wakaf di daerah Kertasari yaitu wakif dalam hal ini H. M. Yasin juga turut serta menjadi nadzir (pengelola wakaf) dalam yayasan Hidayatunnajah. Untuk itu bagaimanakah kedudukan kedua masalah tersebut jika dilihat dari segi hukum Islam (fiqh) dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Setelah melakukan observasi dan wawancara denganberbagai narasumber, penulis menemukan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Keabsahan wakaf tidak terlepas dari segi legalitas (sah atau tidaknya) sebuah
praktik wakaf secara hukum. Dalam hal ini kesahihan praktik wakaf dilihat dari pandangan hukum Islam (fiqh), hal tersebut juga tidak terlepas dari kebenaran menurut hukum secara tertulis ataupun pada tataran ijtihad para ulama. Untuk itu diperlukan penelahaan pada kajian normatif (hukum) maupun segi kesejarahan praktik wakaf. Ulama klasik dalam menetapkan sebuah keabsahan wakaf dilihat dari keberadaan syarat dan rukun itu pada praktiknya. Adapun Rukun wakaf menurut mayoritas ulama selain Hanafi adalah orang yang mewakafkan (wakif), tujuan diwakafkan (maukuf ‘alahi), barang wakafan (maukuf bih), dan sighat wakaf. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu shighat. Shighat di sini adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf atau pelafalan yang menunjukan makna (substansi) wakaf. Dan tidak ditemukannya persyaratan keharusan pencatatan ataupun pendaftaran wakaf seperti dalam perundangan Indonesia.
2. Setelah adanya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan
vi
sebelum UU. No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf berlaku. Namun terdapat praktik wakaf setelah lima tahun diberlakukan undang-undang ini maka praktik wakaf tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan mengikat (sah). Pasal 69 undang-undang ini menegaskan: (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini,wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini. (2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
3. Jika dilihat dari segi keabsahannya praktik wakaf di daerah Kertasari Kec.
Pebayuran Kab. Bekasi adalah sah secara fiqh. Karena terkumpulnya syarat dan rukunya seperti wakifnya adalah H. Muhammad Yasin, tujuan wakaf (mauquf ‘alahi) yaitu sebagai balai pendidikan Islam, barang wakafnya (maukuf bih) yaitu tanah dengan luas 84.000 M2 (Delapan Puluh Empat Ribu Meter Persegi) dan tiga buah bangunan di atasnya, ikrar wakaf telah dilakukan oleh wakif baik dengan lisan maupun dengan tulisan tanpa mengandung kesamaran. Untuk masalah pendaftaran wakafnya sendiri demi kepentingan pencatatan administratif, jika dilihat dari perspektif perundangan Indonesia maka belum dikatakan sah sebagai tanah wakaf, karena belum terselesaikannya pendaftaran wakaf itu sendiri. Pendaftaran wakaf merupakan hal terpenting dalam peraturan perundangan Indonesia, karena pencatatan dan pendaftaran menyulitkan sengketa pertanahan (wakaf) dikemudian hari.
vii
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang merajai alam semesta yang telah memberikan kenikmatan kepada semua hamba-Nya sehingga
dengan nikmat tersebut kita semua masih dalam lindungan-Nya.Yakni nikmat iman,
Islam dan kesehatan.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw.
yang menjadi teladan bagi semua manusia tak terkecuali penulis sendiri, semoga kita
semua mendapatkan syafa’atnya di hari akhirat.
Akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul
“Keabsahan Peraktik Wakaf (Studi Kasus Daerah Pebayuran Km 08 Kertasari-Pebayuran Kab. Bekasi Jawa Barat)” .Penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.Dalam penulisan skripsi
ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan jauh dari
sempurna karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata.
Keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas berkat dukungan
doa, moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang
berbahagia ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada
viii
dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.
3. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag selaku pembimbing yang dengan berbagai
kesibukannya masih sempat untuk berdiskusi dan memeriksa skripsi
penulis dan selalu memberikan motivasi serta arahan kepada penulis
dalam penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh Staff pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al-SyakhshiyyahFakultas
Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan
memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini.
5. Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan hukum yang telah memberikan
fasilitas referensi buku-buku dalam studi kepustakaan.
6. Drs. H. Agus Sujadi. Kepala KUA Pebayuran Kab. Bekasi, dan KH
Mahrus Amin. Mudir Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta yang
telah memberikan informasi kepada penulis.
7. Teristimewa untuk ayahanda H. Jamaludin dan ibunda Hj. Mardiah
Akhmad tercinta, yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik
dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak
terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Dan untuk
ix
9. Teman-teman senasib dan seperjuangan Konsentrasi Peradilan Agama
angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
menjadi sandaran dalam keseharian penulis serta tidak pernah henti
memberikan support juga bantuannya dalam penulisan skripsi ini.
10.Teman-teman tercinta Ahmad Fauzi, Faisal hidayatullah, Muhdi Abdul
Aziz, Aufar Ramadano Putra, Ryan Umar, M. Nurul Fachri, M. Subhi
Mahma Soni, dan M Iqbal Perdana yang telah memberikan support,
inspirasi dan motivasi kepada penulis.
Demikian ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan mudah-mudahan
kebaikan-kebaikannya dapat diterima dan dibalas Allah SWT.Dengan kerendahan
hati penulis mengucapkan terimakasih banyak.
Jakarta,11 April 2014
Penulis
x
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv
ABSTRAKSI ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Metodelogi Penelitian ... 14
F. Review Terdahulu ... 19
G. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II KONSEP HUKUM WAKAF ... 24
A. Pengertian Wakaf ... 24
B. Dasar Hukum Wakaf ... 28
xi
KAB. BEKASI-JAWA BARAT ... 44
A. Kronologis Wakaf ... 44
B. Pokok Permasalahan ... 49
C. Data data Terkait ... 51
BAB IV KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF STUDI KASUS DAERAH PEBAYURAN KM. 8 KAB. BEKASI - JAWA BARAT ... 57
A. Keabsahan Wakaf Perspektif Fiqh ... 57
B. Keabsahan dan Prosedur Wakaf Perspektif Perundangan-undangan Indonesia ... 65
C. Analisis Kasus ... 74
BAB V PENUTUP ... 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran-saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 91
1. Surat Wawancara ... 91
2. Hasil Wawancara I ... 92
1
A. Latar Belakang Masalah
Membicarakan tentang persoalan wakaf adalah merupakan isu yang
menarik.1 Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam
yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam ibadah
kemasyarakatan (ibadahijtimaiyah). Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama2
dan kemajuan Negara bangsa.
Tujuan utama Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk
mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang
terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis. Salah satu
langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan
peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan
menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan
1
Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 318.
2
ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum,
sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.3
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta
benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke
tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak
hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir4 dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang
kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya
dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukan wakaf.
Secara bahasa wakaf berasal dari kata waqof yang artinya al-habs
(menahan).5 Dalam pengertian istilah, wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat di ambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk
mendekatkan diri kepada Allah.6 Menurut Sayyid Sabiq wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.7 Menurut Muhammad Jawad
3
Penjelasan UU. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. hlml. 18
4
Adalah orang yang memegang amanah untuk memelihara dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Suhrawardi K. Lubis, dkk, wakaf dan Pemberdayaan Umat,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 150.
5
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 307. Lihat juga Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz Al-maliabary, Fath al-Mu’min, (Semarang: Toha Pura, tth), hlm. 87.
6
Mughniah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaanya dilakukan
dengan jalan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.8
Menurut Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas
suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai
pendekatan diri kepada Allah.9 Sedangkan menurut As Shan’ani, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau
merusakan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.10
Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam fiqh Islam, wakaf
sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat atau
hadits yang menceritakan masalah wakaf ini terkait masalah wakaf tanah, tapi
para ulama memahami bahwa wakaf non-tanah pun boleh saja, asalkan bendanya
tidak langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya.11 Dari beberapa
definisi serta rumusan di atas mengenai pengertian wakaf, penulis menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah suatau usaha menghentikan atau
menahan perpindahan hak milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama,
7
Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 307
8
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khamsah, terj. Masykur Afif Muhammad, Idrus al-kaff, ”Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 635.
9
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Peranada Media, 2003), hlm. 223.
10
Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, Juz 3, (Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-babi al-Halabi, tth), hlm. 114.
11
sehingga manfaat dari harta tersebut dapat di gunakan untuk mencari ridha allah
SWT.
Adapun dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur’an, di antaranya dalam surat Ali Imran ayat 92:
Artinya: kamu sekali – sekali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya allah mengetahuinya (Q.S. ali- imran: 92).13
Kemudian dasar hukum wakaf dalam hadits dijelaskan pula yaitu:
ع ه ص
تأف ر خ ضرأ ر ع صأ :
ع ه ضر ر ع ع
س أ ط ا ضم صأ م ر خ ضرأ ت صأ ه سر : ف ف رمأ س م س
ْش إ ,م س ع ه ص ه سر ف . رمأت ف م د ع
تس ح ت
ف دصت . ر تا
تا ع تا أ ,ر ع دص ف ت دصت صأ
م ع ح جا ف ض س
ه س ف ر ف ر ف ء ر
ف م س ظ
) ع م(ا م
م ر غ معط ف رع م كأ أ
صت : ر خ ة ر
ر ث
ا ع ا صأ د
1412QS: Ali ‘Imran: 92 13
Yayasan Penterjemah/Penafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: DEPAG RI, 1978), hlm. 91
14
Dari Ibnu Umar RA. berkata, bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah bersabda: bila kau suka, kau tahan tanah itu dan engkau shodaqohkan. Kemudian Umar melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak juga dihibahkan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (Muttafaq ‘Alaih) susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak dijual dan tidak dihibahkan, tetapi diinfakkan hasilnya. (HR. Muslim)
Untuk memenuhi kriteria di atas para ulama memberikan rukun wakaf itu
sendiri dengan beberapa rincian. Dan mereka berpendapat bahwa Wakaf
dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat. Rukun wakaf ada 4
yaitu: 1 wakif (orang yang mewakafkan); 2. Maukuf Bih (barang/harta yang di wakafkan); 3. Maukuf alih (peruntukan/tujuan wakaf); 4. Shighat (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harya bendanya).15 Pemberian syarat dan rukun seperti ini merupakan upaya pencegahan (preventif) agar tidak terjadi sengketa wakaf yang tidak diinginkan. Hal demikian merupakan inti dari
ajaran syariat Islam yang menjunjung nilai-nilai kemaslahatan umat manusia.
Melihat kondisi modern yang sangat kompleks, para ulama fiqh
kontemporer telah menelurkan beberapa konsep tentang upaya pencegahan
konflik dalam beberapa hal. Al-Qur’an telah menjelaskan secara umum dalam
15
surat al-Baqarah 282 tentang hutang-piutang yang mewajibkan hutang harus
dicatat guna tidak terjadinya sengketa yang berkepanjangan dikemudian hari. Hal
demikian menjadi pintu ijtihad oleh para ulama untuk menelaah lebih dalam
bahwa tradisi pencatatan dalam beberapa hal seperti kasus perdata/pidana
menjadi sangatlah penting. Misalnya saja peraturan tentang pencatatan
perkawinan merupakan penganalogian (qiyas) antara pencatatan hutang-piutang dengan pencatatan nikah. Dengan demikian meskipun fiqh tidak menjelaskan
secara detail untuk mencatatkan persoalan wakaf, tetapi ada aturan-aturan umum
yang sebetulnya aturan dalam fiqh juga memberikan apresiasi terhadap
pencatatan atau pendaftaran wakaf itu sendiri. Karena fungsi pencatatan amatlah
penting, serta berguna kelak dikemudian hari agar tidak menimbulkan suatu
sengketa. Sebab, masalah perwakafan merupakan hal yang krusial dan sering
menimbulkan sengketa yang berkepanjangan.
Hal itu pula menjadi semangat peraturan perundang-undangan Indonesia
tentang pencatatan serta pendaftaran perwakafan guna mengikis persoalan
sengketa perwakafan yang semakin kompleks. Dimulai dengan kehadiran
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,
menjadi semangat baru dalam peraturan ini mengenai regulasi serta keharusan
pendaftaran wakaf secara tertib administratif yaitu dicatatkan sekaligus
didaftarkan.
Dalam penjelasannya, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah
milik ini tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan
perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan
tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam
bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum dan lain-lain), dan tidak
adanya keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga
banyaklah benda-benda wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya.16
Dengan jelas tata cara mewakafkan dan pendaftarannya telah diatur
dalam Pasal 10 PP. No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakfan Tanah Milik. Yaitu:
(1) Setelah kata Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (1) mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
(3) Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(4) Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksud dalamayat (2) dan (3).
(5) Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya seperti dimaksud ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
Setelah berjalan cukup lama peraturan ini, terdapat beberapa kekurangan,
namun keberadaaan pengaturan wakaf diperkuat dengan sejumlah peraturan yang
16
baru seperti Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum
Islam, kemudian lahir setelah itu juga Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Bisa disimpulkan bahwa seluruh peraturan perundangan yang
berkaitan dengan perwakafan mempunyai prinsip semangat pencatatan serta
pendaftaran harta wakaf kepada pihak yang berwenang. Untuk lebih jelasnya
Pasal 34 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menjelaskan bahwa Pemerintah
berwenang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan tercatat pada
negara dengan status sebagai harta benda wakaf.17 Kewajiban pendaftaran tanah wakaf disebutkan pula dalam Pasal 69 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
yaitu
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini,wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Kesimpulan dari pemaparan diatas, yaitu terdapat perbedaan jelas antara
pandangan fiqh dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait sah
tidaknya perbuatan wakaf. Pandangan fiqh jelas lebih mengedepankan
terpenuhinya syarat dan rukun wakaf itu sendiri pada prakteknya, dan tidak ada
ketentuan harta benda wakaf harus dicatatkan ataupun didaftarkan. Sedangkan
dalam perundangan Indonesia selain terkumpulnya syarat dan rukun wakaf,
pemenuhan agar dicatat serta didaftarkan merupakan sebuah kemestian
17
(keharusan). Yang mana pencatatan dan pendaftaran merupakan langkah
pencegahan dalam konflik yang melibatkan harta wakaf.
Hal itu seringkali terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti praktik
wakaf bagi sebagian masyarakat masih mempergunakan dengan pendekatan fiqh
klasik,18 dikarenakan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat pada wakaf. Seiring berjalannya waktu dan kompleksitas masyarakat, mulailah bermunculan
kasus masalah perwakafan.19 baik itu sengketa intern maupun sengketa ekstern. Banyak kasus yang melibatkan sengketa antara ahli waris si pewakif dengan
nadzir, dengan alasan tertentu, ada juga persoalan mengenai ahli waris dari wakif
ingin menarik kembali tanah yang sudah diwakafkan, sehingga menimbulkan
sengketa pada keduanya. Dan banyak lagi contoh-contoh sengketa wakaf lainnya.
Seperti yang ditemukann oleh penulis tentang pendaftaran tanah wakaf di
Daerah Jl. Raya Pebayuran KM 08 Kertasari, Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat
yang melibatkan beberapa permasalahan mulai dari konflik pencatatan hingga
ketidak-jelasan status tanah wakaf tersebut yang sampai saat ini belum
didaftarkan kepada pihak yang berwenang. Di bawah ini merupakan kronologis
kasus di daerah Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat.
Pada awal Maret 1989 H. M Yasin memberikan kepercayaan kepada KH.
Makhrus Amin untuk membangun sebuah madrasah yang diberi nama An-Najah,
18
Achmad Djunaidi dan Tbobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz Publishing, 2008), cet. Ke- 5, hlm. 48
19
rencana pembangunan madrasah tersebut di Daerah Pebayuran Kab. Bekasi.
Setelah itu, mereka melakukan perundingan antara KH. Makhrus Amin dengan
H. M Yasin sekaligus melakukan survey tanah yang hendak diwakafkan seluas 7
hektar. Setelah itu terjadi kesalahpahaman antara H.M Yasin dengan KH.
Makhrus Amin terkait lokasi tanah yang berada di depan rumah H.M. yasin.
Namun H. M. Yasin membatalkan untuk mewakafkan tanah di depan rumahnya
dan kemudian menyerahkan tanah persawahannya seluas kurang lebih 7 hektar.
Tepat pada tanggal 20 Mei 1989 KH. Makhrus Amin, H.M Yasin,
Kepala KUA, dan kepala Desa Pebayuran mengadakan Rapat di kantor Kec.
Pebayuran dalam hal penetapan pembangunan madrasah. Satu hari setelah
pertemuan itu, mulailah pembangunan gedung pesantren tepat di tanah yang telah
diwakafkan dengan ikrar wakaf secara lisan.
Setelah sekian lama berdiri pondok pesantren tersebut, barulah Ikrar
wakaf tanah pesantren pun dibuatkan secara tertulis yaitu pada tanggal 20 Mei
2003 di Gedung Aula Pesantren dengan dihadiri oleh Petinggi Pondok Pesantren,
dengan disaksikan oleh banyak saksi mulai dari pejabat pemerintah seperti
Bupati, Camat, Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) daerah Pebayuran, guru
dan segenap para Santri.20
Namun setelah berjalannya ikrar wakaf tersebut hingga kini belum
mendapatkan sertifikat tanah wakaf, seperti yang dituturkan dari para
20
narasumber.21 Ada beberapa alasan mengapa pensertifikatan wakaf ini tidak terlaksana, yaitu keengganan wakif (H. M. Yasin) mengganti nama sertfikat
wakaf atas nama orang lain, dalam hal ini wakif harus mengganti akta jual beli
(AJB) yang dimilikinya menjadi sertifikat hak milik (SHM). Namun hal itu tidak
bisa berubah statusnya dari akta jual beli (AJB) menjadi sertifikat hak milik
(SHM), karena tanah yang dimiliki H. M. Yasin melebihi kapasitas yang
ditentukan undang-undang.22
Disamping itu pula waakif (orang yang mewakafkan) yaitu H. M. Yasin telah meninggal dunia pada tahun 2013. Dan dari penuturan para narasumber
hingga kini terlihat ketidakjelasan status tanah wakafnya. Hal ini bukan tidak
mungkin dikemudian hari menimbulkan sebuah permasalahan, untuk itu
bagaimanakah keabsahan praktik wakaf di daerah Pebayuran Kab. Bekasi jika
dilihat dari segi Fiqh dan peraturan perundangan Indonesia.
Maka dari itu, penulis tertarik untuk membahas lebih komprehensif dalam
sebuah penelitian skripsi yang berjudul: KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF (STUDI KASUS DAERAH PEBAYURAN KM. 08 KERTASARI-PEBAYURAN KAB. BEKASI-JAWA BARAT).
21
Hasil Wawancara Pada Lampiran Wawancara
22
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih terarah dan menghindari salah persepsi dari pembaca, maka
penulis membatasi pembahasan ini sesuai dengan latar belakang yaitu terkait
keabsahan praktik wakaf menurut pandangan Fiqh dan peraturan perundangan
Indonesia. Seperti yang kita tahu, membicarakan keabsahan wakaf tidak terlepas
dari pengertian sah tidaknya sebuah wakaf dilihat dari segi hukum, dalam
pemahaman ini yaitu sesuatu hal yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah
praktik wakaf baik dari segi legalitas serta kesahihannya terkumpulnya syarat
dan rukun. Jadi bisa disimpulkan wakaf bisa dikatakan sah jika segala syarat dan
rukun terpenuhi secara hukum, dalam hal ini yaitu menurut pendapat ulama Fiqh
dan perundangan Indonesia. Dalam hal ini keabsahan praktik wakaf di Daerah
Pebayuran KM. 08 Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi.
2. Perumusan Masalah
Agar lebih terfokus pada pembahasan. penulis akan rumuskan sesuai
permasalahan terkait masalah ketimpangan proses sertifikasi tanah wakaf di
Daerah Pebayuran KM. 08 Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi yang tidak
sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada pasal 32 dan Pasal
68. Yang mana dalam pasal tersebut diwajibkan kepada seluruh pihak untuk
mendaftarkan harta benda wakaf kepada pihak berwenang. kenyataannya banyak
yang tidak mendaftarkannya rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk
a. Apa saja yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah wakaf perspektif
fiqh?
b. Bagaimanakah keabsahan wakaf perspektif perundangan-undangan di
Indonesia?
c. Bagaimanakah keabsahan praktik wakaf daerah Pebayuran Kab. Bekasi
jika dilihat dari segi fiqh dan perundangan-undangan Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penulis mengadakan penelitian ini karena adanya hal-hal yang sekiranya
penulis ingin capai sehingga sampai pada beberapa kesimpuan awal dan
selanjutnya akan mendapatkan kesimpulan akhir yang nantinya akan menjadi
karya tulis yang baik dan bermutu, dan akan melahirkan saran dan analisis yang
sesuai. Ada beberapa hal pokok yang ingin segera penulis capai dan ketahui di
antaranya adalah:
1) Untuk mengetahui apa saja yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah
wakaf menurut perspektif fiqh.
2) Dapat mengetahui ketentuan sah tidaknya wakaf perspektif
perundangan-undangan di Indonesia.
3) Mengetahui keabsahan praktik wakaf daerah Pebayuran Kab. Bekasi jika
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan keilmuan hukum Islam
terlebih dalam bidang perwakafan, serta peningkatan keterampilan menulis karya
ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Islam, dan juga
diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan tambahan referensi untuk
mendalami hukum Islam.
2. Praksis
Penelitian ini bermanfaat bagi akademisi, hakim, mahasiswa, santri serta
para penggiat kajian keilmuan hukum Islam, sebagai acuan dalam mengemban
memahami hukum perwakafan di Indonesia yang berdimensikan hukum Islam,
serta sebagai sebagai sumbangsih pikiran dari peneliti dalam kerangka
pembangunan hukum Islam yang berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai
dengan zaman dan tempat.
E. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian
undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di bawahnya serta bahan-bahan yang
lainnya yang berhubungan dengan data-data penelitian.23
a. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
1) Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum baik hukum islam
(fiqh) maupun hukum positif.24
2) Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur
dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini
menggunakan: pendekatan konseptual (conseptual approach).25 Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam
hukum Islam. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
hukum Islam, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian umum terkait keabsahan wakaf, konsep pencatatan ikrar dan
pendaftaran wakaf.
23
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006). Lihat pula Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Adelina Offset, 2010), hlm.158.
24
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 294.
25
b. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum
primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, data-data terkait status tanah tersebut,
seperti akta otentik, gambar-gambar denah tanah wakaf serta pandangan para
petinggi terkait tanah wakaf tersebut. Selain itu data primer juga dapat diperoleh
dari hasil wawancara kepada para pihak seperti nadzir (KH. Makrus), saksi
wakaf (Ust. Mustofa) dan PPAIW Kec. Pebayuran.
Adapun sumber data sekunder lainnya yaitu bahan-bahan hukum Islam
(fiqh) serta peraturan perundang-undangan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan primer seperti UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,
Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Begitu juga bahan
lainnya yang terdiri dari buku-buku para ahli hukum Islam yang berpengaruh,
maupun ahli hukum positif, jurnal-jurnal hukum Islam, pendapat para sarjana.26
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus, encyclopedia, dan lain-lain.27
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
27
c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, maka digunakan
metode sebagai berikut:
1. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat,
agenda, dan sebagainya.28 Dalam penelitian ini, metode dokumentasi dilakukan
dengan mengumpulkan pemotrentan wilayah tempat wakaf, pemotretan akta
ikrar wakaf, denah wakaf yaitu Kertasari Pebayuran Kab. Bekasi, dan foto
wawancara dengan narasumber.
2. Metode Interview
Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua
orang atau lebih berhadapan secara lansung. Dalam proses interview ada dua
pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak sebagai berfungsi
sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden).29 Proses wawancara ini akan diajukan kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini, seperti langsung
kepada narasumber pertama yaitu KH. Mahrus Amin sebagai pimpinan
yayasan Hidayatunnajah, Narasumber kedua yaitu Drs. KH. Mustofa Hadi
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, hlm. 201.
29
Chirzin sebagai saksi ikrar wakaf dan terkakhir kepada Kepala PPAIW Kec.
Pebayuran.
3. Observasi
Adapun Observasi adalah merupakan sebuah proses penelitian secara
mendalam untuk mengetahui proses perubahan status tanah wakaf yang terjadi di
Pebayuran Kab. Bekasi.
d. Teknik Analisis Bahan
Adapun analisis bahan terkait judul skripsi merupakan langkah-langkah
yang berkaitan dengan bahan-bahan yang telah dikumpulkan untuk menjawab
isu yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Pada penelitian ini, pengolahan bahan studi, hakikatnya merupakan
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan yang telah ada.
Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut
untuk memudahkan pekerjaan analisis.
Analisis terkait skripsi ini dengan mempergunakan antara lain:
1) Mengumpulkan hasil wawancara beserta analisis buku-buku mengenai
pandangan
2) Adapun yang terakhir merupakan hasil analisis penulis terkait
Pandangan Status Tanah Wakaf tersebut setelah dilihat dari hukum
e. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2014.
E. Review Terdahulu
Untuk melihat keaslian skripsi yang ditelusuri oleh penulis, perlu kiranya
melakukan review terdahulu guna melihat sejauh mana pembahasan terkait judul
skripsi yang penulis telusuri memiliki persamaan (dalam hal yang bukan
substansi) dan perbedaan dalam hal substansi. Oleh sebab itu penulis hadir dalam
dua review terdahulu yang hampir mirip, yaitu:
1. Rizal Anshor, Fungsi Dan Kewenangan Pejabat Pembuat Aktra Ikrar Wakaf (PPAIW) Terhadap Pendaftaran Tanah Wakaf studi kasus PPAIW Kec. Kebayoran Baru, (Jakarta: Fakultas syariah dan hukum, 2011).
Pembahasan: dalam skripsi ini di bahas mengenai fungsi dan
wewenang pejabat pembuat aktra ikrar wakaf (PPAIW) dalam hal
pendaftaran tanah wakaf. Upaya agar tidak terjadinya sengketa tanah wakaf
bahwa UU no. 41/2004 tentang Wakaf dan PP No. 28/1977 tentang tanah
wakaf hak milik menjadi hal penting ketika tanah wakaf itu dicatatkan
tentang peraturan pelaksana peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 tentang
tanah wakaf hak milik mengenai pejabat yang ditunjuk untuk pembuatan
akta ikrar wakaf yaitu PPAIW dengan lebih khusus KUA (kantor urusan
agama) daerah setempat menjadi pejabat pembuat akta ikrar wakaf. Melihat
kewenangan penyelenggaraan administrasi wakaf yang berada di tingkat
kecamatan menjadi hal yang sangant penting ketika pencatatan wakaf itu
dilangsungkan. Dalam skipsi ini yang menjadi sorotan yaitu tanah wakaf di
wilayah Kec. Kebayoran baru. Yang mana ada sekitar 85 tanah wakaf namun
terdapat kendala-kendala—sehingga memunculkan sengketa tanah wakaf di daerah setempat. Dalam hal ini, bahwa PPAIW menjadi sangat fundamental
ketika tugas, peran sertan implementasi kewenangan PPAIW terhadap
pendataan maupun pengawasan terhadap tanah wakaf tersebut. Namun
terjadi ketidak sinkronan antara pemahaman masyarakat dengan tujuan
pencatatan wakaf itu sendiri. Pemahaman Masyarakat yang sangat minim
menjadi kendala serta menimbulkan permasalahan besar sehingga timbul
konflik akibat ketidaktahuan pencatatan atau pendaftara akta ikrar wakaf
kepada PPAIW daerah setempat.Adapun metodelogi yang digunakan dalam
sripsi ini adalah metode kuantitatif yaitu mengolah data statistik yang tersaji
dengan ditambah denegan metode wawancara untuk mendapatkan hasil yang
2. Naufal Azhar, Peranan Ppaiw (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf)Dalam Mencegah Terjadinya Sengketa Wakaf di KUA Kec. Bekasi Barat. (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum, 2011).
Pembahasan: Adapun pembahasan Dalam skripsi ini yaitu pelaksanaan
ikrar wakaf dilaksanakan oleh para pihak yang berwenang, seperti
pengucapan ikrar wakaf harus dilaksanakan didepan PPAIW (pejabat
pembuat akta ikrar wakaf) sesuai dengan PP No. 1 tahun 1978 bahwa KUA
sebagai tim yang ditunjuk dalam hal itu. Dalam hal ini PPAIW berkewajiban
untuk meneliti kehendak wakif, mengesahkan nazhir, meneliti saksi ikrar
wakaf, menyampaikan akta ikrar wakaf beserta salinannya dalam waktu 1
bulan sejak dibuatnya. Dalam hal lain, agar tidak terjadinya sengketa tanah
wakaf, dalam pasal 40 UU no. 41/2004 tentang Wakaf bahwa benda wakaf
yang sudah diwakafkan itu dilarang untuk dijadikan jaminan, disita,
dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk
pengalihan hak lainnya. Namun ketika terjadi pelanggaran perjanjian oleh
nazhir dengan seorang wakif maka sengketa tersebut harus diselesaikan
dengan cara musyawarah. Lebih jelasnya dalam pasal 62 UU no. 41/2004
tentang Wakaf manakala terjadi sengketa maka sengketa tersebut ditempuh
lewat jalur musyawarah (untuk mencapai mufakat), apabila tidak terjadi
mufakat maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.
Kaitannya dengan wilayah yang diteliti yaitu sejauh mana peranan PPAIW
digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan pendekatan yuridis
sosiologis yakni mengkaji UU no. 41/2004 tentang perwakafan, sedangkan
jenis penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan studi ini terarah, maka sistematika penulisannya
sebagai berikut:
BAB 1 Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II Konsep Hukum Wakaf
Bab ini terdiri dari Pengertian Wakaf, Dasar Hukum Wakaf,
Syarat dan Rukun Wakaf, dan terakhir Sejarah Hukum
Perwakafan di Indonesia.
BAB III Kronologis Masalah Wakaf di Daerah Pebayuran Kab.
Bekasi-Jawa Barat
Bab ini menjelaskan terkait masalah, Kronologis Wakaf, Pokok
Permasalahan dan Data-data Terkait yang menjadi bukti praktik
wakaf.
BAB IV Keabsahan Praktik Wakaf Daerah Pebayuran Kab. Bekasi
Di bab ini penulis menjelaskan tentang Keabsahan Wakaf
Perspektif Fiqh, Ketentuan Sah Wakaf Perspektif Perundangan
di Indonesia dan Analisis Kasus Praktik Wakaf Daerah
Pebayuran Kab. Bekasi Perpektif Fiqh dan Perundangan
Indonesia.
BAB V Penutup
24
BAB II
KONSEP HUKUM WAKAF
Dalam bab II, penulis memberikan pembahasan tentang konsep hukum
wakaf secara umum beserta penjelasannya masing-masing. Menurut penulis hal
itu menjadi relevan untuk disajikan dalam bab ini, guna tidak terjadi
kesalahpahaman. Untuk lebih jelasnya di bawah ini penulis sajikan pengertian
wakaf, konsep wakaf dan sejarah peraturan perwakafan di Indonesia.
A. Pengertian Wakaf
Jika ditelusuri dengan seksama, kata “wakaf” terambil atau diilhami dari kata “qifuhum” dalam surat al-Shaffat ayat 24, kata “waqifu” dalam surat
al-An'am ayat 27 dan 30, serta dalam surat Saba’ayat 31 dengan kata “mauqufun”.
Dari keempat ayat tersebut, terjemahan al-Qur’an Departemen Agama RI
memaknai kata “qifuhum” dengan “tahanlah mereka” (di tempat perhentian),
kemudian kata “waqifu” dengan makna “mereka dihadapkan”, dan kata
“mauqufun” bermakna “dihadapkan”.1
Adapun bentuk jam a‟(plural) dari katawakaf yaitu “auqâf” berasal dari kata benda abstrak (masdar) atau kata kerja (fi‟il) yang dapat berfungsi sebagai kata kerja transitif (fi‟il muta‟addi) atau kata kerja intransitif (fi‟il lazim), berarti
1
menahan atau menghentikan sesuatu dan berdiam di tempat.2 Dengan kata lain, perkataan waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab: waqafa – yaqifu – waqfan yang berarti ragu-ragu, berhenti,
memperhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengatakan,
memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi dan tetap berdiri.3 Kata
al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari habasa –yahbisu –habsan, artinya berhenti, berdiri, berdiam di tempat atau menahan.4
Dalam pengertian istilah, wakaf juga bisa berarti menahan atau
menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan
untuk mendekatkan diri kepada Allah.5 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.6 Menurut
Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas suatu harta
dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri
2
Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 120.
3
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), edisi ke-2, hlm. 1576
4
Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.3
5
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 490
6
kepada Allah.7 Sedangkan menurut As Shan'ani, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya
(ainnya)dan digunakan untuk kebaikan.8
Dalam kajian literatur fiqh klasik, para ulama berbeda pendapat dalam
memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda
pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai
berikut:9
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda
(al-„ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf
tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau
terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi
pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas
manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu
harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan
kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu
7
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 223
8
Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Juz 3, (Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950), hlm. 114.
9
tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya
menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa
memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-„ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada
Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang
diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-„ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang
sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang
dihasilkan.10
Keempat definisi wakaf menurut ulama klasik ternyata memberikan
inspirasi definisi wakaf dalam perundangan Indonesia, seperti Undang-undang
Nomor 41 tahun 2004, bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.11
10
M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 59
11
Dari beberapa definisi wakaf di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf
bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada
orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini
sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang
menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.
B. Dasar Hukum Wakaf
Secara umum, ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf tidak
terlihat secara jelas. Adapun dasar utama disyariatkannya wakaf lebih dipahami
berdasarkan pemahaman konteks ayat al-Quran itu sendiri, yaitu wakaf
merupakan sebuah amal kebajikan.12 Para ulama dalam menerangkan konsep
wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan
tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
12
13Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. QS. al-Baqarah:267)
14Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Q.S Ali Imran:92)
Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang
menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di
Khaibar, yaitu:
13
QS. al-Baqarah: 267
14
ع ه ص
تأف ر خ ضرأ ر ع صأ :
ع ه ضر ر ع ع
ه سر : ف ف رمأ س م س
س أ ط ا ضم صأ م ر خ ضرأ ت صأ
تس ح ت ْش إ ,م س ع ه ص ه سر ف . رمأت ف م د ع
ف دصت . ر تا
تا ع تا أ ,ر ع دص ف ت دصت صأ
ف ض س
ه س ف ر ف ر ف ء ر
م ع ح جا
ف م س ظ
) ع م(ا م
م ر غ معط ف رع م كأ أ
ر ث
ا ع ا صأ دصت : ر خ ة ر
15
.
"Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).
C. Syarat dan Rukun Wakaf
Agar tidak terhindar salah pengertian serta memperjelas pemahaman
syarat dan rukun wakaf, maka terlebih dahulu penulis mengemukakan
15
pengertian syarat dan rukun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,16 sedangkan
syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan
dilakukan.17
Menuru Wahhab Khalaf bahwa syarat adalah sesuatu yang keberadaan
suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu
itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut.18 Yang dimaksudkan adalah
keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya. Sedangkan rukun, dalam
terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin
tertentu, di mana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri. Atau
dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, di mana ia merupakan
bagian dari sesuatu itu.19
Dalam pengertian wakaf, ketika menyebutkan rukun wakaf maka secara
otomatis terkandung didalamnya syarat-syarat wakaf, adapun unsur (rukun)
wakaf dan syarat yang menyertainya adalah sebagai berikut: a) Waqif (orang yang mewakafkan).
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), hlm. 966.
17
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), hlm. 1114
18
Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh ,(Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 118.
19
Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.20
b) Mauquf atau benda yang diwakafkan
Syarat-syarat harta benda yang diwakafkan yang harus dipenuhi sebagai
berikut:
Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali
pakai;
benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum;
hak milik wakif yang jelas batas-batas kepemilikannya;
benda wakaf itu dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya;
benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat
yang lebih besar;
benda wakaf tidak dapat diperjual belikan, dihibahkan atau
diwariskan.
c) Mauquf 'alaih (tujuan wakaf)
Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif perlu
menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta yang diwakafkan itu untuk
menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (waqf ahly), atau untuk fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqf khairy). Yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaan
20
Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.21Kegunaan wakaf bisa untuk sarana ibadah murni, bisa juga untuk sarana sosial keagamaan lainnya
yang lebih besar manfaatnya.
d) SighatWakaf
Adapun pengertian shighat wakaf ialah segala ucapan, isyarat orang yang
bertekad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang
diinginkannya dalam hal transaksi wakaf. Shighat wakaf cukup dengan
ijab (kalimat memberi) saja dari Wakif tanpa memerlukan qabul dari
mauquf „alaihi. Begitu juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan
tidak juga menjadi syarat untuk berhaknya wakaf mauquf „alaihi
memperoleh manfaat harta wakaf, kecuali pada wakaf yang tidak
tertentu, hal ini menurut pendapat sebagian mazhab.22
D. Sejarah Hukum Perwakafan di Indonesia
Sejak dulu sebelum kermerdekaan Indonesia tiba, pelaksanaa wakaf
masih sangat sederhana, tidak disertai administrasi, cukup dilakukan ikrar
(pernyataan) secara lisan, kemudian masalah pengurusan dan pemeliharaaan
tanah wakaf diserahkan kepada nadzir. Karena sistem pengadministrasian yang
kurang baik inilah terdapat tanah-tanah wakaf yang bermunculan permasalahan,
21
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 323
22
seperti bentuknya yang hilang atau diambil alih oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, sengketa melalui pengadilan dan lain-lain.23
Dalam sejarahnya, pengaturan perwakafan di Indonesia bertujuan untuk
mengatur dan mengawasi tanah wakaf telah banyak dikeluarkan sejak zaman
pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintah zaman kemerdekaan sampai
terbitnya perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan, antara lain
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6 Tahun 1977 dan PMA
No. 1 Tahun 1978, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam hingga lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Di bawah ini merupakan sejarah awal mula pengaturan
perwakafan di Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang ini.
1. Peraturan Wakaf Zaman Kolonial Hindia Belanda
Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan
peraturan-peraturan, yaitu:
a. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435
sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezict opden
bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada
para kepala wilayah mengharuskan para Bupati membuat daftar rumah-rumah
23
ibadat bagi orang Islam. Dalam daftar itu harus dimuat asal-usul tiap rumah
ibadat dipakai shalat jum'at atau tidak, keterangan tentang segala benda yang
tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan
nama wakaf atau dengan nama lain.
b. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A
termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezict van de Regering op
Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini
merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad No. 6196, yaitu tentang
pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang
jum'at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin Bupati, yang
menilai permohonan itu dari segi tempat wakaf dan maksud pendirian.
c. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A
termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezict van de Regering op
Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran
ini antara lain ditentukan bahwa Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi
tanah wakaf yang dapat dipercaya. Maksud untuk mewakafkan tetap harus
diberitahukan kepada Bupati agar ia mendapat kesempatan untuk mendaftarkan
wakaf tersebut dan meneliti apakah ada peraturan umum atau peraturan setempat
2. Peraturan Wakaf Masa kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan, masalah wakaf mulai mendapat perhatian lebih
dari pemerintah indonesia, antara lain melalui pemerintah agama. Walaupun
undang undang tentang perwakafan tanah lahir 15 tahun setelah Indonesia
merdeka, namun sebelum itu pemerintah melalui pemerintah departemen agama
telah melahirkan beberapa petunjuk tentang pelaksanaan wakaf, antara lain
sebagai berikut:
a) Petunjuk tentang perwakafan tanah tanggal 22 desember 1953
b) Petunjuk tentang wakaf yang bukan milik kemasjidan, merupakan tugas
bagian D (ibadah sosial) jawatan urusan agama berdasarkan surat edaran
jawatan urusan agama tanggal 8 oktober 1956 nomor 3/D/1956
c) Petunjuk tentang prosedur perwakafan tanah berdasarkan surat edaran
jawatan urusan urusan agama nomor 5/1956.
Petunjuk dan surat edaran tentang wakaf, baik produk pemerintah kolonial
Belanda maupun yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sendiri, tenyata masih
banyak mengandung kelemahan di sana sini, terutama belum memberikan
kepastian hukum bagi tanah tanah wakaf. Untuk menerbitkan itu semua,
pemerintah RI merasa perlu melakukan pembaruan hukum agraria. Maka, pada
tahun 1960 lahirlah Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok
Dalam undang-undang tersebut kita dapat temui beberapa pasal mengenai
perwakafan, antara lain pada pasal 5, pasal 14, dan pasal 49 UU No. 5 Tahun
1960.24 Misalnya saja pasal 49 mengatakan bahwa hak milik tanah-tanah keagamaan dan sosial, sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang
keagamaan sosial, diakui dan dilindungi.25 Artinya dalam pasal 49 UUPA menjelaskan tentang tanah wakaf yang diakui oleh negara.
Seiring berjalannya waktu, sebagai realisasi ketentuan pasal 49 di atas
dikeluarkanlah pula peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 tanggal 17 mei
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP ini terdiri atas tujuh bab, delapan belas
pasal, meliputi pengertian tentang wakaf syarat syarat sah wakaf, fungsi wakaf,
tatacara wakaf, pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisiahan, dan
pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan.
Dikeluarkan PP nomor 28 tahun1977 yang disertai aturan pelaksanaannya,
sebenarnya bertujuan menjadikan wakaf sebagai suatu lembaga keagaamaan yang
dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana pengembangan kehidupan
kenegaraan, khususnya bagi umat Islam.26
24
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 85
25
Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 86
26
Tujuan ini sebernarnya berdasarkan kenyataan bahwa keadaan perwakafan
tanah tidak atau belum diketahui jumlah, bentuk, penggunaan, dan pegelolaanya,
disebabkan tidak adanya ketentuan administrasi yang mengatur tentang itu. Jadi,
pada waktu itu PP nomor 28 tahun 1977 memang merupakan hal urgen, terutama
untuk kepentingan seperti tersebut diatas, serta untuk memberi ketepatan hukum
dan kejelasan hukum tentang tanah perwakafan sesuai pasal 49 ayat 3 UUPA,
dengan hadirnya PP nomor 28 tahun 1977, berbagai penyimpangan dan sengketa
wakaf diharapkan dapat diminimalkan.
Dalam kaitan ini, departemen agama RI melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi penyimpangan dan sengketa wakaf pasca lahirnya PP No. 28 tahun
1977. Diantara langkah langkah yang diambil oleh departemen agama adalah
sebagai berikut.
1. Mendata seluruh tanah wakaf hak milik diseluruh wilayah tanah
air.pendataan tanah wakaf hak milik ini sebagai langkah untuk
memastikan jumlah wakaf tanah di Indonesia untuk kemudian dijadikan
tolak ukur pengelolaan, pemberdayaan, dan pembinaan tanah wakaf.
2.