• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis daya dukung lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan di Kabupaten Gresik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis daya dukung lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan di Kabupaten Gresik"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK

PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK

VIV DJANAT PRASITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul ”Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan Di Kabupaten Gresik” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007 Penulis

(3)

iii

Abstract

VIV DJANAT PRASITA. Analyses of the Environmental Carrying Capacity and Optimalization of the Coastal Zone for brackishwater fishponds in Gresik Regency, East Java. Under the direction of BAMBANG WIDIGDO, SARWONO HARDJOWIGENO, SUGENG BUDIHARSONO.

This research is carried out to analysis the environmental carrying capacity and develops model for optimalization of the coastal zone for brackish water fishponds. The research has been conducted in Gresik, East Java by using the survey method and collecting secondary data from the other researches and related institutions. In this research, three approaches used for analyzing the environmental carrying capacity of the brackish water fishponds, ie.: regression analysis, quantitative method for availability water in waters and weighted methods from land suitability class. Furthermore, it is used the linear goal programming (LGP) for optimalization modeling of spatial utilization.

The result shows that utilization of the coastal zone for the brackishwater fishponds has been over to its environmental carrying capacity. This phenomena seems from the maximal production of brackishwater ponds 12,134.4 tons at land areas of 10,943.5 hectares which was happened in 1999. By using the first approach (regression analysis), the limiting land areas used to declare as an environmental carrying capacity is estimated around 9,378.89 ha. The second approach using water quantity method also shows that the land areas for traditional, semi-intensive and intensive cultures as follow 9,413.49 ha, 1,647.36 ha and 941.35 ha. The last approach yields the land areas which can be used for milkfish (Chanos chanos) culture is 9,882.89 ha and this for shrimp culture is 9,457.28 ha. These areas are used as limiting factors for optimalization of the coastal zone for brackish water fishponds.

Based on the concept of sustainable development, such as; production, work force, and carrying capacity, the LGP optimalization model results optimal land areas for shrimp and milkfish traditional cultures as follows 415.56 ha and 8,963.33 ha. The optimal land area for mangrove is 2295,85 ha.

(4)

Abstrak

VIV DJANAT PRASITA. Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan di Kabupaten Gresik. Dibimbing oleh BAMBANG WIDIGDO, SARWONO HARDJOWIGENO, SUGENG BUDIHARSONO.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji analisis daya dukung lingkungan dan mengembangkan model optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan di Gresik Jawa Timur. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode survei dan pengumpulan data sekunder dari berbagai hasil penelitian lain maupun hasil laporan dari instansi terkait. Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan analisis daya dukung lingkungan, yaitu : analisis regresi, metode kuantitatif ketersediaan air di perairan, dan metode pembobotan dari kelas kesesuaian lahan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan linear goal programming (LGP) untuk membuat model optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan.

Hasil kajian memperlihatkan bahwa pemanfaatan lahan pesisir untuk pertambakan di daerah studi sudah melampaui batas luas tambak yang dapat didukung oleh lingkungannya. Fenomena ini terlihat dari produksi tambak maksimum 12.134,4 ton pada saat luas lahannya 10.943,5 ha yang terjadi pada tahun 1999. Dengan pendekatan analisis regresi, luas lahan yang dapat didukung untuk budidaya tambak sebesar 9.378,89 ha sedangkan dengan metode kuantitatif menghasilkan luas lahan yang dapat didukung untuk budidaya tradisional, semi-intensif dan intensif berturut-turut sebesar 9.413,49 ha, 1.647,36 ha and 941,35 ha. Dengan metode pembobotan, luas area yang dapat didukung untuk kegiatan budidaya bandeng (Chanos chanos) dan udang secara tradisional masing-masing sebesar 9.882,89 ha dan 9.457,28 ha. Luas area yang diperoleh dari perhitungan daya dukung tersebut digunakan sebagai faktor pembatas dalam optimasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan.

Dengan memperhatikan faktor kendala yang didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan, seperti kendala produksi, tenaga kerja dan daya dukung lingkungan, model optimasi LGP menghasilkan luas lahan optimal untuk budidaya bandeng dan udang secara tradisional berturut-turut sebesar 8,963.33 ha dan 415.56 ha. Luas lahan optimal untuk konservasi mangrove sebesar 2295,85 ha.

(5)

ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAN

OPTIMALISASI PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR UNTUK

PERTAMBAKAN DI KABUPATEN GRESIK

VIV DJANAT PRASITA

Disertasi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Disertasi : Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Optimalisasi

Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan

di Kabupaten Gresik

Nama : Viv Djanat Prasita

N I M : P31600027

Disetujui ,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bambang Widigdo K e t u a

Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono A n g g o t a A n g g o t a

Diketahui,

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(7)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Glagah Ombo Kabupaten Sleman, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal 17 Pebruari 1965 sebagai anak

pertama dari pasangan Muhammad Soeprandjono dan Siti Dachriyah.

Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengerahuan

Alam Universitas Airlangga Surabaya, lulus pada tahun 1988. Pada Tahun 1994,

penulis melanjutkan studi program master S-2 pada Department of Land

Information di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) Melbourne

Australia dan menamatkannya pada tahun 1995. Pada tahun 2001, penulis

mendapatkan kesempatan lagi melanjutkan studi program octor S-3 pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dengan

Beasiswa BPPS Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan

Nasional Jakarta dan Instansi Universitas Hang Tuah Surabaya.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Teknologi Kelautan

dan Perikanan Universitas Hang Tuah Surabaya sejak tahun 1989. Mata Kuliah

yang diasuh antara lain : Sistem Informasi Geografi (SIG), Penginderaan Jauh

dan Pemrograman Komputer.

Selama mengikuti program S3 di IPB Bogor, penulis aktif menggeluti dan

terlibat dalam kegiatan penelitian maupun proyek pada bidang kelautan dan

perikanan di pusat maupun daerah. Penulis telah menyumbangkan tulisannya di

dalam buku “Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan” pada

Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Departemen

Kelautan dan Perikanan tahun 2006. Selain itu, pada tahun 2004, penulis pernah

mendapatkan kesempatan penelitian hibah kebaharian dari Departemen

Pendidikan Nasional Jakarta. Pada tahun 2006-2007, penulis kembali

mendapatkan kesempatan penelitian hibah bersaing dari departemen yang

sama.

Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Evaluasi Kondisi Lingkungan

Perairan Kawasan Pertambakan di Gresik Jawa Timur, pada NEPTUNUS,

Majalah Ilmiah Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya, (ISSN 0852-2812),

Edisi Juli 2005, Volume 12, Nomor 1. Artikel lain berjudul Kajian Daya Dukung

Lingkungan Kawasan Pertambakan di Pantura Kabupaten Gresik Jawa Timur,

akan diterbitkan pada Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (ISSN

0854-3194), Edisi Juni 2008, Volume 15, Nomor 1. Karya-karya ilmiah tersebut

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah disertasi ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah

tersebut berjudul “Analisis Daya Dukung Lingkungan dan Optimalisasi

Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan di Kabupaten Gresik yang

dikerjakan sejak bulan Juni 2004.

Disertasi ini memuat dua kajian pokok, yaitu analisis daya dukung

lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan. Pertama,

kajian analisis daya dukung lingkungan pertambakan merupakan pengembangan

dari naskah artikel yang telah diterbitkan pada NEPTUNUS, Majalah Ilmiah

Kelautan Universitas Hang Tuah Surabaya, (ISSN 0852-2812), Edisi Juli 2005,

Volume 12, Nomor 1 dan hasil kajian daya dukung lingkungan tersebut akan

diterbitkan pada Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia (ISSN

0854-3194), Edisi Juni 2008, Volume 15, Nomor 1.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Widigdo,

Bapak Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, dan Bapak Dr. Ir. Sugeng

Budiharsono selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen,

DEA, yang telah memberi bimbingan, arahan dan saran. Terimakasih juga

disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, sebagai Ketua Program

Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan beserta staf atas

bimbingan dan bantuan selama masa studi penulis di IPB Bogor.

Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Adiana

Setiawati, M.T. beserta staf dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gresik,

Kepala Bappeda Kabupaten Gresik beserta staf dan Kepala Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Gresik beserta staf yang telah membantu selama

pengumpulan data.

Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Sapto J. Poerwowidagdo,

M.Sc. sebagai Rektor Universitas Hang Tuah yang telah mengijinkan studi S3 di

IPB dan telah memberi semangat dalam penyelesaian disertasi ini. Terimakasih

kepada Bapak Drs Mintardjono, M.T. selaku dekan Fakultas Teknologi Kelautan

dan Perikanan beserta stafnya yang telah membantu dan memberi dorongan

moral yang tulus. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Ir. Nuhman,

M.Kes., Ibu Ir. Is Yuniar M.Si. serta mahasiswa perikanan dan oseanografi yang

(9)

vii

menarik. Terimakasih juga disampaikan kepada Drs. Giman Gilmawan M.Kes.,

Kepala Lab. Kimia dan Ir. Rudi Siap Bintoro, M.T. Kepala Lab. Oseanografi yang

telah membantu analisis data kualitas air dan mengijinkan penggunaan

seperangkat alat pengamatan oseanografi.

Terimakasih yang tak terhingga kepada istriku tercinta, Any Wintolo dan

anak-anakku Farah Fauziah Vivany, Rafif Ahmad Vivany dan Nisrina Mumtaz

Vivany yang telah memberikan cinta, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan

demi tercapainya cita-cita orang yang mereka sayangi. Tanpa hal tersebut sulit

rasanya disertasi ini dapat diselesaikan.

Terima kasih untuk ayahanda Mochammad Soeprandjono dan ibunda Siti

Dachriyah yang sejak penulis lahir telah mendidik dan memberikan doa agar

sukses dalam meraih cita-cita. Demikian juga terimakasih kepada adik-adikku

semua atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007

Penulis

(10)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar.

2. Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(11)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….. xii

DAFTAR GAMBAR ……… xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xv

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang ……… 1

Perumusan Masalah ……….. 2

Tujuan Penelitian ……….……….. 2

Hipotesis …………...………...……… 2

Manfaat Penelitian ...………. 3

Kerangka Pemikiran ……...………... 3

TINJAUAN PUSTAKA 6 Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan ... ... 6

Daya Dukung Wilayah Pesisir ……….………..……… 11

Evaluasi Kesesuaian Lahan Pesisir untuk Pertambakan ... 19

Model Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan ………..……… 24

Arahan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Saat Ini Di Kabupaten Gresik 26 METODOLOGI 29 Waktu dan Lokasi Penelitian ………..……….…. 29

Ruang Lingkup Penelitian …..……….…. 29

Metode Pengumpulan Data ………..…… 29

Metode Analisis Data ...………...… 33

HASIL DAN PEMBAHASAN 40 Karakteristik Biofisik Wilayah Pesisir di Daerah Studi ... 40

(12)

Kajian Daya Dukung Kawasan Pertambakan …... 67

Kelayakan Usaha Budidaya Tambak ... 76

Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan …... 79

Arahan Pengelolaan Kawasan Pertambakan secara Berkelanjutan.. 88

Matriks Keseluruhan Hasil Penelitian ... 92

KESIMPULAN DAN SARAN ……… 93

Kesimpulan ………..….………. 93

S a r a n ….…... 94

DAFTAR PUSTAKA ………..………...…… 95

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan produksi, biaya dan keuntungan budidaya untuk

tiga tingkatan budidaya di Indonesia ... 18

2. Perbedaan budidaya tambak tradisional, semi-intensif dan Intensif ………... 18

3. Kualitas air untuk udang ………..……… 21

4. Kualitas air untuk bandeng ………..… 21

5. Beberapa parameter dan peralatan yang digunakan ….…...… 31

6. Data curah hujan selama 10 tahun terakhir. ... 40

7. Hasil analisa contoh tanah tambak pada kedalaman 0 – 30 cm .. 42

8. Hasil analisa contoh lumpur tambak pada kedalaman 0 – 30 cm 42 9. Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT 13 ... 43

10. Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT 1 ... 44

11. Hasil analisis kandungan unsur hara pada SPT 112 ... 45

12. Hasil analisis kualitas air pada SPT ... 49

13. Hasil analisis kandungan logam berat air sungai di Sungai Bengawan Solo Kecamatan Bungah ... 51

14. Hasil analisis kandungan logam berat air laut di Mengare-Kecamatan Bungah ... 51

15. Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 13 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau 58 16. Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 13 bagi budidaya tambak bandeng pada musim hujan dan musim kemarau ... 59

17. Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 1 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau 61 18. Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 34 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau. ... 63

19. Evaluasi kesesuaian lahan dan perairan untuk SPT 112 bagi budidaya tambak udang pada musim hujan dan musim kemarau. ... 66

(14)

21. Penilaian daya dukung lingkungan untuk budidaya udang pada musim hujan berdasarkan kelas kesesuaian lahan pesisir SPT

nomor 13 ... 72

22. Penilaian daya dukung lingkungan untuk budidaya udang pada musim kemarau berdasarkan kelas kesesuaian lahan pesisir SPT nomor 13 ... 73

23. Ringkasan hasil penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan untuk budidaya udang dan bandeng ... 74

24. Ringkasan nilai luas tambak di daerah studi yang masih dapat di dukung oleh lingkungan ... 75

25. Analisis biaya manfaat usaha budidaya bandeng dan udang per hektar ... 77

26. Analisis NPV usaha tambak per hektar ... 77

27. Analisis B/C Ratio Usaha Tambak per Hektar ... 78

28. Variabel yang dipakai dalam optimalisasi pemanfaatan wilayah pesisir untuk produk tambak udang dan Bandung dengan budidaya tradisional, semi-intensif, dan intensif ……….… 80

29. Produksi rerata udang dan bandeng di daerah studi ... 81

30. Kebutuhan tenaga kerja untuk tiap jenis budidaya ... 82

31. Jenis dan harga produksi di Kabupaten Gresik ... 82

32. Hasil penilaian daya dukung lingkungan di daerah studi ... 83

33. Ringkasan hasil model optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan di daerah studi dengan dan tanpa daya dukung lingkungan ... 87

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran ………... 5

2. Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan ……….. 7

3. Ilustrasi kondisi perairan pantai ……….. 13

4. Hubungan tingkat produksi dan rentang waktu hidup (life time)

yang diharapkan dari sistem budidaya tambak udang ………… 17

5. Produksi tambak di Kabupaten Gresik Tahun 2000-2002 19

6. Peta lokasi studi dan pengambilan sampel ………... 30

7. Curah hujan rata-rata di daerah studi selama 10 tahun terakhir... 41

8. Peta sebaran mangrove ... 53

9. Perkembangan produksi (ton) dan luas lahan (ha) tambak pada

Tahun 1986 – 2003 di daerah studi. ... 68

10. Hubungan produktivitas (kg/ha) terhadap luas tambak (ha) di

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kesesuaian lahan untuk tambak (brackistwater fishpond) …….. 101

2. Penggunaan lahan di daerah studi ... 102

3. Sifat tanah di daerah studi ... 104

4. Karakteristik oseanografi daerah studi ... 112

5. Kualitas perairan daerah studi ... 121

6. Produksi dan produktivitas tambak di daerah studi ... 124

7. Perhitungan parameter daya dukung lingkungan (DDL) ... 125

8. Hubungan antara parameter lingkungan dengan kelas kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungannya ... 126

9. Metode penentuan skor dalam penilaian daya dukung lingkungan ………... 131

10. Hasil penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan berdasarkan kelas kesesuaian lahan pesisir ... 134

11. Perhitungan biaya-manfaat usaha budidaya bandeng dan udang ……….……….. 138

12. Data pemilik tambak, luas tambak dan jenis budidaya di Kabupaten Gresik Jawa Timur ……… 142

13. Program LINDO untuk model optimalisasi pemanfaatan kawasan pertambakan dengan pertimbangan daya dukung lingkungan ……… 144

(17)

P E N D A H U L U A N

Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan.

Wilayah tersebut sangat kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai kegiatan

yang ada di luar maupun di dalam wilayah itu sendiri. Kesalahan pengelolaan

wilayah pesisir menjadikan wilayah ini sebagai tempat pembuangan limbah,

dapat mengakibatkan hilangnya potensi yang ada. Karena itu, penataan ruang

wilayah pesisir merupakan suatu keharusan dan harus ditaati agar tidak terjadi

konflik antar pengguna dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir.

Wilayah pesisir di Kabupaten Gresik didominasi oleh kegiatan budidaya

tambak tradisional ikan bandeng dan udang, yang kebutuhan airnya hanya

menggantungkan kondisi pasang surut. Kegiatan tersebut memberikan kontribusi

produksi perikanan cukup nyata bagi Propinsi Jawa Timur, yaitu ikan bandeng

sebesar 16166,7 ton dari 38639,5 ton (41,84 %), udang windu sebesar 1098,9

ton dari 10299,3 ton (10,66 %), udang putih sebesar 1158,8 ton dari 4819.5 ton

(24,04 %).(Dinas Perikanan dan Kelautan, 2002).

Namun demikian, mulai tahun 2001, produksi mulai menurun. Di

Kecamatan Ujung Pangkah, produksi yang telah mencapai 5.142,47 ton pada

tahun 2000 turun menjadi 4.168,62 ton.pada tahun 2001. Demikian juga

produksi tambak di Kecamatan Sidayu dan Bungah produksinya menurun

masing-masing dari 3.401,18 ton dan 3.759,70 ton pada tahun 1999 menjadi

2.021,36 ton dan 3.381,40 ton pada tahun 2002.

Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), pemerintah daerah

Kabupaten Gresik merencanakan perbaikan wilayah tersebut untuk

meningkatkan produktivitas tambak, mengingat kawasan tersebut merupakan

produsen perikanan yang diandalkan. Untuk itu, perlu kajian mendalam dalam

menentukan penyebab rendahnya produktivitas dan penurunan produksi

(18)

Perumusan masalah

Bertitik tolak dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah

utama yang ada di kawasan pertambakan Kabupaten Gresik, yaitu :

1. Produktivitas tambak di daerah studi relatif rendah yang disebabkan oleh

lahan pesisirnya kurang cocok untuk budidaya udang dan bandeng.

2. Terjadi penurunan produksi budidaya tambak mulai tahun 2000 sampai

saat ini, yang disebabkan oleh lingkungan (biofisik dan sosek) kurang

mampu mendukung kegiatan budidaya tersebut.

3. Pengelolaan kawasan pertambakan yang kurang baik terlihat dari

ketidakseimbangan ruang wilayah pesisir (daya dukung lingkungan dan

kawasan konservasi mangrove kurang diperhatikan dengan

sungguh-sungguh dalam mengelola kawasan pertambakan).

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan :

1. Menentukan luas lahan tambak yang sesuai untuk budidaya udang dan

bandeng.

2. Menentukan luas lahan tambak yang sesuai dengan daya dukung

lingkungannya.

3. Menentukan luas lahan yang optimal untuk budidaya tambak secara

tradisional, semi-intensif maupun intensif sebagai dasar dalam penyusunan

arahan pengelolaan kawasan pertambakan secara berkelanjutan.

Hipotesis

Hipotesis yang menjadi dasar pengembangan disertasi ini adalah :

1. Produktivitas tambak yang rendah sebagai akibat dari lingkungan kawasan

pertambakan yang kurang sesuai untuk budidaya udang dan bandeng.

2. Pemanfaatan lahan pesisir untuk budidaya tambak tradisional di daerah

studi telah melampaui batas luasan lahan yang dapat didukung untuk

budidaya tersebut.

3. Pengelolaan kawasan tambak saat ini (tanpa perhitungan daya dukung

lingkungan dan kawasan konservasi) kurang optimal dalam mencapai

sasaran kebijakan perikanan budidaya yang telah ditentukan oleh

(19)

3

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Hasil evaluasi kesesuaian lahan dan perairan akan memberikan informasi

kondisi dan potensi sumberdaya pesisir yang tepat bagi pengembangan /

pembangunan daerah sedangkan daya dukung lingkungan wilayah pesisir

dapat memberikan informasi tentang batasan dalam pembangunan daerah,

terutama pengembangan untuk perikanan (pertambakan), yang bermanfaat

sebagai masukan bagi evaluasi RTRW Kabupaten Gresik, khususnya untuk

kawasan pesisir terpilih : Kecamatan Ujung Pangkah, Kecamatan Sidayu

dan Kecamatan Bungah.

2. Hasil penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi masyarakat umumnya

dan dunia usaha pada khususnya karena dengan penelitian ini, pengguna

kawasan tambak dapat mengetahui kondisi pesisir dan daya dukung

lingkungannya serta usaha-usaha yang terkait dengan pengelolaan

tambak secara optimal dan berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

Wilayah pesisir di Kabupaten Gresik didominasi oleh kegiatan budidaya

tambak yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Pada awalnya kegiatan

budidaya tersebut cukup baik untuk memperbaiki kehidupan masyarakat lokal,

namun demikian, saat ini produktivitas tambak tersebut rendah dan produksinya

menurun.

Solusi permasalahan tersebut akan diperjelas berikut ini. Pertama,

produktivitas tambak rendah dapat disebabkan oleh lingkungan kawasan

pertambakan yang kurang sesuai untuk budidaya udang maupun bandeng.

Karena itu, evaluasi kesesuaian lahan pesisir untuk pertambakan sangat

diperlukan. Selain itu, produktivitas tambak rendah dapat juga disebabkan oleh

kondisi sosial yang terkait dengan ketrampilan masyarakat dalam menjaga

lingkungan kawasan tambak. Sementara faktor ekonomi, terutama terkait dengan

sistem permodalan. masyarakat rendah. Karena itu, evaluasi kelayakan usaha

budidaya tambak masyarakat juga diperlukan.

Kedua, penurunan produksi tambak dapat disebabkan oleh kondisi daya

dukung lingkungan, ekonomi maupun sosial di kawasan pertambakan yang

(20)

kumulatif, terutama yang mengendap dan masuk ke dalam tanah. Pada saat ini

budidaya tambak yang dilakukan di daerah studi adalah budidaya tradisional

namun pada tahun 1990-an budidaya semi-intensif dan intensif pernah

diterapkan sehingga sebagian limbah budidaya tambak tersebut masih tersisa

dan berpengaruh buruk pada kualitas lingkungan perairan. Oleh karena itu,

analisis dukung lingkungan kawasan pertambakan perlu dilakukan.

Ketiga, pengelolaan kawasan pertambakan yang kurang baik dapat juga

sebagai penyebab dua permasalahan sebelumnya. Pada saat ini pemanfaatan

kawasan pertambakannya tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan dan

kebutuhan kawasan konservasi mangrove sehingga hasilnya tidak optimal

berdasarkan target yang ditentukan oleh pemerintah daerah yang dinyatakan

pada rencana strategi (renstra) maupun RTRW Kabupaten Gresik. Oleh karena

itu, analisis optimalisasi dan arahan pengelolaan wilayah pesisir sangat

dibutuhkan untuk perbaikan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

Dalam penyelesaian masalah tersebut di atas, ada empat hal yang perlu

dilakukan, yaitu : 1. evaluasi kesesuaian lahan pesisir untuk budidaya udang dan

bandeng, 2. penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan, 3.

evaluasi kelayakanan usaha budidaya tambak masyarakat, 4. analisis

optimalisasi pemanfaatan ruang kawasan pertambakan untuk teknologi budidaya

yang tepat sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir Kabupaten Gresik, dan 5.

evaluasi pengelolaan kawasan pertambakan. Keterkaitan antar komponen

tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil kajian ke-5 komponen tersebut

dapat memberikan ukuran dalam pengelolaan kawasan pertambakan, seperti

luas lahan budidaya tambak yang optimal sesuai dengan kondisi dan potensi

serta daya dukung kawasan untuk mencapai target produksi yang ditentukan

oleh pemerintah daerah. Selain itu, hasilnya dapat dipakai untuk memberikan

arahan dalam pengelolaan lingkungan di dalam maupun luar kawasan

(21)

5

Solusi :

Kajian Optimalisasi pemanfaatan ruang kawasan pertambakan untuk teknologi budidaya yang tepat, sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir kabupaten Gresik.

Potensi dan kendala

pengelolaan kawasan tambak (Supply)

Target / sasaran pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Gresik Faktor Penyebab : Pengelolaan kawasan tambak yang kurang baik

Permasalahan : Pengelolaan kawasan tambak yang kurang optimal dan berkelanjutan

Evaluasi kesesuaian lahan pesisir untuk budidaya udang dan bandeng

Evaluasi keberlan-jutan usaha budidaya tambak masyarakat.

Produktivitas relatif rendah.

Kondisi lingkungan kawasan tambak kurang sesuai untuk budidaya udang dan bandeng..

Kondisi sosial (SDM) dan ekonomi (permodalan) masyarakat rendah.

Penentuan daya dukung kawasan pertambakan Produksi tambak

menurun

Daya dukung (ling-kungan, ekonomi, dan sosial) untuk pertambakan rendah

Hasil dan Arahan Pengelolaan Kawasan Pertambakan Berkelanjutan :

- Luas lahan budidaya tambak yang optimal sesuai dengan kondisi dan potensi serta daya dukung kawasan untuk mencapai target produksi yang ditentukan oleh pemerintah daerah.

- Arahan pengelolaan lingkungan di dalam maupun luar kawasan tambak.

Gambar 1. Kerangka pemikiran Wilayah Pesisir di

Kabupaten Gresik

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan

Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Sejak dicanangkan teori dan konsep pembangunan berkelanjutan oleh

komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan yang juga dikenal dengan

komisi Brundtland (WCED,1987), semua konsep dan teori yang terkait dengan

pembangunan tertuju pada pola pembangunan berkelanjutan. Pembangunan

berkelanjutan tersebut adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa

kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi

kebutuhan mereka sendiri. Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengandung

dua gagasan penting, yaitu ; kebutuhan, terutama kebutuhan esensial kaum

miskin sedunia dan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan

organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan

kini dan hari depan.

Menurut Cincin-Sain dan Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan

mempunyai tiga aspek utama, yaitu : (1) pembangunan ekonomi untuk

memperbaiki kualitas hidup manusia, yaitu pembangunan yang menekankan

manusia sebagai pusat perhatian; (2) pembangunan yang memperhatikan

lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya, perlindungan proses ekologi,

sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati; (3)

pembangunan sosial secara adil dalam distribusi keuntungan pembangunan,

yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi, dan antar negara.

Ketiga ide utama ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan oleh

pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan,

yaitu : “Bagaimana pembangunan tersebut akan memperbaiki kualitas hidup

manusia ? Bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi sumberdaya alam dan

lingkungannya ? Adakah keadilan sosial dalam distribusi keuntungan dari

pembangunan ?.

Munasinghe(1992) menggambarkan ketiga aspek pembangunan

(23)

7

komponen ekonomi, lingkungan dan sosial, yang dinyatakan pada Gambar 2.

Keberlanjutan ekonomi, adalah untuk memaksimumkan aliran pendapatan yang

dapat dibangkitkan dalam pengelolaan dari stok modal yang menghasilkan

output yang menguntungkan. Keberlanjutan lingkungan memfokuskan kepada

segala sesuatu tentang kelangsungan hidup dan berfungsinya sistem alam

secara normal.

Akhirnya, keberlanjutan sosial merupakan kondisi sosial yang mampu

mendukung secara penuh kualitas kehidupan yang adil dan sejahtera, sehat,

serta produktif bagi semua anggota masyarakat pada masa kini dan masa

mendatang.

Bengen (2000) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan

merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan suatu ambang batas

(limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang

ada di dalamnya. Ambang batas tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan

merupakan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial

ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfir untuk

menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan

berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian

rupa sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi

kehidupan manusia tidak rusak.

Gambar 2 Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan

• persamaan antar generasi

• kebutuhan dasar

• persamaan antar generasi

• nilai-nilai / budaya

• penilaian / internalisasi

• terjadinya dampak

• pemberdayaan

• konsultasi

• pemerintahan

• keanekaragaman hayati

• sumberdaya alam

• polusi

• pertumbuhan

• efisiensi

• stabilitas

Kemiskinan Persamaan hak

Keberlanjutan Evolusi secara

(24)

Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir

Kegiatan pembangunan wilayah pesisir sangat kompleks karena wilayah

pesisir merupakan daerah pertemuan antar daratan dan lautan. Tentu saja,

wilayah pesisir akan dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan yang ada di daratan

maupun di lautan atau di wilayah pesisir itu sendiri.

Dahuri (1998) menyatakan bahwa ditinjau dari perspektif ekologi, terdapat

empat pedoman pembangunan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, yaitu :

(1) keharmonisan ruang; (2) pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal ;

(3) pengendalian polusi dan (4) minimasi dampak lingkungan.

(1). Keharmonisan ruang. Keharmonisan ruang mengandung makna bahwa ruang pesisir (lahan dan laut) tidak hanya untuk pembangunan intensif

tetapi juga untuk zona konservasi dan preservasi. Oleh karena itu, wilayah

pesisir dibagi menjadi tiga zona, yaitu : (1) preservasi ; (2) konservasi ; dan (3)

pembangunan intensif. Zona preservasi meliputi daerah yang memiliki nilai alami

tinggi, biasanya dikaitkan dengan sifat unik dan luar biasa dari kondisi alam

tersebut. Zona preservasi ini hanya diperuntukkan bagi kegiatan riset,

pendidikan, dan rekreasi terbatas (ekowisata). Sebagai contoh sabuk hijau

mangrove merupakan salah satu zona preservasi, sesuai dengan UU No 27 /

2007.

Sedangkan zona konservasi merupakan zona pemanfaatan sumberdaya

pesisir secara bijaksana. Hal tersebut mengandung makna bahwa kegiatan

pembangunan harus berdasarkan teori menjaga dan memanfaatkan sumberdaya

pesisir yang dapat pulih. Kegiatan yang diperbolehkan adalah rekreasi,

permukiman, perburuan, perikanan terbatas (artisanal), konstruksi infrastruktur

terbatas.

Zona berikutnya adalah zona pembangunan intensif. Zona ini

diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan yang merusak lingkungan, seperti :

industri, pelabuhan, permukiman padat, budidaya tambak intensif, pertanian

intensif.

(2). Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya pesisir secara optimal hanya dapat dilakukan apabila

(25)

9

pernyataan Clark (1985) dalam Dahuri (1998), yaitu apabila wilayah pesisir

dipertimbangkan sebagai penyedia (supplier), kriteria optimalitas (keberlanjutan)

untuk pemanfaatan tidak boleh melebihi jumlah sumberdaya pulih (renewable

resources) yang diambil dari pada yang dihasilkan maupun yang diperbaharui

selama periode waktu tertentu. Sedangkan untuk sumberdaya tak pulih (

non-renewable resources), eksploitasinya harus dilakukan secara bijaksana sehingga

dampak yang terkait tidak membahayakan lingkungan pesisirnya. Goodland and

Ledec (1987) dalam Dahuri (1998) menyatakan bahwa laju pengambilan

sumberdaya tak pulih harus selambat mungkin sehingga memberikan

kesempatan transisi masyarakat secara berurut ke sumberdaya yang dapat

diperbaharui sebagai penggantinya.

(3). Pengendalian polusi. Pengendalian polusi bertujuan untuk memastikan bahwa semua limbah dari kegiatan pembangunan baik yang di

wilayah pesisir maupun di luarnya tidak melampaui kapasitas asimilasi.

Kapasitas asimilasi merupakan kemampuan wilayah pesisir menyerap sejumlah

limbah tertentu sebelum terjadi kerusakan lingkungan atau kesehatan. Dalam hal

ini, kapasitas asimilasi dapat dinyatakan sebagai daya dukung wilayah pesisir

dalam menerima limbah.

(4). Minimisasi dampak lingkungan. Minimisasi dampak lingkungan merupakan suatu keharusan dalam pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan.

Semua kegiatan pembangunan mempunyai dampak pada ekosistem alami.

Sebagai contoh adalah budidaya tambak intensif, konversi mangrove ke

pemanfaatan tertentu, ekowisata massal, dan pembangunan industri.

Menurut Bengen (2000), secara ekologis terdapat tiga persyaratan yang

dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan, yaitu keharmonisan

spasial, kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan. Seperti pernyataan

Dahuri (1998), keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu

pembangunan hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan sebagai zona

pemanfaatan tetapi sebagian harus dialokasikan untuk zona preservasi dan

konservasi. Keberadaan zona-zona ini sangat penting dalam memelihara

berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara,

membersihkan limbah secara alamiah dan sumber keanekaragaman hayati.

Zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan

(26)

Fungsi Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

Fungsi mangrove mempunyai banyak manfaat dalam menjaga ekosistem

wilayah pesisir. Bengen (2000) menyatakan beberapa fungsi ekologis penting

dari mangrove, yaitu : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai,

pelindung pantai dari aberasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang

diangkut oleh aliran air permukaan, (2) sebagai penghasil sejumlah detritus,

terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon bakau yang rontok. Sebagian

detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi pemakan detritus

dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang

berperan dalam penyuburan perairan, (3) sebagi daerah asuhan, daerah mencari

makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan (ikan, udang dan

kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang

Pengelolaan Kawasan Lindung ditetapkan bahwa kriteria sempadan pantai

adalah daratan sepanjang tepian dengan lebar 100 meter dari titik pasang

tertinggi ke arah darat dan sempadan sungai adalah 100 meter di kanan-kiri

sungai besar serta 50 meter di kanan-kiri sungai kecil. Sempadan pantai dan

sempadan sungai merupakan lahan potensial sebagai jalur hijau demi menjaga

kelangsungan ekosistem di dalamnya. Jalur hijau mangrove ditentukan dengan

lebar minimal 130 kali nilai rerata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah

tahunan yang diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

Untuk kawasan pertambakan, keberadaan pohon mangrove difungsikan

sebagai sabuk hijau yang dikenal sebagai mangrove green belt (MGB).

Boers(2001) menyatakan bahwa MGB dapat difungsikan sebagai penyaring

(filter) air yang masuk tambak dari penyakit ikan atau udang yang disebabkan

oleh virus maupun bakteri karena beberapa hewan, seperti oyster, berkoloni

dengan akar pohon mangrove melalui kegiatan pemangsaan.

Boers (2001) juga memberikan model ideal pertambakan di wilayah pesisir.

Beberapa sifat yang harus ada dalam model tersebut, yaitu :

1. Pasang surut yang signifikan

2. Sabuk hijau mangrove / mangrove green belt (MGB)

3. Aliran air satu arah (one way flow of water)

4. Tambak biofilter (biofilter pounds)

(27)

11

Tambak biofilter berfungsi untuk mempertahankan kualitas air sebelum

dimasukkan ke tambak budidaya atau pembesaran udang.Tambak biofilter ini

biasanya diisi dengan rumput laut (seaweeds) dan organisme pemangsa untuk

menghilangkan penyakit, bahan partikulat terlarut, dan nutrien. Sedangkan

tambak penyangga (buffer ponds) berfungsi untuk mencegah pemangsa udang

masuk kedalam tambak budidaya karena mangrove sebagai sabuk hijau juga

merupakan habitat bagi sejumlah predator, seperti kadal (Varannus spp.).

Daya Dukung Wilayah Pesisir

Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini

dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam

dan lingkungan.

Daya dukung merupakan istilah yang lebih umum untuk karakter

lingkungan dan kemampuannya dalam mengakomodasi suatu kegiatan tertentu

atau laju suatu kegiatan tanpa dampak yang tidak dapat diterima (Gesamp, 1986

dalam Nautilus Consultants, 2000). Dalam prakteknya, dikenal beberapa istilah

daya dukung. Daya dukung adalah jumlah organisme, atau jumlah kegiatan

usaha atau total produksi, yang dapat didukung oleh suatu area, ekosistem atau

garis pantai yang didefinisikan (Nautilus Consultants, 2000). Untuk suatu wilayah

yang didefinisikan, dikenal dengan istilah daya dukung wilayah, yaitu

kemampuan wilayah tersebut dalam mempertahankan berbagai pemanfaatan

sumberdaya (kegiatan pembangunan). (Clark, 1992). Daya dukung suatu wilayah

tidak bersifat statis tetapi dapat menurun akibat kegiatan manusia yang

menghasilkan limbah atau kerusakan alam, seperti bencana alam, atau bahkan

dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (Clark,1996).

Scones (1993) membagi daya dukung menjadi dua, yaitu : daya dukung

ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah jumlah

maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa

mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan

lingkungan secara permanen. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi

(skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh

(28)

Menurut Bengen (2002a), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran

bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu

pertumbuhan organisme. Daya dukung dibedakan menjadi 4 macam, yaitu : daya

dukung ekologis, fisik, sosial dan ekonomi.

1. Daya Dukung Ekologis : tingkat maksimum (baik jumlah maupu volume)

pemanfaatan suatu sumberdaya atau ekosistem yang dapat diakomodasi

oleh suatu kawasan sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.

2. Daya Dukung Fisik : jumlah maksimum pemanfaatan suatu sumberdaya

atau ekosistem yang dapat diabsorpsi oleh suatu kawasan tanpa

menyebabkan penurunan kualitas fisik.

3. Daya Dukung Sosial : tingkat kenyamanan dan apresiasi pengguna suatu

sumberdaya atau ekosistem terhadap suatu kawasan akibat adanya

pengguna lain dalam waktu bersamaan.

4. Daya Dukung Ekonomis : tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu

sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara

berkesinambungan.

Dari keempat daya dukung tersebut yang sering digunakan adalah daya

dukung ekologis, yang juga disebut sebagai daya dukung lingkungan. Pada

penelitian ini akan lebih diprioritaskan pada kajian daya dukung lingkungan dari

pada daya dukung lainnya. Daya dukung lingkungan dan daya dukung ekonomis

akan dijabarkan lebih detil pada sub-bab berikut ini.

Daya Dukung Lingkungan (Daya Dukung Ekologis)

Menurut Purnomo (1992), daya dukung lingkungan merupakan nilai mutu

lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen

(fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Daya dukung

lingkungan lahan pantai untuk pertambakan ditentukan oleh kualitas air, air

sumber (asin dan tawar), hidro-osenografi (arus, pasang surut), topografi dan

klimatologi daerah pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS) di daerah hulu.

Dengan kata lain daya dukung lingkungan ditentukan oleh kualitas / karakteristik

lahan dan perairannya.

Allen dan Hardy (1980) dalam Clark (1996) menyatakan bahwa dalam

kaitannya dengan dampak lingkungan, daya dukung lingkungan merujuk pada

(29)

13

secara fisik atau kerusakan habitat alami. Dalam konteks pembangunan, sering

digunakan istilah batas perubahan yang dapat diterima. Konsep ini kelihatan

lebih fleksibel dengan harapan dampak bawaannya karena pembangunan akan

memodifikasi sumberdaya (Clark, 1996).

Daya dukung suatu kawasan perairan didefinisikan sebagai kemampuan

dalam memproduksi biota (ikan / udang) dengan tidak menunjukkan gejala

perusakan kualitas air (pencemaran) (Widigdo dan Pariwono, 2003). Limbah

yang dibuang dari proses produksi tidak mengakibatkan proses eutrifikasi

perairan penerimanya. Limbah cair tambak biasanya dibuang ke sungai, perairan

pantai atau langsung ke laut. Kapasitas atau daya tampung perairan untuk

menerima limbah berbanding lurus dengan kualitas perairan.

Rakocy dan Alison (1981) dalam Widigdo dan Pariwono, (2003)

menyatakan bahwa untuk menjaga kualitas perairan masih tetap layak (tanpa

melebihi daya dukung lingkungan) untuk budidaya, maka perairan penerima

limbah dari kegiatan budidaya harus memiliki volume antara 60 – 100 kali lipat

dari volume limbah yang dibuang ke perairan. Berdasarkan asumsi tersebut di

atas, maka jumlah limbah organik (V limbah tambak) yang dibuang ke perairan

pesisir yang tidak melampaui daya dukung lingkungan adalah maksimum

seperseratus kali dari volume air yang tersedia (V perairan). Secara matematis,

hal tersebut dapat ditulis sebagai berikut :

V perairan > 100 V limbah tambak

Dengan penyerderhanaan (dasar laut di perairan pantai yang diamati

mempunyai variasi yang kecil) dan memperhatikan Gambar 3, volume perairan

dapat dihitung dengan menggunakan rumus

V perairan = 0,5 h y ( 2 x – ( h / tan θ ))

……….…...…(1)

………(2)

x

Air Pasang

Air Surut

Kedalaman Air Intake h

θ

(30)

Dengan ketentuan :

y = panjang garis pantai kawasan

h = kisaran pasang

x = jarak dari garis pantai pada air pasang ke arah laut sampai mencapai

titik dimana kedalaman air pada saat surut adalah satu meter dan

tidak lagi terpengaruh oleh gerakan turbulen air dasar.

θ = sudut kemiringan pantai

Dengan diketahuinya V perairan, maka V limbah dapat dihitung

berdasarkan rumus (2). Karena limbah utama dari kegiatan budidaya udang

adalah bahan organik yang terutama berasal dari sisa-sisa pakan, kotoran, dan

bahan-bahan terlarut, maka prediksi limbah dapat dikaitkan dengan jumlah pakan

yang diberikan. Dari hasil monitoring yang dilakukan oleh Primavera (1994)

dalam DKP-Dirjen UP3K dan PKSPL-IPB (2000) terhadap tambak udang intensif

menyebutkan bahwa 15 % dari pakan yang diberikan akan larut dalam air,

sementara 85 % yang dimakan sebagian besar juga dikembalikan lagi ke

lingkungan dalam bentuk limbah. 20 % dari pakan yang diberikan dikembalikan

ke lingkungan dalam bentuk limbah padat berupa faeces. Jadi limbahnya

sebesar 35 % dari pakan yang diberikan. Untuk jenis tambak tertentu ( intensif /

semi intensif / tradisional ), jumlah pakan dapat dikaitkan dengan udang yang

dihasilkan yaitu dengan Food Conversion Ratio (FCR) dan produktivitas tambak

akan juga terkait dengan luas tambak. Jadi luas tambak yang sesuai dengan

daya dukungnya juga dapat ditentukan. Luas tambak ini yang akan digunakan

sebagai pembatas dalam pengembangan pemanfaatan ruang pesisir.

Dengan diketahuinya daya dukung, pemanfaatan wilayah pesisir,

khususnya untuk pertambakan, dapat dilaksanakan secara berkelanjutan karena

daya dukung tersebut sebagai salah satu kriteria atau batasan dalam

pengembangan / pengelolaan wilayah pesisir.

Widigdo dan Pariwono (2003) juga mengembangkan metode penilaian

daya dukung lingkungan kawasan pertambakan. Metode penilaian daya dukung

tersebut didasarkan pada ketersediaan air yang ada di perairan untuk

menampung limbah budidaya tambak. Metode tersebut sudah diterapkan di

pantai utara Jawa Barat (Kabupaten Subang, Teluk Jakarta dan Subang) untuk

(31)

15

Metode penilaian daya dukung lingkungan ini juga sudah diujicobakan oleh

Rustam (2005) dan Sitorus (2005). Rustam (2005) menggunakan metode

tersebut untuk menentukan daya dukung lingkungan kawasan pesisir Kabupaten

Barru Sulawesi Selatan untuk budidaya udang. Dengan metode tersebut, luas

areal tambak yang dapat didukung oleh perairan di daerah tersebut agar tetap

lestari sebesar 694,6 ha untuk tambak intensif atau 1389,2 ha tambak

semi-intensif. Hasil tersebut digunakan untuk menggambarkan rencana

pengembangan budidaya perikanan di daerah tersebut. Selain itu, Rustam juga

meggunakan pendekatan lainnya dalam menentukan daya dukung lingkungan,

yaitu :berdasarkan oksigen terlarut dengan limbah organik dan kapasitas

asimilasi perairan (kemampuan perairan untuk menerima limbah tanpa

menyebabkan perairan tercemar). Lebih jauh Sitorus(2005) menggunakan

metode estimasi daya dukung lingkungan tersebut untuk pengembangan areal

tambak berdasarkan laju biodegradasi limbah tambak di perairan pesisir

Kabupaten Serang.

Meskipun metode ini menggunakan penyederhanaan dan beberapa asumsi

namun metode ini telah memberikan gambaran tentang ketersediaan air di

perairan sekitar kawasan pertambakan. Kelemahan metode penentuan daya

dukung lingkungan ini hanya didasarkan pada pendekatan ketersediaan air di

perairan wilayah pesisir. Padahal di beberapa lokasi, ketersediaan air bukan

merupakan faktor pembatas dalam pengembangan budidaya tambak sehingga

pendekatan yang lain masih perlu dipertimbangkan lagi selain metode tersebut.

Metode penilaian daya dukung lingkungan kawasan pertambakan masih

terus dikembangkan. Menurut Purnomo (1992) daya dukung lingkungan itu

merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua

unsur atau komponen fisika, kimia, dan biologi dalam suatu kesatuan ekosistem.

Dari ide tersebut, timbul pemikiran untuk mengkaitkan kesesuaian lahan yang

bersifat kualitatif dengan daya dukung lingkungan yang bersifat kuantitatif karena

kesesuaian lahan pesisir juga dipakai untuk mengevaluasi potensi pesisir untuk

budidaya perikanan secara menyeluruh. Oleh karena itu, metode penilaian daya

dukung lingkungan dengan pendekatan yang baru dan menyeluruh ini akan diuji

cobakan dalam penelitian ini. Metode ini akan mengkuantifikasi kelas kesesuaian

lahan untuk pertambakan menjadi nilai daya dukung lingkungan kawasan

(32)

Pada penelitian ini, daya dukung kawasan pertambakan tersebut dipakai

sebagai faktor pembatas dan dipertimbangkan sebagai prioritas utama dalam

optimalisasi pemanfaatan lahan pesisirnya. Pertimbangan daya dukung sebagai

prioritas utama karena pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan sudah

melampaui daya dukung. Oleh karena itu, optimalisasinya lebih cenderung

ditekankan pada perbaikan kualitas lingkungan sehingga diharapkan ke depan

pengelolaan kawasan pertambakan tersebut dapat dilaksanakan secara

berkelanjutan.

Daya Dukung Ekonomis

Daya dukung ekonomis suatu kawasan pertambakan merupakan tingkat

produksi yang memberikan keuntungan maksimum pada suatu kawasan

pertambakan dan ditentukan oleh tujuan usaha budidaya tambak secara

ekonomi. Salah satu cara untuk menentukan daya dukung ekonomis ini adalah

melihat produksi maksimum suatu kawasan pertambakan dalam rentang waktu

tertentu, yang dikaitkan dengan rentang waktu hidup budidaya tambak tersebut.

Daya dukung ekonomis kawasan pertambakan pernah dilakukan oleh

Cheng Gong, et al., (1997). Mereka memprediksi nilai daya dukung budidaya

persisir dan laut di Xiamen dengan metode analisis regresi. Metode penilaian

daya dukung ekonomis ini dipakai berdasarkan laporan kondisi produksi secara

riil dan time-series sehingga daya dukung yang dicari sebenarnya daya dukung

ekonomis. Hasil akhir metode ini adalah luas lahan yang masih dapat didukung

dalam kegiatan budidaya. Hasil tersebut sangat baik untuk memprediksi daya

dukung suatu kawasan karena nilai variabelnya berdasarkan kondisi riil yang

telah terjadi. Namun demikian, metode ini memerlukan data perkembangan

produktivitas tambak dan luas lahan tambak secara time-series sehingga di

beberapa tempat data time-series tersebut susah didapatkan.

Produksi budidaya tambak secara intensif lebih banyak dibandingkan

dengan produksi budidaya tambak secara semi-intensif maupun tradisional tetapi

rentang waktu hidupnya lebih pendek daripada keduanya. Produksi budidaya

tambak yang paling rendah adalah budidaya tambak secara tradisional tetapi

rentang waktu hidup yang paling panjang. Perbandingan tingkat produksi dan

(33)

17

Sebagai gambaran, perbandingan produksi, biaya dan keuntungan

budidaya udang untuk tiga tingkatan sistem budidaya di Indonesia disajikan pada

Tabel 1. Nilai produksi tambak udang tradisional, semi-intensif dan intensif

berturut-turut sebesar 162, 1.479 dan 4.392 kg ha-1 th-1 sedangkan biaya total

perawatan tambak udang terkecil adalah biaya perawatan budidaya

semi-intensif, yaitu 3,77 $US kg-1. Namun demikian untuk harga udang justru

sebaliknya, yaitu : harga udang tertinggi dihasilkan dari budidaya udang tambak

tradisional. Hal ini dapat disebabkan oleh kualitas udang yang lebih alami (tidak

banyak dipengaruhi oleh pakan buatan).

Secara umum, nilai produksi tambak tradisional, semi-intensif dan intensif

untuk setiap musim tanam berturut-turut sebesar 20 - 100 kg ha-1, 1 – 2 ton ha-1,

dan 2 – 5 ton ha-1 (Deb,1998). Tambak tradisional sedikit atau bahkan tidak

[image:33.612.82.538.47.409.2]

menimbulkan dampak lingkungan dibandingkan dengan tambak semi-intensif Gambar 4 Hubungan tingkat produksi dan rentang waktu hidup (life time)

yang diharapkan dari sistem budidaya tambak udang. 0

5 10 15

5 10 15 20 25

Intensif

Semi Intensif

Extensif

Polikultur tradisional

Produksi (ton ha-1 th-1)

(34)

maupun intensif karena benih dan pakannya diambil secara alami. Perbedaan

masing-masing budidaya tambak tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Perbandingan produksi, biaya dan keuntungan budidaya untuk tiga tingkatan budidaya di Indonesia

No. Komponen budidaya Tradisional Semi-intensif Intensif

1. Produksi (kg ha-1 th-1) 162 1.479 4.392 2. Biaya ($US kg-1)

- Biaya variabel 2,66 2,95 3,40

- Biaya tetap 1,20 0,82 1,19

Total biaya 3,86 3,77 4,59

3. Harga udang 6,84 6,83 6,48

4. Keuntungan (Profit) 2,98 3,06 1,89

5. Keuntungan per ha per

tahun (Profitability) 482,76 4.525,74 8.300,88 Sumber : Boers (2001)

Tabel 2. Perbedaan budidaya tambak tradisional, semi-intensif, dan intensif.

No. Parameter Tradisional Semi-intensif Intensif

1. Produksi 20 – 100 kg ha-1 1 – 2 ton ha-1 2 – 5 ton ha-1 2. Benih Alami Alami / Hatchery Hatchery 3. Padat

Penebaran

< 10 ekor m-2 10 - <30 ekor m-2 > 30 ekor m -2

4. Pakan Alami Pellet Pellet

5. Dampak terhadap lingkungan

Tidak ada / sedikit

Sedang - tinggi Sangat tinggi

6. Pengelolaan air Pasang surut Pompa/aerasi Pompa/aerasi 7. Kincir Tidak ada > 4 ha-1 > 8 ha-1 8. Kedalaman air 0,3 – 0,5 m 0,6 – 1,5 m 1,0 – 1,5 m 9. Luas tambak 3 – 10 ha 0,5 – 1,0 ha 0,25 – 0,5 ha 10. Waktu

pemeliharaan

4 – 6 bulan 3 – 4 bulan 3 – 4 bulan

Sumber : Deb (1998)

Di Kabupaten Gresik, jenis tambak yang berkembang adalah tambak

tradisional dengan budidaya udang dan ikan bandeng. Budidaya ikan bandeng

lebih berkembang dari pada budidaya udang. Pada tahun 2002, produksi

bandeng sebesar 87,75 % (16.166,70 ton / 18.424,40 ton) dan produksi udang

hanya 12,25 %. Hal ini terlihat dari produksi yang dihasilkan selama tiga tahun

(tahun 2000 – 2002), data disajikan pada Gambar 5.

Jadi sebenarnya ditinjau dari produksi maksimum suatu tambak, daya

dukung ekonomis budidaya tambak tradisional lebih kecil dibandingkan dengan

daya dukung ekonomis budidaya tambak intensif maupun semi-intensif namun

demikian rentang waktu hidup usaha budidayanya paling lama. Dalam konteks

(35)

19

oleh kondisi lingkungan perairannya sehingga keberlanjutan usaha budidaya

tambak ditentukan juga oleh kondisi lingkungan perairan. Oleh karena itu, dalam

pengelolaan wilayah pesisir, daya dukung ekologis perlu juga diperhatikan dalam

mempertimbangkan pemilihan teknologi budidaya tambak yang akan diterapkan

pada suatu kawasan pertambakan.

Evaluasi Kesesuaian Lahan Pesisir untuk Pertambakan

Menurut FAO (1976), proses penilaian kesesuaian lahan tambak adalah

membandingkan antara syarat-syarat penggunaan lahan pesisir bagi peruntukan

tambak dengan kualitas lahan pesisir yang terbawa pada satuan peta lahannya.

Oleh karena itu, perlu dijelaskan tentang syarat-syarat penggunaan lahan pesisir

bagi peruntukan budidaya tambak. Syarat-syarat penggunaan lahan pesisir

tersebut kadang-kadang memiliki parameter dengan nilai yang berbeda dan

tergantung pada letak geografis. Pada penelitian ini akan memakai syarat-syarat

penggunaan lahan pesisir yang mendekati dengan kondisi daerah penelitian.

Namun demikian, persyaratan secara umum akan diuraikan berikut ini.

Produksi tambak

(to

n

[image:35.612.118.509.186.433.2]

)

Gambar 5 Produksi tambak (ton) di Kabupaten Gresik pada tahun 2000-2002 Produksi tambak (Ton) di Kabupaten Gresik

Pada Tahun 2000-2002

16166,7

14453,6 16090,1

1098,9 1084,3

1015,1 1158,8

1072,8 1146,9

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000

2000 2001 2002

Tahun

P

ro

d

u

ksi

t

amb

ak (

T

o

n

)

(36)

Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan beberapa faktor yang

harus diperhatikan dalam pengembangan lahan untuk budidaya tambak, yaitu :

sumber air (debit dan kualitasnya), amplitudo pasang surut, topografi, iklim, dan

sifat tanah. Sumber air merupakan faktor yang utama dalam budidaya tambak

karena air merupakan media untuk kehidupan ikan dan tempat pertumbuhan

plankton dimana plankton merupakan salah satu sumber makanan ikan. Karena

pentingnya sumber air bagi kehidupan perairan tambak, maka sumber air ini baik

debit maupun kualitasnya dapat dijadikan sebagai ukuran penentuan daya

dukung lingkungan perairan untuk budidaya tambak. Selain itu, sumber air

tersebut sangat sensitif terhadap pembangunan / pengembangan wilayah pesisir

sedangkan amplitudo pasang surut, topografi, iklim dan sifat tanah cenderung

kurang peka.

Sumber air dapat ditinjau dari kuantitas dan kualitas. Kuantitas air yang lalu

lalang di perairan budidaya sangat dipengaruhi oleh pola arus dan pasang surut

yang akan dijelaskan kemudian. Widigdo (2001) menyatakan bahwa kuantitas air

sangat membantu dalam proses mencerna limbah tambak yang diterima

kawasan tersebut. Makin banyak kuantitas air yang lalu lalang makin tinggi

kapasitas mencerna limbahnya.

Sedangkan kualitas air menurut Boyd (1991) dalam Hardjowigeno dan

Widiatmaka (2007) mengemukakan bahwa kualitas air akan mempengaruhi

produksi ikan dalam tambak. Kualitas air tersebut antara lain : (a) oksigen

terlarut, (b) salinitas, (c) suhu, (d) kekeruhan dan warna (kecerahan), (e)

kemasaman (pH), (f) amoniak (NH3),dan (g) hidrogen sulfida (H2S). Penilaian

kualitas air untuk udang dan bandeng dinyatakan dalam Tabel 3 dan Tabel 4.

Selain sumber air (kuantitas dan kualitas), amplitudo pasang surut,

topografi, iklim, dan sifat tanah merupakan parameter penentu syarat kesesuaian

lahan untuk tambak. Amplitudo pasang surut (pasut) merupakan salah satu

penciri batasan dari wilayah pesisir. Amplitudo pasut tersebut menjadi syarat

penting dalam penentuan lokasi tambak udang dan ikan bandeng, seperti yang

dinyatakan Widigdo (2001) yaitu bahwa lahan yang cocok untuk kegiatan

budidaya tambak adalah daerah yang masih terjangkau pasang surut dan lebih

ideal lagi apabila terdapat sungai untuk membuat salinitas ideal bagi

(37)
[image:37.612.117.508.94.573.2]

21

Tabel 3 Kualitas air untuk udang (Achmad,1991; Boyd,1991)

No Peubah Kadar Kualitas

1 Oksigen terlarut (mg L-1)

> 5 1 – 5

< 1

Baik (ideal : 7 – 10 mg/l pada siang hari) Pertumbuhan terhambat

Udang mati 2 Salinitas (o/oo) 12 – 20

20 – 35 > 35 > 50 < 12

Baik

Masih tumbuh normal Pertumbuhan lambat Mulai mati

Tidak terganggu sehebat salinitas tinggi, tetapi metabolisme pigmen tidak sempurna (warna udang lebih biru), kulit lunak.

3 Suhu (oC) 28 – 30 30 – 35 18 – 25 12 – 18 < 12 > 25

Baik

Masih tumbuh normal Nafsu makan mulai turun Mulai berbahaya

Mulai mati

Mulai berbahaya sampai mulai mati 4 Kecerahan (cm) 30 – 40

< 25 > 40

Baik

Phytoplankton “die-off” oksigen terlarut turun cepat Tidak baik,phytoplankton terlalu sedikit

5 pH 7 – 9

> 10 < 7

Baik Tidak baik Tidak baik 6 Amoniak (NH3)

(mg L-1)

< 0,3 Optimal

7 H2S (mg L-1) < 0,1

0,1 – 0,25 > 0,25

[image:37.612.136.504.96.381.2]

Baik Keracunan Kematian massal

Tabel 4 Kualitas air untuk bandeng

No Peubah Kadar Kualitas

1 Oksigen terlarut (mg L-1) > 3 Baik

2 Salinitas (o/oo) 15 – 30 Baik

3 Suhu (oC) 27 – 31 Baik

4 Kecerahan (cm) 20 – 40 Baik

5 pH 7,5 – 8,5 Baik

6 Amoniak (NH3) (mg L-1) -

7 H2S (mg L-1) -

8 Alkalinitas (ppm) > 150 Baik

Sumber : Arsyad dan samsi (1990) dalam Hardjowigeno (2001)

Rerata tinggi air pasang dan rerata tinggi air surut merupakan hal yang

harus diperhatikan dalam budidaya tambak. Rerata tinggi air pasang adalah

rerata dari air pasang tertinggi dan air pasang terendah, sedangkan rerata tinggi

air surut adalah rerata dari air surut tertinggi dan air surut terendah. Kedua rerata

tersebut diperlukan untuk menetapkan daerah yang dinilai masih berada dalam

batas-batas air pasang surut. Apabila daerah tersebut masih terletak dalam

batas- batas pasang surut maka pembuatan tambak udang dan bandeng masih

dimungkinkan. Selain itu, pada saat bulan purnama dan perbani, air pasang

(38)

tambak. Pada saat surut tertinggi, air kira-kira sejajar dengan pelataran tambak

sehingga parit keliling masih penuh berisi air.

Topografi terkait dengan kecuraman, panjang dan bentuk lereng. Daerah

yang datar dan masih dapat digenangi langsung oleh air pasang surut

merupakan daerah yang sesuai untuk pertambakan. Ketinggian daerah tersebut

tidak boleh melebihi tinggi permukaan air pasang tertinggi dan juga tidak boleh

lebih rendah daripada tinggi permukaan air surut terendah (tempat-tempat yang

merupakan cekungan) sekalipun masih dekat pantai. Topografi yang terlalu tinggi

atau terlalu rendah akan menyebabkan kesulitan dalam pengelolaan air.

Iklim menyatakan kondisi curah hujan dan bulan kering di suatu tempat.

Suseno (1988) menyatakan bahwa curah hujan yang cukup baik untuk tambak

adalah antara 2000 – 3000 mm th-1 dengan bulan kering 2 – 3 bulan. Curah

hujan tinggi sepanjang tahun tanpa bulan kering kurang cocok untuk tambak

karena pengelolaan tambak memerlukan pengeringan dasar tambak secara

berkala untuk memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan mineralisasi bahan

organik, dan menghilangkan bahan-bahan beracun seperti H2S. Sebaliknya,

curah hujan yang terlalu rendah dan bulan kering yang terlalu panjang juga

kurang baik untuk pertambakan.

Dalam budidaya tambak, tanah mempengaruhi kondisi tambak, antara lain:

tanah sebagai sumber hara dan pertumbuhan klekap maupun sebagai sumber

unsur beracun dalam air tambak. Beberapa unsur hara yang mudah larut dalam

air dapat mempengaruhi kualitas air tambak yang kemudian dapat

mempengaruhi pertumbuhan plankton dan organisme lain dalam tambak

tersebut. Klekap yang tumbuh di atas tanah berlumpur, umumnya lebih subur

dari pada yang tumbuh di atas tanah berpasir.

Selain tersebut di atas, tekstur tanah yang bersifat porous dapat juga

menimbulkan masalah dalam pengelolaan tambak karena tambak kurang

mampu menahan air. Porositas yang tinggi umumnya disebabkan tekstur tanah

yang kasar. Semakin kasar tekstur tanahnya semakin tinggi pula porositasnya

sehingga semakin kurang cocok untuk budidaya tambak.

Secara umum, semua persyaratan kesesuaian lahan pesisir untuk budaya

tambak disajikan pada Lampiran 1. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh

faktor pembatas terberat atau yang paling sulit diatasi dan faktor pembatas yang

(39)

23

lahan ditentukan berdasarkan metode FAO dalam Hardjowigeno dan

Widiatmaka (2007) berikut ini.

1. Kelas S1 : sangat sesuai. Lahan tidak memiliki factor pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan atau hanya memiliki pembatas

yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi dan tidak

menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

2. Kelas S2 : cukup sesuai. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus

diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan

meningkatkan masukan yang diperlukan.

3. Kelas S3 : sesuai marjinal. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.

Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih

meningkatkan masukan yang diperlukan

4. Kelas N1 : tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat

diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan

pembatas sedemikian besarnya sehingga mencegah penggunaan lahan

yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

5. Kelas N2 : tidak sesuai untuk selamanya. Lahan mempunyai pembatas permanent yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang

berkelanjutan dalam jangka panjang.

Sebenarnya dalam penilaian kesesuaian lahan, ada dua istilah penting,

yaitu : kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian

lahan aktual atau alami merupakan kesesuaian lahan yang belum

mempertimbangkan usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan untuk mengatasi

kendala atau faktor-faktor pembatas yang ada disetiap satuan peta. Untuk

menentukan kelas kesesuaian lahan actual, pertama kali dilakukan penilaian

terhadap masing-masing kualitas lahan berdasar atas karakteristik lahan terjelek,

kemudian kelas kesesuaian lahannya ditentukan berdasarkan atas kualitas lahan

terjelek.

Kesesuaian lahan potensial merupakan kesesuaian lahan yang akan

(40)

tersebut menggambarkan kondisi yang diharapkan setelah diberikan masukan

(input) sesuai dengan tingkat pengelolaan yang akan diterapkan sehingga tingkat

produktivitas suatu lahan dapat diperkirakan. Untuk menentukan jenis usaha

perbaikan, karakteristik lahan yang tergabung dalam kualitas lahan harus

diperhatikan.

Dalam budidaya tambak udang maupun ikan bandeng, sebenarnya

kesesuaian lahan aktual / alami diterapkan pada jenis budidaya tradisional

sedangkan untuk budidaya semi-intensif maupun intensif akan banyak terkait

dengan kesesuaian lahan potensial karena di dalam budidaya semi-intensif dan

intensif itu sendiri sudah menggunakan input teknologi dalam sistem

budidayanya, seperti : penggunaan pompa untuk mengambil sumber air,

penggunaan aerasi untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut.

Model Optimalisasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir untuk Pertambakan

Penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan

ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU RI Nomor 27, 2007).

Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang

meliputi tataguna tanah, tataguna air, tataguna udara dan tataguna sumberdaya

lainnya. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir untuk pertambakan tidak dapat

dipisahkan dengan perencanaan tata ruang daratannya karena wilayah pesisir

yang digunakan untuk tambak juga dipengaruhi oleh aktivitas di darat, terutama

yang terkait dengan daerah aliran sungai (DAS). Oleh karena itu, dalam

perencanaan pemanfaatan wilayah pesisir untuk pertambakan harus memahami

karakter sumberdaya dan proses lingkungan, karakter ekonomi dan masyarakat

lokal, serta kekuatan dan kelemahan daerah studi dalam ekonomi nasional

maupun internasional.

Pemodelan LGP untuk Optimalisasi Pemanfaatan Ruang Pesisir

Model optimasi pemanfatan ruang pesisir akan dikembangkan dengan

menggunakan pemrograman tujuan ganda. Salah satu dari pemrograman tujuan

ganda adalah linear goal programming (LGP). Pendekatan ini telah digunakan

oleh beberapa peneliti lain untuk mendapatkan solusi optimal dari suatu

permasalahan.

Program tujuan ganda merupakan teknik pemrograman matematik untuk

(41)

25

sasaran. Ciri utama program tujuan ganda ini adalah : (1) sasaran yang ingin

dicapai diberi urutan prioritas, (2) pemenuhan sasaran berdasarkan urutan

prioritas, dari yang tinggi ke rendah, (3) sasaran tidak harus terpenuhi secara

tepat, tetapi mengurangi penyimpangan dari sasaran.

Menurut Gallagher and Watson (1980) dalam Budiharsono (2001),

pengembangan model LGP tersebut pada dasarnya bertujuan meminimumkan

simpangan (deviasi) terhadap tujuan, target atau sasaran yang telah ditetapkan

dengan memperhatikan kendala-kendala atau syarat ikatan yang ada, yaitu

kendala tujuan. Secara umum model LGP tersebut adalah sebagai berikut:

Meminimumkan fungsi Tujuan :

Kendala tujuan / target :

Kendala riil / fungsional :

Dengan ketentuan :

Model optimalisasi LGP telah digunakan oleh beberapa peneliti untuk

mendapatkan solusi optimal dari suatu permasalahan. Mahmudi (2002)

menggunakannya dalam mengoptimalkan penggunaan lahan dan penetapan

daya dukung lingkungan di daerah tangkapan air Cilampuyang, Sub-Das : peubah keputusan (jenis penggunaan ruang) ke – j

: koefisien Xj pada kendala tujuan (goal) ke- i

: koefisien Xj pada kendala riil ke- k

Gambar

Gambar 4     Hubungan tingkat produksi dan rentang waktu hidup (life time) yang diharapkan dari sistem budidaya tambak udang
Gambar 5  Produksi tambak (ton) di Kabupaten Gresik pada tahun 2000-2002
Tabel 3     Kualitas air untuk udang (Achmad,1991; Boyd,1991)
Gambar  5Gambar  6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain daripada satu kenyataan itu, mengenai variasi-variasi kecepatan a 1 bergantung pada l , mungkin dapat menulis-nya untuk oksidasi bakteri inhomogen (misalnya,

belanja barang untuk kegiatan nonoperasional, meliputi belanj a bahan, belanja barang transito, belanj a honor output kegiatan, belanja rugi selisih kurs uang

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengembangan

Jika otot yang memendek tetap dibiarkan, pola jalan seseorang akan ikut berubah .  Dalam studi kasus ini peneliti sudah menemukan mahasiswa bukan atlet yang mengalami

harus merupakan kehidupan yang serasi dengan terdapatnya tingkat kemajuan masyarakat yang sama, merata, dan seimbang, serta adanya keselarasan kehidupan yang sesuai

Dari hasil pengamatan harian bekantan (N. larvatus) di Sungai Hitam Samboja selama 14 kali data yang diperoleh adalah waktu makan bekantan pada pagi hari dan sore hari jenis

Pelokalan dan pemancanegaraan memang dipandang sebagai sebuah ideologi yang banyak dipertentangkan terutama pada penerjemahan istilah budaya pada teks bahasa Indonesia ke

Beberapa informasi yang perlu diketahui perusahaan antara lain posisi merek saat ini di benak konsumen berdasarkan keunggulan produk jika dibandingkan