• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA KANDUNG (Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA KANDUNG (Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH

ORANG TUA KANDUNG

(Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot)

Oleh:

Heri Wijaya Sairat

Anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak harus dilindungi dari tindak kejahatan khususnya kejahatan asusila. Hal ini karena anak sering kali menjadi korban tindak pidana asusila seperti pencabulan dan perkosaan yang tak jarang pula pelakunya adalah orang dekat dari korban. Seperti yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Tanggamus pada perkara dengan Terdakwa Zakarsih bin Sobirin yang melakukan tindakan perkosaan dan pencabulan terhadap anak kandungnya. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan permasalahan: a) Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung? b) Apakah putusan hakim kepada orang tua pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung sudah memenuhi rasa keadilan?

Metode yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan nara sumber, yaitu hakim, jaksa dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Kesimpulan diambil menggunakan metode deduktif.

(2)

Saran penelitian ini adalah aparat penegak hukum khususnya hakim sebaiknya memberikan pidana yang setimpal sesuai dengan undang-undang dan rasa keadilan kepada pelaku pencabulan dan pemerkosa anak guna memberikan efek jera kepada pelaku dan pelajaran kepada masyarakat.

(3)

(Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot)

Oleh:

Heri Wijaya Sairat

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)

Penulis dilahirkan di Bandarlampung pada tanggal 18November 1993, yang merupakan putra keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Saifuddin Ahra, B.Sc. dan IbuRatna Juita, S.pd. Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah Dasar di SDN 1 Raja Basa lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan studi di SMP Al-Kautsar lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan studi di SMAN 13Bandarlampunglulus pada tahun 2011.

(7)

PERSEMBAHAN

Puji syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah S.W.T. Ku persembahkan karya skripsi ini untuk:

Ayah dan Ibuku, ‘‘Saifuddin Ahra,B.Sc” dan ‘‘Ratna Juita S.Pd” serta kakak

-kakakku tercinta yang dengan penuh pengorbanan memberikan dorongan moril dan kasih sayang,sehingga penulis berhasil menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.

(8)

MOTTO

“Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau lain waktu. Diri

(9)

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Analisis

Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan

Oleh Orang Tua Kandung (Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot)” adalah

salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana

yang telah banyak membantu dalam proses perkuliah di Bagian Hukum

Pidana;

3. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah memberikan

saran dan masukan yang bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Lampung;

4. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah

sabar memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi

(10)

memberikan saran dan masukan sehingga penulisan skripsi ini lebih baik dan

bermanfaat;

6. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang yang telah memberi

masukan guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini;

7. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan

wawasan dan cakrawala pengetahuan ilmu hukum yang sangat berguna bagi

pengembangan wawasan penulis;

8. Kedua orang tuaku Saifudiin Ahra B.Sc dan Ratna Juita S.pd yang sabar

mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis sampai menjadi seorang

Sarjana Hukum. Semoga Allah S.W.T. memberikan rahmat-Nya kepada

kalian hingga akhir kelak;

9. Kakak-kakakku Aprilina, S.P., Maria Agustina S.IP., dan M.Haikal

Ahra,S.H.,M.H.I., yang tak henti hentinya memberikan semangat, terima

kasih atas dukungannya selama ini; dan

10. Orang yang paling aku sayangi Adies Junita Sari, S.H., yang selalu

menemaniku dalam keadaan suka maupun duka;

11. Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah Hendra Ari Saputra, Hendra

Prasetyo, Jevi Ternando,S.H, Dede Ariyandi, Anton, Abi Zuliansyah,S.H, dan

Riki yang telah banyak membantu baik dalam suka maupun duka.

12. Novriadi, Bc.Ip, S.H., M.M. selaku Ka.Rutan Kota Agung serta kawan kawan

sekantorku Radityo, Ferdiansyah, S.H.I., Gerry Tri Aryadi, Yhodiansyah

Niko tama, Andius Silaban dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu

(11)

tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita

semua. Amin.

Bandar Lampung, 10 Juli 2015

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

Hlm.

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 18

A. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan ... 18

B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perkosaan ... 20

C. Pengertian Anak Sebagai Korban ... 21

D. Pertimbangan Hukum Hakim ... 22

E. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ... 26

III. METODE PENELITIAN ... 29

A. Pendekatan Masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 29

C. Penentuan Narasumber ... 31

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 31

(13)

B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Tindak Pidana Perkosaan

yang Dilakukan oleh Orang Tua Kandung... 34

C. Keadilan dalam Putusan Hakim terhadap Orang Tua Pelaku Tindak Pidana Perkosaan Anak Kandung ... 46

III. PENUTUP ... 59

A. Simpulan ... 59

B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari kejahatan. Anak kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang pula yang menjadi pelakunya adalah orang dekat dari korban itu sendiri. Anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, perhatian, kasih sayang, dan pendidikan demi kesejahteraan anak tersebut. Anak harus mendapat perlindungan khusus terhadap kepentingan fisik dan mentalnya. Hal ini diharapkan agar anak dapat bertumbuh kembang dengan baik dan anak terlindungi dari ancaman kejahatan yang membahayakan dirinya. Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak.1

Tindakan perkosaan merupakan tindakan yang melanggar hukum. Tindakan perkosaan tersebut telah merugikan orang lain yaitu orang yang telah diperkosa tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP yang menyatakan bahwa: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita

1

(15)

bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.2

Selain diatur dalam KUHP, tindak pidana perkosaan khusus terhadap anak diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 76D Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ancaman pidana terhadap seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 76D Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 81 Pasal 76D Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menentukan sebagai berikut:

1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian

2

(16)

kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Tindak pidana perkosaan yang dialami oleh korban terutama yang masih di bawah umur tidak semuanya dilaporkan oleh korban ke aparat penegak hukum. Alasan-alasan kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk diproses ke pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman dari pelaku.3

Korban perkosaan khususnya yang dialami oleh anak dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti

3

(17)

robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki.4

Perkosaan dapat menimbulkan dampat negatif bagi masa depan korbannya terlebih apabila korbanya masih di bawah umur (anak-anak) baik secara sosial maupun psikologis. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual.5

Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan

maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis. Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda,

4

Haryanto. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita. (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, 1997), hlm. 13

5

(18)

perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban.6

Dampak psikologis yang dialami oleh korban berkaitan dengan upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.7

Pelaku perkosaan saat ini tidak hanya berasal dari orang jauh, akan tetapi sudah banyak dilakukan oleh orang dekat atau keluarga korban. Seperti yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Tanggamus pada perkara dengan Tersangka Zakarsih bin Sobirin. Tersangka Zakarsih dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau memaksa atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul sebagaimana diatur dalam Pasal 81 dan atau Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dimana korban merupakan anak kandung tersangka Zakarsih yang masih berumur 16 tahun sebagaimana dijelaskan dalam putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot.

6

Hayati, E. N. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Konseling Berwawasan Gender. (Yogyakarta: Rifka Annisa, 2000), hlm. 29

(19)

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Seorang anak memiliki hak tertentu yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Sebagai orang tua sudah tentu memiliki kewajiban dan tanggung jawab memberikan perlindungan terhadap anaknya. Kewajiban dan tanggung jawab tersebut diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

(20)

Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.8 Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggungjawabkan putusannya. Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu menegakkan hukum dan memberikan keadilan.9

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: “Analisis Pertimbangan Hukum Hakim

Terhadap Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Kandung (Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas yang diuraikan sebelumnya maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung?

b. Apakah putusan hakim kepada orang tua pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung sudah memenuhi rasa keadilan?

8

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 94.

9

(21)

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian kepustakaan bidang Hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung. Penelitian akan dilakukan di Kejaksaan Negeri Kota Agung dan Pengadilan Negeri Kota Agung pada tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung.

b. Mengetahui apakah putusan hakim kepada orang tua pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung sudah memenuhi rasa keadilan.

2. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini adalah:

(22)

b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan masukan kepada aparat penegak hukum mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menyelesaikan kasus pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandung.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti.10

Hakim dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya. Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.11

10

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 125

11

(23)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya suatu peristiwa dan kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto, hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

b. keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

c. keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.12

Menurut pandangan utilities yang melihat pidana dari segi manfaat atau kegunaannya, pemidanaan harus mempunyai sifat prevensi, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Pandangan utilities menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap dan perilaku pelaku tindak pidana agar tidak mengulang perbuatannya (prevensi khusus), di samping dimaksud juga untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa (prevensi umum). Sedangkan masalah pemidanaan pada

12

(24)

dasarnya dibagi atas dua teori yaitu teori retribution atau teori pembalasan dan teori utilitarian atau teori tujuan.13

Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:

1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

5. Pidana melihat ke belakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.14

Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanan bertujuan untuk: 1. Pencegahan (prevention);

2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;

3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.15

Teori retribution maupun teori utilitarian pada dasarnya adalah sama-sama memberikan sanksi pidana/hukuman terhadap penjahat atau pelanggar hukum, hanya saja sifat yang dimiliki antara kedua teori itu yang membedakannya. Tujuan pemidanaan atau penghukuman di sini dimaksudkan bukan hanya sekedar

13

Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 17

14Ibid

. hlm. 18

15Ibid

(25)

pemberian penderitaan dan efek jera kepada pelaku tindak pidana, agar menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam terhadap konsekuensi perbuatannya, melainkan penderitaan yang diberikan itu harus dilihat secara luas, artinya penderitaan itu merupakan obat penyembuh bagi pelaku kejahatan agar dapat merenungkan segala kesalahannya dan segera bertobat dengan sepenuh keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi di masa yang akan datang.16

Selain dua teori di atas terdapat pula teori integratif (teori gabungan). Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan. Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:

1. Teori keseimbangan

Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

(26)

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.17

Pasal 183 KUHAP mengatur tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan ini untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara yang didakwakan. Pasal 183 KUHAP di atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen, yaitu:

17

(27)

1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; dan

2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang.

Untuk menjawab permasalahan yang kedua, Peneliti menggunakan teori keadilan restoratif. Pengertian umum keadilan restoratif pertama kali dikemukakan oleh Barnett ketika ia menunjuk pada prinsip-prinsip tertentu yang digunakan oleh para praktisi hukum di Amerika dalam melakukan mediasi antara korban dengan pelaku tindak pidana. Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk memecahkan masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat, dalam suatu relasi yang aktif dengan aparat penegak hukum.

Selanjutnya dikatakan bahwa untuk memecahkan masalah kejahatan tersebut, keadilan restoratif mempergunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:

a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat; b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat

(termasuk pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan kebijakan sosial pada umumnya) untuk menangani kondisi-kondisi sosial yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan;

c. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan tidak dapat diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinya keterlibatan secara personal;

d. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon fakta-fakta penting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus; e. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan

masyarakat dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan efisiensi cara penyelesaian kasusnya.

f. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan di antara para pihak.18

18

(28)

2. Konseptual

Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.19

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian, maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah. Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya), untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sebab-musabab, duduk perkaranya dan sebagainya.20

b. Pertimbangan hukum adalah suatu tahapan dimana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal pembuktian.21

c. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.22

19

Soerjono Soekanto. Op.Cit. hlm. 124

20

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 60

21

http://www.damang.web.id/2011/12/defenisi-pertimbangan-hukum_17.html?m=1, diakses tanggal 27 Maret 2015, pukul 19.00 WIB

22

(29)

d. Perkosaan adalah seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.23

e. Orangtua berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

E. Sistematika Penulisan

Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: Pengertian Perkosaan, Jenis-Jenis Perkosaan, Tinjauan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan.

23

(30)

III.METODE PENELITIAN

Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan data. Pembahasan tersebut mengenai pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung dan keadilan dalam putusan hakim terhadap orang tua pelaku tindak pidana perkosaan anak kandung.

V. PENUTUP

(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan

Perkosaan merupakan hal yang sangat ditakuti oleh kaum perempuan. Ada dua aspek yang menyebabkan perkosaan memiliki arti menakutkan. Aspek-aspek tersebut dapat ditinjau dari segi yuridis formal dan segi sosiologis. Aspek-aspek tersebut sangat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap perbuatan yang dinamakan perkosaan.24

Pasal yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan yaitu Pasal 285 KUHP yang menyatakan: “barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Selain diatur dalam KUHP, tindak pidana perkosaan khusus terhadap anak diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 76D Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan

24

(32)

bahwa Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ancaman pidana terhadap seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 76D Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 81 Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menentukan sebagai berikut:

1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(33)

kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Ancaman pidana terhadap seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 76E Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

B. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Perkosaan

Pelaku tindak pidana perkosaan terhadap wanita ternyata tidak terbatas pada usia, pekerjaan ataupun status sosial melainkan pada umumnya pelakunya berlatar belakang mewakili kaum lelaki yang termasuk telah mempunyai pengalaman dalam tindak pidana perkosaan tersebut. Adapun bentuk-bentuk tindak pidana perkosaan yang diungkapkan oleh kriminolog Mulyana W. Kusuma, antara lain:

a. Sadistic Rape

Perkosaan sadistic, artinya, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk kekerasan yang merusak, pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.25

b. Anger Rape

Anger Rape adalah penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan-kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.26

c. Domination Rape

Domination Rape adalah suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual.27

d. Seductive Rape

Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan

25

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Perempuan, (Bandung, Refika Aditama, 2001), hlm. 46

26Ibid

.

(34)

bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks.28

e. Victim Precipitatied Rape

Victim Precipitatied Rape adalah perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya.29

f. Exploitation Rape

Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi wanita yang tergantung padanya secara ekonomis dan sosial.30

Perkosaan selain mempunyai tipe-tipe dan berbagai kemungkinan yang timbul sebagai akibat dari perkosaan juga mempunyai sifat-sifat dari perkosaan yaitu:

1. Sifat perkosaan yang eksprensif, yaitu sifat perkosaan yang maksud dan tujuannya itu hanya sebagai pemenuhan kebutuhan latent (seks) dan tidak untuk tujuan di luar selain tujuan itu.

2. Sifat perkosaan yang instrumental, yaitu sifat perkosaan yang maksud dan tujuannya itu di luar kebutuhan latent (seks) tersebut. Contohnya seks tersebut hanya sebagai pelampiasan balas dendam.31

C. Pengertian Anak Sebagai Korban

Pengertian tentang korban, salah satunya mengacu pada Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power) terutama pada frase-frase dari paragraf 1 dan 2 yang menyatakan korban

berarti orang yang secara perorangan atau kelompok menderita kejahatan, termasuk cedera fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan nyata terhadap hak dasar mereka”.

28

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. Op.Cit. hlm. 46

29Ibid.

hlm. 47

30Ibid

.

31

(35)

Perlindungan korban perkosaan secara langsung masih terbatas dalam bentuk pemberian rehabilitasi melalui ganti kerugian oleh si pelaku tindak pidana. Belum ada ketentuan ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban perkosaan tindak pidana. Rehabilitasi melalui Ganti rugi oleh negara hanya terbatas kepada tersangka atau terdakwa dan terpidana. Ada 5 (lima) kemungkinan rehabilitasi melalui ganti kerugian kepada korban perkosaan dalam perkara pidana, yaitu: (a) pemberian rehabilitasi melalui ganti rugi sebagai syarat khusus dalam pidana bersyarat; (b) Memperbaiki akibat dalam tindak pidana ekonomi sebagai tindakan tata tertib; (c) pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi, sebagai pidana tambahan; (d) penggantian biaya rehabilitasi yang telah dikeluarkan dalam proses penggabungan gugatan perkara ganti kerugian (perdata) dalam perkara pidana; dan (e) Membayar pidana denda oleh pelaku tindak pidana kepada negara, apabila tidak dibayar si pelaku tindak pidana dikenai pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan.32

D. Pertimbangan Hukum Hakim

Menurut Pasal 1 Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangakain tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan

memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang

32

(36)

suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.33

Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakat banyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapan terhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas, jangan sampai putusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.34

Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara-perkara yang mendapat perhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggap senuansa dengan koruptif dan kolutif. Secara umum anggapan itu adalah sah-sah saja, setidaknya ada alasan dari masyarat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasus penyuapan yang melibatkan aparat pengadilan, terutama hakim. Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan). Seorang Hakim harus membuat keputusan-keputusan yang adil dan bijaksana dengan mempertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

33

Lilik Mulyadi. Penerapan Putusan Hakim Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Ikahi, 2007), hlm. 25

34Ibid

(37)

Hakim yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengadili suatu perkara, yaitu serangkaian tindakan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, adil dan tidak memihak pihak-pihak tertentu di sidang pengadilan menurut cara yang telah diatur dalam KUHAP. Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya suatu peristiwa dan kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

b. keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

c. keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.35

Hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam proses peradilan pidana berperan sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menjamin kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, hakim selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (straf modus). Hakim juga memiliki kebebasan untuk

35

(38)

menemukan hukum (rechatsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang.

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:

1. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

2. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

3. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.36

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat mengintervensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku.37

36

Ahmad Rifai, Op.Cit. hlm 102

37Ibid

(39)

E. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya, jika dalam hukum tertulis tidak cukup, tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Majelis Hakim oleh karena itu, sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari terdakwa dan korban, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan.

(40)

secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka majelis hakim karena jabatannya dapat menambah/melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara. Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana tersebut di atas, jika tidak diketemukan dalam sumber-sumber tersebut maka ia harus mencarinya dengan mernpergunakan metode interpretasi dan konstruksi. Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu, sedangkan metode konstruksi hakim mempergunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Putusan hakim dapat dikatakan baik, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan empat kriteria dasar pertanyaan yang berupa:

1. Benarkah putusanku ini?

2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak yang bersangkutan? 4. Bermanfaatkah putusanku ini?38

Prakteknya walaupun telah bertitik tolak dari sikap-sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut di atas, maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kehilafan (rechterlijk dwaling), rasa

38

(41)

rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Pada praktek peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan.

Pasal 191 KUHAP menyatakan dengan tegas bahwa pengambilan keputusan itu didasarkan kepada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan. Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari perkara pidana tentu saja hakim juga mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis. Hakekatnya dengan adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum.39

Lazimnya dalam praktek peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan yuridis dibuktikan dan dipertimbangkan maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Fakta-fakta yang terungkap di tingkat penyidikan hanyalah berlaku sebagai hasil pemeriksaan sementara, sedangkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang yang menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi keputusan pengadilan.40 Selanjutnya setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan

39

Lilik Mulyadi. Op.Cit. hlm. 199.

40

(42)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) cara, yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara studi kepustakaan dengan menelaah kaidah-kaidah hukum, undang-undang, peraturan dan berbagai literatur yang kemudian dibaca, dikutip dan dianalisis selanjutnya disimpulkan. Pendekatan yuridis empiris yaitu dengan meneliti serta mengumpulkan data primer yang telah diperoleh secara langsung pada obyek penelitian melalui wawancara atau interview dengan responden atau narasumber di tempat obyek penelitian yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data pada penulisan ini menggunakan dua sumber data yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang didapat secara langsung dari sumber pertama.41 Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan

41

(43)

secara langsung pada obyek penelitian yang dituju yaitu hakim dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung yang dilakukan dengan cara wawancara.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh orang lain. Pada waktu penelitian dimulai data telah tersedia. Data ini merupakan data pendukung yang bersifat memperkuat dan memperjelas data primer dan diperoleh dari studi pustaka, penelusuran literatur yang diperoleh dari studi pustaka, penelusuran literatur yang diperoleh di luar penelitian selama penelitian berlangsung.

Data Sekunder adalah yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan. Data tersebut terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat peraturan perundang-undangan. Adapun dalam penelitian ini bahan hukum yang peneliti gunakan, yaitu:

1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; dan 3) Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Bahan Hukum Tersier

(44)

sekunder, terdiri dari literatur-literatur, media cetak, kamus dan lain-lain yang sesuai dengan obyek permasalahan yang diangkat.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penelitian ini yaitu hakim pada Pengadilan Negeri Kota Agung, jaksa pada Kejaksaan Negeri Kota Agung dan dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Hakim pada Pengadilan Negeri Kota Agung : 2 Orang b. jaksa pada Kejaksaan Negeri Kota Agung : 1 Orang c. Dosen Pidana Fakuktas Hukum Universitas Lampung : 1 Orang +

Jumlah : 4 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Peneliti di dalam menulis penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan dan pengolahan data sebagai berikut.

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan

(45)

b. Studi Lapangan

Pengumpulan data primer dilakukan melalui studi lapangan (field research) dengan cara menggunakan metode wawancara terhadap respoden dalam penelitian ini.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh kemudian diperiksa untuk diketahui apakah masih terdapat kekurangan ataupun apakah data tersebut sesuai dengan penulisan yang akan dibahas.

b. Sistematisasi, yaitu data yang diperoleh dan telah diediting kemudian dilakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis.

c. Klasifikasi data, yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan, menggolongkan, dan mengelompokkan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memperoleh pembahasan.

E. Analisis Data

(46)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Nara Sumber

Peneliti dalam memperoleh informasi mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan menggunakan metode wawancara kepada nara sumber yang memiliki kompetensi di bidang hukum terdiri dari Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas Kota Agung, Jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri Kota Agung dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, yaitu:

1. Nama : Yudith Wirawan, S.H., M.H. Pendidikan : Magister Hukum

Jabatan : Hakim fungsional pada Pengadilan Negeri Kota Agung

2. Nama : Mahendra P.K.P, S. H., M.H. Pendidikan : Magister Hukum

Jabatan : Hakim fungsional pada Pengadilan Negeri Kota Agung

3. Nama : Rade Satya P., S. H., M.H. Pendidikan : Magister Hukum

(47)

4. Nama : Dr. Maroni, S. H., M.H. Pendidikan : S3

Jabatan : Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

Pemilihan nara sumber tersebut di atas, berdasarkan atas pertimbangan bahwa para nara sumber selain terlibat langsung dalam permasalahan yang dibahas, juga dipandang dapat mewakili dan dapat memberikan analisis atau pandangan yang mampu menambah wawasan peneliti untuk digunakan sebagai acuan bahan primer dalam skripsi ini.

B. Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Tindak Pidana Perkosaan yang Dilakukan oleh Orang Tua Kandung

Seorang pelaku tindak pidana agar dapat dijatuhi pidana, perbuatan pelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini berdasarkan asas kesalahan Geen Straf Zonder Schuld (tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa ada kesalahan).

(48)

harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, karena perbuatan pidana yang dilakukan selain berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban dan juga keluarga korban. Penjatuhan pidana merupakan perwujudan pidana dalam bentuk konkret. Penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara pidana yang bersangkutan. Untuk mengambil keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan.42

Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” atau Keine

Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa.43

Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan, akan bertentangan

42 Masruchin Ruba’i, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia

, (IKIP Malang: Malang, 1994), hlm. 63.

43

(49)

dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang. Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pelaku.44

Pertumbuhan dari hukum pidana menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya (tatstrafrecht atau erfolgstrafrecht) ke arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana (taterstrafrecht), tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai sculdstrafrecht, artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut:

a. Menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid); dan

b. Menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang melawan hukum.45

Unsur kesalahan berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat diketahui bahwa mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti

44

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I. Op.Cit. hlm. 42

45Ibid

(50)

bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan kepadanya, pencelaan di sini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens,

seperti dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat, bahwa “das recht ist das ethische minimum”. Setidak-tidaknya pelaku

dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.46

Kesalahan dalam hukum pidana memiliki 3 pengertian yaitu:

a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) pelaku atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya.

b. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (sculdvorm) yang berupa: 1. kesengajaan (dolus, opzet, vorzatz atau intention) atau

2. kealpaan (culpa, onachtzaamheid, fahrlassigkeit atau negligence).

c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam b. 2 di atas. Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”.47

Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si pelaku atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normativer schuldbegriff).48

46

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I. Op.Cit. hlm. 43

47Ibid

. hlm. 44-45

48Ibid

(51)

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi:

a. adanya kemampuan bertanggungjawab pada pelaku (schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit); artinya keadaan jiwa pelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi “normadressat” yang mampu. b. hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap perbuatannya.

c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi pelaku sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa.49

Apabila ketiga unsur ini ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa dipidana. Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya (pertanggungan jawab pidana) orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan si pelaku. Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat pemidanaan ialah adanya:

1. dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit); dan

2. dapat dipidananya orangnya atau pelakunya (strafbaarheid van de persoon).50

49

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I. Op.Cit. hlm. 45

50Ibid

(52)

Dengan pidana itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan praktis dan juga menimbulkan nestapa bagi orang tersebut. Tindak pembalasan itu mempunyai 2 (dua) arah, yaitu:

1. Pembalasan subyektif. 2. Pembalasan obyektif.

a. Teori Relatif/Teori Tujuan

Menurut teori relatif, dasar hukum dari pada pidana ialah menegakkan tata tertib masyarakat, dimana tata tertib masyarakat itu adalah merupakan tujuan, dan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya pidana. Ini berarti bahwa pidana merupakan alat untuk mencapai tujuan, yaitu mencegah adanya kejahatan, yang berarti tata tertib masyarakat terjamin. Menurut teori ini pidana merupakan alat pencegahan.51

b. Teori Gabungan

Teori ini digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu: 1) Ada yang bertindak sebagai pangkal pembalasan.

2) Memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai tujuan.

3) Titik pangkal pembalasan dan keharusannya melindungi masyarakat.52

Berikut akan diuraikan mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung dengan terdakwa Zakarsih bin Sobirin M. dalam perkara Nomor No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot:

51

Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan R.I. Op.Cit. hlm. 46

52Ibid

(53)

1. Hukum Pidana Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim

Berdasarkan Pasal 1 KUHP, bahwa sebagai suatu Negara Hukum, sistem peradilan di Indonesia menganut asas legalitas, yaitu bahwa tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada. Bukan hanya itu, di dalam sistem perundang-undangan Indonesia diatur bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya berdasarkan pada bukti formil, melainkan juga berdasarkan pada unsur yang lebih esensial, yaitu pada adanya suatu keyakinan hakim. Bukti formil dan keyakinan hakim tersebut merupakan 2 (dua) unsur pokok dalam pengambilan sebuah keputusan pengadilan.

2. Terdakwa Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim

Mengenai pertimbangan-pertimbangan yang memberatkan dan meringankan pidana bagi terdakwa Zakarsih bin Sobirin M. dalam perkara Nomor No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot, Hakim Pengadilan Negeri Kota Agung, berpendapat bahwa:

a. Hal-hal yang memberatkan terdakwa:

1) bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;

2) bahwa perbuatan terdakwa dilakukan terhadap kedua anak kandungnya sehingga salah satu anaknya yang bernama Herawati binti Zakarsih hamil dan telah melahirkan anak; dan

3) bahwa perbuatan terdakwa telah menimbulkan trauma terhadap saksi korban Herawati dan Liana.

b. Hal yang meringankan terdakwa:

(54)

3. Tuntutan Masyarakat Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa hakim memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tindak pidana pemerkosaan terhadap anak kandung. Selain pertimbangan pidana tersebut, hakim juga mempertimbangkan tuntutan masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat menuntut agar putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap terdakwa dijatuhkan berdasarkan pertimbangan yang seadil-adilnya sehingga tuntutan masyarakat akan tegaknya hukum dan keadilan dapat terpenuhi.

Sebelum menjatuhkan putusan, majelis hakim terlebih dahulu mendengar pembelaan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa yang pada pokoknya memohon keringanan hukuman. Hakim juga mempertimbangkan bahwa di persidangan terdakwa memberikan keterangan yang pada pokoknya telah mengakui perbuatan yang didakwakan kepadanya. Selain itu, berdasarkan atas keterangan saksi-saksi yang masing-masing bersesuaian satu sama lain, dihubungkan dengan keterangan terdakwa dan barang bukti yang dikenal saksi dan terdakwa, majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, maka majelis hakim, Terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan ancaman kekerasan memaksa anak

(55)

Selain itu, Terdakwa juga terbukti telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP yang merupakan dakwaan kedua. Menurut majelis hakim, Terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “dengan sengaja melakukan ancaman kekerasan

memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dilakukan secara terus menerus sebagai perbuatan yang dilanjutkan.”

Dengan memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan hal yang meringankan serta pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, majelis hakim berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa telah tepat dan setimpal dengan perbuatannya serta telah memenuhi rasa keadilan. Lebih lanjut majelis hakim berpendapat bahwa falsafah pemidanaan dewasa ini ditujukan bukan hanya sekedar bersifat pembalasan kepada terdakwa, tetapi berorientasi lebih kepada upaya-upaya untuk membina, merubah, memperbaiki dan memperhatikan kelangsungan masa depan terdakwa agar menjadi anggota yang berbudi baik dan berguna, yang secara langsung berdampak pula dalam mempertahankan tertib hukum dan menjaga ketentraman hidup dalam masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.. 4) Ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun. 2002 tentang

Yulianita Hestiwening, 2008, Implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak oleh Pengadilan Anak Oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam

perlindungan hukum terhadap anak jalanan sebagaimana telah. dituangkan dalam Undang-Undang No 23

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat digunakan jika ada aspek yang menyangkut hukum publik seperti perceraian karena suami atau istri menyiksa,

Keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah sebagaimana diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang No 17 Tahun 2016 Tentang

Lahirnya pasal 81 (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan

Terdakwa Ipan Syahidan telah melanggar ketentuan di dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002