• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak alokasi pengeluaran dana pembangunan pemerintah daerah dan investasi swasta terhadap produk domestik regional Bruto dan kemiskinan Provinsi Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak alokasi pengeluaran dana pembangunan pemerintah daerah dan investasi swasta terhadap produk domestik regional Bruto dan kemiskinan Provinsi Jambi"

Copied!
185
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH DAERAH DAN INVESTASI SWASTA

TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL

BRUTO DAN KEMISKINAN

PROVINSI JAMBI

DISERTASI

YANNIZAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

YANNIZAR. The Allocation Impact of Local Government Development Expenditure and Private Investment to Gross Regional Domestic Product (GRDP) and Poverty in Jambi Province (RINA OKTAVIANI as A Leader of the Supervisor Commission, MANGARA TAMBUNAN and SUAHASIL NAZARA as Members of the Supervisor Commission)

The objective of this research was to: (1) analyze the influence of the local government development expenditure are broken down into several sectors to economic growth and poverty, (2) analyze influence of increasing investment made by the private sector (domestic and foreign investments) to economic growth and poverty levels, and (3) perform simulations to determine the impact of changes in the allocation of regional development funds and private investment and economic growth and poverty.

The research was conducted in the province of Jambi, using secondary data coherent time (time series) in 1985-2010

The conclusions of this research resulted: (1) the decrease strategy of the poor people number in the Jambi province, had to be made by increasing private investment realization, either foreign or domestic investment, (2) the private investment had to be impelled to the productive activity programs, like the agricultural field and the micro developing-business (UKM), (3) because of the definite local fiscal capability, the local government had to interlace the private authority in developing the Jambi province, (4) to increase the investment number and realization in Jambi had to be done by getting several ways, such as : (a) increase the supporting tools and infrastructures, like the road and bridge infrastructure, electricity, and communication, and (b) create the conducive healthful climate, like the safety, convenience, simple and easy of the permission, transparency and accountability, (5) to decrease the poverty level in the Jambi province, not only the economic variable needed to be noticed but also the non-economic variables needed to be noticed like the education and health, (6) the fiscal decentralization still occupied the important role in the side to impel the local governmental expenditure, especially the local tax, and (7)

. The analysis uses an econometric approach with a simultaneous equations model that is consists of 20 structural equations and 8 identity equations. The model is estimated using the 2SLS method and the allocation impact of allocation of government development expenditure and private investment is analysed using simulation.

The existence of an endogenous variable lag which has positive and real, both on revenue and expenditure equations governments, reflecting the revenue and expenditure planning local governments is not based on the calculation of the real need for each component of revenue and expenditure, but rather based on the amount of revenue and expenditure period before.

(3)

PEMERINTAH DAERAH DAN INVESTASI SWASTA

TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL

BRUTO DAN KEMISKINAN

PROVINSI JAMBI

YANNIZAR

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012

Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(5)

PEMBANGUNAN PEMERINTAH DAERAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DAN KEMISKINAN PROVINSI JAMBI

Nama Mahasiswa : Yannizar Nomor Pokok : H363070051

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S.

Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc.

Anggota Anggota

Prof. Suahasil Nazara, Ph.D, SE, M.Sc.

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.

(6)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengeluaran pemerintah atau sering juga disebut investasi publik dan

investasi swasta merupakan dua hal yang sangat penting dalam menggerakkan

roda perekonomian. Pengeluaran pemerintah biasanya berkaitan dengan

penyediaan barang publik, terutama infrastruktur. Sedangkan investasi swasta

bergerak, terutama pada sektor-sektor yang mendatangkan keuntungan.

Ahli-ahli ekonomi klasik tidak menyetujui campur tangan pemerintah

yang aktif untuk mengatur kegiatan perekonomian, namun bukan berarti mereka

menolak sama sekali kegiatan pemerintah di bidang ekonomi. Pemerintah

mempunyai beberapa peranan penting dalam menciptakan sistem pasar bebas

yang efisien. Berkaitan dengan ini, pemerintah memiliki fungsi: (1) mewujudkan

infrastruktur yang diperlukan agar operasi perusahaan swasta dapat ditingkatkan

efisiensinya, (2) menyediakan peraturan dan fasilitas yang akan membantu

mempertinggi efisiensi operasi perusahaan swasta, dan (3) menyediakan jasa-jasa

yang penting artinya kepada khalayak ramai tetapi tidak dapat disediakan oleh

pihak swasta secara efisien/murah (Sukirno, 2007).

Studi yang dilakukan oleh Albatel (2000), Fan and Rao (2003), Loizides

and Vamvoukas (2005), dan Jaroensathapornkul and Tongpan (2007)

menunjukkan, bahwa pengeluaran pemerintah berhubungan positif dengan

pertumbuhan ekonomi. Begitu pula dengan investasi swasta juga mampu

mendorong pertumbuhan ekonomi. Seperti ditunjukkan oleh hasil penelitian

Osinubi and Amaghionyeodiwe (2010) di Nigeria.

Pembangunan memerlukan GNI (Gross National Income) atau GNP

(Gross National Product) yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat. Masalah

dasarnya, bukan hanya bagaimana menumbuhkan GNP, tetapi yang lebih penting

siapa yang menumbuhkan GNP, sejumlah besar masyarakat atau segelintir orang

yang ada dalam suatu negara. Jika yang menumbuhkan GNP hanya orang-orang

kaya yang jumlahnya sedikit, maka manfaat pertumbuhan GNP, akan dinikmati

hanya oleh mereka tersebut, sehingga kemiskinan dan ketimpangan pendapatan

akan semakin parah. Jika pertumbuhan GNP dihasilkan oleh orang banyak, maka

(7)

terbagi secara lebih merata. Banyak negara berkembang yang meraih

pertumbuhan yang tinggi, namun kurang memberi manfaat bagi kaum miskin

(Todaro and Smith, 2009). Demikian juga apa yang tertera pada RPJM

2010-2014, bahwa percepatan pertumbuhan ekonomi yang diinginkan adalah

pertumbuhan ekonomi yang mengikutsertakan sebanyak mungkin penduduk

Indonesia (inclusive growth). Hal ini untuk mempercepat penurunan jumlah

penduduk di bawah garis kemiskinan serta memperkuat kapasitas keluarga

Indonesia dalam menghadapi berbagai goncangan (Bappenas, 2010a).

Masalah kemiskinan telah menjadi salah satu persoalan mendasar yang

menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun di dunia. Indonesia

sebagai negara kepulauan yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang sangat

besar, dan adanya perbedaan etnis dan agama yang beragam serta memiliki

bermacam-macam sumberdaya alam yang berpencar pada berbagai wilayah

mengharuskan pemerintah untuk memberikan perhatian ekstra melalui

meningkatkan pengeluaran terhadap program-program yang produktif dan

menyerap banyak tenaga kerja, seperti sektor pertanian yang dapat menahan laju

peningkatan angka kemiskinan. Demikian juga pemerintah juga perlu

meningkatkan peranan swasta melalui keterlibatannya berinvestasi. Pentingnya

investasi swasta ini dapat dilihat dari hasil penelitian Okpe and Abu (2009) yang

menunjukkan, bahwa investasi asing dapat menurunkan kemiskinan di Nigeria.

Berdasarkan angka statistik yang dilalaporkan, bahwa tingkat kemiskinan

di Indonesia masih cukup tinggi. Selama 11 tahun angka kemiskinan hanya turun

sebesar 7.88 juta atau 5.92 persen, yaitu dari 37.90 juta (18.41 persen) tahun 2001

menjadi 30.02 juta (12.49 persen) tahun 2011 (BPSa, 2011). Masih diperlukan

pekerjaan yang serius dan keras dari pemerintah untuk mencapai penurunan angka

kemiskinan antara 8-10 persen pada akhir 2014, terutama dikaitkan untuk

mencapai tujuan pembangunan millenium atau Millennium Development Goals

pada tahun 2015 (Bappenas, 2010a dan 2010b).

Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam rangka menekan angka

kemiskinan di Indonesia, maka Jambi sebagai salah satu provinsi perlu dilakukan

kajian tentang pertumbuhan dan kemiskinan, yang dalam hal ini dikaitkan dengan

(8)

3

pemerintah dan investasi swasta. Perbaikan angka kemiskinan wilayah, tentu akan

berpengaruh terhadap perbaikan angka kemiskinan nasional.

Dari Tabel 1 dapat dilihat, bahwa pada tahun 2001 penduduk miskin di

provinsi Jambi sebanyak 480.40 ribu jiwa atau sebesar 19.71 persen dari jumlah

penduduk, lalu turun sebesar 0.32 persen menjadi 326.91 ribu jiwa atau 13.18

persen dari jumlah penduduk pada tahun 2002. Penurunan angka kemiskinan terus

berlangsung, sehingga pada tahun 2009, angka kemiskinan sebesar 249.70 ribu

jiwa. Pada tahun 2010 angka kemiskinan di provinsi Jambi masih tercatat sebesar

241.61 ribu jiwa atau 8.34 persen. Selama periode tahun 2001-2010, angka

kemiskinan hanya mengalami penurunan rata-rata sebesar 0.07 persen per tahun.

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Jambi Tahun 2001-2010 (Dalam 000 jiwa dan persentase)

Tahun Perkotaan (K) Perdesaan (D) K + D Growth

Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen Persen 2001 103.80 14.89 376.60 21.65 480.40 19.71 - 2002 138.40 19.04 188.51 10.76 326.91 13.18 -0.32 2003 134.60 18.53 192.70 10.46 327.30 12.74 0.00 2004 130.80 17.34 194.30 10.46 325.10 12.45 -0.01 2005 143.70 16.58 174.10 9.63 317.80 11.88 -0.02 2006 142.50 16.30 162.10 8.98 304.60 11.37 -0.04 2007 137.20 15.42 144.70 7.81 281.90 10.27 -0.07 2008 120.10 13.28 140.20 7.43 260.30 9.32 -0.08 2009 117.30 12.71 132.40 6.88 249.70 8.77 -0.04 2010 110.80 11.80 130.80 6.67 241.60 8.34 -0.03 2001-2010 142.13 17.32 204.05 11.19 346.18 13.11 -0.07 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2002, 2004b, 2008b, 2010a, 2011b

Secara absolut jumlah penduduk miskin di Jambi tidak bisa dikatakan

kecil. Bandingkan, misalnya dengan jumlah penduduk Kabupaten Batanghari

yang pada tahun 2010 berjumlah 240 743 jiwa, yang berarti jumlah penduduk

miskin di provinsi Jambi masih lebih besar dari jumlah penduduk kabupaten

tersebut (BPS Provinsi Jambi, 2010).

Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan laju

kemiskinan, pemerintah dan pemerintah provinsi Jambi telah melakukan injeksi

ke dalam perekonomian nasional dan daerah melalui peningkatan pengeluaran

dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 realisasi pengeluaran negara untuk Daerah

(9)

total pengeluaran negara, meningkat menjadi Rp. 344 727 Milyar tahun 2010 atau

sebesar 33.08 persen terhadap total pengeluaran negara. Selama periode

2001-2010 pengeluaran negara untuk Daerah mengalami peningkatan sebesar 17.96

persen per tahun (BPS, 2003-2010).

Sejalan dengan peningkatan pengeluaran untuk Daerah, maka pengeluaran

pemerintah provinsi Jambi juga telah melakukan peningkatan pengeluarannya

dengan berbagai program pembangunannya. Bila diamati selama periode

2001-2010, maka disamping terjadi peningkatan pengeluaran, struktur pengeluaran juga

mengalami perbaikan sejak tahun 2003, dimana dua tahun sebelumnya pangsa

pengeluaran Tidak Langsung atau Rutin (istilah lama) masih lebih besar dari

pengeluaran Langsung (pembangunan).

Tabel 2. Realisasi Belanja Pemerintah Provinsi Jambi Menurut Jenis Belanja Tahun 2001-2010 (Dalam Milyar Rupiah dan Persentase)

Tahun Belanja Belanja Belanja

Rutin Pemb Jmh Aparat Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Sumber: Pemerintah Provinsi Jambi dan BPS Berbagai Tahun (Diolah)

Realisasi pengeluaran pemerintah provinsi Jambi mengalami pertumbuhan

(10)

5

Milyar tahun 2001 menjadi Rp.1 487 Milyar tahun 2010. Pada tahun 2001 alokasi

untuk Belanja Rutin sebesar 173 Milyar Rupiah atau 76 persen dan Belanja

Pembangunan 56 Milyar Rupiah atau 24 persen. Pada tahun 2010 Belanja

Langsung sebesar 815 Milyar Rupiah atau sebesar 55 persen dan Belanja Tidak

Langsung sebesar Milyar 672 Rupiah atau sebesar 45 persen. Hal ini memberikan

indikasi semakin membaiknya alokasi dana untuk pembangunan di Daerah ini.

Selengkapnya realisasi belanja provinsi Jambi selama periode tahun 2001-2010,

dapat dilihat pada Tabel 2.

Untuk menggairahkan kemajuan perekonomian baik nasional maupun

Daerah, tidak cukup hanya mengandalkan pengeluaran pada sektor publik. Sektor

swasta harus semakin diberi porsi yang lebih besar. Hal ini, mengingat

kemampuan fiskal pemerintah yang sangat terbatas. Seperti apa yang dikatakan

oleh Tambunan (2010), bahwa dalam kondisi kemampuan fiskal pemerintah yang

terbatas, sangat sukar membayangkan pemerintahan nasional dapat menutupi

kepincangan fiskal dalam waktu dekat, kecuali investasi swasta dapat ditarik ke

pasar atau pada ekonomi Daerah yang miskin penerimaan (revenue). Selanjutnya

Tambunan (2010) mengatakan bahwa dalam konteks pembangunan regional,

investasi memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Iklim usaha

dan investasi yang kondusif menjadi syarat mutlak bagi peningkatan

pertumbuhan ekonomi lokal. Dengan demikian sangat penting bagi pemerintahan

daerah untuk menciptakan kondisi lingkungan usaha yang kondusif guna menarik

minat investor menanamkan modalnya di daerah baik yang berasal dari dalam dan

luar daerah maupun asing. Dengan meningkatnya investasi swasta, diharapkan

akan dapat mengatasi keterbatasan pemerintah, yang selanjutnya akan semakin

mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang

tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, maka untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, pemeritah provinsi Jambi selalu berupaya

untuk meningkatkan minat investor, baik dalam, luar daerah dan asing untuk

menanamkan modalnya di Jambi. Pemerintah provinsi Jambi selalu gencar

melakukan promosi potensi daerah, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

(11)

tahun 2001-2010, realisasi investasi dan penyerapan tenaga kerja pada Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) telah

mengalami peningkatan.

Dari Tabel 3 dan Gambar 1 terlihat dan tergambar, perkembangan realisasi

PMDN dan PMA serta penyerapan tenaga kerja di provinsi Jambi selama periode

tahun 2001-2010 cukup menggembirakan, walaupun terjadi fluktuasi. Peranan

PMDN lebih besar dibandingkan dengan PMA. Walaupun peranan PMA lebih

kecil, namun trend perkembangannya lebih baik. Dari Gambar 1 nampak dengan

jelas, bahwa realisasi PMA relatif stabil dan cenderung menunjukkan peningkatan

dari tahun ke tahun. Realisasi PMDN sangat berfluktuasi. PMDN selama periode

tahun tersebut tumbuh sebesar 4.60 persen per tahun, sementara PMA tumbuh

lebih cepat yaitu sebesar 22.27 persen per tahun.

Tabel 3. Perkembangan Realisasi Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja pada PMDN dan PMA di Provinsi Jambi Tahun 2001-2010

Tahun PMDN PMA

Milyar Persen Orang Persen Milyar Persen Orang Persen

2001 7 622 - 61 038 - 839 - 7 845 -

2002 8 046 5.57 44 811 -26.59 1 001 19.36 7 650 -2.49 2003 8 371 4.04 44 409 -0.90 791 -20.97 10 970 43.40 2004 8 534 1.95 31 579 -28.89 820 3.66 7 719 -29.64 2005 8 789 2.99 27 049 -14.34 910 10.92 6 952 -9.94 2006 9 284 5.63 39 599 46.40 1 301 42.96 7 225 3.93 2007 9 124 -1.73 39 599 0.00 1 323 1.73 7 225 0.00 2008 8 838 -3.13 28 580 -27.83 2 139 61.63 12 810 77.30 2009 9 052 2.42 22 433 -21.51 2 388 11.65 11 382 -11.15 2010 11 196 23.69 22 287 -0.65 4 048 69.53 9 096 -20.08 2001-

(12)

7

Gambar 1. Perkembangan Realisasi Investasi pada PMDN dan PMA di Provinsi Jambi Tahun 2001-2010

Pada tahun 2001 tercatat realisasi PMDN sebesar Rp. 7 622 Milyar dengan

tenaga kerja yang terserap 61 038 orang. Pada tahun 2010 realisasi PMDN telah

mencapai sebesar Rp. 11 196 Milyar, sekaligus merupakan realisasi PMDN

terbesar selama periode 2001-2010 tersebut. PMA, kecuali pada tahun 2003,

selalu menunjukkan peningkatan setiap tahunnya selama periode tahun

2001-2010, dari Rp. 839 Milyar tahun 2001 meningkat menjadi Rp.4 048 Milyar tahun

2010.

Perlu dicermati, bahwa penyerapan tenaga kerja pada PMDN selama

periode 2001-2010 tersebut cenderung menunjukkan penurunan yaitu dari 61 038

orang tahun 2001, turun menjadi 22 287 orang tahun 2010 atau mengalami

penurunan sebesar rata-rata -8.26 persen per tahun. Pada satu sisi penyerapan

tenaga kerja pada PMA, cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 7 845 orang

tahun 2001 meningkat menjadi 9 096 orang tahun 2010 atau mengalami

peningkatan sebesar 5.70 persen per tahun selama periode tersebut.

Untuk mengamati pentingnya peranan sektor swasta dalam membangun

perekonomian Jambi, dapat pula diamati hasil perhitungan proporsi investasi

swasta dan belanja pemerintah provinsi Jambi terhadap PBRB provinsi Jambi.

(13)

Dari Tabel 4 dapat diamati, bahwa baik belanja tidak langsung maupun

langsung mengalami peningkatan proporsi selama periode tahun 2001-2010,

proporsi belanja tidak langsung meningkat dari 0.02 tahun 2001 menjadi 0.04

tahun 2010, sedangkan proporsi belanja langsung meningkat dari 0.01 tahun 2001

menjadi 0.05 tahun 2010. Sehingga proporsi belanja total (belanja tidak langsung

dan belanja langsung) mengalami peningkatan selama periode tahun tersebut yaitu

dari 0.02 tahun 2001 menjadi 0.09 tahun 2010. Selama periode tahun 2001-2010

rata-rata proporsi belanja tidak langsung dan belanja langsung terhadap Produk

Dometik Regional Bruto (PDRB) provinsi jambi adalah masing-masing sebesar

0.03 dan 0.04. Sedangkan proporsi belanja total terhadap PDRB provinsi jambi

selama periode tahun tersebut adalah sebesar 0.06. Hal ini berarti proporsi belanja

pemerintah provinsi Jambi terhadap PDRB provinsi Jambi, hanya rata-rata sebesar

6 persen per tahun selama periode 2001-2010 tersebut.

Tabel 4. Proporsi Realisasi Belanja Pemerintah Provinsi Jambi terhadap Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2001-2010

Tahun

PDRB (Milyar Rp)

Proporsi Masing-masing Jenis Belanja Tidak Langsung Langsung Belanja Total

2001 10 206 0.02 0.01 0.02

2002 10 803 0.02 0.01 0.03

2003 11 343 0.02 0.03 0.04

2004 11 954 0.02 0.03 0.06

2005 12 620 0.02 0.03 0.05

2006 13 364 0.02 0.05 0.07

2007 14 275 0.02 0.05 0.08

2008 15 298 0.03 0.06 0.09

2009 16 275 0.04 0.05 0.09

2010 17 465 0.04 0.05 0.09

2001-10 13 360 0.03 0.04 0.06

Sumber: Pemerintah Provinsi Jambi dan BPS Berbagai Tahun (Diolah)

Dari Tabel 5 dapat diamati, bahwa proporsi PMDN terhadap PDRB

provinsi Jambi lebih besar dari proporsi PMA, dengan rata-rata selama periode

tahun 2001-2010, masing-masing 0.67 dan 0.11. Hal ini berarti selama periode

(14)

9

sedangkan PMA hanya 11 persen per tahun. Investasi total memberikan proporsi

sebesar 0.78 atau 78 persen per tahun selama periode tahun tersebut.

Tabel 5. Proporsi Realisasi Investasi Swasta terhadap Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun 2001-2010

Tahun

PDRB (Milyar Rp)

Proporsi Masing-masing Jenis Investasi

PMDN PMA Investasi Total

2001 10 206 0.75 0.08 0.83

2002 10 803 0.74 0.09 0.84

2003 11 343 0.74 0.07 0.81

2004 11 954 0.71 0.07 0.78

2005 12 620 0.70 0.07 0.77

2006 13 364 0.69 0.10 0.79

2007 14 275 0.64 0.09 0.73

2008 15 298 0.58 0.14 0.72

2009 16 275 0.56 0.15 0.70

2010 17 465 0.64 0.23 0.87

2001-10 13 360 0.67 0.11 0.78

Sumber: Bappeda dan BPS Provinsi Jambi Tahun 2003-2011 (Diolah)

Meskipun proporsi PMDN lebih besar dari PMA selama periode tahun

tersebut, namun PMDN mengalami penurunan proporsi dan PMA mengalami

peningkatan proporsi. Proporsi PMDN, turun dari 0.75 tahun 2001 menjadi 0.64

tahun 2010, sedangkan proporsi PMA naik dari 0.08 tahun 2001 menjadi 0.23

tahun 2010. Investasi total mengalami peningkatan proporsi selama periode tahun

tersebut yaitu turun dari 0.83 menjadi 0.87 tahun 2010.

Dari uraian tersebut dapat dilihat, bahwa proporsi belanja pemerintah

provinsi Jambi selama periode tahun 2001-2010 rata-rata per tahun yang hanya

sebesar 0.06, sangat jauh di bawah rata-rata proporsi investasi swasta yang sebesar

0.78 per tahun. Hal ini mengindikasikan besarnya peranan swasta dalam

membangun perekonomian Jambi, dibandingkan dengan pemerintah daerah.

Meskipun demikian, pengeluaran pemerintah daerah tersebut tetap memiliki arti

yang sangat penting. Sebagai agent of development pemerintah provinsi Jambi

diharapkan lebih memprioritaskan alokasi pengeluarannyanya pada sektor-sektor

yang kurang diminati oleh swasta dan yang mampu memacu pertumbuhan

ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga tingkat kemiskinan akan menjadi

(15)

1.2. Perumusan Masalah

Meningkatnya pengeluaran pemerintah, tentu akan menstimulasi kinerja

perekonomian, seperti meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan penyerapan

tenaga kerja. Peningkatan pengeluaran pemerintah akan meningkatkan permintaan

akan barang dan jasa. Meningkatnya permintaan, akan menggairahkan

sektor-sektor produksi, baik sektor-sektor pertanian maupun sektor-sektor industri dan sektor-sektor lainnya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mankiw (2007), bahwa peningkatan belanja

pemerintah akan meningkatkan pengeluaran yang direncanakan, sebesar

perubahan belanja pemerintah, yang selanjutnya akan meningkatkan output

(pendapatan).

Investasi pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam kegiatan investasi yang

dilakukan oleh pemerintah (public investment) dan swasta (private investment).

Investasi yang dilakukan pemerintah, seperti apa yang dimaksudkan pada

penelitian ini yaitu pengeluaran pemerintah, untuk tingkat daerah dapat pula

dikelompokkan menjadi pengeluran Tidak Langsung dan pengeluaran Langsung.

Investasi swasta terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan

Penanaman Modal Asing (PMA). Kedua pelaku investasi tersebut memiliki misi

yang berbeda, pihak swasta lebih kepada profit oriented, sedangkan pemerintah

diharapkan lebih berperan sebagai agent of development. Sesuai dengan pendapat

Musgrave and Musgrave (1993), bahwa peningkatan pengeluaran (anggaran

belanja) pemerintah akan bersifat ekspansioner dengan meningkatnya permintaan,

pertama-tama pada sektor pemerintah dan kemudian akan menjalar ke sektor

swasta.

Untuk menelah pentingnya investasi juga dapat ditelaah model Harrod

Domar. Mereka menyatakan, bahwa investasi tidak hanya dapat meningkatkan

permintaan, tetapi juga berpengaruh terhadap peningkatan penawaran. Seperti

yang disebutkan oleh Jhingan (1996), bahwa model Harrod dan Domar

memberikan peranan kunci kepada investasi di dalam proses pertumbuhan

ekonomi, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki investasi. Pertama ia

menciptakan pendapatan, dan kedua, ia memperbesar kapasitas produksi

perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama dapat disebut

(16)

11

Karena itu, selama investasi netto tetap berlangsung, pendapatan nyata dan output

akan senantiasa membesar.

Peran investasi tidak saja menjadi kebutuhan temporer bagi perekonomian

suatu negara yang sedang dalam fase pemulihan krisis tetapi juga menjadi

landasan kokoh bagi berlangsungnya pembangunan yang berkualitas dan

berkelanjutan. Dalam upaya membangun perekonomian nasional, baik pada

maupun di tingkat regional dan lokal, kegiatan investasi amat penting untuk

memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke

dalam proses produksi. Dalam kerangka pembangunan secara keseluruhan,

investasi menghasilkan banyak dampak ganda (multiplier effects) dan memberi

manfaat bagi banyak pihak: perusahaan, masyarakat dan pemerintah. Laju

pertambahan investasi dan tingkat produktivitas yang dihasilkannya akan

mendorong tinggi dan luasnya jangkauan dampak yang ditimbulkan (KPPOD dan

BKPM, 2008).

Menurut (Falki, 2009), investasi langsung asing (FDI) merupakan suatu

katalisator yang penting bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang

berkembang. Investasi tersebut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui

stimulan bagi investasi domestik, meningkatkan formasi modal manusia (human

capital formation) dan memfasilitasi transfer teknologi ke dalam negeri. Senada

dengan Falki (2009) tersebut, Okpe and Abu (2009) menyatakan, bahwa investasi

asing memiliki tendensi untuk menstimulasi ketenagakerjaan, pendapatan,

konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, yang berkemungkinan akan menurunkan

tingkat kemiskinan.

Dari uraian tersebut dapat diamati, bahwa baik pengeluaran

pemerintah (investasi publik) maupun investasi swasta sama-sama memiliki

peran penting di dalam memacu pertumbuhan ekonomi, yang tentunya akan

bermuara pada peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan,

yang sekaligus akan menekan angka kemiskinan. Pada latar belakang di atas

telah diuraikan pula,bahwa pengeluaran pemerintah dan investasi swasta di

Jambi telah menunjukkan perkembangan yang berarti dari tahun ke tahun.

(17)

Beranjak dari uraian latar belakang dan masalah faktual tersebut di

atas akhirnya dapat diformulasikan pokok permasalahan yang akan diteliti

berkenaan dengan dampak pengalokasian dana pembangunan pemerintah

daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan di Provinsi

Jambi. Rumusan masalah tersebut, secara spesifik diformulasikan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah pengaruh peningkatan alokasi dana pembangunan pemerintah

daerah (yang dirinci menjadi beberapa sektor) terhadap Produk Domestik

Regional Bruto dan kemiskinan?

2. Bagaimanakah pengaruh peningkatan aktivitas investasi yang dilakukan pihak

swasta (PMDN dan PMA) terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan

kemiskinan ?

3. Bagaimana dampak perubahan alokasi dana pembangunan pemerintah daerah

dan investasi pihak swasta terhadap Produk Domestik Regional Bruto dan

kemiskinan ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis alokasi dana

pembangunan pemerintah provinsi Jambi (belanja langsung) dan investasi swasta

(PMDN dan PMA) provinsi Jambi dan dampaknya terhadap pertumbuhan

ekonomi daerah dan tingkat kemiskinan. Secara lebih spesifik tujuan penelitian

ini adalah :

1. Menganalisis pengaruh pengeluaran dana pembangunan pemerintah daerah

(belanja langsung) yang dirinci menjadi beberapa sektor terhadap pertumbuhan

ekonomi dan tingkat kemiskinan.

2. Mengalisis pengaruh peningkatan investasi yang dilakukan pihak swasta

(PMDN dan PMA) terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan.

3. Melakukan simulasi untuk mengetahui dampak perubahan alokasi dana

pembangunan daerah dan investasi swasta terhadap pertumbuhan ekonomi dan

dan tingkat kemiskinan.

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi dan

pengambil kebijakan dalam melaksanakan pembangunan daerah. Secara akademis

(18)

13

khususnya kajian mengenai pengeluaran pemerintah dan investasi swasta,

sehingga dapat menambah sumber informasi yang dapat dijadikan sebagai salah

satu bahan rujukan bagi peneliti yang menaruh minat untuk memperdalam studi

mengenai dampak pengeluaran pemerintah dan investasi swasta terhadap PDRB

dan kemiskinan. Selain itu bagi para pengambil kebijakan, terutama pemeritah

provinsi Jambi hasil penelitian ini diharapkan berguna di dalam menentukan arah

dan strategi pembangunan ekonomi di masa mendatang, khususnya dalam rangka

meningkatkan PDRB dan menurunkan tingkat kemiskinan.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki ruang lingkup regional (provinsi Jambi), yang

menganalisis dampak alokasi pengeluaran dana pembangunan pemerintah daerah

dan investasi swasta (PMDN dan PMA) terhadap PDRB dan kemiskinan.

Penelitian dilakukan pada periode waktu selama tahun 1985-2010.

Ada beberapa keterbatasan penelitian yaitu: (1) data pendapatan dan

pengeluaran, hanya menggunakan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) pemerintah provinsi Jambi, tidak termasuk APBD

kabupaten/kota di provinsi Jambi dan belum memasukkan dana dekonsentrasi dan

tugas pembantuan lainnya, (2) kesulitan mengelompokkan data pengeluaran

pemerintah daerah, terutama sejak tahun anggaran 2003, setelah keluarnya

Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 yang mengelompokkan belanja menjadi

belanja Aparatur Daerah dan belanja Pelayanan Publik, dari sebelumnya

pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Selanjutnya pada tahun

anggaran 2007 berobah lagi istilahnya menjadi belanja tidak langsung dan belanja

langsung, sebagai implementasi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana

yang telah direvisi oleh Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah. Untuk tujuan penyederhanaan, maka dalam

penelitian ini Penulis mengasumsikan, dengan mensejajarkan/menyamakan istilah

(pengeluaran rutin = belanja aparatur = belanja tidak langsung) pada satu pihak,

dan pengeluaran pembangunan = belanja pelayanan publik = belanja langsung,

(19)
(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peranan Pemerintah Dalam Perekonomian

Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah mencapai tingkat

kemakmuran yang lebih tinggi. Dalam mencapai tujuan tersebut pemerintah

dapat ikut campur secara aktif maupun secara pasif (Suparmoko, 1996). Dalam

setiap sistem perekonomian, apakah sistem perekonomian kapitalis atau sistem

perekonomian sosialis, pemerintah senantiasa mempunyai peranan yang penting.

Peranan pemerintah sangat besar dalam sistem perekonomian sosialis dan sangat

terbatas dalam sistem perekonomian kapitalis murni seperti dalam sistem

kapitalis yang dikemukakan oleh Adam Smith (Mangkoesoebroto, 1996).

Sebagai seorang konseptor sistem kapitalis murni, Adam Smith,

mengemukakan idiologinya, karena dia menganggap, bahwa dalam

perekonomian kapitalis, setiap individu yang paling tahu apa yang paling baik

bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi

dirinya sendiri. Setiap individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis

seakan-akan diatur oleh tangan gaib, karena itu perekonomian dapat berkembang

secara maksimum. Oleh karena itu, Adam Smith menyatakan bahwa lingkup

aktivitas pemerintah sangat terbatas, yaitu hanya melaksanakan kegiatan yang

tidak dilaksanakan oleh pihak swasta. Dalam hal ini peranan pemerintah hanya

mencakup tiga bidang saja yaitu: (1) melaksanakan peradilan, (2) melaksankan

pertahanan/keamanan, dan (3) melaksanakan pekerjaan umum

(Mangkoesoebroto, 1996).

Dalam perkembangan selanjutnya prinsip kebebasan ekonomi dalam

praktek ternyata menghadapi perbenturan kepentingan, seperti kepentingan

pengusaha sering tidak sesuai dengan kepentingan karyawan. Hal tersebut

terjadi, karena tidak adanya koordinasi dalam memenuhi kebutuhan

masing-masing individu. Yang lebih penting lagi adalah adanya kenyataan

menunjukkan, bahwa mekanisme pasar sendiri tidak dapat melaksanakan semua

fungsi ekonomi. Dengan demikian diperlukan peranan pemerintah, terutama

dalam melaksanakan kebijakan untuk membimbing, memberi koreksi dan

(21)

barang pribadi. Barang-barang umum (public goods) seperti penyediaan udara

bersih tidaklah menguntungkan bagi pihak swasta.

Menurut Musgrave and Musgrave (1993), dalam perekonomian

pemerintah memiliki tiga fungsi utama yaitu: (1) fungsi alokasi: penyediaan

barang sosial, atau proses pembagian keseluruhan sumber daya untuk digunakan

sebagai barang pribadi atau barang sosial, dan bagaimana bauran/komposisi

barang sosial ditentukan, (2) fungsi distribusi: penyesuaian terhadap distribusi

pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh

masyarakat sebagai suatu keadaan distribusi yang “merata” dan “adil”, dan

(3) fungsi stabilisasi: penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk

mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang

semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan

memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca

pembayaran. Selain dari tiga fungsi tersebut, Suparmoko (1996), menambahkan

satu lagi fungsi pemerintah yaitu fungsi pertumbuhan: kegiatan yang

mempercepat pertumbuhan ekonomi. Ini dimaksukan untuk meningkatkan

standard hidup penduduk pada tingkat yang layak dan mencapai kesejahteraan

ekonomi yang lebih baik.

2.2. Pengeluaran Pemerintah

Telah diuraikan di atas, bahwa pemerintah mutlak diperlukan di dalam

setiap bentuk atau sistem perekonomian yaitu tidak hanya untuk menyediakan

barang-barang publik, melainkan juga untuk mengalokasikan barang-barang

produksi maupun barang-barang konsumsi, memperbaiki distribusi pendapatan,

memelihara stabilitas nasional termasuk stabilitas ekonomi serta mempercepat

pertumbuhan ekonomi.

Kalau kita amati perkembangan kegiatan pemerintah dari tahun ke tahun,

maka kelihatan, bahwa peranan pemerintah selalu meningkat hampir di dalam

semua macam sistem perekonomian. Untuk kasus Indonesia, perkembangan

realisasi pengeluaran pemerintah selama periode tahun 2001-2010, dapat dilihat

pada Tabel 6. Realisasi pengeluaran pemerintah selama periode 2001-2010

mengalami perkembangan sebesar 13.94 persen per tahun yaitu meningkat dari

(22)

17

Sampai saat ini, alokasi pengeluaran pemerintah Indonesia, masih menunjukkan,

bahwa belanja untuk pemerintah pusat masih lebih besar dari pengeluaran untuk

daerah. Sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara otonomi dan

desentralisasi fiskal yang penuh sejak 2001, seharusnya proporsi pengeluaran

untuk daerah harus lebih besar dari proporsi belanja untuk pemerintah pusat.

Dari Tabel 6 dapat diamati, bahwa pada tahun 2001, pengeluaran untuk

pemerintah pusat sebesar Rp. 260 500 Milyar atau sebesar 76.26 persen dan

pengeluaran untuk daerah hanya sebesar Rp 81 100 Milyar atau sebesar 23.74

persen. Pada tahun 2010, kondisi ini tidak mengalami perobahan yaitu alokasi

pengeluaran untuk pemerintah pusat sebesar Rp. 697 406 Milyar atau sebesar

66.92 persen dan pengeluaran untuk daerah sebesar Rp 344 727 Milyar atau

sebesar 33.08 persen.

Tabel 6. Perkembangan Realisasi Pengeluaran Pemerintah Menurut Jenis Pengeluaran Tahun 2001-2010

No. Jenis Pengeluaran

2001

Dana Otonomi Khusus dan

Penyeimbang 0 28 016 43.82

B. Belanja Pemerintah Pusat 260 500 697 406 12.69 Total Belanja Negara 341 600 1 042 133 13.94 Sumber: BPS. 2003-2011. Statistik Indonesia 2002-2011

Sedikit menggembirakan, bahwa selama periode tahun 2001-2010

tersebut, proporsi pengeluaran untuk daerah mengalami sedikit peningkatan

yaitu dari 23.74 persen tahun 2001 menjadi 33.08 persen tahun 2010, sebaliknya

proporsi pengeluran untuk pemerintah pusat turun dari 76.26 persen tahun 2001

menjadi 66.92 persen tahun 2010. Begitu pula bila diamati dari perkembangan

selama periode tahun tersebut, perkembangan pengeluaran untuk daerah

mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dari pengeluaran untuk pemerintah

(23)

per tahun selama periode tahun tersebut yaitu dari Rp. 81 100 Milyar tahun 2001

meningkat menjadi Rp. 344 727 Milyar tahun 2010. Pengeluaran untuk belanja

pemerintah pusat mengalami perkembangan sebesar 13.94 persen per tahun

selama periode 2001-2010, yaitu dari Rp. 260 500 Milyar meningkat menjadi

Rp. 697 406 Milyar. Keadaan seperti, semestinya terus berlanjut, sehingga pada

suatu saat secara bertahap, proporsi belanja untuk daerah harus lebih besar dari

belanja pemerintah pusat.

Peningkatan peranan pemerintah, juga dapat diamati dari semakin

besarnya proporsi pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasionalnya

(Suparmoko, 1996). Semakin besar dan semakin banyak kegiatan pemerintah,

semakin besar pula pengeluaran pemerintah yang bersangkutan. Untuk

mengamati peningkatan peranan pemerintah Indonesia, maka pada Tabel 7,

tersaji hasil perhitungan proporsi pengeluaran pemerintah terhadap Produk

Domestik Bruto (PDB).

Tabel 7. Proporsi Realisasi Belanja Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000, Tahun 2001-2010

Tahun Belanja (Milyar Rp) PDB (Milyar RP) Proporsi (Persen)

2001 341 600 1 442 985 0.24

2002 328 100 1 505 216 0.22

2003 378 800 1 577 171 0.24

2004 435 700 1 656 517 0.26

2005 509 419 1 750 815 0.29

2006 699 099 1 847 127 0.38

2007 757 886 1 964 327 0.39

2008 985 789 2 082 456 0.47

2009 937 397 2 177 742 0.43

2010 1 042 133 2 310 690 0.45

2001-2010 641 592 1 831 505 0.34

Sumber: BPS, 2005-2011. Statistik Indonesia 2004-2011.

Peranan pemerintah Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap

tahunnnya, yang ditandai dengan semakin meningkatnya proporsi realisasi

belanja pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto. Selama periode tahun

2001-2010, hanya tahun 2002, proporsinya sempat turun, dari 0.24 tahun 2001

menjadi 0.22 tahun 2002. Dari tahun 2003-2010 proporsi realisasi belanja

(24)

19

yaitu dari 0.24 tahun 2003 meningkat menjadi 0.45 tahun 2010. Selama periode

tahun 2001-2010, proporsi rata-rata adalah sebesar 0.34.

Perlu disadari, bahwa proporsi pengeluaran pemerintah terhadap

pendapatan nasional bruto (PDB) adalah suatu ukuran yang sangat kasar

terhadap kegiatan/peranan pemerintah dalam suatu perekonomian (Dalton, 1954

dalam Suparmoko, 1996). Pengeluaran pemerintah tersebut dapat bersifat

exhaustive yaitu merupakan pembelian barang-barang dan jasa-jasa dalam

perekonomian yang dapat langsung dikonsumsi maupun dapat pula untuk

menghasilkan barang lain lagi. Disamping itu, pengeluaran pemerintah dapat

pula bersifat “transfer” saja yaitu berupa pemindahan uang kepada

individu-individu untuk kepentingan sosial, kepada perusahaan-perusahaan sebagai

subsidi atau mungkin pula kepada negara-negara sebagai hibah (granst). Jadi

exhaustive expenditure itu mengalihkan faktor-faktor produksi dari sektor

swasta ke sektor pemerintah. Sedangkan transfer payment hanya menggeser

tenaga beli dari unit-unit ekonomi yang satu kepada unit-unit ekonomi yang lain

dan membiarkan yang terakhir ini menentukan penggunaan dari uang tersebut

(Suparmoko, 1996).

2.3. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Secara singkat yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah

proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang (Boediono, 1992). Dari

definisi singkat itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa pertumbuhan ekonomi

tekanannya pada 3 (tiga) aspek yaitu proses, output per kapita dan jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi adalah suatu “proses”, bukan suatu gambaran

ekonomi pada suatu saat. Disini dapat dilihat aspek dinamis dari suatu

perekonomian, yaitu melihat bagaimana suatu perekonomian berkembang atau

berubah dari waktu ke waktu. Tekanannya pada perubahan atau perkembangan

itu sendiri. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output

per kapita. Disini jelas ada dua sisi yang perlu diperhatikan, yaitu sisi output

totalnya (GDP) dan sisi jumlah penduduknya. Output per kapita adalah output

total dibagi jumlah penduduk. Jadi proses kenaikan output per kapita, tidak bisa

tidak, harus dianalisa dengan jalan melihat apa yang terjadi dengan output total di

(25)

“pertumbuhan ekonomi” adalah perspektif waktu jangka panjang. Kenaikan

output per kapita selama satu atau dua tahun, yang kemudian diikuti dengan

penurunan output per kapita bukan pertumbuhan ekonomi. Suatu perekonomian

tumbuh apabila dalam jangka waktu yang cukup lama (10, 20, atau 50 tahun, atau

bahkan lebih lama lagi) mengalami kenaikan output per kapita.

Konsep tersebut sejalan dengan definisi Kuznets, tentang pertumbuhan

ekonomi. Menurut Kuznet yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi suatu

negara adalah suatu peningkatan kapasitas jangka panjang untuk meningkatkan

penawaran barang-barang ekonomi yang berbeda kepada penduduknya,

pertumbuhan kapasitas didasarkan pada kemajuan teknologi dan institusi

(kelembagaan), serta penyesuaian-penyesuaian secara idiologis yang dimintanya.

Ketiga komponen prinsip dari definisi tersebut adalah sangat penting:

(1) kenaikan secara berkesinambungan pada output nasional merupakan suatu

manifestasi dari pertumbuhan ekonomi dan kemampuan untuk menyediakan

berbagai macam barang merupakan suatu pertanda kematangan ekonomi,

(2) kemajuan teknologi merupakan dasar atau pra kondisi bagi pertumbuhan

ekonomi secara kontinyu - suatu yang perlu, tetapi bukan kondisi cukup, dan

(3) untuk merealisasikan potensi pertumbuhan yang terkandung dalam teknologi

baru, institusi, sikap dan penyesuaian-penyesuaian idiologi harus dilakukan.

Inovasi teknologi tanpa dibarengi inovasi sosial sama halnya dengan lampu pijar

tanpa listrik – potensi ada, tetapi tanpa input yang melengkapinya, tidak ada

satupun yang akan terlaksana (Todaro and Smith, 2009).

2.4. Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Hess and Ross (1997) ada tiga faktor produksi yang utama

yaitu: sumberdaya manusia (tenaga kerja), kapital fisik (human-made

resources), dan sumberdaya alam. Input tenaga kerja fisik berkaitan dengan

angkatan kerja. Ukuran angkatan kerja berkaitan langsung dengan jumlah

penduduk dan tingkat partisipasi angkatan kerja (persentase penduduk yang

sedang atau aktif mencari pekerjaan). Permintaan tenaga kerja, akhirnya

menentukan angkatan kerja yang bekerja. Investasi pada modal manusia seperti

(26)

21

Stok kapital fisik dalam perekonomian meliputi pabrik, peralatan,

mesin; struktur tempat tinggal dan bangunan lainnya; jaringan infrastruktur

transportasi dan komunikasi dalam suatu negara. Peningkatan dalam stok kapital

dihasilkan dari investasi pada produksi barang kapital, yaitu

barang yang tidak untuk konsumsi sekarang, tetapi untuk memproduksi

barang dan jasa lain. Kemajuan teknologi sering diwujudkan pada

barang-barang kapital baru (seperti, mesin dengan tenaga efisien, dan komputer yang

bertenaga kuat), dan juga cenderung meningkatkan kualitas kapital.

Sumberdaya alam meliputi tanah, hutan, sumber-sumber energi, danau,

laut dan terusan yang ada yang digunakan untuk berproduksi. Semua negara

dianugerahi sumberdaya alam, dalam pemanfaatannya sebagian tergantung pada

usaha-usaha untuk memulihkan sumberdaya alam tersebut. Kualitas sumberdaya

alam meliputi: kesuburan tanah, kelestarian hutan, kekayaan mineral yang

dikandung, dan produktivitas sumberdaya air. Polusi dan praktek-praktek yang

merusak konservasi dapat menurunkan kualitas sumberdaya alam.

Teknologi direpresentasikan oleh stok penggunaan pengetahuan untuk

menghasilkan barang-barang dan jasa. Kemajuan teknologi melalui penemuan

dan inovasi secara teknis menghasilkan output yang lebih besar dari sekumpulan

input yang ada.

Selanjutnya menurut Todaro and Smith (2009) terdapat tiga komponen

utama dari pertumbuhan ekonomi yaitu:

1. Akumulasi kapital, yang mencakup semua investasi baru pada tanah, peralatan

fisik, dan sumberdaya manusia dengan peningkatan derajat kesehatan, tingkat

pendidikan, dan keahlian pekerjaan.

Akumulasi kapital terjadi terjadi apabila sebagian dari pendapatan

ditabung dan diinvestasikan yang bertujuan untuk meningkatkan output dan

pendapatan di masa yang akan datang. Pabrik-pabrik baru, mesin, peralatan,

dan bahan-bahan baku meningkatkan stok kapital fisik suatu negara (total nilai

riil bersih dari semua barang-barang kapital produktif secara fisik) dan

memungkinkan berkembangnya pencapaian tingkat output. Investasi langsung

produktif tersebut perlu dilengkapi oleh investasi apa yang disebut sebagai

(27)

komunikasi, dan sebagainya, yang memfasilitasi dan mengintegrasikan

aktivitas perekonomian. Sebagai contoh, investasi seorang petani pada sebuah

traktor baru berkemungkinan akan meningkatkan total ouput hasil panen yang

dapat dihasilkan, tetapi tanpa fasilitas transportasi yang memadai untuk

mendapatkan tambahan produksi tersebut pada pasar komersial lokal, investasi

petani tersebut tidak berpengaruh terhadap produksi makanan nasional.

Disamping investasi yang bersifat langsung, banyak cara yang bersifat

tidak langsung untuk menginvestasikan dana dalam berbagai jenis sumberdaya.

Seperti pembangunan sistim irigasi dapat meningkatkan kualitas tanah

pertanian nasional melalui peningkatan produktivitas per hektar lahan. Begitu

juga penggunaan pupuk kimia dan kontrol insektisida dengan pestisida

memiliki pengaruh manfaat yang sama dalam meningkatkan produktivitas

lahan pertanian.

Selanjutnya investasi pada sumberdaya manusia (misalnya pendidikan dan

pelatihan, program peningkatan kesehatan) dapat meningkatkan kualitas dan

dengan demikian mempunyai kekuatan pengaruh yang sama terhadap produksi.

Konsep investasi pada sumberdaya manusia dan kreasi human capital analog

dengan peningkatan kualitas dan produktivitas sumberdaya lahan melalui

investasi yang strategis.

2. Pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya akan menumbuhkan angkatan

kerja.

Pertumbuhan penduduk, dan pada akhirnya berhubungan dengan

peningkatan angkatan kerja, telah dianggap secara tradisional suatu faktor

positif dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Suatu angkatan kerja yang

besar berarti pekerja produktif yang lebih banyak, dan suatu penduduk yang

lebih besar secara keseluruhan akan meningkatkan ukuran potensial pasar

domestik. Meskipun demikian, hal tersebut masih menjadi pertanyaan, apakah

penawaran pertumbuhan yang cepat dari pekerja di negara-negara berkembang

dengan surplus tenaga kerja mempunyai pengaruh positif atau negatif terhadap

kemajuan perekonomian. Sebenarnya, hal tersebut akan tergantung pada

kemampuan sistim perekonomian untuk menyerap dan secara produktif

(28)

23

berhubungan dengan tingkat dan jenis dari akumulasi kapital dan ketersediaan

yang berkaitan dengan faktor-faktor, seperti keahlian manajerial dan

administratif.

3. Kemajuan teknologi-cara-cara baru dalam melaksanakan pekerjaan.

Pada kebanyakan para ekonom menganggap kemajuan teknologi

merupakan hal yang sangat penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi.

Dalam bentuk yang paling sederhana kemajuan teknologi merupakan hasil

dari cara baru atau perbaikan atas cara-cara tradisional (lama), seperti dalam

menanam tanaman, membuat pakaian, atau membangun rumah. Terdapat tiga

klasifikasi dasar dari kemajuan ekonomi yaitu : kemajuan teknologi netral

(neutral technological progress), kemajuan teknologi hemat tenaga kerja

(labor-saving technological progress), dan kemajuan teknologi hemat modal

(capital-saving technological progress).

Kemajuan teknologi netral terjadi apabila tingkat output yang lebih

tinggi dicapai dengan jumlah dan kombinasi yang sama dari faktor input.

Inovasi yang sederhana, seperti adanya pembagian kerja yang dapat

menghasilkan tingkat total output yang lebih tinggi dan konsumsi yang lebih

besar bagi semua individu. Dalam terminologi analisis kemungkinan

produksi, bahwa suatu perubahan teknologi netral, disebutkan, penggandaan

output total secara konseptual sama dengan penggandaan dari semua input

produktif.

Kemajuan teknologi juga bisa menghasilkan penghematan tenaga kerja

dan modal (yakni: tingkat output yang lebih tinggi yang bisa dicapai dengan

kuantitas input tenaga kerja atau kapital yang sama). Contoh kemajuan

teknologi yang hemat tenaga kerja: penggunaan komputer, internet, mesin

tenun otomatis, bor listrik berkecepatan tinggi, traktor, mesin bajak tanah dan

mesin serta peralatan moderen lainnya. Kemajuan teknologi sejak abad kedua

puluh sebagian besar adalah kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja

yang memproduksi mulai dari pengemasan kacang, pembuatan sepeda sampai

pada pembuatan jembatan.

Kemajuan teknologi yang hemat modal merupakan fenomena yang

(29)

secara teknologi dilakukan di negara-negara maju, diamanatkan untuk

menghemat tenaga kerja, bukan untuk menghemat modal. Pada negara-negara

berkembang yang melimpah tenaga kerja, tetapi langka modal, kemajuan

teknologi yang hemat modal merupakan sesuatu yang sangat diperlukan.

Kemajuan teknologi ini akan menghasilkan metode produksi padat karya

yang lebih efisien (biaya rendah), misalnya mesin pemotong rumput berputar

atau mesin pengayak dengan tangan, pompa penghembus dengan tenaga kaki,

dan penyemprot mekanis di atas punggung untuk pertanian skala kecil.

Pengembangan teknik produksi di negara-negara berkembang yang murah,

efesien, dan padat karya (hemat modal)-atau teknologi tepat guna-merupakan

salah satu unsur terpenting dalam strategi pembangunan jangka panjang yang

berorientasi pada perluasan lapangan pekerjaan.

Kemajuan teknologi juga dapat meningkatkan modal atau tenaga kerja.

Kemajuan teknologi yang meningkatkan pekerja (labor-augmenting

technological progress) terjadi apabila penerapan teknologi tersebut mampu

meningkatkan kualitas atau keterampilan angkatan kerja secara umum.

Misalnya, dengan menggunakan videotape, televisi, dan media komunikasi

elektronik lainnnya di kelas, proses belajar bisa lebih lancar, sehinggga

tingkat penyerapan bahan pelajaran juga menjadi lebih baik. Kemajuan

teknologi yang meningkatkan modal (capital-augmenting technological

progress) terjadi, apabila penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita

memanfaatkan barang modal yang ada secara lebih produktif. Misalnya,

penggantian bajak kayu dengan bajak baja dalam produksi pertanian.

2.5. Pengertian Kemiskinan

Dalam mendefinisikan kemiskinan, Badan Pusat Statistik membedakan

kemiskinan atas empat hal yaitu kemiskinan relatif, kemiskinan absolut dan

kemiskinan struktural serta kemiskinan kultural (BPS, 2008c). Kemiskinan

relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan

yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga

menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun

berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian

(30)

25

persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut

pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.

Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi

pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini

berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan

untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang,

kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan

bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial

dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal

dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis

kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin.

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau

didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak

menguntungkan. Dikatakan tak menguntungkan, karena tatanan itu tak hanya

menerbitkan, akan tetapi (lebih lanjut dari itu) juga melanggengkan kemiskinan

di dalam masyarakat.

Sedangkan kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan

budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat

dengan indikator kemiskinan. Padahal indikator kemiskinan tersebut seyogyanya

bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan

mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi

seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang

lebih baik. Kemiskinan, karena tradisi sosio-kultural terjadi pada suku-suku

terasing, seperti Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman

Kalimantan, dan suku Kubu di Jambi.

Menurut Todaro and Smith (2009) tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di

suatu negara tergantung pada dua faktor utama, yaitu : (1) tingkat pendapatan

nasional rata-rata, dan (2) lebar sempitnya kesenjangan distribusi pendapatan.

Untuk mengukur luas atau kadar parahnya tingkat kemiskinan di dalam suatu

negara dan kemiskinan relatif antar negara, para ahli ekonomi pembangunan

(31)

ditemukan pula konsep kemiskinan absolut (absolute poverty) yang berguna untuk

menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan fisik dasar setiap orang berupa kecukupan makanan,

pakaian, serta perumahan sehingga dapat menjamin kelangsungan hidupnya.

Untuk bisa diperbandingkan antar di negara, maka ditetapkan garis kemiskinan

internasional (international poverty line).

2.6. Pajak Daerah dan Reribusi Daerah

Berdasarkan Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah

dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah kontribusi

wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara

langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Sedangkan yang dimaksud dengan Retribusi Daerah adalah

pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang

khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan

orang pribadi atau Badan. Dari definisi tersebut nampak jelas perbedaan antara

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu terletak pada unsur memaksa dan jasa

tidak langsung pada Pajak Daerah dan adanya jasa (pelayanan) dan balas jasa

langsung yang diberikan pada Retribusi Daerah.

Jenis-jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia selalu

berobah-robah sesuai dengan perkembangan perekonomian, sistem pemerintahan

dan pertukaran rezim kekuasaan. Pada dasarnya pembaharuan sistem perpajakan

daerah dan retribusi daerah di Indonesia dimulai pada tahun 1997 dengan

melakukan penyederhanan jumlah dan jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,

yang ditandai dengan keluarnya undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pada undang-undang sebelumnya yaitu

undang-undang Nomor 11 Drt. tahun 1957 tentang peraturan umum Pajak Daerah

dan Undang-undang nomor 12 Drt. tahun 1957 tentang peraturan umum Retribusi

Daerah, jenis-jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sangat banyak dan

cenderung tumpang tindih antara pajak dan retribusi. Dengan dikeluarkannya

undang-undang baru ini dilakukan penyederhanaan dan diharapkan terjadi

(32)

27

Menurut undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah, Pajak Provinsi atau Pajak Daerah Tingkat I (istilah lama) terdiri

dari tiga jenis yaitu : (1) Pajak Kendaraan Bermotor, (2) Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor, dan (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. Pajak

Kabupaten/kota (Daerah Tingkat II) terdiri dari enam jenis yaitu: (1) Pajak Hotel

dan Restoran, (2) Pajak Hiburan, (3) Pajak Reklame, (4) Pajak Penerangan Jalan,

(5) Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, dan (6). Pajak

Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Selanjutnya keluar Undang-undang nomor 34 tahun 2000 tentang

perubahan atas undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah. Hal ini tentu akan merobah jenis dan jumlah pajak provinsi dan

kabupaten/kota. Berdasarkan undang-undang ini pajak provinsi dan

kabupaten/kota bertambah masing-masing satu jenis, sehingga pajak provinsi

menjadi empat jenis dan pajak kabupaten/kota menjadi tujuh jenis.

Keempat jenis pajak provinsi dimaksud yaitu: (1) Pajak Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

dan Kendaraan di Atas Air, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan

(4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri dari: (1) Pajak Hotel, (2) Pajak Restoran,

(3) Pajak Hiburan, (4) Pajak Reklame, (5) Pajak Penerangan Jalan, (6) Pajak

Pengambilan Bahan Galian Golongan, dan (7) Pajak Parkir.

Undang-undang terakhir yang mengatur tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah adalah undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah yang disahkan pada tanggal 15 September 2009.

Pada dasarnya undang-undang ini bertujuan untuk semakin meningkatkan basis

pajak dan retribusi di daerah, yang diharapakan akan memperbesar kesempatan

meningkatkan pendapatan daerah, seiring dengan penerapan otonomi daerah yang

luas.

Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 tersebut pajak provinsi

terdiri dari empat jenis yaitu: (1) Pajak Kendaraan Bermotor, (2) Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor, (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, (4) Pajak Air

(33)

sebelas jenis, yaitu : (1) Pajak Hotel, (2) Pajak Restoran, (3) Pajak Hiburan,

(4) Pajak Reklame, (5) Pajak Penerangan Jalan, (6) Pajak Mineral Bukan Logam

dan Batuan, (7) Pajak Parkir, (8) Pajak Air Tanah, (9) Pajak Sarang Burung

Walet, dan (10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, serta

(11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Dengan undang-undang tersebut terlihat ada langkah maju dalam

perpajakan daerah di Indonesia, hal ini terutama telah mulai diserahkannya

pemungutan sebagian pajak pusat ke daerah yaitu Pajak Rokok ke provinsi dan

dua jenis pajak ke kabupaten/kota yaitu: (1) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan

dan Perkotaan, dan (2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Jenis-jenis Retribusi Daerah hampir tidak ada perobahan pada ketiga

undang-undang tersebut. Secara umum retribusi daerah digolongkan atas tiga

yaitu: (1) Retribusi Jasa Umum, (2) Retribusi Jasa Usaha, dan (3). Retribusi

Perizinan Tertentu. Banyak atau tidaknya jenis retribusi akan sangat tergantung

dari kreatifitas masing-masing daerah dan disesuaikan dengan kewenangan

daerah, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Yang menentukan apakah

itu retribusi provinsi atau kabupaten/kota, akan sangat tergantung dari mana

sumber jasa atau pelayanan. Kalau pelayanan diberikan oleh provinsi yang telah

diperdakan, maka disebut itu retribusi daerah provinsi. Begitu juga kalau

pelayanan diberikan oleh kabupaten/kota yang telah diperdakan maka disebut

retribusi kabupaten/kota.

2.7. Penelitian Sebelumnya

2.7.1. Pengeluaran Pemerintah, Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

Adolf Wagner berkemungkinan dapat dikatakan sebagai sarjana pertama

yang mengakui adanya hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan

aktivitas pemerintahan. Seperti ditunjukkan oleh Henrekson (1993), Wagner

melihat ada tiga alasan pokok peningkatan peranan pemerintah. Pertama,

industrialisasi dan modernisasi akan mendorong substitusi aktivitas publik ke

swasta. Kedua, peningkatan pendapatan riil mendorong ke arah suatu ekspansi

pengeluaran untuk kebudayaan dan kesejahteraan dari elastisitas pendapatan.

Wagner mencatat, pendidikan dan kebudayaan menjadi dua hal yang akan

(34)

29

Oleh karena itu sektor publik akan tumbuh setelah kebutuhan dasar masyarakat

dipuaskan dan pola konsumsi berkembang ke arah aktivitas seperti pendidikan

dan kebudayaan. Ketiga, adanya monopoli alamiah, seperti pembangunan rel

kereta api yang harus diambil oleh pemerintah, karena perusahaan swasta tidak

akan sanggup melaksanakannya secara efisien, karena perusahaan swasta tersebut

akan menjadi tidak mungkin akan meningkatkan, seperti keuangan dalam jumlah

yang besar yang diperlukan untuk pembangunan dari monopoli alamiah ini.

Penelitian yang mengkaji kaitan antara pengeluaran pemerintah dan

pertumbuhan ekonomi cukup banyak dilakukan. Sebagian hasil penelitian

menunjukkan pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap pertumbuhan

ekonomi dan sebagian tidak memberikan pengaruh, serta ada pula yang

menghasilkan adanya hubungan kausalitas antara kedua variabel tersebut. Berikut

ini disajikan beberapa penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut.

Penelitian yang dilakukan Sinha (1998) yang mempelajari hubungan

antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia

menggunakan data tahunan (time series) Penn World Table data dari tahun

1950-1992 dengan model Error Correction Model. Ada dua tipe analisis yang

dilakukan, yaitu : (1) mempelajari hubungan jangka panjang antara GDP dan

pengeluaran pemerintah dengan berbagai bentuk, dan (2) uji kausalitas Granger

diantara tingkat pertumbuhan ekonomi dari kedua variabel tersebut (GDP dan

pengeluaran pemerintah). Hasil penelitiannya menunjukkan: (1) dari unit root

properties semua variabel, ditemukan bahwa logaritma pengeluaran pemerintah

dan GDP pada berbagai formula (seperti total, perkapita) adalah non stasioner,

(2) semua variabel, kecuali log pengeluaran pemerintah sebagai persentase dari

GDP adalah stasioner dalam bentuk perbedaan pertama, dan (3) ada hubungan

jangka panjang antara GDP dan pengeluaran pemerintah, namun tidak ditemukan

bukti adanya pertumbuhan ekonomi dari kontribusi pengeluaran pemerintah

terhadap pertumbuhan GDP.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Albatel (2000) di Saudi

Arabia yang menguji pengaruh pengeluaran pemerintah dan kebijakan insentif

terhadap pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang menyatakan, bahwa

(35)

perekonomian di Saudi Arabia. Selanjutnya ditemukan pula, bahwa pengeluaran

pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pada satu sisi

pertumbuhan ekonomi yang didapatkan pada Granger menyebabkan pula

peningkatan pengeluaran pemerintah. Penelitian ini juga menggunakan data time

series untuk periode tahun 1964-1995.

Dalam penelitian ini dinyatakan, bahwa pertumbuhan riil GDP non

minyak merepresentasikan pertumbuhan perekonomian. Sebagai variabel

independent adalah investasi total non minyak, investasi swasta, tenaga kerja,

pengeluaran pemerintah, dan rasio dari pengeluaran pemerintah terhadap GDP.

Pengeluaran pemerintah dibagi ke dalam: investasi pemerintah non minyak dan

konsumsi pemerintah. Grossman Tax dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu : rasio dari

pembiayaan pengeluaran pemerintah melalui penerimaan dari minyak terhadap

GDP dan rasio dari pembiayaan pengeluaran pemerintah oleh penerimaan lainnya

terhadap GDP. Semua variabel di log kan.

Penelitian yang dilakukan oleh Fan and Rao (2003) yang bertujuan untuk

mereview dan menganalisis kecenderungan dan sebab-sebab perubahan

pengeluaran pemerintah dan komposisinya di negara-negara berkembang, dan

untuk mengembangkan suatu kerangka analisis untuk menentukan perbedaan

dampak dari berbagai jenis pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan

ekonomi. Dalam memodelkan dampak pengeluaran pemerintah terhadap

pertumbuhan ekonomi, maka diestimasi fungsi produksi dengan GDP nasional

sebagai dependen variabel, dan tenaga kerja, investasi kapital, dan

bermacam-macam pengeluaran pemerintah sebagai variabel independen (pengeluaran pada

sektor pertanian, sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor transportasi dan

komunikasi, dan pengeluaran pada jaminan sosial, serta untuk sektor pertahanan).

Penelitian ini menggunakan program penyesuaian struktural sebagai

variabel dummy; 1 apabila penyesuaian makroekonomi diimplementasikan, dan 0

bila sebaliknya. Data yang digunakan adalah data sekunder selama periode tahun

1980-1998 pada 43 negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Untuk tujuan

memperbandingkan antar negara, semua data pengeluaran pemerintah dikonversi

(36)

31

Hasil penelitian menyimpulkan, antara lain : (1). kinerja pengeluaran

pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi berbeda pada tiga kawasan penelitian.

Di Afrika, pengeluaran pemerintah pada sektor pertanian dan kesehatan secara

nyata memberikan pengaruh yang kuat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dari semua jenis-jenis pengeluaran pemerintah, pengeluaran pada sektor

pertanian, pendidikan dan pertahanan memberikan kontribusi yang positif

terhadap pertumbuhan ekonomi di Asia. Di Amerika Latin, pengeluaran untuk

sektor kesehatan yang mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan

ekonomi, dan (2) program penyesuaian struktural mempunyai pengaruh yang

positif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Asia dan Amerika Latin,

tetapi tidak di Afrika.

Penelitian Loizides and Vamvoukas (2005) di tiga negara yaitu Yunani,

Inggris dan Irlandia, dengan judul: Government Expenditure and Economic

Growth: Evidence From Trivariate Causality Testing. Penelitian ini menggunakan

model bivariate error correction dengan kerangka kerja kausalitas Granger,

dengan menambahkan pengangguran dan inflasi (secara terpisah) sebagai variabel

penjelas, dengan melakukan analisis “trivariate” secara sederhana. Adapun model

ekonometrika yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM).

Data yang digunakan adalah time series dari tahun 1948-1995 untuk

Yunani dan 1950-1995 untuk Inggris dan Irlandia. Khusus data tingkat

pengangguran untuk Inggris dan Irlandia hanya mencakup tahun 1960-1995,

karena data sebelum tahun 1960 tidak tersedia. Semua data dinyatakan dalam Log

Natural, oleh sebab itu tingkat pertumbuhan diestimasi dalam perbedaan tingkat

pertama. Adapun data yang digunakan: (1) income yaitu GNP riil perkapita pada

harga pasar dalam tahun t, (2) pengeluaran pemerintah riil yaitu pengeluaran pada

barang dan jasa (tidak termasuk pembayaran transfer), yakni konsumsi dan

pembentukan kapital tetap kotor, (3) ukuran sektor publik yaitu rasio pengeluaran

pemerintah terhadap GNP, dan (4) tingkat pengangguran yaitu pengangguran per

orang dibagi oleh populasi pekerja, serta indeks Harga Grosir dan perubahannya.

Hasil penelitian untuk semua negara (Yunani, Inggris dan Irlandia),

menunjukkan, bahwa pengeluaran publik Granger menyebabkan pertumbuhan

Gambar

Tabel 2. Realisasi Belanja Pemerintah Provinsi Jambi Menurut Jenis Belanja
Tabel 3. Perkembangan Realisasi Investasi dan Penyerapan Tenaga Kerja
Tabel 4.  Proporsi Realisasi Belanja Pemerintah Provinsi Jambi terhadap Produk
Tabel 7.  Proporsi Realisasi Belanja Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto
+7

Referensi

Dokumen terkait

"Dari Perkebunan Hingga Stasiun: Pengembangan Materi Dalam Pembelajaran Sejarah", disampaikan pada Musyawarah Kerja Nasional Pengajaran Sejarah, yang diadakan

Pembangunan pertanian secara umum telah dan akan terus memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah, baik secara langsung dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto

Menurut Amalia Levanoni, sikap para petinggi Mamlûk yang se­ belumnya menyerahkan urusan kepemimpinan kepada Syajarat al­ Durr dan tanggapan Syajarat al­Durr yang menerima

Sumber data yang dipergunakan adalahdata sekunder, yaitu data yang telah jadi berupa laporan keuangan, dokumen yang berasal dari koperasi Credit Union Pancuran

Tetapi pada umumnya keadaan bidang refleksi tidak horizontal melainkan memiliki sudut kemiringan tertentu akan membentuk kemiringan sehingga pasangan titik tembak

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pasien asma bronkial yang berobat jalan di Poliklinik Paru RSUD Arifin Achmad Pekanbaru periode Desember 2012 didapatkan

Dibandingkan dengan kacang-kacangan yang lain, susunan asam amino pada kedelai relatif lebih tinggi dari protein biji - bijian lain terutama asam amino lisin, sehingga

Urgensi dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja dan kelengkapan fasilitas pelayanan medis yang diberikan oleh Puskesmas Windusari Kabupaten Magelang