• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi Sistem Irigasi Pipa Untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air Dalam Pengelolaan Air Irigasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi Sistem Irigasi Pipa Untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air Dalam Pengelolaan Air Irigasi"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI SISTEM IRIGASI PIPA UNTUK

MENGIDENTIFIKASI TINGKAT KELAYAKAN PEMBERIAN

AIR DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI

AFRI FAJAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Sistem Irigasi Pipa untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air Dalam Pengelolaan Air Irigasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

(4)

RINGKASAN

AFRI FAJAR. Efisiensi Sistem Irigasi Pipa Untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air dalam Pengelolaan Air Irigasi. Dibimbing oleh Moh Yanuar J Purwanto dan Suria Darma Tarigan.

Sumber kehilangan air irigasi yang umum terjadi pada suatu areal pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi yang keluar dari daerah perakaran. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk menghindari kehilangan air yang tidak perlu dan mengurangi jumlah air yang harus disediakan untuk sektor pertanian. Irigasi pipa yang memiliki efisiensi mencapai 98% karena dapat mengontrol pemakaian air sesuai kebutuhan dan tidak ada terjadi rembesan selama penyaluran air. Jarak inlet petak sawah juga harus diperhatikan selain faktor teknologi irigasi. Jarak inlet petak sawah berpengaruh terhadap penyebaran air dalam suatu petakan sawah karena terkait dengan efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi air (Ed). Irigasi pipa dan jarak inlet petak sawah dapat dijadikan solusi dalam peningkatan efisiensi irigasi karena penggunaan pipa sebagai media penyalur air irigasi dapat dikontrol dan pada akhirnya akan berdampak pada produksi pangan yang meningkat.

Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan IPB Desa Cikarawang Kabupaten Bogor, Laboratorium Fisika Tanah IPB dan Laboratorium Sumberdaya Tanah Terpadu BBLSLP Bogor. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) Mengkaji aplikasi irigasi perpipaan pada petak sawah berdasarkan efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed); 2) Menganalisis indeks kelayakan pemberian air berdasarkan nilai efisiensi aplikasi (Ea) dengan teknologi irigasi pipa; serta 3) Menganalisis tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan jarak inlet petak sawah dalam pengelolaan sumberdaya air. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode deskriptif yang mengumpulkan data primer dan data sekunder. Selanjutnya pembuatan petak percoban yang telah dipasang irigasi pipa. Pemberian air pada petak System Rice of Intensification (SRI) dan petak konvensional air diberikan setinggi 2 cm secara terus menerus hingga fase vegetatif sampai fase pematangan. Pengambilan sampel tanah secara diagonal dari pematang sawah, kemudian dihitung tingkat efisiensi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed) pada masing-masing petak percobaan, selanjutnya perhitungan tingkat kelayakan pemberian air serta jarak inlet yang ideal pada petak sawah.

Penelitian ini menunjukkan nilai Ed di atas 90% pada perlakuan pemberian air konvensional dan SRI. Hal ini menjelaskan distribusi air pada teknologi irigasi pipa merata keseluruh areal tanam. Nilai Ea yang diperoleh pada petak percobaan berkisar antara 76% – 98%. Perlakuan pemberian air konvensional nilai Ea lebih rendah dibandingkan dengan SRI. Hal ini dikarenakan air pada sawah konvensional terjadi perkolasi dalam sehingga air keluar dari zona perakaran dan terjadinya aliran permukaan yang menyebabkan penurunan efisiensi.

Hasil simulasi jarak inlet petak sawah menunjukkan bahwa Ea yang baik

(5)

untuk mencapai jarak 100 m jika jarak inlet dibagi tiga dengan masing-masing jarak 30 m dan air yang dibutuhkan hanya 108.53 l d-1.

Tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan nilai Ea diperoleh dari tingkat pola pemberian air irigasi pada sawah konvensional fase vegetatif kritis pada jarak 170 m, sedang fase generatif pada jarak 75 m menjadi kritis dan pada jarak 178 m menjadi sangat kritis Petak sawah SRI menunjukkan nilai kelayakan pemberian air fase vegetatif mendekati kritis pada jarak 170 m, sedangkan fase generatif telah kritis pada jarak 150 m.

(6)

SUMMARY

AFRI FAJAR. Efficiency of Pipe Irrigation System to Identify the Feasibility of Water Suply in Water Irrigation Management. Supervised By MOH YANUAR J PURWANTO and SURIA DARMA TARIGAN.

Source of irrigation water loss that commonly occurs in an agricultural area for the water supply is runoff and percolation out of the root zone. Various studies have been conducted to find technologies that can improve the efficiency of water use to avoid unnecessary water loss and reduce the amount of water that must be provided to agriculture. Pipe irrigation which have reached 98% efficiency because it can control the use of water as needed and there is no seepage for water supply. Paddy fields inlet distance should also be considered factors other than irrigation technology. Paddy fields inlet distance affect the spread of water in a mapped fields as they relate to application efficiency (Ea) and distribution efficiency (Ed). Pipe irrigation and paddy fields inlet distances can be used as a solution to increase the efficiency of irrigation because Pipe irrigation can control the water and food production increases.

This research was conducted at the Cikarawang Bogor, IPB Soil Physics Laboratory and Integrated Land Resource Laboratory BBLSLP Bogor. The purpose of this research are 1) Studying the application of pipe irrigation in paddy fields based on application efficiency (Ea) and distribution efficiency (Ed); 2) To analyze the feasibility of providing an index based on the value of water application efficiency (Ea) with pipe irrigation technology; and 3) To analyze the feasibility of providing the level of water based on the paddy fields distance inlet in water resources management. The method used in this research is descriptive method that collect primary data and secondary data. Furthermore, the experiment plots Manufacturer pipe irrigation have been installed. Water supply in plots using the System of Rice Intensification (SRI) conventional where plot is given water as high as 2 cm continuously vegetative phase to maturation phase. Soil sampling diagonally from the paddy fields, and then calculated the level of application efficiency (Ea) and distribution efficiency (Ed) in each experimental plot, and then calculating the level of the water as well as the feasibility of providing the ideal distance to the inlet fields.

This study shows the value Ed is above 90% in the conventional system and SRI. This explains the distribution of water in pipe irrigation technology evenly throughout the planting area. Ea value obtained in experimental plots ranged between 76% - 98%. Ea value in the conventional lower than the SRI. This is because in the conventional plots percolation occurs and the water comes out of the root zone and runoff causes a decrease in efficiency.

The simulation results within the inlet paddy fields showed that Ea was

(7)

The feasibility of the water supply based on value obtained from the level Ea feeding patterns of irrigation water in the conventional paddy critical vegetative stage at a distance of 170 m, while the generative phase, at a distance of 75 m becomes critical and at a distance of 178 m to be very critical. SRI paddy fields indicates the value of the vegetative phase feasibility of providing water approaching at a distance of 170 m critical, while the generative phase has been critical at a distance of 150 m.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penuliasan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

EFISIENSI SISTEM IRIGASI PIPA UNTUK

MENGIDENTIFIKASI TINGKAT KELAYAKAN PEMBERIAN

AIR DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulit panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat pada penelitian ini ialah efisiensi air dan kehilangan air dengan judul Efisiensi Irigasi Pipa untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air dalam Pengelolaan Air Irigasi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Moh Yanuar J Purwanto, MS dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu serta masukan dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh civitas akademika Fakultas Pertanian khususnya Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS yang telah membantu penulis dalam penyusunan tulisan ini dan tak lupa pula penulis ucapkan kepada Kementrian Keuangan RI (LPDP) yang telah membiayai penelitian ini.

Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Cut Farida Hamun dan Akhyar Ibrahim yang telah

Penghormatan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Cut Farida Hanum, Amd dan ayahanda Ir. Akhyar Ibrahim, ME yang telah mencurahkan doa dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada abang-abang dan kakak penulis Afri Yordan, MM, Alm. Afri Syafrizal, Afri Fitrayansyah, ST, MT, Afri Rizki, S.S, Zeka Janardiani, SE dan kepada seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis Muhammad Nazar, Ali Akbar, Arief Fadillah, Hakiki Muliadi, Isra Febriyanti, Rama Fitri Ayu, Lupita Keumalasari, Raisa Laura, Nuraida, Mariana Lussia Resubun, Najla Anwar Fuadi Muthmainna Marassabesi, Novia Mustika, Sri Malahayati Yusuf, Rini Fitri, Indri Febriani, Hermawan Kurnia, Mirza Azmi

Husin, Defri Satya Zuma, Khabibi Nurrofi’ P, Sarif Robo, Haki Yusdinar, Bos Ariadi, Purwana Satriyo dan teman-teman di Forum DAS lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu terima kasih atas motivasi, bantuan dan persahabatan yang tulus saat ini. Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran studi ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan ikhlas untuk perbaikan di masa yang akan mendatang. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

Perhitungan Jarak Inlet Pada Petak Sawah 10

Perhitungan Kelayakan Pemberian Air 10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 11

Sifat Fisik Tanah 11

Efisiensi Aplikasi dan Efisiensi Distribusi 13

Jarak Inlet Petak Sawah 17

Perhitungan Tingkat Kelayakan Pemberian Air Irigasi 18

(14)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi pemberian air irigasi 10

2 Nilai sifat fisika tanah pada sawah konvensional dan SRI 11 3 Nilai perhitungan rata-rata Ea pada sawah konvensional dan SRI 13 4 Nilai perhitungan rata-rata Ed pada sawah konvensional dan SRI 14

5 Hasil ekstrapolasi nilai Ea 15

6 Hasil ekstrapolasi nilai Ed 15

7 Hasil simulasi Ea dengan beberapa jarak inlet petak sawah 17 9 Perhitungan KA fase vegetatif pada sawah Konvensional 24 10 Perhitungan KA fase vegetatif pada sawah SRI 24 11 Perhitungan KA fase generatif pada sawah Konvensional 24 12 Perhitungan KA fase generatif pada sawah SRI 25 13 Perhitungan Ed fase vegetatif pada sawah Konvensional 25 14 Perhitungan Ed fase vegetatif pada sawah SRI 25 15 Perhitungan Ed fase generatif pada sawah Konvensional 26 16 Perhitungan Ed fase generatif pada sawah SRI 26 17 Perhitungan Ea fase vegetatif pada sawah Konvensional 26 18 Perhitungan Ea fase vegetatif pada sawah SRI 27 19 Perhitungan Ea fase generatif pada sawah Konvensional 27 20 Perhitungan Ea fase generatif pada sawah SRI 27 21 Data Curah Hujan Tahun 2015 Stasiun BMKG Dramaga 28 22 Data Curah Hujan Tahun 2016 Stasiun BMKG Dramaga 29

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir kerangka pemikiran 2

2 Lokasi Penelitian 6

3 Petak percobaan penelitian 7

4 Sistem pemberian air konvensional 8

5 Sistem pemberian air SRI 8

6 Hubungan Efisiensi aplikasi (Ea) dan Efisiensi distribusi (Ed) 9

7 Kadar air tanah sawah konvensional 12

8 Kadar air tanah sawah SRI 12

9 Grafik perbandingan Ea, Ed pada sawah konvensional dan SRI 14

10 Korelasi antara jarak dan Ea 16

11 Korelasi antara jarak dan Ed 16

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelangkaan air merupakan permasalah sumberdaya air yang banyak terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Menurut Isni et al. (2012), gejala kelangkaan air disebabkan oleh degradasi sumberdaya air, konflik akibat persaingan antara pengguna air, kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air dan lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air. Air dimuka bumi ini pada dasarnya terdapat dalam jumlah yang tetap akan tetapi air yang ada berpindah tempat atau berubah wujud, oleh karena itu penting sekali bagi kita untuk mengatur pemanfaatan air secara efisien agar air dapat memenuhi kebutuhan.

Kehilangan air dapat diukur dari tingkat kelayakan pemberian air yaitu rasio pemberian air yang dapat menentukan tingkat kelayakan pemberian air. Kelayakan pemberian air dapat dinilai berdasarkan nilai kriteria pemberian air irigasi. Kehilangan air dapat diturunkan dengan meningkatkan efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang baik serta dengan teknik budidaya yang hemat air. Peningkatan efisiensi air irigasi untuk lahan produksi pangan, berbagai metode dan teknologi telah dikembangkan, seperti introduksi metode pertanian hemat air dan metode irigasi terputus-putus (Ali et al. 2013).

Sumber kehilangan air irigasi yang umum terjadi pada suatu areal pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi yang keluar dari daerah perakaran (Hansen et al. 1979; Doorenbos dan Pruitt 1977; Huda 2012; Sapei 2000, 2012). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk menghindari kehilangan air yang tidak perlu dan mengurangi jumlah air yang harus disediakan untuk sektor pertanian. Penerapan teknologi irigasi di beberapa negara telah banyak dilakukan dengan adanya pengelolaan air irigasi menggunakan input teknologi irigasi pipa yang dapat meningkatkan efisiensi irigasi sekitar 85% - 95% (Romero et al. 2012; Prastowo 2007; Departemen PU 1994). Irigasi pipa yang memiliki efisiensi mencapai 98% karena dapat mengontrol pemakaian air sesuai kebutuhan dan tidak ada terjadi rembesan selama penyaluran air (Saptomo et al. 2012). Irigasi pipa dapat dijadikan solusi dalam peningkatan efisiensi irigasi karena penggunaan pipa sebagai media penyalur air irigasi dapat dikontrol dan pada akhirnya akan berdampak pada produksi pangan yang meningkat.

Jarak inlet pada petak sawah juga harus diperhatikan selain faktor teknologi irigasi. Jarak inlet berpengaruh terhadap penyebaran air dalam suatu petakan sawah. Masood et al. (2012) menyatakan bahwa Jarak inlet harus diperhatikan karena terkait dengan efisiensi aplikasi dan efisiensi distribusi air. Yoshino et al. (1997) menyatakan manajemen pengairan pada petak sawah juga lebih mudah untuk dikontrol dengan mengetahui panjang jarak inlet petak sawah optimum dan jumlah air yang diberikan akan merata.

(16)

2

agar air yang tersedia dapat dimanfaatkan secara baik dan efisien. Diketahuinya tingkat kelayakan pemberian air pada suatu wilayah maka kita dapat mengatur pemanfaatan air secara baik dan efisien sehingga menjadi salah satu langkah dalam pengelolaan sumberdaya air.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji aplikasi irigasi perpipaan pada petak sawah berdasarkan efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed), menganalisis tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan jarak inlet petak sawah irigasi dan menganalisis indeks kelayakan pemberian air berdasarkan nilai efisiensi aplikasi (Ea) dalam pengelolaan air.

Kerangka Pemikiran

Kehilangan air merupakan masalah krusial yang banyak terjadi saat ini. Kehilangan air secara berlebihan perlu dicegah dengan cara memasukkan teknologi irigasi dan teknik budidaya yang hemat air. Salah satu teknologi tersebut adalah dengan penerapan sistem irigasi pipa yang dapat mengatur debit air sehingga air dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan produksi pertanian khususnya di areal persawahan. Kehilangan air yang relatif kecil akan meningkatkan efisiensi jaringan irigasi, karena efisiensi merupakan salah satu tolok ukur suksesnya pertanian dalam semua jaringan irigasi. Diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.1.

(17)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Efisiensi Irigasi

Air yang dialirkan melalui saluran primer, sekunder dan tersier hingga akhir sampai ke sawah selama perjalanannya akan mengalami kehilangan yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu evaporasi, rembesan ke dalam tanah, pengambilan ilegal oleh petani dan pengambilan oleh penduduk sepanjang saluran (Ditjen Pengairan 1986a). Menurut Triatmodjo (2013b) perbandingan antara jumlah air yang benar-benar sampai ke petak sawah dengan jumlah air yang disadap disebut dengai efisiensi irgasi.

Pemberian air irigasi kepetak sawah dapat dilakukan dengan lima cara (Hansen et al. 1992) yaitu 1). Penggenangan (flooding); 2). Menggunakan alur besar atau kecil; 3). Menggunakan air permukaan tanah melalui sub irigasi; 4). Penyiraman (sprinkling); 5). Menggunakan sistem cucuran (trickle). Umumnya untuk tanaman padi pemberian air baik dengan pengenangan (flooding) maupun alur (furrows) dilakukan dengan cara mengalirkan terus menerus (stagnant constant head) atau dengan berselang (intermittent flow) (Huda et al. 2012).

Sistem genangan terus menerus (stagnant constant head) merupakan pemberian air irigasi secara terus menerus selama satu musim tanam sesuai dengan kebutuhan air untuk tanaman pada periode pengolahan tanah, pertumbuhan tanaman dari tanam sampai dengan panen. Pada sistem intermittent flow adalah salah satu cara pemberian ke petak sawah yang didasarkan pada interval waktu tertentu. Metode irigasi ini disertai metode pengelolaan tanaman padi hingga 30-100% bila dibandingkan dengan metode konvensional (genangan terus menerus).

Umumnya efisiensi irigasi pada saluran primer yaitu sebesar 90%, saluran sekunder sebesar 90% dan saluran tersier sebesar 80%. Angka tersebut berarti bahwa setelah air mengalir melewati saluran primer air yang tersisa adalah 90% dari air yang disadap, yang kemudian air ini mengalir ke saluran sekunder. Setelah melewati saluran sekunder air tersisa 90% dari air yang berasal dari saluran primer atau tinggal 90% dari air yang disadap yaitu 80% dari air yang disadap. Kemudian setelah melewati saluran tersier air yang tersisa 80% dari air yang berasal dari saluran sekunder atau 80% dari 90% dari 90% air yang disadap yaitu 65% dari air yang disadap. Hal ini menunjukkan bahwa air yang sampai ke petak tersier hanya 65% dari air yang disadap dan angka ini umumnya dipakai sebagai nilai efisiensi pada perencanaan irigasi (Sri 2000).

Efisiensi pada irigasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (Ditjen Pengairan 1986a) :

ef = ef1 x ef2 x ef3 (1)

(18)

4

Efisiensi Aplikasi

Efisiensi pemakaian air adalah perbandingan antara jumlah air sebenarnya yang dibutuhkan tanaman untuk evapotranspirasi dengan jumlah air sampai pada suatu intlet jalur. Untuk mendapatkan gambaran efesiensi irigasai secara menyeluruh diperlukan gambaran secara menyeluruh dari gabungan saluran irigasi dan drainase mulai dari bendung yaitu saluran irigasi primer, sekunder, tersier dan kuarter (Siregar 2011; Ali et al. 2013).

Efisiensi aplikasi didefinisikan sebagi jumlah air yang dipakai secara menguntungkan oleh tanaman dibagi dengan jumlah air yang diaplikasikan (James 1988). Efisiensi aplikasi adalah perbandingan antara air yang langsung tersedia bagi tanaman dan air yang diterima di lahan (zona perakaran) (Doorenbos dan Pruitt 1977; Hansen et al. 1979; Purwanto dan Badrudin 1999).

Efisiensi aplikasi dapat dihitung berdasarkan persamaan Hansen (1979), yaitu : Ea = Ws

adalah kedalaman zona perakaran (mm); Rf adalah air yang hilang melalui aliran

permukaan.

Efisiensi Distribusi

Efisiensi distribusi air berguna untuk menunjukan keseragaman penyebaran air di daerah perakaran untuk irigasi bukan genangan selama waktu irigasi, dan dapat dinyatakan dengan persamaan :

Ed = 100 x 1 - Y

d (5)

dimana Ed adalah efisiensi distribusi air (%); Y adalah rata-rata kedalaman air; d adalah rata-rata kedalaman air yang tersimpan di daerah perakaran.

Teknologi Irigasi Pipa

Pemberian air irigasi menurut Hansen et al. (1979) terbagi menjadi empat metode, yaitu irigasi permukaan, irigasi bawah permukaan, irigasi curah dan irigasi tetes. Metode pemberian air irigasi di Indonesia yang telah diterapkan diantaranya irigasi permukaan, irigasi bawah permukaan, irigasi tetes, irigasi curah dan irigasi kendi.

(19)

5 Saptomo et al. 2004) yang menggunakan pompa untuk mengalirkan air ke dalam atau keluar dari lahan pertanian.

(20)

6

3

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Tahap penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan data primer, data skunder dan pengolahan data. Data primer merupakan data hasil pengukuran di lapangan meliputi data debit aliran pada petakan percobaan (input dan output), bulk density, kadar air tanah serta fraksi pasir, debu dan liat. Data sekunder meliputi data iklim, dan data debit aliran.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kebun percobaan IPB Desa Cikarawang yang terletak di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor (Gambar 3.1). Desa Cikarawang memiliki luas 226.56 Ha dan terletak pada koordinat 106º43’45.56” BT dan 6º33’0.20” LS. Desa Cikarawang secara umum berupa dataran yang 128.11 ha atau 56.55% dari total luas desanya merupakan persawahan. Batas secara administratif Desa Cikarwang sebelah utara berbatasan denga Sungai Cisadane, sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Ciapus, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede dan disebelah barat berbatasan dengan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane.

Penelitian ini dilakukan pada Mei 2015 sampai Mei 2016 dan Analisis fisika tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Sumberdaya Tanah Terpadu BBLSLP Bogor, sedangkan untuk kalibrasi segitiga Thompson dilakukan di Laboratorium Hidrologi dan Hidromekanika Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor.

(21)

7

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sistem irigasi pipa, ring sample, cawan, timbangan analitik, oven, hand tractor, cangkul dan segitiga Thompson. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu benih padi IPB 3S, pupuk organik, dan pestisida.

Prosedur Analisis Data

Pembuatan Petak Percobaan

Petak percobaan memiliki panjang 20 meter dan panjang 20 meter. Sebelum petak percobaan dibuat dilakukan pengolahan lahan dengan menggunakan traktor tangan. Tanah diolah dengan bajak singkal satu kali kemudian dilanjutkan dengan pembuatan dua petak percobaan. Petak percobaan pertama mengaplikasikan teknologi budidaya SRI (System of Rice Intensification), sedangkan untuk petak percobaan kedua mengaplikasikan teknologi budidaya konvensional.

Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah diambil dengan menggunakan ring sample dengan tiga titik sampel secara diagonal dari pematang sawah (Gambar 3.2). Kedalaman pengambilan sampel pada setiap titik pengamatan yaitu 5 cm dan 15 cm, untuk setiap titiknya diambil sebanyak tiga kali ulangan.

Pengukuran Kadar Air

Teknik pengukuran kadar air tanah diklasifikasikan ke dalam dua acara, yaitu langsung dan tidak langsung. Pengukuran kadar air pada penelitian ini menggunakan metode langsung (gravimetrik) pada prinsipnya mencakup pengukuran kehilangan air dengan menimbang contoh tanah sebelum dan sesudah dikeringkan pada suhu 105°C dalam oven selama 24 jam. Pengambilan sampel untuk kadar air juga dilakukan sama seperti pengambilan sampel tanah,

Gambar 3.2 Petak percobaan penelitian

(22)

8

kedalaman pengambilan sampel setiap titik pengamatan yaitu 5 cm dan 15 cm dan setiap titiknya diambil sebanyak tiga kali ulangan. Pengambilan sampel untuk kadar air dilakukan setiap hari pada pukul 07.00 WIB.

Sistem Pemberian Air Irigasi

Petak percobaan yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah dengan sistem pemberian air irigasi yang dilakukan dengan metode konvensional (Gambar 3.3) dan SRI (Gambar 3.4). Kedua metode pemberian air ini untuk melihat efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed) dikombinasikan dengan menggunakan sistem irigasi pipa.

Petak percobaan yang akan dibandingkan adalah sistem pemberian air irigasi yang dilakukan dengan sistem konvensional (Gambar 3.3) dan SRI (Gambar 3.4) dengan aplikasi teknologi irigasi pipa. Pada pemberian air dengan metode konvensional, pemberian air pada petakan sawah akan selalu digenangi setinggi 2 cm di atas permukaan tanah dari fase vegetatif sampai masa persiapan panen. Sedangkan untuk metode SRI pemberian air dilakukan secara terputus-putus (intermitten) yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan air tanaman pada setiap fase tanaman. Untuk satu siklus pemberian air irigasi yaitu lima hari atau sampai kondisi tanah di petak sawah telah terjadi retak rambut, barulah air diberikan lagi ke petak sawah.

Gambar 3.3 Sistem pemberian air konvensional (Ibrahim 2008)

0 HST 45 HST 75 HST 85 HST

(23)

9

Perancangan Irigasi Pipa

Sistem irigasi yang digunakan pada penelitian ini adalah irigasi pipa dengan saluran tertutup. Terdapat reservoir sebagai kolam penampungan air yang selanjutnya akan dialirkan ke irigasi pipa. Pada saluran tertutup ini terdapat pipa utama dengan diameter 6 inci yang panjangnya 52 meter. Air dialirkan ke petakan sawah dengan pipa 2.5 inci dan irigasi pipa ini menggandalkan gaya gravitasi dengan kemiringan 2 cm. Terdapat bola pelampung didalam pipa yang berfungsi untuk menutup masuknya air jika sawah dalam keadaan cukup air.

Pengukuran Debit Air

Debit air diukur setelah instalasi irigasi pipa di petakan sawah. Perhitungan debit air yang masuk ke dalam petakan sawah melalui inlet diukur bedasarkan besar bukaan stopkran pada inlet. Hasil pengukuran pada inlet menunjukkan bahwa debit air yang masuk ke petak sawah sebesar 0.3 l d-1. Perhitungan debit air yang keluar dari petak sawah dilakukan dengan menggunakan segitiga Thompson yang telah dikalibrasi. Pengamatan debit air dilihat dari berapa tinggi muka air yang terjun melalui segitiga Thompson dan kemudian disesuaikan dengan hasil perhitungan kalibrasi segitiga Thompson yang telah dilakukan di laboratorium.

Perhitungan Tingkat Efisiensi

Selanjutnya dengan adanya data jumlah air yang dibutuhkan tanaman padi dan total jumlah air yang diaplikasikan, maka simulasi efisiensi aplikasi (Ea) dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan 2. Nilai perhitungan Ea yang dihitung di lapangan yaitu sebanyak tiga titik dengan jarak antar titik 9.4 m. Perhitungan efisiensi distribusi (Ed) di petak sawah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 5. Diketahuinya tingkat efisiensi pemanfaatan air dengan sistem irigasi pipa maka dapat di kuantifikasikan jumlah kebutuhan air tanaman yang harus diberikan sehingga air yang diberikan sesuai dengan kebutuhan (Gambar 3.5) dan dapat mengelola ketersediaan air.

Gambar 3.5 Hubungan Efisiensi aplikasi (Ea) dan Efisiensi distribusi (Ed) terhadap pertumbuhan tanaman (sumber Hansen et al. 1979)

(24)

10

Perhitungan Jarak Inlet Pada Petak Sawah

Perhitungan jarak inlet pada petak sawah dilakukan setelah mendapatkan nilai Ea. Selanjutnya dari nilai Ea tersebut diekstrapolasi hingga jarak 180 m dengan regresi linier.

Perhitungan Kelayakan Pemberian Air

Perhitungan kelayakan pemberian air dapat dilakukan setelah mendapatkan nilai efisiensi aplikasi (Ea). Penentuan kelayakan pemberian air dapat dilakukan berdasarkan kriteria sistem pemberian air irigasi. Kriteria pemberian air irigasi disajikan dalam Tabel 3.1. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai kelayakan pemberian air yaitu sebagai berikut:

KPA = (1-Ea) x 100 (6)

dimana KPA merupakan kelayakan pemberian air (%), Ea merupakan efisiensi aplikasi dalam %.

Penentuan tingkat kelayakan pemberian air ditentukan berdasarkan kriteria pemberian air irigasi. Bila semakin besar nilai kelayakan air maka semakin besar nilai efisiensinya, begitu pula sebaliknya.

Tabel 3.1 Klasifikasi pemberian air irigasi

KPA Sistem Pemberian Air Kategori

> 65% Kontinyu Belum Kritis

65% Rotasi Sub Tersier Mendekati Kritis

65% > Q max > 35% 2 Golongan dibuka, 1 golongan ditutup Kritis

< 35% 1 Golongan dibuka, 2 golongan ditutup Sangat Kritis

(25)

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik Tanah

Hasil uji tanah dilaboratorium diketahui bahwa tanah sawah dilahan percobaan memilki tekstut liat. Tanah dengan tekstur liat memiliki kapasitas menahan air yang relatif tinggi karena adanya ruang pori yang halus dan banyak. Analisis tanah dilakukan pada sifat fisik tanah yaitu bulk density, ruang pori, air tanah dan pF. Rata-rata nilai bulk density, ruang pori, air tanah dan pF dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Nilai sifat fisika tanah pada sawah konvensional dan SRIa Sawah Kedalaman

aSumber : Hasil analisis laboratorium

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata bulk density tanah pada kedalaman 0-10 cm cenderung lebih tinggi yaitu 1.06 untuk sawah konvensional dan 1.09 untuk sawah SRI, dibandingkan dengan lapisan 11-20 cm yaitu 0.9 untuk sawah konvensional dan 1 untuk sawah SRI. Hasil analisis tanah terhadap pF 2.54 dan pF 4.2 menunjukkan bahwa nilai pF yang diperoleh pada sawah konvensional dan sawah SRI relatif sama yaitu berkisar antar 26.5 hingga 30.8.

Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 menunjukkan kondisi kadar air tanah pada kedalaman 5 cm dan 15 cm baik pada petak sawah konvensional maupun sawah SRI pada fase vegetatif dan fase generatif. Kadar air jenuh merupakan kondisiair dilapangan cukup tersedia dan tidak mengalami kekurangan air. Pada sawah konvensional terdapat kadar air di atas kadar air jenuh. Hal ini dikarenakan pemberian air pada sawah konvensional dilakukan secara kontinu, sedangkan pada sawah SRI dapat dilihat pada fase vegetatif 26 sampai 28 HST terjadi penurunan kadar air yang diakibatkan sistem pemberian air secara intermitent (terputus-putus). Kadar air akan naik apa bila air pada irigasi diberikan lagi ke sawah atau terjadinya hujan. Pada fase generatif terjadi penurunan kadar air mulai pada 73 sampai 76 HST, hal ini terjadi karena tidak diberikannya air pada petak sawah dan tidak terjadinya hujan selama hari tersebut. Pemberian air dilakukan kembali ke petak sawah saat petak sawah telah ditandai dengan terjadinya retak rambut.

(26)

12

Gambar 4.2 Kadar air tanah sawah konvensional

Gambar 4.3 Kadar air tanah sawah SRI

(27)

13 Pemberian air irigasi diharapkan mampu mengisi air tanah pada kondisi retensi lengas tanah yaitu antara pF 2 sampai dengan 2.54 (kapasitas lapang). Kondisi kapasitas lapang merupakan keadaan tanah cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi. Air yang dapat ditahan oleh tanah tersebut terus menerus diserap oleh akar-akar tanaman atau menguap sehingga tanah semakin lama semakin kering. Kondisi saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air yaitu pada kondisi pF 4.2 menyebabkan tanaman menjadi layu dan kondisi ini disebut titik layu permanen (Sirait et al. 2015).

Efisiensi Aplikasi dan Efisiensi Distribusi

Penelitian ini menggunakan irigasi pipa dalam pemberian air ke petak sawah. Pemberian air diberikan sesuai dengan skema pemberian air yang telah ditetapkan. Petak sawah konvensional digenangi air secara terus menerus dan pada petak sawah SRI air diberikan secara terputus-putus. Air yang diberikan pada petak sawah konvensional setinggi 2 cm dari awal penanaman sampai 85 HST. Petak SRI air diberikan secara terputus-putus (intermittent) dari awal penanaman sampai 85 HST, sedangkan penggenangan sawah setinggi 2 cm dilakukan hanya saat dilakukan penyiangan. Pengeringan sawah konvensional dan SRI hanya dilakukan saat pemupukan dan pada masa persiapan panen (86 - 100 HST).

Perhitungan efisiensi aplikasi dan efisiensi distribusi disajikan pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa efisiensi aplikasi yang tinggi ditunjukkan pada petak sawah SRI yaitu 98.95 % pada fase vegetatif dan 93.15 % pada fase generatif, hal ini karena ketersedian air pada zona perakaran tersimpan dengan baik dan air diaplikasikan kembali jika tanah sudah retak rambut (Huda et al. 2012). Jadi karena hal itulah air tidak terbuang secara percuma, serta dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air pada petak persawahan (Rianto 2006; Allen et al. 2006; Sumaryanto 2006). Pola pemberian air irigasi pada sistem SRI diatur agar lahan cukup kering namun tetap mencukupi kebutuhan air tanaman. Intermittent flow adalah salah satu cara pemberian air ke petas sawah yang didasarkan pada interval waktu tertentu dengan debit dan luas area yang sudah ditetapkan terlebih dahulu sehingga diperoleh hasil yang optimal (Hansen et al. 1979; Purba 2011; Huda et al. 2012).

Tabel 4.2 Nilai perhitungan rata-rata Ea pada sawah konvensional dan SRIa

(28)

14 permukaan tanah digenangi secara terus menerus dari tanam sampai pengisian bulir. Sawah hanya dikeringkan pada saat pemupukan. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Ea tertinggi sebesar 83.91 % pada fase vegetatif dan 81.82 % pada fase generatif, sedangkan nilai Ea terendah sebesar 81.35% untuk fase vegetatif dan 76.12% untuk generatif. Hal ini terjadi karena air yang diaplikasikan pada sawah konvensional terjadi perkolasi dan ada yang terbuang ke drainase karena air yang diaplikasikan telah jenuh sebesar 2 cm. Rendahnya nilai efisiensi aplikasi (Ea) disebabkan oleh tingginya perkolasi atau aliran permukaan. Menurut Hasen et al. (1980); Sapei (2012) sumber kehilangan air irigasi yang umum dari suatu areal pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi dalam keluar dari daerah perakaran.

Keseragaman distribusi menjelaskan meratanya distribusi air suatu sistem irigasi ke seluruh areal tanaman. Keseragaman distribusi air yang tinggi memungkinkan pertumbuhan tanaman seragam dan lebih baik. Menurut Heermann et al. (1992), untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang seragam diperlukan pendistribuasian air secara seragam keseluruh areal.

Gambar 4.4 Grafik perbandingan Ea, Ed pada sawah Konvensional dan SRI Gambar 4.4 menunjukkan bahwa sawah konvensional titik 3 pada fase

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3

Vegetatif Generatif

(29)

15 sebesar 98.98 %, sedangkan pada fase generatif nilai Ea terendah juga terdapat pada titik 3 sebesar 76.11 % dan Ed 98.95 %. Menurut Idrus (1998), nilai kinerja

Ea pada irigasi di atas ≥ 70 % sudah menunjukkan bahwa kinerja irigasi itu Dari hasil yang diperoleh dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa kinerja irigasi tergolong baik atau tinggi. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah di petak penelitian yang tergolong liat, jadi air akan sulit menembus lapisan tapak bajak karena kedap air, serta kandungan bahan organik yang dapat menahan air di dalam tanah (Purba 2011; Sapei 2000, 2012; Ali et al. 2013; Ahn & Kang 2014). Pada lokasi penelitian Ed yang diperoleh cenderung sama antara petak sawah konvensional dan SRI ini juga dikarenakan pada penelitian curah hujan yang tinggi.

Setelah diperoleh nilai Ea dan Ed dilapangan kemudian dilakukan ektrapolasi pada jarak yang lebih jauh yaitu jarak 10 m sampai 180 m. Hasil ektrapolasi jarak rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5.

Tabel 4.4 Hasil ekstrapolasi nilai Eaa

Ea (%) Jarak (m)

Tabel 4.5 Hasil ekstrapolasi nilai Eda

Ed (%) Jarak (m)

(30)

16

perhitungan Ea dan Ed menunjukkan bahwa dengan menggunakan irigasi pipa pada sawah dengan pemberian air secara SRI nilai efisiensi irigasi lebih tinggi dibandingkan dengan sawah dengan sistem pemberian air secara konvensional pada masing-masing jarak. Korelasi antara jarak dengan nilai Ea dan korelasi antara jarak dengan nilai Ed pada masing-masing sawah dapat dilihat pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.

Gambar 4.5 Korelasi antara jarak dan efiensi aplikasi (Ea)

Gambar 4.6 Korelasi antar jarak dan efisiensi distribusi (Ed)

Jarak 180 m nilai efisiensi aplikasi sawah konvensional diperoleh nilai Ea 37.86% pada fase vegetatif dan 66.68% pada fase generatif, untuk sawah SRI yaitu 38.12% pada fase vegetatif dan 44.05% pada fase generatif. Kriteria irigasi pipa yang baik memiliki nilai efisiensi diatas 90%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai Ea yang berada diatas 90% yaitu hanya pada sawah SRI

y = -1.2851x + 85.252

Vegetatif Kon Vegetatif SRI Generatif Kon Generatif SRI

y = -0.015x + 99.031

(31)

17 pada jarak 10 m sampai 50 m pada fase vegetatif, sedangkan pada fase generatif Ea di atas 90% pada jarak 10 m sampai 30 m. Akan tetapi untuk pengairan sawah

dengan menggunakan irigasi pipa efisiensinya harus ≥ 90% (Sirait 2015). Pada sawah konvensional efisiensi aplikasi tidak mencapai 90% karena air yang diberikan selalu tergenang yang menyebabkan air keluar dari zona perakaran.

Efisiensi distribusi pada jarak 180 m fase vegetatif dan generatif pada sawah konvensional yaitu 98.76% dan 98.77% sedangkan sawah SRI 98.60% dan 98.57%. Hal ini menunjukkan bahwa pada sawah konvensional dan SRI nilai Ed pada jarak 180 m masih tergolong baik karena nilai Ed berada diatas 90%. Hansen et al. (1979) menyatakan bahwa hubungan efisiensi aplikasi dan efisiensi distribusi pada irigasi konvensional terhadap pertumbuhan tanaman yang baik memiliki nilai Ea yang dapat ditolerir yaitu 70% dan nilai Ed minimum yaitu 80%. Hasil ekstrapolasi menunjukkan pada jarak 10 m sampai 30 m untuk sawah SRI Ea tergolong sangat baik pada fase vegetatif maupun generatif, namun pada sawah konvensional terjadi penurunan Ea yang signifikan pada fase generatif pada jarak 50 m sebesar 70.41%.

Jarak Inlet Petak Sawah

Penelitian ini menggunakan input teknologi irigasi pipa sehingga penggunaan air lebih efisien dan dapat terkontrol. Keuntungan penggunaan irigasi pipa mampu mengurangi kehilangan air yang disebabkan oleh rembesan, evaporasi selama transportasi air dari saluran ke petak sawah serta irigasi pipa memiliki efisiensi irigasi mencapai 90 % (Sapei 2000; Saptomo et al. 2004; Saptomo et al. 2012; Siebert & Doll 2010; Purwanto et al. 2012).

(32)

18

90%. Hal ini terjadi karena sistem pemberian air secara konvensional menyebabkan air terbuang karena penggenangan yang dilakukan. Menurut Siebert & Doll (2010) bahwa rata-rata hasil produksi tanaman biji-bijian dengan sistem irigasi adalah 4.4 ton ha-1, sedangkan dengan sistem tadah hujan sebesar 2.7 ton ha-1. Sebesar 42% dari produksi tanaman biji-bijian pada umumnya berasal dari

lahan irigasi dan tanpa irigasi hasil produksi akan menurun sebesar 20%.

Tabel 4.6 menunjukkan hasil simulasi perhitungan nilai Ea dan kebutuhan air petak tersier pada panjang 15 m, 35 m, 45 m, 70 m dan 100 m. hasil simulasi

menujukkan bahwa Ea yang baik (≥ 90%) didapatkan pada pajang jarak inlet petak sawah 15 m dan 30 m dengan sistem pemberian air secara SRI. Jarak inlet petak sawah yang efisien dengan menggunakan panjang irigasi pipa sebaiknya menggunakan panjang jarak 30 m, selain akan memudahkan saat pengolahaan tanah juga lebih efisien dalam instalasi pemasangan irigasi pipa. Selain itu air yang dialirkan dari saluran dapat menyebar dengan merata dibandingkan dengan disain petak yang 15 m yang jaraknya lebih kecil dan perbedaan efisiensi antara masing-masing jarak 30 m dan air yang dibutuhkan hanya 108.53 l d-1.

Perhitungan Tingkat Kelayakan Pemberian Air Irigasi

Analisis tingkat kelayakan pemberian air dilakukan agar dapat mengetahui berapa besar pemanfaatan air secara efisien. Penentuan tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan dari nilai pemberian air irigasi dilakukan setelah diketahui nilai Ea. Nilai Ea yang digunakan adalah nilai antara fase vegetatif dan generatif setiap titik pengamatan yang dilakukan pada sawah konvensional dan sawah SRI. Hasil Perhitungan kelayakan pemberian air pada sawah dengan metode pemberian air secara konvensional dan SRI dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 menunjukkan tingkat kelayakan pembarian air yang dihitung pada penelitian ini dengan jarak yang telah diekstrapolasi hingga 180 m. Nilai pemberian air irigasi pada petak sawah konvensional menunjukkan pada fase vegetatif kriterianya kritis pada jarak 170 m, sedangkan pada fase generatif pada jarak setelah 75 m kelayakan pemberian air telah kritis dan pada jarak 178 m menjadi sangat kritis. Petak sawah SRI menunjukkan nilai kelayakan pemberian air fase vegetatif mendekati kritis pada jarak 170 m, sedangkan fase generatif telah kritis pada jarak 150 m. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai Ea maka tingkat kelayakan pemberian air pada areal irigasi yang semakin baik.

(33)

19 mengairi areal persawahan yang lebih luas dan menekan kehilangan air selama pendistribusian air dari bendung samai ke petak-petak sawah.

Gambar 4.5 Kelayakan pemberaian air pada petak sawah Konvensional dan SRI pada fase vegetatif dan generatif

(34)

20

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penelitian ini menunjukkan nilai Ed di atas 90% pada perlakuan pemberian air konvensional dan SRI. Hal ini menjelaskan distribusi air pada sistem irigasi pipa merata keseluruh areal tanam. Nilai Ea yang diperoleh pada petak percobaan berkisar antara 76%–98%. Perlakuan pemberian air konvensional nilai Ea lebih rendah dibandingkan dengan SRI. Hal ini dikareankan air pada sawah konvensional terjadi perkolasi dalam sehingga air keluar dari zona perakaran dan terjadinya aliran permukaan yang menyebabkan penurunan efisiensi.

Hasil simulasi jarak inlet petak sawah menunjukkan bahwa Ea yang baik

(≥ 90%) didapat pada jarak 30 m dengan sistem pemberian air secara SRI. Jarak inlet petak sawah dengan rancangan irigasi pipa yang efisien menggunakan jarak 30 m. Jarak inlet petak sawah dengan panjang 100 m tidak disarankan karena membutuhkan air lebih banyak yaitu 133.33 l d-1. Penggunaan air akan lebih hemat 10.25% untuk mencapai jarak 100 m jika jarak inlet petak dibagi tiga dengan masing-masing jarak 30 m dan air yang dibutuhkan hanya 108.53 l d-1.

Tingkat indek kelayakan pemberian air berdasarkan nilai Ea diperoleh tingkat kekritisan air pada sawah konvensional fase vegetatif nilai kelayakan pemberian air kritis pada jarak 170 m, sedang fase generatif pada jarak 75 m mendekati kritis dan pada jarak 178 telah sangat kritis. Petak sawah SRI menunjukkan nilai kelayakan pemberian air pada fase vegetative dengan jarak 170 m telah kritis dan fase generatif pada jarak 150 m telah kritis.

Saran

(35)

21

DAFTAR PUSTAKA

Adams H D, Luce CH, Breshears D.D, Allen C.D,Weiler M,Hale V.C, Smith A.M.S, Huxman T.E. 2011. Ecohydrological consequences of drought and infestationtriggered tree die-off: insights and hypotheses. Ecohydrol 5: 145-159. Doi:10.1002/eco.233.

Ahn J, Kang D. 2014. Optimal planning of water supply system for long-term sustainability. Journal of Hydro-environment Research. 8: 410-420.

Allen R G, Pereira L S, Raes D, Smith M. 2006. Crop Evapotranspiration (guidelines for computing crop water requirements). Rome (IT): FAO No. 56.

Ali MH, Abustan I, Puteh AB. 2013. Irrigation management strategies for winter wheat using aquacrop model. J Natur Resourc and Develom. 3:106-113.doi:10.5027/jnrd.v3i0.10.

[Departemen PU] Departemen Pekerjaan Umum. 1994. Prospek Penerapan Irigasi Sprinkel dan Drip di Indonesia [laporan studi]. Jakarta (ID): Departemen PU.

[Ditjen Pengairan] Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum. 1986a. Standar Perencanaan Irigasi KP-01. Bandung (ID): Galang Persada. [Ditjen Pengairan] Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum.

1986b. Standar Perencanaan Irigasi, Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP-03. Bandung (ID): Galang Persada.

Doorenbos J, Pruitt WO. Guideline for Predicting Crop Water Requirements. Rome (IT): FAO.

Hansen VE, Israelen WO, Stringham GE. 1979. Irrigation Principles and Practices. New York (US): John Wiley and Sons.

Hansen VE, Israelen WO, Stringham GE.1992. Dasar-dasar dan Praktek Irigasi. Jakarta (ID): Erlangga.

Heermann DF, Wllander WW, Bos MG. 1992. Irrigation Efficiency And Uniformity In Design And Management of Farm Irrigation System. New York (US): American Society of Agricultural Engineers.

Huda MN, Harisuseno D, Priyantoro D. 2012. Kajian pemberian air irigasi sebagai dasar penyusunan jadwal rotasi pada daerah irigasi Tumpang Kabupaten Malang. Jurnal Teknik Pengairan. 3(2): 221-229.

Ibrahim A. 2008. Prinsip-prinsip Tanaman Padi Metode SRI (System of Rice Intensification) Organik. Banda Aceh (ID): Youth Service Foundation. Idrus M. 1998. Kajian kinerja irigasi alur dengan pendekatan model simulasi

[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Isni M, Basri H, Romano. 2012. Nilai ekonomi ketersediaan hasil air dari sub das Krueng Jreu Kabuaten Aceh Besar. J Manajemen Sumberdaya Lahan. 1(2):184-193.

James LG. 1988. Farm Irrigation System Design. New York (US): John Wiley and Sons.

Masood MA, Raza I, Yaseen M. 2012. Estimation of optimum field plot size and shape in paddy yield trial. J Agric Res. 25(4): 280-287.

(36)

22

Purwanto MYJ, Erizal, Anika N. 2012. Development of pipe irrigation system in tertiary level for increasing irrigation efficiency and food production. J Irigasi. 7(2):99-109.

Purwanto MYJ, Badrudin U. 1999. Fluktuasi kelembaban tanah pada budidaya gogorancah. Buletin Keteknikan Pertanian. 13(1):1-7

Prastowo. 2007. Pengembangan model rancangan irigasi tetes pada sistem irigasi airtanah dangkal yang berkelanjutan di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rejekiningrum P. 2014. Idenfikasi kekritiasan Air untuk perencanaan penggunaan air agar tercapai ketehanan air di DAS Bengawan Solo. Penerapan Sains dan teknologi Dalam Pemberdayaan Masyarakat; 2014 September 23; Tanggerang Selatan, Indonesia. Tanggerang (ID): Pustaka UT FMIPA. hlm 170-184.

Rianto S. 2006. Efisiensi Irigasi Tanaman Padi (Oryza sativa.) dengan Metode SRI (System of Rice Intensification) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Romero R, Muriel JL, Garcia I, Munoz de la Pena D. 2012. Research on aoutomatic irrigation control: State of the art and recent result. J

Agricultural Water Management. 114:59-66.

doi:10.1016/j.agwat.2012.06.026.

Sapei A. 2000. Kajian penurunan laju perkolasi lahan sawah baru dengan lapisan kedap buatan (artificial impervious layer). Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian; 2000 Juli 11-13: Bogor, Indonesia. Bogor (ID): hlm 1-39. Sapei A. 2012. Lapisan kedap buatan untuk memperkecil perkolasi lahan sawah

tadah hujan dalam mendukung irigasi hemat air. J Irigasi. 7 (1):52-58. Saptomo SK, Chaidirin Y, Setiawan BI, Sofiyuddin HA. 2012. Peningkatan

efisiensi irigasi dengan introduksi sistem otomatisasi pada sistem irigasi di lahan produksi pangan. Bandung (ID): Pertemuan Ilmiah Tahunan 29 Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia. 19-12 Oktober 2012:407-417. Saptomo SK, Setiawan BI, Nakano. 2004. Water regulation in tidal agriculture

using wetland water level control Simulator. J Scientif Resear and Developm. 3(1).

Setiawan BI, Sato Y, Saptomo SK, Saleh E. 2002. Water regulation in tidal agriculture using wetland water level control simulator. Reikirchen. 3(5):259-266.

Sirait S, Saptomo SK, Purwanto MYJ. 2015. Rancang bangun sistem otomatisasi irigasi pipa lahan sawah berbasis tenaga surya. J Irigasi. 10 (1):21-32. Siebert dan Doll. 2010. Quantifying blue and greenvirtual water contents in global

crop production losses without irrigation. J of Hydrology. 384(3-4):198-217. Siregar N. 2011.Efektifitas dan efisiensi saluran terbuka [tesis]. Medan (ID):

Universitas Sumatra Utara.

Sri HB. 2000. Hidrologi, Teori, Masalah dan Penyelesaian. Yogyakarta (ID): Beta Offset.

Sumaryanto. 2006. Peningkatan efisiensi penggunaan air irigasi melalui penerapan iuran irigasi berbasis nilai ekonomi air irigasi. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 24 (2): 77-91.

(37)
(38)

24

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Kadar Air pada fase vegetatif pada sawah Konvensional No Tanggal Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm Lampiran 2. Perhitungan Kadar Air pada fase vegetatif pada sawah SRI No Tanggal Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

Lampiran 3. Perhitungan Kadar Air pada fase generatif pada sawah Konvensional

(39)

25 Lampiran 4. Perhitungan Kadar Air pada fase generatif pada sawah SRI

No Tanggal Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

Lampiran 5. Perhitungan Ed pada fase vegetatif pada sawah Konvensional No Tanggal

Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Lampiran 6. Perhitungan Ed pada fase vegetatif pada sawah SRI

No Tanggal

Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

(40)

26

Lampiran 7. Perhitungan Ed pada fase generatif pada sawah Konvensional No Tanggal

Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Lampiran 8. Perhitungan Ed pada fase generatif pada sawah SRI

No Tanggal

Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Lampiran 9. Perhitungan Ea pada fase vegetatif pada sawah Konvensional

Tanggal

Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

(41)

27 Lampiran 10. Perhitungan Ea pada fase vegetatif pada sawah SRI

Tanggal

Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Lampiran 11. Perhitungan Ea pada fase generatif pada sawah Konvensional

Tanggal

Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 1 Titik 2 Titik 3 Lampiran 12. Perhitungan Ea pada fase generatif pada sawah SRI

Tanggal

Kedalaman 5 cm Kedalaman 15 cm

(42)

28

Lampiran 13. Data Curah Hujan Tahun 2015 Stasiun BMKG Dramaga

Tanggal Jumlah Curah Hujan (mm)

(43)

29 Lampiran 14. Data Curah Hujan Tahun 2016 Stasiun BMKG Dramaga

Tanggal Jumlah Curah Hujan (mm)

(44)

30

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian
Gambar 3.2 Petak percobaan penelitian
Gambar 3.3 Sistem pemberian air konvensional (Ibrahim 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan terhadap irigasi yang baik diperlukan agar dapat menjamin ketersediaan air selama berlangsungnya musim tanam sesuai dengan kebutuhan normal inasitig-

yang mengatakan bahwa keberperanan pemuka masyarakat untuk mendorong partisipasi anggota P3A dalam pengelolaan air irigasi berkaitan luasan sawah mereka yang besar.

Pengaruh sistem pemberian air dan jarak tanam terhadap jumlah anakan disajikan pada Tabel 2, yang memperlihatkan bahwa perbedaan jumlah anakan rata- rata pada ketiga