SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
Oleh
NANDA HADITTAMA F24050806
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NANDA HADITTAMA F24050806
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NANDA HADITTAMA F24050806
Dilahirkan pada tanggal 27 November 1986
di Bukittinggi
Tanggal Lulus : 1 September 2009
Menyetujui,
Bogor, Oktober 2009
Dr. Ir. Joko Hermanianto Tjahja Muhandri, STP, MT Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
Nanda Hadittama. F24050806. Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat. Di bawah bimbingan : Joko Hermanianto dan Tjahja Muhandri. 2009
RINGKASAN
Pengawet merupakan salah satu kategori bahan tambahan pangan. Salah satu pengawet yang sering digunakan adalah asam organik, contohnya asam asetat. Asam asetat memiliki kelemahan saat digunakan ke bahan pangan yaitu aroma dan rasa asam yang tidak disukai. Penambahan bahan lain dibutuhkan sebagai penutup aroma dan rasa asam, salah satunya dengan penggunaan rempah. Bawang putih memiliki komponen citarasa yang khas dan kuat. Pencampuran asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat menjadi pengawet yang efektif dan diterima secara sensori.
Penelitian bertujuan untuk menemukan pengawet yang aman bagi kesehatan, diterima secara sensori, dan relatif murah untuk diaplikasikan pada bakso. Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat mengawetkan bakso selama minimal 4 hari pada suhu ruang tanpa terjadinya perubahan mutu bakso.
Penelitian dibagi atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemilihan metode ekstraksi yang sesuai untuk bawang putih, formulasi asam asetat dan ekstrak bawang putih sebagai larutan biang pengawet, dan melihat pengaruh pengawetan terhadap umur simpan bakso. Pada penelitian utama dilakukan penentuan konsentrasi pengenceran terbaik untuk mengawetkan bakso minimal 4 hari pada suhu ruang. Metode pengawetan yang digunakan adalah perendaman dan perebusan. Lama perlakuan perendaman dan perebusan selama 10 menit. Bakso yang telah direbus atau direndam dengan larutan pengawet dikemas dengan plastik HDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan selama 4 hari atau lebih singkat karena terdeteksinya kerusakan pada bakso seperti terbentuknya lendir atau tumbuhnya miselium kapang. Pengamatan meliputi total mikroba, pengukuran pH, total asam tertitrasi, tekstur, warna, uji organoleptik, dan analisis biaya sederhana.
penyimpanan 4 hari. Pengawetan dengan perebusan menunjukkan keefektifan yang lebih besar dibandingkan pengawetan dengan perendaman. Perebusan dengan konsentrasi larutan 10% larutan biang mampu mengawetkan bakso selama 6 hari. Bakso kontrol telah mengalami kerusakan pada hari ke-1 pengamatan.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 November 1986 di Bukittinggi. Penulis adalah putra pertama dari
pasangan Bapak Yoer Sofyan dan Ibu Elisri Nelhuda. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 30 ATTS, Bukittinggi pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan studi di SLTP Negeri 4 Bukittinggi pada tahun 1999-2002 dan di SMA Negeri 5 Bukittinggi pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif dibidang akademik dan non akademik. Dibidang non akademik, penulis aktif dalam berbagai keorganisasian dan kepanitiaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti penulis adalah IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang) sebagai BPA (Badan Perwakilan Anggota) periode 2006-2007 dan sebagai Ketua pada periode 2008-2009, HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai Staff Departemen Hubungan Luar periode 2007-2008, dan Food Processing Club pada divisi Ice Cream. Beberapa kepanitiaan kegiatan yang pernah diikuti adalah sebagai Ketua Pelaksana ”Baur” (Masa Perkenalan Departemen dan Himpunan Mahasiswa ITP) pada tahun 2007 dan sebagai staff Public Relation HACCP pada tahun 2007.
Penulis juga pernah menjadi trainer pembuatan produk sari buah dan mi jagung tahun 2008, menjadi penyuluh keamanan pangan pada tahun yang sama. Menjuarai cabang basket pada Olimpiade Fateta dari tahun 2006-2009.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Studi
Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat”, Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah
dilakukan penulis di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor dan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian.
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang
telah banyak memberikan bantuan, baik moril, materi dan waktu kepada :
1. Mama dan Ayah tercinta yang telah memberikan dukungan penuh
terhadap pendidikan kami baik moril dan materil selama ini, Rifqi, Arif
yang memberi semangat dan Nenek untuk kasih sayangnya.
2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing akademik
pertama, yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan, terutama
selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Tjahja Muhandri STP, MT, yang telah bersedia menjadi dosen
pembimbing akademik kedua dan memberikan arahan serta bimbingan
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum M. Sc. yang telah bersedia menjadi
dosen penguji dan memberi masukan untuk penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang
telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan
menjadi ilmu yang bermanfaat hingga akhir hayat kelak.
6. Sari Sulistyawati dan Try Aprianti Utami, yang telah memberikan
perhatian, dukungan, dan semangat selama ini.
7. Teman-teman terbaik selama di ITP 42 yaitu Aji, Ardi, Wiwi, Hesti, Haris,
Venty, Muji, Tyu, Adi Leo, Santi, Galih, Arya, Suhe, Olo dan
teman-teman ITP 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
8. Muji, Nina, Tyu, Kak Cici, Dody dan Indi, teman-teman sebimbingan
yang senasib dan sepenanggungan di ITP, dan telah banyak membantu dari
awal penelitian sampai skripsi ini selesai.
9. Teman-teman Sarang Rayap, Aji, Haris, Juju, Fuad dan Mas Bowo.
10.Para Laboran yang sangat membantu selama penelitian, Pak Sobirin, Pak
Sidik, Pak Rojak, Mas Edi, Pak Wahid, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Bu Antin,
Mba Ida dan Mba Ari.
11.Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 42, 43, 44 atas kebersamaannya
selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.
Bogor, Oktober 2009
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL... v
DAFTAR GAMBAR... vi
DAFTAR LAMPIRAN... viii
I. PENDAHULUAN…... 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. TUJUAN... 3
C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN... 3
D. MANFAAT PENELITIAN... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. ASAM ORGANIK ... 4
B. REMPAH... 8
C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.)... 9
D. EKSTRAKSI ... 12
E. BAKSO... 15
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 19
A. BAHAN DAN ALAT ... 19
B. METODE PENELITIAN ... 19
1. Penelitian Pendahuluan ... 20
2. Penelitian Utama ... 21
C. PERLAKUAN... 24
1. Metode Pengawetan... 24
2. Konsentrasi Larutan Pengawet... 24
3. Kondisi Pengemasan... 25
D. PENGAMATAN... 25
1. Pengukuran Kadar Air Metode Oven Vakum (AOAC 925.45,1999)………...……. 25
3. Pengukuran pH (Apriyantono et al., 1989)... 26
4. Warna (Pomeranz et. al., 1978)... 26
5. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)... 27
6. Tekstur (Penetrometer)... 28
7. Total Mikroba (Fardiaz, 1992)... 29
8. Pendugaan Umur Simpan Secara Visual... 29
9. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)... 29
10. Analisis Biaya... 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31
A. PENELITIAN PENDAHULUAN... 32
1. Ektraksi Bawang Putih... 32
2. Formulasi Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih sebagai Larutan Biang... 35
3. Pengaruh Pegawetan terhadap Umur Simpan Bakso…... 36
B. PENELITIAN UTAMA ... 39
1. Mikrobiologi... 39
2. Derajat Keasaman (pH)... 42
3. Total Asam Tertitrasi... 48
4. Tekstur... 52
5. Warna... 57
6. Uji Organoleptik... 64
7. Analisis Biaya... 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 75
A. KESIMPULAN... 75
B. SARAN... 76
DAFTAR PUSTAKA... 77
SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
Oleh
NANDA HADITTAMA F24050806
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NANDA HADITTAMA F24050806
2009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
NANDA HADITTAMA F24050806
Dilahirkan pada tanggal 27 November 1986
di Bukittinggi
Tanggal Lulus : 1 September 2009
Menyetujui,
Bogor, Oktober 2009
Dr. Ir. Joko Hermanianto Tjahja Muhandri, STP, MT Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.
Nanda Hadittama. F24050806. Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat. Di bawah bimbingan : Joko Hermanianto dan Tjahja Muhandri. 2009
RINGKASAN
Pengawet merupakan salah satu kategori bahan tambahan pangan. Salah satu pengawet yang sering digunakan adalah asam organik, contohnya asam asetat. Asam asetat memiliki kelemahan saat digunakan ke bahan pangan yaitu aroma dan rasa asam yang tidak disukai. Penambahan bahan lain dibutuhkan sebagai penutup aroma dan rasa asam, salah satunya dengan penggunaan rempah. Bawang putih memiliki komponen citarasa yang khas dan kuat. Pencampuran asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat menjadi pengawet yang efektif dan diterima secara sensori.
Penelitian bertujuan untuk menemukan pengawet yang aman bagi kesehatan, diterima secara sensori, dan relatif murah untuk diaplikasikan pada bakso. Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat mengawetkan bakso selama minimal 4 hari pada suhu ruang tanpa terjadinya perubahan mutu bakso.
Penelitian dibagi atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemilihan metode ekstraksi yang sesuai untuk bawang putih, formulasi asam asetat dan ekstrak bawang putih sebagai larutan biang pengawet, dan melihat pengaruh pengawetan terhadap umur simpan bakso. Pada penelitian utama dilakukan penentuan konsentrasi pengenceran terbaik untuk mengawetkan bakso minimal 4 hari pada suhu ruang. Metode pengawetan yang digunakan adalah perendaman dan perebusan. Lama perlakuan perendaman dan perebusan selama 10 menit. Bakso yang telah direbus atau direndam dengan larutan pengawet dikemas dengan plastik HDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan selama 4 hari atau lebih singkat karena terdeteksinya kerusakan pada bakso seperti terbentuknya lendir atau tumbuhnya miselium kapang. Pengamatan meliputi total mikroba, pengukuran pH, total asam tertitrasi, tekstur, warna, uji organoleptik, dan analisis biaya sederhana.
penyimpanan 4 hari. Pengawetan dengan perebusan menunjukkan keefektifan yang lebih besar dibandingkan pengawetan dengan perendaman. Perebusan dengan konsentrasi larutan 10% larutan biang mampu mengawetkan bakso selama 6 hari. Bakso kontrol telah mengalami kerusakan pada hari ke-1 pengamatan.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 November 1986 di Bukittinggi. Penulis adalah putra pertama dari
pasangan Bapak Yoer Sofyan dan Ibu Elisri Nelhuda. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 30 ATTS, Bukittinggi pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan studi di SLTP Negeri 4 Bukittinggi pada tahun 1999-2002 dan di SMA Negeri 5 Bukittinggi pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif dibidang akademik dan non akademik. Dibidang non akademik, penulis aktif dalam berbagai keorganisasian dan kepanitiaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti penulis adalah IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang) sebagai BPA (Badan Perwakilan Anggota) periode 2006-2007 dan sebagai Ketua pada periode 2008-2009, HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai Staff Departemen Hubungan Luar periode 2007-2008, dan Food Processing Club pada divisi Ice Cream. Beberapa kepanitiaan kegiatan yang pernah diikuti adalah sebagai Ketua Pelaksana ”Baur” (Masa Perkenalan Departemen dan Himpunan Mahasiswa ITP) pada tahun 2007 dan sebagai staff Public Relation HACCP pada tahun 2007.
Penulis juga pernah menjadi trainer pembuatan produk sari buah dan mi jagung tahun 2008, menjadi penyuluh keamanan pangan pada tahun yang sama. Menjuarai cabang basket pada Olimpiade Fateta dari tahun 2006-2009.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Studi
Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat”, Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah
dilakukan penulis di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Institut Pertanian Bogor dan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Teknologi Pertanian.
Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang
telah banyak memberikan bantuan, baik moril, materi dan waktu kepada :
1. Mama dan Ayah tercinta yang telah memberikan dukungan penuh
terhadap pendidikan kami baik moril dan materil selama ini, Rifqi, Arif
yang memberi semangat dan Nenek untuk kasih sayangnya.
2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing akademik
pertama, yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan, terutama
selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak Tjahja Muhandri STP, MT, yang telah bersedia menjadi dosen
pembimbing akademik kedua dan memberikan arahan serta bimbingan
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum M. Sc. yang telah bersedia menjadi
dosen penguji dan memberi masukan untuk penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang
telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan
menjadi ilmu yang bermanfaat hingga akhir hayat kelak.
6. Sari Sulistyawati dan Try Aprianti Utami, yang telah memberikan
perhatian, dukungan, dan semangat selama ini.
7. Teman-teman terbaik selama di ITP 42 yaitu Aji, Ardi, Wiwi, Hesti, Haris,
Venty, Muji, Tyu, Adi Leo, Santi, Galih, Arya, Suhe, Olo dan
teman-teman ITP 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
8. Muji, Nina, Tyu, Kak Cici, Dody dan Indi, teman-teman sebimbingan
yang senasib dan sepenanggungan di ITP, dan telah banyak membantu dari
awal penelitian sampai skripsi ini selesai.
9. Teman-teman Sarang Rayap, Aji, Haris, Juju, Fuad dan Mas Bowo.
10.Para Laboran yang sangat membantu selama penelitian, Pak Sobirin, Pak
Sidik, Pak Rojak, Mas Edi, Pak Wahid, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Bu Antin,
Mba Ida dan Mba Ari.
11.Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 42, 43, 44 atas kebersamaannya
selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.
Bogor, Oktober 2009
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL... v
DAFTAR GAMBAR... vi
DAFTAR LAMPIRAN... viii
I. PENDAHULUAN…... 1
A. LATAR BELAKANG... 1
B. TUJUAN... 3
C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN... 3
D. MANFAAT PENELITIAN... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
A. ASAM ORGANIK ... 4
B. REMPAH... 8
C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.)... 9
D. EKSTRAKSI ... 12
E. BAKSO... 15
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 19
A. BAHAN DAN ALAT ... 19
B. METODE PENELITIAN ... 19
1. Penelitian Pendahuluan ... 20
2. Penelitian Utama ... 21
C. PERLAKUAN... 24
1. Metode Pengawetan... 24
2. Konsentrasi Larutan Pengawet... 24
3. Kondisi Pengemasan... 25
D. PENGAMATAN... 25
1. Pengukuran Kadar Air Metode Oven Vakum (AOAC 925.45,1999)………...……. 25
3. Pengukuran pH (Apriyantono et al., 1989)... 26
4. Warna (Pomeranz et. al., 1978)... 26
5. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)... 27
6. Tekstur (Penetrometer)... 28
7. Total Mikroba (Fardiaz, 1992)... 29
8. Pendugaan Umur Simpan Secara Visual... 29
9. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)... 29
10. Analisis Biaya... 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31
A. PENELITIAN PENDAHULUAN... 32
1. Ektraksi Bawang Putih... 32
2. Formulasi Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih sebagai Larutan Biang... 35
3. Pengaruh Pegawetan terhadap Umur Simpan Bakso…... 36
B. PENELITIAN UTAMA ... 39
1. Mikrobiologi... 39
2. Derajat Keasaman (pH)... 42
3. Total Asam Tertitrasi... 48
4. Tekstur... 52
5. Warna... 57
6. Uji Organoleptik... 64
7. Analisis Biaya... 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN... 75
A. KESIMPULAN... 75
B. SARAN... 76
DAFTAR PUSTAKA... 77
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan
(ICSMF, 1982)... 5
Tabel 2. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dikonsumsi per hari oleh manusia………... 6
Tabel 3. Konsentrasi asam organik untuk menghambat mikroorganisme…... 7
Tabel 4. Sifat fisik Asam Asetat…... 8
Tabel 5. Komposisi bawang putih per 100g umbi... 11
Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi... 13
Tabel 7. Syarat mutu objektif bakso daging sapimenurut SNI... 18
Tabel 8. Kriteria Mutu Sensori Bakso... 18
Tabel 9. Intrepretasi nilai oHue... 27
Tabel 10. Kadar air bawang putih... 34
Tabel 11. Rendemen ekstraksi komponen polar dan larut air Bawang putih... 34
Tabel 12. Nilai pH dan intensitas asam dari asam asetat dan kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih... 36
Tabel 13. Pengaruh metode pengawetan dan konsentrasi larutan pengawet terhadap TPC... 39
Tabel 14. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi terhadap nilai pH selama penyimpanan... 44
Tabel 15. Pengaruh perebusan baksodengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan………... 46
Tabel 18. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan
pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan... 61
Tabel 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan
pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan... 63
Tabel 20. Nama dan harga bahan-bahan yang digunakan... 72
Tabel 21. Penghitungan biaya untuk mendapatkan ekstrak bawang putih 72
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bawang Putih... 10 Gambar 2. Struktur kimia Allisin... 11 Gambar 3. Diagram alir ekstraksi bawang putih... 22 Gambar 4. Diagram alir penentuan kombinasi konsentrasi asam asetat
dan ekstrak bawang putih... 23 Gambar 5. Diagram alir penelitian utama ………... 24 Gambar 6. Hasil ekstraksi dengan pelarut etanol, etil asetat, dan heksana 33 Gambar 7. Umur simpan bakso berdasarkan pengamatan visual... 37 Gambar 8. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi
terhadap nilai pH selama penyimpanan... 43 Gambar 9. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai pH selama
penyimpanan... 45 Gambar 10. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan 48 Gambar 11. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan.... 50 Gambar12. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan 53 Gambar 13. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan.... 55 Gambar 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan 58 Gambar 15. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan... 60 Gambar 16. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan... 62 Gambar 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan... 63 Gambar 18. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap penerimaan panelis... 65 Gambar 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Form Uji Organoleptik..………...…. 82 Lampiran 2. Derajat keasaman (pH) bakso kontrol dan perlakuan... 83 Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan
perendaman pada hari ke-0... 84 Lampiran 4. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso kontrol H0-H1.... 84 Lampiran 5. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 10%
H0-H4... 85 Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 15%
H0-H4... 86 Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 20%
H0-H4... 87 Lampiran 8. Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan
perebusan pada H-0... 88 Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 10%
H0-H4... 89 Lampiran 10. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 15%
H0-H4... 90 Lampiran 11. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 20%
H0-H4... 91 Lampiran 12. Nilai TAT bakso kontrol dan perlakuan perebusan dan
perendaman... 92 Lampiran 13. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan
perendaman H-0... 93 Lampiran 14. Hasil uji ANOVA TAT bakso kontrol H0-H1... 94 Lampiran 15. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 10%
H0-H4... 95 Lampiran 16. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 15%
H0-H4... 96 Lampiran 17. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 20%
H0-H4... 97 Lampiran 18. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan
perebusan H-0... 98 Lampiran 19. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 10%
H0-H4... 99 Lampiran 20. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 15%
H0-H4... 100 Lampiran 21. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 20%
Lampiran 22. Hasil pengukuran penetrometer untuk kontrol dan perlakuan (celup dan rebus)... 102 Lampiran 23. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer untuk kontrol
dan perendaman H0... 102 Lampiran 24. Hasil uji ANOVA pengukuran penetrometer bakso kontrol
H0-H1... 103 Lampiran 25. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perendaman 10% H0-H4... 104 Lampiran 26. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perendaman 15% H0-H4... 105 Lampiran 27. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perendaman 20% H0-H4... 106 Lampiran 28. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer untuk kontrol
dan perebusan H0... 107 Lampiran 29. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perebusan 10% H0-H4... 108 Lampiran 30. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perebusan 15% H0-H4... 109 Lampiran 31. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso
perebusan 20% H0-H4... 110 Lampiran 32. Data warna kontrol dan perlakuan (perendaman dan
perebusan)... 112 Lampiran 33. Nilai 0hue kontrol dan perlakuan (perendaman dan
perebusan)... 112 Lampiran 34. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan
perendaman H0... 113 Lampiran 35. Hasil uji ANOVA lightness bakso kontrol H0-H1... 113 Lampiran 36. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perendaman 10% H0-H4... 114 Lampiran 37. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perendaman 15% H0-H4... 115 Lampiran 38. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perendaman 20% H0-H4... 116 Lampiran 39. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan
perebusan H0... 117 Lampiran 40. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perebusan 10% H0-H4... 118 Lampiran 41. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
perebusan 15% H0-H4... 119 Lampiran 42. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso
Lampiran 43. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso
perendaman... 121 Lampiran 44. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso
perendaman... 122 Lampiran 45. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso
perendaman... 123 Lampiran 46. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso
perebusan... 124 Lampiran 47. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso
perebusan... 125 Lampiran 48. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso
perebusan... 126 Lampiran 49. Hasil uji ANOVA dan Duncan aroma bakso kontrol dan
perendaman... 127 Lampiran 50. Hasil uji ANOVA dan Duncan rasa bakso kontrol dan
perendaman... 127 Lampiran 51. Hasil uji ANOVA dan Duncan keseluruhan bakso kontrol
dan perebusan... 128 Lampiran 52. Hasil uji ANOVA dan Duncan aroma bakso kontrol dan
perebusan... 129 Lampiran 53. Hasil uji ANOVA dan Duncan rasa bakso kontrol dan
perebusan... 129 Lampiran 54. Hasil uji ANOVA dan Duncan keseluruhan bakso kontrol
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengawet termasuk ke dalam salah satu kategori bahan tambahan
pangan, namun dalam penggunaannya sering terjadi pelanggaran seperti
penggunaan dosis pengawet yang tidak tepat atau penggunaan bahan lain yang
bukan bahan tambahan pangan. Hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang
RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kurangnya pengetahuan, efektifitas,
dan harga dari pengawet, mempengaruhi pemilihan bahan pengawet untuk
digunakan.
Keberadaan mikroorganisme di alam tersebar luas sehingga produk
pangan jarang sekali yang steril dan umumnya tercemar oleh berbagai jenis
mikroba (Rahmawati, 2004). Mikroba pada bahan pangan dapat menyebabkan
kebusukan dan keracunan. Kebusukan disebabkan oleh aktivitas mikroba
pembusuk, sedangkan keracunan disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen
atau akibat toksin yang dihasilkan sebagai produk sekunder metabolismenya,
sehingga keberadaan mikroba sangat berpengaruh terhadap umur simpan dan
tingkat keamanan produk pangan saat dikonsumsi. Pengawet berfungsi untuk
mengendalikan pertumbuhan mikroba produk berada dalam batas aman,
seperti angka lempeng total bakso menurut SNI yaitu maksimal 1x105
koloni/gram.
Bakso merupakan produk yang rentan terhadap penggunaan pengawet
karena sifatnya yang cepat rusak (perishable). Pemasaran bakso di masyarakat pada umumnya berlangsung dengan kondisi penyimpanan kurang saniter pada
suhu kamar. Menurut survei yang dilakukan Andayani (1999), sebagian besar
konsumen bakso adalah pelajar dan mahasiswa yang merupakan usia
produktif (usia di bawah 21 tahun), sehingga keamanan bakso sebagai bahan
pangan yang sering dikonsumsi oleh konsumen usia produktif ini perlu
diperhatikan. Bakso memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, pH mendekati
netral, kadar air dan Aw yang juga tinggi menyebabkan umur simpannya
relatif singkat yaitu sekitar 12 jam sampai 1 hari, sehingga banyak produsen
atau pedagang bakso menggunakan bahan pengawet untuk memperpanjang
boraks dan formalin. Boraks dan formalin diketahui dapat menyebabkan
penyakit degeneratif seperti kanker, apabila terakumulasi di dalam tubuh
dalam waktu yang lama.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan perhatian masyarakat
terhadap keamanan makanan yang mereka konsumsi, penelitian telah banyak
diarahkan untuk menemukan bahan pengawet baru yang dapat mengawetkan
produk pangan dengan baik dan aman bagi kesehatan. Saat ini sedang
dikembangkan metode pengawetan dengan menggunakan asam-asam organik,
karena dengan menurunkan pH menciptakan lingkungan yang tidak disukai
oleh mikroba untuk tumbuh. Asam organik yang sering digunakan untuk
mengawetkan seperti asam askorbat, asam asetat, asam sitrat, dan asam laktat.
Asam organik yang digunakan pada penelitian ini adalah asam asetat (cuka
pasar).
Rempah digunakan sebagai pemberi citarasa yang khas pada produk
kulinari dan telah banyak penelitian berusaha membuktikan bahwa rempah
juga dapat berfungsi sebagai antibakteri dan antioksidan alami. Hasil
penelitian menunjukkan sifat antibakteri dan antioksidan rempah memang ada
tetapi masih kurang efektif dibandingkan dengan senyawa sintetis yang
beredar di pasaran. Penggunaan rempah pada penelitian ini dititikberatkan
kepada sifat rempah yang memiliki citarasa yang kuat dan khas, digunakan
untuk menutupi rasa asam dari asam organik, dan tidak mempengaruhi sifat
antimikroba dari asam organik itu sendiri. Rempah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum LINN) yang merupakan ingredien umum dalam pembuatan bakso.
Pembuatan pengawet yang merupakan paduan antara asam asetat
(cuka pasar) dan ekstrak bawang putih diharapkan efektif meningkatkan umur
simpan bakso dan penggunaannya lebih murah secara ekonomi dibandingkan
dengan pengawet sintetik yang beredar di pasaran dan diterima secara sensori,
sehingga penggunaan pengawet yang dilarang dan membahayakan kesehatan
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan :
1. Tujuan umum:
a. Memperoleh bahan pengawet yang sesuai untuk bakso
b. Menemukan bahan pengawet yang efektif untuk mengawetkan produk
pangan sehingga dapat menggantikan bahan pengawet yang dilarang.
c. Menemukan bahan pengawet yang murah sehingga dapat diaplikasikan
oleh industri-industri kecil.
2. Tujuan khusus:
a. Menemukan bahan pengawet yang dapat mengawetkan bakso minimal
empat hari penyimpanan dalam suhu ruang.
b. Menemukan rempah yang dapat menutupi rasa asam dari asam organik
yang digunakan.
c. Memperoleh kombinasi yang tepat antara rempah dan asam organik
sehingga pengawet yang dibentuk tidak terasa asam dan tetap memiliki
aktivitas antimikroba.
d. Menemukan bahan pengawet yang diterima oleh konsumen secara
organoleptik
C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN
Penggunaan kombinasi antara asam asetat dan ekstrak bawang putih
mampu mempertahankan umur simpan bakso pada penyimpanan suhu ruang
selama empat hari dan diterima secara sensori.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan bahan pengawet
yang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, meningkatkan
umur simpan, dapat diaplikasikan oleh produsen bakso, tidak berdampak
negatif terhadap kesehatan, dan relatif lebih murah dibandingkan dengan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. ASAM ORGANIK
Asam organik adalah asam yang secara alami dihasilkan oleh
tumbuh-tumbuhan dan makhluk hidup. Sifat antimikroba asam organik disebabkan
kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi meracuni mikroba dan
pengaruhnya terhadap pH. Beberapa asam organik yang sering digunakan
untuk makanan yaitu asam sitrat, asam laktat, asam askorbat, asam
propionat, asam fumarat, asam tartarat, dan asam asetat. Kisaran pH
menentukan jenis mikroorganisme yang tumbuh pada suatu lingkungan,
sehingga pengaturan pH akan mempengaruhi pertumbuhan dari
mikroorganisme. Nilai pH menyeleksi mikroorganisme yang tumbuh
dominan pada suatu produk pangan, karena setiap mikroorganisme memiliki
toleransi yang berbeda-beda terhadap nilai pH, misalnya kapang yang masih
dapat tumbuh pada pH 4.0 (Doores, 1993), sedangkan bakteri tumbuh pada
pH mendekati netral yaitu pH 6.5-7.5 (Davidson et al., 2005).
Penurunan pH dilakukan dengan penambahan asidulan atau dengan
fermentasi alami. Pengasaman atau penambahan asidulan cenderung bersifat
mikrostatik atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme daripada bersifat
mikrosidal atau membunuh mikroorganisme. Pemberian asam organik
diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan mencegah kerusakan
bahan pangan tersebut (Ray dan Sandine, 1992).
Pemilihan dan penggunaan asam organik perlu mempertimbangkan
banyak faktor. Beberapa faktor pertimbangan dalam pemilihan asam organik
yang tepat adalah sifat kimiawi dan antimikroba senyawa; sifat dan komposisi
produk; sistem pengawetan lain yang digunakan selain asam organik; tipe,
karakteristik dan jumlah mikroba di dalam produk; aspek legalitas dan
keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan bahwa
antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk.
Efektivitas penggunaan suatu senyawa antimikroba di dalam bahan
pangan juga tergantung pada kondisi produk pangan seperti pH (keasaman),
faktor lainnya seperti suhu, metode pengawetan, proses pengolahan,
pengemasan, dan penanganan pasca pengolahan.
Pemilihan jenis asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan
makanan didasarkan atas kelarutannya, rasa asam yang ditimbulkan pada
bahan pangan dan toksisitasnya yang rendah. Asam organik kebanyakan
mudah larut dalam air, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Menurut
FAO/WHO (ICMSF, 1980), sampai saat ini asam organik merupakan bahan
pengawet makanan yang dianggap aman.
Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan (ICMSF, 1980)
Asam organik
pKa Solubilitas a
(g/100g)
ADb (mg/kg berat
badan)
Konsentrasi maksimum yang
digunakan (mg/kg)
Asam asetat 4.75 Mudah larut Tidak terbatas Tidak terbatas
Asam sitrat 3.1 Mudah larut Tidak terbatas Tidak terbatas
Asam laktat 3.1 Mudah larut Tidak Terbatas Tidak Terbatas
Asam sorbat 4.8 0.16 (20oC) 25 1-2000
Keterangan : a Solubilitas dalam air
b
Jumlah yang dapat dimakan per hari (FAO/WHO, 1979)
Asam organik telah sering digunakan sebagai pengawet untuk makanan,
karena selain memiliki aktivitas antimikroba, asam organik tersebut aman
untuk dikonsumsi karena bersifat food grade. Penggunaan beberapa jenis asam organik pada makanan sebagai bahan pengawet memiliki batas
maksimal penggunaan. Batas maksimal penggunaan beberapa asam organik
Tabel 2. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dikonsumsi per hari oleh manusia
No Asam Organik Batasan
(mg/kg berat badan)
1 Asam asetat Tidak terbatas
2 Sodium diasetat 0-15
3 Asam fumarat 0-6
4 Asam laktat Tidak terbatas
5 Asam propionat Tidak terbatas
6 Asam tartarat 0-30
Sumber : Doores (1993)
Keberhasilan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme sangat
dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme, jenis dan konsentrasi asidulan, waktu
kontak, kapasitas buffer pada makanan, dan kondisi lain pada makanan yang mampu meningkatkan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme tersebut
(Doores, 1993). Konsentrasi hambatan asam organik terhadap pertumbuhan
mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 3.
Aktivitas antimikroba asam organik ditentukan oleh besarnya
persentase molekul asam yang tidak terurai (undissociated), yang ditetapkan dengan nilai pKa. Nilai pKa adalah nilai pH saat 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai. Masing-masing jenis asam organik memiliki nilai
pKa yang berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 1 (ICMSF, 1980). Nilai pKa akan menentukan kisaran pH efektif dari asam organik untuk dapat bersifat mikrostatis.
Bahan makanan yang memiliki pH rendah, maka banyaknya persentase
molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga kemampuan
sebagai antimikroba juga akan meningkat. Kemampuan asam sebagai anti
mikroorganisme didasarkan atas dua hal yaitu pengaruhnya terhadap pH
lingkungan dan kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi untuk
meracuni mikroba (Buckle et al., 1987).
Proses penghambatan dari asam tidak terdisosiasi yang merupakan
mudah karena sifat lipofilik dari rantai karbon pada asam organik. Di dalam
sel, asam organik akan terdisosiasi karena pH di sitoplasma yang netral,
disosiasi asam organik menurunkan pH di sitoplasma. Sel harus
mempertahankan netralitas pH di dalam sitoplasma agar tidak terjadi
perubahan bentuk dari protein, enzim, asam nukleat dan fosfolipid. Proton
yang dihasilkan dari disosiasi asam organik harus dikeluarkan dari dalam sel,
proses pengeluaran proton dari sitoplasma sel menggunakan ATP sebagai
sumber energi karena melawan gradien konsentrasi, sehingga pada akhirnya
sel akan kehabisan energi (ATP) dan tidak dapat tumbuh (Davidson et al.,
2005).
S. aureus adalah bakteri yang paling sensitif terhadap asam asetat, diikuti oleh asam sitrat, asam laktat, asam malat, asam tartarat, dan asam
hidroklorat (Nunheimer dan Fabian 1940 di dalam Davidson et al., 2005). Anderson dan Marshall (1989) di dalam Davidson et al., (2005) menunjukkan penggunaan asam asetat konsentrasi 3% dapat mengurangi jumlah bakteri
pada daging sebesar 99.6%.
Tabel 3. Konsentrasi asam organik untuk menghambat mikroorganisme Asam organik Asam tidak terdisosiasi yang diperlukan untuk menghambat (%)
Bakteri Gram positif
Bakteri
Gram negatif Ragi Kapang
Asam asetat 0.1 0.05 0.5 0.1
Asam
propionat 0.1 0.05 0.2 0.05
Asam laktat >0.03 >0.01 >0.01 >0.01
Sumber : Ray dan Sandine (1992)
Asam asetat merupakan cairan yang jernih, tidak berwarna, dan
memiliki bau asam yang menusuk. Asam asetat dapat larut dalam air, alkohol,
lemak, dan gliserol. Selain itu asam jenis ini juga dikenal sebagai pelarut
yang baik untuk bahan organik (Marshall et al., 2000). Asam asetat selain digunakan sebagai sanitaiser, juga dapat digunakan pada makanan sebagai
penegas rasa, penegas warna, bahan pengawet, penyelubung after taste yang tidak disukai, dan sebagai bahan pengembang (Winarno, 1997). Sifat dari
Tabel 4. Sifat fisik Asam Asetat
No Sifat Fisik Karakteristik
1 Rumus Kimia CH3COOH
2 Berat Molekul 60.03
3 Aspek Fisik Cairan tidak berwarna
4 Titik Didih 119oC
5 Titik Beku 16.6oC
6 Konstanta Ionisasi 1.75 x 10-5
7 Bau Menyengat
8 Rasa Asam
9 Kelarutan Larut dalam air, alkohol, gliserin 10 Commercial grades Larutan aqueous 99.5 % dan 36 % 11 Densitas larutan 99.5 % 1045 g/l
12 Densitas larutan 36 % 376 g/l
13 pH larutan 1 % 2.78
Sumber : Furia (1972)
Asam asetat termasuk ke dalam gugus asam karboksilat. Asam
karboksilat berwujud cairan tidak berwarna dengan bau tajam atau tidak enak
(Hart, 2003). Asam karboksilat tergolong polar dan larut air disebabkan
gugus hidrogen pada molekul asam yang berbobot molekul rendah seperti
asam asetat. Asam asetat yang memiliki pH rendah dapat menghambat
pertumbuhan mikroba yang sebagian besar tidak tahan terhadap pH rendah.
Asam asetat memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
asam asetat sebagai sanitaiser antara lain : 1) termasuk kelompok GRAS
(Generally Recognize As Safe) sehingga aman digunakan pada makanan; 2) harganya relatif murah; 3) memiliki toksisitas yang rendah (Marshall et al., 2000). Kekurangan asam asetat adalah bau dan rasanya yang asam, sehingga
sebelum digunakan asam asetat ini biasanya diencerkan terlebih dahulu. Sifat
hidrofilik yang dimiliki asam asetat juga mendukung proses pengawetan,
karena fase air merupakan tempat mikroorganisme tumbuh.
B. REMPAH
Rempah-rempah adalah bahan asal tumbuh-tumbuhan yang biasa
dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk memberi aroma atau flavor
4 kategori, yaitu: 1) species Aromata yaitu rempah-rempah yang digunakan sebagai wangi-wangian, seperti kapulaga, kayu manis, dan sweet marjoram; 2) species Thumiamata yaitu rempah yang digunakan untuk dupa dan kemenyan, seperti thyme, kayu manis, dan rosemary; 3) species Condimenta
yaitu rempah-rempah yang digunakan untuk pembalseman dan pengawetan,
seperti kayu manis, jinten, adas, cengkeh, dan sweet marjoram; 4) species Theriaca yaitu rempah-rempah yang digunakan untuk menetralkan racun, seperti adas, ketumbar, bawang putih, dan oregano (Farrel, 1985).
Peran rempah sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari
kemampuan rempah yang memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidan.
Antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat mengganggu
pertumbuhan dan aktivitas mikroba, khususnya mikroba perusak dan
pembusuk makanan (Pelczar dan Reid, 1972). Antioksidan adalah senyawa
yang dapat menghambat terjadinya proses oksidasi.
Menurut Ardiansyah (2007), efek penghambatan senyawa antimikroba
dari rempah-rempah tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi
dapat juga menghambat pertumbuhan khamir seperti Candida albican dan
Sacharomyces cerevisiae. Komponen-komponen aktif pada minyak thyme, minyak sage, minyak rosemary, minyak cumin, minyak caraway, dan minyak cengkeh dapat menghambat khamir dengan konsentrasi 0.5-2.0 mg/mL.
C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.)
Bawang putih termasuk famili Liliaceae, ordo Liliflorae, kelas
Monocotyledone, Genus Allium, dan spesies Sativum (Wibowo, 1991). Menurut Morton dan Macleod (1982), bawang putih merupakan umbi
tanaman yang berukuran kecil dan sedikit keras, warnanya berbeda-beda
(putih, merah muda, dan kuning) tergantung varietasnya. Bawang putih
termasuk klasifikasi tumbuhan berumbi lapis atau siung bersusun. Bawang
putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm,
mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian
daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Bawang putih pada
awalnya merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, namun sekarang di
Di bidang pangan, bawang putih banyak digunakan sebagai penyedap
masakan, sedangkan di bidang farmasi bawang putih digunakan sebagai
bahan pencampur obat-obatan. Bawang putih digunakan untuk mencegah
infeksi lanjut pada penyakit batuk dan sebagai disinfektan bagi sejumlah
penyakit (Farrell, 1985).
Gambar 1. Bawang Putih
Berdasarkan SNI nomor 01-3160-1992, bawang putih adalah umbi
tanaman bawang putih (Allium sativum Linn.) yang terdiri dari siung-siung, kompak, masih terbungkus oleh kulit luar, bersih dan tidak berjamur. Bawang
putih tersusun atas beberapa senyawa kimia dengan air sebagai komponen
dengan jumlah terbesar. Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada
Tabel 5.
Bawang putih mempunyai karakter bau sulfur yang khas yang akan
keluar setelah bawang putih dipotong atau dihancurkan. Bawang putih
mengandung minyak volatil kurang dari 0.2% (w/w). Komponen-komponen
yang terdapat dalam minyak bawang putih adalah dialil disulfida (60.0%),
dialil trisulfida (20.0%), alil propil disulfida (6.0%), dietil disulfida, dialil
polisulfida, alinin, serta allisin dalam jumlah kecil (Farrell, 1985).
Menurut Guenther (1952), allisin tidak terdapat pada umbi bawang
putih yang utuh, tetapi dalam bentuk prekursor yang tahan panas yaitu alliin.
Senyawa alliin sendiri tidak mempunyai sifat bakterisidal. Pada saat umbi
bawang putih dihancurkan allisin akan terbentuk dari alliin dengan bantuan
dari enzim alliinase. Hal ini terjadi karena alliin dan enzim alliinase berada di
dalam kompartemen sel yang berbeda, ketika bawang putih dihancurkan
produk yaitu allisin. Allisin selanjutnya akan terdekomposisi menjadi dialil
sulfida dan sulfida-sulfida lain pada destilasi uap dengan tekanan atmosfer.
Tabel 5. Komposisi bawang putih per 100g umbi
Komposisi Jumlah (per 100g)
Protein 4.5 g
Lemak 0.20 g
Karbohidrat 23.10 g
Vitamin B1 0.22 g
Vitamin C 15 mg
Kalori 95 kal
Fosfor 134 mg
Kalsium 42 mg
Besi 1 mg
Air 71 g
Sumber : Anonima (2005)
Bawang putih termasuk salah satu rempah yang telah terbukti dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Golongan senyawa yang
diperkirakan memiliki aktivitas antimikroba pada bawang putih, seperti
allisin, ajoene, dialil sulfida, dialil disulfida, yang termasuk dalam golongan
senyawa tiosulfinat. Tiosulfinat adalah golongan senyawa yang mengandung
2 atom belerang yang saling berikatan rangkap dengan atom oksigen seperti
allisin.
Gambar 2. Struktur kimia Allisin
Struktur kimia allisin dapat dilihat pada Gambar 2. Allisin adalah
komponen utama hasil degradasi secara enzimatis dari prekursor pembentuk
citarasa (Alliin) bawang putih yang tidak stabil dan sangat reaktif yang
disebabkan lemahnya ikatan S-S (Block, 1992). Kestabilan senyawa
tiosulfinat tergantung dari pelarut, suhu, konsentrasi, dan kemurnian.
CH
2=CHCH
2S-SCH
2CH=CH
2║
Tiosulfinat mengalami beberapa perubahan yang tergantung pada suhu, pH,
dan kondisi pelarut untuk membentuk senyawa yang lebih stabil, seperti
disulfida, trisulfida, alilsulfida, vinil dithiins, ajoene, dan merkaptosistein
(Nagpurkar et al., 2000).
Allisin (dialil tiosulfinat) pertama kali ditemukan oleh Cavalito dan
Bailey pada tahun 1944. Sifat-sifatnya antara lain tidak stabil terhadap panas,
stabil dalam asam dan basa pada konsentrasi rendah, larut air (2.5% pada
10oC), tidak larut dalam larutan karbon alifatik (n-heksan) (Whitmore dan
Naidu, 2000). Allisin adalah cairan kuning berminyak, berbau tajam, bersifat
sangat reaktif, sedikit larut air, larut alkohol dan merupakan oksidator kuat.
Menurut Nagpurkar et al., (2000), allisin larut dalam pelarut organik, terutama pelarut polar, namun kurang larut dalam air. Komponen larut air
allisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya.
Amagase et al., (2001) mengemukakan bahwa allisin hanyalah sebuah senyawa transisi yang mudah terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa
sulfida lainnya, seperti ajoene dan dithiin. Diallil sufida merupakan
komponen yang paling dominan dalam bawang putih (Fenwick dan Hanley,
1985) dan merupkan komponen yang sangat menentukan citarasa dan aroma
bawang putih. Menurut Purnowati et al., (1992), allisin adalah komponen terbesar yang menentukan rasa bawang putih segar, sedangkan disulfida dan
trisulfida mendukung bau bawang putih yang dimasak.
Suharti (2004) meneliti tentang sifat antibakteri bawang putih terhadap
Salmonella typhirium. Hasilnya adalah serbuk bawang dengan konsentrasi 5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang setara dengan tetrasiklin
100 µg/ml. Whitmore dan Naidu (2000) mengemukakan bahwa allisin dalam
bawang putih dibutuhkan dalam jumlah lebih banyak untuk menghambat
mikroba pada medium cair dibandingkan dengan medium padat.
D. EKSTRAKSI
Menurut Nur dan Adijuwana (1989), ekstraksi merupakan peristiwa
pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut yang saling tidak
bercampur. Menurut Harborne (1987), ektraksi adalah proses penarikan
Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari
bahan yang mengandung komponen aktif.
Teknik ekstraksi yang tepat akan berbeda untuk masing-masing bahan.
Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan dan jenis senyawa lain
yang diinginkan (Nielsen, 2003). Pemilihan metode ekstraksi senyawa
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan
zat aktif, dan kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Karakteristik beberapa
pelarut organik untuk ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi
pelarut polaritas konstanta titik didih kelarutan
(ε)a) dielektrik (oC)a) dalam air
(Debye)b) (%)b)
karbondioksida 0,00 - -56,60 -
pentana 0,00 1,84 36,20 0,01
heksana 0,00 2,00 68,70 0,01
toluena 0,29 2,40 11,06 0,05
benzena 0,32 2,30 80,10 0,06
etil asetat 0,38 6,00 77,10 9,80
aseton 0,47 20,70 56,20 larut
propan-2-ol (IPA) 0,63 18,30 82,30 larut
etanol 0,68 24,30 78,30 larut
metanol 0,73 32,60 64,80 larut
air 0,90 78,50 100,00
Sumber : a)Moyler (1995); b)Houghton dan Raman (1998)
Proses isolasi atau pemisahan komponen bioaktif yang terkandung
dalam tumbuhan dapat dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan
pelarut. McCabe dan Smith (1974) menyatakan bahwa metode yang
digunakan untuk melarutkan komponen yang larut dari zat padat yang tidak
dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu disebut dengan leaching
atau ekstraksi padat/ cairan (solid/liquid extraction). Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga
Proses pemindahan komponen bioaktif dari bahan ke pelarut dapat
dijelaskan dengan teori difusi, proses difusi merupakan pergerakan bahan
secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah
(Danesi, 1992). Proses ini akan terus berlangsung selama komponen bahan
padat yang akan dipisahkan menyebar diantara kedua fase dan berakhir
apabila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan terjadi
apabila seluruh zat terlarut sudah larut semuanya di dalam zat cair dan
konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Kondisi ini tercapai
dengan cepat atau lambat tergantung dari struktur zat padatnya.
Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke permukaan
padatan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari
dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan
massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses ini berlangsung secara
seri. Bila salah satu proses berlangsung lebih cepat maka kecepatan ekstraksi
ditentukan oleh proses yang lebih lambat, tetapi bila kedua proses
berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda maka kecepatan
reaksi tergantung dari kedua proses tersebut (Sediawan dan Prasetya, 1997).
Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan
dalam setiap pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin
komponen tertentu, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut
yang secara selektif dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan
tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena
persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul
yang berpengaruh terhadap daya larut suatu bahan dalam pelarut. Senyawa
kimia yang terkandung dalam bahan akan dapat larut pada pelarut yang relatif
sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan terlarut dalam pelarut polar
dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Ucko, 1982).
Kepolaran suatu pelarut dipengaruhi oleh konstanta dielektriknya, semakin
besar konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin polar komponen
Penggunaan metode ekstraksi yang akan dilakukan bergantung pada
beberapa hal, yaitu tujuan dilakukan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat
komponen yang akan diekstraksi, dan sifat pelarut yang diinginkan (Hougton
dan Raman, 1998). Metode ekstraksi yang banyak digunakan adalah distilasi
dan ekstraksi dengan pelarut. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh oleh lama
ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin dekat tingkat
kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna
proses ekstraksi.
Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi
dengan pelarut organik secara bertingkat atau disebut dengan ekstraksi
bertingkat. Menggunakan metode maserasi atau dengan perendaman bahan
menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi bertingkat dilakukan dengan
menggunakan beberapa pelarut dengan berbagai tingkat kepolaran, dimulai
dengan pelarut non-polar ke pelarut polar. Hal-hal yang perlu diperhatikan
mengenai pelarut adalah : (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar,
(2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3)
pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam
ataupun basa (Achmadi, 1992).
Penelitian ini menggunakan pelarut non-polar yaitu heksana yang
berfungsi melarutkan lemak, heksana merupakan hidrokarbon alkana dengan
rumus molekul C6H14, pelarut semi-polar yaitu etil asetat dengan rumus
molekul C4H8O2, dan pelarut polar yaitu etanol dengan rumus molekul
C2H5OH yang bersifat volatil.
E. BAKSO
Bakso menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan
berbentuk bulatan, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging
tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan
Tambahan Pangan yang diizinkan. Menurut Tarwotjo et al. (1971), Bakso berbeda dengan meatball, bakso menggunakan bahan berpati yang tidak dibatasi penggunaannya, sedangkan meatball menggunakan konsentrat protein, tepung kedelai, susu bubuk tanpa lemak dan bahan sejenis lainnya
Bakso adalah suatu produk daging yang dihaluskan, dicampur dengan
pati, dibentuk bulatan, dan dimasak dengan air panas. Bakso merupakan
produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan, maupun udang
(Widyaningsih, 2006). Bakso yang beredar umumnya menggunakan daging
sapi. Berdasarkan perbandingan daging dan tepung yang digunakan, Elviera
(1988) mengelompokkan bakso menjadi tiga kelompok, yakni bakso daging,
bakso urat, dan bakso aci. Bakso juga dapat dikelompokkan berdasarkan
daging yang digunakan, seperti bakso sapi, bakso ikan, bakso babi, dan bakso
ayam.
Proses pembuatan bakso dibagi menjadi 4 tahap yaitu penghancuran
daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Bahan-bahan yang
digunakan dalam proses pembuatan bakso terdiri dari daging, bahan pengisi,
garam, es, dan ingredien lain (seperti bawang putih, MSG, merica).
Daging yang digunakan menentukan mutu dari bakso (Sunarlim, 1992).
Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sehingga water holding capacity masih tinggi (jumlah ATP yang masih banyak sehingga ikatan antar protein renggang) dan protein terekstrak lebih banyak dibandingkan pada fase
berikutnya sehingga kemampuan emulsinya juga meningkat dan
menghasilkan emulsi yang stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging
fase pre rigor, akan memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan
bakso yang dihasilkan akan kering tetapi tetap empuk. Bahan pengisi yang
umum digunakan adalah tapioka dan pati sagu. Bahan pengisi penting karena
kemampuannya yang tinggi dalam mengikat air, tapi tidak mempunyai
kemampuan dalam mengemulsikan lemak. Fungsi bahan pengisi yaitu (1)
memperbaiki sifat emulsi, (2) mereduksi penyusutan selama pemasakan, (3)
memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, dan (4) menurunkan biaya (Kramlich,
1971). Menurut Trout dan Schmidt (1986) di dalam Sunarlim (1992), garam
berfungsi untuk mengekstrak protein miofibrial dari sel-sel otot selama
perlakuan mekanis, dan berinteraksi dengan protein otot membentuk matriks
yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur. Jumlah
garam yang ditambahkan sekitar 2.5% dari berat daging. Es dalam
penggilingan, suhu daging yang terlalu tinggi (lebih dari 15-20oC) akan
menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson, 1981). Selain itu es juga berfungsi
memperlancar ekstraksi protein, mencegah tekstur adonan menjadi kering,
dan meningkatkan rendemen. Penambahan es sebanyak 10%-15% dari berat
daging, atau bahkan 30% dari berat daging.
Protein berperan penting pada bakso karena merupakan pembentuk
sistem emulsi, karena protein merupakan emulsifier alami. Ada tiga protein
yang berperan dalam pembentukan emulsi, yaitu (1) protein sarkoplasma
yang larut air, (2) aktin miosin yang larut garam, dan (3) protein lain seperti
mioglobin (larut air dan garam) (Wilson, 1981).
Karakteristik bakso sapi yang disukai oleh konsumen berdasarkan
survei yang dilakukan Andayani (1999) adalah rasanya gurih (sedang), agak
asin, rasa daging kuat, berwarna abu-abu pucat atau muda, beraroma daging
rebus, teksturnya empuk dan kenyal, bentuk bulat dengan ukuran sedang
(diameter 3 -5 cm). Syarat mutu bakso menurut SNI dapat dilihat pada Tabel
7.
Banyak pengusaha bakso yang ingin meningkatkan produksinya
terbentur masalah keawetan dari produk bakso yang hanya berkisar 12 jam
dan maksimal 1 hari pada suhu ruang, sehingga mereka menggunakan bahan
yang dapat memperpanjang umur simpan dari bakso, termasuk penggunaan
bahan pengawet yang dilarang seperti penggunaan boraks dan formalin.
Menurut Sendih (1998), 63% pedagang bakso di kota Bogor menggunakan
formalin untuk mengawetkan bakso. Penilaian mutu bakso dapat dilakukan
dengan menilai mutu sensori atau mutu organoleptiknya. Menurut Wibowo
(2005), kriteria mutu sensori bakso dapat diketahui berdasarkan lima
parameter sensori utamanya seperti tercantum pada Tabel 8. Bakso memiliki
kadar air dan Aw yang tinggi yaitu 80% dan 0.99 sehingga rentan terhadap
kerusakan yang ditimbulkan oleh mikroorganisme. Menurut Frazier dan
Westhoff (1978), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan
Tabel 7.Syarat mutu objektif bakso daging sapimenurut SNI
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Air % b/b Maks. 70.0
2 Abu % b/b Maks. 3.0
3 Protein % b/b Min. 9.0
4 Lemak % b/b Maks. 2.0
5 Boraks - Tidak boleh ada
6 Cemaran mikroba - -
6.1 Angka Lempeng Total Koloni / g Maks. 1.0 x 105
6.2 Escherichia coli APM / g < 3 6.3 Staphylococcus
aureus
Koloni / g Maks. 1.0 x 102
Sumber : SNI No. 01-3818-1995
Tabel 8. Kriteria Mutu Sensori Bakso
Parameter Ciri-ciri Penampakan Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan
cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak
berjamur, tidak berlendir.
Warna Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau
coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau
abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang
mengganggu (jamur).
Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau
tengik, asam, basi, atau busuk. Bau bumbu cukup
tajam.
Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu
cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat
rasa asing yang mengganggu.
Tekstur Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau
membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakso dan bawang
putih (Allium sativum LINN). Senyawa organik yang digunakan yaitu asam asetat (CH3COOH) merupakan cuka pasar. Bahan-bahan yang digunakan
dalam proses ekstraksi adalah pelarut teknis heksana, pelarut teknis etil asetat,
pelarut teknis etanol. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi
yaitu media PCA (Plate Count Agar), larutan pengencer (buffer fosfat, KH2PO4), alkohol 70%, dan aquades. Bahan–bahan yang digunakan untuk
analisis total asam tertitrasi adalah NaOH 0,1N, asam potasium phtalate
(KHP), dan indikator phenoftalein (PP).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom, pisau,
pengaduk, penyaring, dan plastik HDPE. Alat-alat yang digunakan dalam
analisis adalah oven, oven vakum, pH meter, stomacher, bunsen, inkubator, rotary vaccum evaporator, penyaring vakum, shaker, buret, erlenmeyer, gelas piala, Chromameter, Texture Analyzer, cawan petri, mikro pipet, gelas ukur, balep, tabung reaksi, tabung pengencer, autoklaf, dan labu takar.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan pelarut
yang efektif untuk ekstraksi komponen citarasa dari bawang putih dan
menentukan fraksi yang mampu menghilangkan atau mereduksi rasa asam
dari asam asetat, yaitu fraksi polar, semi-polar, non-polar, atau kombinasi
ketiga fraksi tersebut, juga membandingkan rendemen ekstraksi dari
masing-masing pelarut.
Penelitian dilanjutkan dengan penentuan formula dari ekstrak bawang
putih dan asam asetat yang dapat mengurangi rasa dan aroma asam, dilakukan
dengan cara mencampurkan ekstrak bawang putih dengan asam asetat pada
berbagai perbandingan. Formula larutan biang juga diujikan terhadap bakso
Pengawetan dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan perendaman
dan perebusan. Pada penelitian utama, dilakukan penentuan konsentrasi
terbaik dari asam asetat dan ekstrak bawang putih. Pengujian dilakukan
terhadap bakso perlakuan dengan beberapa konsentrasi larutan pengawet.
Pengamatan dilakukan terhadap bakso yang telah diberi perlakuan, untuk
mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama empat hari penyimpanan.
1. Penelitian Pendahuluan
Ekstraksi bawang putih dilakukan dengan ekstraksi bertingkat metode
maserasi (perendaman) menggunakan pelarut yang berbeda-beda tingkat
kepolarannya, kemudian dinilai keefektifan dan rendemen ekstraksinya.
Pelarut terpilih digunakan untuk ekstraksi bawang putih selanjutnya.
Bawang putih dibersihkan lapisan luarnya, diiris melintang, dan
kemudian dikeringkan dengan oven vakum suhu 600C tekanan 400 mmHg
selama 3 jam. Pengeringan dilakukan untuk mencegah kandungan air yang
terlalu tinggi pada ekstrak.
Selanjutnya bawang putih dihancurkan dengan blender sehingga diperoleh bawang putih yang telah menjadi potongan-potongan atau bentuk
yang lebih kecil. Semakin halus hancuran bawang putih maka semakin luas
permukaan yang kontak dengan pelarut, sehingga ekstraksi dapat
berlangsung lebih efektif dan cepat. Metode ekstraksi ini berdasarkan
penelitian Leomitro (2007) yang mengekstraksi biji Lotus (Nelumbium nelumbo). Perbandingan bawang putih dengan pelarut adalah 1:4, yaitu 60 g bawang putih dengan 240 ml pelarut dalam erlenmeyer dan ditempatkan
di atas inkubator bergoyang dengan kecepatan 30 rpm pada suhu ruang
selama 24 jam untuk masing-masing pelarut yang digunakan.
Filtrat yang telah diperoleh dipekatkan dengan rotary vaccum evaporator pada suhu 55oC dengan kecepatan 75 rpm hingga sebagian besar pelarut terpisah dari ekstrak. Volume akhir filtrat yaitu sekitar
seperempat volume sebelum dipekatkan. Filtrat ditempatkan semalam di
ruang asam untuk menghilangkan sisa pelarut.
Padatan yang diperoleh dari penyaringan vakum kembali diekstraksi
digunakan pertama adalah pelarut nonpolar yaitu heksana, pelarut
selanjutnya adalah pelarut semipolar yaitu etil asetat, dan terakhir pelarut
polar yaitu etanol. Tiap larutan hasil ekstraksi dari masing-masing pelarut
kemudian disaring vakum untuk memisahkan padatan dan filtrat, filtrat
diuapkan dengan rotary vaccum evaporator untuk menghilangkan pelarutnya. Diagram proses ektraksi yang lebih lengkap dapat dilihat pada
Gambar 3.
Ekstrak bawang putih yang diperoleh dicampurkan dengan asam
organik yaitu asam asetat. Penentuan konsentrasi yang tepat dilakukan
secara objektif dengan pengukuran pH yaitu campuran dengan pH ≤ 3.0 dan secara subjektif dengan organoleptik yaitu kombinasi asam asetat dan
ekstrak bawang putih yang menghasilkan rasa asam paling rendah
dibandingkan dengan larutan asam dengan konsentrasi yang sama tapi
tanpa penambahan ekstrak rempah. Campuran ini akan digunakan pada
penelitian utama. Diagram proses penentuan konsentrasi rempah yang tepat
dapat dilihat pada Gambar 4.
Pada penelitian pendahuluan juga dilakukan pengamatan terhadap
kemampuan antimikroba dari kombinasi asam asetat dan bawang putih
yang telah diencerkan menjadi beberapa konsentrasi. Kemampuan
antimikroba ini dinyatakan sebagai umur simpan bakso. Parameter subjektif
(visual) yang diukur adalah terbentuknya lendir, tumbuhnya miselium
kapang, dan perubahan aroma.
2. Penelitian Utama
Pada penelitian utama campuran asam asetat dan ekstrak bawang
putih yang terpilih ditentukan konsentrasi terbaik untuk mengawetkan
bakso minimal 4 hari penyimpanan pada suhu ruang. Metode pengawetan
yang digunakan adalah perendaman dan perebusan dengan larutan
pengawet konsentrasi pengenceran tertentu. Konsentrasi pengenceran yang
dibuat adalah 10%, 15%, dan 20%. Waktu perendaman dan perebusan
selama 10 menit. Bakso dikemas dengan plastik HDPE dan di-seal.
Kemudian dilakukan pengujian terhadap bakso yang diberi perlakuan