• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN

2011 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

ZEPRYANTO P. SARAGIH

NIM: 100200058

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN

2011 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

ZEPRYANTO P. SARAGIH

NIM: 100200058

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

NIP. 197501122005012002 Windha S.H., M.Hum.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Bismar Nasution S.H., M.H.

NIP. 195603291986011001 NIP. 197501122005012002

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan

kasih karunianya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Penghargaan dan terimakasih juga Penulis ucapkan kepada kedua orangtua, yaitu

Bapak Sahala Saragih dan Ibu H. Masnawaty Girsang, yang tiada henti-hentinya

memberikan dorongan semangat, doa dan materi yang cukup kepada Penulis.

Penulisan skripsi seyogianya merupakan akhir dari segala aktivitas yang

berkenaan dengan akademik dalam dunia kemahasiswaan sebelum sampai pada

acara sidang dan wisuda. Lebih jelasnya, skripsi merupakan salah satu syarat yang

harus dipenuhi guna menyelesaikan kegiatan akademik dan memperoleh gelar

Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Sumatera Utara pada Departemen Hukum

Ekonomi.

Skripsi ini berjudul “Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999”. Isi dalam skripsi ini berupa uraian tentang perlindungan

hukum bagi konsumen, terutama berhubungan dengan batasan konsumen pada

sektor jasa keuangan, bentuk perlindungan hukum bagi konsumen, dan kedudukan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait

perlindungan konsumen.

Selama mengikuti proses penempahan hingga penyelesaian skripsi di

(4)

dari berbagai pihak. Sebagai bentuk apresiasi atas dukungan dan perhatian yang

diberikan, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H, M.Hum., selaku Pembantu

Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan S.H., M.H., D.F.M., selaku

Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. H. OK Saidin S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III

Fakultas Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.Hum., selaku Pendiri

Departemen Hukum Ekonomi yang juga Dosen Pembimbing I, yang

telah memberikan nasihat dan pemikiran kepada Penulis selama proses

penulisan skripsi ini.

6. Ibu Windha S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

memberikan bimbingan dan bantuan pemikiran kepada Penulis selama

proses penulisan skripsi.

7. Ibu Aflah Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Departemen Perdata

yang juga Pemimpin Umum Buletin Lintas Almamater Fakultas

(5)

8. Seluruh dosen, staf administrasi, pegawai dan abang serta kakak

petugas perpustakaan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

9. Tim Legislative Drafting Universitas Padjadjaran 2013 “Thomas

Aquino”. Terima kasih buat Sofian Siregar, Frisdar Rio Marbun,

Henny Handayani Sirait dan Hotmartha Saragih, yang merupakan satu

tim Penulis dalam lomba, yang telah memberikan arti tentang

semangat dan perjuangan kepada Penulis.

10. Tim Legislative Drafting Universitas Indonesia 2013 “Djokosoetono”.

Terima kasih buat Ihsan An Auwali, Ely Syafitri Harahap, Wildayanti

dan Syafitri Ditami, yang merupakan satu tim Penulis dalam lomba,

yang juga memberikan arti tentang semangat dan perjuangan kepada

Penulis.

11.Ketiga Saudara Penulis yang tercinta yaitu Yanthi Veronica Saragih,

Tosima Novriany Saragih, dan Ferdinand Jandrianto Saragih, yang

telah memberikan perhatian, semangat dan doa kepada Penulis.

12.Keluarga Besar Buletin Lintas Almamater Fakultas Hukum USU yang

telah memberikan perhatiannya kepada Penulis.

13.Keluarga Besar Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa

Hukum Indonesia Medan.

14.Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

(6)

15.Teman-teman seperjuangan yang saling memberi semangat dalam

pengerjaan skripsi, diantaranya Theodorus Arie Gusti Hutasoit,

Lastuah Harianto, Andika, Rory, dan Edwar Zai. Juga kepada

adik-adik yang selalu memberikan tegur sapanya di Fakultas Hukum USU.

16.Teman-teman dan adik-adik Penulis selama Penulis menimba ilmu di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga dalam

pengerjaan skripsi yang tidak dapat Penulis tuliskan satu persatu.

Akhir kata, dengan kerendahan hati Penulis menyadari bahwa masih

terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan Penulis dalam karya

penulisan berikutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya

bagi para pembaca.

Medan, April 2014

Hormat Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

BAB II BATASAN KONSUMEN PADA SEKTOR JASA KEUANGAN A. Sejarah dan Perkembangan Konsumen ... 16

B. Pengertian Konsumen ... 20

1. Menurut Ketentuan PBB mengenai Perlindungan Konsumen (United Nation Guidelines for Consumer Protection as expanded

BAB III BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Prinsip-prinsip dalam Perlindungan Konsumen ... 42

B. Perlindungan Hukum Preventif ... 46

1. Adanya Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 46

2. Adanya Ketentuan mengenai Klausula Baku/Perjanjian Baku ... 52

3. Adanya Ketentuan mengenai Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha ... 55

4. Adanya Ketentuan mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 61

(8)

6. Tindakan Pencegahan Kerugian oleh Otoritas Jasa Keuangan ... 68

BAB IV KEDUDUKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UU NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Kedudukan Undang-Undang dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia ... 84

1. Pemberlakuan Undang-Undang ... 84

2. Kekuatan Berlakunya Undang-Undang ... 86

3. Proses Pembentukan Undang-Undang ... 87

4. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 92

B. Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen ... 95

1. Menurut asas lex specialis derogate lex generalis ... 95

2. Menurut asas lex posterior derogate lex prior ... 97

C. Hubungan Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan ... 99

1. Pengajuan gugatan hukum oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam kaitannya dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 99

(9)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

Zepryanto P. Saragih1

1 Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

Bismar Nasution **

Windha ***

Konsumen dalam perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir. Menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, konsumen bukan hanya konsumen akhir, tetapi juga konsumen antara. Batasan konsumen dalam dua undang-undang ini berdampak terhadap perlindungan konsumen. Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana batasan konsumen pada sektor jasa keuangan, bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan bagaimana kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen.

Metode penelitian yang dilakukan dalam pengerjaan skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu pada norma-norma hukum, dan penelitian ini bersifat deskriftif analitis, karena menggambarkan masalah dengan cara

menjabarkannya. Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library

research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku, surat kabar, dan situs internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang dibahas.

Konsumen sektor jasa keuangan, terutama pemodal di pasar modal menjadi perhatian dalam perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menempatkan konsumen bukan hanya sebagai pengguna, pemakai atau pemanfaat akhir, tetapi juga pihak yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa. Perkembangan ini mempengaruhi perlindungan hukum terhadap konsumen secara preventif dan represif.

Penggunaan asas lex specialis derogate lex generalis dan asas lex posterior

derogate lex priori sangat dibutuhkan dalam rangka memberikan kejelasan terhadap ketentuan dalam undang-undang ini untuk melihat kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah mengenal siapa itu konsumen.2

Konsumen sebagaimana yang dikenal dalam bahasa Indonesia merupakan serapan

dari bahasa asing, yaitu berasal dari bahasa Inggris dan Amerika, yaitu consumer

dan Belanda, yaitu consument/konsument.3

Ilmu ekonomi membagi konsumen dalam dua bagian, yaitu konsumen

antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah setiap orang yang

mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan membuat

barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

Namun belum banyak masyarakat

yang mengenal pembagian konsumen. Pembagian konsumen ini biasanya dikenal

oleh masyarakat yang tergolong akademisi dan praktisi serta masyarakat yang

mengikuti perkembangan informasi dan edukasi terkait konsumen.

4

2 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hlm. 1.

sifat penggunaan barang atau jasa tersebut, konsumen antara ini sesungguhnya

tidak lain dari pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun pengusaha

berbentuk badan hukum atau tidak; baik pengusaha swasta maupun pengusaha

publik (perusahaan milik negara), dan dapat antara lain terdiri dari penyedia dana

(investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen akhir

(11)

pedagang). 5 Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya

pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali

(nonkomersial).6 Mereka pada pokoknya adalah orang alami (natuurlijke person)

dan menggunakan produk konsumen tidak untuk diperdagangkan dan atau tujuan

komersial lainnya.7

1. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 No. 214

Terminologi hukum sebagaimana dikenal dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia memberikan makna konsumen sebagai konsumen akhir.

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 1 Angka 2

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya

disebut UU Perlindungan Konsumen).

Keberadaan konsumen dalam pengaturan hukum di Indonesia identik

dengan perlindungan konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia

telah mengalami perjalanan yang panjang, mulai dari sejak Indonesia merdeka

hingga tahun 2011. Bahkan, ketika Indonesia dalam pendudukan oleh bangsa

Belanda, keberadaan perlindungan konsumen telah ada melalui ketentuan

peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda saat itu. Pengaturan

konsumen di Indonesia pada masa kolonial Belanda, yaitu dalam:

2. Loodwit Ordonnantie (Ordonantie Timbal Karbonat), S. 1931 No. 28

3. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo. S. 1927-449, jo. S. 1940-14 dan 450

4. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509 5. Vuurwerk Ordonanntie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143

(12)

7. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi pajak sembelih), S. 1936-671

8. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat Keras), S. 1937-641

9. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran Perusahaan), S. 1938-86

10. Ijkordonnantie (Ordonansi Tera), S. 1949-175

11. Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya), S. 1949-377

12. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonnantie, S. 1955-660.8

Lepasnya Indonesia dari penjajahan memunculkan peraturan terkait

perlindungan konsumen secara parsial dalam berbagai peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Namun, baru tahun 1999 Indonesia mempunyai payung

hukum (umbrella act) dalam perlindungan konsumen yaitu UU Perlindungan

Konsumen. Undang-undang ini lahir dari adanya dorongan dari berbagai pihak

dan dinamika politik yang terjadi di Indonesia saat itu. Dorongan ini pun terus

bergema hingga akhirnya perlindungan konsumen semakin kuat dalam industry

sektor jasa keuangan. Hal ini terlihat dua belas tahun sejak berlakunya UU

Perlindungan Konsumen, muncul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK). Undang-undang ini

memberikan pengaturan yang lebih khusus lagi terkait perlindungan konsumen

pada sektor jasa keuangan.

Berlakunya UU OJK membawa dampak terhadap kedudukan konsumen dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konsumen dalam UU OJK tidak

hanya mengenal konsumen akhir sebagaimana yang diakui UU Perlindungan

Konsumen, tetapi juga mengakui adanya konsumen antara. Masuknya konsumen

8

(13)

antara dalam UU OJK terlihat jelas dengan masuknya Pemodal di Pasar Modal

sebagai konsumen. Pemodal yang idealnya disebut investor sangat erat kaitannya

dengan konsumen antara karena Pemodal di Pasar Modal identik dengan jual beli

efek, yang dalam praktiknya membeli efek dengan tujuan untuk diperdagangkan

kembali demi memperoleh keuntungan atas efek yang telah dibelinya.

Perkembangan dalam pengaturan konsumen dalam UU OJK sebenarnya

menunjukkan kemajuan pengaturan dalam perlindungan konsumen, karena

pihak-pihak yang tergolong sebagai konsumen sektor jasa keuangan, sebelum adanya

undang-undang ini kurang memiliki pijakan hukum yang kuat dalam hal

perlindungan hukum. Lahirnya undang-undang ini pun memberikan harapan baru

kepada nasabah pada perbankan, pemegang polis pada perasuransian, pemodal di

pasar modal, dan peserta di dana pensiun sebagai konsumen pada sektor jasa

keuangan. Namun perkembangan ini berkakibat pada konsep perlindungan hukum

terhadap konsumen yang ada terutama pada konsumen sektor jasa keuangan baik

secara preventif maupun represif.

Keberadaan konsumen sektor jasa keuangan dalam UU OJK bukan berarti

tidak mendapat dukungan dari UU Perlindungan Konsumen. Dalam bagian umum

Penjelasan atas UU Perlindungan Konsumen ditegaskan bahwa:

“Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”.

Artinya UU Perlindungan Konsumen tidak menutup kemungkinan adanya

(14)

tetapi segala pengaturan mengenai perlindungan konsumen harus merujuk pada

UU Perlindungan Konsumen, karena UU Perlindungan Konsumen merupakan

payung hukum terkait perlindungan konsumen. Dengan demikian, akan ada

ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen yang tidak berlaku terhadap

konsumen pada sektor jasa keuangan. Sebaliknya, akan ada ketentuan UU

Perlindungan Konsumen yang berlaku terhadap konsumen sektor jasa keuangan

terkait perlindungan konsumen, karena UU OJK tidak memberikan pengaturan

yang jelas. Sehingga dibutuhkan asas-asas yang kerapkali digunakan dalam

hukum tata negara untuk memperjelas ketentuan yang umum dan yang khusus

serta ketentuan yang baru dan yang lama dalam peraturan perundang-undangan.

Asas-asas tersebut yaitu lex specialis derogate lex generalis dan lex posterior

derogate lex priori.

Asas-asas hukum ini diperlukan dalam pembahasan batasan konsumen dan

bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen untuk melihat bagaimana

hubungan pengaturan undang-undang ini terhadap perlindungan konsumen. Untuk

itulah, penulis tertarik untuk mengangkat skripsi tentang “Perlindungan

Konsumen Sektor Jasa Keuangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999” untuk melihat bagaimana

kedudukan UU Perlindungan Konsumen terhadap UU OJK terkait perlindungan

(15)

B. Perumusan Masalah

Uraian singkat yang telah dikemukakan di atas membuat penulis dapat

merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi

ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana batasan konsumen pada sektor jasa keuangan?

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen sektor jasa

keuangan menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

3. Bagaimana kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

terkait Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, tujuan yang ingin

dicapai dalam penulisan ini yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana batasan konsumen pada sektor jasa keuangan,

sebagaimana terdapat dalam berbagai peraturan, baik yang berlaku dalam

lingkup internasional maupun nasional

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum yang

diberikan terhadap konsumen sektor jasa keuangan dilihat dari perspektif

UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang

(16)

Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen dalam pengaturan hukum di

Indonesia.

Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah

dirumuskan diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran di

bidang perlindungan konsumen, khususnya terkait dengan konsumen sektor

jasa keuangan.

2. Secara praktis, pembahasan terhadap permasalahan ini diharapkan dapat

menjadi bahan masukan terhadap praktisi-praktisi hukum dan pihak-pihak

terkait sebagai bahan pertimbangan dalam pemikiran dalam melaksanakan

bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen sektor jasa

keuangan.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1999” ini merupakan ide, gagasan maupun pemikiran penulis dengan

adanya penambahan kutipan-kutipan atau pendapat orang lain, yang dilakukan

sebagai referensi untuk mendukung fakta-fakta dalam penulisan ini.

Sehubungan dengan keaslian judul skripsi, penulis telah menelusuri judul

karya ilmiah melalui media internet. Sepanjang penelusuran yang dilakukan,

belum ada penulis lain yang pernah mengangkat judul tersebut. Selain itu penulis

(17)

Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum pernah

ada terdaftar di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Memang ada judul

yang mirip, tetapi secara substansi sangat berbeda. Oleh karena itu, keaslian

penulisan ini dapat terjamin, atau dengan kata lain bukanlah merupakan suatu

tindakan plagiat dari penulisan karya ilmiah orang lain.Apabila di kemudian hari,

ternyata terdapat judul dan substansi yang sama atau telah ditulis oleh orang lain

dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut dapat diminta

pertanggungjawaban di kemudian hari.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen:9

Menurut Pasal 1 Angka 3 Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:

“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

10

2. Pengertian Konsumen

“Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen dengan

cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan”.

9

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 1.

10

(18)

Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan konsumen:11

Menurut Pasal 1 Angka 15 UU OJK:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

12

Pengertian jasa keuangan tidak terdapat dalam UU OJK tepat sesuai dengan

redaksi kata jasa keuangan, tetapi yang ada yaitu lembaga jasa keuangan. Menurut

Pasal 1 Angka 4 UU OJK, lembaga jasa keuangan adalah lembaga yang

melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana

Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Artinya jasa

keuangan terkait dengan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal,

Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa

Keuangan Lainnya.

“Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan”.

3. Pengertian Jasa Keuangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 2.

12

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XI, Pasal 1 Angka 15.

13

(19)

Metode penelitian diperlukan dalam penyusunan suatu skripsi agar

menciptakan skripsi yang tersusun secara sistematis. Metode penulisan yang

digunakan dalam skripsi ini meliputi spesifikasi penelitian, sumber data, teknik

pengumpulan data, dan analisis data.

1. Spesifikasi Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif, yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan peraturan

perundang-undangan14. Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu

penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin

tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan mempertegas

hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau membuat teori baru.15

2. Sumber Data

Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu

dengan menganalisis permasalahan dalam penelitian melaui pendekatan terhadap

asas-asas hukum, yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan.

Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data

utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek

penelitian, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum

primer dapat berupa peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan

14 Law Education,

15

(20)

dengan perlindungan konsumen. Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang,

hasil-hasil penelitian, buku-buku, hasil karya dari kalangan hukum dan

seterusnya.16 Bahan hukum tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai

bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, majalah, surat

kabar dan sebagainya.17

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penulisan

yang dilakukan dengan cara pengumpulan literatur dengan sumber data berupa

bahan hukum primer dan sekunder yang berhubungan dengan permasalahan yang

dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data

berikut dengan analisisnya.18

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang

relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini; Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah

pendekatan kualitatis, yaitu dengan:

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut

di atas sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas;

16Ibid., hlm. 52.

17

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 106. 18

(21)

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan

kesimpulan dari permasalahan; dan

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan

kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan

dan tulisan.

Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode

penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan

secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui

dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih

khusus.19 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal

dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada

skesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.20

G. Sistematika Penulisan

Metode penarikan

kesimpulan dalam skripsi ini yaitu metode penulisan secara deduktif.

Penulisan skripsi ini disusun dalam 5 bab dengan adanya pembagian dalam

bentuk sub-sub bab untuk bagian babnya. Adapun sistematikanya adalah sebagai

berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab I sebagai pendahuluan yang secara baku di dalam penulisan

skripsi hukum berisi latar belakang masalah dan rumusan

masalahnya. Kemudian disusul dengan menguraikan tentang

19

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11.

20

(22)

tujuan dan manfaat penulisan yang tidak terlepas dari arahan

masalah yang dikaji. Selanjutnya menjelaskan keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II : BATASAN KONSUMEN PADA SEKTOR JASA

KEUANGAN

Bab II membahas mengenai sejarah dan perkembangan

konsumen, batasan konsumen dalam berbagai peraturan, baik

dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

maupun peraturan yang berlaku secara internasional dan berlaku

di negara lain, kemudian menjelaskan konsumen pada sektor

jasa keuangan dan Pemodal di Pasar Modal.

BAB III : BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU

NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA

KEUANGAN DAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Bab III membahas mengenai prinsip-prinsip yang berlaku

dalam Perlindungan Konsumen, kemudian bentuk-bentuk

perlindungan hukum terhadap konsumen menurut UU No. 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diwujudkan

(23)

BAB IV : KEDUDUKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UU NO. 21

TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN

TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN

Bab IV membahas mengenai kedudukan undang-undang dalam

sistem hukum nasional untuk melihat bagaimana perbelakuan

suatu undang-undang, kekuatan berlakunya undang-undang,

proses pembentukan undang-undang dan asas pembentukan

peraturan perundang-undangan yang baik menurut UU No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Selain itu, bab ini juga membahas mengenai

kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas

Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen menurut asas lex

specialis derogate lex generalis dan menurut asas lex posterior

derogate lex priori. Kemudian mengenai hubungan kedudukan

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan

UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan terkait gugatan

hukum, pembuktian dan klausula baku.

BAB V : PENUTUP

Bab V adalah bab penutup yang di dalamnya terdiri dari

(24)

yang disusun secara sistematis, singkat dan padat yang ditujukan

untuk menyimpulkan jawaban terhadap permasalahan yang telah

dianalis secara mendalam pada Bab II, Bab III dan Bab IV.

Selanjutnya berdasarkan kesimpulan yang sudah ditarik, maka

akan diberikan saran dalam bentuk preskripsi-preskripsi

(saran-saran) yang didasarkan pada argumentasi-argumentasi baru yang

telah diuraikan dalam pembahasan agar dapat digunakan

khususnya dalam lingkup akademis dan praktis.

BAB II

(25)

A. Sejarah dan Perkembangan Konsumen

Konsumen merupakan istilah yang tidak bisa lepas dari manusia. Semua

manusia termasuk dalam kategori konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh

Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy21 dalam menyampaikan pesan di

depan kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.

John mengatakan, “consumers by definition include us all”.22

Gerakan konsumen secara organisatoris mulai sekitar tahun 1930-an di

Amerika Serikat dan pengaturan konsumen dipelopori oleh Inggris sejak lahirnya

Sales Act yaitu undang-undang terkait perlindungan konsumen pada tahun 1872

dan tahun 1893. Amerika Serikat sebagai negara yang paling banyak punya andil

terhadap perlindungan konsumen melalui gerakan-gerakan perlindungan

konsumen berhasil membentuk Liga Konsumen pada tahun 1891 dan Liga

Konsumen Nasional (the National Consumer’s League) pada tahun 1898. Bahkan

pada tingkat suprastruktur politik, Presiden John F. Kennedy, pada tanggal 5

Maret 1962 mengucapkan pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Manusia sebagai pemegang predikat konsumen memiliki peran penting

dalam perkembangan konsumen. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan,

peraturan-peraturan, dan lembaga-lembaga untuk kepentingan konsumen sejak tahun 1872

hingga saat ini, baik dalam lingkup internasional maupun nasional. Gerakan,

peraturan, dan lembaga konsumen untuk memperkuat keberadaan konsumen

tersebut pada awalnya muncul di negara-negara seperti Amerika Serikat dan

Inggris.

21

Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni 1981), hlm. 47.

22

(26)

Serikat terkait perlindungan konsumen berjudul ”A Special Message of Protection

the Consumer Interest”.23 Peristiwa serupa juga terjadi ketika pengganti Kennedy,

Presiden L. B. Johnson pada 5 Februari 1964 mengingatkan kembali konsumen

dan memperkenalkan konsep hukum yang baru berkenaan dengan perlindungan

konsumen, yang sekarang lazim disebut dengan product warranty dan product

liability.24

Peristiwa inilah pemicu adanya pengakuan Dewan Ekonomi dan Sosial

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui resolusi No. 2111 Tahun 1978.

Resolusinya Nomor A/RES/39/248, 16 April 1985 terhadap hak-hak konsumen

sehingga lahirlah pedoman PBB tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for

Consumer Protection of 1985), yang isinya : “Konsumen dimanapun mereka

berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya”.25 Hal ini juga

semakin menambah pentingnya keberadaan konsumen ketika IOCU

(International Organization of Consumer Union) yang merupakan organisasi

internasional untuk konsumen, pada tahun 1995 menetapkan bahwa setiap tanggal

15 Maret diperingati sebagai hari Hak Konsumen Sedunia.26

Peristiwa di dunia internasional seperti itu memberikan pengaruh yang besar

terhadap negara-negara lain untuk mengadakan gerakan-gerakan yang serupa.

Indonesia melalui gerakan, lembaga, dan pengaturan juga ikut memperjuangkan

hak-hak konsumen. Meskipun sebenarnya pengaturannya sudah ada sejak masa

23

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 45.

24

Ibid.

25 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan

Perkembangan Pemikiran, (Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008), hlm. 17.

26

Imelda Martinelli, Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen dalam Era Hukum No.

(27)

pendudukan Belanda, namun pergerakan, lembaga, dan pengaturan yang sah di

Indonesia baru ada sejak Indonesia merdeka.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga yang

memperjuangkan hak-hak konsumen setelah kemerdekaan di Indonesia, memulai

aksinya melalui advokasi konsumen. Lembaga ini secara popular sering

dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia sejak tahun 1973

karena keberadaan YLKI membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas

hak-hak konsumen. Bahkan lembaga ini tidak sekadar melakukan penelitian atau

pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga

mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.27 Pergerakan

YLKI ini juga memunculkan beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga

Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak

Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumer

International (CI). Selain itu juga ada Yayasan Lembaga Bina Konsumen

Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai pelosok di

Tanah Air.28

Semangat dan kerja keras YLKI inilah akhirnya yang menjadi pemicu

lahirnya UU Perlindungan Konsumen. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa

pengaruh lainnya datang dari keterikatan Indonesia terhadap PBB, dorongan

World Trade Organization (WTO), program International Monetary Fund (IMF),

27

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 37

28

(28)

dan program Bank Dunia juga menjadi alasan lahirnya UU Perlindungan

Konsumen.29

Ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen merupakan payung hukum

dalam perlindungan konsumen terhadap peraturan lainnya sejak diundangkannya

undang-undang ini. Pembentukan UU Perlindungan Konsumen juga tidak terlepas

dari dinamika politik demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan gerakan

reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan pergantian

Presiden Republik Indonesia dari Soeharto kepada B. J. Habibie, dimana

kehidupan yang lebih demokratis mulai diperjuangkan.30 Namun jika

dibandingkan dengan ketentuan PBB, gerakan di Indonesia melalui YLKI

termasuk cukup responsif terhadap keadaan karena mampu mendahului Resolusi

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc) No. 2111 Tahun 1978 tentang

Perlindungan Konsumen.31

Lahirnya UU Perlindungan Konsumen menunjukkan betapa pentingnya

pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia. Hingga pada tahun 2011,

konsumen sektor jasa keuangan membutuhkan pengaturan yang kuat terkait

perlindungan konsumen, UU OJK hadir untuk memperkuat posisi konsumen

sektor jasa keuangan. Nasabah pada perbankan, pemegang polis pada

perasuransian, pemodal di pasar modal, dan peserta pada dana pensiun dengan

berlakunya undang-undang ini semakin dilindungi dalam hukum positif

Indonesia. Bahkan keberadaan konsumen dalam UU OJK semakin terlihat

(29)

berkembang dalam pengaturannya. Konsumen yang awalnya dikenal hanya

sebagai pengguna, pemakai atau pengguna akhir (konsumen akhir), tetapi melalui

UU OJK, konsumen juga diakui sebagai pihak yang mengkomersialkan barang

dan/atau jasa (konsumen antara).

B. Pengertian Konsumen

1. Menurut Ketentuan PBB mengenai Perlindungan Konsumen (United Nation

Guidelines for Consumer Protection as expanded in 1999)

United Nation Guidelines for Consumer Protection as expanded in 1999

atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) untuk Perlindungan Konsumen, sebagaimana diperluas pada tahun 1999

merupakan aturan yang berkaitan dengan konsumen, yang dikeluarkan pada tahun

1985. Pedoman yang mengatur mengenai prinsip-prinsip umum, pedoman, dan

kerjasama internasional terkait perlindungan konsumen ini mengalami perluasan

pengaturan dalam rangka memasukkan ketentuan konsumsi berkelanjutan yang

merupakan bagian penting dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak

konsumen.

Definisi konsumen tidak terdapat secara langsung dalam Pedoman PBB ini,

tetapi dari beberapa ketentuan dalam pedoman ini dapat diambil kesimpulan

bahwa PBB mengartikan konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa. Hal

ini dapat dilihat dalam Angka 11 dan 12 Huruf A Romawi Pedoman PBB tentang

Perlindungan Konsumen sebagaimana yang telah diubah pada tahun 1999 terkait

(30)

11. Governments should adopt or encourage the adoption of appropriate measures, including legal systems, safety regulations, national or international standards, voluntary standards and the maintenance of safety records to ensure that products are safe for either intended or normally foreseeable use.

12. Appropriate policies should ensure that goods produced by manufacturers are safe for either intended or normally foreseeable use. Those responsible for bringing goods to the market, in particular suppliers, exporters, importers, retailers and the like (hereinafter referred to as distributors), should ensure that while in their care these goods are not rendered unsafe through improper handling or storage and that while in their care they do not become hazardous through improper handling or storage. Consumers should be instructed in the proper use of goods and should be informed of the risks involved in intended or normally foreseeable use. Vital safety information should be conveyed to consumers by internationally understandable symbols wherever possible.

Artinya Pemerintah harus mengadopsi atau mendorong adopsi langkah yang

tepat, termasuk hukum sistem, peraturan keselamatan, standar nasional atau

internasional, standar sukarela dan pemeliharaan catatan keselamatan untuk

memastikan bahwa produk tersebut aman untuk baik dimaksudkan atau biasanya

“penggunaan” mendatang. Kemudian, kebijakan yang tepat harus memastikan

bahwa barang yang diproduksi oleh produsen yang aman baik untuk dimaksudkan

atau “penggunaan” normal mendatang. Mereka yang bertanggungjawab untuk

membawa barang ke pasar, khususnya pemasok, eksportir, importir, pengecer dan

sejenisnya, harus memastikan bahwa sementara dalam perawatan mereka

barang-barang ini tidak diberikan tidak aman melalui penanganan yang tidak tepat atau

penyimpanan dan sementara dalam perawatan mereka mereka tidak menjadi

berbahaya melalui penanganan yang tidak tepat atau penyimpanan. Konsumen

harus diinstruksikan dalam “penggunaan” yang tepat dari barang dan harus

(31)

biasanya mendatang. Informasi keselamatan penting harus disampaikan kepada

konsumen dengan simbol dimengerti secara internasional sedapat mungkin.

Hal yang serupa juga dapat terlihat dalam Angka 45, 50, dan 54 Huruf G

Romawi terkait promosi konsumsi berkelanjutan, yaitu:

45. Governments should encourage the design, development and use of products and services that are safe and energy and resource efficient, considering their full life-cycle impacts. Governments should encourage recycling programmes that encourage consumers to both recycle wastes and purchase recycled products.

50. Governments, in partnership with the private sector and other relevant organizations, should encourage the transformation of unsustainable consumption patterns through the development and use of new environmentally sound products and services and new technologies, including information and communication technologies, that can meet consumer needs while reducing pollution and depletion of natural resources.

54. Governments and international agencies should take the lead in introducing sustainable practices in their own operations, in particular through their procurement policies. Government procurement, as appropriate, should encourage development and use of environmentally sound products and services.

Artinya pemerintah harus mendorong desain, pengembangan dan

“penggunaan” produk dan jasa yang aman dan energi dan sumber daya yang

efisien, mengingat dampak siklus hidup penuh mereka. Pemerintah harus

mendorong program daur ulang yang mendorong konsumen untuk kedua limbah

daur ulang dan membeli produk daur ulang. Kemudian, pemerintah dalam

kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi terkait lainnya, harus mendorong

transformasi pola konsumsi yang tidak berkelanjutan melalui pengembangan dan

“penggunaan” produk ramah lingkungan dan layanan baru dan teknologi baru,

termasuk informasi dan teknologi komunikasi, yang dapat memenuhi kebutuhan

(32)

itu, pemerintah dan badan-badan internasional harus memimpin dalam

memperkenalkan berkelanjutan praktik dalam operasi mereka sendiri, khususnya

melalui kebijakan pengadaan mereka. Pengadaan oleh pemerintah, sebagaimana

mestinya, harus mendorong pengembangan dan “penggunaan” ramah lingkungan

produk dan jasa.

Ketentuan dalam pedoman tersebut menunjukkan bahwa tidak ada batasan

terhadap konsumen akhir maupun konsumen antara sebagaimana yang terdapat

dalam pembagian konsumen yang ada, bahkan tidak ada pengertian konsumen

dalam pedoman ini. Namun dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan

bahwa konsumen yang dimaksud adalah pengguna barang dan/atau jasa. Hal ini

karena beberapa rumusan yang terdapat dalam pedoman ini menempatkan kata

“penggunaan barang dan/atau jasa” terkait perlindungan konsumen. Dengan

demikian, batasan konsumen dalam pedoman ini yaitu sebagain pihak atau orang

sebagai pengguna barang dan/atau jasa.

2. Menurut Peraturan Perundang-Undangan Negara lain

Negara-negara lain seperti Australia, Pakistan, Malaysia, dan Inggris

memiliki peraturan terkait perlindungan konsumen. Australia memiliki

undang-undang mengenai perlindungan konsumen pada tahun 1974, Pakistan pada tahun

1995, Malaysia pada tahun 1999, dan Inggris pada tahun 1987.

Menurut UU Australia

Trade Practices Act 1974 and the Australian Securities and Investments Commission Act 2001):

(33)

$40,000 or if a greater amount is prescribed for the purposes of this paragraph—that greater amount or the goods were of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or consumption or the goods consisted of a vehicle or trailer acquired for use principally in the transport of goods on public roads. (2) However, subsection (1) does not apply if the person acquired the goods, or held himself or herself out as acquiring the goods for the purpose of re-supply or for the purpose of using them up or transforming them, in trade or commerce in the course of a process of production or manufacture or in the course of repairing or treating other goods or fixtures on land.

Artinya, konsumen sebagaimana disebutkan bahwa (1) seseorang diambil

untuk memperoleh barang-barang tertentu sebagai konsumen jika, dan hanya jika

jumlah yang dibayarkan atau terutang untuk barang, seperti bekerja di bawah

subbagian (4) ke (9), tidak melebihi $40.000 atau jika jumlah yang lebih besar

diresepkan untuk tujuan ayat bahwa jumlah yang lebih besar atau barang yang

dari jenis yang biasanya diperoleh untuk pribadi, domestik atau rumah tangga

penggunaan atau konsumsi atau barang terdiri dari kendaraan atau trailer yang

diperoleh untuk digunakan terutama dalam angkutan barang di jalan umum. (2)

Namun, “ayat (1) tidak berlaku jika orang tersebut memperoleh barang, atau

dipegang dirinya sendiri sebagai memperoleh barang untuk tujuan pasokan

kembali atau untuk tujuan menggunakan mereka atau mengubah mereka, dalam

perdagangan atau komersial” dalam jalannya proses produksi atau pembuatan atau

dalam proses perbaikan atau mengobati barang atau perlengkapan lain di darat.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Negara Pakistan 1995

(Islamabad Consumer’s Protection Act 1995): 32

Consumer means any person who buy goods for a consideration which has been paid or partly paid and partly promised to be paid or under any

32

(34)

system of deferred payment or hire purchase and includes any user of such goods but does not include a person who obtains such goods for re-sale or for any commercial purpose or hires any goods or services for a consideration which has been paid or promised or partly paid and partly promised or under any system of deferred payment and includes any beneficiary of such services.

Artinya konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Negara Pakistan

merupakan setiap orang yang membeli barang-barang untuk pertimbangan yang

telah dibayar atau dibayar sebagian dan sebagian dijanjikan akan dibayar atau di

bawah sistem pembayaran ditangguhkan atau menyewa pembelian dan mencakup

setiap pengguna barang tersebut tetapi “tidak termasuk orang yang memperoleh

barang-barang tersebut untuk dijual kembali atau untuk tujuan komersial atau

menyewa barang atau jasa” untuk pertimbangan yang telah dibayar atau

dijanjikan atau sebagian dibayar dan sebagian dijanjikan atau di bawah setiap

sistem pembayaran ditangguhkan dan mencakup setiap penerima layanan tersebut.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Malaysia 599 Tahun

1999 (Laws of Malaysia Act 599 Consumer Protection Act 1999): 33

Artinya, konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Malaysia

merupakan seseorang yang memperoleh atau menggunakan barang atau jasa dari

jenis yang biasanya diperoleh untuk pribadi, domestik atau rumah tangga tujuan,

Consumer means a person who acquires or uses goods or services of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household purpose, use or consumption and does not acquire or use the goods or services, or hold himself out as acquiring or using the goods or services, primarily for the purpose of resupplying them in trade, consuming them in the course of a manufacturing process or in the case of goods, repairing or treating, in trade, other goods or fixtures on land.

33

(35)

penggunaan atau konsumsi dan “tidak memperoleh atau menggunakan barang

atau jasa, atau menahan dirinya keluar sebagai memperoleh atau menggunakan

barang atau jasa, terutama untuk tujuan menyediakannya kembali dalam

perdagangan”, mengkonsumsinya dalam perjalanan proses manufaktur atau dalam

kasus barang, memperbaiki atau merawat, dalam perdagangan, barang-barang lain

atau perlengkapan di darat.

Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Inggris (Consumer

Protection Act 1987 in Part III about Misleading Price Indications in Pasal 20

about Offence of giving misleading indication):

Consumer is in relation to any goods, means any person who might wish to be supplied with the goods for his own private use or consumption, in relation to any services or facilities, means any person who might wish to be provided with the services or facilities otherwise than for the purposes of any business of his; and in relation to any accommodation, means any person who might wish to occupy the accommodation otherwise than for the purposes of any business of his.

Artinya, konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Inggris erat

kaitannya dengan barang-barang, yang berarti setiap orang yang mungkin ingin

diberikan bersama barang untuk penggunaan pribadi sendiri atau konsumsi, dalam

kaitannya dengan layanan atau fasilitas, berarti setiap orang yang mungkin ingin

diberikan dengan layanan atau fasilitas “selain untuk tujuan bisnis apapun

darinya”, dan dalam kaitannya dengan akomodasi apapun, berarti setiap orang

yang mungkin ingin menempati akomodasi selain untuk keperluan bisnisnya.

Konsumen yang dimaksud dalam empat undang-undang ini yaitu sebagai

orang yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya atau

(36)

diperolehnya. Berarti batasan konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir.

Ini dibuktikan dengan adanya redaksi kata “tidak berlaku dalam perdagangan atau

komersial” pada UU Australia, “tidak untuk dijual kembali atau untuk tujuan

komersial” pada UU Pakistan, “tidak dalam perdagangan” pada UU Malaysia, dan

“selain untuk tujuan bisnis” pada UU Inggris. Artinya secara keseluruhan

menghendaki konsumen bukanlah orang yang mengkomersialkan barang dan/atau

jasa yang diperolehnya.

3. Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen yaitu setiap

orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.34

a. Setiap orang

Unsur-unsur konsumen dalam undang-undang ini, yaitu:

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang individual yang

lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum

(rechtpersoon).

b. Pemakai

Kata pemakai dalam Penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU Perlindungan

Konsumen menekankan pada konsumen adalah konsumen akhir.

Pemakai yang dimaksud tidak selalu harus memberikan prestasinya

34

(37)

dengan cara membayar uang untuk memperolah barang dan/atau jasa

itu. Jadi yang paling penting terjadinya transaksi konsumen berupa

peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam

menggunakannya.35

c. Barang dan/atau jasa

Pengertian barang menurut Pasal 1 Angka 4 UU Perlindungan

Konsumen:36

Pengertian jasa dalam UU Perlindungan Konsumen adalah

“setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat

dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen”.

37

d. Yang tersedia dalam masyarakat

“setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang

disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus

tersedia di pasar. Hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan dalam

Pasal 9 Ayat 1 Huruf e UU Perlindungan Konsumen. Namun dalam

perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak

mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan

35

Shidarta, Op.Cit., hlm. 7. 36

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 4.

37

(38)

pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan

transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi.38

e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup

lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan

dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian

kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri

sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan

bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya).

f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Barang dan/atau jasa yang tidak untuk diperdagangkan berarti

menunjukkan konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa akhir

bukan pemakai antara.

Unsur-unsur konsumen tersebut menunjukkan bahwa tidak selalu memberikan

prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa

itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku

usaha tidak harus kontraktual (the privity of contract).39

38

Shidarta, Op.Cit., hlm. 8. 39

Ibid., hlm. 6.

Hubungan konsumen

dengan pelaku usaha tidak terbatas hanya berdasarkan hubungan transaksi jual

beli saja, melainkan lebih dari pada hal tersebut dapat disebut sebagai konsumen.

(39)

sebagai pembeli atau tidak ada hubungan kontraktual dengan pelaku usaha dari

kontrak tersebut, seseorang tersebut sebagai konsumen dapat melakukan klaim

atas kerugian yang diderita dari pemakaian produk tersebut, maka jelaslah bahwa

konsumen tidak sebatas pada transaksi jual beli saja, akan tetapi setiap orang yang

mengkonsumsi atau memakai suatu produk.

Senada dengan batasan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen,

pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius dan para ahli hukum juga

menjelaskan bahwa konsumen sebagai pemakai produk terakhir dari benda dan

jasa.40 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan

pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen

dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti

sempit hanya mengacu pada konsumen pada pemakai terakhir.41

4. Menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Menurutnya,

konsumen lebih tepatnya dikatakan konsumen akhir.

Pasal 1 Angka 15 UU OJK menjelaskan bahwa konsumen adalah

pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang

tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal

40

E.H. Hondius, “Konsumentenrecht”, dalam Shidarta, Ibid., hlm. 2. 41

UUPK menggunakan tiga istilah, yaitu pemakai,, pengguna dan pemanfaat barang dan/atau jasa, namun tidak memberikan penjelasan siapa yang pemakai, pengguna dan pemanfaat, sehingga membingungkan pemakaiannya. Pada waktu undang-undang ini diproses, tim ahli dari DPR mengusulkan kata “pemakai” digunakan untuk pemakaian barang-barang seperti sandang, pangan dan papan yang tidak mengandung listrik atau elektronik. Kata “pengguna” untuk yang pemakai barang-barang listrik dan elektronik, seperti computer, televise, radio, sedangkan “pemanfaat” diartikan sebagai mereka yang memanfaatkan jasa, seperti jasa angkutan, jasa

kedokteran, advokat dan lainnya, dalam

(40)

di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana

Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.42

a. Pihak-pihak

Unsur-unsur konsumen dalam undang-undang ini, yaitu:

Pihak-pihak tersebut, diantaranya nasabah pada Perbankan, pemodal

di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian dan peserta pada

Dana Pensiun.

b. Yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang

tersedia

Konsumen yang menempatkan dananya sering disebut sebagai

kreditur, tetapi tidak jarang juga disebut sebagai investor atau

pemodal. Memanfaatkan biasanya ditujukan untuk pemanfaatan

produk konsumen berbentuk jasa (misalnya pemanfaatan jasa

asuransi, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa advokat, jasa

kesehatan, dan lain-lain).43

42

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 Angka 15.

43

Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 14.

Memanfaatkan dalam ketentuan

undang-undang ini bersesuaian dengan apa yang berlaku dalam doktrin.

Dengan melihat kata penghubung “dan/atau”, menunjukkan adanya

pihak-pihak yang dapat menduduki posisi bukan hanya sebagai pihak

yang menempatkan dananya tetapi juga pihak yang memanfaatkan

pelayanan yang tersedia, misalnya nasabah pada Perbankan dan

(41)

c. Lembaga Jasa Keuangan

Pengertian Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana yang terdapat dalam

Pasal 1 Angka 4 UU OJK adalah lembaga yang melaksanakan

kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana

Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan

Lainnya. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya sebagaimana yang tertulis

dalam Pasal 1 Angka 10 UU OJK adalah pergadaian, lembaga

penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan

pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang

menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,

meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan

kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan

ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan

pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa

keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan

peraturan perundang-undangan.44

Pihak-pihak atau orang-orang yang memperoleh barang dan/atau jasa dalam

ketentuan undang-undang ini akan menjual kembali barang dan/atau jasa yang

telah diperolehnya. Dengan demikian, batasan konsumen dalam undang-undang

ini bukan hanya sebagai konsumen akhir, tetapi juga sebagai konsumen antara,

44

(42)

karena konsumen dapat diartikan sebagai pihak yang memperjualbelikan atau

mengkomersialkan barang dan/atau jasa.

C. Konsumen pada Sektor Jasa Keuangan

Konsumen pada sektor jasa keuangan sebagaimana yang telah disebutkan

dalam UU OJK meliputi nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal,

pemegang polis pada perasuransian dan peserta pada dana pensiun serta

pihak-pihak lain dalam sektor jasa keuangan. Jika merujuk pada UU OJK yang ikut

dalam kegiatan sektor jasa keuangan seperti “menempatkan dananya dan/atau

memanfaatkan pelayanan”, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 15 UU

OJK. Namun jika dikaitkan dengan definisi konsumen sebagaimana yang terdapat

dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen, maka aktivitas di sektor jasa

keuangan identik dengan “memakai jasa”. Berikut batasan konsumen pada sektor

jasa keuangan, diantaranya nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal,

pemegang polis pada perasuransian dan peserta pada dana pensiun.

Nasabah pada perbankan jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka

aktivitas nasabah dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan UU

Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau memanfaatkan

pelayanan” (sesuai dengan UU OJK) atau “pihak yang menggunakan jasa” (sesuai

dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Dari ketiga undang-undang

ini, nasabah sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai atau

memanfaatkan jasa dan/atau pelayanan”.

Ketentuan dalam UU Perbankan membedakan dua tipe nasabah, yaitu

(43)

yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan

perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.45 Bentuk-bentuk simpanan

biasanya berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan.

Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu

berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah bank yang bersangkutan.46

45 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Bab I, Pasal 1 Angka 17

46

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bab I, Pasal 1 Angka 18.

Nasabah penyimpan dan nasabah debitur termasuk “para pihak yang

menggunakan, memakai atau memanfaatkan jasa atau pelayanan”, meskipun

nasabah penyimpan juga termasuk “pihak yang menempatkan dananya”.

Misalnya, nasabah penyimpan “menempatkan dananya” pada bank tertentu

sejumlah uang dalam bentuk tabungan. Dalam hal ini, nasabah penyimpan juga

termasuk orang yang menggunakan jasa atau pelayanan bank, yaitu jasa

penyimpanan uang.

Pemodal di pasar modal jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka

aktivitas pasar modal dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan

Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau

memanfaatkan pelayanan” (sesuai dengan Pasal 1 Angka 15 UU OJK) atau pihak

yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa investasi” (sesuai dengan Pasal

3 huruf (a) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal). Dari ketiga

undang-undang ini, pemodal sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai

(44)

Ketentuan dalam UU Pasar Modal menempatkan pemodal sebagai pihak

yang terlibat dalam jual beli efek karena merupakan pihak yang menempatkan

dananya pada suatu emiten (pihak yang menjual efek kepada masyarakat) dengan

memanfaatkan jasa investasi.

Pemegang polis pada perasuransian jika merujuk tiga undang-undang

terkait, maka aktivitas pemegang polis dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa”

(sesuai dengan Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau

“menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan” (sesuai dengan Pasal 1

Angka 15 UU OJK) atau pihak yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa

penanggulangan resiko” (sesuai dengan Pasal 3 huruf (a) UU No. 2 Tahun 1992

tentang Usaha Perasuransian). Dari ketiga undang-undang ini pemegang polis

sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai atau memanfaatkan

jasa dan menempatkan dana”.

Ketentuan dalam UU Usaha Perasuransian mengartikan pemegang polis

sebagai pihak yang memiliki alat bukti yang kuat yang menunjukkan telah terjadi

asuransi melalui persetujuan atau kesepakatan bebas dalam bentuk tertulis berupa

akta yang disebut polis. Pemegang polis merupakan pihak yang menempatkan

dananya pada suatu perusahaan asuransi (disebut premi) dan akan mendapatkan

jasa penanggulangan risiko sesuai dengan premi yang dibayar.

Peserta pada dana pensiun jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka

aktivitas peserta dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan Pasal 1

Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau

(45)

yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa penanggulangan resiko” (sesuai

dengan UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun). Dari ketiga

undang-undang ini peserta sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai

atau memanfaatkan jasa dan menempatkan dana”. Peserta sesuai dengan UU Dana

Pensiun merupakan pihak yang menempatkan dananya (disebut iuran) dengan

memanfaatkan jasa investasi atau pengelolaan dana pensiun.

D. Pemodal di Pasar Modal

Pemodal di pasar modal sangat erat kaitannya dengan jual beli surat

berharga atau yang sering disebut efek dalam istilah pasar modal.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal)

memberikan pengertian pasar modal, yaitu merupakan kegiatan yang

bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik

yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang

berkaitan dengan efek.

Pasar modal pada dasarnya menyediakan sumber pembiayaan dengan

jangka waktu yang lebih panjang, yang diinvestasikan sebagai modal untuk

menciptakan dan memperluas lapangan kerja yang akan meningkatkan volume

aktivitas perekonomian yang profitable dan sehat. Modal yang bisa berupa dana

produksi atau dana untuk pengadaan barang modal seperti barang atau benda,

(46)

dan jasa.47

“penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu investasi keuangan (dimana investor menempatkan uang ke dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya”.

Maka dapat disimpulkan bahwa pasar modal merupakan kegiatan yang

terkait dengan investasi, dimana terjadinya transaksi jual beli surat-surat berharga.

Investasi dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi menggunakan istilah

investment (investasi) yang mempunyai arti:

48

Efek sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UU Pasar Modal)

adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, Investasi di Pasar Modal, investornya tidak perlu hadir secara fisik, sebab

pada umumnya (mungkin untuk kasus-kasus tertentu investor mau memiliki

perusahaan secara permanen dengan perhitungan bisnis tentunya tidak cukup

menjanjikan pendapatan) tujuan utama dari investor bukanlah mendirikan

perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali.

Tujuan investor di sini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal

dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan.

Dengan kata lain, jenis investasi seperti, yang diharapkan oleh investor adalah

capital again, artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di

bursa efek.

47 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 15.

48

Referensi

Dokumen terkait

memberikan informasi bahwa dengan 80 kali replikasi bootstrap yang dilakukan pada data training kombinasi 1, diperoleh rata-rata ketepatan klasifikasi terbesar, maka

Informan juga menjelaskan terlepas ada tidaknya unsur politis dalam kebijakan yang melahirkan sistem daftar tunggu, kebijakan ini harus dianggap sebagai sebuah

Template Dokumen ini adalah milik Direktorat Pendidikan - ITB Dokumen ini adalah milik Program Studi PSPA-SF ITB. Dilarang untuk me-reproduksi dokumen ini tanpa diketahui

Hasil analisis pakar menunjukkan: (1) terdapat isi uraian modul yang tidak penting bahkan salah; (2) beberapa pargraf yang tidak baik susunannya atau tidak memenuhi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tipe kepribadian dengan strategi penyelesaian konflik dalam organisasi Pagar Nusa di Universitas

Dalam berkas Access Database Project (ADP) yang didukung oleh Microsoft Access 2000 dan yang selanjutnya, fitur-fitur yang berkaitan dengan basis data berbeda

Haryasudirja Kampus ITNY, di dapat nilai tertinggi pada bagian sistem utilitas dengan nilai mean 2,900 pada item sistem listrik darurat yang diperoleh dari

Seperti yang terlihat pada Gambar 4.7, bahwa pada halaman ini terdapat satu tombol yaitu tombol Menu Simulasi yang mana apabila tombol ini diklik maka akan menampilkan