PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN
2011 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH
ZEPRYANTO P. SARAGIH
NIM: 100200058
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN
2011 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH
ZEPRYANTO P. SARAGIH
NIM: 100200058
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
NIP. 197501122005012002 Windha S.H., M.Hum.
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Bismar Nasution S.H., M.H.
NIP. 195603291986011001 NIP. 197501122005012002
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
kasih karunianya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
Penghargaan dan terimakasih juga Penulis ucapkan kepada kedua orangtua, yaitu
Bapak Sahala Saragih dan Ibu H. Masnawaty Girsang, yang tiada henti-hentinya
memberikan dorongan semangat, doa dan materi yang cukup kepada Penulis.
Penulisan skripsi seyogianya merupakan akhir dari segala aktivitas yang
berkenaan dengan akademik dalam dunia kemahasiswaan sebelum sampai pada
acara sidang dan wisuda. Lebih jelasnya, skripsi merupakan salah satu syarat yang
harus dipenuhi guna menyelesaikan kegiatan akademik dan memperoleh gelar
Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Sumatera Utara pada Departemen Hukum
Ekonomi.
Skripsi ini berjudul “Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999”. Isi dalam skripsi ini berupa uraian tentang perlindungan
hukum bagi konsumen, terutama berhubungan dengan batasan konsumen pada
sektor jasa keuangan, bentuk perlindungan hukum bagi konsumen, dan kedudukan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait
perlindungan konsumen.
Selama mengikuti proses penempahan hingga penyelesaian skripsi di
dari berbagai pihak. Sebagai bentuk apresiasi atas dukungan dan perhatian yang
diberikan, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H, M.Hum., selaku Pembantu
Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan S.H., M.H., D.F.M., selaku
Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. H. OK Saidin S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.Hum., selaku Pendiri
Departemen Hukum Ekonomi yang juga Dosen Pembimbing I, yang
telah memberikan nasihat dan pemikiran kepada Penulis selama proses
penulisan skripsi ini.
6. Ibu Windha S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
memberikan bimbingan dan bantuan pemikiran kepada Penulis selama
proses penulisan skripsi.
7. Ibu Aflah Lubis, S.H., M.Hum., selaku Dosen Departemen Perdata
yang juga Pemimpin Umum Buletin Lintas Almamater Fakultas
8. Seluruh dosen, staf administrasi, pegawai dan abang serta kakak
petugas perpustakaan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
9. Tim Legislative Drafting Universitas Padjadjaran 2013 “Thomas
Aquino”. Terima kasih buat Sofian Siregar, Frisdar Rio Marbun,
Henny Handayani Sirait dan Hotmartha Saragih, yang merupakan satu
tim Penulis dalam lomba, yang telah memberikan arti tentang
semangat dan perjuangan kepada Penulis.
10. Tim Legislative Drafting Universitas Indonesia 2013 “Djokosoetono”.
Terima kasih buat Ihsan An Auwali, Ely Syafitri Harahap, Wildayanti
dan Syafitri Ditami, yang merupakan satu tim Penulis dalam lomba,
yang juga memberikan arti tentang semangat dan perjuangan kepada
Penulis.
11.Ketiga Saudara Penulis yang tercinta yaitu Yanthi Veronica Saragih,
Tosima Novriany Saragih, dan Ferdinand Jandrianto Saragih, yang
telah memberikan perhatian, semangat dan doa kepada Penulis.
12.Keluarga Besar Buletin Lintas Almamater Fakultas Hukum USU yang
telah memberikan perhatiannya kepada Penulis.
13.Keluarga Besar Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Mahasiswa
Hukum Indonesia Medan.
14.Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
15.Teman-teman seperjuangan yang saling memberi semangat dalam
pengerjaan skripsi, diantaranya Theodorus Arie Gusti Hutasoit,
Lastuah Harianto, Andika, Rory, dan Edwar Zai. Juga kepada
adik-adik yang selalu memberikan tegur sapanya di Fakultas Hukum USU.
16.Teman-teman dan adik-adik Penulis selama Penulis menimba ilmu di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga dalam
pengerjaan skripsi yang tidak dapat Penulis tuliskan satu persatu.
Akhir kata, dengan kerendahan hati Penulis menyadari bahwa masih
terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan Penulis dalam karya
penulisan berikutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya
bagi para pembaca.
Medan, April 2014
Hormat Penulis,
DAFTAR ISI
BAB II BATASAN KONSUMEN PADA SEKTOR JASA KEUANGAN A. Sejarah dan Perkembangan Konsumen ... 16
B. Pengertian Konsumen ... 20
1. Menurut Ketentuan PBB mengenai Perlindungan Konsumen (United Nation Guidelines for Consumer Protection as expanded
BAB III BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN DAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Prinsip-prinsip dalam Perlindungan Konsumen ... 42
B. Perlindungan Hukum Preventif ... 46
1. Adanya Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 46
2. Adanya Ketentuan mengenai Klausula Baku/Perjanjian Baku ... 52
3. Adanya Ketentuan mengenai Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha ... 55
4. Adanya Ketentuan mengenai Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 61
6. Tindakan Pencegahan Kerugian oleh Otoritas Jasa Keuangan ... 68
BAB IV KEDUDUKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UU NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN A. Kedudukan Undang-Undang dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia ... 84
1. Pemberlakuan Undang-Undang ... 84
2. Kekuatan Berlakunya Undang-Undang ... 86
3. Proses Pembentukan Undang-Undang ... 87
4. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Menurut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 92
B. Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen ... 95
1. Menurut asas lex specialis derogate lex generalis ... 95
2. Menurut asas lex posterior derogate lex prior ... 97
C. Hubungan Kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan ... 99
1. Pengajuan gugatan hukum oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam kaitannya dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ... 99
ABSTRAK
PERLINDUNGAN KONSUMEN SEKTOR JASA KEUANGAN
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2011
DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
Zepryanto P. Saragih1
1 Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I
*** Dosen Pembimbing II
Bismar Nasution **
Windha ***
Konsumen dalam perspektif UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir. Menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, konsumen bukan hanya konsumen akhir, tetapi juga konsumen antara. Batasan konsumen dalam dua undang-undang ini berdampak terhadap perlindungan konsumen. Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana batasan konsumen pada sektor jasa keuangan, bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen ditinjau dari UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan bagaimana kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen.
Metode penelitian yang dilakukan dalam pengerjaan skripsi ini adalah yuridis normatif yaitu mengacu pada norma-norma hukum, dan penelitian ini bersifat deskriftif analitis, karena menggambarkan masalah dengan cara
menjabarkannya. Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library
research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan, seperti perundang-undangan, buku-buku, surat kabar, dan situs internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang dibahas.
Konsumen sektor jasa keuangan, terutama pemodal di pasar modal menjadi perhatian dalam perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menempatkan konsumen bukan hanya sebagai pengguna, pemakai atau pemanfaat akhir, tetapi juga pihak yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa. Perkembangan ini mempengaruhi perlindungan hukum terhadap konsumen secara preventif dan represif.
Penggunaan asas lex specialis derogate lex generalis dan asas lex posterior
derogate lex priori sangat dibutuhkan dalam rangka memberikan kejelasan terhadap ketentuan dalam undang-undang ini untuk melihat kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia pada umumnya sudah mengenal siapa itu konsumen.2
Konsumen sebagaimana yang dikenal dalam bahasa Indonesia merupakan serapan
dari bahasa asing, yaitu berasal dari bahasa Inggris dan Amerika, yaitu consumer
dan Belanda, yaitu consument/konsument.3
Ilmu ekonomi membagi konsumen dalam dua bagian, yaitu konsumen
antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah setiap orang yang
mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan membuat
barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
Namun belum banyak masyarakat
yang mengenal pembagian konsumen. Pembagian konsumen ini biasanya dikenal
oleh masyarakat yang tergolong akademisi dan praktisi serta masyarakat yang
mengikuti perkembangan informasi dan edukasi terkait konsumen.
4
2 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hlm. 1.
sifat penggunaan barang atau jasa tersebut, konsumen antara ini sesungguhnya
tidak lain dari pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun pengusaha
berbentuk badan hukum atau tidak; baik pengusaha swasta maupun pengusaha
publik (perusahaan milik negara), dan dapat antara lain terdiri dari penyedia dana
(investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen akhir
pedagang). 5 Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya
pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali
(nonkomersial).6 Mereka pada pokoknya adalah orang alami (natuurlijke person)
dan menggunakan produk konsumen tidak untuk diperdagangkan dan atau tujuan
komersial lainnya.7
1. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 No. 214
Terminologi hukum sebagaimana dikenal dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia memberikan makna konsumen sebagai konsumen akhir.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 1 Angka 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya
disebut UU Perlindungan Konsumen).
Keberadaan konsumen dalam pengaturan hukum di Indonesia identik
dengan perlindungan konsumen. Pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia
telah mengalami perjalanan yang panjang, mulai dari sejak Indonesia merdeka
hingga tahun 2011. Bahkan, ketika Indonesia dalam pendudukan oleh bangsa
Belanda, keberadaan perlindungan konsumen telah ada melalui ketentuan
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda saat itu. Pengaturan
konsumen di Indonesia pada masa kolonial Belanda, yaitu dalam:
2. Loodwit Ordonnantie (Ordonantie Timbal Karbonat), S. 1931 No. 28
3. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S. 1926-226 jo. S. 1927-449, jo. S. 1940-14 dan 450
4. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S. 1931-509 5. Vuurwerk Ordonanntie (Ordonansi Petasan), S. 1932-143
7. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi pajak sembelih), S. 1936-671
8. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat Keras), S. 1937-641
9. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran Perusahaan), S. 1938-86
10. Ijkordonnantie (Ordonansi Tera), S. 1949-175
11. Gevaarlijke Stoffen Ordonnantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya), S. 1949-377
12. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonnantie, S. 1955-660.8
Lepasnya Indonesia dari penjajahan memunculkan peraturan terkait
perlindungan konsumen secara parsial dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Namun, baru tahun 1999 Indonesia mempunyai payung
hukum (umbrella act) dalam perlindungan konsumen yaitu UU Perlindungan
Konsumen. Undang-undang ini lahir dari adanya dorongan dari berbagai pihak
dan dinamika politik yang terjadi di Indonesia saat itu. Dorongan ini pun terus
bergema hingga akhirnya perlindungan konsumen semakin kuat dalam industry
sektor jasa keuangan. Hal ini terlihat dua belas tahun sejak berlakunya UU
Perlindungan Konsumen, muncul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK). Undang-undang ini
memberikan pengaturan yang lebih khusus lagi terkait perlindungan konsumen
pada sektor jasa keuangan.
Berlakunya UU OJK membawa dampak terhadap kedudukan konsumen dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Konsumen dalam UU OJK tidak
hanya mengenal konsumen akhir sebagaimana yang diakui UU Perlindungan
Konsumen, tetapi juga mengakui adanya konsumen antara. Masuknya konsumen
8
antara dalam UU OJK terlihat jelas dengan masuknya Pemodal di Pasar Modal
sebagai konsumen. Pemodal yang idealnya disebut investor sangat erat kaitannya
dengan konsumen antara karena Pemodal di Pasar Modal identik dengan jual beli
efek, yang dalam praktiknya membeli efek dengan tujuan untuk diperdagangkan
kembali demi memperoleh keuntungan atas efek yang telah dibelinya.
Perkembangan dalam pengaturan konsumen dalam UU OJK sebenarnya
menunjukkan kemajuan pengaturan dalam perlindungan konsumen, karena
pihak-pihak yang tergolong sebagai konsumen sektor jasa keuangan, sebelum adanya
undang-undang ini kurang memiliki pijakan hukum yang kuat dalam hal
perlindungan hukum. Lahirnya undang-undang ini pun memberikan harapan baru
kepada nasabah pada perbankan, pemegang polis pada perasuransian, pemodal di
pasar modal, dan peserta di dana pensiun sebagai konsumen pada sektor jasa
keuangan. Namun perkembangan ini berkakibat pada konsep perlindungan hukum
terhadap konsumen yang ada terutama pada konsumen sektor jasa keuangan baik
secara preventif maupun represif.
Keberadaan konsumen sektor jasa keuangan dalam UU OJK bukan berarti
tidak mendapat dukungan dari UU Perlindungan Konsumen. Dalam bagian umum
Penjelasan atas UU Perlindungan Konsumen ditegaskan bahwa:
“Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen”.
Artinya UU Perlindungan Konsumen tidak menutup kemungkinan adanya
tetapi segala pengaturan mengenai perlindungan konsumen harus merujuk pada
UU Perlindungan Konsumen, karena UU Perlindungan Konsumen merupakan
payung hukum terkait perlindungan konsumen. Dengan demikian, akan ada
ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen yang tidak berlaku terhadap
konsumen pada sektor jasa keuangan. Sebaliknya, akan ada ketentuan UU
Perlindungan Konsumen yang berlaku terhadap konsumen sektor jasa keuangan
terkait perlindungan konsumen, karena UU OJK tidak memberikan pengaturan
yang jelas. Sehingga dibutuhkan asas-asas yang kerapkali digunakan dalam
hukum tata negara untuk memperjelas ketentuan yang umum dan yang khusus
serta ketentuan yang baru dan yang lama dalam peraturan perundang-undangan.
Asas-asas tersebut yaitu lex specialis derogate lex generalis dan lex posterior
derogate lex priori.
Asas-asas hukum ini diperlukan dalam pembahasan batasan konsumen dan
bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen untuk melihat bagaimana
hubungan pengaturan undang-undang ini terhadap perlindungan konsumen. Untuk
itulah, penulis tertarik untuk mengangkat skripsi tentang “Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999” untuk melihat bagaimana
kedudukan UU Perlindungan Konsumen terhadap UU OJK terkait perlindungan
B. Perumusan Masalah
Uraian singkat yang telah dikemukakan di atas membuat penulis dapat
merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi
ini, yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana batasan konsumen pada sektor jasa keuangan?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen sektor jasa
keuangan menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
3. Bagaimana kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
terkait Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, tujuan yang ingin
dicapai dalam penulisan ini yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana batasan konsumen pada sektor jasa keuangan,
sebagaimana terdapat dalam berbagai peraturan, baik yang berlaku dalam
lingkup internasional maupun nasional
2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum yang
diberikan terhadap konsumen sektor jasa keuangan dilihat dari perspektif
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
3. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Jasa Keuangan terkait perlindungan konsumen dalam pengaturan hukum di
Indonesia.
Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah
dirumuskan diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran di
bidang perlindungan konsumen, khususnya terkait dengan konsumen sektor
jasa keuangan.
2. Secara praktis, pembahasan terhadap permasalahan ini diharapkan dapat
menjadi bahan masukan terhadap praktisi-praktisi hukum dan pihak-pihak
terkait sebagai bahan pertimbangan dalam pemikiran dalam melaksanakan
bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen sektor jasa
keuangan.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999” ini merupakan ide, gagasan maupun pemikiran penulis dengan
adanya penambahan kutipan-kutipan atau pendapat orang lain, yang dilakukan
sebagai referensi untuk mendukung fakta-fakta dalam penulisan ini.
Sehubungan dengan keaslian judul skripsi, penulis telah menelusuri judul
karya ilmiah melalui media internet. Sepanjang penelusuran yang dilakukan,
belum ada penulis lain yang pernah mengangkat judul tersebut. Selain itu penulis
Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum pernah
ada terdaftar di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. Memang ada judul
yang mirip, tetapi secara substansi sangat berbeda. Oleh karena itu, keaslian
penulisan ini dapat terjamin, atau dengan kata lain bukanlah merupakan suatu
tindakan plagiat dari penulisan karya ilmiah orang lain.Apabila di kemudian hari,
ternyata terdapat judul dan substansi yang sama atau telah ditulis oleh orang lain
dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut dapat diminta
pertanggungjawaban di kemudian hari.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen:9
Menurut Pasal 1 Angka 3 Peraturan OJK No. 1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan:
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
10
2. Pengertian Konsumen
“Perlindungan Konsumen adalah perlindungan terhadap Konsumen dengan
cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan”.
9
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 1.
10
Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen:11
Menurut Pasal 1 Angka 15 UU OJK:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
12
Pengertian jasa keuangan tidak terdapat dalam UU OJK tepat sesuai dengan
redaksi kata jasa keuangan, tetapi yang ada yaitu lembaga jasa keuangan. Menurut
Pasal 1 Angka 4 UU OJK, lembaga jasa keuangan adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Artinya jasa
keuangan terkait dengan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya.
“Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan”.
3. Pengertian Jasa Keuangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 2.
12
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab XI, Pasal 1 Angka 15.
13
Metode penelitian diperlukan dalam penyusunan suatu skripsi agar
menciptakan skripsi yang tersusun secara sistematis. Metode penulisan yang
digunakan dalam skripsi ini meliputi spesifikasi penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, dan analisis data.
1. Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan14. Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang keadaan yang menjadi objek penelitian sehingga akan mempertegas
hipotesa dan dapat membantu memperkuat teori lama atau membuat teori baru.15
2. Sumber Data
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu
dengan menganalisis permasalahan dalam penelitian melaui pendekatan terhadap
asas-asas hukum, yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan.
Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data
utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek
penelitian, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum
primer dapat berupa peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan
14 Law Education,
15
dengan perlindungan konsumen. Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, buku-buku, hasil karya dari kalangan hukum dan
seterusnya.16 Bahan hukum tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, majalah, surat
kabar dan sebagainya.17
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penulisan
yang dilakukan dengan cara pengumpulan literatur dengan sumber data berupa
bahan hukum primer dan sekunder yang berhubungan dengan permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data
berikut dengan analisisnya.18
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang
relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini; Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah
pendekatan kualitatis, yaitu dengan:
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut
di atas sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas;
16Ibid., hlm. 52.
17
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 106. 18
c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan
kesimpulan dari permasalahan; dan
d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan
kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan
dan tulisan.
Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode
penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan
secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui
dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih
khusus.19 Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal
dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada
skesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.20
G. Sistematika Penulisan
Metode penarikan
kesimpulan dalam skripsi ini yaitu metode penulisan secara deduktif.
Penulisan skripsi ini disusun dalam 5 bab dengan adanya pembagian dalam
bentuk sub-sub bab untuk bagian babnya. Adapun sistematikanya adalah sebagai
berikut.
BAB I : PENDAHULUAN
Bab I sebagai pendahuluan yang secara baku di dalam penulisan
skripsi hukum berisi latar belakang masalah dan rumusan
masalahnya. Kemudian disusul dengan menguraikan tentang
19
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11.
20
tujuan dan manfaat penulisan yang tidak terlepas dari arahan
masalah yang dikaji. Selanjutnya menjelaskan keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II : BATASAN KONSUMEN PADA SEKTOR JASA
KEUANGAN
Bab II membahas mengenai sejarah dan perkembangan
konsumen, batasan konsumen dalam berbagai peraturan, baik
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
maupun peraturan yang berlaku secara internasional dan berlaku
di negara lain, kemudian menjelaskan konsumen pada sektor
jasa keuangan dan Pemodal di Pasar Modal.
BAB III : BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU
NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA
KEUANGAN DAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Bab III membahas mengenai prinsip-prinsip yang berlaku
dalam Perlindungan Konsumen, kemudian bentuk-bentuk
perlindungan hukum terhadap konsumen menurut UU No. 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diwujudkan
BAB IV : KEDUDUKAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UU NO. 21
TAHUN 2011 TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN
Bab IV membahas mengenai kedudukan undang-undang dalam
sistem hukum nasional untuk melihat bagaimana perbelakuan
suatu undang-undang, kekuatan berlakunya undang-undang,
proses pembentukan undang-undang dan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik menurut UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Selain itu, bab ini juga membahas mengenai
kedudukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen terhadap UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan terkait Perlindungan Konsumen menurut asas lex
specialis derogate lex generalis dan menurut asas lex posterior
derogate lex priori. Kemudian mengenai hubungan kedudukan
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan
UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terkait
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan terkait gugatan
hukum, pembuktian dan klausula baku.
BAB V : PENUTUP
Bab V adalah bab penutup yang di dalamnya terdiri dari
yang disusun secara sistematis, singkat dan padat yang ditujukan
untuk menyimpulkan jawaban terhadap permasalahan yang telah
dianalis secara mendalam pada Bab II, Bab III dan Bab IV.
Selanjutnya berdasarkan kesimpulan yang sudah ditarik, maka
akan diberikan saran dalam bentuk preskripsi-preskripsi
(saran-saran) yang didasarkan pada argumentasi-argumentasi baru yang
telah diuraikan dalam pembahasan agar dapat digunakan
khususnya dalam lingkup akademis dan praktis.
BAB II
A. Sejarah dan Perkembangan Konsumen
Konsumen merupakan istilah yang tidak bisa lepas dari manusia. Semua
manusia termasuk dalam kategori konsumen, sebagaimana dikemukakan oleh
Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy21 dalam menyampaikan pesan di
depan kongres tentang pentingnya kedudukan konsumen di dalam masyarakat.
John mengatakan, “consumers by definition include us all”.22
Gerakan konsumen secara organisatoris mulai sekitar tahun 1930-an di
Amerika Serikat dan pengaturan konsumen dipelopori oleh Inggris sejak lahirnya
Sales Act yaitu undang-undang terkait perlindungan konsumen pada tahun 1872
dan tahun 1893. Amerika Serikat sebagai negara yang paling banyak punya andil
terhadap perlindungan konsumen melalui gerakan-gerakan perlindungan
konsumen berhasil membentuk Liga Konsumen pada tahun 1891 dan Liga
Konsumen Nasional (the National Consumer’s League) pada tahun 1898. Bahkan
pada tingkat suprastruktur politik, Presiden John F. Kennedy, pada tanggal 5
Maret 1962 mengucapkan pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Manusia sebagai pemegang predikat konsumen memiliki peran penting
dalam perkembangan konsumen. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan,
peraturan-peraturan, dan lembaga-lembaga untuk kepentingan konsumen sejak tahun 1872
hingga saat ini, baik dalam lingkup internasional maupun nasional. Gerakan,
peraturan, dan lembaga konsumen untuk memperkuat keberadaan konsumen
tersebut pada awalnya muncul di negara-negara seperti Amerika Serikat dan
Inggris.
21
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, (Bandung: Alumni 1981), hlm. 47.
22
Serikat terkait perlindungan konsumen berjudul ”A Special Message of Protection
the Consumer Interest”.23 Peristiwa serupa juga terjadi ketika pengganti Kennedy,
Presiden L. B. Johnson pada 5 Februari 1964 mengingatkan kembali konsumen
dan memperkenalkan konsep hukum yang baru berkenaan dengan perlindungan
konsumen, yang sekarang lazim disebut dengan product warranty dan product
liability.24
Peristiwa inilah pemicu adanya pengakuan Dewan Ekonomi dan Sosial
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melalui resolusi No. 2111 Tahun 1978.
Resolusinya Nomor A/RES/39/248, 16 April 1985 terhadap hak-hak konsumen
sehingga lahirlah pedoman PBB tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for
Consumer Protection of 1985), yang isinya : “Konsumen dimanapun mereka
berada, dari segala bangsa, mempunyai hak-hak dasar sosialnya”.25 Hal ini juga
semakin menambah pentingnya keberadaan konsumen ketika IOCU
(International Organization of Consumer Union) yang merupakan organisasi
internasional untuk konsumen, pada tahun 1995 menetapkan bahwa setiap tanggal
15 Maret diperingati sebagai hari Hak Konsumen Sedunia.26
Peristiwa di dunia internasional seperti itu memberikan pengaruh yang besar
terhadap negara-negara lain untuk mengadakan gerakan-gerakan yang serupa.
Indonesia melalui gerakan, lembaga, dan pengaturan juga ikut memperjuangkan
hak-hak konsumen. Meskipun sebenarnya pengaturannya sudah ada sejak masa
23
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 45.
24
Ibid.
25 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran, (Banjarmasin: FH Unlam Press, 2008), hlm. 17.
26
Imelda Martinelli, Tiga Isu Penting Dalam Transaksi Konsumen dalam Era Hukum No.
pendudukan Belanda, namun pergerakan, lembaga, dan pengaturan yang sah di
Indonesia baru ada sejak Indonesia merdeka.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai lembaga yang
memperjuangkan hak-hak konsumen setelah kemerdekaan di Indonesia, memulai
aksinya melalui advokasi konsumen. Lembaga ini secara popular sering
dipandang sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia sejak tahun 1973
karena keberadaan YLKI membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas
hak-hak konsumen. Bahkan lembaga ini tidak sekadar melakukan penelitian atau
pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga
mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.27 Pergerakan
YLKI ini juga memunculkan beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga
Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak
Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota Consumer
International (CI). Selain itu juga ada Yayasan Lembaga Bina Konsumen
Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai pelosok di
Tanah Air.28
Semangat dan kerja keras YLKI inilah akhirnya yang menjadi pemicu
lahirnya UU Perlindungan Konsumen. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa
pengaruh lainnya datang dari keterikatan Indonesia terhadap PBB, dorongan
World Trade Organization (WTO), program International Monetary Fund (IMF),
27
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 37
28
dan program Bank Dunia juga menjadi alasan lahirnya UU Perlindungan
Konsumen.29
Ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen merupakan payung hukum
dalam perlindungan konsumen terhadap peraturan lainnya sejak diundangkannya
undang-undang ini. Pembentukan UU Perlindungan Konsumen juga tidak terlepas
dari dinamika politik demokrasi di Indonesia yang ditandai dengan gerakan
reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan pergantian
Presiden Republik Indonesia dari Soeharto kepada B. J. Habibie, dimana
kehidupan yang lebih demokratis mulai diperjuangkan.30 Namun jika
dibandingkan dengan ketentuan PBB, gerakan di Indonesia melalui YLKI
termasuk cukup responsif terhadap keadaan karena mampu mendahului Resolusi
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (Ecosoc) No. 2111 Tahun 1978 tentang
Perlindungan Konsumen.31
Lahirnya UU Perlindungan Konsumen menunjukkan betapa pentingnya
pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia. Hingga pada tahun 2011,
konsumen sektor jasa keuangan membutuhkan pengaturan yang kuat terkait
perlindungan konsumen, UU OJK hadir untuk memperkuat posisi konsumen
sektor jasa keuangan. Nasabah pada perbankan, pemegang polis pada
perasuransian, pemodal di pasar modal, dan peserta pada dana pensiun dengan
berlakunya undang-undang ini semakin dilindungi dalam hukum positif
Indonesia. Bahkan keberadaan konsumen dalam UU OJK semakin terlihat
berkembang dalam pengaturannya. Konsumen yang awalnya dikenal hanya
sebagai pengguna, pemakai atau pengguna akhir (konsumen akhir), tetapi melalui
UU OJK, konsumen juga diakui sebagai pihak yang mengkomersialkan barang
dan/atau jasa (konsumen antara).
B. Pengertian Konsumen
1. Menurut Ketentuan PBB mengenai Perlindungan Konsumen (United Nation
Guidelines for Consumer Protection as expanded in 1999)
United Nation Guidelines for Consumer Protection as expanded in 1999
atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk Perlindungan Konsumen, sebagaimana diperluas pada tahun 1999
merupakan aturan yang berkaitan dengan konsumen, yang dikeluarkan pada tahun
1985. Pedoman yang mengatur mengenai prinsip-prinsip umum, pedoman, dan
kerjasama internasional terkait perlindungan konsumen ini mengalami perluasan
pengaturan dalam rangka memasukkan ketentuan konsumsi berkelanjutan yang
merupakan bagian penting dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak
konsumen.
Definisi konsumen tidak terdapat secara langsung dalam Pedoman PBB ini,
tetapi dari beberapa ketentuan dalam pedoman ini dapat diambil kesimpulan
bahwa PBB mengartikan konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa. Hal
ini dapat dilihat dalam Angka 11 dan 12 Huruf A Romawi Pedoman PBB tentang
Perlindungan Konsumen sebagaimana yang telah diubah pada tahun 1999 terkait
11. Governments should adopt or encourage the adoption of appropriate measures, including legal systems, safety regulations, national or international standards, voluntary standards and the maintenance of safety records to ensure that products are safe for either intended or normally foreseeable use.
12. Appropriate policies should ensure that goods produced by manufacturers are safe for either intended or normally foreseeable use. Those responsible for bringing goods to the market, in particular suppliers, exporters, importers, retailers and the like (hereinafter referred to as distributors), should ensure that while in their care these goods are not rendered unsafe through improper handling or storage and that while in their care they do not become hazardous through improper handling or storage. Consumers should be instructed in the proper use of goods and should be informed of the risks involved in intended or normally foreseeable use. Vital safety information should be conveyed to consumers by internationally understandable symbols wherever possible.
Artinya Pemerintah harus mengadopsi atau mendorong adopsi langkah yang
tepat, termasuk hukum sistem, peraturan keselamatan, standar nasional atau
internasional, standar sukarela dan pemeliharaan catatan keselamatan untuk
memastikan bahwa produk tersebut aman untuk baik dimaksudkan atau biasanya
“penggunaan” mendatang. Kemudian, kebijakan yang tepat harus memastikan
bahwa barang yang diproduksi oleh produsen yang aman baik untuk dimaksudkan
atau “penggunaan” normal mendatang. Mereka yang bertanggungjawab untuk
membawa barang ke pasar, khususnya pemasok, eksportir, importir, pengecer dan
sejenisnya, harus memastikan bahwa sementara dalam perawatan mereka
barang-barang ini tidak diberikan tidak aman melalui penanganan yang tidak tepat atau
penyimpanan dan sementara dalam perawatan mereka mereka tidak menjadi
berbahaya melalui penanganan yang tidak tepat atau penyimpanan. Konsumen
harus diinstruksikan dalam “penggunaan” yang tepat dari barang dan harus
biasanya mendatang. Informasi keselamatan penting harus disampaikan kepada
konsumen dengan simbol dimengerti secara internasional sedapat mungkin.
Hal yang serupa juga dapat terlihat dalam Angka 45, 50, dan 54 Huruf G
Romawi terkait promosi konsumsi berkelanjutan, yaitu:
45. Governments should encourage the design, development and use of products and services that are safe and energy and resource efficient, considering their full life-cycle impacts. Governments should encourage recycling programmes that encourage consumers to both recycle wastes and purchase recycled products.
50. Governments, in partnership with the private sector and other relevant organizations, should encourage the transformation of unsustainable consumption patterns through the development and use of new environmentally sound products and services and new technologies, including information and communication technologies, that can meet consumer needs while reducing pollution and depletion of natural resources.
54. Governments and international agencies should take the lead in introducing sustainable practices in their own operations, in particular through their procurement policies. Government procurement, as appropriate, should encourage development and use of environmentally sound products and services.
Artinya pemerintah harus mendorong desain, pengembangan dan
“penggunaan” produk dan jasa yang aman dan energi dan sumber daya yang
efisien, mengingat dampak siklus hidup penuh mereka. Pemerintah harus
mendorong program daur ulang yang mendorong konsumen untuk kedua limbah
daur ulang dan membeli produk daur ulang. Kemudian, pemerintah dalam
kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi terkait lainnya, harus mendorong
transformasi pola konsumsi yang tidak berkelanjutan melalui pengembangan dan
“penggunaan” produk ramah lingkungan dan layanan baru dan teknologi baru,
termasuk informasi dan teknologi komunikasi, yang dapat memenuhi kebutuhan
itu, pemerintah dan badan-badan internasional harus memimpin dalam
memperkenalkan berkelanjutan praktik dalam operasi mereka sendiri, khususnya
melalui kebijakan pengadaan mereka. Pengadaan oleh pemerintah, sebagaimana
mestinya, harus mendorong pengembangan dan “penggunaan” ramah lingkungan
produk dan jasa.
Ketentuan dalam pedoman tersebut menunjukkan bahwa tidak ada batasan
terhadap konsumen akhir maupun konsumen antara sebagaimana yang terdapat
dalam pembagian konsumen yang ada, bahkan tidak ada pengertian konsumen
dalam pedoman ini. Namun dari ketentuan tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa konsumen yang dimaksud adalah pengguna barang dan/atau jasa. Hal ini
karena beberapa rumusan yang terdapat dalam pedoman ini menempatkan kata
“penggunaan barang dan/atau jasa” terkait perlindungan konsumen. Dengan
demikian, batasan konsumen dalam pedoman ini yaitu sebagain pihak atau orang
sebagai pengguna barang dan/atau jasa.
2. Menurut Peraturan Perundang-Undangan Negara lain
Negara-negara lain seperti Australia, Pakistan, Malaysia, dan Inggris
memiliki peraturan terkait perlindungan konsumen. Australia memiliki
undang-undang mengenai perlindungan konsumen pada tahun 1974, Pakistan pada tahun
1995, Malaysia pada tahun 1999, dan Inggris pada tahun 1987.
Menurut UU Australia
Trade Practices Act 1974 and the Australian Securities and Investments Commission Act 2001):
$40,000 or if a greater amount is prescribed for the purposes of this paragraph—that greater amount or the goods were of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household use or consumption or the goods consisted of a vehicle or trailer acquired for use principally in the transport of goods on public roads. (2) However, subsection (1) does not apply if the person acquired the goods, or held himself or herself out as acquiring the goods for the purpose of re-supply or for the purpose of using them up or transforming them, in trade or commerce in the course of a process of production or manufacture or in the course of repairing or treating other goods or fixtures on land.
Artinya, konsumen sebagaimana disebutkan bahwa (1) seseorang diambil
untuk memperoleh barang-barang tertentu sebagai konsumen jika, dan hanya jika
jumlah yang dibayarkan atau terutang untuk barang, seperti bekerja di bawah
subbagian (4) ke (9), tidak melebihi $40.000 atau jika jumlah yang lebih besar
diresepkan untuk tujuan ayat bahwa jumlah yang lebih besar atau barang yang
dari jenis yang biasanya diperoleh untuk pribadi, domestik atau rumah tangga
penggunaan atau konsumsi atau barang terdiri dari kendaraan atau trailer yang
diperoleh untuk digunakan terutama dalam angkutan barang di jalan umum. (2)
Namun, “ayat (1) tidak berlaku jika orang tersebut memperoleh barang, atau
dipegang dirinya sendiri sebagai memperoleh barang untuk tujuan pasokan
kembali atau untuk tujuan menggunakan mereka atau mengubah mereka, dalam
perdagangan atau komersial” dalam jalannya proses produksi atau pembuatan atau
dalam proses perbaikan atau mengobati barang atau perlengkapan lain di darat.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Negara Pakistan 1995
(Islamabad Consumer’s Protection Act 1995): 32
Consumer means any person who buy goods for a consideration which has been paid or partly paid and partly promised to be paid or under any
32
system of deferred payment or hire purchase and includes any user of such goods but does not include a person who obtains such goods for re-sale or for any commercial purpose or hires any goods or services for a consideration which has been paid or promised or partly paid and partly promised or under any system of deferred payment and includes any beneficiary of such services.
Artinya konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Negara Pakistan
merupakan setiap orang yang membeli barang-barang untuk pertimbangan yang
telah dibayar atau dibayar sebagian dan sebagian dijanjikan akan dibayar atau di
bawah sistem pembayaran ditangguhkan atau menyewa pembelian dan mencakup
setiap pengguna barang tersebut tetapi “tidak termasuk orang yang memperoleh
barang-barang tersebut untuk dijual kembali atau untuk tujuan komersial atau
menyewa barang atau jasa” untuk pertimbangan yang telah dibayar atau
dijanjikan atau sebagian dibayar dan sebagian dijanjikan atau di bawah setiap
sistem pembayaran ditangguhkan dan mencakup setiap penerima layanan tersebut.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Malaysia 599 Tahun
1999 (Laws of Malaysia Act 599 Consumer Protection Act 1999): 33
Artinya, konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Malaysia
merupakan seseorang yang memperoleh atau menggunakan barang atau jasa dari
jenis yang biasanya diperoleh untuk pribadi, domestik atau rumah tangga tujuan,
Consumer means a person who acquires or uses goods or services of a kind ordinarily acquired for personal, domestic or household purpose, use or consumption and does not acquire or use the goods or services, or hold himself out as acquiring or using the goods or services, primarily for the purpose of resupplying them in trade, consuming them in the course of a manufacturing process or in the case of goods, repairing or treating, in trade, other goods or fixtures on land.
33
penggunaan atau konsumsi dan “tidak memperoleh atau menggunakan barang
atau jasa, atau menahan dirinya keluar sebagai memperoleh atau menggunakan
barang atau jasa, terutama untuk tujuan menyediakannya kembali dalam
perdagangan”, mengkonsumsinya dalam perjalanan proses manufaktur atau dalam
kasus barang, memperbaiki atau merawat, dalam perdagangan, barang-barang lain
atau perlengkapan di darat.
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Inggris (Consumer
Protection Act 1987 in Part III about Misleading Price Indications in Pasal 20
about Offence of giving misleading indication):
Consumer is in relation to any goods, means any person who might wish to be supplied with the goods for his own private use or consumption, in relation to any services or facilities, means any person who might wish to be provided with the services or facilities otherwise than for the purposes of any business of his; and in relation to any accommodation, means any person who might wish to occupy the accommodation otherwise than for the purposes of any business of his.
Artinya, konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen Inggris erat
kaitannya dengan barang-barang, yang berarti setiap orang yang mungkin ingin
diberikan bersama barang untuk penggunaan pribadi sendiri atau konsumsi, dalam
kaitannya dengan layanan atau fasilitas, berarti setiap orang yang mungkin ingin
diberikan dengan layanan atau fasilitas “selain untuk tujuan bisnis apapun
darinya”, dan dalam kaitannya dengan akomodasi apapun, berarti setiap orang
yang mungkin ingin menempati akomodasi selain untuk keperluan bisnisnya.
Konsumen yang dimaksud dalam empat undang-undang ini yaitu sebagai
orang yang mengkomersialkan barang dan/atau jasa yang diperolehnya atau
diperolehnya. Berarti batasan konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir.
Ini dibuktikan dengan adanya redaksi kata “tidak berlaku dalam perdagangan atau
komersial” pada UU Australia, “tidak untuk dijual kembali atau untuk tujuan
komersial” pada UU Pakistan, “tidak dalam perdagangan” pada UU Malaysia, dan
“selain untuk tujuan bisnis” pada UU Inggris. Artinya secara keseluruhan
menghendaki konsumen bukanlah orang yang mengkomersialkan barang dan/atau
jasa yang diperolehnya.
3. Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen yaitu setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.34
a. Setiap orang
Unsur-unsur konsumen dalam undang-undang ini, yaitu:
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti orang individual yang
lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum
(rechtpersoon).
b. Pemakai
Kata pemakai dalam Penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU Perlindungan
Konsumen menekankan pada konsumen adalah konsumen akhir.
Pemakai yang dimaksud tidak selalu harus memberikan prestasinya
34
dengan cara membayar uang untuk memperolah barang dan/atau jasa
itu. Jadi yang paling penting terjadinya transaksi konsumen berupa
peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam
menggunakannya.35
c. Barang dan/atau jasa
Pengertian barang menurut Pasal 1 Angka 4 UU Perlindungan
Konsumen:36
Pengertian jasa dalam UU Perlindungan Konsumen adalah
“setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat
dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen”.
37
d. Yang tersedia dalam masyarakat
“setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasar. Hal ini juga sebagaimana yang ditegaskan dalam
Pasal 9 Ayat 1 Huruf e UU Perlindungan Konsumen. Namun dalam
perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak
mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan
35
Shidarta, Op.Cit., hlm. 7. 36
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Pasal 1 Angka 4.
37
pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan
transaksi terlebih dulu sebelum bangunannya jadi.38
e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup
lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan
dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian
kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri
sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan
bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya).
f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Barang dan/atau jasa yang tidak untuk diperdagangkan berarti
menunjukkan konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa akhir
bukan pemakai antara.
Unsur-unsur konsumen tersebut menunjukkan bahwa tidak selalu memberikan
prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa
itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku
usaha tidak harus kontraktual (the privity of contract).39
38
Shidarta, Op.Cit., hlm. 8. 39
Ibid., hlm. 6.
Hubungan konsumen
dengan pelaku usaha tidak terbatas hanya berdasarkan hubungan transaksi jual
beli saja, melainkan lebih dari pada hal tersebut dapat disebut sebagai konsumen.
sebagai pembeli atau tidak ada hubungan kontraktual dengan pelaku usaha dari
kontrak tersebut, seseorang tersebut sebagai konsumen dapat melakukan klaim
atas kerugian yang diderita dari pemakaian produk tersebut, maka jelaslah bahwa
konsumen tidak sebatas pada transaksi jual beli saja, akan tetapi setiap orang yang
mengkonsumsi atau memakai suatu produk.
Senada dengan batasan konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen,
pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius dan para ahli hukum juga
menjelaskan bahwa konsumen sebagai pemakai produk terakhir dari benda dan
jasa.40 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan
pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen
dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti
sempit hanya mengacu pada konsumen pada pemakai terakhir.41
4. Menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
Menurutnya,
konsumen lebih tepatnya dikatakan konsumen akhir.
Pasal 1 Angka 15 UU OJK menjelaskan bahwa konsumen adalah
pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang
tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal
40
E.H. Hondius, “Konsumentenrecht”, dalam Shidarta, Ibid., hlm. 2. 41
UUPK menggunakan tiga istilah, yaitu pemakai,, pengguna dan pemanfaat barang dan/atau jasa, namun tidak memberikan penjelasan siapa yang pemakai, pengguna dan pemanfaat, sehingga membingungkan pemakaiannya. Pada waktu undang-undang ini diproses, tim ahli dari DPR mengusulkan kata “pemakai” digunakan untuk pemakaian barang-barang seperti sandang, pangan dan papan yang tidak mengandung listrik atau elektronik. Kata “pengguna” untuk yang pemakai barang-barang listrik dan elektronik, seperti computer, televise, radio, sedangkan “pemanfaat” diartikan sebagai mereka yang memanfaatkan jasa, seperti jasa angkutan, jasa
kedokteran, advokat dan lainnya, dalam
di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana
Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.42
a. Pihak-pihak
Unsur-unsur konsumen dalam undang-undang ini, yaitu:
Pihak-pihak tersebut, diantaranya nasabah pada Perbankan, pemodal
di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian dan peserta pada
Dana Pensiun.
b. Yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang
tersedia
Konsumen yang menempatkan dananya sering disebut sebagai
kreditur, tetapi tidak jarang juga disebut sebagai investor atau
pemodal. Memanfaatkan biasanya ditujukan untuk pemanfaatan
produk konsumen berbentuk jasa (misalnya pemanfaatan jasa
asuransi, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa advokat, jasa
kesehatan, dan lain-lain).43
42
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 Angka 15.
43
Adrian Sutedi, Op.Cit., hlm. 14.
Memanfaatkan dalam ketentuan
undang-undang ini bersesuaian dengan apa yang berlaku dalam doktrin.
Dengan melihat kata penghubung “dan/atau”, menunjukkan adanya
pihak-pihak yang dapat menduduki posisi bukan hanya sebagai pihak
yang menempatkan dananya tetapi juga pihak yang memanfaatkan
pelayanan yang tersedia, misalnya nasabah pada Perbankan dan
c. Lembaga Jasa Keuangan
Pengertian Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 1 Angka 4 UU OJK adalah lembaga yang melaksanakan
kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya. Lembaga Jasa Keuangan Lainnya sebagaimana yang tertulis
dalam Pasal 1 Angka 10 UU OJK adalah pergadaian, lembaga
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan
pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan
kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan
ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan
pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa
keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan
peraturan perundang-undangan.44
Pihak-pihak atau orang-orang yang memperoleh barang dan/atau jasa dalam
ketentuan undang-undang ini akan menjual kembali barang dan/atau jasa yang
telah diperolehnya. Dengan demikian, batasan konsumen dalam undang-undang
ini bukan hanya sebagai konsumen akhir, tetapi juga sebagai konsumen antara,
44
karena konsumen dapat diartikan sebagai pihak yang memperjualbelikan atau
mengkomersialkan barang dan/atau jasa.
C. Konsumen pada Sektor Jasa Keuangan
Konsumen pada sektor jasa keuangan sebagaimana yang telah disebutkan
dalam UU OJK meliputi nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal,
pemegang polis pada perasuransian dan peserta pada dana pensiun serta
pihak-pihak lain dalam sektor jasa keuangan. Jika merujuk pada UU OJK yang ikut
dalam kegiatan sektor jasa keuangan seperti “menempatkan dananya dan/atau
memanfaatkan pelayanan”, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 15 UU
OJK. Namun jika dikaitkan dengan definisi konsumen sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen, maka aktivitas di sektor jasa
keuangan identik dengan “memakai jasa”. Berikut batasan konsumen pada sektor
jasa keuangan, diantaranya nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal,
pemegang polis pada perasuransian dan peserta pada dana pensiun.
Nasabah pada perbankan jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka
aktivitas nasabah dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan UU
Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau memanfaatkan
pelayanan” (sesuai dengan UU OJK) atau “pihak yang menggunakan jasa” (sesuai
dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Dari ketiga undang-undang
ini, nasabah sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai atau
memanfaatkan jasa dan/atau pelayanan”.
Ketentuan dalam UU Perbankan membedakan dua tipe nasabah, yaitu
yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan
perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.45 Bentuk-bentuk simpanan
biasanya berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan.
Sedangkan nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah bank yang bersangkutan.46
45 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Bab I, Pasal 1 Angka 17
46
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Bab I, Pasal 1 Angka 18.
Nasabah penyimpan dan nasabah debitur termasuk “para pihak yang
menggunakan, memakai atau memanfaatkan jasa atau pelayanan”, meskipun
nasabah penyimpan juga termasuk “pihak yang menempatkan dananya”.
Misalnya, nasabah penyimpan “menempatkan dananya” pada bank tertentu
sejumlah uang dalam bentuk tabungan. Dalam hal ini, nasabah penyimpan juga
termasuk orang yang menggunakan jasa atau pelayanan bank, yaitu jasa
penyimpanan uang.
Pemodal di pasar modal jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka
aktivitas pasar modal dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan
Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau
memanfaatkan pelayanan” (sesuai dengan Pasal 1 Angka 15 UU OJK) atau pihak
yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa investasi” (sesuai dengan Pasal
3 huruf (a) UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal). Dari ketiga
undang-undang ini, pemodal sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai
Ketentuan dalam UU Pasar Modal menempatkan pemodal sebagai pihak
yang terlibat dalam jual beli efek karena merupakan pihak yang menempatkan
dananya pada suatu emiten (pihak yang menjual efek kepada masyarakat) dengan
memanfaatkan jasa investasi.
Pemegang polis pada perasuransian jika merujuk tiga undang-undang
terkait, maka aktivitas pemegang polis dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa”
(sesuai dengan Pasal 1 Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau
“menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan” (sesuai dengan Pasal 1
Angka 15 UU OJK) atau pihak yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa
penanggulangan resiko” (sesuai dengan Pasal 3 huruf (a) UU No. 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian). Dari ketiga undang-undang ini pemegang polis
sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai atau memanfaatkan
jasa dan menempatkan dana”.
Ketentuan dalam UU Usaha Perasuransian mengartikan pemegang polis
sebagai pihak yang memiliki alat bukti yang kuat yang menunjukkan telah terjadi
asuransi melalui persetujuan atau kesepakatan bebas dalam bentuk tertulis berupa
akta yang disebut polis. Pemegang polis merupakan pihak yang menempatkan
dananya pada suatu perusahaan asuransi (disebut premi) dan akan mendapatkan
jasa penanggulangan risiko sesuai dengan premi yang dibayar.
Peserta pada dana pensiun jika merujuk tiga undang-undang terkait, maka
aktivitas peserta dapat dikatakan sebagai “pemakai jasa” (sesuai dengan Pasal 1
Angka 2 UU Perlindungan Konsumen) atau “menempatkan dana dan/atau
yang “menempatkan dana dan menggunakan jasa penanggulangan resiko” (sesuai
dengan UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun). Dari ketiga
undang-undang ini peserta sangat identik dengan “pihak yang menggunakan, memakai
atau memanfaatkan jasa dan menempatkan dana”. Peserta sesuai dengan UU Dana
Pensiun merupakan pihak yang menempatkan dananya (disebut iuran) dengan
memanfaatkan jasa investasi atau pengelolaan dana pensiun.
D. Pemodal di Pasar Modal
Pemodal di pasar modal sangat erat kaitannya dengan jual beli surat
berharga atau yang sering disebut efek dalam istilah pasar modal.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UU Pasar Modal)
memberikan pengertian pasar modal, yaitu merupakan kegiatan yang
bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik
yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang
berkaitan dengan efek.
Pasar modal pada dasarnya menyediakan sumber pembiayaan dengan
jangka waktu yang lebih panjang, yang diinvestasikan sebagai modal untuk
menciptakan dan memperluas lapangan kerja yang akan meningkatkan volume
aktivitas perekonomian yang profitable dan sehat. Modal yang bisa berupa dana
produksi atau dana untuk pengadaan barang modal seperti barang atau benda,
dan jasa.47
“penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu investasi keuangan (dimana investor menempatkan uang ke dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya”.
Maka dapat disimpulkan bahwa pasar modal merupakan kegiatan yang
terkait dengan investasi, dimana terjadinya transaksi jual beli surat-surat berharga.
Investasi dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi menggunakan istilah
investment (investasi) yang mempunyai arti:
48
Efek sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UU Pasar Modal)
adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, Investasi di Pasar Modal, investornya tidak perlu hadir secara fisik, sebab
pada umumnya (mungkin untuk kasus-kasus tertentu investor mau memiliki
perusahaan secara permanen dengan perhitungan bisnis tentunya tidak cukup
menjanjikan pendapatan) tujuan utama dari investor bukanlah mendirikan
perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali.
Tujuan investor di sini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal
dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan.
Dengan kata lain, jenis investasi seperti, yang diharapkan oleh investor adalah
capital again, artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di
bursa efek.
47 M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 15.
48