133
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Anwar, Saiful. Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara. Depok: Glora Madani Press, 2004.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta : Konstitusi Press, 2006.
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Basir, Saleh dan Hendy M. Fakhruddin. Aksi Korporasi: Strategi Untuk
Meningkatkan Nilai Saham Melalui Tindakan Korporasi. Jakarta:
Salemba Empat. 2005.
Barkatullah, Abdul Hakim. Hak-hak Konsumen. Bandung : Nusa Media, 2010.
Budisantoso. T dan Sigit. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.
Daniri, Mas Achmad. Good Corporate Governance: Konsep dan
Penerapannya Dalam Konteks Indonesia. Jakarta: PT. Ray
Indonesia, 2005.
Darmawi, Herman. Manajemen Asuransi. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004.
Ganie, Junaedy. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Hartono, Sri Redjeki. Hukum Ekonomi Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing, Edisi ke-1, Cetakan ke-2, 2007.
Hasibuan, Nurimansyah. Struktur Pasar di Indonesia-Oligopoli dan
Monopoli (Media Ekonomi). Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999.
Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008.
Idroes, Ferry N. Manajemen Risiko Perbankan: Pemahaman Pendekatan 3
Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2008.
Ikatan Bankir Indonesia. Memahami Bisnis Bank.. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Kasmir. Dasar-dasar Perbankan. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Lubis, Andi Fahmi. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta: Deutsche Gesellscahft fur Technische Zusammenarbeit
(GTZ) bekerja sama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), 2009.
Manan, Bagir. Kecendrungan Histories Pasal 18 UUD 1945. Jakarta : UNISCA, 1993.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 2002.
Prayoga , Ayudha D. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di
Indonesia. Jakarta: Proyek Ellips, 1999.
Prayudi. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Satrio, J. Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku I). Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 2001.
Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003.
Sidabolok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Silalahi, Udin. Perusahaan Saling Mematikan dan Bersekongkol-Bagaimana
Cara Memenangkan?. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,
Cetakan Pertama, 2007.
Sirait, Ningrum Natasya. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia UU Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2014.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2003.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983.
Sudarsono. Kamus Hukum. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2007.
Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014.
. Good Corporate Governace. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Tjager, I Nyoman. Corporate Governance : Tantangan dan Kesempatan
Bagi Komunitas Bisnis Indonesia. Jakarta: PT. Prenhallindo, 2003.
Widiyono, Try. Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di
Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Yuhassarie, Emmy. Prosiding, Rangkaian Lokakarya Terbatas
Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, UU No. 5/1999 dan KPPU. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum,
B. Peraturan
Republik Indonesia, UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 80 Tahun 2003.
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah.
Republik Indonesia, UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia No. 7 /6/PBI 2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Surat Edaran BI No.12/35/DPNP Tahun 2010 tentang Penerapan Prinsip Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Bank Indonesia No. 5 /8/PBI 2003 jo. Peraturan Bank Indonesia No. 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
Peraturan OJK No. 03/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
C. Jurnal
Rajagukguk, Erman. “Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999”. Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial R.I. Volume V. No. 1, April 2012.
Hendra, Mustaqin Andika. “Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Solusi Sistem Ekono mi Nasional”, Jurnal Bisnis Volume VIII, No. 1, Maret 2010. NN. “Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia”.
ELIPS bekerja sama dengan Partnership for Business Competition, 11 Desember 1999.
Nasution, Bismar. “Kajian Terhadap RUU OJK”. Buletin Hukum Perbankan
dan Perbank sentralan Volume VIII No. 2, Tahun 2010.
Wambach, Achim. “Collusion in Beauty contests”. University of Erlangen
Nuernberg, CESifo and CEPR. May 2003.
Wauran, Indriani. “Aktivitas Bancassurance dalam Dunia Perbankan: Adakah Praktik Bundling yang Melanggar Hukum Persaingan Usaha ?”.
Jurnal Refleksi Hukum April 2014.
D. Putusan
Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-I/2014 tentang Pelanggaran Pasal 15 ayat (2) dan atau Pasal 19 huruf a yang dilakukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk., (Persero), PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera, dan PT. Heksa Eka Life Insurance.
Putusan KPPU Nomor 35/KPPU-I/2010, tentang Proses Beauty Contest Proyek Donggi Senoro.
E. Koran dan Majalah
Manoj Kumar. “Marketing and Distribution Channel in Bancassurance”.
Singapore Asian Insurance Review, 1998
NPD Sinaga. “Probmatika SEMA”, Artikel dalam FORUM PENGADILAN, tanggal 3 Mei 2011
Trisnawati Taswin. “Bancassurance Menjadi Mitra atau Pemasok”. Infobank No. 285. Februari 2003.
Otoritas Jasa Keuangan. “Mendorong Bancassurance Yang Sehat”. Edukasi
Konsumen: Jembatan Informasi Otoritas, Industri dan Masyarakat
Edisi Agustus 2014.
F. Website
Ali.
EmyTrimahanani,http://www.vibiznews.com/news/banking_insurance/2009/0 7/02 ,/ penghargaan-insurance-company-terbaik-2009/30 (diakses tanggal 7 Januari 2016)
GembongPrakoso,http://bancassuranceindonesia.com/bas/phocadownload/us erupload/pustaka/Kajian/2902010/Bancassurance%20\Konsep%20Im plementasi.pdf (diakses tanggal 17 Desember 2015).
HargoUtomo,http://www.mmugm.ac.id/index.php/indexmanagementthough/5 05-membangun-kesadaran-berasuransi (diakses tanggal 13 Januari 2016)
Hendry Risjawan , Bancassurance, Layanan Satu Atap yang Menggiurkan, http://www. wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1624 (diakses tanggal 7 Januari 2016)
Hendry Risjawan, tanggal 17 November 2015)
Ricardo Simanjuntak. Tinjauan Hukum Bancassurance di Indonesia (online),
Yenny Sigalingging, Sejarah Bancassurance,
http://www.sejarah-bancassurance.html (diakses tanggal 12 Januari 2016)
(diakses pada
tanggal 20 November 2015)
http://masalahpajak.blogspot.com/bancassurance (diakses pada tanggal 28 November 2015)
pada 5 Januari 2016)
http://elqorni.wordpress.com/apa-itu-bancassurance?.html (diakses pada tanggal 20 November 2015)
Januari 2016)
http://www.vibiznews.com/news/banking_insurance/2009/07/02/penghargaan -insuran ce-company-terbaik-2009/30 (diakses tanggal 12 Januari 2016).
http://masalahpajak.blogspot.com/2007/06/ bancassurance.html (diakses
tanggal 18 Desember 2015).
Januari 2016)
BAB III
KEGIATAN BANCASSURANCE DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PERSAINGAN USAHA
D. Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama Bancassurance
Bentuk apapun kerjasama antara perusahaan asuransi dan perbankan ini akan menjadi selaras dan serasi apabila bank dan perusahaan asuransi menjadi mitra yang sejajar yang saling mengisi satu sama lainnya. Maka ketika akan menjalin kerjasama ini bank dan perusahaan asuransi ada baiknya harus terlebih dahulu membangun kemitraan yang panjang dengan memperhatikan hal-hal berikut :86
1. Adanya keselarasan visi.
2. Kondisi dan stabilnya financial yang kuat di kedua belah pihak.
3. Kesamaan pandangan mengenai pemasaran produk kepada nasabahnya. menyangkut aspek segmentasi dari program yang dijalankan.
4. Kultur perusahaan yang tidak bertentangan. 5. Standard kualitas kerja yang tidak jauh berbeda.
6. Adanya komitmen dari masing-masing pihak untuk melakukan kerjasama yang berkesinambun gan.
7. Adanya kemauan untuk melakukan penyesuaian terutama dalam mengakomodasi bersama perubahan lingkup bisnis maupun peraturan yang ada.
86 Trisnawati Taswin, “Bancassurance Menjadi Mitra atau Pemasok” Harian Infobank
8. Adanya sumber daya yang potensial dan dapat saling mendukung di kedua belah pihak dalam menghasilkan maupun memasarkan produk dan layanan kepada pasar yang disepakati bersama.
Perjanjian kerjasama dalam rangka bancassurance antara bank dengan perusahaan asuransi mitra bank di semua jenis kegiatan bancassurance baik itu rerensi, distribusi maupun integrasi produk, wajib disusun dengan menggunakan bahasa indonesia dan paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut :87
1. Kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak (bank dan perusahaan
asuransi mitra bank), terutama adanya klausula yang menyatakan tanggung jawab masing-masing pihak dalam melakukan bancassurance, antara lain sebagai berikut:
a. Untuk model bisnis referensi dan/atau kerjasama distribusi, bank tidak menanggung risiko atas produk asuransi yang dijual.
b. Untuk model bisnis integrasi produk, bank hanya bertanggung jawab sebatas risiko dari produk bank.
2. Klausula khusus terkait dengan model bisnis dan/atau fitur khusus produk asuransi untuk model bisnis kerjasama distribusi terkait produk unit link, yaitu antara lain perusahaan asuransi mitra bank harus mencatat dan mengelola secara khusus kekayaan dan kewajiban perusahaan asuransi yang bersumber dari investasi produk unit link.
3. Setiap perjanjian bancassurance hanya dapat memuat secara spesifik 1 (satu) model bisnis untuk 1 (satu) produk asuransi atau 1 (satu) bundled product yang dipasarkan.
4. Jangka waktu perjanjian.
5. Kejelasan tanggung jawab masing-masing pihak yaitu bank atau perusahaan asuransi mitra bank dalam melaksanakan kewajiban customer due diligence (CDD) atau know your customer (KYC).
6. Penetapan klausula yang memuat kondisi yang menyebabkan berakhirnya perjanjian kerjasama, termasuk klausula yang memungkinkan bank menghentikan.
7. Kerjasama sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.1.d atau atas perintah Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.4.g.
8. Kejelasan penyelesaian hak dan kewajiban masing-masing pihak (bank atau perusahaan asuransi mitra bank), termasuk kewajiban kepada pihak tertanggung dan/atau pihak penerima manfaat, apabila perjanjian kerjasama berakhir, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian kerjasama maupun karena dihentikan sebagaimana dimaksud pada nomor 6.
9. Kejelasan batas tanggung jawab bank dan perusahaan asuransi mitra bank pada setiap produk yang dipasarkan apabila terjadi perselisihan dengan nasabah.
Pelaksanaan perjanjian kerjasama bancassurance antara bank dengan perusahaan asuransi terhadap produk asuransi berbeda pada setiap klasifikasi/model bisnis kegiatan bancassurance tersebut, yakni sebagai berikut:
a. Pada kegiatan referensi 88
Bank harus melakukan hal-hal berikut pada perjanjian kerjasama
bancassurance model bisnis referensi dengan perusahaan asuransi yaitu sebagai
berikut:
1) Dalam melakukan model bisnis berupa referensi dalam rangka produk bank sebagaimana dimaksud mengenai ketentuan kegiatan referensi sebelumnya bahwa dalam isi perjanjian kerjasama produk asuransi yang direferensikan terbatas oleh bank hanya merupakan produk asuransi yang bersifat proteksi/perlindungan dan produk asuransi tersebut merupakan persyaratan untuk memperoleh suatu produk perbankan bagi nasabah.
2) Dalam melakukan model bisnis berupa referensi tidak dalam rangka produk bank sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yang dilakukan antara lain melalui in-branch sales sebagaimana dimaksud dalam butir I.1.a.2).b), perusahaan asuransi mitra bank yang menggunakan ruangan/counter/meja yang disediakan bank harus tetap menunjukkan nama perusahaan asuransi mitra bank secara jelas pada ruangan/counter/meja yang digunakan. Selain itu, pegawai asuransi yang melakukan pemasaran pada ruangan/counter/meja tersebut harus
tetap menggunakan identitas pegawai perusahaan asuransi mitra bank dan tidak diperkenankan memakai seragam yang sama dengan pegawai bank.
b. Pada kegiatan kerjasama distribusi89
Bank harus melakukan hal-hal berikut pada perjanjian kerjasama
bancassurance dengan perusahaan asuransi dengan model bisnis kerja sama
distribusi yaitu sebagai berikut:
1) Bank harus memiliki unit kerja khusus bancassurance atau pejabat yang ditunjuk khusus untuk bertanggungjawab atas bancassurance di bank, dengan cakupan tugas melakukan pengembangan, pemasaran, dan pengelolaan bancassurance.
2) Pegawai bank yang menangani bancassurance wajib memenuhi
kualifikasi sesuai ketentuan yang berlaku antara lain:
a) memiliki sertifikasi keagenan yang dikeluarkan oleh asosiasi terkait; dan
b) telah memperoleh pelatihan mengenai produk asuransi yang akan dipasarkan.
3) Pegawai marketing atau customer service bank dapat melakukan penawaran awal produk asuransi dalam bancassurance namun penjelasan lengkap atas produk asuransi tersebut dan tindak lanjut penawaran harus dilakukan oleh pegawai bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada nomor 2).
4) Bank bertanggung jawab hanya sampai dengan penawaran produk asuransi, sedangkan proses underwriting, penerbitan polis, perubahan polis, klaim, dan perbuatan lain yang terkait dengan produk asuransi tetap harus dilaksanakan dan merupakan tanggung jawab dari perusahaan asuransi mitra bank.
5) Bank dalam melakukan kerjasama distribusi dengan perusahaan asuransi hanya terkait dengan:
a) produk asuransi yang bersifat proteksi/perlindungan; dan/atau b) produk unit link.
6) Bank yang melakukan kerjasama distribusi produk unit link sebagaimana dimaksud dalam butir 5).b) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) memiliki unit kerja khusus bancassurance;
b) mencantumkan klausula dalam perjanjian kerjasama yang menyatakan bahwa perusahaan asuransi mitra bank bertanggung jawab secara penuh atas pengelolaan dana investasi produk unit
link tersebut;
d) produk yang dipasarkan terbatas pada produk unit link yang memiliki strategi investasi pasar uang dan/atau strategi investasi pendapatan tetap sesuai ketentuan mengenai produk unit link yang diatur oleh otoritas pengawas perasuransian;
e) selain memiliki kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam butir b.2), pegawai bank yang menangani produk unit link wajib memiliki keahlian dan sertifikasi keagenan khusus produk unit link;
f) kegiatan pemasaran produk unit link harus dilakukan oleh pegawai bank;
7) Bank wajib menjaga kecukupan jumlah pegawai yang memiliki sertifikasi keagenan di setiap kantor yang melakukan bancassurance. c. Integrasi produk 90
Bank harus melakukan hal-hal berikut pada perjanjian kerjasama
bancassurance dengan perusahaan asuransi dengan model bisnis integrasi produk
yaitu sebagai berikut:
1) Bundled product yang dipasarkan tetap harus dapat dipisahkan atas
bagian produk yang menjadi risiko bank dan bagian produk yang menjadi risiko perusahaan asuransi mitra bank sehingga risiko masing-masing dapat diidentifikasi, diukur, dipantau, dan dikendalikan.
2) Bank dalam melakukan kerjasama bancassurance dengan perusahaan asuransi dalam kegiatan integrasi produk, hanya terkait dengan produk asuransi yang bersifat proteksi/ perlindungan.
3) Dalam hal pemasaran dilakukan menggunakan sarana komunikasi seperti melalui surat, media elektronik,dan website bank, maka sarana tersebut hanya sebagai media pengenalan awal mengenai bundled
product dan proses selanjutnya tetap harus melalui tatap muka dengan
nasabah untuk penjelasan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada nomor 4).
4) Bank wajib membentuk unit kerja khusus bancassurance dengan tugas
melakukan pengembangan, pemasaran, dan pengelolaan bundled
product. Dalam hal bank melakukan bancassurance dengan model
bisnis lainnya, maka unit kerja ini juga sekaligus menangani
bancassurance dalam bentuk model bisnis lainnya tersebut.
5) Bank wajib menjaga kecukupan jumlah pegawai yang memiliki
sertifikasi keagenan di setiap kantor yang melakukan bancassurance. 6) Nama produk yang merupakan bundled product harus mencerminkan
bahwa produk tersebut merupakan gabungan produk bank dan produk asuransi.
mendapat “komisi agen”, yang biasanya merupakan persentase tertentu dari harga penjualan.91
B. Tying Agreement sebagai Salah Satu Bentuk Perjanjian Tertutup yang
Dilarang
Kontrak agensi ini walaupun pada awalnya hubungan hukum antara bank dan nasabahnya telah eksis berdasarkan kontrak yang timbul dari penggunaan produk perbankan seperti yang diatur dalam Pasal 6-9 Undang Undang Perbankan, akan tetapi dalam praktik bancassurance ini konsekuensi perikatan yang timbul dari perjanjian asuransi yang dijual oleh pihak bank terhadap nasabahnya tersebut bukanlah menimbulkan perikatan antara si nasabah (yang berubah menjadi tertanggung dalam kontrak asuransi) dengan perusahaan asuransi tersebut. Jadi, sebagai agen penjualan, secara hukum bank tidak menggantikan posisi perusahaan asuransi sebgai pihak penanggung dalam bancassurance.
1. Bentuk tying agreement yang dilakukan oleh pelaku usaha
Tying Agreement merupakan salah satu jenis perjanjian yang dilarang
oleh UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dimana Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Dan dari Pasal 15 ayat (2) tersebut dapat diambil definisi dari perjanjian tertutup (tying agreement) yaitu perjanjian yang dibuat di antara pelaku
usaha yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan jasa lain dari pelaku usaha pemasok.92
92 Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Sehingga pelaku usaha yang membuat perjanjian tertutup ini dengan pihak lain dapat memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus yang dipasoknya kepada konsumen atau pelaku usaha lain baik itu pada tying product (barang dan/atau jasa yang pertama kali dijual kepada konsumen atau pelaku usaha lain ) dan tied product (barang dan/atau jasa yang harus dibeli konsumen atau pelaku usaha lain). Sebagai contoh, Wingsfood memiliki kekuatan monopoli untuk mie instant tetapi dia ingin memanfaatkan kekuatan monopolinya tersebut agar dapat memiliki kekuatan monopoli dalam produk lain, misalnya untuk kecap, sehingga dia memaksa konsumen yang membeli mie instant harus membeli kecap juga, sehingga memungkinkan untuknya memperluas kekuatan monopoli yang telah dimiliki oleh pelaku usaha tersebut pada produk mie instant juga pada produk kecap.
Pembelian tying product harus disertai dengan pembelian tied product, waluapun si pembeli sebenarnya tidak membutuhkan untuk membeli tied product. Dengan memiliki kekuatan monopoli untuk kedua produk sekaligus (tying
product dan tied product) oleh pelaku usaha, dapat menciptakan hambatan bagi
pelaku usaha pesaing untuk masuk ke dalam pasar dan membuat konsumen harus membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.93
Selain didukung oleh pemilikan posisi dominan, dan/atau memiliki kekuatan pasar yang signifikan, penguasaan pasar oleh pelaku usaha juga bisa terjadi melalui pemilikanfaktor-faktor khusus yang tidak dimiliki oleh pesaingnya. Faktor-faktor khusus ini dapat berupa, namun tidak terbatas pada HAKI (paten, hak cipta), regulasi pemerintah, hak eksklusif (lisensi), jaringan distribusi, dukungan finansial, fasilitas penting, loyalitas atau preferensi konsumen. Pemilikan atas satu atau lebih dari faktor-faktor ini membuat pelaku usaha berada
Kegiatan penguasaan pasar (market control) dari sudut pandang ekonomi, diartikan sebagai kemampuan pelaku usaha, dalam mempengaruhi pembentukan harga, atau kuatitas produksi atau aspek lainnya dalam sebuah pasar. Aspek lainnya tersebut tidak terbatas pada pemasaran, pembelian, distribusi, penggunaan atau akses atas barang dan/atau jasa tertentu di pasar bersangkutan. Kegiatan ini dapat dilakukan sendiri oleh satu pelaku usaha atau secara bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya, dan dapat terdiri dari dari satu atau beberapa kegiatan sekaligus.
93
Farid F. Nasution, “Perjanjian Distribusi Menurut Hukum Persaingan Usaha,” Jurnal
pada posisi yang lebih diuntungkan (memiliki daya tawar lebih) dibandingkan para pesaingnya.
Salah satu bentuk pelanggaran tying agreement yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah kasus PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II melakukan monopoli terhadap pelayanan dan berbagai aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Teluk Bayur dengan melakukan perjanjian tertutup bersama dengan perusahaan lain yang menyewa lahan pelabuhan milik Pelindo II dan memasukkan klausul bahwa para pelaku usaha dari perusahaan tersebut harus meggunakan jasa bongkar muat barang oleh Pelindo II . KPPU menilai bahwa Pelindo II telah melakukan perjanjian tertutup dengan perusahaan yang menyewa lahan tersebut dan menghalangi pelaku usaha lain untuk bersaing dan mendapat kesempatan bekerja sama dalam bidang usaha jasa bongkar muat barang dengan perusahaan yang membutuhkan jasa bongkar muat barang di pelabuhan tersebut.94
2. Unsur-unsur pelanggaran tying agreement
Penjabaran unsur-unsur yang ada dalam Pasal 15 ayat (2) UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat adalah sebagai berikut:
a. Pelaku Usaha.
Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
94
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
b. Perjanjian.
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
c. Pelaku usaha lain.
Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai hubungan vertikal maupun horisontal yang berada dalam satu rangkaian produksi dan distribusi baik di hulu maupun di hilir dan bukan merupakan pesaingnya. d. Pihak yang menerima.
Pihak yang menerima adalah pelaku usaha yang menerima pasokan berupa barang dan/atau jasa dari pemasok.
e. Barang
Barang menurut Pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
f. Jasa
g. Barang dan jasa lain.
Barang menurut Pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Jasa menurut Pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
Menurut Emmy Yuhassarie ada empat unsur pelanggaran perjanjian tertutup (tying agreement) yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu95
a. Harus ada dua macam produk yang berbeda dan terpisah yaitu tying
product (barang atau jasa yang pertama kali dijual) dan tied product
(barang atau jasa yang dipaksa harus dibeli juga oleh konsumen) yang merupakan dua produk yang terpissah
:
b. Pelaku usaha mempunyai kekuatan pasar (market power)
c. Pelaku usaha tidak memberikan pihak yang membeli tying product pilihan
selain harus membeli tied product dari pelaku usaha pemasok tersebut.
d. Perjanjian tertutup (tying agreement) tersebut menghalangi berlangsungnya volume perdagangan secara substansial.
95 Emmy Yuhassarie, Prosiding, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah
Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, UU No. 5/1999 dan KPPU
Perjanjian tertutup dalam hukum persaingan, harus dibuktikan dengan melihat latar belakang dibuatnya perjanjian tertutup tersebut serta menganalisis dampak dari dilaksanakannya hak-hak dan kewajiban para pihak yang lahir dari perjanjian tertutup tersebut. Pada awalnya untuk dapat membuktikan bahwa perjanjian tertutup tersebut melanggar atau tidak melanggar ketentuan Pasal 15, maka pembuktian harus dilakukan sesuai dengan tata cara penanganan perkara sebagaimana diatur dalam UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU wajib memperhatikan ketentuan Pasal 42 tentang alat-alat bukti dan dalam hal terdapat kesulitan memperoleh bukti-bukti seperti keterangan saksi, surat dan/atau dokumen serta keterangan pelaku usaha sendiri, adalah kewajiban hukum KPPU untuk menafsirkan dan menerapkan ketentuan Pasal 42 huruf d secara luwes dan dapat mengumpulkan bukti yang diperoleh dari penilaian atas situasi, kondisi dan keadaan seputar perjanjian tertutup yang diduga telah dibuat pelaku usaha (circumstansial evidence).96
Tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut maka perjanjian tertutup harus dinyatakan telah memenuhi kriteria pelanggaran Pasal 15 yaitu:
97
a. Perjanjian tertutup yang dilakukan harus menutup volume perdagangan
secara substansial atau mempunyai potensi untuk melakukan hal tersebut. Berdasarkan Pasal 4, ukuran yang digunakan adalah apabila akibat
96 Lihat Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 5 (Penetapan Harga) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Juli 2011, hlm.17.
Circumstancial evidence adalah alat-alat bukti yang tidak terkait secara langsung dengan
peristiwa atau tindakan yang dimaksud, namun berdasarkan konsitensi indikasi-indikasi yang ada dapat secara meyakinkan disimpulkan bahwa peristiwa atau tindakan yang dimaksud telah terjadi.
97 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pedoman
dilakukannya perjanjian tertutup ini, pengusaha memiliki pangsa 10% atau lebih.
b. Perjanjian tertutup dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar, dan kekuatan tersebut dapat semakin bertambah karena strategi perjanjian tertutup yang dilakukan. Ukuran kekuatan pasar adalh sesuai dengan Pasal 4 yaitu memiliki pangsa pasar 10% atau lebih.
c. Dalam perjanjian tying, produk yang dikaitkan dalam suatu penjualan
harus berbeda dari produk utamanya.
d. Pelaku usaha yang melakukan perjanjian tying harus memiliki kekuatan pasar yang signifikan sehingga dapat memaksa pembeli untuk membeli juga produk yang diiikat. Ukuran kekuatan pasar adalah sesuai Pasal 4 yaitu memiliki pangsa pasar 10% atau lebih.
Ada dua alasan yang menyebabkan praktik tying agremeent tersebut dilarang yaitu:98
a. Pelaku usaha yang melakukan praktik perjanjian tertutup (tying
agreement) tidak menghendaki pelaku usaha lain memiliki kesempatan
yang sama untuk bersaing secara fair dengan dia terutama pada tied
product.
b. Pelaku usaha yang melakukan praktik perjanjian tertutup (tying
agreement) juga telah menghilangkan hak konsumen untuk memilih secara
merdeka barang yang ingin mereka beli.
98
Besarnya market power yang dimiliki diguanakan untuk mencegah atau menghambat kompetisi pada tied product. Perjanjian tertutup yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar, dan kekuatan tersebut dapat semakin bertambah karena strategi perjanjian tertutup yang dilakukan.99
Klausul pada perjanjian tersebut mengatur tentang penggabungan produk yang disertai keharusan bagi penerima lisensi untuk menjual produk tersebut sebagai suatu kesatuan kepada konsumen. Sehingga konsumen tidak dapat membeli salah satu produk saja, maka dapat dipandang sebagai klausul yang jelas bersifat anti persaingan usaha.100
Ketentuan perjanjian tertutup (tying agreement) yang tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menganut prinsip per se illegal yaitu suatu metode pendekatan yang menganggap tindakan tertentu sebagai illegal, tanpa perlu dibuktikan bahwa perbuatan tersebut secara nyata telah merusak persaingan.101 Kegiatan yang dianggap per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu serta pengaturan harga penjualan kembali. Penerapan pendekatan
per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah
“dilarang” tanpa anak kalimat “.... yang dapat mengakibatkan....”.102
99
Ibid.
100 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat , 7 Juli 2011, Loc Cit.
101 Ayudha D. Prayoga, Op Cit ., hlm. 63. 102 Andi Fahmi Lubis, Op Cit., hlm. 56
UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai peraturan pelaksananya.
C. Tying Agreement dalam Kegiatan Bancassurance
Pertumbuhan perekonomian Indonesia yang lamban dan rendahnya realisasi investasi baru sejak krisis ekonomi 1998 telah mengakibatkan tingkat pertumbuhan bisnis asuransi baru juga sangat terbatas. Akibatnya untuk mempertahankan bisnis yang sudah ada dalam portofolionya, setiap penanggung pada umumnya harus menurunkan tingkat preminya pada setiap perpanjangan asuransi. Apabila tidak diturunkan, penanggung terancam kehilangan nasabah ke penanggung lain yang bersedia menerima bisnis baru dengan tingkat premi yang lebih rendah. Hal ini berarti bahwa tingkat premi harus turun untuk mempertahankan bisnis yang sudah ada dan penanggung harus menurunkan lebih jauh lagi untuk memperoleh bisnis baru. Perolehan bisnis baru berarti kehilangan bisnis lama bagi penanggung sebelumnya.103
103 Junaedy Gaeny, Op Cit., hlm. 293.
Sehingga dengan dasar ini lah banyaknya perusahaan asuransi mulai saat itu melakukan kerja sama dengan pihak bank dalam kegiatan bancassurance.
Pasal 10 huruf (b) UU Perbankan memang secara tegas diatur bahwa bank tidak diperbolehkan melakukan usaha perasuransian. Demikian juga dalam UU Perasuransian menyebutkan bahwa usaha asuransi hanya dapat dilakukan perusahaan asuransi. Akan tetapi dalam kegiatan bancassurance pihak bank bukanlah sebagai pihak yang memproduksi jasa pertanggungan tersebut dan kemudian menjualnya kepada konsumen atau nasabahnya, melainkan hanya sebagai alat ataupun agen yang merupakan perpanjangan tangan dari perusahaan asuransi kepada calon tertanggung. Dan mengenai konsekuensi produk yang dijual tersebut, bukanlah merupakan kewajiban dari bank untuk memenuhinya, akan tetapi perusahaan asuransi yang menjadi mitra bank dalam perjanjian
bancassurance tersebut.
Sebenarnya, aktivitas untuk menjadi agen produk untuk dijual kepada nasabah, bukan hanya terlihat dalam bancassurance, akan tetapi juga dalam penggunaan bank sebagai alat penjualan produk-produk yang dibungkus bersamaan dengan peluncuran produk-produk perbankan. Misalnya reksa dana, dan produk-produk kombinasi lainnya. Oleh karena itu, langkah bank untuk menjadi agen distribusi suatu produk asuransi tersebut seharusnya tidak dilarang karena secara komersial mampu meningkatkan kinerja dan peningkatan pencapaian keuntungan dari kedua pelaku lembaga keuangan tersebut. Sehingga perlu pengaturan hukum secara tegas mengenai kerjasama kegiatan
bancassurance antara bank dan perusahaan asuransi.
satunya adalah mengenai kemungkinan timbulnya persaingan usaha antara bank dengan bank lain begitu juga antara perusahaan asuransi dengan perusahaan asuransi lainnya.
Dunia usaha tidak dapat dipisahkan dari persaingan. Sementara bangsa Indonesia menganut nilai-nilai yang mengutamakan kebersamaan, ironisnya, persaingan dunia usaha menunjukkan gambaran yang berlawanan dalam praktik-praktik monopoli yang menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Pada kenyataannya perekonomian Indonesia hancur karena kemudahan yang diberikan pihak penguasa tidak berpihak pada kepentingan rakyat sehingga serta tidak dibarengi dengan iklim berusaha dan bersaing secara bebas.104
Sumber-sumber yang telah menyebabkan konsentrasi industri dan industri dan melahirkan praktik monopoli adalah:
105
1. Kemajuan teknologi dimana tidak semua pengusaha menguasai kinerja efisiensi ini sehingga terjadi akumulasi modal dan kekayaan di tangan beberapa orang dan kelompok.
2. Perlindungan pemerintah yang berlebihan yang melahirkan monopoli karena timbulnya konsentrasi industri, misalnya penunjukan berbagai importir dan berbagai pemasaran produk tertentu ke luar negeri.
3. Pemberian izin kepada perusahaan tertentu dan memberlakukan rintangan masuk kepada pihak lain yang ingin masuk ke jenis industri tersebut.
104 NN, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia ( ELIPS bekerja
sama dengan Partnership for Business Competition, 11 Desember 1999), hlm. 24.
105 Abdul Hakim G. Nusantara, Benny K. Harman, Analisis dan Perbandingan
4. Pemberian keringanan pajak dan subsidi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan tertentu memperoleh kesempatan melakukan akumulasi modal dan perolehan laba yang tinggi.
5. Konsentrasi terjadi melalui merger perusahaan yang lemah kepada perusahaan sejenis yang lebih kuat untuk mengurangi persaingan.
Selain itu, bank yang dalam hal ini posisinya sebagai agen dari produk asuransi, tentunya bank-bank yang akan menjadi mitra pelaksana kerjasama kegiatan bancassurance tersebut haruslah terlebih dahulu mendapatkan kualifikasi kelayakan untuk bertindak menjadi agen. Hal tersebut sangatlah dibutuhkan untuk menjaga hak dan kewajiban dari seluruh pihak yang terkait dalam perjanjian kerjasama kegiatan bancassurance tersebut secara jelas, tegas dan terlindungi di hadapan hukum.
Banyak kalangan juga menganggap kegiatan bancassurance ini merupakan kegiatan distribusi. Sedangkan perjanjian keagenan dan perjanjian distribusi sangatlah berbeda. Meskipun pada jenis kegiatan bancassurance ada kegiatan distribusi bukan berarti bahwa bancassurance merupakan kegiatan berdasarkan perjanjian distributor, namun pada kegiatan tersebut lebih bersifat distribusi.
Karekteristik distributor dapat dinyatakan sebagai berikut:106 1. Perusahaan yang bertindak untuk dan atas namanya sendiri.
2. Membeli dari prinsipal dan menjual kembali kepada konsumen kepentingannya sendiri.
106 boimlembong.blogspot.com/2013/12/agen-dan-distributor-a.html (diakses tanggal
3. Prinsipal tidak selalu mengetahui konsumen akhir dari produk-produknya. 4. Bertanggung jawab atas keamanan pembayaran barang.
Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat belakangan ini, membuat pelaku usaha harus dapat menyesuaikan diri agar tetap bertahan terutama supaya tidak terdepak dari persaingan yang semakin ketat. Upaya yang dilakukan untuk mengembangkan daya saing pelaku usaha diantaranya adalah menerapkan strategi dalam memperoleh keuntungan yang maksimal yakni dengan strategi jual paket (selanjutnya disebut bundling).
Definisi bundling yaitu sebuah bentuk umum dari pengikatan, dimana perusahaan mengharuskan pelanggan yang membeli atau menyewa sebuah produk atau jasanya juga mebeli atau menyewa produk atau jasa lainnya ketika pelanggan memiliki selera yang berbeda tetapi perusahaan tidak bisa melakukan diskriminasi harga (seperti dalam pengikatan). Dengan menjual atau menyewakan produk dan/atau jasa sebagai sebuah paket atau bundle, seorang monopolis bisa meningkatkan laba totalnya.107
107
Usman Maulana, “Ringkasan Ekonomi Manegerial
Jelas bahwa bundling merupakan strategi pemasaran dengan cara mengemas dua atau produk dalam sebuah paket penjualan dengan satu harga. Dalam bundling tidak selalu si penjual harus mempunyai kekuatan pasar (market power) yang besar, karena yang mempunyai market
power yang kecil juga bisa melakukannya. Dalam bundling juga tidak terdapat
unsur paksaaan tidak seperti dalam praktik tying, di samping itu produk yang dijual merupakan produk kombinasi yang biasanya diinginkan oleh konsumen. contoh bundling dalam kegiatan perasuransian yaitu kredit pemilikan rumah yang
wajib disertai asuransi kebakaran terhadap rumah dan kredit kendaraan bermotor yang wajib disertai asuransi kerugian terhadap kendaraan bermotor.
Praktik tying pada dasarnya dilakukan jika pelaku usaha ingin membeli produk A maka harus membeli produk B (namun pelaku usaha juga bisa membeli produk B secara terpisah). Dapat memungkinkan pelaku usaha membeli produk B secara terpisah tanpa harus membeli A yang kemudian menjelaskan bahwa ini merupakan tying dan bukan bundling. Dengan kata lain produk yang dijual adalah produk B saja atau produk A-B dalam satu paket. Dalam bundling juga dikenal adanya pure bundling dan mixed bundling. Pure bundling merupakan praktik penjualan paket murni dan tidak ada penjualan terpisah. Sedangkan mixed
bundling adalah praktik penjualan A-B dalam satu paket namun konsumen juga
dapat mebeli produk A dan B secara terpisah. Namun demikian yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa penjualan A dan B dalam satu paket bundle akan lebih murah dibandingkan dengan pembelian secara terpisah. Alasan utama pelaku usaha melakukan praktik bundling adalah untuk menyerap (extract) surplus saat konsumen memiliki penilaian produk yang terkolerasi negatif (konsumen menilai produk A dan B sebagai barang substitusi).108
Praktik tying tidak menguntungkan bagi si pembeli karena harus membeli produk lain yang tidak diinginkannya sedangkan dalam bundling, si pembeli bisa mendapatkan keuntungan dari paket penjualan yang ditawarkan si penjual. Namun, demikian ketika ada salah satu dari produk yang dibundling tersebut
108
memiliki market power yang tinggi, maka penerapan strategi bundling tersebut dapat menjadi antikompetitif. Oleh karena itu, praktik tying jelas berbeda dengan
bundling.109
Jika dikaitkan dengan definisi bundling sebagaimana dijelaskan di atas, produk bank dan produk asuransi jelas merupakan dua jenis produk yang berbeda dan terpisah, yang kemudian dijual secara bundle. Dilihat dari the focus of
bundling, jelas bahwa kerjasama bancassurance dengan jenis referensi dalam
rangka produk bank merupakan bundling product. Selanjutnya, apabila dilihat dari the form of bundling maka bancassurance jenis ini merupakan pure bundling
Aktivitas kerjasama dalam bentuk referensi bukan dalam rangka produk bank dan kerjasama distribusi tidak dapat dikategorikan sebagai bundling. Hal ini dapat dijelaskan demikian, dalam bentuk kerjasama referensi tidak dalam rangka produk bank, pihak bank dalam memberikan referensi mengenai adanya suatu produk perbankan kepada nasabah. Sehingga dalam hal ini, bank tidak menawarkan produk asuransi bersamaan dengan menawarkan produk bank, dengan kata lain, bank hanya menawarkan produk asuransi saja.
Selanjutnya, dalam aktivitas kerjasama distribusi, dikatakan bahwa bank berperan memasarkan produk asuransi dengan cara memberikan penjelasan mengenai produk asuransi secara langsung kepada nasabah kemudian meneruskan minat nasabah kepada perusahaan asuransi. Sebagai konsekuensi logis, dalam aktivitas bancassurance referensi tidak dalam produk bank dengan bank berperan seperti agen asuransi.
109
atau disebut juga tying. Dikatakan pure bundling karena produk bank tidak mungkin diperoleh tanpa membeli produk asuransi.110
Bancassurance dengan jenis integrasi produk. Integrasi produk
merupakan bentuk kerjasama pemasaran produk asuransi dengan cara bank melakukan modifikasi dan/atau menggabungkan produk asuransi dengan produk bank, selanjutnya bank menawarkan dan/atau menjual bundled product kepada nasabah. Dalam integrasi produk, peran bank tidak hanya memberikan penjelasan namun juga menindaklanjuti aplikasi nasabah atas bundled product, termasuk yang terkait dengan produk asuransi kepada perusahaan asuransi mitra bank. Dengan demikian diketahui bahwa dalam integrasi produk, bank menjual produk bank dan produk asuransi dalam satu kesatuan sebagai konsekuensi logis dari adanya modifikasi dan integrasi antara produk bank dan asuransi. Oleh karenanya OJK menegaskan bahwa dalam kerjasama pemasaran jenis ini, bundled product yang dipasarkan harus dapat dipisahkan atas bagian produk yang menjadi risiko bank dan bagian produk yang menjadi risiko perusahaan asuransi mitra bank sehingga risiko masing-masing dapat diiidentifikasi, diukur, dipantau dan dikendalikan.
111
Kasus dugaan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat pada kegiatan kerjasama bancassurance sebelumnya pernah dilakukan oleh Bank BNI pada tahun 2001. KPPU menilai perjanjian kerjasama kegiatan bancassurance antara Bank BNI dengan 4 perusahaan asuransi rekanan melenceng. Sebab, menjadikan
110
Perlu diingat bahwa asuransi diletakkan sebagai syarat untuk mendapatkan produk bank yang diinginkan (kredit).
111
Indriani Wauran, “Aktivitas Bancassurance dalam Dunia Perbankan: Adakah Praktik
Bundling yang Melanggar Hukum Persaingan Usaha ?,” Jurnal Refleksi Hukum April 2014, hlm.
empat perusahaan asuransi yang terikat kerja sama bisa menguasai pasar jasa asuransi dan cenderung melakukan oligopoli. Sedangkan BNI pada saat itu juga telah menerima permohonan perusahaan asuransi lain untuk menjadi rekanan yang menyebabkan praktik rekanan tersebut yang memunculkan persaingan usaha tidak sehat. Kasus ini dimulai dari laporan seorang pelaku usaha yang mempunya usaha perasuransian ingin bekerjsama dalam kegiatan bancassurance dengan Bank BNI, namun Ban BNI menolak kerjasama tersebut.
Tahun 2014 kemudian terjadi kasus pelanggaran yang serupa pada kasus Bank BNI di atas yaitu perkara Nomor 05/KPPU-I/2014 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 15 ayat (2) dan atau Pasal 19 huruf a yang dilakukan oleh PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk., (Persero) sebagai Terlapor I, PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera sebagai Terlapor II, dan PT. Heksa Eka Life Insurance sebagai Terlapor III. Yang menjadi obyek perkara adalah produk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) BRI yang mempersyaratkan asuransi jiwa dari konsorsium PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera dan PT. Heksa Eka Life Insurance.
usaha pemasok. Maka dengan demikian seluruh unsur Pasal 15 ayat (2) terpenuhi. Sedangkan pelanggaran Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah terbukti karena Terlapor I melakukan kegiatan bancassurance bersama dengan pelaku usaha lain yaitu Terlapor II dan Terlapor III, yang menolak dan atau menghalangi perusahaan asuransi jiwa lain untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar produk asuransi jiwa bagi debitur KPR BRI di seluruh wilayah Indonesia.
Upaya menolak dan atau menghalangi perusahaan asuransi jiwa lain dilakukan dengan cara menerapkan terms and conditions112
Kegiatan yang dilakukan oleh Terlapor I bersama-sama dengan Terlapor II dan Terlapor III menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat berupa pemasaran asuransi jiwa kredit yang dilakukan dengan cara melawan hukum karena melanggar ketentuan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/35/DPNP tanggal 23 Desember 2010. Dimana Terlapor I dalam menawarkan produk asuransi kepada nasabah yang mengajukan KPR, hanya menawarkan 2 produk asuransi kepada nasabah tersebut yang mau tidak mau nasabah tidak mempunyai yang sulit untuk dipenuhi oleh calon rekanan Terlapor I. Kegiatan bancassurance antara Terlapor I dengan Konsorsium Terlapor II dan Terlapor III serta penerapan terms and
conditions bagi calon rekanan Terlapor I tersebut mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli pemasaran asuransi jiwa kredit oleh konsorsium Terlapor II dan Terlapor III yang merugikan kepentingan umum dimana debitur KPR tidak memiliki alternatif pilihan penyedia asuransi jiwa kredit.
112Terms and Condition adalah syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam sebuah
banyak pilihan dalam memilih produk asuransi jiwa pada kredit KPR yang diajukannya.
Kegiatan yang dilakukan oleh Terlapor I bersama-sama dengan Terlapor II dan Terlapor III tersebut juga menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat berupa hambatan masuk bagi perusahaan asuransi jiwa lain yang menjadi pesaing potensial Konsorsium Terlapor II dan Terlapor III.
Uraian mengenai kegiatan dalam tiap produk bancassurance terkhusus pada kegiatan referensi dalam rangka produk bank dan integrasi produk yang menggunakan sistem bundling dan sering dikaitkan adanya perjanjian tertutup pada kegiatan tersebut terlebih dengan adanya kasus di atas, dimana dalam kasus tersebut dikatakan bahwa dalam kerjasama bancassurance tersebut melanggar ketentuan perjanjian tertutup dan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, perlu menganalisis apakah kerjasama bancassurance tersebut melanggar ketentuan perjanjian tertutup atau tidak.
Hukum Indonesia yang menganut sistem Civil Law113 dan menjunjung tinggi asas legalitas114
113 Civil Law adalah sistem hukum yang menyatakn bahwa ketentuan dalam UU adalah
sebagai sumber hukum tertinggi dan menjunjung tinggi Asas Legalitas.
114 Asas Legalitas menyatakan bahwa tiada delik dan tiada kejahatan yang dapat dihukum
atau dipidana apabila tidak ada ketentuan di dalam undang-undang yang mengaturnya (Nullum
Delictum Noela Poena Sinae Praevia Legae Poenali).
Praktik tying agreement dalam ketentuan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada kegiatan bancassurance harus dibuktikan apakah unsur-unsur dalam perjanjian tertutup tersebut terpenuhi atau tidak. Apabila terpenuhi maka perjanjian kerjasama kegiatan bancassurance adalah perjanjian kerjasama yang dilarang karena sifat perjanjian tertutup yang merupakan per se Illegal tanpa menghiraukan apakah perjanjian tersebut menyebabkan persaingan usaha tidak sehat atau tidak.
Unsur-unsur perjanjian tertutup dalam ketentuan Pasal 15 UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, telah dijelaskan sebelumnya. Maka, dalam hal ini harus dibuktikan terpenuhinya semua ketentuan unsur-unsur tersebut, yakni sebagai berikut:
1. Pelaku Usaha.
Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Perusahaan asuransi memenuhi unsur sebagai pelaku usaha.
2. Perjanjian.
perjanjian kerjasama bancassurance oleh perusahaan asuransi dengan pihak bank.
3. Pelaku usaha lain.
Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai hubungan vertikal maupun horisontal yang berada dalam satu rangkaian produksi dan distribusi baik di hulu maupun di hilir dan bukan merupakan pesaingnya. Pelaku usaha lain dalam unsur ini terpenuhi sebagai pihak bank.
4. Pihak yang menerima.
Pihak yang menerima adalah pelaku usaha yang menerima pasokan berupa barang dan/atau jasa dari pemasok. Unsur ini terpenuhi yakni pihak yang menerima pasokan disini adalah pihak bank berupa produk asuransi dari perusahaan asuransi.
5. Barang dan/atau jasa
Barang menurut Pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Jasa menurut Pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Produk asuransi yang diterima oleh pihak bank memenuhi unsur sebagai jasa.
6. Memasok kembali
bancassurance tidak ada kegiatan memasok kembali barang maupun jasa
oleh perusahaan asuransi kepada pihak bank. Kemudian sebagai mana diketahui bahwa kegiatan pasok memasok merupakan kegiatan yang berdasarkan perjanjian distributor, sedangkan bancassurance adalah kegiatan yang berdasarkan pada perjanjian keagenan. Maka dengan demikian unsur
ini tidak terpenuhi.
7. Barang dan jasa lain.
Barang menurut Pasal 1 angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Jasa menurut Pasal 1 angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Disebabkan hanya produk asuransi saja yang menjadi barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh pihak bank dan tidak ada barang dan/atau jasa lain, maka unsur ini tidak
terpenuhi.
Melihat penjabaran analisis pemenuhan unsur-unsur perjanjian tertutup pada kegiatan bancassurance, maka dapat dinyatakan bahwa perjanjian kerjasama
bancassurance bukanlah perjanjian tertutup (tying agreement) dan bukan
perjanjian yang dilarang dalam ketentuan undang-undang karena kegiatan
bancassurance yang berdasarkan pada perjanjian keagenan bukan pada perjanjian
97
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP TRANSPARANSI DALAM KEGIATAN
BANCASSURANCE TERKAIT ADANYA PERJANJIAN TERTUTUP
D. Prinsip Transparansi pada Lembaga Keuangan Bank dan Non- Bank
Prinsip-prinsip yang secara resmi digunakan oleh Organization of
Corporation and Development (OECD), sebagai rujukan internasional dalam
pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), yakni:115
1. Transparansi (transparancy ). Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu serta jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan.
2. Akuntabilitas (accountability). Menjelaskan peran dan tanggungjawab serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan pemegang saham, sebagaimana yang diawasi oleh Dewan Komisaris.
3. Pertanggungjawaban (responsibility). Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial.
4. Keadilan (fairness). Menjamin perlindungan hak-hak para pemegang saham, termasuk hak-hak pemegang sahan minoritas dan para pemegang saham asing serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor.
Definisi corporate governance menurut OECD yaitu sekumpulan hubungan antara pihak manajemen perusahaan,board, pemegang saham dan pihak
115
William Whiterell, Corporate Governance: A Basic Foundation for The Global
Economy in OECD Observer, (11 September 2000), dikutip dari I Nyoman Tjager. Corporate Governance : Tantangan dan Kesempatan Bagi Komunitas Bisnis Indonesia. (Jakarta: PT.
lain yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan. Corporate governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Corporate governance yang baik akan memberikan rangsangan bagi board dan manejemen untuk mencapai tujuan yang merupakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham. Dan juga harus memfasilitasi pengawasan yang efektif sehingga mendorong perusahaan menggunakan sumber daya dengan lebih efisien.116
Transparansi (transparency) dapat diartikan sebagai keterbukaan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material yang relevan mengenai perusahaan. Dalam mewujudkan transparansi itu sendiri perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut.
Pengurusan dan pengawasan perusahaan asuransi harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi dan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance selanjutnya disebut GCG). Korporasi-korporasi di Indonesia baik perusahaan-perusahaan publik maupun terbuka di pasar modal harus mulai melihat GCG bukan sebagai aksesoris belaka, tetapisuatu sistem nilai dan praktik terbaik (best practice) yang sangat fundamental bagi peningkatan nilai perusahaan. Termasuk penerapan prinsip-prinsip GCG oleh pelaku usaha dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat, yang mana lebih menitikberatkan dan mengutamakan penerapan prinsip transparansi.
117
116
Iman Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, Membangun Good Corporate
Governance ( Jakarta: Harvarindo, 2002), hlm. 2.
1. Prinsip transparansi pada lembaga keuangan bank
Bagi bank, untuk berkembang dan maju, penerapan tata kelola perusahaan yang baik GCG secara serius dan efektif merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi. Untuk tujuan penerapan GCG itu, iklim yang kondusif perlu diciptakan dan perlu terus-menerus dipelihara.
Pedoman GCG perbankan Indonesia dinyatakan untuk terciptanya kondisi yang menudukung implementasi GCG yang efektif salah satu tugas yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan otoritas yang terkait dalm hal ini yaitu OJK adalah penerbitan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan dilaksanakannya GCG secara efektif. Selain itu, pemerintah dan OJK harus mampu menjamin dan membuktikan bahwa penegakan hukum (law inforcement) dilakukan secara serius.118
Bagi bank untuk berkembang dan maju, implementasi GCG secara serius dan efektif merupakan tuntutan yang makin tidak dapat ditawar lagi. Untuk tujuan penerapan GCG itu, iklim yang kondusif perlu diciptakan dan dipelihara. Dimana bank perlu melakukan asessment atau pemetaan terhadap kondisi praktik GCG di bank tersebut yang dilakukan oleh konsultan independen, sehingga di dapat peta Konsekuensi yang harus dihadapi adalah bahwa setiap perusahaan harus mampu memperkuat dirinya terhadap berbagai risiko yang dihadapinya dengan cara memperkuat daya saingnya. Hal ini dilakukan untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan perkembangannya (suistinable growth).
118 Adrian Sutedi, Good Corporate Governance (Selanjutnya disebut Buku II), (Jakarta:
praktik GCG. Dari hasil assesment akan terlihat kesenjangan antara praktik sehari-hari bank dengan standar terbaik GCG.119
a. Bank wajib menyediakan informasi tertulis dalam bahasa Indonesia secara lengkap dan jelas mengenai karakteristik setiap produk bank.
Terlepas dari setuju atau tidak setuju, prinsip transparansi pada perbankan sebagai bagian dari GCG perlu dilakukan. Penerapan, penilaian dan pengawasan GCG perlu didukung dan dijalankan bersama untuk memperoleh hasil yang baik dan efektif agar tidak ala kadarnya saja. Implementasi GCG harus tetap dijalankan secara konsisten dan konsekuen mengikuti tata aturan yang berlaku.
Terlebih karena GCG adalah cerminan tanggung jawab kepada
stakeholder-nya, maka sasaran-sasaran public disclosures serta penyempurnaan
berbagai kebijakan bank perlu dilakukan. Tujuannnya adalah agar masyarakat menerima informasi-informasi yang seharusnya mereka peroleh untuk bekal pengambilan keputusan yang intinya adalah keputusan untuk percaya atau tidak percaya kepada bank yang bersangkutan. Dimana ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam penerapan prinsip transparansi dalam lembaga keuangan bank dapat dinyatakan sebagai berikut yang tertuang dalam Peraturan BI NO: 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah , yaitu tertuang dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 8 yakni:
b. Informasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, wajib disampaikan kepada nasabah secara tertulis dan atau lisan.
119 Mohamad Fajri, “Penilaian GCG Perbankan 2006”, Harian Suara Karya,. Kamis 16
c. Dalam memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, bank dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak etis (misconduct).
d. Informasi mengenai karakteristik Produk Bank sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c sekurang-kurangnya meliputi:
1) Nama produk bank. 2) Jenis produk bank.
3) Manfaat dan risiko yang melekat pada produk bank. 4) Persyaratan dan tata cara penggunaan produk bank. 5) Biaya-biaya yang melekat pada produk bank.
6) Perhitungan bunga atau bagi hasil dan margin keuntungan. 7) Jangka waktu berlakunya produk bank.
8) Penerbit (issuer/originator) produk bank.
e. Dalam hal produk bank terkait dengan penghimpunan dana, bank wajib memberikan informasi mengenai program penjaminan terhadap produk bank tersebut.
f. Bank wajib memberitahukan kepada nasabah setiap perubahan,
penambahan, dan atau pengurangan pada karakteristik produk bank sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan e.
h. Bank dilarang mencantumkan informasi dan atau keterangan mengenai karakteristik produk bank yang letak dan atau bentuknya sulit terlihat dan atau tidak dapat dibaca secara jelas dan atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
i. Bank wajib menyediakan layanan informasi karakteristik produk nank yang dapat diperoleh secara mudah oleh masyarakat.
j. Penyediaan layanan informasi mengenai produk bank sebagaimana
dimaksud pada huruf i, wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf h.
Sehubungan dengan hal tersebut, informasi-informasi dan fakta material yang disampaikan bank kepada masyarakat harus transparan dan benar-benar sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Kebenaran informasi ini sangat penting bagi masyarakat, oleh karena sering kali masyarakat dalam menentukan dan memilih bank didasarkan informasi mengenai bank yang bersangkuta. Informasi ini bukan hanya informasi yang disampaiakna oleh bank yang bersangkutan saja, tetapi informasi lain yang bersumber pada media informasi dan otoritas moneter, termasuk dari pemerintah.120
2. Prinsip transparansi pada lembaga keuangan non- bank
Pemerintah mengemban tanggung jawab menciptakan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia termasuk memberikan perlindungan atas berbagai resiko yang dihadapi oleh masyarakat dalam kehidupan mereka. Sifat jasa asuransi yang memberikan perlindungan risiko bagi masyarakat melalui pengumpulan dana dari
120 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di
masyarakat memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk memastikan bahwa dana yang dikumpulkan dari masyarakat akan tetap tersedia untuk membiayai setiap klaim yang timbul. Oleh karena itu, pemerintah mengemban peranan yang penting dalam mengawasi tingkat kesehatan industri asuransi nasional terutama perusahaan asuransi yang melakukan kerjasama bancassurance dengan pihak bank.
Setiap perusahaan yang ingin memperoleh tingkat kesehatan usaha yang baik, perasuransian haruslah didukung antara lain oleh kekuatan keuangan yang kokoh , sumber daya yang memiliki kemampuan teknis yang baik, infrastruktur operasi usaha yang mendukung, strategi bisnis yang tepat, praktik bisnis dan persaingan yang sehat dan tidak kalah pentingnya adalah iklim usaha dan pertumbuhan perekonomian nasional yang berkelanjutan yang akan membuka kesempatan berkembang pada pelaku usaha perasuransian dan pengawasan usaha yang lebih baik dan efektif. Dalam mencapai tujuan tersebut, beberapa hal dasar yang penting dan utama untuk terlebih dahulu diperhatikan adalah aspek-aspek kompetensi manejemen dan kualitas sumber daya manusia (SDM), aspek permodalan, aspek standar sistem operasi, aspek pengawasan dan infrastruktur serta aspek hukum.121
Sistem tata kelola organisasi perusahaan yang baik ini menuntut dibangunnyadan dijalankannya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan (GCG) dalam proses manajerial perusahaan. Dengan mengenal prinsip-prinsip yang berlaku secara universal ini diharapkan perusahaan dapat hidup secara
berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi para stakeholder-nya. Sejak diperkenalkan oleh OECD, prinsip-prinsip corporate governance berikut ini telah dijadikan acuan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut disusun seuniversal mungkin sehingga dapat berlaku bagi semua negara atau perusahaan dan diselaraskan dengan sistem hukum, aturan atau tata nilai yang berlaku di negara masing-masing. Penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau GCG bertujuan untuk:122
a. mengoptimalkan nilai perusahaan perasuransian bagi pemangku kepentingan khususnya pemegang polis,tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
b. meningkatkan pengelolaan perusahaan perasuransiansecara profesional, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan kepatuhan organ perusahaan perasuransian dan Dewan Pengawas serta jajarandi bawahnya agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada etika yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan kesadaran atas tanggung jawab sosial perusahaan perasuransian terhadap pemangku kepentingan maupun kelestarian lingkungan;
d. mewujudkan perusahaan perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan
e. meningkatkan kontribusi perusahaan perasuransian dalam perekonomian nasional;
122 Pasal 3 Peraturan OJK No. 2/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola Perusahaan yang
Pelaksanaan prinsip transparansi atau keterbukaan dilakukan dengan informasi harus diungkapkan secara tepat waktu dan akurat. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan agar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan yaitu dengan perusahaan asuransi melakukan hal sebagai berikut yaitu:123
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris; b. pelaksanaan tugas satuan kerja dan komite yang menjalankan fungsi
pengendalian internal perusahaan perasuransian;
c. penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal; d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal; e. penerapan kebijakan remunerasi;
f. rencana strategis perusahaan perasuransian;
g. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan perusahaan perasuransian;
B. Penerapan Prinsip Transparansi Dalam Kegiatan Bancassurance Terkait
Adanya Perjanjian Tertutup.
Perjanjian keagenan yang menjadi dasar dalam kegiatan pemasaran produk asuransi oleh pihak bank dalam ketentuan dalam UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan perjanjian yang
123
dikecualikan. Dalam Pasal 50 huruf d UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dikatakan bahwa pengecualian terhadap perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan/atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan.
Persaingan usaha yang tidak sehat dalam kerjasama kegiatan
bancasssurance salah satunya disebabkan karena dalam mencari partner
kerjasama dengan proses yang tidak transparan. Kemudian menimbulkan adanya praktik pemberian komisi pribadi oleh perusahaan asuransi kepada pihak bank dan mengesampingkan hak-hak daripada nasabah itu sendiri sebagai konsumen.124
124 Junaedy Gaeny, Op Cit., hlm. 362.
Termasuk juga produk bancassurance oleh bank dalam kegiatan kerjasama
bancassurance.
Prinsip transparansi baik pada perusahaan asuransi itu sendiri juga terutama pada pihak bank sangat diperlukan pada hal ini. Pihak bank yang menjadi terutama dalam menerapkan dan melaksanakan prinsip tersebut karena dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/35/DPNP Tahun 2010, lebih menitikberatkan kepada kinerja bank dalam melakukan kerjasama kegiatan
bancassurance minimal dengan 3 perusahaan asuransi yang artinya disini harus
Penetapan perusahaan asuransi yang menjadi mitra bank, bank wajib melakukan penilaian terhadap perusahaan asuransi yang menjadi mitra bank dalam bancassurance baik dalam kegiatan referensi, distribusi ataupun integrasi produk dengan memenuhi paling kurang hal-hal sebagai berikut:125
1. Perusahaan asuransi yang dapat dijadikan mitra bank adalah perusahaan asuransi yang memiliki tingkat solvabilitas paling kurang sesuai dengan ketentuan yang berlaku berdasarkan data terkini dari OJK.
2. Bank wajib memastikan bahwa perusahaan asuransi mitra bank telah memperoleh surat persetujuan dari Menteri Keuangan untuk melakukan
bancassurance.
3. Bank wajib memantau, menganalisa, dan mengevaluasi kinerja dan/atau reputasi perusahaan asuransi mitra bank secara berkala paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi perubahan kondisi kinerja dan/atau reputasi perusahaan asuransi mitra bank yang diketahui melalui berbagai sumber informasi.
4. Bank wajib mengakhiri kerjasama sebelum berakhirnya perjanjian atau tidak memperpanjang kerjasama apabila:
a. perusahaan asuransi mitra bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan/atau
b. menurunnya reputasi perusahaan asuransi mitra bank yang secara signifikan akan mempengaruhi profil risiko bank;
5. Dalam hal bank mengakhiri kerjasama sebagaimana dimaksud pada nomor 4, bank wajib:
a. menghentikan pemasaran produk asuransi yang dimuat dalam perjanjian kerjasama dimaksud; dan
b. menginformasikan kelanjutan penyelesaian hak dan kewajiban nasabah sehubungan dengan produk asuransi yang telah dipasarkan;
6. Dalam hal produk asuransi yang dipasarkan terkait dengan unit link, bank
wajib memastikan bahwa perusahaan asuransi mitra bank memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. telah memenuhi persyaratan terkait unit link sebagaimana diatur dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi;
b. mencatat dan mengelola secara khusus kekayaan dan kewajiban perusahaan asuransi mitra bank yang bersumber dari investasi produk unit
link; dan
c. melaksanakan hal-hal lain yang diperlukan agar dana investasi yang dipercayakan oleh nasabah dikelola secara optimal, profesional, dan independen;
harus memperhatikan ketentuan mengenai persaingan usaha yang berlaku agar menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.
Perjanjian kerjasama bancassurance antar para pihak di dalam ketentuan ataupun klausula perjanjian tersebut tidak memuat adanya jenis produk lain dari perusahaan asuransi tersebut yang akan dipasarkan oleh pihak bank. Hal ini berkaitan untuk menghindari adanya perjanjian tertutup dalam perjanjian kerjasama tersebut. Meskipun secara juridis, perjanjian kerjasama bancassurance bukanlah perjanjian yang dilarang dalam ketentuan UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat karena merupakan perjanjian keagenan yang dikecualikan dalam undang-undang tersebut, terl