• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kebijakan Ekonomi Ekspor Minyak Sawit Dan Produk Turunannya Ke Pasar Amerika Serikat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kebijakan Ekonomi Ekspor Minyak Sawit Dan Produk Turunannya Ke Pasar Amerika Serikat"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KEBIJAKAN EKONOMI EKSPOR MINYAK

SAWIT DAN PRODUK TURUNANNYA KE PASAR

AMERIKA SERIKAT

NILA RIFAI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Evaluasi Kebijakan Ekonomi Ekspor Minyak Sawit Dan Produk Turunannya Ke Pasar Amerika Serikat adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Nila Rifai H363090141

(4)
(5)

Nila Rifai. Evaluasi Kebijakan Ekonomi Ekspor Minyak Sawit Dan Produk Turunannya Ke Pasar Amerika Serikat. Dibimbing oleh YUSMAN SYAUKAT sebagai Ketua Komisi Pembimbing. HERMANTO SIREGAR dan E. GUMBIRA-SA’ID sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Pada tahun 2013, produksi minyak sawit dunia mencapai 55.7 juta ton, dengan kontribusi Indonesia sebesar 26.70 juta ton dan dikuti oleh Malaysia sebesar 21.7 juta ton, sehingga Indonesia dan Malaysia secara bersama menguasai sekitar 86 persen produksi minyak sawit dunia. Untuk pasar ekspor ke kawasan Amerika, Indonesia kalah jauh dari Malaysia yang mampu mengekspor minyak sawit sebesar 1.1 juta ton sedangkan Indonesia hanya 341 ribu ton. Peluang ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke Amerika Serikat masih sangat terbuka lebar karena permintaan minyak nabati di pasar Amerika Serikat cukup besar seperti dalam bentuk oleokimia dasar dan turunannya seperti fatty acid, metil ester, gliserol, fatty alkohol, dan berbagai macam produk surfaktan. Amerika Serikat merupakan pasar yang cukup besar dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia.

Secara umum tujuan penelitian ini adalah melakukan evaluasi kebijakan ekonomi terhadap ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke pasar Amerika Serikat. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder time series selama periode 1992 – 2012. Data dianalisis menggunakan pendekatan deskriptif dan ekonometrika, Two Stages Least Squares (2SLS).

Luas areal perkebunan sawit Indonesia pada tahun 2012 menjadi 9.07 ha. Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ini dimiliki oleh perkebunan rakyat 43.7 persen, perkebunan negara 8.4 persen dan perkebunan swasta 47.8 persen (Kementerian Pertanian, 2013). Dari total luas perkebunan sawit Indonesia tersebut, sekitar 1.5 – 2.0 juta ha (16 - 22 persen) dimiliki oleh perusahaan Malaysia (GAPKI, 2013). Beberapa perusahaan Malaysia yang memiliki perkebunan sawit di Indonesia antara lain Sime Darby, KL Kepong, IOI, TH Plantations dan Kulim. Perusahaan Malaysia ini memperoleh lahan sawit di Indonesia dengan cara akuisisi perkebunan sawit perusahaan lokal berskala kecil (dibawah 3000 ha) dan menengah (3000 – 10000 ha) dan dengan cara non akuisisi dengan melakukan kerjasama operasi (KSO) dengan BUMN perkebunan sawit.

Pada tahun 2010 tingkat konsetrasi pasar industri sawit Indonesia mencapai 46 persen, ini menunjukkan bahwa struktur pasar industri sawit Indonesia masih berbentuk oligopoli. Struktur pasar yang oligopoli cenderung menciptakan perilaku kolusif di antara perusahaan yang memiliki pasar yang besar. Sifat kolusif terlihat pada pasar minyak goreng domestik Indonesia. Struktur pasar industri minyak sawit dan produk sawit dalam negeri Malaysia adalah oligopoli kuat (high oligopoly) dengan konsentrasi CR4 sebesar 86 persen.

(6)

Serikat secara nyata dipengaruhi oleh konsumsi minyak nabati Amerika Serikat perkapita, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat, ekspor CPO Malaysia, konsumsi domestik CPO Malaysia dan konsumsi domestik minyak kedelai Amerika Serikat.

Kebijakan pengembangan industri produk turunan minyak sawit akan mampu meningkatkan ekspor produk turunan minyak sawit ke Amerika Serikat dan akan mampu menurunkan ekspor minyak sawit mentah yang memiliki nilai tambah yang rendah. Sedangkan kombinasi kebijakan yang lebih baik adalah dengan program pengembangan industri hilir minyak sawit yang didukung oleh peningkatan pajak ekspor CPO dan pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap US Dolar. Kebijakan ini akan mampu mendongkrak peningkatan lebih besar atas ekspor produk turunan minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat dan akan menurunkan secara signifikan atas ekspor minyak sawit dalam bentuk CPO.

Pengembangan produk turunan minyak sawit harus terus dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah produk sawit Indonesia. Untuk itu pemerintah perlu menerapkan kebijakan peningkatan promosi atas produk turunan minyak sawit Indonesia di luar negeri terutama Amerika Serikat yang merupakan salah satu kekuatan ekonomi dunia. Pemerintah perlu membentuk suatu lembaga perwakilan di Amerika Serikat yang fokus terhadap kegiatan promosi produk minyak sawit Indonesia dibawah pengawasan Kementerian Perdagangan RI. Pemerintah perlu meredam isu-isu negatif terhadap produk sawit Indonesia dengan cara kerjasama dengan media masa nasional dan internasional maupun publikasi ilmiah untuk menyampaikan berita-berita positif tentang produk sawit Indonesia.

(7)

Nila Rifai. Economic Policy Evaluation of The Export of Palm Oil and Its Derivative Products To The United State Of America Market. YUSMAN SYAUKAT as a Chairman of Advisory Committe, HERMANTO SIREGAR and E. GUMBIRA-SA’ID as members of Advisory Committe.

In 2013, the world palm oil production reached 55.7 million tons with the contributions of Indonesia and Malaysia of 26.7 million and 21.7 million tons, respectively. This has made the two countries share about 86 percent of the world palm oil production. For the USA market, the export of these products from Indonesia (341,000 tons) was much lower than that from Malaysia (1.1 million tons). The export opportunity of palm oil and its derivative products is still widely open as demand for plant oil in the USA market is quite large. This demand is for oleochemicals and their derivative products including fatty acids, methyl esters, glycerols, fatty alcohols, and various surfactant products. Having the third biggest population in the world, the USA is an enormous market.

In general, the aim of this study was to analyze the economic policy evaluation on the export of palm oil and its derivative products to the USA market. Time series data from 1992 – 2012 time period were used. Data were analyzed by using an econometric approach of Two Stages Least Squares (2SLS).

In 2012, plantation area of Indonesian palm oil reached 9.07 ha. This plantation are owned by Small Holder Plantation 43.7 percent, State Plantation 8.4 percent and Private Plantation 47.8 percent (Agriculture Ministry, 2013). Part of this plantation are owned by Malaysian companies, such as Sime Darby, KL Kepong, IOI, TH Plantations and Kulim. Malaysian companies got this plantation by acquisition from local small owner and operation collaboration with State Companies of Indonesia.

In 2010, market concentration of Indonesian palm oil industries reached 46 percent and Malaysia reached 86 percent. This market concentration indicate market structure palm oil industries in Indonesia and Malaysia is oligopoly.

Results showed that factors affecting the volume of export of palm oil and its derivative products to the USA market are the USA import of palm oil, labour demand, economic growth of USA and Malaysian palm oil production. Factors affecting an export price of Indonesian palm oil and its derivative products to the USA market are the Indonesian economic growth, the economic growth of the USA, export tax of Indonesian CPO, and the production value of Indonesian agricultural sector, Malaysian palm oil production and export of Malaysian palm oil. Factors affecting The USA import of palm oil are per capita consumption of vegetable oil in the USA, economic growth of USA, export of Malaysian palm oil, domestic consumption of palm oil in Malaysia and domestic consumption of soybean oil in USA.

(8)

export of palm oil in the form of CPO.

The development of palm oil derivative products needed to be done to improve the added value of Indonesian palm products. In order to make these products absorbed by the market, the government should implement the policy of the improvement of promotion of Indonesian palm oil derivative products overseas especially in the USA as one of the biggest economic power in the world. It was urgent for the government to establish a representative institution in USA which focuses on promoting Indonesian palm oil under the supervision of the Ministry of Trade. The government should also be able to counter the negative issues on Indonesian oil palm products by establishing cooperation with national and international mass media and scientific publications in disseminating positive news about Indonesian oil palm products.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta DilindungiUndang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB

(10)

SAWIT DAN PRODUK TURUNANNYA KE PASAR

AMERIKA SERIKAT

NILA RIFAI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr Ir Ratna Winandi, MS

Staf Pengajar Dept. Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Dr Sahara, SP, MSi

Staf Pengajar Dept. Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Penguji pada Ujian Terbuka :

1. Prof Dr Ir Tahlim Sudaryanto, MS APU

Staf Ahli Menteri Bidang Kerjasama Internasional, Kementerian Pertanian RI 2. Prof Dr Ir Rina Oktaviani, MS

Staf Pengajar Dept. Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

(12)

Produk Turunannya Ke Pasar Amerika Serikat

NamaMahasiswa : Nila Rifai

NRP : H363090141

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

Dr Ir Yusman Syaukat, MEc Ketua

Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc Anggota

Prof Dr Ir E Gumbira-Sa’id, MA Dev Anggota

Diketahui oleh:

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(13)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas selesainya penulisan disertasi ini. Tema yang penulis pilih adalah Evaluasi Kebijakan Ekonomi Ekspor Minyak Sawit Dan Produk Turunannya Ke Pasar Amerika Serikat.

Berbagai pihak telah banyak memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian dan penyempurnaan hasil penelitian ini. Jika masih terdapat kesalahan yang mungkin terjadi tetap menjadi tanggung jawab penulis. Penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para pembimbing, yaitu: Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc., sebagai ketua komisi pembimbing; Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, Mec. Dan Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id MADev (Alm.), masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing. Arahan dan masukan yang diberikan oleh komisi pembimbing selama penelitian dan penulisan sangat membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas S3-EPN. Dedikasi para dosen EPN-IPB yang sangat tinggi telah menjadikan penulis mampu mengikuti perkuliahan dengan baik.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan IPB yaitu Rektor IPB (Prof. Dr. Ir. Herry Sudaryanto), Dekan Sekolah Pascasarjana (Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.), dan Ketua Mayor Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS), atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi S3.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas S3-EPN angakatan 2009 atas dorongan dan kerjasamanya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai lembaga yang menyediakan data yang diperlukan untuk disertasi ini, yaitu BPS, Kementan, Kemenperin, BI, Kemendag, Kemenakertrans dan Pertamina.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Institut Pertanian Bogor yang telah membantu biaya pendidikan penulis selama mengikuti program studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor ini hingga selesai.

Disertasi ini juga dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Pada akhirnya, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini hanya penulislah yang bertanggungjawab. Tuhan akan memberi balasan berkah yang setimpal kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis.

Bogor, Agustus 2014

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xxi

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 10

Manfaat Penelitian 10

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 11

Hasil Yang Diharapkan 11

Kebaruan dan Kontribusi Penelitian 12

2 TINJAUAN PUSTAKA 13

Perdagangan Internasional 13

Organisasi Industri 13

Kebijakan Perdagangan 14

Perdagangan Internasional Minyak Sawit 19

Tinjauan Studi Terdahulu 21

3 KERANGKA PEMIKIRAN 29

Kerangka Teoritis 29

Kerangka Pemikiran Konseptual 35

4 METODE PENELITIAN 38

Jenis dan Sumber Data 38

Metode Pengolahandan Analisis Data 38

5 GAMBARAN UMUM PRODUK MINYAK SAWIT 47

Kelapa Sawit dan Produk turunannya 47

Perkembangan Produk Kelapa Sawit Indonesia 51 Perkembangan Industri Produk Turunan Minyak Sawit Indonesia 57

Perkembangan Produk Minyak Sawit Malaysia 64

6 KINERJA INDUSTRI PRODUK TURUNAN MINYAK SAWIT 68

Industri Produk Turunan Sawit Dunia 68

Perdagangan Dunia Industri Turunan Minyak Sawit 69 Potensi Ekspor Minyak Sawit Indonesia danTurunannya Ke Amerika

Serikat 87

7 ANALISIS DESKRIPTIF TENTANG STRUKTUR, PRILAKU DAN

KINERJA INDUSTRI SAWIT MALAYSIA DAN INDONESIA 95 Struktur, Prilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia 95 Struktur, Prilaku dan Kinerja Industri Sawit Malaysia 98

Kebijakan Perdagangan Minyak Sawit 105

Perbandingan Strategi Peningkatan Ekspor Produk Sawit ke Amerika

Serikat Antara Indonesia dan Malaysia 111

8 MODEL EKONOMETRIKA EKSPOR MINYAK SAWIT DAN

PRODUK TURUNANNYA KE AMERIKA SERIKAT 115

Analisis Umum Model Dugaan 115

(15)

Validasi Model 127

Simulasi Kebijakan 127

Implikasi Kebijakan 135

9 KESIMPULAN DAN SARAN 141

Kesimpulan 141

Saran 142

DAFTAR PUSTAKA 143

(16)

DAFTAR TABEL

1 Tarif Bea Keluar Produk Minyak Sawit Indonesia 3 2 Perbandingan Volume Ekspor dan Harga Minyak Sawit Indonesia

dan Malaysia 4

3 Perbandingan Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia dan

Malaysia ke Amerika Serikat 4

4 Total Volume dan Nilai Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat 5 5 Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Amerika Serikat 6 6 Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia ke Pasar Konvensional. 9 7 Volume Konsumsi dan Impor Minyak Sawit Negara Amerika Latin 9

8 Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 54

9 Pelaku Usaha Terbesar Industri Refinery/Minyak Goreng di Indonesia 58 10 Produsen Fatty Acid di Indonesia Tahun 2011 59 11 Perkembangan Produksi Fatty Acid Tahun 2003 – 2010 60 12 Produsen Fatty Alkohol di Indonesia Tahun 2011 60 13 Perkembangan Produksi Fatty alcohol Tahun 2003 – 2010 61 14 Kapasitas Terpasang Industri Biodiesel di Indonesia Tahun 2007– 2010 62 15 Produsen glycerin di Indonesia tahun 2011 dari Industri Fatty Acid dan

Fatty alcohol 63

16 Produsen Glycerin di Indonesia Tahun 2011 dari Industri Biodiesel 63 17 Perkembangan Produksi Glycerin Tahun 2003 – 2010 64 18 Perkembangan Ekspor RBD Olein Indonesia Tahun 2006 – 2010 70 19 Perkembangan Ekspor RBD Stearin Indonesia Tahun 2006-2010 70 20 Perkembangan Ekspor dan Impor Fatty Acid Indonesia tahun 2003

-2010 71

21 Perkembangan Ekspor dan Impor Fatty Alkohol Indonesia Tahun 2003

– 2010 71

22 Perkembangan ekspor dan impor biodiesel Indonesia tahun 2007 –

2010 72

23 Perkembangan Ekspor dan Impor Glycerin Indonesia Tahun 2003–

2010 72

24 Produksi Fatty Acid Dunia Tahun 2009 73

25 Produksi Fatty Alkohol Dunia Tahun 2009 74

26 Produksi Glycerin Dunia Tahun 2009 76

27 Permintaan dan Penawaran Glycerin Dunia Tahun 2009 77 28 Mandatori Penggunaan Biodiesel Permen ESDM No. 25 Tahun 2013 79 29 Estimasi Penggunaan Biodiesel Per Sektor Sesuai Permen ESDM No.

25 Tahun 2013 80

30 Jumlah Penduduk Amerika Serikat 88

31 Indikator Ekonomi Amerika Serikat Tahun 2012 88 32 Neraca Perdagangan Indonesia Ke Amerika Serikat 89 33 Pangsa Pasar dan Kebutuhan Minyak Nabati Dunia 90 34 Total Konsumsi Minyak Nabati Amerika serikat 91

35 Tarif Impor Minyak Sawit USA 92

(17)

37 Perkembangan Jumlah Permintaan CPO, Elastisitas Harga dan Elastisitas Substitusi Minyak Sawit 1991 -2012 102 38 Perbandingan Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Sawit Indonesia

dan Malaysia 103

39 Dugaan Persamaan Struktural Model Ekonomi Dampak Ekspor Minyak Sawit Indonesia danTurunannya ke Pasar Amerika Serikat 115 40 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Minyak Kelapa Sawit

Indonesia Tahun 1992 – 2012 117

41 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Permintaan Minyak Kelapa

Sawit Indonesia Tahun 1992 – 2012 118

42 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Riil Domestik Minyak Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1992 – 2012 119 43 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Minyak Kelapa

Sawit Indonesia Tahun 1992 – 2012 120

44 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Minyak Kelapa Sawit

Indonesia Tahun 1992 – 2012 121

45 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Luas Areal Kebun Kelapa Sawit

Indonesia Tahun 1992 – 2012 122

46 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produksi Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1992 – 2012 123 47 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Tandan Buah Segar

Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1992 – 2012 124 48 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ekspor Minyak Sawit Indonesia

dan Turunannya ke USA Tahun 1992 – 2012 125

49 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Harga Ekspor Minyak Sawit Indonesia dan Turunannya ke USA Tahun 1992 – 2012 125 50 Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Impor Minyak Sawit Amerika

Serikat Tahun 1992 – 2012 126

51 Hasil Validasi Model Ekonomi DampakEksporMinyakSawit Indonesia

danTurunannya ke PasarAmerikaSerikat 127

52 Hasil Simulasi Kenaikan Pajak Ekspor Minyak Sawit 128 53 Hasil Simulasi Peningkatan Nilai Tukar Rupiah Terhadap US Dolar

sebesar 12 Persen 129

54 Hasil Simulasi Pengembangan Produk Turunan Minyak Sawit sebesar

20 persen 130

55 Hasil Simulasi Pengembangan Produk Turunan Minyak Sawit sebesar

50 persen 131

56 Hasil Simulasi Pengembangan Produk Turunan Minyak Sawit 20

Persen dan Kenaikan Pajak Ekspor 132

57 Pengembangan Produk Turunan Minyak Sawit 20 Persen, Kenaikan

Pajak Ekspor dan Kenaikan NilaiTukar 133

58 Hasil Simulasi Pengembangan Produk Turunan Minyak Sawit 50

Persen dan Kenaikan Pajak Ekspor 134

59 Pengembangan Produk Turunan Minyak Sawit 20 Persen, Kenaikan

Pajak Ekspor dan Kenaikan NilaiTukar 135

60 Dampak Pengembangan Produk Turunan Sawit Terhadap Peningkatan

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi Minyak Sawit Dunia (Juta Ton) Berdasarkan Negara Tahun 2013 2 2 Pergerakan Harga Minyak Nabati di Pasar Dunia 7 3 Perkembangan Harga SME, PME dan RME di Pasar Dunia 8 4 Dampak Pemberlakukan Pajak Ekspor Terhadap Suatu Produk 15

5 Dampak Pembatasan Ekspor 16

6 Dampak Pemberiaan Subsidi Ekspor 17

7 Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Terhadap Suatu Produk 18 8 Pengaruh Kenaikan Pajak Ekspor terhadap Volume Ekspor dan Produk

Turunan Sawit 31

9 Alur Kerangka Pemikiran Konseptual 37

10 Diagram Keterkaitan Antar Blok Persamaan Ekspor Minyak Sawit dan

Produk Turunannya ke Amerika Serikat 43

11 Neraca massa pengolahan kelapa sawit 47

12 Teknologi Proses Minyak Sawit Menjadi Produk Pangan 48 13 Teknologi Proses Pengolahan Minyak Sawit Menjadi Produk

Oleokimia 49

14 Teknologi Proses Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi Bioenergi 50

15 Pohon Industri Minyak Sawit 51

16 Perkembangan Luas Areal Kebun Kelapa Sawit Indonesia 52

17 Perkembangan Produksi TBS Kelapa Sawit 52

18 Perkembangan Harga TBS Kelapa Sawit 53

19 Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit Indonesia 53 20 Perkembangan Permintaan Minyak Kelapa Sawit Domestik Indonesia 55 21 Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sawit Domestik Indonesia 55 22 Perkembangan Harga Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia 56

23 Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit 56

24 Petapenyebaran Pabrik Refinery/Minyak Goreng Sawit Indonesia

Tahun 2010 57

25 Grafik Perkembangan Produksi Olein/Minyak Goreng Indonesia 59 26 Perkembangan Luas Areal Kebun Kelapa Sawit Malaysia 65 27 Perkembangan Produksi Minyak Kelapa Sawit Malaysia 65 28 Perkembangan Permintaan Minyak Kelapa Sawit Domestik Malaysia 66 29 Perkembangan Harga Minyak Kelapa Sawit Domestik Malaysia 66 30 Perkembangan Harga Ekspor Minyak Kelapa Sawit Malaysia 67 31 Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Malaysia 67

32 Konsumsi Minyak Sawit Dunia Tahun 2010 73

33 Supply dan Demand Fatty Alcohol Dunia 74

34 Konsumsi Biodiesel Dunia Tahun 2007 75

35 Permintaan Biodiesel Asia Pasifik Tahun 2006-2011 75

36 Permintaan dan Penawaran Biodiesel Dunia 76

37 Pasar Produk Fatty Acid 78

38 Pasar Fatty Alkohol 78

39 Pasar Oleokimia Dalam Bentuk Glycerin 80

(19)
(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Produsen Palm oil Refinery/minyak goreng Dunia 153 2 Produsen Fatty Acid Dunia Berbahan Baku Minyak Nabati 154

3 Produsen Fatty Alcohol Dunia 155

4 Produsen Biodiesel Dunia Berbahan Baku Minyak Nabati 156 5 Produsen Glycerin Dunia Berbahan Baku Minyak Nabati 161 6 Kebijakan Perdagangan Minyak Sawit Indonesia 163

7 Sintax Estimasi Persamaan Model 176

(21)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Kebutuhan dunia akan minyak nabati terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 kebutuhan minyak nabati dunia mencapai 162.8 juta ton, meningkat nyata dibanding pada tahun 2012 yang hanya 157.9 juta ton, sedangkan pada tahun 2030 kebutuhan dunia akan minyak nabati meningkat menjadi 315.2 juta ton yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dunia dan beralihnya kebutuhan sumber energi dari fosil ke minyak nabati (biofuel) (Dewan Minyak Sawit Indonesia, 2014). Saat ini pemenuhan kebutuhan minyak nabati dunia berasal dari minyak sawit (36.1 persen), minyak kedelai (27.4 persen), minyak biji rapa (rapeseed oil) (15.2 persen) dan sembilan jenis minyak lainnya (21.4 persen). Kontribusi minyak sawit yang cukup besar disebabkan oleh produktivitas tanaman sawit yang lebih tinggi, rata-rata mencapai 2.3 – 4.4 ton/ha/tahun sedangkan tanaman sumber minyak nabati lainnya yang hanya berkisar 0.2 – 0.5 ton/ha/tahun dan masih tersedianya lahan di daerah tropis untuk perkebunan kelapa sawit (Dewan Minyak Sawit Indonesia, 2011).

Pada tahun 2013, produksi minyak sawit dunia mencapai 55.7 juta ton, dengan kontribusi Indonesia sebesar 26.70 juta ton dan dikuti oleh Malaysia sebesar 21,7 juta ton, sehingga Indonesia dan Malaysia secara bersama menguasai sekitar 86 persen produksi minyak sawit dunia seperti yang terlihat pada Gambar 1. Pada tahun 2013 tercatat bahwa volume ekspor minyak dan produk turunan sawit Indonesia adalah 21.2 juta ton dengan nilai USD 19.1 Milyar (47 persen dari perdagangan minyak minyak sawit internasional), sedangkan Malaysia mengekspor sebesar 19.8 juta ton (44 persen dari nilai perdagangan minyak sawit internasional) (Dewan Minyak Sawit Indonesia, 2014).

Perdagangan internasional membuat pasar menjadi lebih kompetitif (ManKiw, 2007) dan perubahan kondisi perdagangan dunia menuntut dunia agroindustri Indonesia untuk tidak hanya memiliki keunggulan komparatif, melainkan juga keunggulan kompetitif yang tinggi, yang tercermin dari mutu produk yang tinggi dan harga yang dapat bersaing (Said, 2009). Perdagangan internasional berperan mendorong perluasan pasar produk ekspor dan memperbesar penerimaan devisa dalam penyediaan dana bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara, salah satunya pasar ekspor minyak sawit Indonesia. Dalam pasar global, produk-produk manufaktur menempati prioritas utama perdagangan, dengan kontribusi mencapai lebih dari 74 persen (Said dan Dewi, 2004). Menurut proyeksi KADIN Indonesia (2009), penerimaan devisa Indonesiatahun 2010 – 2014 dari komoditas minyak sawit mentah (Crude Palm Oil (CPO)) mencapai USD 80.9 Milyar (80 persen dari total nilai ekspor komoditas pertanian andalan, yaitu CPO, teh, kopi, kakao, tuna dan udang).

(22)

perdagangan minyak sawit sehingga harga ekspor minyak sawit akan mengalami penurunan, yang akan berdampak pada peningkatan peluang ekspor minyak sawit dan produk turunannya. Dampak bagi negara importir adalah terjadinya penurunan harga domestik terkait minyak nabati yang dapat disubsitusi oleh minyak sawit yang kemudian akan meningkatkan permintaan domestik, dan disisi lain akan menurunkan produksi dan penawaran domestik.

Sumber: DMSI, 2014

Gambar 1. Produksi minyak sawit dunia (juta ton) berdasarkan Negara Tahun 2013

Sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia, pangsa ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya kalah bersaing dibandingkan Malaysia. Dari total produksi CPO nasional tahun 2013 tersebut, konsumsi Indonesia terhadap CPO hanya 4 juta ton untuk minyak goreng dan 7.7 juta ton untuk kebutuhan oleokimia dan biodiesel sementara sisanya diekspor dalam bentuk CPO. Malaysia lebih banyak mengekspor produk turunan minyak sawit yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Menurut Malaysia Palm Oil Board (MPOB), pada tahun 2013 Malaysia mengekspor hanya sebesar 3.8 juta ton CPO (17.5 persen) dan mengekspor sebesar 17.9 juta ton CPO (82.5 persen) yang telah diolah menjadi berbagai produk pada industry processing. Kondisi ini sangat berbeda dengan Indonesia yang mengekspor 40.34 persen CPO dan hanya sebesar 59.38 persen yang diolah menjadi produk hilir kelapa sawit. Menurut Kementerian Perdagangan (2013) Pasar ekspor utama minyak sawit Indonesia adalah Cina (9.4 persen), India (22.4 persen), Eropa (12 persen), Pakistan (4.2 persen), Amerika Serikat (1.5 persen). Sementara Malaysia memiliki pasar ekspor ke China, Pakistan, Uni Eropa-27, India, Jepang, Korea, Taiwan, Amerika Serikat, Asia Tenggara, Mesir, Uni Emirate Arab dan Bangladesh.

(23)

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2011 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Berdasarkan peraturan tersebut, untuk harga referensi CPO sampai USD 750 per ton, tarif Bea Keluar sebesar 0 persen dan tarif Bea Keluar di atas mengalami perubahan setiap kenaikan harga referensi sebesar USD 50 per ton. Untuk kondisi harga referensi CPO yang berkisar antara USD 1000 – 1050, maka tarif Bea Keluar CPO dan produk turunannya berdasarkan peraturan baru adalah sebagai berikut: CPO sebesar 15 persen, RBD (Refined Bleached Deodorized)Palm Olein sebesar 7 persen, RBD Palm Oil 5 peren, RBD Palm Stearin 5 persen dan Biofuel sebesar 2 persen seperti yang diperlihatkan pada Tabel 1. Dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan investasi langsung di industri hilir kelapa sawit guna mendorong pertumbuhan ekonomi, serta untuk pemerataan pembangunan dan percepatan pembangunan bagi usaha tertentu, pada tahun 2011 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 52/2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Atau Daerah-Daerah Tertentu. Berdasarkan peraturan tersebut, Perusahaan yang menanamkan modal di industri kelapa sawit diberikan fasilitas pajak penghasilan sebagai berikut:

1. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30 persen dari jumlah penanaman modal, dibebankan selama enam tahun, masing-masing sebesar 5 persen per tahun

2. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat

3. Pengenaan pajak penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10 persen atau tarif yang lebih rendah menurut persetujuan penghindaran pajak berganda yang berlaku

4. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun.

Tabel 1. Tarif Bea Keluar Produk Minyak Sawit Indonesia (Harga Referensi USD 1000 – 1050)

Produk

Peraturan Menteri Keuangan RI No. 75/2012 Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2012

Dengan adanya kedua peraturan tersebut, pemerintah mengharapkan mulai tahun 2012 terjadi peningkatan ekspor produk turunan CPO yang bernilai tambah yang lebih tinggi dan berkembangnya industri hilir kelapa sawit di Indonesia. Keberhasilan di atas pada akhirnya akan meningkatkan devisa negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

(24)

Malaysia sebesar 6.38 juta ton dan 1.53 juta ton. Untuk pasar ekspor ke kawasan Amerika, Indonesia kalah jauh dari Malaysia yang mampu mengekspor minyak sawit sebesar 1.1 juta ton sedangkan Indonesia hanya 341 ribu ton. Hal ini menunjukkan bahwa tarif bea keluar minyak sawit Indonesia dan produk turunannya berdasarkan kebijakan tarif bea keluar sebelumnya belum mampu meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia,walaupun harga produk minyak sawit Indonesia lebih rendah dibandingkan harga minyak sawit malaysia yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Volume Ekspor dan Harga Minyak Sawit Indonesia dan Malaysia

Kawasan

Volume Ekspor Minyak Sawit (’000 Ton)

2010 2011 2012 Indonesia Malaysia Indonesia Malaysia Indonesia Malaysia

Asia Pasifik 2 857 5 717 3 476 6 985 3 666 6 381

Sumber: MPOC, 2013 & USDA, 2013

Harga rata-rata minyak sawit Indonesia sejak tahun 2011 sampai 2012 berturut-turut sebesar USD 1 041.9 dan USD 920.7 per ton dimana harganya lebih rendah dibandingkan harga minyak sawit Malaysiaberturut-turut USD 1 076.5 dan USD 939.8 per ton dengan selisih harga yang terus mengalami fluktuasi. Pada tahun 2010 selisih harga rata-rata minyak sawit Indonesia dan Malaysia adalah USD 3.5 per ton, pada tahun 2011 sebesar USD 34.6 dan tahun 2012 sebesar USD 19.1 per ton.

Tabel 3. Perbandingan Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia dan Malaysia ke Amerika Serikat

Negara

Volume Ekspor (’000 ton)

2010 2011 2012 Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Indonesia 37 3.47 31 2.85 42 3.92

Malaysia 1 028 96.53 1 055 97.15 1 029 96.08

Total 1 065 100 1 086 100 1 071 100

Nilai Ekspor (USD ’000)

Indonesia 32 899 33 015 38 547

Malaysia 891 790 1 135 707 967 430

Sumber: MPOC, 2013& Kemendag, 2013 (diolah)

(25)

atau Malaysia menguasai 85 persen pasar ekspor minyak sawit ke Amerika Serikat. Volume ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sempat mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi 3.85 persen, namun mengalami peningkatan pada tahun 2012. Apabila Indonesia mampu meningkatkan ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke Amerika Serikat dengan volume dan nilai yang besar akan meningkatkan penerimaan devisa negara dan secara langsung akan meningkatkan pengembangan industri hilir kelapa sawit, selain itu pasar Amerika Serikat akan menjadi pintu masuk untuk memudahkan produk sawit Indonesia masuk pasar negara-negara Amerika Selatan. Disamping itu pasar ekspor minyak sawit Indonesia perlu ditingkatkan untuk mengatasi kelebihan produksi minyak sawit Indonesia yang diperkirakan akan mencapai produksi 40 juta ton pada tahun 2020. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk menganalisis perkembangan dan potensi ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannyake Amerika Serikat.

Perumusan Masalah

Selama sepuluh tahun terakhir total volume ekspor Indonesia ke Amerika Serikat berfluktuatif. Berdasarkan data BPS yang diperlihatkan pada Tabel 4, pada tahun 2008 nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat adalah USD 13 037 juta dengan kontribusi 9.51 persen dari total ekspor. Jika dibandingkan dengan nilai ekspor tahun 2007, peningkatan ekspor sebesar 12.25 persen ini disebabkan oleh membaiknya perkekonomian Amerika Serikat sehingga penyerapan produk impor dari Indonesia juga mengalami peningkatan.

Tabel 4. Total Volume dan Nilai Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat

Tahun Volume (Ton) Pertumbuhan (%) Nilai (USD Ribu)

2002 6 542 820 7 558 636

(26)

Amerika Serikat terus mengalami peningkatan dengan kontribusi 31.48 persen (2010) dan 15.37 persen (2011) dari total ekspor Indonesia, namun mengalami penurunan dari volume ekspor. Penurunan volume ekspor ke Amerika Serikat disebabkan oleh terjadinya peningkatan nilai ekspor Indonesia yang cukup besar ke negera-negara ASEAN dan Asia terutama Cina dan Korea Selatan.

Dari sisi ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke Amerika Serikat, ekspor Indonesia sangat kecil jika dibandingkan dengan Malaysia. Hal ini cukup ironis dimana Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia namun hanya menguasai sekitar 3 persen dari total pangsa pasar minyak sawit ke Amerika Serikat. Hal ini disebabkan oleh belum adanya lembaga khusus yang mewakili industri kelapa sawit Indonesia di Amerika Serikat, dan Indonesia tidak melakukan promosi yang rutin untuk menjaga citra positif dari minyak sawit Indonesia dan produk turunannya (Kardiman, 2011). Selain itu, kebijakan non tarif yang diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat serta isu lingkungan turut menjadi kendala peningkataan volume ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat. Padahal peluang ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke Amerika Serikat masih sangat terbuka lebar karena permintaan minyak nabati di pasar Amerika Serikat cukup besar dalam bentuk oleokimia dasar dan turunannya seperti fatty acid, metil ester, gliserol, fatty alcohol, dan berbagai macam produk surfaktan. Amerika Serikat merupakan pasar yang cukup besar dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia. Untuk minyak makan saja pasar Amerika serikat mengkonsumsi minyak nabati sebesar 9.5 juta ton pada tahun 2010 dan belum mencakup bahan baku untuk industri oleokimia dan bio-energi seperti biodiesel.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa pada tahun 2010 konsumsi minyak nabati rumah tangga dan industri Amerika Serikat adalah 13.26 juta ton, sedangkan produksi dalam negerinya hanya 10.11 juta ton yang berasal dari minyak kedelai (Soybean oil) sebesar 8.69 juta ton, minyak jagung (Corn oil) sebesar 1.11 juta ton dan minyak biji kapas (Cottonseed oi)l sebesar 305 juta ton. Dengan demikian, Amerika Serikat mengimpor 3.14 juta ton minyak nabati untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati domestiknya yang bersumber dari minyak sawit (97.35 persen), minyak kedelai (2.14 persen), minyak jagung (0.2 persen) dan minyak biji kapas (0.26 persen).

Tabel 5. Produksi dan konsumsi minyak nabati Amerika Serikat (Ribu Ton) Jenis Minyak

nabati

2009 2010 Produksi Konsumsi Produksi Konsumsi

Cottonseed

Sumber: Biro Sensus Amerika Serikat, 2010

Populasi 2010 = 308 745 538, Populasi Feb 2012 = 312 955 603

(27)

13.4 juta ton sedangkan produksi minyak nabati Amerika Serikat hanya sekitar 10.1 juta ton (2010) yang berasal dari minyak kedelai (8.7 juta ton), minyak jagung (1.16 juta ton) dan minyak biji kapas (305 ribu ton), sehingga ada peluang untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati AS sebesar 3.3 juta ton oleh negara produsen minyak nabati. Selain itu kebijakan ”Green Car” pada industri otomotif Amerika Serikat yang mewajibkan industri otomotif untuk memproduksi kendaraan ramah lingkungan yang menggunakan bahan bakar nabati (biofuel) akan turut meningkatkan konsumsi minyak nabati, salah satunya minyak sawit yang dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel. EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat pada awal tahun 2012 mengeluarkan notifikasi yang meramalkan bahwa kebutuhan biodiesel Amerika Serikat mulai tahun 2022 adalah 5.5 juta ton per tahun dan 1.5 juta ton di antaranya akan dipasok dari CPO. Ini merupakan peluang pasar yang cukup besar bagi negara-negara penghasil minyak nabati termasuk Indonesia.

Walaupun Amerika Serikat merupakan penghasil minyak kedelai ketiga terbesar di dunia dengan pangsa pasar 11.46 persen setelah Argentina dan Brazil, ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya masih sangat berpeluang masuk ke Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan harga minyak sawit dan produk turunannya lebih rendah dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya sehingga harganya lebih kompetitif seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2 dan 3.

Sumber: World Bank dan IMF (2013 diolah)

(28)

Fluktuasi harga produk turunan minyak sawit juga cenderung mengikuti tren perubahan harga minyak sawit (CPO). Selama tahun 2008 – 2009 harga Palm Methyl Ester (PME) dibawah Soybean Methyl Ester (SME) yang banyak terdapat di negara Amerika dan Rapeseed Methyl Ester (RME) yang banyak terdapat di negara Eropa. Dari aspek harga dan bahan baku daya saing produk turunan minyak sawit Indonesia cukup baik di pasar dunia. Pada tahun 2022 harga minyak sawit diramalkan berkisar USD 550/ton sedangkan harga minyak kedelai berkisar USD 725 per ton, hal ini juga memperlihatkan bahwa harga minyak sawit masih sangat kompetitif untuk masa yg akan datang.

Pasar ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke Amerika Serikat selama ini dikuasai oleh Malaysia, padahal produsen minyak sawit terbesar di dunia adalah Indonesia. Perkembangan ekspor minyak sawit Indonesia selama ini banyak dipengaruhi oleh konsumsi dalam negeri, dalam rangka mencapai kestabilan harga sehingga konsistensi kebijakan ekspor tidak terlalu baik dibandingkan dengan Malaysia (Purwanto, 2002). Untuk itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk membandingkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang mempengaruhi perkembangan ekspor minyak sawit dan produk turunannya antara Indonesia dan Malaysia yang merupakan produsen terbesar minyak sawit dunia.

Sumber: MPOB, 2012

Gambar 3. Perkembangan Harga SME, PME dan RME di Pasar Dunia

(29)

kedelai ke minyak sawit di beberapa negara. Dengan terjadinya peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat akan memudahkan produk sawit Indonesia untuk memasuki pasar ke negara-negara di kawasan Amerika lainnya dan pada akhirnya akan meningkatkan devisa nasional yang berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.

Indonesia perlu memperluas pasar seperti ke Amerika Serikat untuk meningkatkan ekspor minyak sawit dan produk turunnannya dan tidak hanya bergantung pada pasar ekspor konvensional (Cina, India dan Eropa). Apabila Eropa mengalami krisis ekonomi, ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa akan mengalami penurunan yang juga terimbas ke penurunan permintaan minyak sawit oleh Cina. Hal ini terbukti dari data BPS pada tahun 2012 bahwa ekspor non migas Indonesia hanya mencapai USD 153.1 Milyar atau hanya mengalami pertumbuhan sebesar 5.52 persen, sedangkan secara nasional Indonesia mengalami defisit ekspor sebesar USD 1.6 Milyar. Gejala penurunan ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor konvensional akibat krisis ekonomi Eropa sudah mulai terlihat sejak tahun 2010 seperti telihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia ke Pasar Konvensional

Negara Volume Ekspor Minyak Sawit (’000 Ton)

2007 2008 2009 2010 2011 Cina 1 441.1 1 766.9 2 645.4 2 174.4 2 032.8 India 3 305.7 4 789.7 5 496.3 5 290,9 4 980 Belanda 829.3 1 295.9 1 364.3 1 197.3 873

Jerman 504.9 404.8 461.5 379.3 2 636

Sumber: BPS, 2012

Selain itu, dengan memperluas pasar ke Amerika Serikat (diversifikasi pasar) akan mempermudah atau menjadi pintu gerbang bagi ekspor produk sawit Indonesia ke negara-negara Amerika Latin. Berdasarkan data USDA (2014) konsumsi minyak sawit Brazil, Mexico dan Kolombia dari tahun 2007 sampai 2013 terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan konsumsi minyak sawit masing-masing negara sebesar 52.38 persen, 40.79 persen dan 98.95 persen. Dari sisi impor minyak sawit, negara-negara tersebut juga mengalami peningkatan sejak tahun 2007. Pada tahun 2013 impor minyak sawit negara Brazil, Mexico dan Kolombia mengalami kenaikan masing-masing 42.41 persen, 37.61 persen dan 420.83 persen dibandingkan dengan tahun 2007 (Tabel 7). Ini juga menunjukkan negara Amerika Latin berpotensi menjadi negara tujuan untuk peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia.

(30)

faktor-faktor penting yang mempengaruhi peningkatkan ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

Tabel 7. Volume Konsumsi dan Impor Minyak Sawit Negara Amerika Latin

Tahun Konsumsi Minyak Sawit (Ribu Ton)

Brazil Mexico Kolombia

2007 315 380 475 2008 340 412 577 2009 375 436 737 2010 400 459 787 2011 462 504 890 2012 493 545 885 2013 480 535 945

Impor Minyak Sawit (Ribu Ton)

2007 158 327 24 2008 128 359 44 2009 156 370 106 2010 181 373 103 2011 227 440 133 2012 250 462 121 2013 225 450 125 Sumber: USDA, 2014

Tujuan Penelitian

Dari penjelasan pada bagian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan umum penelitian ini adalah melakukan evaluasi kebijakan ekonomi terhadap ekspor minyak sawit dan produk turunannya ke pasar Amerika Serikat, sedangkan tujuan khusus penelitian adalah sebagai berikut :

1) Mengidentifikasi dan menganalisis perkembangan produksi, konsumsi domestik dan potensi ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

2) Mengevaluasi faktor-faktor ekonomi (pajak ekspor, nilai tukar, kebijakan produksi) yang mempengaruhi peningkatan volume ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat

3) Membandingkan kebijakan perdagangan kelapa sawit dan produk turunannya antara Indonesia dan Malaysia sebagai negara pesaing memasuki pasar Amerika Serikat.

4) Merekomendasikan kebijakan peningkatan volume ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

Manfaat Penelitian

(31)

1) Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan strategi peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

2) Sebagai bahan pertimbangan tambahan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan peningkatan ekspor minyak sawit dan produk turunannya.

3) Sebagai rujukan pembanding dan stimulan bagi penelitian yang terkait dengan pengembangan eksporminyak sawit dan produk turunnanya.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mengevaluasi kebijakan ekonomi terhadap ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika serikat. Adapun ruang lingkup dan keterbatasan penelian adalah sebagai berikut:

1. Komoditas dibatasi pada minyak sawit dan produk turunannya hasil produksi Indonesia.

2. Wilayah ekspor minyak sawit dan produk turunannya yang diteliti hanya untuk pasar Amerika Serikat

3. Identifikasi dan analisis perkembangan produksi, konsumsi domestik dan potensi ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

4. Evaluasi faktor-faktor (pajak ekspor, nilai tukar, kebijakan produksi)yang mempengaruhi peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

5. Pada penelitian ini tidak membahas secara mendalam isu lingkungan terhadap ekspor produk sawit Indonesia.

6. Perbandingan kebijakan perdagangan kelapa sawit dan produk turunannya antara Indonesia dan Malaysia

7. Rekomendasi kebijakan peningkatan volume ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

Hasil Yang diharapkan

Hasil yang diharap dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Deskripsi perkembangan produksi, konsumsi domestik dan potensi ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

2. Faktor-faktor ekonomi (pajak ekspor, nilai tukar, kebijakan produksi)yang mempengaruhi peningkatan volume ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat

3. Analisis deskripsi perbandingan kebijakan perdagangan kelapa sawit dan produk turunannya antara Indonesia dan Malaysia.

(32)

Kebaruan dan Kontribusi Penelitian Kebaruan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan metoda analisis deskriptif Structure, Conduct and Performance untuk membandingkan industri sawit dan kebijakan perdagangan kelapa sawit dan produk turunannya antara Indonesia dan Malaysia untuk pasar Amerika Serikat.

2. Pengembangan model peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat dengan menggunakan persamaan simultan.

3. Tersusunnya rekomendasi kebijakan peningkatan ekspor minyak sawit Indonesia dan produk turunannya ke Amerika Serikat.

(33)

2. TINJAUAN PUSTAKA Perdagangan Internasional

Perdagangan merupakan proses pertukaran yang dilakukan secara sukarela oleh masing-masing pihak tanpa saling merugikan. Semua negara melakukan perdagangan internasional dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomis dalam produksi. Namun demikian hampir setiap negara hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu dengan skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan jika mencoba untuk memproduksi segala jenis barang.

Teori perdagangan internasional pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada abad ke-19 dengan teori keunggulan mutlak (absolute advantage) yang menyatakan bahwa suatu negara akan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut mampu menghasilkan barang dengan biaya yang secara mutlak lebih murah daripada negara lain karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut. Keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa per unit dengan menggunakan sumberdaya yang lebih sedikit dibandingkan negara-negara lain. Kemudian David Ricardo (1817) menyempurnakan teori Adam Smith dengan model keunggulan komparatif (comparative advantage) dengan menekankan pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan. Teori Ricardo diatas kemudian dikembangkan oleh Heckscher-Ohlin (H-O) dengan teori Proportional Factor (1949-1977) yang menyatakan bahwa walaupun tingkat teknologi sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) di antara masing-masing negara. Teori H-O menyatakan bahwa satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditas padat tenaga kerja.

Konsep perdagangan internasional terus mengalami perkembangan namun masih tetap menggunakan konsep keunggulan komparatif. Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa perdagangan antar negara terjadi karena (1) negara-negara tersebut berbeda satu sama lain, (2) negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi. Konsep teori ini menyatakan bahwa akan lebih efisien jika dilakukan perdagangan dengan negara lain dibandingkan jika negara tersebut memproduksi semua produk.

Organisasi Industri

(34)

bagi perusahaan, industri serta perekonomian nasional secara keseluruhan (Jaya, 2001), yang dikenal dengan teori Structure – Conduct – Performance (SCP). Richard Caves (1983) mengatakan bahwa struktur pasar adalah penting karena struktur tersebut dapat menentukan perilaku dari suatu produsen dalam industri dan selanjutnya mempengaruhi kualitas kerja dari suatu industri.

Struktur Pasar

Struktur pasar didefinisikan sebagai jumlah penjual dan pembeli serta besarnya pangsa pasar (market share) yang ditentukan oleh adanya diferensiasi produk, serta dipengaruhi oleh keluar masuknya pendatang atau pesaing (Greer, 1992). Struktur pasar dapat menunjukkan lingkungan persaingan antara penjual dan pembeli melalui proses terbentuknya harga dan jumlah produk yang ditawarkan. Struktur industri biasanya dijelaskan oleh ukuran distribusi perusahaan dalam pasar. Terdapat tiga ukuran utama yang biasa diperhatikan dalam struktur pasar yaitu pangsa pasar (market share), konsentrasi dan hambatan masuk pasar (barrier to entry).

Perilaku (Conduct)

Perilaku pasar dimaksudkan sebagai pola tanggapan dan penyesuaian yang dilakukan suatu produsen di dalam pasar untuk mencapai tujuannya. Perilaku pasar terkait dengan tindakan apa yang harus dilakukan suatu produsen dalam menghadapi pesaingnya terhadap harga, tingkat produksi, kualitas produk, tindakan promosi, dan hal penting lainnya yang berkaitan dengan kegiatan operasional industri (Greer, 1992). Menurut Martin (1993) perilaku strategis industri hanya ada pada pasar oligopoli. Pada pasar persaingan sempurna produsen akan menjual pada harga pasar yang berlaku (price taker) dan tidak perlu melakukan promosi atau bereaksi terhadap pesaing. Pada pasar oligopoli diperlukan strategi perilaku karena adanya interdependensi antar pelaku dalam industri tersebut. Perilaku industri dapat terlihat pada strategi industri dalam menentukan jumlah dominasi output, promosi, pemilihan teknologi, research and development, koordinasi dalam pasar dan kebijakan produk.

Kinerja (Performance)

Kinerja pasar dapat diartikan sebagai sebuah usaha yang disesuaikan dengan struktur dan perilaku pasar dengan tujuan akhir memperoleh keuntungan. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan/negara dalam hal kinerja adalah efisiensi, inovasi atau kualitas produk yang lebih baik karena berkembangnya teknologi, serta distribusi yang merata (Stepherd, 1990). Kinerja biasanya didekati dengan indikator-indikator seperti profitability, progresiveness, efficiency dan social welfare.

Kebijakan Perdagangan

(35)

ES’

Pemberlakukan pajak ekspor terhadap suatu produk akan meningkatkan biaya ekspor sehingga dapat mengurangi jumlah produk yang diekspor. Hal ini juga akan menyebabkan harga yang diterima produsen domestik menjadi lebih rendah dari harga dunia sebesar pajak yang diberlakukan (Grennes, 1984).

Pada Gambar 4, pemberlakukan pajak ekspor spesifik (t) akan menggeser secara paralel kurva penawaran ekspor ES ke atas dengan jarak sebesar pajak (t) menjadi ES‘. Pada negara eksportir, slope permintaan impor yang dihadapi adalah negatif, maka penurunan jumlah penawaran ekspor pada harga tertentu akan meningkatkan harga dunia Pw‘. Harga yang diterima produsen domestik pada negara A setelah adanya pajak ekspor adalah Pw‘- t dimana pada harga ini konsumsi domestik naik menjadi qc‘ dan produksi domestik turun menjadi qp‘ sehingga kelebihan penawaran yang terjadi sekarang adalah qp‘ – qc‘. Sebaliknya di negara importir, dengan harga dunia Pw‘, produksi meningkat menjadi Qp‘ dan konsumsi turun menjadi Qc‘ sehingga terjadi kelebihan permintaan sebesar Qc‘ – Qp‘ yang besarnya sama qp‘ – qc‘ atau jumlah keseimbangan baru pada pasar dunia, yaitu qe‘.

Sumber: Tweeten (1992)

Gambar 4. Dampak Pemberlakukan Pajak Ekspor Terhadap Suatu Produk

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberlakukan pajak ekspor akan menyebabkan penurunan harga yang diterima produsen, penurunan produksi domestik, penurunan volume ekspor, peningkatan konsumsi domestik dan dapat memberikan penerimaan bagi pemerintah di negara eksportir. Di lain pihak di negara importir, terjadi kenaikan harga sehingga merangsang kenaikan produksi dan penurunan konsumsi yang selanjutnya akan mengakibatkan penurunan volume impor.

Penurunan pajak ekspor dari kondisi yang diuraikan di atas berarti memperkecil penurunan kesejahteraan masyarakat dunia. Produsen di negara eksportir akan menerima penurunan harga yang lebih kecil sehingga dapat

Q

qp

(36)

ES’

merangsang terjadinya peningkatan volume ekspor, sementara konsumen di negara importir akan membayar dengan yang harga yang lebih rendah.

Pengenaan pajak ekspor berdampak pada penurunan ekspor secara dramatis dan berpengaruh negarif terhadap daya saing industri minyak sawit (CPO) Indonesia (Susila, 2004). Disamping itu pajak ekspor berhubungan negatif dengan luas areal produktif, produksi CPO, ekspor dan harga domestik, namun berhubungan positif dengan konsumsi domestik dan stok (Obado, et al., 2009, dan Juoro, 2010).

Pajak ekspor berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan investasi, produksi, ekspor dan pendapatan usaha tani. Kebijakan pajak ekspor merupakan instrumen yang efektif untuk mengendalikan CPO domestik dan harga minyak goreng. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan adanya transfer kesejahteraan dari produsen ke konsumen dan pemerintah (Susila, 2004), artinya pengenaan pajak ekspor menambah kesejahteraan bagi konsumen dan pemerintah.

Pembatasan Ekspor

Pembatasan ekspor terhadap suatu barang bertujuan untuk menjamin ketersediaan barang tersebut di dalam negeri. Disamping itu, pembatasan ekspor dimaksudkan untuk mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga untuk mencapai stabilisasi harga. Dampak ekonomi dari pembatasan ekspor dalam perdagangan diperlihatkan pada Gambar 5.

Sumber: Tweeten (1992)

Gambar 5. Dampak Pembatasan Ekspor

Dengan pembatasan ekspor oleh negara eksportir sebesar qe‘, maka kurva penawaran ekspor negara eksportir menjadi kurva patah ES‘ dan berpotongan dengan kurva ED membentuk harga dunia Pw‘. Pada harga ini di negara eksportir terjadi kelebihan penawaran. Kelebihan penawaran ini akan hilang pada tingkat

Q

qp

(37)

ES

harga domestik P‘, yaitu pada perpotongan antara kurva penawaran (SA) dan kurva permintaan domestik plus kuota (D’A), dimana kurva D’A sejajar dengan kurva DA dengan jarak horizontal sebesar kuota yang ditetapkan. Hal ini memperlihatkan bahwa pembatasan ekspor akan menyebabkan penurunan harga domestik di negara eksportir dan kenaikan harga dunia sehingga volume perdagangan menjadi berkurang.

Subsidi Ekspor

Subsidi ekspor biasanya digunakan oleh negara-negara maju untuk meningkatkan pendapatan produsen (Tweeten, 1992). Pemberian subsidi ekspor akan menyebabkan ekspor meningkat, harga dunia turun dan impor meningkat sebagaimana terlihat pada Gambar 6.

Pemberian subsidi pada jumlah yang tetap (flat) untuk per unit ekspor menyebabkan kurva penawaran ekspor (ES) bergeser sejajar ke kanan bawah dengan jarak sebesar subsidi yang diberikan menjadi ES‘. Di negara eksportir, karena produsen diberikan subsidi sebesar s, maka domestik naik menjadi Pw‘+s, sehingga kelebihan penawaran yang dapat diekspor meningkat dari qp-qc menjadi qp‘-qc‘. Di negara importir, dengan turunnya harga dunia, maka permintaan impor meningkat dari Qc-Qp menjadi Qc‘-Qp‘.

Sumber: Tweeten (1992)

Gambar 6. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor

Tarif Impor

Dampak ekonomi dari pemberlakukan tarif impor oleh negara importir dapat dijelaskan secara grafis melalui Gambar 7. Pemberlakuan tarif impor terhadap suatu produk akan menguntungkan produsen domestik karena harga produk impor menjadi lebih mahal dibandingkan dengan produk domestik sejenis sehingga volume impor berkurang. Pada gambar 2.4(b), pemberlakukan tarif impor spesifik menyebabkan biaya impor menjadi lebih tinggi, sehingga menggeser kurva ED paralel ke bawah dengan jarak vertikal sebesar tarif menjadi

Q

qp

(38)

ES

ED-t. Akibatnya, harga dunia turun menjadi Pw‘, sedangkan harga yang diterima oleh konsumen di negara importir menjadi Pw‘+t, dimana pada harga ini jumlah barang yang harus diimpor turun menjadi qc‘-qp‘. Sebaliknya di negara eksportir, dengan harga Pw‘, kelebihan penawaran turun menjadi Qp‘-Qc‘ yang besarnya sama dengan qc‘-qp‘ atau jumlah keseimbangan baru pada pasar dunia adalah qe‘.

Dari uraian diatas jelas bahwa pemberlakuan tarif impor terhadap suatu produk menyebabkan kenaikan harga produk di negara importi, penurunan konsumsi, peningkatan produksi, penurunan volume impor serta adanya penerimaan pemerintah yang berasal dari tarif. Sementara di negara eksportir terjadi penurunan harga sehingga meyebabkan berkurangnya volume ekspor.

Sumber: Tweeten (1992)

Gambar 7. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Terhadap Suatu Produk

Non Tariff Barrier (NTB)

Secara umum definisi hambatan non tarif atau NTB mengacu pada berbagai intervensi kebijakan selain tarif yang pada akhirnya mempengaruhi dan mendistorsi perdagangan barang., jasa dan faktor-faktor produksi (Beghin, 2006). Bentuk umum dari NTB dapat berupa aturan perdagangan spesifik di pasar domestik dan kebiajakan khusus seperti kuota impor, sukarela pembatasan ekspor (voluntary export rastraints), pembatasan intervensi negara trading, subsidi ekspor, countervailing duty, hambatan teknis perdagangan, kebijakan sanitary dan phytosanitary (SPS), aturan asal, dan skema kebutuhan konten domestik.

Klasifikasi atau taksonomi dari NTB, selain berasal dari jenis spesifik NTB juga termasuk kebijakan makro yang dapat mempengaruhi perdagangan. Menurut Deardoff dan Stern (1998) mengusulkan taksonomi NTB terdiri dari lima jenis. Jenis pertama meliputi NTB yang sifatnya kuantitatif seperti impor kuota dan hambatan administrasinya (perizinan, pelelangan dan lainnya); batasan ekspor dan larangan impor; pembatasan ekspor sukarela, batas maksimal impor tetapi

(39)

dikelola oleh eksportir; kontrol devisa yang berdasrkan lisensi; embargo; konten domestik dan persyaratan pencampuran konten yang memaksa penggunaan komponen lokal dalam produk akhir; diskriminasi perjanjian perdagangan dan aturan asal dan countertrade.

Jenis kedua mencakup biaya selain tarif dan kebijakan terkait yang dapat mempengaruhi impor. Kategori ini meliputi pungutan yang dibebankan saat harga mencapai batas ambang atau acuan tertentu; persyaratan deposito awal pada impor, anti dumping dan countervailing duty yang dikenakan pada barang masuk yang diduga diekspor dibawah biaya atau dengan bantuan subsidi ekspor yang diberikan oleh pemerintah mitra.

Jenis ketiga cakupannya lebih luas, meliputi semua berbagi bentuk kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan makro ekonomi. Kategori misalnya dalam bentuk partisipasi langsung pemerintah dalam perdagangan melalui institusinya dan dukungan negara pada bentuk aktivitas monopoli dan monopsoni; kebijakan pemerintah untuk pengadaan barang dengan preferensi domestik, dan kebijakan yang pro perusahaan dalam negeri yang terkait subsidi dan bantuan. Kebijakan lainnya yang masuk jenis ini adalah nilai tukar, kebijakan persaingan, kebijakan investasi asing langsung, kebijakan perpajakan nasional dan kebijakan jaminan sosial nasional, kebijakan imigrasi.

Dua kategori terakhir terkait dengan prosedur kepabeanan dan administrasi, dan hambatan teksnis perdagangan atau technical barriers ti trade (TBT), yang menjadi isu sentral dalam taksonomi NTB. Jenis pertama meliputi metode penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang sebenarnya; klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan; dan prosedur custom clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan. Sedangkan hambatan teknis untuk perdagangan atau dikenal sebagai TBT berkaitan dengan kesehatan, sanitasi, perlindungan hewan, dan peraturan lingkungan, standar mutu, keselamatan dan standar industri, kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan periklanan.

Perdagangan Internasional Minyak Sawit

Pada sistem ekonomi terbuka, perdagangan internasional akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang melakukannya. Dengan adanya perdagangan internasional yang mengarah pada perdagangan bebas akan mendorong peningkatan permintaan, peningkatan produksi dan pemakaian sumberdaya yang efisien. Dengan asumsi “the law of diminishing return“ dan persaingan sempurna, maka suatu negara akan mengekspor barang-barang yang mempunyai keunggulan komparatif dan mengimpor barang yang mempunyai keunggulan komparatif rendah. Suatu negara mengimpor barang karena tidak mampu menghasilkan barang yang lebih efisien dibandingkan negara lain.

(40)

perkembangan produksi dan pasar CPO domestik dan pengaruh daya saing (competetiveness) CPO Indonesia (Obado, Syaukat dan Siregar, 2009). Ini berarti minyak sawit Indonesia terkait erat dengan sub sistem hulu (areal dan produksi CPO), perdagangan dan ekspor hingga industri hilir.

Selain itu peningkatan ekspor CPO Indonesia tidak terlepas dari meningkatnya permintaan CPO di pasar internasional karena CPO memiliki peran yang semakin besar di pasar internasional untuk memenuhi permintaan oil dan fat

dunia (Basiron, 2002). Pasquali (1993) memproyeksikan tingkat pertumbuhan CPO lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Ini terbukti pada tahun 2010 proporsi konsumsi minyak sawit telah mengungguli minyak kedele di pasar dunia dengan pangsa masing-masing 28,01 persen dan 23.77 persen (Oil World, 2010). Laju konsumsi minyak sawit relatif lebih tinggi dibandingkan dengan minyak kedele dalam kurun waktu 1995 – 2002. Pada tahun 2020 diperkirakan konsumsi minyak sawit dunia diperkirakan akan mencapai 67 juta ton dengan pangsa 45 persen dari total edible oil dunia (Oil World, 2010). Disamping itu peningkatan jumlah penduduk dan permintaan negara-negara di dunia yang mulai menggunakan komoditas minyak sawit untuk biodiesel ikut mempengaruhi tingginya permintaan CPO dunia sehingga akan mengakibatkan peningkatan harga CPO yang tajam di pasar dunia.

Faktor ekonomi eksternal pada sistem ekonomi terbuka sangat mempengaruhi keuntungan produsen minyak sawit, sehingga ketidakstabilan harga internasional mempunyai kontribusi yang paling besar terhadap ketidakstabilan penerimaan ekspor hasil pertanian dibandingkan dengan ketidakstabilan permintaan dan penawaran ekspor hasil-hasil pertanian (Simatupang, 1984).

Untuk mengatasi ketidakstabilan penerimaan ekspor non-migas maka kebijakan nilai tukar efektif sangat diperlukan. Nasution (1998; 1990), Pangestu (1988), dan Tambunan (1989) menyatakan bahwa strategi peningkatan ekspor ekspor non-migas memerlukan kebijakan moneter dan perdagangan dalam bentuk nilai tukar efektif untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi. Perdagangan internasional Indonesia telah menimbulkan terms of trade yang merugikan bagi kesejahteraan domestik, karena seluruh komoditas ekspor non migas dinyatakan dalam bentuk US Dollar. Hal ini akan merugikan pada saat nilai US Dolar melemah terhadap nilai mata uang lainnya. Devaluasi akan meningkatkan ekspor sedangkan ekspansi moneter cenderung menurunkan ekspor.

Situasi pasar internasional minyak sawit ditandai dengan pertumbuhan produksi yang lebih cepat dibanding konsumsi dan juga pertumbuhan ekspor lebih tinggi dibanding impor. Implikasinya adalah munculnya situasi yang semakin kompetitif antar negara-negara eksportir. Dalam situasi kompetitif tersebut ternyata minyak sawit Indonesia memiliki peluang untuk berkembang. Hal ini didukung oleh adanya keunggulan komparatif Indonesia dan pasar yang sedang tumbuh.

(41)

Dari sisi komoditas, minyak sawit menghadapi persaingan dengan minyak kedele. Di Italia dan Jerman, minyak sawit Sisa dunia mempunyai potensi menguasai pasar, sedangkan minyak sawit Malaysia mempunyai potensi mengeser posisi Indonesia di pasar Belanda. Walaupun demikian minyak sawit Indonesia mempunyai mempunyai potensi untuk berkembang, khususnya di Inggris dan Prancis. Implikasi penting dari penelitian tersebut adalah perlunya strategi peningkatan daya saing minyak sawit Indonesia melalui peningkatan efisiensi maupun kegiatan pemasaran serta pengaturan sistem distribusi minyak sawit domestik.

Tinjauan Studi Terdahulu

Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai perdagangan internasional minyak kelapa sawit dan minyak nabati lainnya serta keterkaitannya dengan kebijakan domestik. Nyberg (1970) dalam studinya mempelajari permintaan terhadap minyak laurat (terdiri dari minyak kelapa dan minyak inti sawit dengan proporsi minyak kelapa yang lebih banyak) di pasar Amerika. Dengan menggunakan data tahun 1952 – 1967 dan metode estimasi Ordinary Least Square (OLS) dan Two Stage Least Square (2-SLS) dimana bentuk fungsi yang digunakan adalah double log liniar, diperoleh kesimpulan bahwa elastisitas permintaan terhadap minyak sawit meningkat sejalan dengan berjalannya waktu.

Thiam (1973) mengestimasi elastisitas harga permintaan minyak sawit di pasar Amerika Utara, MEE dan Jepang. Dengan menggunakan data tahun 1959 – 1969, kesimpulan yang diperoleh dari studi ini adalah elastisitas harga permintaan minyak sawit untuk negara-negara tersebut sangat elastis dengan koefisien elastisitas -31.4 untuk Amerika, -1.7 untuk Perancis dan Jerman Barat, -14.9 untuk Inggris dan -16.7 untuk Jepang.

Labys (1977) melakukan studi dengan menggunakan data tahun 1955 – 1972 untuk mengestimasi elastisitas harga permintaan minyak sawit di pasar MEE. Dengan menerapkan pendekatan sistem permintaan diperoleh koefisien elastisitas sebesar -0.80. Hasil studi ini ternyata tidak konsisten dengan kesimpulan yang diperoleh Nyberg (1970) karena pada 1977 Labys menemukan elastisitas permintaan yang inelastis untuk MEE.

Menurut Griffith dan Meilke (1979) harga berbagai jenis minyak nabati dunia diduga berinteraksi satu sama lain karena adanya penggunaan yang saling menggantikan (substitusi) diantara berbagai jenis minyak nabati. Hal yang sama juga diduga terjadi antara minyak nabati dengan minyak bumi, karena kecenderungan pemanfaatan bahan bakar berbahan baku minyak nabati. Penelitian ekonometrika terhadap minyak nabati tidak mudah untuk dilakukan karena harus melakukan agregasi terhadap banyak jenis komoditas. Solusi terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan agregasi pada beberapa komoditas yang pergerakan harganya serupa.

(42)

Menurut Suryana (1986) dalam penelitian mengenai Trade Prospects of Indonesia Palm Oil In International Markets For Fats and Oils menyatakan bahwa untuk pasar Amerika Serikat, ekspor mempunyai elastisitas harga yang elastis (1.46), minyak kelapa sawit bersifat komplementer dengan minyak kelapa dan mimyak kedelai serta merupakan barang normal (4.2), untuk pasar MEE, harga bersifat inelastis dan terhadap minyak kelapa dan minyak kedelai bersifat komplemen (-0.25 dan –0.03) dan minyak kelapa sawit merupakan barang normal (0.96), untuk pasar jepang menunjukkan gejala yang sama yaitu bersifat inelastis dan berkomplemen dengan minyak kelapa dan minyak kedelai dan untuk pasar Malaysia juga sama yaitu bersifat inelastis dan berkomplemen dengan minyak kelapa begitu pula dengan Indonesia Jadi dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa minyak kelapa sawit Indonesia bersifat komplemen dengan minyak kedelai dan kelapa di Amerika Serikat, MEE, Jepang dan Malaysia, selain itu elastisitas harga bersifat inelastis dan merupakan barang normal.

Menurut Susilowati (1989) dalam penelitiannya tentang Pasar Minyak Kelapa Sawit Dunia dan kaitannya dengan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia menyatakan bahwa ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mempunyai elastisitas harga yang elastis dan hubungan dengan minyak kelapa sawit Malaysia saling bersubsitusi. Untuk penawaran ekspor Malaysia mempunyai elastisitas harga yang inelastis dan minyak kelapa sawit Malaysia dan Indonesia bersifat komplemen. Untuk permintaan minyak kelapa sawit dalam negeri Indonesia memperlihatkan bahwa minyak kelapa sawit bersubsitusi dengan minyak kelapa dan merupakan barang normal, untuk ekspor ke pasar Amerika, harga bersifat inelastis, barang normal, dan dengan minyak kelapa dan kedelai bersifat substitusi, untuk ekspor ke Jepang, memiliki elastisitas harga yang inelastis bersubstitusi dengan minyak kedelai, dan barang normal, dan untuk pasar MEE, elastisitas harga yang inelastis, barang normal, bersubstitusi dengan minyak kedelai dan komplemen dengan minyak rapeseed.

Manurung (1993), menyusun suatu model ekonometrika kelapa sawit Indonesia dan selanjutnya digunakan untuk mengetahui dampak dari suatu kebijakan dengan cara simulasi. Dari model ekspor minyak sawit Indonesia diketahui bahwa ekspektasi ekspor minyak sawit Indonesia sangat responsif terhadap perubahan kondisi perekonomian, teknologi dan peraturan kelembagaan. Devaluasi lebih efektif meningkatkan ekspor minyak sawit ke Eropa dibandingkan perubahan harga ekspor. Oleh sebab itu kebijakan moneter khususnya perubahan nilai tukar valuta asing dan tingkat bunga sangat efektif mempengaruhi ekspor minyak sawit ke wilayah Eropa.

Berdasarkan hasil simulasi, dapat diketahui bahwa kebijakan deregulasi perdagangan akan meningkatkan jumlah produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia. Apabila harga minyak sawit di Roterdam naik maka harga minyak sawit di dalam negeri juga akan naik. Disamping itu, kebijakan deregulasi juga meningkatkan impor minyak sawit, karena kenaikan jumlah konsumsi dan ekspor tidak dapat diimbangi oleh peningkatan jumlah produksi. Kebijakan deregulasi berdampak positif terhadap ekspor dan impor minyak sawit dunia atau meningkatkan volume perdagangan minyak sawit dunia.

Gambar

Tabel 7. Volume Konsumsi dan Impor Minyak Sawit Negara Amerika Latin
Gambar 4. Dampak Pemberlakukan Pajak Ekspor Terhadap Suatu Produk
Gambar 6. Dampak Pemberian Subsidi Ekspor
Gambar 7. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Terhadap Suatu Produk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis dengan simulasi yang telah ditetapkan berupa tingkat pengenaan pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan nilai tukar US $, maka dapat diperoleh beberapa

Akibatnya pangsa minyak sawit dalam konsumsi empat minyak nabati utama dunia (minyak rapeseed, minyak bunga matahari, minyak kedelai dan minyak sawit) di Amerika

- Dengan sepertiga produk minyak kelapa sawit dikonsumsi di dalam negeri pada tahun 2018 dan terjadi penurunan pangsa ekspor ke pasar Eropa dengan adanya standar keberlanjutan

Skripsi yang mengambil judul “Pengaruh Kebijakan Pajak Ekspor terhadap Perdagangan Minyak Kelapa Sawit Kasar (Crude Palm Oil) Indonesia” sebagai salah satu syarat dalam

Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel harga ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke India mempunyai hubungan yang signifikan positif terhadap penawaran ekspor

Hasil analisis regresi terhadap persamaan permintaan ekspor dengan menggunakan pendekatan ECM mengindikasikan permintaan ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia ke India

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Skripsi dengan judul “Analisis Daya Saing Ekspor Minyak Sawit Indonesia Di Pasar

Temuan dari penelitian ini mencakup hal berikut: 1 Tingkat ekspor dan pangsa pasar minyak sawit dari kedua negara, terutama di Asia dan Eropa, telah mengalami peningkatan yang