• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keabsahan Praktik Wakaf (Studi Kasus Daerah Pebayuran Km 08 Kertasari-Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keabsahan Praktik Wakaf (Studi Kasus Daerah Pebayuran Km 08 Kertasari-Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat)"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Agar Memenuhi Salahsatu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

oleh :

MOCHAMAD AWALUDIN ROMDONI 108044100034

KO NSENT RASI PE RADIL AN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

ii

KM 08 KERTASARI-PEBAYURAN KAB. BEKASI-JAWA BARAT)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Agar Memenuhi

Salahsatu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar SarjanaSyariah (S.Sy.)

Oleh

MOCHAMAD AWALUDIN ROMDONI 108044100034

Pembimbing Skripsi

(Dr. Hj. Mesraini, M. Ag) NIP. 197602132003122001

KO NSENT RASI PE RADIL AN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(3)

iii

BARAT)”, telah diujikan dalamSidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 09 Mei

2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar

Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga.

Jakarta, 09 Mei 2014 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. H. J.M. Muslimin, M.A. NIP. 196808121999031014

PANITIA UJIAN

1. Ketua Drs. H.A.Basiq Djalil, SH., MA. (...………..)

NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris Hj. Rosdiana, MA. (...………..)

NIP. 196509081995031001

3. Pembimbing Dr. Hj. Mesraini, M. Ag (...………..)

NIP. 197602132003122001

4. Penguji I Dr. H. J.M. Muslimin, M.A. (...………..)

NIP. 196808121999031014

5. Penguji II Drs. H.A.Basiq Djalil, SH., MA. (...………..)

(4)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil plagiasi dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 April 2014

(5)

v

terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya beberapa faktor, baik dalam pengelolaan, masalah administrasi serta pengembangan harta benda wakaf ditemukan dalam masyarakat Indonesia.

Fakta demikian banyak ditemukan di beberapa daerah, yang pada akhirnya perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan namun sebaliknya.Bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis, seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah belum jelas dan banyak lagi yang lainnya.Hal itu seperti yang ditemukan oleh penulis di daerah Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi.Yang mana ada beberapa kendala praktik wakaf di daerah itu, hingga kini belum bisa tersertifikasi tanah wakaf.Padahal menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada pasal 32 dan Pasal 68 diwajibkan untuk didaftarkan kepada pihak yang berwenang setelah dilakukan ikrar wakaf didepan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf). Masalah lain dari praktik wakaf di daerah Kertasari yaitu wakif dalam hal ini H. M. Yasin juga turut serta menjadi nadzir (pengelola wakaf) dalam yayasan Hidayatunnajah. Untuk itu bagaimanakah kedudukan kedua masalah tersebut jika dilihat dari segi hukum Islam (fiqh) dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Setelah melakukan observasi dan wawancara denganberbagai narasumber, penulis menemukan beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Keabsahan wakaf tidak terlepas dari segi legalitas (sah atau tidaknya) sebuah

praktik wakaf secara hukum. Dalam hal ini kesahihan praktik wakaf dilihat dari pandangan hukum Islam (fiqh), hal tersebut juga tidak terlepas dari kebenaran menurut hukum secara tertulis ataupun pada tataran ijtihad para ulama. Untuk itu diperlukan penelahaan pada kajian normatif (hukum) maupun segi kesejarahan praktik wakaf. Ulama klasik dalam menetapkan sebuah keabsahan wakaf dilihat dari keberadaan syarat dan rukun itu pada praktiknya. Adapun Rukun wakaf menurut mayoritas ulama selain Hanafi adalah orang yang mewakafkan (wakif), tujuan diwakafkan (maukuf ‘alahi), barang wakafan (maukuf bih), dan sighat wakaf. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf itu hanya ada satu, yaitu shighat. Shighat di sini adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf atau pelafalan yang menunjukan makna (substansi) wakaf. Dan tidak ditemukannya persyaratan keharusan pencatatan ataupun pendaftaran wakaf seperti dalam perundangan Indonesia.

2. Setelah adanya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan

(6)

vi

sebelum UU. No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf berlaku. Namun terdapat praktik wakaf setelah lima tahun diberlakukan undang-undang ini maka praktik wakaf tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan mengikat (sah). Pasal 69 undang-undang ini menegaskan: (1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini,wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini. (2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

3. Jika dilihat dari segi keabsahannya praktik wakaf di daerah Kertasari Kec.

Pebayuran Kab. Bekasi adalah sah secara fiqh. Karena terkumpulnya syarat dan rukunya seperti wakifnya adalah H. Muhammad Yasin, tujuan wakaf (mauquf ‘alahi) yaitu sebagai balai pendidikan Islam, barang wakafnya (maukuf bih) yaitu tanah dengan luas 84.000 M2 (Delapan Puluh Empat Ribu Meter Persegi) dan tiga buah bangunan di atasnya, ikrar wakaf telah dilakukan oleh wakif baik dengan lisan maupun dengan tulisan tanpa mengandung kesamaran. Untuk masalah pendaftaran wakafnya sendiri demi kepentingan pencatatan administratif, jika dilihat dari perspektif perundangan Indonesia maka belum dikatakan sah sebagai tanah wakaf, karena belum terselesaikannya pendaftaran wakaf itu sendiri. Pendaftaran wakaf merupakan hal terpenting dalam peraturan perundangan Indonesia, karena pencatatan dan pendaftaran menyulitkan sengketa pertanahan (wakaf) dikemudian hari.

(7)

vii

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang merajai alam semesta yang telah memberikan kenikmatan kepada semua hamba-Nya sehingga

dengan nikmat tersebut kita semua masih dalam lindungan-Nya.Yakni nikmat iman,

Islam dan kesehatan.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw.

yang menjadi teladan bagi semua manusia tak terkecuali penulis sendiri, semoga kita

semua mendapatkan syafa’atnya di hari akhirat.

Akhirnya penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul

Keabsahan Peraktik Wakaf (Studi Kasus Daerah Pebayuran Km 08 Kertasari-Pebayuran Kab. Bekasi Jawa Barat) .Penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.Dalam penulisan skripsi

ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan jauh dari

sempurna karena kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata.

Keberhasilan penulis menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas berkat dukungan

doa, moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan yang

berbahagia ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

(8)

viii

dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.

3. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag selaku pembimbing yang dengan berbagai

kesibukannya masih sempat untuk berdiskusi dan memeriksa skripsi

penulis dan selalu memberikan motivasi serta arahan kepada penulis

dalam penyusunan skripsi ini.

4. Seluruh Staff pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al-SyakhshiyyahFakultas

Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan

memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini.

5. Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan hukum yang telah memberikan

fasilitas referensi buku-buku dalam studi kepustakaan.

6. Drs. H. Agus Sujadi. Kepala KUA Pebayuran Kab. Bekasi, dan KH

Mahrus Amin. Mudir Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta yang

telah memberikan informasi kepada penulis.

7. Teristimewa untuk ayahanda H. Jamaludin dan ibunda Hj. Mardiah

Akhmad tercinta, yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik

dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak

terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Dan untuk

(9)

ix

9. Teman-teman senasib dan seperjuangan Konsentrasi Peradilan Agama

angkatan 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

menjadi sandaran dalam keseharian penulis serta tidak pernah henti

memberikan support juga bantuannya dalam penulisan skripsi ini.

10.Teman-teman tercinta Ahmad Fauzi, Faisal hidayatullah, Muhdi Abdul

Aziz, Aufar Ramadano Putra, Ryan Umar, M. Nurul Fachri, M. Subhi

Mahma Soni, dan M Iqbal Perdana yang telah memberikan support,

inspirasi dan motivasi kepada penulis.

Demikian ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan mudah-mudahan

kebaikan-kebaikannya dapat diterima dan dibalas Allah SWT.Dengan kerendahan

hati penulis mengucapkan terimakasih banyak.

Jakarta,11 April 2014

Penulis

(10)

x

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN KEASLIAN SKRIPSI ... iv

ABSTRAKSI ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Metodelogi Penelitian ... 14

F. Review Terdahulu ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II KONSEP HUKUM WAKAF ... 24

A. Pengertian Wakaf ... 24

B. Dasar Hukum Wakaf ... 28

(11)

xi

KAB. BEKASI-JAWA BARAT ... 44

A. Kronologis Wakaf ... 44

B. Pokok Permasalahan ... 49

C. Data data Terkait ... 51

BAB IV KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF STUDI KASUS DAERAH PEBAYURAN KM. 8 KAB. BEKASI - JAWA BARAT ... 57

A. Keabsahan Wakaf Perspektif Fiqh ... 57

B. Keabsahan dan Prosedur Wakaf Perspektif Perundangan-undangan Indonesia ... 65

C. Analisis Kasus ... 74

BAB V PENUTUP ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran-saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 91

1. Surat Wawancara ... 91

2. Hasil Wawancara I ... 92

(12)
(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Membicarakan tentang persoalan wakaf adalah merupakan isu yang

menarik.1 Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam

yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam ibadah

kemasyarakatan (ibadahijtimaiyah). Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan agama2

dan kemajuan Negara bangsa.

Tujuan utama Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk

mencapai tujuan tersebut, perlu menggali dan mengembangkan potensi yang

terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis. Salah satu

langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan

peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan

menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki kekuatan

1

Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 318.

2

(14)

ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum,

sehingga perlu dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.3

Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum

sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta

benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke

tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak

hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir4 dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang

kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya

dilindungi demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan

peruntukan wakaf.

Secara bahasa wakaf berasal dari kata waqof yang artinya al-habs

(menahan).5 Dalam pengertian istilah, wakaf adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat di ambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan untuk

mendekatkan diri kepada Allah.6 Menurut Sayyid Sabiq wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.7 Menurut Muhammad Jawad

3

Penjelasan UU. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. hlml. 18

4

Adalah orang yang memegang amanah untuk memelihara dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Suhrawardi K. Lubis, dkk, wakaf dan Pemberdayaan Umat,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 150.

5

Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 307. Lihat juga Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz Al-maliabary, Fath al-Mu’min, (Semarang: Toha Pura, tth), hlm. 87.

6

(15)

Mughniah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaanya dilakukan

dengan jalan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.8

Menurut Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas

suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai

pendekatan diri kepada Allah.9 Sedangkan menurut As Shan’ani, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau

merusakan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.10

Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam fiqh Islam, wakaf

sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat atau

hadits yang menceritakan masalah wakaf ini terkait masalah wakaf tanah, tapi

para ulama memahami bahwa wakaf non-tanah pun boleh saja, asalkan bendanya

tidak langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya.11 Dari beberapa

definisi serta rumusan di atas mengenai pengertian wakaf, penulis menyimpulkan

bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah suatau usaha menghentikan atau

menahan perpindahan hak milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama,

7

Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunah, (Beriut: Dar al-Fikr, tth), hlm. 307

8

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khamsah, terj. Masykur Afif Muhammad, Idrus al-kaff, ”Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 635.

9

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Peranada Media, 2003), hlm. 223.

10

Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San’ani, Subul as-Salam, Juz 3, (Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-babi al-Halabi, tth), hlm. 114.

11

(16)

sehingga manfaat dari harta tersebut dapat di gunakan untuk mencari ridha allah

SWT.

Adapun dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur’an, di antaranya dalam surat Ali Imran ayat 92:

                        

Artinya: kamu sekali – sekali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya allah mengetahuinya (Q.S. ali- imran: 92).13

Kemudian dasar hukum wakaf dalam hadits dijelaskan pula yaitu:

ع ه ص

تأف ر خ ضرأ ر ع صأ :

ع ه ضر ر ع ع

س أ ط ا ضم صأ م ر خ ضرأ ت صأ ه سر : ف ف رمأ س م س

ْش إ ,م س ع ه ص ه سر ف . رمأت ف م د ع

تس ح ت

ف دصت . ر تا

تا ع تا أ ,ر ع دص ف ت دصت صأ

م ع ح جا ف ض س

ه س ف ر ف ر ف ء ر

ف م س ظ

) ع م(ا م

م ر غ معط ف رع م كأ أ

صت : ر خ ة ر

ر ث

ا ع ا صأ د

14

12QS: Ali ‘Imran: 92 13

Yayasan Penterjemah/Penafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: DEPAG RI, 1978), hlm. 91

14

(17)

Dari Ibnu Umar RA. berkata, bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk mohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah! Saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah bersabda: bila kau suka, kau tahan tanah itu dan engkau shodaqohkan. Kemudian Umar melakukan shodaqah, tidak dijual, tidak diwarisi dan tidak juga dihibahkan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (Muttafaq ‘Alaih) susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak dijual dan tidak dihibahkan, tetapi diinfakkan hasilnya. (HR. Muslim)

Untuk memenuhi kriteria di atas para ulama memberikan rukun wakaf itu

sendiri dengan beberapa rincian. Dan mereka berpendapat bahwa Wakaf

dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat. Rukun wakaf ada 4

yaitu: 1 wakif (orang yang mewakafkan); 2. Maukuf Bih (barang/harta yang di wakafkan); 3. Maukuf alih (peruntukan/tujuan wakaf); 4. Shighat (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan harya bendanya).15 Pemberian syarat dan rukun seperti ini merupakan upaya pencegahan (preventif) agar tidak terjadi sengketa wakaf yang tidak diinginkan. Hal demikian merupakan inti dari

ajaran syariat Islam yang menjunjung nilai-nilai kemaslahatan umat manusia.

Melihat kondisi modern yang sangat kompleks, para ulama fiqh

kontemporer telah menelurkan beberapa konsep tentang upaya pencegahan

konflik dalam beberapa hal. Al-Qur’an telah menjelaskan secara umum dalam

15

(18)

surat al-Baqarah 282 tentang hutang-piutang yang mewajibkan hutang harus

dicatat guna tidak terjadinya sengketa yang berkepanjangan dikemudian hari. Hal

demikian menjadi pintu ijtihad oleh para ulama untuk menelaah lebih dalam

bahwa tradisi pencatatan dalam beberapa hal seperti kasus perdata/pidana

menjadi sangatlah penting. Misalnya saja peraturan tentang pencatatan

perkawinan merupakan penganalogian (qiyas) antara pencatatan hutang-piutang dengan pencatatan nikah. Dengan demikian meskipun fiqh tidak menjelaskan

secara detail untuk mencatatkan persoalan wakaf, tetapi ada aturan-aturan umum

yang sebetulnya aturan dalam fiqh juga memberikan apresiasi terhadap

pencatatan atau pendaftaran wakaf itu sendiri. Karena fungsi pencatatan amatlah

penting, serta berguna kelak dikemudian hari agar tidak menimbulkan suatu

sengketa. Sebab, masalah perwakafan merupakan hal yang krusial dan sering

menimbulkan sengketa yang berkepanjangan.

Hal itu pula menjadi semangat peraturan perundang-undangan Indonesia

tentang pencatatan serta pendaftaran perwakafan guna mengikis persoalan

sengketa perwakafan yang semakin kompleks. Dimulai dengan kehadiran

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,

menjadi semangat baru dalam peraturan ini mengenai regulasi serta keharusan

pendaftaran wakaf secara tertib administratif yaitu dicatatkan sekaligus

didaftarkan.

Dalam penjelasannya, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah

(19)

milik ini tidak diatur secara tuntas dalam bentuk suatu peraturan

perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari hakekat dan

tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam

bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum dan lain-lain), dan tidak

adanya keharusan untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga

banyaklah benda-benda wakaf yang tidak diketahui lagi keadaannya.16

Dengan jelas tata cara mewakafkan dan pendaftarannya telah diatur

dalam Pasal 10 PP. No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakfan Tanah Milik. Yaitu:

(1) Setelah kata Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) pasal 9, maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat (1) mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.

(3) Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.

(4) Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksud dalamayat (2) dan (3).

(5) Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya seperti dimaksud ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.

Setelah berjalan cukup lama peraturan ini, terdapat beberapa kekurangan,

namun keberadaaan pengaturan wakaf diperkuat dengan sejumlah peraturan yang

16

(20)

baru seperti Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum

Islam, kemudian lahir setelah itu juga Undang-Undang No. 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf. Bisa disimpulkan bahwa seluruh peraturan perundangan yang

berkaitan dengan perwakafan mempunyai prinsip semangat pencatatan serta

pendaftaran harta wakaf kepada pihak yang berwenang. Untuk lebih jelasnya

Pasal 34 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menjelaskan bahwa Pemerintah

berwenang menyatakan harta benda wakaf telah terdaftar dan tercatat pada

negara dengan status sebagai harta benda wakaf.17 Kewajiban pendaftaran tanah wakaf disebutkan pula dalam Pasal 69 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

yaitu

(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini,wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini.

(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Kesimpulan dari pemaparan diatas, yaitu terdapat perbedaan jelas antara

pandangan fiqh dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia terkait sah

tidaknya perbuatan wakaf. Pandangan fiqh jelas lebih mengedepankan

terpenuhinya syarat dan rukun wakaf itu sendiri pada prakteknya, dan tidak ada

ketentuan harta benda wakaf harus dicatatkan ataupun didaftarkan. Sedangkan

dalam perundangan Indonesia selain terkumpulnya syarat dan rukun wakaf,

pemenuhan agar dicatat serta didaftarkan merupakan sebuah kemestian

17

(21)

(keharusan). Yang mana pencatatan dan pendaftaran merupakan langkah

pencegahan dalam konflik yang melibatkan harta wakaf.

Hal itu seringkali terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti praktik

wakaf bagi sebagian masyarakat masih mempergunakan dengan pendekatan fiqh

klasik,18 dikarenakan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat pada wakaf. Seiring berjalannya waktu dan kompleksitas masyarakat, mulailah bermunculan

kasus masalah perwakafan.19 baik itu sengketa intern maupun sengketa ekstern. Banyak kasus yang melibatkan sengketa antara ahli waris si pewakif dengan

nadzir, dengan alasan tertentu, ada juga persoalan mengenai ahli waris dari wakif

ingin menarik kembali tanah yang sudah diwakafkan, sehingga menimbulkan

sengketa pada keduanya. Dan banyak lagi contoh-contoh sengketa wakaf lainnya.

Seperti yang ditemukann oleh penulis tentang pendaftaran tanah wakaf di

Daerah Jl. Raya Pebayuran KM 08 Kertasari, Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat

yang melibatkan beberapa permasalahan mulai dari konflik pencatatan hingga

ketidak-jelasan status tanah wakaf tersebut yang sampai saat ini belum

didaftarkan kepada pihak yang berwenang. Di bawah ini merupakan kronologis

kasus di daerah Pebayuran Kab. Bekasi-Jawa Barat.

Pada awal Maret 1989 H. M Yasin memberikan kepercayaan kepada KH.

Makhrus Amin untuk membangun sebuah madrasah yang diberi nama An-Najah,

18

Achmad Djunaidi dan Tbobieb, Menuju Era Wakaf Produktif, (Depok: Mumtaz Publishing, 2008), cet. Ke- 5, hlm. 48

19

(22)

rencana pembangunan madrasah tersebut di Daerah Pebayuran Kab. Bekasi.

Setelah itu, mereka melakukan perundingan antara KH. Makhrus Amin dengan

H. M Yasin sekaligus melakukan survey tanah yang hendak diwakafkan seluas 7

hektar. Setelah itu terjadi kesalahpahaman antara H.M Yasin dengan KH.

Makhrus Amin terkait lokasi tanah yang berada di depan rumah H.M. yasin.

Namun H. M. Yasin membatalkan untuk mewakafkan tanah di depan rumahnya

dan kemudian menyerahkan tanah persawahannya seluas kurang lebih 7 hektar.

Tepat pada tanggal 20 Mei 1989 KH. Makhrus Amin, H.M Yasin,

Kepala KUA, dan kepala Desa Pebayuran mengadakan Rapat di kantor Kec.

Pebayuran dalam hal penetapan pembangunan madrasah. Satu hari setelah

pertemuan itu, mulailah pembangunan gedung pesantren tepat di tanah yang telah

diwakafkan dengan ikrar wakaf secara lisan.

Setelah sekian lama berdiri pondok pesantren tersebut, barulah Ikrar

wakaf tanah pesantren pun dibuatkan secara tertulis yaitu pada tanggal 20 Mei

2003 di Gedung Aula Pesantren dengan dihadiri oleh Petinggi Pondok Pesantren,

dengan disaksikan oleh banyak saksi mulai dari pejabat pemerintah seperti

Bupati, Camat, Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) daerah Pebayuran, guru

dan segenap para Santri.20

Namun setelah berjalannya ikrar wakaf tersebut hingga kini belum

mendapatkan sertifikat tanah wakaf, seperti yang dituturkan dari para

20

(23)

narasumber.21 Ada beberapa alasan mengapa pensertifikatan wakaf ini tidak terlaksana, yaitu keengganan wakif (H. M. Yasin) mengganti nama sertfikat

wakaf atas nama orang lain, dalam hal ini wakif harus mengganti akta jual beli

(AJB) yang dimilikinya menjadi sertifikat hak milik (SHM). Namun hal itu tidak

bisa berubah statusnya dari akta jual beli (AJB) menjadi sertifikat hak milik

(SHM), karena tanah yang dimiliki H. M. Yasin melebihi kapasitas yang

ditentukan undang-undang.22

Disamping itu pula waakif (orang yang mewakafkan) yaitu H. M. Yasin telah meninggal dunia pada tahun 2013. Dan dari penuturan para narasumber

hingga kini terlihat ketidakjelasan status tanah wakafnya. Hal ini bukan tidak

mungkin dikemudian hari menimbulkan sebuah permasalahan, untuk itu

bagaimanakah keabsahan praktik wakaf di daerah Pebayuran Kab. Bekasi jika

dilihat dari segi Fiqh dan peraturan perundangan Indonesia.

Maka dari itu, penulis tertarik untuk membahas lebih komprehensif dalam

sebuah penelitian skripsi yang berjudul: KEABSAHAN PRAKTIK WAKAF (STUDI KASUS DAERAH PEBAYURAN KM. 08 KERTASARI-PEBAYURAN KAB. BEKASI-JAWA BARAT).

21

Hasil Wawancara Pada Lampiran Wawancara

22

(24)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk lebih terarah dan menghindari salah persepsi dari pembaca, maka

penulis membatasi pembahasan ini sesuai dengan latar belakang yaitu terkait

keabsahan praktik wakaf menurut pandangan Fiqh dan peraturan perundangan

Indonesia. Seperti yang kita tahu, membicarakan keabsahan wakaf tidak terlepas

dari pengertian sah tidaknya sebuah wakaf dilihat dari segi hukum, dalam

pemahaman ini yaitu sesuatu hal yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah

praktik wakaf baik dari segi legalitas serta kesahihannya terkumpulnya syarat

dan rukun. Jadi bisa disimpulkan wakaf bisa dikatakan sah jika segala syarat dan

rukun terpenuhi secara hukum, dalam hal ini yaitu menurut pendapat ulama Fiqh

dan perundangan Indonesia. Dalam hal ini keabsahan praktik wakaf di Daerah

Pebayuran KM. 08 Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi.

2. Perumusan Masalah

Agar lebih terfokus pada pembahasan. penulis akan rumuskan sesuai

permasalahan terkait masalah ketimpangan proses sertifikasi tanah wakaf di

Daerah Pebayuran KM. 08 Kertasari Kec. Pebayuran Kab. Bekasi yang tidak

sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf pada pasal 32 dan Pasal

68. Yang mana dalam pasal tersebut diwajibkan kepada seluruh pihak untuk

mendaftarkan harta benda wakaf kepada pihak berwenang. kenyataannya banyak

yang tidak mendaftarkannya rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk

(25)

a. Apa saja yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah wakaf perspektif

fiqh?

b. Bagaimanakah keabsahan wakaf perspektif perundangan-undangan di

Indonesia?

c. Bagaimanakah keabsahan praktik wakaf daerah Pebayuran Kab. Bekasi

jika dilihat dari segi fiqh dan perundangan-undangan Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penulis mengadakan penelitian ini karena adanya hal-hal yang sekiranya

penulis ingin capai sehingga sampai pada beberapa kesimpuan awal dan

selanjutnya akan mendapatkan kesimpulan akhir yang nantinya akan menjadi

karya tulis yang baik dan bermutu, dan akan melahirkan saran dan analisis yang

sesuai. Ada beberapa hal pokok yang ingin segera penulis capai dan ketahui di

antaranya adalah:

1) Untuk mengetahui apa saja yang menjadi penentu sah tidaknya sebuah

wakaf menurut perspektif fiqh.

2) Dapat mengetahui ketentuan sah tidaknya wakaf perspektif

perundangan-undangan di Indonesia.

3) Mengetahui keabsahan praktik wakaf daerah Pebayuran Kab. Bekasi jika

(26)

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan keilmuan hukum Islam

terlebih dalam bidang perwakafan, serta peningkatan keterampilan menulis karya

ilmiah dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Islam, dan juga

diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan tambahan referensi untuk

mendalami hukum Islam.

2. Praksis

Penelitian ini bermanfaat bagi akademisi, hakim, mahasiswa, santri serta

para penggiat kajian keilmuan hukum Islam, sebagai acuan dalam mengemban

memahami hukum perwakafan di Indonesia yang berdimensikan hukum Islam,

serta sebagai sebagai sumbangsih pikiran dari peneliti dalam kerangka

pembangunan hukum Islam yang berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai

dengan zaman dan tempat.

E. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian

(27)

undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di bawahnya serta bahan-bahan yang

lainnya yang berhubungan dengan data-data penelitian.23

a. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

1) Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum baik hukum islam

(fiqh) maupun hukum positif.24

2) Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur

dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini

menggunakan: pendekatan konseptual (conseptual approach).25 Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam

hukum Islam. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

hukum Islam, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian umum terkait keabsahan wakaf, konsep pencatatan ikrar dan

pendaftaran wakaf.

23

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006). Lihat pula Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Adelina Offset, 2010), hlm.158.

24

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 294.

25

(28)

b. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum

primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, data-data terkait status tanah tersebut,

seperti akta otentik, gambar-gambar denah tanah wakaf serta pandangan para

petinggi terkait tanah wakaf tersebut. Selain itu data primer juga dapat diperoleh

dari hasil wawancara kepada para pihak seperti nadzir (KH. Makrus), saksi

wakaf (Ust. Mustofa) dan PPAIW Kec. Pebayuran.

Adapun sumber data sekunder lainnya yaitu bahan-bahan hukum Islam

(fiqh) serta peraturan perundang-undangan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan primer seperti UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik,

Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Begitu juga bahan

lainnya yang terdiri dari buku-buku para ahli hukum Islam yang berpengaruh,

maupun ahli hukum positif, jurnal-jurnal hukum Islam, pendapat para sarjana.26

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus, encyclopedia, dan lain-lain.27

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.

27

(29)

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, maka digunakan

metode sebagai berikut:

1. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan,

transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat,

agenda, dan sebagainya.28 Dalam penelitian ini, metode dokumentasi dilakukan

dengan mengumpulkan pemotrentan wilayah tempat wakaf, pemotretan akta

ikrar wakaf, denah wakaf yaitu Kertasari Pebayuran Kab. Bekasi, dan foto

wawancara dengan narasumber.

2. Metode Interview

Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua

orang atau lebih berhadapan secara lansung. Dalam proses interview ada dua

pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak sebagai berfungsi

sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden).29 Proses wawancara ini akan diajukan kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini, seperti langsung

kepada narasumber pertama yaitu KH. Mahrus Amin sebagai pimpinan

yayasan Hidayatunnajah, Narasumber kedua yaitu Drs. KH. Mustofa Hadi

28

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, hlm. 201.

29

(30)

Chirzin sebagai saksi ikrar wakaf dan terkakhir kepada Kepala PPAIW Kec.

Pebayuran.

3. Observasi

Adapun Observasi adalah merupakan sebuah proses penelitian secara

mendalam untuk mengetahui proses perubahan status tanah wakaf yang terjadi di

Pebayuran Kab. Bekasi.

d. Teknik Analisis Bahan

Adapun analisis bahan terkait judul skripsi merupakan langkah-langkah

yang berkaitan dengan bahan-bahan yang telah dikumpulkan untuk menjawab

isu yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian ini, pengolahan bahan studi, hakikatnya merupakan

kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan yang telah ada.

Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut

untuk memudahkan pekerjaan analisis.

Analisis terkait skripsi ini dengan mempergunakan antara lain:

1) Mengumpulkan hasil wawancara beserta analisis buku-buku mengenai

pandangan

2) Adapun yang terakhir merupakan hasil analisis penulis terkait

Pandangan Status Tanah Wakaf tersebut setelah dilihat dari hukum

(31)

e. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2014.

E. Review Terdahulu

Untuk melihat keaslian skripsi yang ditelusuri oleh penulis, perlu kiranya

melakukan review terdahulu guna melihat sejauh mana pembahasan terkait judul

skripsi yang penulis telusuri memiliki persamaan (dalam hal yang bukan

substansi) dan perbedaan dalam hal substansi. Oleh sebab itu penulis hadir dalam

dua review terdahulu yang hampir mirip, yaitu:

1. Rizal Anshor, Fungsi Dan Kewenangan Pejabat Pembuat Aktra Ikrar Wakaf (PPAIW) Terhadap Pendaftaran Tanah Wakaf studi kasus PPAIW Kec. Kebayoran Baru, (Jakarta: Fakultas syariah dan hukum, 2011).

Pembahasan: dalam skripsi ini di bahas mengenai fungsi dan

wewenang pejabat pembuat aktra ikrar wakaf (PPAIW) dalam hal

pendaftaran tanah wakaf. Upaya agar tidak terjadinya sengketa tanah wakaf

bahwa UU no. 41/2004 tentang Wakaf dan PP No. 28/1977 tentang tanah

wakaf hak milik menjadi hal penting ketika tanah wakaf itu dicatatkan

(32)

tentang peraturan pelaksana peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 tentang

tanah wakaf hak milik mengenai pejabat yang ditunjuk untuk pembuatan

akta ikrar wakaf yaitu PPAIW dengan lebih khusus KUA (kantor urusan

agama) daerah setempat menjadi pejabat pembuat akta ikrar wakaf. Melihat

kewenangan penyelenggaraan administrasi wakaf yang berada di tingkat

kecamatan menjadi hal yang sangant penting ketika pencatatan wakaf itu

dilangsungkan. Dalam skipsi ini yang menjadi sorotan yaitu tanah wakaf di

wilayah Kec. Kebayoran baru. Yang mana ada sekitar 85 tanah wakaf namun

terdapat kendala-kendala—sehingga memunculkan sengketa tanah wakaf di daerah setempat. Dalam hal ini, bahwa PPAIW menjadi sangat fundamental

ketika tugas, peran sertan implementasi kewenangan PPAIW terhadap

pendataan maupun pengawasan terhadap tanah wakaf tersebut. Namun

terjadi ketidak sinkronan antara pemahaman masyarakat dengan tujuan

pencatatan wakaf itu sendiri. Pemahaman Masyarakat yang sangat minim

menjadi kendala serta menimbulkan permasalahan besar sehingga timbul

konflik akibat ketidaktahuan pencatatan atau pendaftara akta ikrar wakaf

kepada PPAIW daerah setempat.Adapun metodelogi yang digunakan dalam

sripsi ini adalah metode kuantitatif yaitu mengolah data statistik yang tersaji

dengan ditambah denegan metode wawancara untuk mendapatkan hasil yang

(33)

2. Naufal Azhar, Peranan Ppaiw (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf)Dalam Mencegah Terjadinya Sengketa Wakaf di KUA Kec. Bekasi Barat. (Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum, 2011).

Pembahasan: Adapun pembahasan Dalam skripsi ini yaitu pelaksanaan

ikrar wakaf dilaksanakan oleh para pihak yang berwenang, seperti

pengucapan ikrar wakaf harus dilaksanakan didepan PPAIW (pejabat

pembuat akta ikrar wakaf) sesuai dengan PP No. 1 tahun 1978 bahwa KUA

sebagai tim yang ditunjuk dalam hal itu. Dalam hal ini PPAIW berkewajiban

untuk meneliti kehendak wakif, mengesahkan nazhir, meneliti saksi ikrar

wakaf, menyampaikan akta ikrar wakaf beserta salinannya dalam waktu 1

bulan sejak dibuatnya. Dalam hal lain, agar tidak terjadinya sengketa tanah

wakaf, dalam pasal 40 UU no. 41/2004 tentang Wakaf bahwa benda wakaf

yang sudah diwakafkan itu dilarang untuk dijadikan jaminan, disita,

dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk

pengalihan hak lainnya. Namun ketika terjadi pelanggaran perjanjian oleh

nazhir dengan seorang wakif maka sengketa tersebut harus diselesaikan

dengan cara musyawarah. Lebih jelasnya dalam pasal 62 UU no. 41/2004

tentang Wakaf manakala terjadi sengketa maka sengketa tersebut ditempuh

lewat jalur musyawarah (untuk mencapai mufakat), apabila tidak terjadi

mufakat maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.

Kaitannya dengan wilayah yang diteliti yaitu sejauh mana peranan PPAIW

(34)

digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan pendekatan yuridis

sosiologis yakni mengkaji UU no. 41/2004 tentang perwakafan, sedangkan

jenis penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif.

F. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan studi ini terarah, maka sistematika penulisannya

sebagai berikut:

BAB 1 Pendahuluan

Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II Konsep Hukum Wakaf

Bab ini terdiri dari Pengertian Wakaf, Dasar Hukum Wakaf,

Syarat dan Rukun Wakaf, dan terakhir Sejarah Hukum

Perwakafan di Indonesia.

BAB III Kronologis Masalah Wakaf di Daerah Pebayuran Kab.

Bekasi-Jawa Barat

Bab ini menjelaskan terkait masalah, Kronologis Wakaf, Pokok

Permasalahan dan Data-data Terkait yang menjadi bukti praktik

wakaf.

BAB IV Keabsahan Praktik Wakaf Daerah Pebayuran Kab. Bekasi

(35)

Di bab ini penulis menjelaskan tentang Keabsahan Wakaf

Perspektif Fiqh, Ketentuan Sah Wakaf Perspektif Perundangan

di Indonesia dan Analisis Kasus Praktik Wakaf Daerah

Pebayuran Kab. Bekasi Perpektif Fiqh dan Perundangan

Indonesia.

BAB V Penutup

(36)

24

BAB II

KONSEP HUKUM WAKAF

Dalam bab II, penulis memberikan pembahasan tentang konsep hukum

wakaf secara umum beserta penjelasannya masing-masing. Menurut penulis hal

itu menjadi relevan untuk disajikan dalam bab ini, guna tidak terjadi

kesalahpahaman. Untuk lebih jelasnya di bawah ini penulis sajikan pengertian

wakaf, konsep wakaf dan sejarah peraturan perwakafan di Indonesia.

A. Pengertian Wakaf

Jika ditelusuri dengan seksama, kata “wakaf” terambil atau diilhami dari kata “qifuhum” dalam surat al-Shaffat ayat 24, kata “waqifu” dalam surat

al-An'am ayat 27 dan 30, serta dalam surat Saba’ayat 31 dengan kata “mauqufun”.

Dari keempat ayat tersebut, terjemahan al-Qur’an Departemen Agama RI

memaknai kata “qifuhum” dengan “tahanlah mereka” (di tempat perhentian),

kemudian kata “waqifu” dengan makna “mereka dihadapkan”, dan kata

“mauqufun” bermakna “dihadapkan”.1

Adapun bentuk jam a‟(plural) dari katawakaf yaitu “auqâf” berasal dari kata benda abstrak (masdar) atau kata kerja (fi‟il) yang dapat berfungsi sebagai kata kerja transitif (fi‟il muta‟addi) atau kata kerja intransitif (fi‟il lazim), berarti

1

(37)

menahan atau menghentikan sesuatu dan berdiam di tempat.2 Dengan kata lain, perkataan waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab: waqafa yaqifu waqfan yang berarti ragu-ragu, berhenti,

memperhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengatakan,

memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi dan tetap berdiri.3 Kata

al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari habasa yahbisu habsan, artinya berhenti, berdiri, berdiam di tempat atau menahan.4

Dalam pengertian istilah, wakaf juga bisa berarti menahan atau

menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna kepentingan kebaikan

untuk mendekatkan diri kepada Allah.5 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan

menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.6 Menurut

Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas suatu harta

dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai pendekatan diri

2

Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 120.

3

Ahmad Warson Munawir, al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), edisi ke-2, hlm. 1576

4

Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.3

5

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 490

6

(38)

kepada Allah.7 Sedangkan menurut As Shan'ani, wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya

(ainnya)dan digunakan untuk kebaikan.8

Dalam kajian literatur fiqh klasik, para ulama berbeda pendapat dalam

memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda

pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai

berikut:9

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda

(al-„ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan. Definisi wakaf

tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau

terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi

pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas

manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu

harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan

kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu

7

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 223

8

Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Juz 3, (Cairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950), hlm. 114.

9

(39)

tertentu sesuai dengan keinginan Wakif. Definisi wakaf tersebut hanya

menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa

memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-„ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada

Nazhir yang dibolehkan oleh syariah. Golongan ini mensyaratkan harta yang

diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-„ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya.

Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang

sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang

dihasilkan.10

Keempat definisi wakaf menurut ulama klasik ternyata memberikan

inspirasi definisi wakaf dalam perundangan Indonesia, seperti Undang-undang

Nomor 41 tahun 2004, bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk

memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk

dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan

kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut

syariah.11

10

M. Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, edisi terjemahan Hukum Wakaf, (Depok: Dompet Dhuafa Republika dan IIMan, 2004), hlm. 59

11

(40)

Dari beberapa definisi wakaf di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf

bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada

orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini

sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang

menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis

harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan

kesejahteraan umum.

B. Dasar Hukum Wakaf

Secara umum, ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf tidak

terlihat secara jelas. Adapun dasar utama disyariatkannya wakaf lebih dipahami

berdasarkan pemahaman konteks ayat al-Quran itu sendiri, yaitu wakaf

merupakan sebuah amal kebajikan.12 Para ulama dalam menerangkan konsep

wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan

tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

12

(41)















13

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. QS. al-Baqarah:267)





14

Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya." (Q.S Ali Imran:92)

Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu Hadis yang

menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika menerima tanah di

Khaibar, yaitu:

13

QS. al-Baqarah: 267

14

(42)

ع ه ص

تأف ر خ ضرأ ر ع صأ :

ع ه ضر ر ع ع

ه سر : ف ف رمأ س م س

س أ ط ا ضم صأ م ر خ ضرأ ت صأ

تس ح ت ْش إ ,م س ع ه ص ه سر ف . رمأت ف م د ع

ف دصت . ر تا

تا ع تا أ ,ر ع دص ف ت دصت صأ

ف ض س

ه س ف ر ف ر ف ء ر

م ع ح جا

ف م س ظ

) ع م(ا م

م ر غ معط ف رع م كأ أ

ر ث

ا ع ا صأ دصت : ر خ ة ر

15

.

"Dari Ibnu Umar ra. berkata : 'Bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah saw., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah saw. bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).

C. Syarat dan Rukun Wakaf

Agar tidak terhindar salah pengertian serta memperjelas pemahaman

syarat dan rukun wakaf, maka terlebih dahulu penulis mengemukakan

15

(43)

pengertian syarat dan rukun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan,16 sedangkan

syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan

dilakukan.17

Menuru Wahhab Khalaf bahwa syarat adalah sesuatu yang keberadaan

suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu

itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut.18 Yang dimaksudkan adalah

keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya. Sedangkan rukun, dalam

terminologi fikih, adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin

tertentu, di mana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri. Atau

dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, di mana ia merupakan

bagian dari sesuatu itu.19

Dalam pengertian wakaf, ketika menyebutkan rukun wakaf maka secara

otomatis terkandung didalamnya syarat-syarat wakaf, adapun unsur (rukun)

wakaf dan syarat yang menyertainya adalah sebagai berikut: a) Waqif (orang yang mewakafkan).

16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), hlm. 966.

17

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), hlm. 1114

18

Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh ,(Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), hlm. 118.

19

(44)

Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.20

b) Mauquf atau benda yang diwakafkan

Syarat-syarat harta benda yang diwakafkan yang harus dipenuhi sebagai

berikut:

 Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali

pakai;

 benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum;

 hak milik wakif yang jelas batas-batas kepemilikannya;

 benda wakaf itu dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya;

 benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat

yang lebih besar;

 benda wakaf tidak dapat diperjual belikan, dihibahkan atau

diwariskan.

c) Mauquf 'alaih (tujuan wakaf)

Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif perlu

menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta yang diwakafkan itu untuk

menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (waqf ahly), atau untuk fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqf khairy). Yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaan

20

(45)

Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.21Kegunaan wakaf bisa untuk sarana ibadah murni, bisa juga untuk sarana sosial keagamaan lainnya

yang lebih besar manfaatnya.

d) SighatWakaf

Adapun pengertian shighat wakaf ialah segala ucapan, isyarat orang yang

bertekad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang

diinginkannya dalam hal transaksi wakaf. Shighat wakaf cukup dengan

ijab (kalimat memberi) saja dari Wakif tanpa memerlukan qabul dari

mauquf „alaihi. Begitu juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan

tidak juga menjadi syarat untuk berhaknya wakaf mauquf „alaihi

memperoleh manfaat harta wakaf, kecuali pada wakaf yang tidak

tertentu, hal ini menurut pendapat sebagian mazhab.22

D. Sejarah Hukum Perwakafan di Indonesia

Sejak dulu sebelum kermerdekaan Indonesia tiba, pelaksanaa wakaf

masih sangat sederhana, tidak disertai administrasi, cukup dilakukan ikrar

(pernyataan) secara lisan, kemudian masalah pengurusan dan pemeliharaaan

tanah wakaf diserahkan kepada nadzir. Karena sistem pengadministrasian yang

kurang baik inilah terdapat tanah-tanah wakaf yang bermunculan permasalahan,

21

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 323

22

(46)

seperti bentuknya yang hilang atau diambil alih oleh orang-orang yang tidak

bertanggung jawab, sengketa melalui pengadilan dan lain-lain.23

Dalam sejarahnya, pengaturan perwakafan di Indonesia bertujuan untuk

mengatur dan mengawasi tanah wakaf telah banyak dikeluarkan sejak zaman

pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintah zaman kemerdekaan sampai

terbitnya perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan, antara lain

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6 Tahun 1977 dan PMA

No. 1 Tahun 1978, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang

Kompilasi Hukum Islam hingga lahirnya Undang-Undang No. 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf. Di bawah ini merupakan sejarah awal mula pengaturan

perwakafan di Indonesia sejak zaman kolonial hingga sekarang ini.

1. Peraturan Wakaf Zaman Kolonial Hindia Belanda

Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan

peraturan-peraturan, yaitu:

a. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435

sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezict opden

bouw van Mohammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada

para kepala wilayah mengharuskan para Bupati membuat daftar rumah-rumah

23

(47)

ibadat bagi orang Islam. Dalam daftar itu harus dimuat asal-usul tiap rumah

ibadat dipakai shalat jum'at atau tidak, keterangan tentang segala benda yang

tidak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan

nama wakaf atau dengan nama lain.

b. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A

termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezict van de Regering op

Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini

merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad No. 6196, yaitu tentang

pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang

jum'at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin Bupati, yang

menilai permohonan itu dari segi tempat wakaf dan maksud pendirian.

c. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A

termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezict van de Regering op

Mohammedaansche bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran

ini antara lain ditentukan bahwa Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi

tanah wakaf yang dapat dipercaya. Maksud untuk mewakafkan tetap harus

diberitahukan kepada Bupati agar ia mendapat kesempatan untuk mendaftarkan

wakaf tersebut dan meneliti apakah ada peraturan umum atau peraturan setempat

(48)

2. Peraturan Wakaf Masa kemerdekaan

Pada masa kemerdekaan, masalah wakaf mulai mendapat perhatian lebih

dari pemerintah indonesia, antara lain melalui pemerintah agama. Walaupun

undang undang tentang perwakafan tanah lahir 15 tahun setelah Indonesia

merdeka, namun sebelum itu pemerintah melalui pemerintah departemen agama

telah melahirkan beberapa petunjuk tentang pelaksanaan wakaf, antara lain

sebagai berikut:

a) Petunjuk tentang perwakafan tanah tanggal 22 desember 1953

b) Petunjuk tentang wakaf yang bukan milik kemasjidan, merupakan tugas

bagian D (ibadah sosial) jawatan urusan agama berdasarkan surat edaran

jawatan urusan agama tanggal 8 oktober 1956 nomor 3/D/1956

c) Petunjuk tentang prosedur perwakafan tanah berdasarkan surat edaran

jawatan urusan urusan agama nomor 5/1956.

Petunjuk dan surat edaran tentang wakaf, baik produk pemerintah kolonial

Belanda maupun yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sendiri, tenyata masih

banyak mengandung kelemahan di sana sini, terutama belum memberikan

kepastian hukum bagi tanah tanah wakaf. Untuk menerbitkan itu semua,

pemerintah RI merasa perlu melakukan pembaruan hukum agraria. Maka, pada

tahun 1960 lahirlah Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok

(49)

Dalam undang-undang tersebut kita dapat temui beberapa pasal mengenai

perwakafan, antara lain pada pasal 5, pasal 14, dan pasal 49 UU No. 5 Tahun

1960.24 Misalnya saja pasal 49 mengatakan bahwa hak milik tanah-tanah keagamaan dan sosial, sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang

keagamaan sosial, diakui dan dilindungi.25 Artinya dalam pasal 49 UUPA menjelaskan tentang tanah wakaf yang diakui oleh negara.

Seiring berjalannya waktu, sebagai realisasi ketentuan pasal 49 di atas

dikeluarkanlah pula peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 tanggal 17 mei

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP ini terdiri atas tujuh bab, delapan belas

pasal, meliputi pengertian tentang wakaf syarat syarat sah wakaf, fungsi wakaf,

tatacara wakaf, pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisiahan, dan

pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan.

Dikeluarkan PP nomor 28 tahun1977 yang disertai aturan pelaksanaannya,

sebenarnya bertujuan menjadikan wakaf sebagai suatu lembaga keagaamaan yang

dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana pengembangan kehidupan

kenegaraan, khususnya bagi umat Islam.26

24

Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 85

25

Asmuni Mth, Wakaf: Seri Tuntunan Praktis Ibadah, (Yogyakarta: PT. Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 86

26

(50)

Tujuan ini sebernarnya berdasarkan kenyataan bahwa keadaan perwakafan

tanah tidak atau belum diketahui jumlah, bentuk, penggunaan, dan pegelolaanya,

disebabkan tidak adanya ketentuan administrasi yang mengatur tentang itu. Jadi,

pada waktu itu PP nomor 28 tahun 1977 memang merupakan hal urgen, terutama

untuk kepentingan seperti tersebut diatas, serta untuk memberi ketepatan hukum

dan kejelasan hukum tentang tanah perwakafan sesuai pasal 49 ayat 3 UUPA,

dengan hadirnya PP nomor 28 tahun 1977, berbagai penyimpangan dan sengketa

wakaf diharapkan dapat diminimalkan.

Dalam kaitan ini, departemen agama RI melakukan berbagai upaya untuk

mengurangi penyimpangan dan sengketa wakaf pasca lahirnya PP No. 28 tahun

1977. Diantara langkah langkah yang diambil oleh departemen agama adalah

sebagai berikut.

1. Mendata seluruh tanah wakaf hak milik diseluruh wilayah tanah

air.pendataan tanah wakaf hak milik ini sebagai langkah untuk

memastikan jumlah wakaf tanah di Indonesia untuk kemudian dijadikan

tolak ukur pengelolaan, pemberdayaan, dan pembinaan tanah wakaf.

2.

Gambar

Gambar 126 Untuk lebih jelasnya di bawah ini tatacara pendaftaran wakaf tidak
Grafika. 2010.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Univeristas PGRI Palembang melakukan 4 (empat) bauran promosi, yaitu Iklan, Personal Selling, Publisitas, dan Word of Mouth, dimana Iklan adalah promosi yang

Bakteri yang digunakan untuk perhitungan jumlah neutrofil dalam penelitian ini adalah Staphylococcus aureus yang diremajakan pada media MSA sebanyak 3 kali untuk

1 Apabila saya melihat obat diet yang saya inginkan, saya akan membelinya saat itu juga.. 2 Saya sering membeli obat diet meskipun saya tidak begitu

Program Pengenalan lingkungan merupakan strategi belajar mengajar yang dilakukan di luar kelas agar peserta didik tidak hanya memahami secara tekstual saja tetapi juga

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat akurasi model distribusi sedimen EARM agar dapat digunakan untuk memprediksi kurva H-V.Lokasi penelitian inidi

Pada bab ini akan membahas dari model pemecahan RCA yaitu “verifikasi tindakan” dan membuktikan hipotesa penelitian dari BAB III, dengan menggunakan metode RCA akan diambil

Penggunaan teknik interpretasi hibrida pada citra satelit Landsat multitemporal untuk mengidentifikasi tingkat kepadatan bangunan dapat dilakukan dengan menggabungkan