TESIS
KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267
KUH PERDATA
OLEH
CHRISTOPHER ISKANDAR 117005014/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267
KUH PERDATA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH :
CHRISTOPHER ISKANDAR 117005014/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : Kekuatan Mengikat Klasula Syarat Batal
Dalam Kontrak Bisnis Yang Mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata
Nama Mahasiswa : Christopher Iskandar
NIM : 117005014
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing:
(Prof. Dr. Ningrum N. Sirait SH, MLI)
(Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar SH,M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi SH, MH) (Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum)
Telah diuji
Pada tanggal : 20 Januari 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ningrum N. Sirait SH, MLI Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum
KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267
KUH PERDATA
Klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan bagian dari perkembangan hukum kontrak di mana pihak kreditur atau pelaku usaha ingin mengesampingkan permintaan pembatalan ke pengadilan untuk efisiensi. Klausula ini sering dianggap merugikan pihak yang lebih lemah yaitu debitur atau konsumen. padahal tidak selamanya posisi tawar debitur atau konsumen lebih lemah karena pihak kreditur yang melaksanakan prestasi berada dalam keadaan yang bergantung pada kemampuan debitur atau konsumen untuk melaksanakan prestasi. Klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berfungsi untuk melindungi pihak kreditur di satu sisi tetapi di sisi lain klausula ini merugikan debitur atau konsumen ketika gagal melaksanakan prestasi. Beberapa rumusan masalah dalam tesis ini adalah bagaimana kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis dan bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis yang dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan asas-asas dalam kontrak terutama asas
pacta sund servanda dan teori keadilan komutatif sebagai teori pendukung.
Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan unsur naturalia dari kontrak yang bersifat melengkapi dan fiksi sehingga para pihak boleh mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata terletak pada kesepakatan adanya rasa saling percaya untuk
1
Ketua Komisi Pembimbing.
2
Dosen Pembimbing Kedua.
3
Dosen Pembimbing Ketiga.
4
mengesampingkannya yang berlaku sebagai undang-undang berdasarkan asas pacta sund servanda yang tidak boleh dicampuri oleh hakim. Exceptio non adimpleti contractus dan itikad buruk adalah beberapa faktor yang menyebabkan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tidak mengikat. Pelaksanaan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah berkaitan dengan parate executie/self help karena klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan pilihan bagi salah satu pihak untuk melaksanakan parate executie/self help. Namun dalam pelaksanaannya menjadi sulit karena adanya pengertian campur aduk antara
parate executie dengan grosse acta oleh hakim-hakim dan Mahkamah Agung di mana pelaksanaannya mensyaratkan meminta fiat pengadilan yang sebenarnya sama seperti pelaksanaan grosse akte.
Para pihak sebaiknya terlebih dahulu memahami kegunaan syarat batal degan berkonsultasi dengan konsultan hukum dan notaris. Para pihak harus konsekuen dengan kesepakatan untuk mengsampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata sehingga klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tetap mengikat. Terakhir, pelaksanaan parate executie hendaknya tidak dicampuradukkan dengan grosse acta dengan meminta fiat ke pengadilan. Pelaksanaan parate executie harus mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-VIII/2010 yang menguatkan kedudukan parate executie sebagai pemenuhan prestasi bagi kreditur untuk menjual objek hak tanggungan tanpa fiat pengadilan.
THE BINDING STRENGH OF TERMINATION CLAUSE IN BUSINESS CONTRACTS THAT OVERRULES THE ARTICLE (S) 1266 AND 1267 OF
THE CIVIL CODE
Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H., M.LI.5 Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.6 Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.7
Christopher Iskandar8
ABSTRACT
The termination clause in business contracts that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is a part of the development of contract laws in which the creditors or entrepreneurs would like to overrule the termination request to the court for efficiency. This clause is often considered to be detrimental to the weaker parties—the debtors or consumers—altough it is not always certain that the bargaining power of the debtors or consumer are weaker because the creditors who carry out the performance are in a state that relies on the ability of the debtors or consumers to carry out the performance. The termination clause in business contracts that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code serves to protect the creditors on one side but on the other side is detrimental to the debtors or consumers when they fail to carry out the performance. Some of the problems formulations in this thesis are how the binding strength of the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 in business contracts and how the impelementations of the executions are to the business contracts with the termination clauses that overrule the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code. This study is analyzed using the principles of contracts, especially the principle of pacta sunt servanda and the theory of commutative justice as the supportive theories.
The method used in this thesis study is the jurisdic normative study that uses the primary, secondary, and tertiary legal materials. This study uses library research techniques, which is further analyzed qualitatively.
The termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is the naturalia element of the contract that is complementary and fiction so that all parties may overrule the Article (s) 1266 and 1267. The binding strength of the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code
5
The Chief of Preceptors Commision.
6
The Second Preceptor Lecturer.
7
The Third Preceptor Lecturer.
8
lies on the agreement of the mutual trust of each other to overrule them which prevails as the law based on the principle of pacta sunt servanda that should not be interfered by judges. Exceptio non adimpleti contractus and bad faith are some factors that cause the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code to not be binding. The implementations of the termination clause that overrule the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code are related to parate executie/self help because the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is an option to one of the parties to perform parate executie/self help.Nonetheless, the implementations are difficult because there is a mixed understanding between parate executie and grosse deeds by the judges and the Supreme Court whereas the executions require the fiat (order) of the court which are actually the same as the implementation of grosse deeds.
The parties should first understand the function of termination clause by consulting it with legal counsel and notary. The parties must be consistent with the agreement to overrule the Article (s)1266 and 1267 of the Civil Code so that the termination clause is binding. Finally, the implementations of parate executie should be mixed with grosse deeds by requiring the fiat (order) to the court. The implementations of parate executie should refer to The Verdict of Constitutional Court No. 70/PUU-VIII/2010 that strengthens the position of parate executie as fulfillment of performance for creditors to sell the mortgage objects without the fiat (order) of the court.
Riwayat Hidup Christopher Iskandar
Nama : Christopher Iskandar
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/24 November 1988
Alamat : Jalan Kapitan Pattimura Gang Pasir Baru No. 1
Medan
Sumatera Utara
Kode Pos 20513
Telepon : +62811608676
Ema
Pendidikan : 1992-1995: Taman Kanak-Kanak Methodist-3
1995-1998: Sekolah Dasar Methodist-3
1998-2001: Sekolah Dasar Methodist-2
2001-2004: Sekolah Lanjutan Tahap Pertama Methodist-2
2004-2007: Sekolah Menengah Umum Methodist-2
2007-2011: Sarjana Hukum
Universitas Sumatera Utara
Skripsi: Tinjauan Hukum: Prinsip Responsibilitas (Good Corporate Governance) Dalam Pasar Modal.
2011-2014: Magister Hukum
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada Allah Tritunggal di dalam Anak-Nya
Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat yang rela mati di atas kayu salib dan bangkit
pada hari ketiga untuk memberi keselamatan dan penebusan di dalam-Nya kepada
umat pilihan-Nya.
Penulisan tesis yang berjudul: KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA
SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN
PASAL 1266 DAN 1267 KUH PERDATA adalah guna memenuhi persyaratan
mencapai gelar Magister Ilmu Hukum (MH) di Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis sadar akan ketidaksempurnaan
hasil penulisan tesis ini sehingga berharap agar semua pihak dapat memberikan kritik
dan saran yang membangun agar menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik
dan lebih sempurna lagi, baik dari segi substansi ataupun dari segi cara penulisannya.
Secara khusus, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua penulis, Freddy Iskandar yang menganjurkan penulis untuk menjalani studi
di Program Studi Magister Ilmu Hukum dan Srilian Putti Leo yang sangat
menyayangi penulis. Sehingga penulis bisa memperoleh pendidikan formal sampai
pada tingkat Strata Dua ini. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada
kakak penulis Christia Iskandar. Penulis berterima kasih kepada Om Surya Mertjoe
selama menjalani studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum. Penulis juga
berterima kasih kepada Alexander Leo dan Karen Tjan, yang telah banyak
mendukung dan memberi nasehat kepada penulis dalam menjalani studi di Program
Studi Magister Ilmu Hukum.
Tak lupa juga Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. dr. Syahril
Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)
2. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI selaku Pembantu Rektor IV
dan Ketua Komisi Pembimbing. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu
membantu penulis dalam memberi bimbingan yang sangat berarti atas
penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan
dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian tesis ini.
3. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing Kedua. Di tengah
kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam memberi bimbingan
yang sangat berarti atas penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih
sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan
4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum dan Dosen Penguji dalam penelitian ini. Terima kasih
atas kritik dan masukan beliau sehingga penelitian tesis ini menjadi lebih baik.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Program Studi
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Dosen Pembimbing III dalam
penelitian ini. Di tengah kesibukan beliau, beliau selalu membantu penulis dalam
memberi bimbingan yang sangat berarti atas penyelesaian tesis ini. Ucapan
terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungannya yang sangat
berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian tesis ini.
6. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penguji. Terima kasih
atas kritik dan masukan beliau sehingga penelitian tesis ini menjadi lebih baik.
7. Seluruh Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas segala ilmu yang telah diberikan. Juga kepada
staff Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yaitu Kak Fika, Kak Ganti, Kak Fitri, Kak Juli, dan Bang Hendra
atas bantuan mereka dalam mengurus administrasi studi penulis dari perkuliahan
sampai penyelesaian tesis ini.
8. Sanak keluarga yaitu Priskila Tan, dr. Elmansyah Leo, Johanes Leo, Jameshin
Adlin, Dewi Christian Leo, dan Sophie Christian yang memberi dukungan dan
9. Denny Salim, teman dan rekan penulis, yang telah memberikan banyak
dukungan dan bantuan selama penulis menulis tesis.
10. Terima kasih kepada Express Fotocopy yang sudah membantu penulis dalam
memprint tesis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Herbert W, Willy C,
Agustinus, Isvento, Junedy, Yosef Effendi, Rudy Y, Hengky dan Jimmy N
Winanto yang sudah menemani penulis dalam suka dan duka selama menulis
tesis.
11. Teman-teman kuliah yaitu kepada Bang Resfizar, Bang Albert Pane, Bang Panca
Hutagalung, Bang Denny Umri, Bang Arie, Bang Sukses, Miranda, Beby, dan
Windy yang menjadi teman akrab yang baik selama di kampus.
Salam Hormat,
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI.... i
ABSTRACT... iii
RIWAYAT HIDUP... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah... 12
C. Tujuan Penelitian... 12
D. Manfaat Penelitian... 13
E. Keaslian Penelitian... 13
F. Kerangka Teori... 15
1. Kerangka Teori... 15
2. Kerangka Konsepsi... 25
G. Metode Penelitian... 29
1. Tipe dan Sifat Penelitian... 29
2. Pendekatan Masalah... 30
3. Bahan Hukum... 31
a. Bahan Hukum Primer... 31
b. Bahan Hukum Sekunder... 32
c. Bahan Hukum Tersier... 32
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum... 33
5. Analisa Bahan Hukum... 33
BAB II KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267 KUH PERDATA A. Pengaturan Kontrak Bisnis... 35
2. Syarat Sahnya Kontrak Bisnis... 36
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan... 186
B. Saran... 189
KEKUATAN MENGIKAT KLAUSULA SYARAT BATAL DALAM KONTRAK BISNIS YANG MENGESAMPINGKAN PASAL 1266 DAN 1267
KUH PERDATA
Klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan bagian dari perkembangan hukum kontrak di mana pihak kreditur atau pelaku usaha ingin mengesampingkan permintaan pembatalan ke pengadilan untuk efisiensi. Klausula ini sering dianggap merugikan pihak yang lebih lemah yaitu debitur atau konsumen. padahal tidak selamanya posisi tawar debitur atau konsumen lebih lemah karena pihak kreditur yang melaksanakan prestasi berada dalam keadaan yang bergantung pada kemampuan debitur atau konsumen untuk melaksanakan prestasi. Klausula syarat batal dalam kontrak bisnis yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berfungsi untuk melindungi pihak kreditur di satu sisi tetapi di sisi lain klausula ini merugikan debitur atau konsumen ketika gagal melaksanakan prestasi. Beberapa rumusan masalah dalam tesis ini adalah bagaimana kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis dan bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis yang dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan asas-asas dalam kontrak terutama asas
pacta sund servanda dan teori keadilan komutatif sebagai teori pendukung.
Metode yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan, yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan unsur naturalia dari kontrak yang bersifat melengkapi dan fiksi sehingga para pihak boleh mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata terletak pada kesepakatan adanya rasa saling percaya untuk
1
Ketua Komisi Pembimbing.
2
Dosen Pembimbing Kedua.
3
Dosen Pembimbing Ketiga.
4
mengesampingkannya yang berlaku sebagai undang-undang berdasarkan asas pacta sund servanda yang tidak boleh dicampuri oleh hakim. Exceptio non adimpleti contractus dan itikad buruk adalah beberapa faktor yang menyebabkan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tidak mengikat. Pelaksanaan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah berkaitan dengan parate executie/self help karena klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan pilihan bagi salah satu pihak untuk melaksanakan parate executie/self help. Namun dalam pelaksanaannya menjadi sulit karena adanya pengertian campur aduk antara
parate executie dengan grosse acta oleh hakim-hakim dan Mahkamah Agung di mana pelaksanaannya mensyaratkan meminta fiat pengadilan yang sebenarnya sama seperti pelaksanaan grosse akte.
Para pihak sebaiknya terlebih dahulu memahami kegunaan syarat batal degan berkonsultasi dengan konsultan hukum dan notaris. Para pihak harus konsekuen dengan kesepakatan untuk mengsampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata sehingga klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tetap mengikat. Terakhir, pelaksanaan parate executie hendaknya tidak dicampuradukkan dengan grosse acta dengan meminta fiat ke pengadilan. Pelaksanaan parate executie harus mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-VIII/2010 yang menguatkan kedudukan parate executie sebagai pemenuhan prestasi bagi kreditur untuk menjual objek hak tanggungan tanpa fiat pengadilan.
THE BINDING STRENGH OF TERMINATION CLAUSE IN BUSINESS CONTRACTS THAT OVERRULES THE ARTICLE (S) 1266 AND 1267 OF
THE CIVIL CODE
Prof. Dr. Ningrum N. Sirait, S.H., M.LI.5 Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.6 Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum.7
Christopher Iskandar8
ABSTRACT
The termination clause in business contracts that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is a part of the development of contract laws in which the creditors or entrepreneurs would like to overrule the termination request to the court for efficiency. This clause is often considered to be detrimental to the weaker parties—the debtors or consumers—altough it is not always certain that the bargaining power of the debtors or consumer are weaker because the creditors who carry out the performance are in a state that relies on the ability of the debtors or consumers to carry out the performance. The termination clause in business contracts that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code serves to protect the creditors on one side but on the other side is detrimental to the debtors or consumers when they fail to carry out the performance. Some of the problems formulations in this thesis are how the binding strength of the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 in business contracts and how the impelementations of the executions are to the business contracts with the termination clauses that overrule the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code. This study is analyzed using the principles of contracts, especially the principle of pacta sunt servanda and the theory of commutative justice as the supportive theories.
The method used in this thesis study is the jurisdic normative study that uses the primary, secondary, and tertiary legal materials. This study uses library research techniques, which is further analyzed qualitatively.
The termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is the naturalia element of the contract that is complementary and fiction so that all parties may overrule the Article (s) 1266 and 1267. The binding strength of the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code
5
The Chief of Preceptors Commision.
6
The Second Preceptor Lecturer.
7
The Third Preceptor Lecturer.
8
lies on the agreement of the mutual trust of each other to overrule them which prevails as the law based on the principle of pacta sunt servanda that should not be interfered by judges. Exceptio non adimpleti contractus and bad faith are some factors that cause the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code to not be binding. The implementations of the termination clause that overrule the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code are related to parate executie/self help because the termination clause that overrules the Article (s) 1266 and 1267 of the Civil Code is an option to one of the parties to perform parate executie/self help.Nonetheless, the implementations are difficult because there is a mixed understanding between parate executie and grosse deeds by the judges and the Supreme Court whereas the executions require the fiat (order) of the court which are actually the same as the implementation of grosse deeds.
The parties should first understand the function of termination clause by consulting it with legal counsel and notary. The parties must be consistent with the agreement to overrule the Article (s)1266 and 1267 of the Civil Code so that the termination clause is binding. Finally, the implementations of parate executie should be mixed with grosse deeds by requiring the fiat (order) to the court. The implementations of parate executie should refer to The Verdict of Constitutional Court No. 70/PUU-VIII/2010 that strengthens the position of parate executie as fulfillment of performance for creditors to sell the mortgage objects without the fiat (order) of the court.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian sering disebut kontrak. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris
contract yang sebenarnya sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia yaitu kontrak.
Misalnya dalam hukum nasional dikenal kebebasan berkontrak bukan kebebasan
perjanjian.9 Dalam sistem hukum nasional, istilah kontrak atau perjanjian memiliki pengertian yang sama seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara contract dan
overeenkomst.10
Perjanjian dan persetujuan para pihak didasarkan kepada salah satu asas
dalam perjanjian sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata
tentang asas kebebasan berkontrak dan juga kata kerja overeenkomst itu sendiri yaitu
overeenkomen yang artinya sepakat atau setuju.
Para pihak dalam membuat kontrak berdasarkan Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata. Pasal ini menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
11
9
Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT) Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian dan Hukum Publik), (Bandung: CV Keni Media, 2013), hal 64-65.
Dengan asas kebebasan berkontrak
setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun
juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang
10
Johannes Ibrahim, Kartu Kredit: Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal 31.
11
berlaku bagi kontrak yang bersangkutan.12 Dengan demikian, suatu kesepakatan berupa perjanjian atau kontrak pada hakekatnya adalah mengikat, bahkan sesuai
dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, kesepakatan ini memiliki kekuatan
mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.13
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak secara spesifik
mengatur tentang perjanjian baku sehingga boleh dikatakan perjanjian baku termasuk
dalam perjanjian tidak bernama.
14
Di mana menurut Mariam Darus Badrulzaman,
istilah “semua” dalam Pasal 1338 ayat (1) menunjukkan bahwa perjanjian yang
dimaksud tidak hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi
perjanjian yang tidak bernama.15
Menurut Agus Yudha Hernoko, “hukum kontrak tumbuh dan berkembang
sejalan dengan dinamika, kompleksitas, serta problematika yang ada di
masyarakat”.
16
Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Henry Maine, sejarah
manusia modern berangkat dari “status” kepada “kontrak”.17
Dengan perkembangan kompleksitas aktivitas bisnis yang didukung dengan
jangkauan wilayah pasar, pelayanan yang sudah semakin borderless serta dukungan
12
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 29.
13
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hal 16.
14
R.M. Panggabean, “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku”, Jurnal Hukum, Vol 17 No. 4 (2010), hal 652.
15
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : PT Alumni, 2006), hal 107.
16
Agus Yudha Hernoko, “Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Bisnis: Upaya Mewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 29 No. 2 (2010), hal 5.
17
teknologi yang begitu canggih membuat dunia bisnis tidak saja pelaku usaha akan
tetapi pembeli maupun pengguna jasa cenderung semakin menghindari bentuk-bentuk
atau proses-proses berbisnis yang tidak efisien dan bertele-tele. Selain itu juga tidak
mungkin bila ada ratusan ribu atau jutaan pembeli maupun pengguna jasa yang telah
menandatangani perjanjian baku harus terlebih dahulu memulai proses
pre-contractual melalui negosiasi yang rumit dan berulang-ulang ataupun penentuan
klausul perjanjian oleh perusahaan dengan pembeli maupun pengguna jasa dalam
setiap perjanjian sebelum perjanjian ditandatangani. Tentu ini tidak efisien tidak saja
bagi produsen namun juga bagi konsumen.18 Dengan alasan keseragaman dan efisiensi perusahaan telah merumuskan seluruh atau sebagian besar klausul perjanjian
secara sepihak. Pihak konsumen tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasikan isi
perjanjian. Konsumen hanya memiliki pilihan take it or leave it.19
Menurut Munir Fuady, “mengingat begitu banyaknya praktek kontrak baku
saat ini, maka yang terjadi dewasa ini sebenarnya adalah gerakan sebaliknya yakni
gerakan dari kontrak ke status”.
20
Di mana berubah dari kontrak ke status dengan
ditetapkannya kontrak yang disiapkan secara sepihak oleh pihak swasta. Karena
Sluijter berpendapat bahwa pihak yang membuat perjanjian baku sudah bertindak
sebagai pembentuk undang-undang swasta.21
18
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Kontan Publishing, 2011), hal 207-209.
Dalam masyarakat yang kapitalis sudah
19
R.M. Panggabean, Op.cit, hal 652.
20
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hal 77.
21
lumrah jika pengusaha besar mengendalikan perekonomian masyarakat dengan
menjual produk atau jasa yang dihasilkan berdasarkan model-model perjanjian yang
mengandung syarat-syarat yang menguntungkan pihaknya.22 Karena itu, menurut Max Weber:23
“Kapitalisme sebagai sebab terjadinya perubahan tipe hukum dari tradisional menjadi modern menuntut suatu tatanan normatif dengan tingkat yang dapat diperhitungkan (calculability) secara akurat sehingga hanya sistem-sistem hukum modern yang rasional dan bersifat logis yang mampu memberikan tingkat perhitungan yang dibutuhkan. Legalisme memberikan suasana yang stabil dan dapat diperhitungkan”.
Di mana banyak transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi
yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara pihak
yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang
sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan
hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk
melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan.24
Sistem hukum perjanjian Indonesia yang bersumber pada KUH Perdata
memang pada prinsipnya setiap orang bebas mengadakan dan menentukan isi
perjanjian, sepanjang diantara para pihak telah terjadi kesepakatan sesuai dengan
Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUH Perdata. Namun, kebebasan ini dibatasi oleh
22
Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, (Bandung: C.V. Mandar Maju, 2011), hal 135.
23
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Edisi 2, (Jakarta:PT Sofmedia, 2010), hal 249.
24
Elis Herlina, “Kajian Hukum Terhadap Perjanjian Baku pada Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Internet dan Kaitannya dengan Pengalihan Tanggung Jawab
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen”
undang-undang, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan sesuai dengan Pasal
1338 ayat (3) dan 1339 KUH Perdata.25 Maka dalam hal terjadi ketidakseimbangan akibat ketidaksetaraan posisi para pihak yang membuat kontrak yang menimbulkan
gangguan terhadap muatan isi kontrak diperlukan intervensi negara (pemerintah)
untuk menegakkan asas keseimbangan dalam hubungan hukum kontraktual.26
Terhadap kontrak baku, ada banyak klausula yang memberatkan pihak
nasabah salah satunya adalah klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH
Perdata jika terjadi events of default.
27
Contohnya pada salah satu klausula perjanjian
pembiayaan PT Adira Finance diatur bahwa PT Adira Finance dapat memutuskan
perjanjian setiap saat bila debitur wanprestasi. Untuk keperluan ini, para pihak setuju
untuk mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata.28
25
Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, Op.cit, hal 139.
Di mana pihak konsumen tanpa
hak untuk menuntut ganti rugi pada kreditur terkait pemutusan perjanjian oleh
kreditur tanpa melalui pengadilan karena debitur tidak melaksanakan pembayaran
pokok, bunga, dan denda keterlambatan sesuai dengan yang disepakati. Kontrak yang
demikian sering kali diibaratkan berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang,
antara pihak yang mempunyai bargaining position kuat (baik karena penguasaan
26
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan). (Bandung: CV Mandar Maju, 2012), hal 99.
27
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, Op.cit, hal 100-102.
28
modal/dana, teknologi maupun skill) dengan pihak yang lemah bargaining position
-nya.29
Dalam kaitannya dengan pencantuman klausula pengesampingan Pasal 1266
dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian bisnis dengan jaminan, Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang
pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika isinya
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli secara angsuran.30
Pencantuman pemberian Kuasa Membebankan Surat Kuasa terhadap barang
yang dibeli debitur secara angsuran yang melanggar Pasal 18 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menurut Pasal 62 Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) kecuali untuk kontrak leasing/beli sewa/sewa guna usaha karena
dalam leasing belum ada penyerahan (levering) sedangkan beli dengan cicilan,
pemilik benda telah melakukan penyerahan (levering) sehingga pihak yang
memperoleh penyerahan benda telah menjadi pemilik yang sah atas benda tersebut.
31
29
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 2.
30
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
31
Dalam hal ini juga termasuk kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam
menentukan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak baku
dengan jaminan. Namun ada perbedaan pendapat antara para ahli mengenai
pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Pertama, ada pendapat yang
mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan
ketentuan yang sifatnya memaksa karena adanya kata “harus” untuk permohonan
pembatalan kepada hakim. Kedua, ada pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan
Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan ketentuan yang sifatnya melengkapi
atau terbuka sesuai dengan asas terbuka dari Buku III KUH Perdata yang mengatur
tentang perikatan ini. Menurut Munir Fuady walaupun Pasal 1266 dan 1267 KUH
Perdata dapat disimpangi, namun menurut teori ilmu hukum umumnya ketentuan
hukum acara termasuk proses pengadilan merupakan hukum memaksa.32 Sedangkan, menurut Herlien Budiono, Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata bukan ketentuan yang
bersifat memaksa sehingga dapat disimpangi para pihak.33
Padahal, Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata mengatur tentang perikatan
bersyarat. Perikatan bersyarat yang diatur oleh Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata
adalah syarat batal. Menurut Pasal 1266 KUH Perdata:34
berkala”. Lihat Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal 25.
32
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, Op.cit, hal 115-116.
33
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hal 199-200.
34
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini, persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan pada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Inilah yang mau dikesampingkan oleh pihak kreditur karena prosedur
pengadilan mulai dari pengadilan negeri kemudian banding ke pengadilan tinggi,
kasasi dan peninjauan kembali yang memakan waktu yang lama dan belum sesuai
dengan asas peradilan cepat dan murah. Oleh karena itu para pelaku bisnis mencari
pilihan lain dengan cara negosiasi, mediasi, konsultasi maupun arbitrase.35
Selanjutnya Pasal 1267 KUH Perdata mengatur bahwa pihak yang
perikatannya tidak dipenuhi dapat memilih apakah ia akan memaksa pihak lain untuk
memenuhi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya
kerugian dan bunga.
Penempatan kedua pasal tersebut dalam bagian tentang perikatan bersyarat
menimbulkan kritik dari Herlien Budiono yang menganggap pembuat undang-undang
telah keliru memandang dan mengartikan wanprestasi sebagai telah dipenuhinya
salah satu syarat pada perjanjian bersyarat (untuk membatalkan).36
35
Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal 2-3.
Tetapi juga
ditemukan alasan pembenarnya oleh Subekti yang menganggap penempatan kedua
36
pasal ini tidak salah karena pernyataan pembatalan perjanjian bukan batal demi
hukum dan permohonan pembatalan perjanjian melalui hakim.37
Sistem peradilan yang dimiliki oleh setiap negara dipandang sebagai jalan
terbaik dalam menyelesaikan sengketa. Sehingga setiap kali muncul konflik maka
yang timbul dalam pikiran adalah penyelesaiannya harus melalui pengadilan (litigasi)
padahal dalam proses pengadilan terdapat banyak tahap dan segudang aturan main
yang harus dipenuhi. Belum lagi apabila kasus tersebut berlarut-larut dan berlanjut ke
tingkat yang lebih tinggi. Tentu saja penyelesaiannya memakan waktu yang lama dan
biaya yang besar bagi setiap pencari keadilan.38 Jika dikaitkan dengan pengsesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, maka yang dikesampingkan
adalah kewenangan pengadilan dalam menangani perkara perdata di bidang bisnis.
Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata ini menurut Gunawan Widjaja
adalah salah, hanya berlaku untuk jual beli dan ganti rugi serta biaya harus dituntut.39 Tidak selamanya pihak yang lemah bargaining position-nya adalah debitur
atau konsumen. Adakalanya pihak kreditur juga menjadi pihak yang lemah ketika
misalnya pihak kreditur telah mengucurkan pinjaman kepada debitur di mana pihak
kreditur menjadi pihak yang lemah karena bisa saja pihak debitur yang telah
menerima kucuran pinjaman tidak mampu atau tidak mau maupun sengaja menunda
membayar pinjaman sehingga hal ini menjadi resiko pihak kreditur. Maka dari sisi
37
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2005), hal 50.
38
Anggreany Arief, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata”, Al-Risalah,Vol 12 No 2 (2012), hal 306.
39
kreditur, pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berfungsi untuk
melindungi kreditur dari resiko-resiko debitur tidak melaksanakan pembayaran
pokok, bunga, dan denda keterlambatan sesuai dengan yang disepakati. Apalagi jika
perjanjian kredit itu bersifat jangka panjang seperti perjanjian Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) yang jangka waktunya perjanjian kredit lebih dari 3 tahun.40 Mengingat rentang waktu hubungan hukum yang terjadi mungkin relatif lama maka
kepercayaan tersebut tidak cukup sebatas “janji bahwa dapat dipercaya” secara etika
dan moral saja. Kepercayaan perlu diperkuat dengan wujud yang lain yaitu disebut
sebagai jaminan. Jaminan menjadi penting dan berharga apabila mencakup mengenai
nilai ekonomi yang besar seperti perjanjian kredit dalam memperkuat hubungan
bisnis dan hubungan hukum yang terjalin dalam rentang waktu panjang.41
Perwujudan kepercayaan diperlukan antara para pihak dalam berbagai
bentuk. Bentuk kepercayaan dapat berupa barang, benda tertentu, atau orang tertentu.
Bentuk-bentuk tersebut akhirnya menjadi lembaga hukum sekaligus sebagai lembaga
jaminan dan pengganti kepercayaan yang menjadi dasar hubungan hukum seperti
jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.42
Kepercayaan yang hanya bersifat etis dan moral saja, keberadaannya sangat
cair, mudah diingkari dan selalu dapat menciptakan adanya cidera janji. Jaminan
40
Brierly Napitupulu, “Studi SKMHT dalam Perjanjian KPR BTN”, 2013.
41
Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 162.
42
menjadi sangat berarti apabila di kemudian hari debitur benar-benar ingkar
janji/cidera janji sehingga kreditur menjadi pasti kedudukannya terhadap debitur
karena sudah ada jaminan.43 Perjanjian bisnis dengan jaminan terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit dengan perjanjian ikutan yaitu perjanjian jaminan di
mana perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir yang selalu mengikuti
perjanjian pokok, karena merupakan perjanjian yang accessoir tentu juga mempunyai
akibat sebagai suatu perjanjian yang bersifat accessoir.44
Dalam kaitannya dengan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, apabila pihak
debitur gagal memenuhi prestasinya maka pihak kreditur dengan klausula
pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat langsung memutuskan
perjanjian dengan langsung mengeksekusi jaminan secara parateexecutie tanpa harus
melalui pengadilan di mana klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH
Perdata diikuti dengan pemberian kuasa pada pihak kreditur untuk mengeksekusi
benda jaminan.
Dari perspektif kreditur, hal ini jauh lebih efisien karena tidak perlu
menempuh prosedur pengadilan yaitu sita jaminan yang prosesnya bisa berlarut-larut
baik dari proses permohonan hingga eksekusinya jaminannya. Sehingga cidera janji
oleh debitur yang mungkin terjadi dalam konsep hukum mendapat jaminan agar tidak
43
Sri Redjeki Hartono, Op.cit, hal 163.
44
merugikan kreditur.45
Demikian, penulisan tesis ini ingin melihat bagaimana kekuatan mengikat
dari klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata
dalam kontrak bisnis.
Hal ini tentu merugikan debitur dari sisi debitur karena debitur
yang gagal melaksanakan prestasinya tidak mempunyai pilihan lain misalnya
menegosiasikan utang selain menerima perlakuan pihak kreditur karena sudah
disepakati pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian
baku.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan
ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis?
2. Bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis yang dengan klausula
syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH
Perdata?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kekuatan mengikat klausula syarat batal yang
mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak
bisnis.
45
2. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis dengan klausula
syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH
Perdata.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi atau
rujukan untuk menambah khazanah pustaka khususnya mengenai keuatan mengikat
klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam
kontrak bisnis.
Secara praktis, penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk kreditur dan debitur
khususnya pihak perbankan dan nasabah untuk dapat menyelesaikan masalah utang juga
memahami penggunaan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan
1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis bisnis dari sisi perundang-undangan di
Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Sejauh ini, peneliti telah melakukan penelusuaran karya ilmiah baik di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Pascasrajana
Program Studi Ilmu, perpustakaan utama Universitas Sumatera Utara, dan penelusuran
melalui internet, ada beberapa tesis yang membahas tentang pengesampingan Pasal 1266
1. Budi Utami Raharja, Hak Jaminan Atas Kredit Pemilikan Rumah Studi Kasus PT.
Bank Danamon Indonesia Tbk dan PT Bank Sumut Medan, Medan: Tesis, Program
Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2005.
2. Madda Elyana, Peranan Notaris Dalam Penyelesaian Sengketa Akibat Tuntutan
Pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi (Suatu Penelitian Pada Praktek Notaris Di
Kota Banda Aceh), Medan: Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, 2010.
3. Oki Ardiansyah Kurnadi, Tinjauan Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama
Pengadaan Barang Atas Dasar Wanprestasi (Studi PT. Telemedia Network
Cakrawala), Medan: Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara, 2011.
Namun, penulisan tesis ini berbeda dengan tesis-tesis yang telah disebutkan
karena pembahasan tesis-tesis tersebut hanya membahas syarat batal yang diatur dalam
Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada bagian subbab tesis bukan menjadi pembahasan
utama. Sedangkan penulisan tesis ini membahas kekautan mengikat dari klausula syarat
batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis
sebagai pembahasan utama. Dengan demikian, penelitian ini belum pernah ditulis oleh
peneliti sebelumnya sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dalam penulisan tesis ini
digunakan teori asas kebebasan berkontrak. Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan
lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan
bebas. Keduanya saling mendukung dan berakar dari paham hukum alam. Kedua
paham ini berpendapat bahwa individu pada umumnya mengetahui kepentingan
mereka yang paling baik dan cara mencapainya. Kemampuan tersebut diperoleh
karena manusia menggunakan akalnya. Oleh karenanya menurut hukum alam
individu-individu harus diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan
sekuat akal dan tenaganya untuk mencapai kesejahteraan yang seoptimal
mungkin. Dalam mencapai kesejahteraan, individu harus mempunyai kebebasan
untuk bersaing dan negara tidak boleh campur tangan. Seiring dengan
berkembangnya laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula suatu
prinsip yang umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas.46
46
Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang
menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan
berkontrak.47 Maka menurut Hans Kelsen:48
“Perjanjian adalah tindakan hukum dua pihak di mana norma hukum mewajibkan dan memberikan wewenang kepada para pihak melakukan perjanjian yang dilahirkan oleh kerjasama dari minimal dua orang yang didasarkan prinsip otonomi yang diberikan pada para pihak dimana tidak seorang pun diwajibkan terhadap, atau bahkan tanpa persetujuannya sendiri di mana dari hubungan hukum tersebut dilahirkan norma yang merupakan perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang harus menghendaki hal yang sama dan kehendak-kehendak yang sejajar”.
Kehendak para pihak inilah menjadi dasar doktrin otonomi kehendak yang
menekankan kebebasan individu untuk membuat kontrak tidak bernama
(onbenoemde, innominaat contracten). Sepanjang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, para pihak bebas membuat kontrak yang mereka inginkan.49 Jadi saat momentum awal kontrak terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai
puncak kesepakatannya, asas konsensualisme lahir.50
Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi kontrak ditandai
dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan
itu yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi kontrak.
Akibatnya kontrak tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus
47
Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, hal 11.
48
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011), hal 203-205.
49
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 30.
50
dilaksanakan dengan itikad baik.51 Dalam kondisi yang demikian, menurut Max Weber, perkembangan pengaturan hubungan kontraktual dan hukum itu sendiri
makin mengarah kepada kebebasan berkontrak, khususnya mengarah kepada
suatu sistem yang bebas dari kerangka pengaturan bentuk-bentuk transaksi yang
ditentukan hukum yang menjadi perintang dan meningkatnya kebebasan
berkontrak.52
Henry Maine dalam bagian terkenalnya dari Ancient Law menurut Lawrence
M. Friedman, mencoba menjelaskan bagaimana hukum berevolusi selama
bertahun-tahun pada masyarakat progresif dan menunjukkan pada masyarakat
seperti itu hukum bergerak dari status ke kontrak. Maksudnya hubungan hukum
dalam masyarakat modern tidak tergantung secara khusus lagi pada kelahiran
atau kasta, hubungan itu tergantung pada perjanjian sukarela.53 Namun berkembangnya doktrin itikad baik, doktrin penyalahgunaan keadaan, makin
banyaknya kontrak baku, dan berkembangnya hukum ekonomi mempengaruhi
pembatasan kebebasan berkontrak.54
Menurut Sunaryati Hartono, pada abad ke-20 terjadi perubahan besar yang
disebabkan beberapa faktor yaitu malaise, muculnya ajaran hukum fungsional,
sehingga lahir paham negara kesejahteraan, dan oleh perkembangan ekonomi
51
Ibid.
52
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 77.
53
Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar. Terjemahan oleh Wishnu Basuki. (Jakarta: PT Tatanusa, 2001), hal 195.
54
yang karena ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi menuju produksi
masal. Produksi masal menimbulkan perkembangan baru di bidang hukum
kontrak dengan digunakannya kontrak-kontrak standar (standard contracts).55 Menurut R W M Dias, kembalinya kontrak ke status pada abad modern ditandai
dengan individu yang tidak dapat lagi menegosiasikan klausula-klausulanya
sendiri dalam hubungan publik dan khususnya di dalam industri sehingga
menurut R W M Dias inilah abad standarisasi kontrak dan penawaran secara
kolektif.56 Friedrich A. Hayek berpendapat sebetulnya ini berarti kembali ke kedaulatan status, kemunduran dari “gerakan masyarakat progresif” yang dalam
ungkapan terkenal Henry Maine, “hingga kini telah menjadi gerakan dari status
ke kontrak”.57
Man Suparman Sastrawidjaja berpendapat tujuan semula diadakannya
kontrak baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis.
58
Penjelasannya menurut
Richard A. Posner adalah penyedia jasa hanya berusaha mengurangi biaya-biaya
dari negosiasi dan perancangan kontrak dengan setiap konsumen.59
55
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hal 120.
Max Weber
memperlihatkan kapitalisme modern tidak hanya membutuhkan teknik-teknik
produksi, tapi juga membutuhkan sistem hukum yang dapat diprediksi.
56
R W M Dias, Jurisprudence. 5th Edition. (London: Butterworths, 1985), hal 389.
57
Friedrich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme. Terjemahan oleh Iones Rakhmat. (Jakarta: Freedom Institute & Friedrich Naumann Stiftung, 2011), hal 97.
58
Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2010), hal 322.
59
Perusahaan-perusahaan modern kapitalisme modern sangat tergantung kepada
prediksi.60 Di mana pihak yang telah mempersiapkan kontrak tersebut telah menghitung resiko kontrak bisnisnya dengan pencantuman klausula yang
menguntungkan dirinya terutama bila debitur lalai, terlambat membayar, dan
wanprestasi. Kontrak baku yang dibuat dengan sendirinya pihak yang
mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan
dirinya.61 Maka pihak kreditur tinggal menyodorkan isi kontrak tersebut dan debitur tinggal menyetujui “Ya” atau “Tidak”.62
Di dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai
tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining position lebih kuat dapat
memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya
sendiri. Syarat-syarat dalam kontrak semacam itu akhirnya akan melanggar
keadilan dan kelayakan. Dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki
bargaining position yang seimbang.
63
60
Bismar Nasution, “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 17 April 2004, hal 11.
Mark R Patterson mengemukakan ada
hal-hal yang menjadi perhatian dalam konteks konsumen di mana kontrak-kontrak
demikian sering merupakan kontrak sepihak di mana konsumen tidak membaca
atau tidak berdaya untuk melakukan negosiasi. Siapapun para pihak baik
61
Djoni S. Gazali et al, Op.cit, hal 325.
62
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata: Buku Satu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal 174.
63
konsumen maupun pelaku usaha, kontrak baku tidak selamanya baik untuk setiap
transaksi, maka untuk beberapa pihak tidak dilayani dengan baik oleh kontrak
baku.64
Keadaan tersebut dapat berlaku dalam hubungan bank (kreditur) dan nasabah
(debitur). Pada umumnya karena kreditur menjadi pihak yang mempunyai uang
dan menjelma dalam bentuk perusahaan besar, maka kreditur diasumsikan
memiliki bargaining position yang lebih kuat terhadap debiturnya. Namun dalam
keadaan tertentu kreditur dapat merupakan pihak yang lemah.
Ketidakseimbangan bargaining position ini sering melahirkan perjanjian kredit
yang berat sebelah atau timpang, tidak adil, dan melanggar aturan-aturan
kepatutan.
65
Karena itu, asas-asas dalam kontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, dan asas itikad baik relevan dalam penelitian tesis ini. Karena
penentuan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata didasarkan pada
kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan isi kontrak di mana
para pihak bebas menentukan apakah mereka menuruti Pasal 1266 dan 1267
KUH Perdata atau mengesampingkannya. Selain itu asas itikad baik dalam
kebebasan dan kesepakatan para pihak lebih ditekankan pada kesepakatan yang
tidak berat sebelah (fair) antara para pihak. Namun asas itikad baik yang
64
Mark R Patterson, “Standardization of Standard-Form Contracts: Competition and Contract Implication”, William & Mary Law Review, Vol 52 No. 2 (2010), hal 332.
65
ditujukan pada pengadilan membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan
klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.66 Di mana aturan itikad baik yang ditujukan pada pengadilan merupakan pembatasan oleh negara
melalui kekuasaan kehakiman sesuai pembagian trias politikanya Montesquieu.67 Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan umum dan pihak yang lemah.68 Namun kekuasaan kehakiman ini yang mau dikesampingkan karena alasan
dikesampingkannya pasal-pasal tersebut adalah agar dalam hal terjadinya
wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak maka
pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke
pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu
sendiri (Pasal 1266). Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa
pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan
perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya,
kerugian dan bunga (Pasal 1267).69
66
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 7.
Kaitannya dengan pengesampingan Pasal
1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian bisnis khususnya dengan jaminan
menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, tujuan dari jaminan memberikan hak
verhaal (hak meminta pemenuhan piutangnya) kepada kreditur terhadap benda
keseluruhan maupun penjualan benda dari debitur untuk pemenuhan piutangnya
67
Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, (Jakarta: Kencana, 2012), hal 177.
68
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 3.
69
dengan hak yang selalu mengikuti bendanya (droit de suite) tidak hanya hak tapi
kewenangan menjual dan hak eksekusi dengan pelaksanan janji dengan mudah
(parate executie) serta grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga
menjamian kuatnya lembaga jaminan.70 Maka apabila debitur cedera janji, eksekusi terhadap jaminan misalnya hak tanggungan dapat dilakukan tanpa
melalui proses litigasi apabila melakukan eksekusi atas jaminan utang debitur
karena kekuatan eksekutorial yang ada pada sertifikat jaminan sudah sama
dengan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.71 Maka keadilan yang dicari disini adalah keadilan komutatif di mana menurut Robert Nozick, keadilan hanya
dibatasi dalam ruang komutatif pertukaran individu di mana keadilan bagi
Nozick terdapat dalam pertukaran yang adil.72
Sehubungan dengan hal tersebut, Aristoteles mengatakan apa yang adil (just)
adalah yang proporsional.73
70
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Jakarta: BPHN, 1980), hal 38-39.
Keadilan harus dipahami sebagai fairness di mana
prinsip perbedaan objektif yang menjamin terwujudnya proporsionalitas
pertukaran hak dan kewajiban para pihak sehingga secara wajar (objektif)
diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and
fairness. Prinsip perbedaan ini tidak menuntut manfaat yang sama (equal
71
Utari Maharani Barus, “BASYARNAS sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia”, Spirit Hukum: Didedikasikan untuk Purna Bakti 70 Tahun Prof.Hj. Rehngena Purba, SH, MS Guru Besar Fakultas Hukum USU Hakim Agung Republik Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 157-158.
72
Karen Lebacqz, Six Theories Of Justice. Terjemahan oleh Yudi Santoso. (Indianapolis: Augsbung Publishing House, 1986), hal 101.
73
benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik
(reciprocical benefits).74
Oleh karena itu kreditur juga sering mencantumkan klausula pernyataan
bahwa debitur memberi kuasa pada kreditur untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan.75 Menurut Hegel sebagaimana adanya manusia itu, hanya bisa terjadi karena negara.76 Maka dalam hal ini negara perlu campur tangan untuk melindungi yang lemah.77 Pengaturan oleh Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang
pelaku usaha atau kreditur dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan, mencantumkan klausula baku tentang memberi
kuasa pada kreditur untuk pembebanan hak jaminan terhadap debitur.78
Teori asas dalam berkontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas
konsensualisme, dan asas itikad baik ini tepat dalam penulisan tesis ini karena
dasar penentuan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata didasarkan Pencantuman pemberian Kuasa Membebankan Surat Kuasa terhadap barang
yang dibeli debitur secara angsuran dapat dipidana menurut Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kecuali untuk kontrak
leasing/sewa guna usaha.
74
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hal 43.
75
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, (Bandung: PT Alumni, 2012), hal 4.
76
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, (Bandung: CV Mandar Maju, 2011), hal 73.
77
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9.
78
oleh kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan klausul
pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Pasal 1266 dan 1267 KUH
Perdata adalah perikatan bersyarat di mana syarat batal tersebut, pembatalannya
harus dimintakan ke pengadilan. Namun, karena sifat terbuka dari Buku III KUH
Perdata, para pihak memiliki kebebasan untuk mengesampingkan aturan ini
termasuk Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Para pihak dalam menentukan
klasula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata harus telah
memahami bahwa dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata,
mereka telah melepaskan hak mereka untuk mengajukan pembatalan perjanjian
ke pengadilan. Sehingga penentuan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan
1267 KUH Perdata tidak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dari pihak
yang lemah oleh pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat, di mana
tidak selamanya debitur sebagai pihak yang lemah tapi dalam keadaan tertentu
kreditur bisa menjadi pihak yang lemah. Maka para pihak dalam penentuan
klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata harus dilakukan
dengan itikad baik dan fair. Terutama dalam eksekusi benda jaminan di mana
dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, eksekusi tidak
lagi dimintakan ke pengadilan yang menjadi salah satu bentuk intervensi negara
dalam kaitannya dengan prinsip itikad baik, melainkan secara parate executie
yaitu dengan kekuatan eksekutorial yang ada pada irah-irah grosse akta di mana
klausula syarat batal yang mengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata
pada kontrak bisnis perlu disepakati secara itikad baik dan fair sehingga dalam
penentuan dan pelaksanaan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata
pada kontrak bisnis ini para pihak terlindungi.
2. Kerangka Konsepsi
Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman dalam
penelitian ini, konsepsi diperlukan sehingga secara operasional diperoleh hasil
penulisan yang sesuai dengan tujuan yang dicapai dalam penulisan ini :
a. Kekuatan mengikat adalah kekuatan mengikat dari kontrak yang
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak.
b. Klausula syarat batal adalah klausula yang mencantumkan hal-hal yang
menyebabkan batalnya sebuah perjanjian dalam kontrak bisnis.
c. Kontrak Bisnis adalah suatu perjanjian dalam bentuk tertulis dimana substansi
yang disetujui oleh para pihak yang terkait didalamnya bermuatan bisnis.
Adapun bisnis adalah tindakan-tindakan yang mempunyai nilai komersial.79 d. Pengesampingan atau waiver adalah:
“The voluntary relinquishment or abandonment, express or implied of a legal right or advantage. The instrument by which a person relinquishes or abandons a legal right or advantages”.80
79
Hikmahanto Juwana, “Modul Kontrak Bisnis: Modul I”,
Februari 2013.
80
Jika diterjemahkan secara bebas, pengesampingan adalah pelepasan atau
penanggalan hak atau keuntungan secara langsung atau tidak langsung. Atau
suatu instrumen yang mana oleh pribadi melepaskan hak atau keuntungannya.
Maka pengesampingan pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berarti para pihak
telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan kontrak bisnis ke
pengadilan dengan menyepakati pembatalan kontrak bisnis dapat dilakukan
para pihak bila salah satu pihak melakukan wanprestasi berdasarkan
kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan pengesampingan
Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.
e. Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk menentukan isi
perjanjian tanpa campur tangan pihak lain ataupun negara. Batas kebebasan
berkontrak adalah tidak melanggar hukum dan itikad baik.81
f. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.82
g. Kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
undang-undang.83
h. Debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang.84
81
Sri Gambir Melati Hatta, Op.cit, hal 25.
82
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : PT Alumni, 2006), hal 31.
83
i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang
timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh
Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat
pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.85
j. Kontrak baku adalah syarat-syarat konsep tertulis yang telah disusun terlebih
dahulu tanpa perundingan mengenai isi untuk dituangkan ke dalam kontrak
yang biasanya jumlahnya tidak tertentu mengenai suatu hal tertentu.86
k. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank
secara sepihak dalam bentuk bauk mengenai kredit yang memuat hubungan
hukum antara bank dengan nasabah debitur.87
l. Perikatan bersyarat ialah perikatan yang pemenuhan prestasinya digantungkan
pada syarat tertentu yaitu pada peristiwa yang akan datang dan belum pasti
terjadi baik syarat yang menangguhkan bermaksud bila syarat itu dipenuhi
84
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
85
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
86
H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.cit, hal 51.
87
maka perikatan menjadi berlaku maupun syarat yang memutus (membatalkan)
apabila syarat itu dipenuhi perikatan menjadi putus (batal).88
m. Syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan
membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak
pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan
perikatan, hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang
telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi.89
n. Parate executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang
menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas
sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut.90 o. Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah
memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya
unsur salah atasnya.91
88
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994), hal 26.
89
Pasal 1265 KUH Perdata, Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), hal 328.
90
R. Subekti, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa Dalam Penemuan Hukum dan pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial, (Jakarta: MARI, 1990), hal 69.
91