• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Masyarakat Di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Masyarakat Di Sumatera Utara"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KONSUMSI MASYARAKAT DI SUMATERA UTARA

Skripsi Diajukan Oleh SHERLY CAVADIA NST

060501077

Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

(2)

ABSTRACT

The level of life or prosperity of society is generally reflected in their level and pattern of consumption covering elements of food, clothes, housing, education, and health. These five elements on mostly population is still less to fulfil either quantitatively or qualitatively in a purpose to maintain the life standard properly, it’s because how complex the dimention of social life that uneasy to measure from all side. The high and sthe low of expenses to individual consumption or household/society refers to the factor that defined the economic increase and the growth in one region. Economics theory stated that even level and pattern of consumption has a close related to the amount of income, that someone’s consumption is parallel with income, the bigger the income, so the bigger the pattern of expenditure for consumption. However the level income is not the only factor which could influence it. It could be influenced by price of goods (based on inflation rate), saving, number of family membership, age, taste, and so on.

This research try to analyze how influence of individual income, inflation rate and population to consumption of society in North Sumatera. For the purpose of analysis, this research used data of time series of year 1988-2008. The method analysis used is Ordinary Least Square (OLS) .

The result shows that coefficient determination (R²) equal to 0,88, it means that variable independent (individual income, inflation rate and population) are able to give explanation to variabel dependent (consumption) amount of 88%, meanwhile the residual 12% explained by other variabels which not included in the estimation model. F-hitung > F-tabel (45.48460 > 5.19)., it means that individual income, inflation rate and are overall influence significantly on consumption of society in North Sumatera at 99% level.

(3)

ABSTRAK

Tingkat hidup atau kemakmuran suatu masyarakat pada umumnya tercermin dari tingkat dan pola konsumsinya yang dapat dilihat dari unsur-unsur seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kelima unsur ini bagi kebanyakan masyarakat masih kurang terpenuhi baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam tujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan secara wajar, hal ini diakibatkan karena begitu kompleksnya dimensi kehidupan sosial yang tidak mudah diukur dari semua sisi. Tinggi atau rendahnya biaya konsumsi seseorang atau rumah tangga/masyarakat adalah faktor yang dianggap dapat mempengaruhi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Teori ekonomi menyatakan bahwa baik tingkat atau pola konsumsi erat kaitannya dengan pendapatan, dimana konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya, semakin besar pendapatan maka semakin besar pula pola pengeluaran konsumsinya. Namun, bukan faktor pendapatan saja yang dapat mempengaruhi konsumsi. Ini dapat juga dipengaruhi oleh harga (berdasarkan tingkat inflasi), tabungan, jumlah anggota keluarga, selera, umur, dan lain sebagainya.

Penelitian ini mencoba untuk menganalisis bagaimana pengaruh Pendapatan perkapita, tingkat inflasi, dan jumlah penduduk terhadap konsumsi masyarakat di Sumatera Utara. Untuk tujuan analisis , penelitian ini menggunakan data time series dari tahun 1988-2008. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS).

Hasilnya menunjukkan bahwa koefisien determinasinya (R²) adalah sama dengan 0.88 yang berarti bahwa variabel independen (Pendapatan perkapita, tingkat inflasi, dan jumlah penduduk) dapat memberi penjelasan terhadap variabel dependen (konsumsi) sebesar 88%, sedangkan sisanya12% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi. F-hitung > F-tabel (45.48460 > 5.19). yang berarti bahwa Pendapatan perkapita, tingkat inflasi dan jumlah penduduk secara keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi masyarakat di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan sebesar 99%.

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat ALLAH S.W.T dimana karena berkat

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Masyarakat di Sumatera Utara” yang dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam meraih gelar

Sarjana Ekonomi dari Program Strata I Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis senantiasa mendapat bantuan dari berbagai

pihak baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran. Oleh karena itu

pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, S.E, M.Ec selaku ketua Departemen Ekonomi

Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs Syahrir Hakim Nst, Msi selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan saran, bimbingan dan petunjuk bagi penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

4. Ibu Raina Linda Sari, Msi selaku dosen penguji I.

5. Ibu Ilyda Sudarjat, Msi selaku dosen penguji II.

6. Seluruh Bapak/Ibu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

khususnya dosen departemen Ekonomi Pembangunan yang telah mendidik

penulis selama perkuliahan beserta seluruh staff/pegawai Fakultas Ekonomi

(5)

7. Seluruh staff pegawai Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara

yang telah banyak membantu dalam memberikan data yang berhubungan

dengan skripsi ini.

8. Teristimewa kepada kedua orang tuaku, terima kasih atas doa, bimbingan,

motivasi, kesabaran dan dukungan secara moril dan materil selama pendidikan

hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Buat kakakku Ira Susanti, dan adikku Yohana Irsani atas semua dukungan, doa

dan bantuan sehingga terselesaikan skripsi ini.

10.Buat Asep seseorang yang sabar mendengar keluh kesalku, selalu menemaniku

dan memberikan semangat serta doa dengan penuh kasih sayang sehingga

terselesaikan skripsi ini.

11.Buat sahabat-sahabatku Tya, Devi, Kiki, Nita, Aisyah, Aziz, Ardi, Udin, Ari,

Ayom, Fika, David, terima kasih atas semangat dan doanya hingga skripsi ini

terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan

skripsi ini yang akan sangat penulis butuhkan sebagai pedoman di masa yang akan

datang. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Medan, Maret 2010

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT... i

ABSTRAK... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5

1.3 Hipotesis... 6

1.4 Tujuan Penelitian... 6

1.5 Manfaat Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi 2.1.1 Konsep dan Definisi Konsumsi... .8

2.1.2 Teori Konsumsi...11

2.2 Inflasi 2.2.1 Pengertian dan Definisi Inflasi...18

2.2.2 Sebab-Sebab Inflasi...19

2.2.3 Pengaruh Inflasi... .19

2.2.4 Cara Mengukur Inflasi... 20

2.2.5 Macam-Macam Inflasi... 23

2.2.6 Berbagai Model Teori Inflasi...27

2.2.7 Kebijakan Moneter dan Inflasi... 31

2.3 Pendapatan Perkapita 2.3.1 Pengertian Pendapatan Perkapita...33

(7)

2.4 Teori Kependudukan

2.4.1 Teori Thomas Robert Malthus ………36

2.4.2 Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian... 39

3.2 Jenis dan Sumber Data...39

3.3 Metode dan Tekhnik Pengumpulan Data... 39

3.4 Pengolahan Data... 40

3.5 Model Analisis Data... 40

3.6 Uji Kesesuaian (Test For Goodness Of Fit)... 41

3.7 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik... 45

3.8 Definisi Operasional...48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Daerah Penelitian 4.1.1 Sejarah Singkat Sumatera Utara...49

4.1.2 Gambaran Umum Sumatera Utara...51

4.1.3 Gambaran Perekonomian Sumatera Utara...57

4.1.4 Perkembangan PendapatanPerkapita Sumatera Utara...59

4.1.5 .Perkembangan Tingkat Inflasi Sumatera Utara...61

4.1.6 Perkembangan Konsumsi Masyarakat Sumatera Utara...64

4.1.7 Penduduk Sumatera Utara...68

4.2 Hasil Evaluasi dan Interpretasi Data 4.2.1 Pengujian Pengaruh Variabel Dependent Terhadap Variabel Independent...71

4.2.2 Interpretasi Model...72

4.2.3 Uji Kesesuaian ( Test for Goodness of Fit )... 73

4.2.4 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 83

5.2 Saran... 84

(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1 Letak dan Geografis Sumatera Utara... 52

1.2 Pendapatan Perkapita Sumatera Utara...60

1.3 Tingkat Inflasi Sumatera Utara... 63

1.4 Pengeluaran Perkapita Sumatera Utara... 66

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1.1 Kurva Teori Konsumsi Keynes...12

1.2 Kurva Teori Konsumsi Dusenberry...14

1.3 Kurva Teori Konsumsi Hipotesa Siklus Hidup...16

1.4 Kurva Teori Demand Pull Inflation ...25

1.5 Kurva Cost Push Inflation ...26

1.6 Kurva Model Konsumsi Teori Strukturalis ...30

1.7 Kurva Uji t-statistik...43

1.8 Kurva Uji Fstatistik... 44

1.9 Kurva Uji Durbin-Watson... 47

2.0 Uji t-statistik Variabel PendapatanPerkapita...75

2.1 Uji t-statistik Variabel Tingkat Inflasi... 76

2.2 Uji t-statistik Variabel Jumlah Penduduk...77

2.3 Uji F-statitik Variabel Pendapatan Perkapita dan Tingkat Inflasi..79

(10)

PENANGGUNG JAWAB SKRIPSI

Nama : SHERLY CAVADIA NST Nim : 060501077

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Konsentrasi : Ekonomi Perencanaan Regional

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi di Sumatera Utara

Tanggal ,

Pembimbing

(Drs. Syahrir Hakim, Msi NIP. 131 124 048

(11)

BERITA ACARA UJIAN

Hari : Sabtu

Tanggal : 27 Maret 2010 Nama : Sherly Cavadia Nst Nim : 060501077

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Konsentrasi : Ekonomi Pembangunan Regional

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi di Sumatera Utara

Ketua Departemen Pembimbing Skripsi

( Wahyu Ario Pratomo,S.E, M.Ec) (Drs. Syahrir Hakim, Msi NIP. 132 206 574 NIP. 131 124 048

)

Penguji I Penguji II

(Dra. Raina Linda Sari, Msi) ( Dra. Ilyda Sudarjat, Msi NIP. 130 937 215 NIP. 131 127 371

(12)

Nama : Sherly Cavadia Nst

PERSETUJUAN ADMINISTRASI AKADEMIK

Nim : 060501077

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Konsentrasi : Ekonomi Perencanaan Regional

Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Masyarakat di Sumatera Utara

Tanggal ,

Ketua Departemen

( Wahyu Ario Pratomo, S.E, M.Ec NIP. 132 206 574

)

Tanggal ,

Dekan

( Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec NIP. 131 285 985

(13)

ABSTRACT

The level of life or prosperity of society is generally reflected in their level and pattern of consumption covering elements of food, clothes, housing, education, and health. These five elements on mostly population is still less to fulfil either quantitatively or qualitatively in a purpose to maintain the life standard properly, it’s because how complex the dimention of social life that uneasy to measure from all side. The high and sthe low of expenses to individual consumption or household/society refers to the factor that defined the economic increase and the growth in one region. Economics theory stated that even level and pattern of consumption has a close related to the amount of income, that someone’s consumption is parallel with income, the bigger the income, so the bigger the pattern of expenditure for consumption. However the level income is not the only factor which could influence it. It could be influenced by price of goods (based on inflation rate), saving, number of family membership, age, taste, and so on.

This research try to analyze how influence of individual income, inflation rate and population to consumption of society in North Sumatera. For the purpose of analysis, this research used data of time series of year 1988-2008. The method analysis used is Ordinary Least Square (OLS) .

The result shows that coefficient determination (R²) equal to 0,88, it means that variable independent (individual income, inflation rate and population) are able to give explanation to variabel dependent (consumption) amount of 88%, meanwhile the residual 12% explained by other variabels which not included in the estimation model. F-hitung > F-tabel (45.48460 > 5.19)., it means that individual income, inflation rate and are overall influence significantly on consumption of society in North Sumatera at 99% level.

(14)

ABSTRAK

Tingkat hidup atau kemakmuran suatu masyarakat pada umumnya tercermin dari tingkat dan pola konsumsinya yang dapat dilihat dari unsur-unsur seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kelima unsur ini bagi kebanyakan masyarakat masih kurang terpenuhi baik secara kuantitatif maupun kualitatif dalam tujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan secara wajar, hal ini diakibatkan karena begitu kompleksnya dimensi kehidupan sosial yang tidak mudah diukur dari semua sisi. Tinggi atau rendahnya biaya konsumsi seseorang atau rumah tangga/masyarakat adalah faktor yang dianggap dapat mempengaruhi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Teori ekonomi menyatakan bahwa baik tingkat atau pola konsumsi erat kaitannya dengan pendapatan, dimana konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya, semakin besar pendapatan maka semakin besar pula pola pengeluaran konsumsinya. Namun, bukan faktor pendapatan saja yang dapat mempengaruhi konsumsi. Ini dapat juga dipengaruhi oleh harga (berdasarkan tingkat inflasi), tabungan, jumlah anggota keluarga, selera, umur, dan lain sebagainya.

Penelitian ini mencoba untuk menganalisis bagaimana pengaruh Pendapatan perkapita, tingkat inflasi, dan jumlah penduduk terhadap konsumsi masyarakat di Sumatera Utara. Untuk tujuan analisis , penelitian ini menggunakan data time series dari tahun 1988-2008. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS).

Hasilnya menunjukkan bahwa koefisien determinasinya (R²) adalah sama dengan 0.88 yang berarti bahwa variabel independen (Pendapatan perkapita, tingkat inflasi, dan jumlah penduduk) dapat memberi penjelasan terhadap variabel dependen (konsumsi) sebesar 88%, sedangkan sisanya12% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi. F-hitung > F-tabel (45.48460 > 5.19). yang berarti bahwa Pendapatan perkapita, tingkat inflasi dan jumlah penduduk secara keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap konsumsi masyarakat di Sumatera Utara pada tingkat kepercayaan sebesar 99%.

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional yang selama ini dilakukan telah membawa pertumbuhan

ekonomi dan perkembangan tekhnologi yang pesat. Hal tersebut membawa dampak pada

sikap peningkatan pendapatan masyarakat, perubahan struktur harga, perubahan pada

sikap serta tingkah laku masyarakat yang selanjutnya menyebabkan perubahan pola

konsumsi masyarakat. Secara umum tingkat hidup atau kemakmuran suatu masyarakat

tercermin dari tingkat dan pola konsumsinya dan salah satu indikator untuk mengukur

tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah dengan mengukur tingkat dan pola konsumsi

masyarakat tersebut.

Konsep perilaku konsumen (masyarakat) yang mengungkapkan bagaimana upaya

pencapaian maksimum kepuasaan (maximize satisfaction) dengan mengkonsumsi

berbagai jenis dan tingkat harga barang disesuaikan dengan pendapatan yang diterima.

Untuk pencapaian maksimum kepuasan, konsumen (masyarakat) dihadapkan kepada

alternatif produk sekaligus dinilai sebagai barang yang berguna. Sejauh mana alternatif

produk dapat berguna dan mampu mencapai maksimum kepuasan atau sebaliknya,

kelangkaan produk merupakan tantangan yang perlu dipecahkan, meskipun konsumen

(masyarakat) memiliki kemampuan untuk membeli produk yang diinginkan. Oleh karena

itu pihak konsumen perlu mempertimbangkan pola konsumsi terhadap berbagai

(16)

perubahan tingkat harga atau perubahan tingkat pendapatan yang diterima. Pengeluaran

konsumsi individu atau rumah tangga merupakan gambaran penggunaan pendapatan

individu. Teori ekonomi menyatakan baik tingkat konsumsi maupun pola konsumsi erat

hubungannya dengan besarnya pendapatan (Nasution, & Tarmizi 2006: 59-60).

Besarnya pendapatan berbeda antar lapisan masyarakat, antar daerah perkotaan dan

pedesaan, serta antar propinsi, kawasan, dan negara. Konsumsi seseorang berbanding

lurus dengan pendapatannya, semakin besar pendapatannya maka semakin besar pula

pengeluaran untuk konsumsi. Pengeluaran masyarakat khususnya untuk konsumsi pada

dasarnya dipengaruhi oleh baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa

faktor yang diyakini mempengaruhi keadaan masyarakat untuk mengkonsumsi sesuatu

adalah jumlah pendapatan, harga (yang ditentukan oleh tingkat inflasi yang terjadi), dan

lain-lain. Sedangakan faktor kualitatifnya adalah seperti tingkat pendidikan dan selera.

Pola konsumsi sangat tergantung dari tingkat pendapatan dan jenis barang konsumsi yang

ada dipasar yang harganya sangat dipengaruhi oleh tingkat/laju inflasi di daerah tersebut.

Pola konsumsi masyarakat juga selalu berubah-ubah dari tahun ke tahun disebabkan

oleh tingkat pendapatan masyarakat yang semakin tinggi dan jenis barang yang ada

dipasar. Tingkat hidup atau kemakmuran dari suatu masyarakat tercermin dalam tingkat

dan pola konsumsinya yang meliputi unsur-unsur pangan, sandang, perumahan,

pendidikan, dan kesehatan. Kelima unsur ini bagi kebanyakan penduduk masih kurang

terpenuhi baik secara kualitatif maupun kuantitatif untuk mempertahankan derajat

kehidupan secara wajar, hal ini diakibatkan karena begitu kompleksnya dimensi

kehidupan sosial yang tidak mudah diukur dari semua sisi. Dinegara berkembang, seperti

(17)

pengeluaran rumah tangga. Biasanya pengeluaran itu lebih 50% dari seluruh pengeluaran.

Tingginya pengeluaran pangan dinegara berkembang berkaitan dengan proses perbaikan

pendapatan yang dirasakan masyarakatnya. Disamping itu untuk menaikkan nutrisi

penduduk dinegara berkembang adalah menambah pengeluaran pangan. Sementara untuk

kebutuhan diluar pangan, seperti sandang baru dipenuhi setelah pengeluaran konsumsi

makanan tercapai.

Tingkat inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum (inflasi) menyebabkan

terjadinya efek substitusi. Konsumen akan mengurangi pembelian terhadap

barang-barang yang harganya relatif mahal dan menambah pengeluaran konsumsi terhadap

barang-barang yang harganya relatif murah. Adanya inflasi berarti harga semua barang

mengalami kenaikan dan ini akan menimbulkan efek substitusi antara pengeluaran

konsumsi dengan tabungan. Kenaikan tingkat harga umum tidaklah berarti bahwa

kenaikan harga barang terjadi secara proporsional. Hal ini mendorong konsumen untuk

mengalihkan konsumsinya dari barang yang satu ke barang lainnya. Inflasi yang tinggi

akan melemahkan daya beli masyarakat terutama terhadap produksi dalam negeri yang

selanjutnya akan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap nilai mata uang nasional.

(Guritno, 1998 : 78-79).

Laju inflasi di Sumatera Utara sendiri pada bulan Maret 2008 tercatat 7,22%

mengalami peningkatan dari tahun 2007 yang hanya sebesar 6,60% dan jauh berbanding

dari inflasi yang terjadi pada tahun 2006 yang hanya sebesar 6,11%. Namun,

sebagaimana periode sebelumnya laju inflasi ini lebih rendah dibandingkan dengan

inflasi nasional Maret 2008 yang sebesar 8,17%. Dinamika harga beberapa komoditi

(18)

I , 2008. Tingginya harga minyak goreng, cabe merah, dan sayur-sayuran pada bulan

Januari-Februari 2008 masih berlanjut hingga Maret 2008 (Laporan Badan Pusat Statistik

Medan, 2008).

Sejauh ini kita telah mendiskusikan banyak biaya inflasi, biaya ini menuntut banyak

ekonom untuk menyimpulkan bahwa pembuat kebijakan moneter sebaiknya menyetujui

inflasi nol. Fakta menunjukkan bahwa inflasi dapat membuat pasar tenaga kerja berjalan

dengan baik. Penawaran dan permintaan untuk berbagai jenis tenaga kerja selalu berubah.

Kadang kenaikan penawaran atau penurunan permintaan berdampak pada penurunan

ekuilibrium upah rill untuk sekelompok pekerja. Jika upah nominal tidak dapat dipotong,

maka satu-satunya cara untuk memotong upah rill yaitu dengan membiarkan inflasi

melakukannya. Tanpa inflasi, upah rill akan terpaku diatas tingkat ekuilibrium yang

berdampak dengan makin tingginya pengangguran (Mankiw, 2003).

Sumatera Utara merupakan provinsi keempat yang terbesar jumlah penduduknya di

Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan

lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara keadaan tanggal 31

Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10.26 juta jiwa dan dari hasil SP2000 jumlah

penduduk Sumatera Utara sebesar 11.51 juta jiwa. Pada bulan April 2003 dilakukan

pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Dari hasil

pendaftaran tersebut diperoleh jumlah penduduk sebesar 11.890.399 jiwa, selanjutnya

dari hasil estimasi jumlah penduduk keadaan Juni 2005 adalah 12.326.678 dan pada Juni

2006 diperkirakan sebesar 12.634.494 jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun

1990 adalah 143 jiwa per km2 dan tahun 2005 meningkat menjadi 172 juta jiwa per km2

(19)

Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1.20% pertahun dan pada

tahun 2000-2005 menjadi 1.37% per tahun dan laju pertumbuhan penduduk 2005-2006

mencapai 1.57% per tahun.

Dalam menganalisa tingkat konsumsi di Provinsi Sumatera Utara perlu diketahui

terlebih dahulu faktor-faktor yang mempengaruhinya, beberapa diantaranya adalah

pendapatan perkapita, inflasi dan jumlah penduduk. Ketiga faktor tersebut berperan

penting dalam menentukan naik turunnya tingkat konsumsi.

Berdasarkan uraian-uraian dan fenomena-fenomena yang telah dikemukakan diatas

maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi dengan judul “Analisis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi di Sumatera Utara ”. 1.2 Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat diperoleh suatu

rumusan masalah yang akan diteliti yaitu :

1. Bagaimana pengaruh pendapatan perkapita terhadap tingkat konsumsi di

Sumatera Utara.

2. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap tingkat konsumsi di Sumatera Utara.

3. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap tingkat konsumsi di Sumatera

Utara.

1.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang ada, yang

masih perlu dikaji kembali kebenarannya melalui data yang terkumpul. Dari rumusan

(20)

1. Pendapatan perkapita (atas dasar harga konstan) berpengaruh positif terhadap

tingkat konsumsi masyarakat di Sumatera Utara.

2. Tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap tingkat konsumsi masyarakat

Sumatera Utara.

3. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi masyarakat

Sumatera Utara.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pendapatan perkapita (atas dasar

harga konstan) terhadap tingkat konsumsi di Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat inflasi terhadap terhadap

tingkat konsumsi di Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh jumlah penduduk terhadap tingkat

konsumsi masyarakat di Sumatera Utara.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai tambahan wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan penulis dalam disiplin

ilmu yang penulis tekuni.

2. Sebagai tambahan informasi dan masukkan bagi mahasiswa/i Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara terutama mahasiswa/i Departemen Ekonomi

(21)

3. Sebagai masukan maupun perbandingan bagi kalangan akademisi dan peneliti lain

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Konsumsi

2.1.1 Konsep dan Definisi Konsumsi

Pengeluaran konsumsi masyarakat/rumah tangga merupakan salah satu variabel

makro ekonomi. Dalam identitas pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran,

variabel ini lazim dilambangkan dengan huruf C, inisial dari kata Consumption.

Pengeluaran konsumsi seseorang adalah bagian dari pendapatan yang dibelanjakan.

Apabila pengeluaran-pengeluaran konsumsi semua orang dalam suatu negara

dijumlahkan, maka hasilnya adalah pengeluaran konsumsi masyarakat negara yang

bersangkutan.

Secara makro agregat, pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan

pendapatan nasional. Semakin besar pendapatan maka semakin besar pula pengeluaran

konsumsi. Perbandingan besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap pendapatan

disebut hasrat marginal untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to Consume : MPC).

Pada masyarakat yang kehidupan ekonominya relatif belum mapan biasanaya angka

MPC mereka relatif besar, sementara angka MPS mereka relatif kecil, artinya jika

memperoleh tambahan pendapatan maka sebagian besar tambahan pendapatan tersebut

akan teralokasi untuk konsumsi. Hal ini sebaliknya berlaku pada masyarakat yang

kehidupan ekonominya relatif lebih mapan. Menurut Rahardja (2001:45), pengeluaran

konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi

(23)

1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga memiliki posisi terbesar dalam total

pengeluaran agregat.

2. Konsumsi rumah tangga bersifat endogenous dalam arti besarnya konsumsi rumah

tangga berkaitan dengan faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhinya.

Karena itu kita dapat menyusun model dan teori ekonomi yang menghasilkan

pemahaman tentang hubungan tingkat konsumsi dengan faktor-faktor lain yang

mempengaruhinya. Teori dan model tersebut dikenal dengan teori model konsumsi

yang telah terbukti bermanfaat bagi pengelola perekonomian makro.

3. Perkembangan masyarakat yang begitu cepat mengakibatkan perilaku-perilaku

konsumsi juga berubah cepat. Hal ini merupakan alasan lain yang memuat studi

tentang konsumsi rumah tangga tetap relevan.

2.1.2 Teori Konsumsi

Apabila dilihat kembali, variabel-variabel yang mempengaruhi konsumsi

sebenarnya tidak hanya pendapatan saja, akan tetapi ada variabel lain yang

mempengaruhi konsumsi masyarakat (seseorang) diantaranya adalah variabel sosial

ekonomi, tingkat harga, selera, tingkat bunga, dan sebagainya.

Pendapatan seseorang dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan nominal

dan pendapatan rill. Pendapatan nominal merupakan pendapatan yang diterima oleh

seseorang dalam jumlah nominal. Sedangkan pendapatan rill merupakan pendapatan yang

jumlahnya telah dideflasikan dengan perubahan harga barang dan jasa. Pendapatan rill

merupakan indikator yang paling realistis digunakan untuk mengukur tingkat

(24)

bahasan ini besar kecilnya konsumsi ditentukan oleh variabel-variabel lain selain

pendapatan (Bakti dkk, 2010: 45-52).

1. Teori Konsumsi Menurut Keynes (Absolute Income Hypothesis)

Teori konsumsi konsumsi agregatif ini mulanya dikemukan oleh Jhon Maynard

Keynes dalam bukunya “The General Theory Of Employment” dan ‘Interest and Money’

yang diterbitkan pada tahun 1936. Tentunya teori konsumsi J.M Keynes ini sebagai

pencetus ide pertama sangat sederhana dibandingkan dengan teori konsumsi setelahnya

yang terus mengalami perkembangan. Melalui teori konsumsi ini J.M Keynes

mengungkapkan bahwa besar kecilnya konsumsi pada suatu waktu ditentukan oleh nilai

absolute dari pendapatan masyarakat yang siap untuk dibelanjakan (disposable income)

pada waktu berlangsung. Pola tingkah laku konsumsi masyarakat meningkat sejalan

dengan pertambahan nilai pendapatan dan sebaliknya. Dengan demikian fungsi konsumsi

agregatif secara sederhana dapat ditulis sebagai:

C = f(Yd) ; dC/dY>0

Dimana: C = Nilai konsumsi agregatif

Yd= Dissposable income

Kemudian dengan perkembangannya, hubungan diantara konsumsi dengan

pendapatan sebagai hubungan linier maka fungsi konsumsi menjadi:

C = a + bYd

Melalui fungsi konsumsi ini konstanta (a) dinyatakan sebagai tingkat konsumsi

subsistence yang harus dipenuhi meskipun tingkat pendapatan nol. Adapun b disebut

sebagai “Marginal Propensity to Consume” (MPC), yaitu besarnya perubahan konsumsi

(25)

b = dC/dY; dengan batasan : 0 <b <1. Dengan demikian diperoleh MPS

(Marginal Propensity to Save) atau s = dS/dY dan dengan ketentuan bahwa :

MPC + MPS = 1

Selanjutnya rata-rata hasrat untuk konsumsi atau disebut dengan Average

Propensity to Consume (APC) diperoleh sebagai : APC =C/Y dan Average Propensity to

Save (APS) diperoleh sebagai APS = S/Y. Persyaratan yang ditentukan bahwa APC +

APS = 1.

Analisis keynes dalam perekonomian tertutup mengasumsikan bahwa :

Yd = C + S, dimana S adalah tabungan (saving). Persamaan ini sekaligus

mengungkapkan teori saving agregatif. Dari model diatas, bila digambar dalam bentuk

(26)

Gambar 1.1

Kurva Teori Konsumsi Keynes

2.Teori Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hypothesis).

Teori konsumsi ini dikemukakan oleh James Dusenberry dimana dalam bukunya

Income, Saving and The Theory of Consumer Behavior pada tahun 1949. Teori konsumsi

yang diajukan oleh James Dussenbery didasarkan kepada anggapan utama atau asumsi

sebagai berikut:

• Tingkat konsumsi adalah interdependent terhadap tingkat pendapatan tinggi atau

kebiasaan yang terjadi sebelumnya. Disamping itu unsur status sosial seseorang

(27)

yang akan mempengaruhi konsumsi adalah nilai pendapatan relatif terhadap

tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dimiliki sebelumnya.

Tingkat konsumsi bersifat irreversible yang bermakna bahwa apa yang terjadi

pada waktu pendapatan naik, tidak akan selalu merupakan kebalikan bila terjadi

penurunan pendapatan. Kenyataan menunjukkan bahwa bila tingkat konsumsi

sebelumnya pernah tinggi akibat kenaikan pendapatan maka pada waktu

pendapatan turun, penurunan konsumsi tidak akan proposional. Berdasarkan

kedua asumsi ini maka fungsi konsumsi dinyatakan sebagai:

C/Y = a+b (C/Y0) : 0 < b < 1 :

Dimana:

C = Konsumsi agregatif

Y = Pendapatan

Y0 = Pendapatan tertinggi sebelumnya

a = Tingkat konsumsi pada pendapatan nol (subsistence)

b = Marginal propensity to consume (MPC)

Dalam jangka panjang Y0 = Yt-1 sehingga Y/Y0 menjadi 1 + r , dimana r = laju

pertumbuhan pendapatan untuk setiap unit waktu. Selanjutnya C/Y nilainya akan menjadi

konstan dalam jangka panjang. Apabila menggunakan grafik berikut terlihat bahwa

tingkat konsumsi agregatif pada mulanya pada garis C1 pada titik E, akan tetapi apabila

terjadi kenaikan pendapatan konsumen (0Y1 menjadi 0Y2) maka jumlah konsumsi akan

meningkat relatif tinggi sehingga terjadi pergeseran garis konsumsi menjadi C2 pada titik

F. Sedangkan bila pendapatan turun maka jumlah konsumsi tidak akan turun relatif kecil,

(28)

ynag diajukan oleh James Duessenbery ini memberikan pengembangan baru dengan

memperhitungkan unsur-unsur baru yang relevan dengan keadaan sebenarnya.

Gambar 1.2

Kurva Teori Konsumsi Dusenberry

3. Konsumsi dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income Hyphotesis).

Teori Konsumsi permanent income hypotesis ini dikembangkan oleh Milton

Friedman pada tahun 1957. Menurut beliau perlu dibedakan dalam pembahasan konsumsi

antara mesured income dengan permanent income. Measured income adalah pendapatan

yang diterima pada suatu waktu tertentu, sedangkan permanent income adalah

pendapatan yang diramalkan oleh konsumen akan dapat diterima pada masa yang akan

(29)

dapat mengurangi atau meningkatkan permanent income. Formulasi disajikan sebagai

berikut:

Ym = Yp + Yt

Dimana : Ym = Measured Income

Yp = Permanent Income

Yt = Transitory Income

4. Teori Konsumsi dengan Hipotesis Siklus Hidup (Life Cycle Hypothesis)

Perkembangan pada teori konsumsi berikutnya dikemukakan oleh A. Ando dan

Franco Modigliani pada tahun 1963 yang lazim disebut sebagai Life Cycle Hypothesis.

Melalui teori ini sumberdaya yang dimiliki oleh si konsumen dalam hidupnya (life time

resources) dipandang sebagai faktor penentu tingkat konsumsi agregatif adalah

sumberdaya yang dimiliki oleh konsumen, tingkat pengembalian modal (rate of return on

capital) dan umur si konsumen itu sendiri.

Sumberdaya yang dimiliki oleh konsumen diwakili oleh jumlah kekayaan (wealth)

ditambah dengan nilai sekarang dari seluruh upah yang akan diterima selama hidunya.

Konsumen dalam menentukan konsumsinya dengan memperhitungkan seluruh

sumberdaya yang dimiliki sehingga tingkat konsumsi agregatif bukan hanya ditentukan

oleh jumlah pendapatan yang diterima suatu waktu, akan tetapi nilai kekayaan yang

(30)
[image:30.612.95.447.75.318.2]

Gambar 1.3

Kurva Teori konsumsi Hipotesis Siklus Hidup

Hipotesis siklus hidup ini mengungkapkan bagaimana pola konsumsi masyarakat

sepanjang usia (tahun) agar pendapatan yang diperoleh sebagai tingkat upah dihadapkan

dengan pengeluaran konsumsi terhadap barang atau jasa yang diperlukan. Terlihat pada

grafik, bahwa seorang masyarakat yang disebut konsumen pada tingkat usia produktif (15

tahun) memperoleh pendapatan sebesar 0Yo dengan pengeluaran konsumsi sebesar 0Co.

Hal ini berarti bahwa konsumen dimaksud mula-mula melakukan disaving (meminjam)

sebesar YoCo agar dapat memenuhi kebutuhan konsumsi. Selanjutnya pada titik E dengan

tingkat usia NE menunjukkan keseimbangan bahwa pendapatan yang digunakan untuk

konsumsi. Demikian pula pada tingkat usia Nf , bahwa usia lanjut dengan tingkat

pendapatan menurun tetapi tidak dengan konsumsi yang masih meningkat tercapai

keseimbangan. Hal ini berarti bahwa sepanjang bidang areal E menuju F bahwa

(31)

Keterangan :

Yo = Pendapatan mula-mula pada usia produktif

Co = Konsumsi mula-mula pada usia produktif

0 = Sumbu original yang mengungkapkan usia produktif bekerja dan memperoleh

pendapatan.

Yt = Pendapatan pada periode tahun ke t

Ct = Konsumsi pada periode tahun ke t

N = Usia (tahun)

5. Wealth Hypothesis

Hypotesis ini pada prinsipnya merupakan modifikasi dan pengembangan hipotesis

siklus hidup. Hubungan diantara tingkat pendapatan (kekayaan) dengan konsumsi di

formulasikan sebagai :

Ct = a + b

Ydt Ydt

t-1

Hipotesis kekayaan ini kemudian dikembangkan oleh Ball dan Drake (1964)

dengan menggunakan formulasi sebagai berikut:

C = k At

Dengan asumsi kekayaan (A) tumbuh secara tetap dengan tingkat pertumbuhan

tertentu ( ¶ ) , maka At = (1+ ¶) At -1

Dimana : A = wealth (kekayaan)

k = konstanta.

2.2Inflasi

(32)

Yang dimaksud dengan inflasi adalah proses kenaikan harga-harga barang secara

terus menerus. Ini tidak berarti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu naik

dengan persentase yang sama.mungkin dapat terjadi kenaikan tersebut tidaklah

bersamaan. Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus-menerus

selama suatu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan

persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi. (Waluyo, 2003: 167).

Kenaikan harga ini diukur dengan menggunakan index harga. Beberapa indeks

harga yang sering digunakan untuk mengukur inflasi antara lain:

Indeks biaya hidup (consumer price index)

Indeks harga perdagangan besar (wholesale price index)

• GNP deflator

2.2.2 Sebab-sebab inflasi

Ada beberapa sebab yang dapat menimbulkan inflasi menurut Sukirno

(2000 : 177-178) antara lain :

a) Berbagai golongan ekonomi dalam masyarakat berusaha memperoleh pendapatan

relatif lebih besar daripada kenaikan produktivitas mereka.

b) Adanya harapan yang berlebihan dari masyarakat sehingga permintaan barang-barang

dan jasa naik lebih cepat daripada tambahan keluarnya (output) yang mungkin dicapai

oleh perekonomian yang bersangkutan.

c) Adanya kebijakan pemerintah baik yang bersifat ekonomi atau non-ekonomi yang

(33)

d) Pengaruh alam yang dapat mempengaruhi produksi dan kenaikan harga.

e) Pengaruh inflasi luar negeri apabila negara yang mempunyai sistem perekonomian

terbuka pengaruh inflasi ini terlihat melalui pengaruh terhadap harga-harga barang

impor.

2.2.3 Pengaruh Inflasi

Menurut Sukirno (2000:339) dalam suatu negara inflasi sangat mempengaruhi

stabilitas perekonomian negara tersebut karena :

1. Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi tingkat produksi dalam negeri,

melemahkan produksi barang ekspor. Tingkat inflasi yang tinggi menurunkan

produksi karena harga menjadi tinggi dan permintaan akan barang menurun

sehingga produksi menurun.

2. Inflasi menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan kenaikan harga upah

buruh, maka kalkulasi harga pokok meninggikan harga jual produk lokal. Dilain

pihak turunnya daya beli masyarakat terutama berpenghasilan tetap akan

mengakibatkan tidak semua bahan habis terjual. Inflasi menyebabkan naiknya harga

jual produksi barang ekspor, dan berpengaruh terhadap neraca pembayaran.

2.2.4 Cara Mengukur Inflasi

Menurut Waluyo (2003 :120) ada beberapa cara yang dipakai untuk mengukur

inflasi diantaranya :

1. Cara umum yang dipakai untuk menghitung inflasi adalah dengan angka harga umum

(general price). Formulasi umum yang dipakai adalah sebagai berikut :

L It =

(34)

Dimana:

LI t : Laju inflasi pada periode t.

HUt :Harga umum pada periode t

HUt-1 : Harga umum pada periode t-1

Dalam banyak penelitian empiris, khususnya di negara sedang berkembang,

pengamat atau peneliti ekonomi sering dihadapkan pada suatu kesulitan untuk

mendapatkan angka-angka harga umum.

2. Angka deflator produk nasional bruto (GNP deflator) besaran ini dapat

diformulasikan sebagai berikut :

AD = Yk

Yb

Dimana :

AD = Angka deflator Produk Nasional Bruto (PNB)

Yb = Produk Nasional Bruto menurut harga berlaku

Yk = Produk Nasional Bruto menurut harga konstan

Kemudian laju inflasi dihitung dengan cara :

LIt =

AD t- ADt – AD t-

Dimana :

LIt = laju inflasi pada periode t

ADt = angka deflator PNB pada periode t

(35)

Kelemahan dari cara ini adalah sulitnya diperoleh angka deflator PNB bulanan,

triwulan atau semester sehingga kita hanya mempunyai angka deflator dari laju inflasi

tahunan.

3. Indeks harga konsumen

Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam menghitung inflasi, hal ini disebabkan

data indeks harga konsumen dapat diperoleh dalam bentuk bulanan, triwulan ataupun

tahunan. Model dari bentuk indeks harga konsumen adalah :

LIt = IHKt - IHK t- IHK t-

x 100

Dimana :

LIt = laju inflasi pada periode t

IHKt = indeks harga konsumen periode t

IHK t- = indeks harga konsumen periode t-

Kelemahan dari indeks ini karena sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga

barang-barang yang mempengaruhi indeks biaya hidup konsumen, terutama harga kebutuhan

barang-barang pokok.

4. Atas harga yang diharapkan

Sejak berkembangnya teori rational ekspectation cara ini sering ditunjukkan cara itu

menitikberatkan pada perhitungan harga dan laju inflasi pada periode yang berlaku, dan

yang ditonjolkan adalah peranan harga yang diharapkan pada periode yang akan datang

untuk menghitung laju inflasi.

(36)

Ht

Dimana :

LIt = laju inflasi yang diharapkan pada tahun t

He t+ = atas harga pengharapan pada tahun t +1

Ht = atas harga yang berlaku pada tahun t

5. Indeks harga dalam negeri dan luar negeri

Untuk negara-negara dengan sistem perekonomian terbuka, pengaruh harga luar

negeri (sebagai cerminan dari inflasi luar negeri) akan nampak pula pada angka indeks

harga umum.

Sehingga dapat dirumuskan besaran tersebut dengan :

IHU = a IHDN + (1-a) IHLN

Dimana :

IHU = indeks harga umum

IHDN = indeks harga dalam negeri

IHLN = indeks harga luar negeri

a = besarnya sumbangan pengaruh indeks harga dalam negeri terhadap

indeks harga umum.

Kesulitan yang dihadapi dalam hal ini adalah menentukan indeks harga dalam

(37)

ekspor dipakai sebagai pendekatan terhadap indeks harga luar negeri, akan tetapi kita pun

tidak mengetahui proporsinya terhadap indeks harga umum.

2.2.5 Macam-macam Inflasi

Ada beberapa macam inflasi yang dapat terjadi dalam perekonomian, tergantung

pada tujuan apa yang ingin dicapai. Macam-macam inflasi tersebut antara lain (Waluyo,

2003 : 172-176).

1. Ditinjau dari parah tidaknya suatu inflasi

Dalam pengelompokan ini yang diperhatikan adalah berapa besarnya inflasi dalam

suatu periode (Bakti, dkk 2003: 98).

• Creeping Inflation

Pada inflasi ini, pertumbuhan paling tinggi hanya 5% maka hal ini sangat baik

bagi perekonomian. Inflasi merayap adalah proses kenaikan harga-harga yang lambat

jalannya. Yang digolongkan kepada inflasi ini adalah kenaikan harga-harga yang

tingkatnya tidak melebihi dua atau tiga persen setahun. Segolongan ahli ekonomi

berpendapat bahwa inflasi merayap adalah diperlukan untuk menggalakkan

perkembangan ekonomi. Menurut mereka harga barang pada umumnya naik dengan

tingkat yang lebih tinggi dari kenaikan upah. Maka dalam inflasi merayap upah tidak

akan berubah atau naik dengan tingkat yang lebih rendah dari inflasi.

• Inflasi ringan : Inflasi yang besarnya < 10 %/ tahun

• Inflasi sedang : Inflasi yang besarnya 10-30%/ tahun

• Inflasi berat : Inflasi yang besarnya 30-100%/ tahun

(38)

2. Ditinjau dari Sumber atau sebab awal inflasi

• Demand Pull Inflation

Inflasi ini timbul karena permintaan dalam negeri (baik masyarakat maupun pemerintah)

akan berbagai barang sangat kuat dan besar serta melebihi keluaran (output) yang ada

dalam perekonomian tersebut. Adapun bentuk kurva dari Demand Pull Inflation terdapat

[image:38.612.86.510.249.550.2]

gambar berikut:

Gambar 1.4

Kurva Demand Pull Inflation

• Cost Push Inflation

Pada jenis inflasi ini, kenaikan harga terjadi karena adanya kenaikan biaya produksi

(cost push inflation), atau dapat pula terjadi karena buruh menuntut kenaikan upah (wage

(39)

naiknya harga jual produksi, ini dikarenakan kebanyakan seorang pengusaha tidak mau

menanggung kenaikan biaya input, sehingga konsumen yang menanggungnya. Seperti

kenaikan harga BBM yang cenderung manaikkan harga barang secara umum. Cost push

inflation terlihat pada grafik berikut, bahwa harga barang cenderung menunjukkan

kenaikan P o menjadi P1 yang ditandai oleh tekanan kenaikan agregate supply (supply

curve) disebabkan oleh kenaikan biaya produksi yang memenuhi kenaikan agregate

[image:39.612.108.509.277.585.2]

demand.

Gambar 1.5

(40)

3. Ditinjau dari Asal inflasi

• Domestic inflation

Inflasi terjadi karena kenaikan harga akibat adanya kondisi “shock” (kejutan) dari

dalam negeri baik karena perilaku masyarakat maupun pemerintah yang mengakibatkan

kenaikan harga.

• Imported inflation

Kenaikan harga-harga umum tidak saja dipengaruhi oleh harga dalam negeri, tetapi

juga oleh harga-harga luar negeri yang tercermin pada harga barang-barang import.

Dengan demikian kenaikan indeks harga luar negeri akan mengakibatkan kenaikan

indeks harga umum dan dengan sendirinya akan mempengaruhi laju inflasi.

2.2.6Berbagai Model Teori Inflasi

Teori inflasi mencoba mengetengahkan dan memusatkan perhatiannya pada

perkembangan ilmu yang diharapkan dapat berlaku secara umum. Beberapa model teori

inflasi menurut Waluyo (2003: 176) adalah :

a. Teori Kuantitas

Teori ini dikembangkan oleh sekelompok ekonom dari Chicago University yang juga

dikenal sebagai kelompok moneteris. Menurut pendapat mereka bahwa inflasi hanya

dapat terjadi bila ada kenaikan jumlah uang yang beredar. Harga-harga akan naik

karena adanya kelebihan uang yang diciptakan atau diproduksi oleh bank sentral.

Meningkatnya jumlah uang yang beredar berarti meningkatnya saldo kas yang

dimiliki oleh rumah tangga konsumen dan akibatnya akan mengakibatkan

(41)

mengakibatkan kenaikan tingkat harga, sehingga berakibat terjadinya inflasi. Inflasi

akan berhenti dengan sendirinya jika tidak adanya penambahan uang yang beredar.

Disamping penambahan uang beredar, mereka percaya bahwa sebab dasar adanya

tekanan inflasi adalah keadaan sosial dan politik masyarakat. Faktor ini berkaitan erat

dengan harga yang diharapkan (price expectation) terjadi disaat yang akan datang.

Dengan sendirinya perilaku masyarakat mengenai perubahan harga dan ekonomi akan

besar pengaruhnya terhadap laju inflasi.

b. Teori Keynes dan Teori Tekanan Biaya (Cost Push Theory)

Teori inflasi menurut pendekatan ini mengatakan bahwa inflasi terjadi karena suatu

kelompok masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya, sehingga

proses inflasi merupakan proses tarik menarik antar golongan masyarakat untuk

memperoleh bagian masyarakat yang lebih besar daripada yang mampu disediakan

oleh masyarakat sendiri. Golongan yang berhasil dengan aspirasinya akan

mencerminkan keberhasilannya dalam suatu permintaan yang efektif. Kalau hal ini

selalu terjadi maka akan timbul suatu kesenjangan inflasi (inflationary gap), tekanan

dari golongan ini akan mengakibatkan kenaikan biaya (cost-push). Menurut aliran

teori ini untuk mengetahui proses inflasi perkiraan diamati faktor kelembagaan yang

dapat mempengaruhi upah dan harga. Adanya suatu kesenjangan diatas akan

menaikkan harga-harga dan laju inflasi. Proses inflasi akan berlangsung terus

menerus selama masih terjadi kesenjangan inflasi. Kesenjangan inflasi ini dapat

diatasi tergantung pada perilaku masyarakat terhadap apa yang disebut sebagai ilusi

uang, dan apabila masyarakat terkena ilusi uang mereka akan mempertahankan

(42)

dihilangkan. Perlu ditambahkan bahwa kondisi adanya ilusi uang hanya terjadi

menurut anggapan atau teori Keynes, sedangkan dalam teori klasik kita tidak

menjumpai adanya kondisi tersebut.

c. Teori Strukturalis

Teori ini merupakan teori inflasi yang didasarkan pada pengalaman dinegara-negara

Amerika Latin dan mengkaitkan timbulnya inflasi. Karenanya sering pula disebut

teori inflasi jangka panjang. Pada umumnya negara-negara berkembang adalah

eksportir bahan baku mentah yang merupakan masukan industri negara-negara maju

secara teoritis mereka berharap bahwa ekspor mereka dapat meningkat bila mereka

mengadakan perdagangan internasional. Kenaikan ekspor ini dengan sendirinya dapat

dipakai untuk membiayai program pembangunan dan juga impor barang-barang yang

mereka butuhkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : harga barang

ekspor dipasar dunia yang tidak menguntungkan, elastisitas kurva penawaran

barang-barang ekspor yang pada umumnya tidak elastis, dan batasan yang dibutuhkan oleh

negara-negara industri. Akibatnya ekspor mereka tidak cukup kuat untuk mendukung

program pembangunan yang terlalu ditargetkan dan juga impor. Permasalahannya

adalah bahwa komponen barang-barang substitusi impor tersebut masih juga di impor

dan ongkos produksinya relatif lebih tinggi. Jelaslah bahwa dengan tingginya ongkos

akan mengakibatkan harga barang-barang tersebut menjadi lebih mahal.

Dengan sendirinya proses ini akan saling kait mengkait dengan sektor lain yang

menggunakan barang-barang subsitusi import tersebut, sehingga harga terpengaruh

(43)

ketidakselarasan antara produksi barang-barang kebutuhan pokok pangan dengan

pertumbuhan penduduk. Jika pertumbuhan produksi pangan tersebut lebih kecil

daripada pertumbuhan penduduk, berarti penawaran pangan lebih kecil dari

permintaan pangan, akibatnya cenderung naik dan inflasi terjadi. Berikut bentuk

[image:43.612.88.397.232.462.2]

kurvanya :

Gambar 1.6

Kurva Model Konsumsi Teori Strukturalis

Pada gambar diatas terlihat bahwa pergeseran kurva permintaan agregat pangan

jauh lebih besar dari peregeseran kurva penawaran agregat pangan (AS) akibatnya harga

terus naik dari Po ke P hingga P2.

d. Teori Inflasi Model Kurva Philips

Penelitian lain yang terkenal mengenai inflasi adalah dari teorinya A.W Philips yang

(44)

Penelitian yang berjudul “ The relation between unemployment and there are change

of money wages rates in the United Kingdom” (1861-1957). Dalam hal ini Philips

ingin mengetahui hubungan antara tingkat inflasi dan pengangguran (unemployment).

Full employment adalah suatu keadaan dimana setiap orang mau bekerja pada tingkat

upah yang berlaku untuk memperoleh pekerjaan. Pada kenyataannya, keadaan full

employment sebagaimana dikatakan diatas tidak mungkin terjadi, sebab adanya

ketidaksempurnaan dalam perekonomian, sebagai contoh ketidaksempurnaan

informasi mengenai tersedianya lapangan kerja, ketidaksempurnaan dalam pasar

barang dan pasar tenaga kerja, dan adanya pengangguran friksional. Didalam

penelitiannya Philips menemukan bahwa periode dimana tingkat pengangguran

rendah, saat itu pula terdapat perubahan yang drastis atas tingkat upah.

2.2.7 Kebijakan Moneter dan Inflasi

Kebijakan moneter dilakukan oleh bank sentral sebagai otoritas moneter untuk

menjaga stabilitas moneter yang operasionalnya dilakukan oleh bank umum dan lembaga

keuangan non bank. Untuk itu bank sentral perlu mengawasi aktivitas usaha yang

dilakukan oleh bank umum dan non bank sehingga tujuan kebijakan ekonomi makro

dapat tercapai. Tujuan kebijakan moneter pada prinsipnya sebagai upaya memecahkan

isu pokok ekonomi makro dalam kerangka memacu pertumbuhan ekonomi, Pengendalian

inflasi, dan Mengatasi pengangguran (Bakti dkk, 2010: 95-96).

Untuk mencapai tujuan tersebut maka bank sentral akan menggunakan beberapa

instrument utama (discount policy, open market policy, and cash ratio reserve requirent

(45)

Discount policy, kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral untuk

menetapkan suku bunga bank yang berlaku umum dan kemudian

operasionalnya dilakukan oleh bank umum. Untuk mengatasi inflasi maka

bank sentral akan menaikkan suku bunga dalam kerangka mengurangi jumlah

uang yang beredar dan sebaliknya untuk meradakan deflasi maka bank sentral

menurunkan suku bunga yang berpengaruh kepada kenaikan jumlah uang

yang beredar.

Open market policy, bank sentral mengeluarkan obligasi dan surat-surat

berharga yang dimiliki oleh pemerintah untuk diperjual belikan kepada

masyarakat. Dalam kerangka menuju laju inflasi maka bank sentral menjual

obligasi dan surat-surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah kepada

masyarakat sekaligus sebagai upaya mengurangi jumlah uang beredar.

Sebaliknya untuk meredakan deflasi maka pemerintah membeli obligasi dan

surat-surat berharga yang dimiliki oleh pemerintah.

Cash ratio reserve requirement policy (CRR), yaitu kebijakan yang dilakukan

oleh bank sentral untuk menetapkan rasio uang kas dan cadangan yang akan

digunakan oleh bank umum sebagai dana pinjaman. Persentase CDR

dinaikkan dengan tujuan agar bank umum mengurangi penyaluran dana

pinjaman sebagai upaya mengurangi jumlah uang beredar dan sebaliknya.

Pengaturan sistem pembelian angsuran, dilakukan untuk mengawasi aliran

(46)

konsumen. Tindakan ini dilakukan oleh bank sentral untuk mengatur sistem

pembayaran secara angsuran sebagai upaya pencegah inflasi.

Selective Credit Control, dilakukan oleh bank sentral untuk mencegah inflasi

terhadap kredit untuk membiayai proyek-proyek yang dilakukan oleh

masyarakat sekaligus sebagai upaya untuk mencagah kegiatan spekulasi yang

dilakukan oleh para pedagang.

2.3 Pendapatan Perkapita

2.3.1 Pengertian Pendapatan Perkapita

Untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi suatu negara dan perkembangan

tingkat kesejahteraan masyarakatnya, perlu diketahui tingkat pertambahan pendapatan

nasional dan besarnya pendapatan perkapita. Besarnya pendapatan nasuional akan

menentukan besarnya pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita sering dianggap

sebagai gambaran tingkat kesejahteraan, sedangkan besarnya pendapatan perkapita

sangat erat kaitannya dengan pertambahan penduduk. Sehingga apabila pertambahan

pendapatan nasional lebih besar dari pada tingkat pertambahan penduduk, maka tingkat

pendapatan penduduk meningkat. Sebaliknya apabila tingkat pertambahan pendapatan

nasional lebih kecil dari pertambahan penduduk, maka pendapatan perkapita mengalami

penurunan (Suryana, 2001: 8).

Hal ini berarti bahwa untuk mempertahankan tingkat pendapatan perkapita atau

tingkat kesejahteraan relatif perlu dicapai tingkat pertambahan pendapatan nasional yang

sama dengan tingkat pertambahan penduduk. Pendapatan nasional dan pendapatan

(47)

Untuk menaikkan produksi perkapita berarti pula harus adanya perubahan struktur

ekonomi, struktur produksi, serta masyarakat statis berkembang menjadi masyarakat

dinamis.

Pembangunan ekonomi baru dikatan ada kemajuan apabila pendapatan nasional

atau pendapatan perkapita naik diikuti perubahan struktur ekonomi, teknik produksi,

adanya modernisasi, dan masyarakat tradisional berkembang menjadi masyarakat

dinamis yang berpikir rasional ekonomi dalam tindakan-tindakannya.

Pendapatan regional, hanya dipakai untuk konsep domestik. Berarti seluruh nilai

tambah yang ditimbulkan oleh berbagai sektor/ lapangan usaha yang melakukan kegiatan

usahanya disuatu wilayah / region (dalam hal ini propinsi) dimasukkan, tanpa

memperhatikan faktor produksi. Dengan demikian PDRB secara agregatif menunjukkan

kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/ balas jasa kepada

faktor-faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi daerah tersebut. Dengan

kata lain PDRB menunjukkan gambaran Production Orginated.

Pendapatan perkapita sering kali digunakan sebagai indikator pembangunan selain

untuk membedakan tingkat kemajuan ekonomi antar negara-negara maju dengan negara

sedang berkembang. Dengan kata lain, pendapatan perkapita selain bisa memberikan

gambaran tentang laju perrtumbuhan kesejahteraan mayarakat di berbagai negara juga

dapat menggambarkan perubahan corak tingkat kesejahteraan masyarakat yang sudah

terjadi diantara berbagai negara.

Tolak ukur yang paling banyak untuk mengukur keberhasilan sebuah

perekonomian, antara lain adalah pendapatan nasional, produk nasional, tingkat

(48)

indikator telah terjadinya alokasi yang efisien secara makro adalah nilai output nasional

yang dihasilkan sebuah perekonomian pada suatu periode tertentu.

2.3.2 Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Pertahun

Dalam perhitungan / pengukuran pertumbuhan pendapatan nasional, namun

pendapatan nasional rill yang digunakan adalah pendapatan nasional rill yang sudah

dibagi dengan jumlah penduduk suatu negara (Suryana, 2004:5). Berkaitan dengan

kenaikan pendapatan nyata perkapita dalam jangka panjang, para ekonom berpendapat

sama dalam mendefinisikan pembangunan ekonomi dalam arti kenaikan pendapatan atau

output nyata perkapita. Bahwa perkembangan ekonomi sebagai proses kenaikan

pendapatan nyata perkapita dalam satuan jangka waktu yang panjang, perkembangan

berarti mengembangkan potensi pendapatan nyata negara-negara terbelakang dengan

menggunakan investasi yang akan melahirkan perubahan dan memperbesar

sumber-sumber produktif yang pada gilirannya menaikkan pendapatan nyata/orang.

Definisi diatas bermaksud menenkankan bahwa bagi perkembangan ekonomi,

tingkat kenaikan pendapatan nyata seharusnya lebih tinggi dari pada tingkat pertumbuhan

penduduk. Kenaikan pendapatan perkapita mungkin tidak menaikkan standar hidup rill

masyarakat. Bisa terjadi bahwa sementara pendapatan nyata perkapita meningkat akan

tetapi konsumsi perkapita merosot. Masyarakat mungkin meningkatkan tingkat tabungan

mereka atau bahkan pemerintah sendiri menghabiskan pendapatan yang meningkat itu

(49)

Ada kemungkinan lain yang menyebabkan masyarakat tetap miskin walaupun ada

kenaikan dalam pendapatan masyarakat nyata, jika pendapatan itu hanya dinikmati oleh

beberapa orang kaya dan tidak boleh dinikmati oleh banyak orang miskin.

2.4 Teori Kependudukan

2.4.1 Teori Thomas Robert Malthus

Menurut Thomas Robert Malthus (Dwiyanto, 2001:45) bahwa penduduk

cenderung meningkat secara deret ukur sedangkan penyediaan kebutuhan hidup riil dapat

meningkat secara deret hitung. Artinya pertumbuhan penduduk jauh lebih cepat dari

pertumbuhan penyediaan kebutuhan hidup riil. Hal ini kemudian menciptakan suatu

kegoncangan dan kepincangan antara jumlah penduduk dan kemampuan untuk

menyediakan kebutuhan hidup seperti bahan pangan. Perubahan yang tak sebanding ini

memberikan berbagai permasalahan kompleks yang memaksa otoritas kebijakan

memaksimalkan strategi dalam menghadapinya. Salah satu upaya yang dilakukan

Pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat adalah dengan melakukan

pemantauan harga kebutuhan pokok.

2.4.2 Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal

Berdasarkan teori Malthus diatas, penduduk yang meningkat secara deret ukur tak

sebanding dengan peningkatan ketersediaan kebutuhan hidup secara deret hitung. Hal ini

tentu mengindikasikan persaingan yang ketat antar penduduk dalam memenuhi

(50)

Menurut Dwiyanto (2001:55) negara tentu harus mengatur persaingan tersebut

sehingga tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian diperlukan serangkaian kebijakan

dan strategi dalam mengatur penduduk dalam mengakses kebutuhan akan pangan.

Bukanlah hal yang mudah dalam mengatur dan mencukupi kebutuhan pangan penduduk

Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa. Perlunya kerjasama dan kesinergisan

antara pemerintah pusat dan daerah. Apalagi dengan kondisi geografis Indonesia yang

berbentuk kepulauan dan permasalahan ketidakmerataan penyebaran penduduk.

Salah satu kebijakan pangan yang diterapkan adalah dengan penganekaragaman

konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal yang dirumuskan dalam Peraturan Presiden

Nomor 22/2009. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh beragamnya potensi daerah yang

memiliki prospek cerah untuk dikembangkan. Salah satu permasalahan yang dihadapi

masyarakat dunia pada saat ini adalah perebutan lahan untuk pengembangan energi dan

budidaya tanaman pangan. Dalam upaya memaksimalkan ketersediaan pangan maka

penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal perlu segera diterapkan.

Selain itu, kebijakan pangan seringkali hanya dilihat dari aspek produksi, ketersediaan,

dan pasokan. Sementara sisi konsumsi dan permintaan justru diabaikkan. Padahal

terdapat pola pengerucutan konsumsi penduduk Indonesia menuju kepada komoditi

beras. Ketergantungan terhadap beras sebagai makanan pokok perlu dikurangi secara

perlahan-lahan dan tergantikan dengan jagung, sagu dan umbi-umbian. Konsumsi beras

masyarakat Indonesia tercatat masih yang tertinggi di dunia. Menurut data Badan Pusat

Statistik (BPS), konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 139 kilogram (kg) per

kapita per tahun. Sementara itu, konsumsi beras negara lain di Asia, seperti Jepang 60 kg,

(51)

Saat ini implementasi strategi kebijakan pangan nasional memang belum optimal.

Lemahnya kerja sama pusat dan daerah menjadi salah satu alasannya. Padahal untuk

kebijakan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal diperlukan

kampanye, sosialisasi, dan edukasi di tiap daerah sehingga terbentuklah gerakan massal

pengembangan konsumsi pangan lokal. Suksesnya penganekaragaman pangan sangat

berpengaruh terhadap kemandirian pangan nasional karena akan mengurangi impor

bahan pangan. Dengan demikian peningkatan komunikasi antara pusat dan daerah perlu

terus ditingkatkan. Selain itu, perlu juga dilakukan revitalisasi fungsi koordinasi,

perencanaan, dan implementasi kebijakan pangan Dewan Ketahanan Pangan Nasional

agar kemandirian pangan dapat tercipta dan target swasembada lima komoditas pangan

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah Provinsi Sumatera Utara dimana mengamati

dan menganalisis mengenai pengaruh Pendapatan perkapita, tingkat inflasi dan jumlah

penduduk tersebut terhadap tingkat konsumsi masyarakatnya.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk

time series yang bersifat kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka-angka. Sumber

datanya diperoleh melalui Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara

dengan kurun waktu 21 tahun (1988-2008), serta bahan-bahan kepustakaan berupa

bacaan yang berhubungan dengan penelitian, website dan jurnal-jurnal.

3.3 Metode dan Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library

Research) yaitu penulisan yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa

tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, dan laporan-laporan penelitian ilmiah yang ada

hubungannya dengan topik yang diteliti. Sedangkan untuk pengumpulan data, penulis

menggunakan metode pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari instansi-instansi

yang terkait dan yang diperoleh dari publikasi resmi yang berhubungan dengan

penelitian. Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan pencatatan

(53)

3.4 Pengolahan Data

Penulis menggunakan program E-views 5.1 untuk mengolah data dalam penulisan

skripsi ini.

3.5 Model Analisis Data

Dalam menganalisis besarnya pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel

terikat digunakan model ekonometrika dengan meregresikan variabel-variabel yang ada

dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS).

Variabel-variabel tersebut dibuat dahulu dalam bentuk fungsi sebagai berikut :

Y = f (X1,X2,X3)...(1)

Kemudian fungsi tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk multiple regression

sebagai berikut :

Log Y = α + β1X1+ β2X2+ β3X3+µ...(2)

Keterangan :

Y = Tingkat Konsumsi masyarakat/rumah tangga ( Juta Rupiah )

X1 = Pendapatan Perkapita ( Juta Rupiah )

X2 = Tingkat Inflasi ( Persen )

X3 = Jumlah penduduk ( Juta Jiwa )

α = Intercept/konstanta

β1,β2,β3 = Koefisien Regresi

(54)

∂Y

∂X1 kenaikan maka Y (konsumsi) juga akan mengalami > 0 , artinya jika X1 (Pendapatan perkapita) mengalami

kenaikan, cateris paribus.

∂Y

∂X2 kenaikan maka Y (konsumsi) akan mengalami < 0 , artinya jika X2 (Tingkat inflasi) mengalami

penurunan, cateris paribus.

∂Y

∂X3 kenaikan maka Y (konsumsi) akan mengalami > 0, artinya jika X3 (Jumlah penduduk) mengalami

kenaikan, cateris paribus.

3.6 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)

Uji test goodness of fit merupakan pengujian kecocokan atau kebaikan sesuai

antara hasil pengamatan (frekuensi pengamatan) tertentu dengan frekuensi yang

diperoleh berdasarkan nilai harapannya (frekuensi teoritis).

3.6.1 Koefisien Determinasi (R-Square)

Koefisien determinasi (R-Square) dilakukan untuk melihat seberapa besar

kemampuan variabel independent secara bersama dapat memberi penjelasan terhadap

variabel dependent dimana nilai R² berkisar antara 0 sampai 1 (0≤R≤1).

3.6.2 Uji t-Statistik (Uji Parsial)

Uji t-statistik merupakan suatu pengujian secara parsial yang bertujuan untuk

(55)

variabel dependent dengan menganggap variabel independent lainnya konstan. Dalam hal

ini, digunakan hipotesis sebagai berikut :

Ho : bi = 0...tidak signifikan

Ha : bi ≠ 0...signifikan

Bila t-hitung > t-tabel, maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho ditolak. Hal ini

berarti bahwa variabel independent yang diuji berpengaruh nyata (signifikan) terhadap

variabel dependent.

Nilai t-hitung dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

t-hitung =

Sbi (bi-b)

Dimana :

bi = Koefisien variabel independent ke-i

b = Nilai hipotesis nol

Sbi = Simpangan baku dari variabel independent ke-i

Ha diterima Ha diterima

Ho diterima

0

(56)

3.6.3 Uji F-Statistik

Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat pengaruh variabel independent secara

keseluruhan atau bersama-sama terhadap variabel dependent. Untuk pengujian ini

digunakan hipotesis sebagai berikut :

Ho : b = 0...tidak signifikan

Ha : b ≠ 0...signifikan

Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan nilai hitung dengan tabel. Jika

F-hitung (F*) > F-tabel, maka Ho ditolak, yang artinya variabel independent secara

bersama-sama mempengaruhi variabel dependent.

Nilai F-hitung dapat diperoleh dengan rumus :

F-hitung = R² / (k-1)

(1-R²)/(n-k)

Keterangan :

R² = Koefisien Determinasi

k = Jumlah variabel independent intercept

n = Jumlah sampel

Kriteria :

Ho : β1= β2 = 0

Ho diterima (F* < Ftabel), artinya variabel independent secara bersama-sama tidak

berpengaruh nyata terhadap variabel dependent.Ha : β1≠ β2≠ 0

Ha diterima (F* > Ftabel ), artinya variabel independent secara bersama-sama

(57)

Ho diterima

Ha diterima

Gambar 1.8 Kurva Uji F-Statistik 3.7 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

Gujarati (2003) mengemukakan beberapa asumsi klasik yang harus dipenuhi untuk

suatu hasil estimasi regresi linier agar hasil tersebut dapat dikatakan baik dan efisien.

Adapun asumsi klasik yang harus dipenuhi antara lain:

1. Model regresi adalah linier, yaitu linier dalam parameter.

2. Residual variable pengganggu (µi) mempunyai nilai rata-rata nol (zero mean

value of disturbance µi).

3. Homoskedastisitas atau varian dari µi adalah konstan.

4. Tidak ada autokorelasi antara variable pengganggu (µi).

3.7.1 Multikolinearity

Multikolinearity adalah alat yang digunakan untuk mengetahui suatu kondisi, apakah

terdapat korelasi variabel independent diantara satu sam

Gambar

Gambar 1.1 Kurva Teori Konsumsi Keynes
Gambar 1.2   Kurva Teori Konsumsi Dusenberry
Gambar 1.3 Kurva Teori konsumsi Hipotesis Siklus Hidup
Gambar 1.4 Kurva Demand Pull Inflation
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil estimasi, penelitian ini menemukan bahwa variabel tabungan tahun sebelumnya, suku bunga simpanan, pendapatan perkapita, dan kondisi perekonomian secara

Secara serempak (bersama) variabel variabel independen (Pendapatan perkapita, inflasi, Nilai Tukar, dan suku bunga), mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel

Ini berarti bahwa variabel dependen yaitu Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Klaten melalui model ECM dapat dijelaskan oleh variabel PDRB, Jumlah Penduduk, tingkat

Hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel PDRB, pertumbuhan penduduk, inflasi, investasi, dan upah minimum berpengaruh terhadap pengangguran dan model penelitian

Predictors: (Constant), Nilai Tukar, Jumlah Industri, Pendapatan, Harga Kedelai Impor, Jumlah Penduduk. Dependent

Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan variasi yang terjadi pada variabel independen (suku bunga kredit konsumsi, dependency ratio , pendapatan perkapita dan

Oleh karena pertumbuhan persediaan pangan tidak bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat dan tinggi, maka pendapatan perkapita (dalam masyarakat tani

Untuk mengetahui dan menganalisis variabel Pendapatan Perkapita, Tingkat Suku Bunga Simpanan, Tingkat Inflasi dan Jumlah Penduduk yang mempunyai pengaruh paling dominan