ABSTRAK
SAULAND SINAGA : Performans Produksi Babi Akibat Tingkat Pemberian Manure Ayam Petelur dan Asam Amino L-Lisin Sebagai Bahan Pakan Alternatif.
Dibimbing oleh POLLUNG H. SWGIAN dan RUDY PRIYANTO.
Manure ayam petelur segar yang dihasilkan oleh seekor ayam, rata-rata 150 gram/hari, mempunyai kandungan protein kasar sekitar 30% dengan pembatas serat kasar yang tingg, energi metabolis rendah, NPN (Nitrogen Bukan Protein) yang tmgg, bakteri patogen, jamur, sisa pestisida, sisa obat-obatan sehmgga pada ternak monogastrik yang mengkonsumsinya dapat menghambat perturnbuhan. Asam amino lisin merupakan asam amino pembatas dalam ransum babi, karena kandungan asam amino ini terbatas pada tanaman biji-bijian, akan tetapi asam amino lisin telah dapat
dibuat secara sintetis, dalam bentuk L-lnm monohldrokhlorat dengan kemurnian 98%
asam amino lisin.
Penggunaan manure ayam petelur yang telah dikeringkan dengan sinar matahari dalam ransum babi sampai dengan 5% tidak berbeda nyata dengan ransum yang tidak mengandung manure ayam petelur terhadap pertambahan bobot badan, konsurnsi ransum harian, konversi ransum, umur mencapai bobot potong, persentase karkas, lorn eye area, tebal lemak punggung dan keuntungan ekonorni.
Penggunaan manure ayam petelur 10 dan 15% berbeda nyata (p<0,05) dengan ransum yang tidak mengandung manure ayam petelur terhadap konsumsi harian,
pertambahan bobot badan harian, dan umur mencapai bobot potong akan tetapi tidak
berbeda nyata terhadap konversi ransum, persentase karkas, low eye area, tebal lemak punggung dan keuntungan ekonomi.
Penambahan asam amino L-Lisin 0,2% dalam ransum babi tidak berbeda nyata dengan ransum yang tidak mengandung L-lisin terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi, konversi, umur potong, persentase karkas, lorn eye area, tebal lemak
punggung dan keuntungan ekonomi dengan ransum yang tidak diberi asam amino L-
Lisin.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul :
PERFORMANS PRODUKSI BABI AKIBAT TINGKAT
PEMBERIAN MANURE AYAM PETELUR
DAN ASAM A M m O GLISIN SEBAGAI BAHAN
PAKAN ALTERNATIF
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belurn pernah dipubhkasikan oleh orang lain. Semua sumber data dan informasi yang hgunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
NRP PO4500003
PERFORMANS PRODUKSI BABI AKIBAT
TINGKAT PEMBERIAN
MANURE
AYAM PETELUR
DAN ASAM AMINO L-LISIN SEBAGAI BAHAN
PAKAN ALTERNATIF
SAULAND SINAGA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ternak
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Perfomans Produksi Babi Akibat Tingkat Pemberian
Manure Ayam Petelur d m Asam Amino L-Lisin Sebagai Bahan
Pakan Alternatif.
Nama : Sauland Sinaga
NRP
: PO4500003Program StuQ : Ilmu Ternak
Menyetujui,
/
1. Komisi Pembimbing
-
Dr. Ir. Pollung H. Siagian. MS.
Ketua h g g o t a
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ternak ogram Pascasarjana
JxL
. -- Adi Sudono. M.ScRIWAYAT
HIDUP
Penulis dlahirkan di Medan pada tanggal 25 Januari 1969 dari keluarga Bapak
Muchtar Santoso Sinaga dan Ibu Sumintar Sitohang, sebagai anak pertama dari empat
bersaudara. Pendidikan sarjana dtempuh di Program Studi Produksi Ternak, Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung lulus pada tahun 1995.
Penulis bekerja sebagai staf Pengajar di Laboratoriurn Ternak Potong, Jurusan
Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran sejak tahun 1997
hingga sekarang. Bidang pekerjaan yang menjadi tanggungjawab penulis ialah
mengajar, membimbing dan meneliti mata kuliah Produksi Ternak Potong khususnya
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus yang telah
memberikan kekuatan kepada penulis untuk melaksanakan tugas akhtr berupa
penelitian sebagai persyaratan merah gelar Magister Sains (M.Si) pada program Ilrnu
Ternak & Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang dilakukan berjudul
"Performans Produksi Babi Akibat Tingkat Pemberian Manure Ayam Petelur dan
Asarn Amino L-Lisin Sebagai Bahan Pakan Alternatif'
Penelitian mulai dilaksanakan pada awal bulan Januari sampai dengan Juni
2002. Penelitian ini sebagian didanai oleh Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS)
dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi dan juga atas bantuan Koperasi Peternak
Babi Indonesia, oleh sebab itu diucapkan terima kasih.
Penelitian dan penulisan tesis ini dapat terselesaikan atas pengarahan dari tim
kornisi pembimbing. penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir.
Pollung H. Siagan, MS. sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Rudy P,
MSc. sebagai anggota, atas segala pengarahan dan bentuk bantuan yang sangat
berharga. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor TPB dan Direktur
Program Pascasarjana, serta Dekan Fakultas Peternakan IPB atas kesempatan dan
segala fasilitas yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti study magister.
Kepada Rektor Universitas Padjadjaran dan Dekan Fakultas Peternakan Unpad
disampakan terima kasih atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan
Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Maman P.
Rukmana selaku Kepala Laboratorium Ternak Potong Unpad, Dr. Hj. Sri Martini
Purwanegara, Ir., MS. dan Dr. Husmy Yurmiati sebagai teman satu Laboratorium
Ternak Potong, Fakultas Peternakan Unpad. Tak lupa penulis juga mengucapkan
terimakaslh kepada rekan-rekan satu penelitian Edo, Pieter, Agung, Septi, Mandor
dan pemilik PT Obor Swastika M. Edi, KO Akiang, KO Iok dan Engku yang telah
membenkan tempat untuk penelitian. Andre Daud dan Cs sebagai rekan yang selalu
siap membantu.
Tak lupa penulis juga mengucapkan terimakaslh kepada Pak Lingga dan Ibu,
Pak Hadi dan Ibu dan seluruh saudara pelayanan Kopo, teman-teman persekutuan
Pascasarjana IPB, serta pihak-plhak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang tak henti-hentinya selalu mendukung dan mendoakan penulis sehngga dapat
menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih yang talc terhingga kepada Istenku
yang tercinta Meri S. Tobing dan anakku yang manis Gabriela dan Miranda serta
Ayahku/Ibuku Op. Gebby Sinagahr Sitohang, Mertuaku Op. Aldi B.L. Tobing dan br
Aritonang, semua Tulang marga Sitohang, dan seluruh Bapauda marga Sinaga,
Kakakku Nurmida, Sahat dan Rudi Tobing, adrkku Asler, Herjon dan Linda Sinaga,
Marisi atas segala doa, dorongan yang diberrkan baik moril maupun materiil.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia peternakan.
Bogor, 3 September 2002
DAFTAR
IS1
Halaman
...
DAFTAR IS1 ... iu
DAFTAR TABEL ... iv
...
DAFTAR GRAFIK v
...
DAFTAR TABEL vi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ... 1
. .
...
Tuj uan Peneht~an 4
TINJAUAN PUSTAKA
...
Manure Ayam Petelur
Desknpsi Manure Ayam Petelw ...
Nutrisi dalam Manure Ayam Petelur ...
Faktor Pembatas Manure Ayam Petelur ... ...
Pengolahan Manure Ayam Petelur
...
Asam Armno Lisin
Deskripsi Asam Amino Lisin ... ...
Peranan Asam Amino Lisin terhadap Produksi Babi
Babi ...
Deskripsi Babi ...
Ransurn Babi ...
Konsumsi Ransum Babi ... ...
Pertumbuhan Babi
Efisiensi Penggunaan Ransum Babi ...
Umur Mencapai Bobot Potong Babi ...
Karkas Babi ... ...
Tebal Lemak Punggung (TLP)
Loin Eye Area ...
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu ... 25 Temak Penelitian ... 25 Kandang ... 25 Peralatan ... 25
...
Susunan Ransum Percobaan
...
Peubah yang Diamati
...
Metode Penelitian
HASIL DAN PEMBAtlASAN
Persiapan dan Temperatur Lingkungan Penelitian ...
...
Pencegahan Penyakit
Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Hat-ian ...
Pengaruh Perlakuan terhadap Perturnbuhan ...
Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum ...
Pengaruh Perlakuan terhadap Umur Mencapai Bobot Potong ...
Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Karkas ...
...
Pengaruh Perlakuan terhadap Loin Eye Area
Pengaruh Perlakuan terhadap Tebal Lemak Punggung (TLP) ...
Pengaruh Perlakuan terhadap Keunttmgan Ekonomi ...
...
DAFTAR PUSTAKA
...
DAFTAR TABEL
Nomor Judul
1 Kandungan Zat Makanan dalam Manure Ayam Petelur dari
Berbagai Sumber ...
2 Persentase Komposisi Asam Amino Esensial Manure Ayam
...
Petel~u-.
3 Kebutuhan Zat Makanan Babi Fase Grower - Finisher , NRC
(1 988) ...
4 Hubungan Antara Tebal Lemak h g g u n g dan Persentase
Daging yang Dihasilkan terhadap Golongan Ternak Menurut Mutunya ...
5 Susunan Ransum Percobaan Babi Periode Starter (Pemula).
6 Susunan Ransum Percobaan Periode Pertumbuhan sarnpai
Pengakhiran (Grower-Finisher). ...
7 Kandungan Zat Makanan dari Bahan Pakan yang Digunakan
. .
dalam Penellban ...
8 Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Periode Starter
(Pemula) ...
9 Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Periode
Pertumbuhan sampai dengan Pengakhan (Grower -Finisher). ..
10 Rataan Temperatur Sekitar Kandang Selama Penelitian ...
1 1 Pengaruh Tingkat Penggunaan Manure Ayam Petelur dan
...
L-Lisin terhadap Rataan Konsurnsi Ransum Harian (kg)
12 Pengaruh Penggunaan Manure Ayam Petelur dan L-Lisin
terhadap Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian
( g ) ...
13 Pengaruh Tingkat Penggunaan Manure Ayam Petelur dan
...
L-Lisin terhadap Rataan Konversi Ransum Harian
Halaman
8
8
14 Pengaruh Tingkat Penggunaan Manure Ayam Petelur dan
L-Lisin terhadap Rataan Umur Mencapai Bobot Potong (Hari) . . 44
1 5 Pengaruh Tingkat Penggunaan Manure Ayam Petelur dan
...
L-Lisin terhadap Persentase Karkas (%) 46
16 Pengaruh Tingkat Penggunaan Manure Ayam Petelur dan
2
L-Lisin terhadap Loin Eye Area (cm ). ... 47
17 Pengaruh Tingkat Penggunaan Manure Ayam Petelur dan
L-Lisin terhadap Tebal Lemak Punggung (cm) ... 49
18 Analisis Biaya Penelitian Penggunaan Manure Ayam Petelur
. .
DAFTAR GRAFIK
No Judul Halaman
1 Hubungan Tingkat Penggunaan Manure Ayam Petelur dalam
Ransum terhadap Konsumsi Harian Babi ... 35
2 Hubungan Pertambahan Bobot Badan Harian dengan
Penambahan Manure Ayam Petelur ... 38
3 Hubungan Pertumbuhan Babi dengan Penambahan Manure
Ayam Petelur ... 3 9
4 Hubungan Pertambahan Bobot Badan Harian Babi dari 20
DAFTAR LAMPIRAN
Judul Halaman
Two-way ANOVA: Konsurnsi 20-90 kg versus Manur, Lisin.. . . .. . . . 6 1
Two-way ANOVA: PBBH 20-90 kg versus Manure, Lisin.. . . ... 61
Two-way ANOVA: Konversi 20-90 kg versus Manure, Lisin.. . . .. 62
Two-way ANOVA: Jumlah Hari Mencapai Bobot Potong versus Manure,
. .
L1sm. . . 63
Two-way ANOVA: % Karkas versus Manure,Lisin.. . .. . . 63
Two-way ANOVA: Loin Eye Area versus Manure,Lisin ... .. .. ... .. .. . .... . .. .. ... 64
Two-way ANOVA: Tebal Lemak Punggung, Karkas versus
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan peternakan kedepan minimum memerlukan persediaan pakan yang
cukup. Kecukupan itu kecil kemungkman untuk dipendu hanya berdasarkan pakan
konvensional. Dengan demikian perlu ada usaha untuk mencari pakan alternatif yang
persediaannya dapat diandalkan dalam jangka panjang. Salah satu alternatif ialah
pemanfaatan limbah peternakan berupa kotoran ayam petelur sebagai sumber pakan
ternak. Menurut data Direktorat Jenderal Peternakan, jurnlah ayam petelur yang ada
di Indonesia tahun 1998 adalah 46 juta ekor ( Dit. Jen. Peternakan, 1999).
Esmay (1 97 1) melaporkan bahwa produksi manure segar yang dlhasilkan oleh
seekor ayam adalah rata-rata 150 gram/hari. Muller (1980) melaporkan bahwa
seratus ekor ayam petelw dapat menghasilkan 1,6 ton kotoran keringltahun, dengan
kandungan protein antara 24 - 3 1 %. Dari keterangan diatas diperoleh bahwa produksi
manure ayam dan protein manure ayam petelur per tahun di negara kita masing-
masing adalah 736.000 dan 176.640 kg, ini merupakan potensi yang harus digali
sekaligus mengwangi pencemaran lingkungan yang sudah merupakan isu global.
Babi merupakan salah satu komoditi ternak yang memillki potensi besar untuk
dkembangkan karena memillki sifat-sifat dan kemampuan yang menguntungkan
antara lain laju pertumbuhan yang cepat, lrtter srze yang tmggi, konversi ransum yang
rendah sekitar 2,2 sampai 2,5 dan permintaan dagmg babi yang cukup tinggi selutar
satu juta kg per tahun di Indonesia (Dit. Jen. Peternakan, 1999). Babi memerlukan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perturnbthan pada babi selain lingkungan
adalah pakan. Ransum yang mengandung zat-zat gizi seimbang dapat mendukung
kearah tercapainya produksi optimal.
Salah satu aspek yang menentukan tinggi rendahnya kualitas ransum adalah
kandungan protein dan asam-asam amino dari bahan pakan penyusun ransum
tersebut, akan tetapi kendala yang dihadapi adalah mahalnya harga bahan pakan
sumber protein sehingga perlu hcari bahan pakan alternatif yang murah dan tersedia
dalam jumlah yang cukup besar tetapi tetap mengandung gizi yang baik dan
memenuhi syarat sebagai bahan pakan penyusun ransum, salah satu bahan pakan
alternatif tersebut adalah manure ayam petelur atau kotoran ayam petelur.
Tnlng et al. (1990) menemukan bahwa pemberian manure ayam petelur pada
pakan sapi perah sampai pada tingkat 30% tidak berpengaruh nyata terhadap
konsumsi ransum dan produksi susu.
Penggunaan manure ayam petelur dalam ransum perlu dipertimbangkan
batasannya dan disesuaikan dengan kebutuhannya karena manure ayam petelur
mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggi dan energi metabolis rendah.
Serat kasar manure ayam petelur dapat mencapai 14,9% (Blair, 1982) dan
pemberiannya pada ransum babi periode grower dianjurkan mengandung serat kasar
sebanyak 6% (Aritonang, 1993), oleh karena itu pemberian tepung manure ayam
petelur harus dibatasi supaya ransum tidak amba (bulky). Manure ayam petelur
mengandung protein yang cukup tinggi tetapi pemanfaatan masih mempunyai
kendala karena tmgginya kandungan NPN (Nitrogen Bukan Protein) terutama untuk
patogen, jamur, sisa pestisida, sisa obat-obatan dan logam berat, oleh karena itu
dlanjurkan manure ayam petelur tidak dapat digunakan secara langsung, berarti
terlebih dahulu perlu diolah agar diperoleh bahan baku yang memenuh persyaratan,
salah satunya yaitu dengan cara dikeringkan dengan sinar matahari.
Penggunaan manure ayam petelur sebagai bahan baku ransum tidak dapat
langsung dicampur dengan bahan baku lain, sebab kandungan air manure ayam
petelur sangat tinggi yaitu 75% (Biely et a1.,1980) oleh sebab itu sebelum dipakai
manure ayam petelur hams dikeringkan terlebih dahulu agar kadar airnya berkurang
dan mudah dicampur dengan bahan baku lain. Pengolahan melalui proses
pengeringan baik secara alamiah maupun dengan oven bertujuan untuk mengurang
kadar air, membunuh mtkroorganisme patogen dan menghtlangkan bau. Manure
ayam petelur cepat mengalami proses fermentasi oleh karena itu bila akan digunakan
sebagai bahan pakan hams segera dikeringkan (Kamal, 1998).
Manure ayam petelur mengandung protein kasar sekitar 30% dari bahan
keringnya namun kandungan asam amino esensialnya rendah oleh karena itu
penggunaannya dalam ransum babi sebanyak 5 sampai lo%, untuk broiler sampai
sebanyak 5%, untuk ayam petelur sampai sebanyak 20% (Kamal, 1998).
Asam amino lisin memiliki peranan sentral pada makanan babi maka
ketersediaan asam amino lisin dapat digunakan sebagai suatu faktor koreksi untuk
asam amino esensial lainnya. Asam amino lisin pada umumnya merupakan asam
amino pembatas utama dalam ransum, oleh karena itu babi yang diberi makanan
p e n m a n bobot badan dan peningkatan konsentrasi asam amino lisin akan
meningkatkan penampilan babi (Siagian, 1999).
Kebutuhan asam amino lisin pada babi sedang bertwnbuh dengan bobot badan
sekitar 35 - 60 kg adalah 0,61% (Sihombing, 1997) sedangkan kandungan asam
amino lisin pada manure ayam petelur sekitar 0,5%, kekurangan ini dapat dengan
menambahkan asam amino lisin sintetrk kedalam ransum percobaan sebanyak 0,2%.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik suatu hpotesis dalam penelitian
ini bahwa dengan pemberian manure ayam petelur sampai dengan 15% dan asam
amino lisin sebanyak 0,2% pada babi tidak menunjukkan perbedaan performans
diantaranya pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, efisiensi penggunaan
makanan, umur mencapai bobot potong dan kualitas karkas.
Diharapkan penelitian ini mampu memberikan informasi tentang taraf
penggunaan manure ayam petelur dalam ransum babi sebagai pakan alternatif,
sekaligus mengurang pencemaran lingkungan.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah membuktikan ada atau tidaknya, pengaruh
pemberian manure ayam petelur, asam amino lisin dan interaksinya dalam ransun
terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, kualitas karkas dan umur
mencapai bobot potong babi periode dari pertumbuhan sampai dengan pengakhiran,
TINJAUAN PUSTAKA
Manure Ayam Petelur Deskripsi Manure Ayam Petelur
Manure ayam adalah unsur-unsur yang tidak berfaedah yang keluar dari saluran
pencemaan dan air seni yang bermuara di kloaka, terdiri atas sisa ransum yang tidak
dapat dicerna, sisa sekresi pencemaan, bakteri yang mati maupun yang hidup, garam-
garam organik, sel-sel epithel yang telah rusak dan asam-asam amino yang tidak
terserap (North, 1978). Menurut Guntoro dan Wisnu (1 984) manure ayam petelur
ternyata masih banyak mengandung unsur-unsw kirnia dan zat-zat makanan yang
cukup tinggi terutama kandungan protein, vitamin, dan mineral, sehingga mash dapat
Qgunakan kembali sebagai bahan ransum ternak.
Jull (1978) menyatakan bahwa produksi manure ayam petelur segar yang
dihasilkan dari 100 ekor ayam petelur adalah sebesar 7 ton per tahun, Ewing (1963)
33-4 ton per tahun dan Muller (1980) 6,5 ton manure ayam petelur segar atau I ,6 ton
manure kering per tahunnya. Sebagai bahan pakan dalam ransum, manure ayam
petelur belum pemah memberikan efek negatif baik pada ternak maupun pada
manusia yang mengkonsumsi daging yang mendapatkan ransum dengan manure
ayam petelur (Syret(1977).
Nutrisi dalam Manure Ayam Petelur
Komposisi dan nilai nutrisi manure ayam petelur sangat bervariasi tergantung
termasuk suhu dan kelembaban, cara pemeliharaan, cara pengurnpulan, pengolahan
kotoran dan lama dibiarkan sebelum diolah ( Biely et al., 1980). Selanjutnya Muller
(1980) menambahkan faktor yang mempenganhnya antara lain adalah spesies dan
kelas ternak, kapasitas produksi, tata laksana pemberian ransum, ransum yang
terbuang, tingkat nutnsi dan komposisi ransum dan sistem penampungan.
Kandungan manure ayam broiler dari sistem panggung, mengandung protein
kasar 32,17% dengan protein sejati 13,52%, serat kasar 15,90% ( Babatunde, 1979).
Chang et al. (1978) menyatakan bahwa protein kasar dari manure ayam petelur
berkisar antara 21 sampai 33% dari bahan kering. Zindel(1972) menyatakan bahwa
manure ayam petelur mengandung protein kasar 33,44%, protein sejati sebesar
10,25% dan sisanya menlpakan nitrogen bukan protein (NPN). Bhattacharya dan
Taylor (1975) menemukan manure ayam pedaging mengandung total nitrogen yang
cukup tinggi dengan rataan 31%, sedangkan manure ayam petelur mengandung
protein kasar sedikit leblh rendah dengan rataan 28%.
Manure ayam petelur juga merupakan sumber energi yang cukup potensial.
Fontenot dan Webb (1975) melaporkan bahwa manure ayam pedaging mengandung
60% TDN (Total Digestible Nutrient) dan 2740 kkal DE (9,737 KJ) dan 2181 kkal
(9,125 KJ) ME untuk setiap kilogram bahan kering. Kamal (1998) menyatakan
bahwa kandungan protein kasar manure ayam petelw sekitar 30% dari bahan
keringnya, namun kandungan asam amino esensialnya rendah oleh karena itu
disarankan agar penggunaan manure ayam petelur dalam ransum babi adalah
sebanyak 5 sampai lo%, untuk broiler sampai 5%, untuk ayam petelur sampai
Cross dan Jenny (1976) menyatakan manure ayam petelur mengandung kalsiurn
dan posfor yang cukup tinggi, sedangkan kandungan abu sebesar 36,6%. Kandungan
zat-zat makanan dari manure ayam petelur oleh beberapa peneliti dapat dilihat pada
Tabel 1, sedangkan kandungan asam amino manure ayam petelur dari beberapa
peneliti dapat dillhat pada Tabel 2.
Penggunaan manure petelur sebagai bahan baku ransum sudah pernah diteliti
oleh beberapa akhli diantaranya Yoo et al. (1977) dimana 15% manure ayam petelur
pada ransum unggas tidak memberi pengaruh pada rataan produksi telur, konsumsi
harian dan keefisienan ransum. Sheppard et al. (1971) menemukan 25% manure
ayam petelur sebagai carnpuran ransum untuk ayam petelur dapat meningkatkan
produksi tel~u, konversi ransum lebih rendah dan tingkat kematian lebih rendah jika
dibandingkan dengan ransum yang mengandung bekatul. Nitis et al. (1983)
menemukan bahwa pengaruh manure ayam petelur terhadap penampilan babi Bali x
Saddle Back pada sistem turnpang sari menunjukkan perturnbuhan 17% lebih baik
daripada yang tidak diberi manure ayam petelur, ditemukan juga bahwa kandang
demikian tidak menunjukkan perbedaan konsumsi ransum.
Yeck dan Schleusener (1971) menemukan bahwa manure ayam petelur cukup
bak digunakan untuk ternak ruminansia karena mempunyai kadar nitrogen bukan
protein (NPN) yang tinggi dan dalam jurnlah besar dapat dimanfaatkan oleh
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan dalam Manure Ayam Petelur dari Berbagai Sumber
Zat Makanan a b c
. . . %. . . . .. ... .
Air 4,5 7,3 9,6
Protein Kasar 24,3 24,2 27,O
Protein Sejati 14,7 10,s 10,6
NPN 9,5 13,4 16,4
Asam Urat
-
-
5,7Lemak Kasar 4,1 2,1 1,s
Serat Kasar 10,l 13,7 14,9
Abu 35,8 26,9 26,5
Kalsium 10,6 7,8 7,4
Posphor 2,7 2,6 2,1
Sumber: a. Boushy dan Vink (1 977)
b. Flegal dan Zindel(1970)
[image:112.612.87.494.402.590.2]c Blalr dan Kn~ght (1 973)
Tabel 2. Persentase Komposisi Asarn Amino Esensial Manure Ayam Petelur
Asam Amino a b c
-- ---- - -- -- - -- -
-Lisin 0,56 0,49 0,39
Histidine 0,19 0,20 0,19
Arginin 0,53 0,47 0,4 1
Treonin 0,60 0,50 0,40
Valin 0,83 0,62
-
Metionin 0,29 0,09 0,12
Isoleusin 0,66 0,50 0,37
Leusin 0,94 0,SO 0,60
Penilalanin 0,53 0,45 0,36
Surnber : a. Boushy dan Vink (1 977)
b. Flegal dan Zindel(1970)
c. Blair dan Kmght (1977)
Faktor Pembatas Manure Ayam Petelur
Faktor pembatas penggunaan manure ayam petelur dalam ransum adalah
Blair (1982) menyarankan penggunaan manure ayam petelur dalam ransum perlu
dipertimbangkan batasannya dan disesuatkan dengan kebutuhannya karena manure
ayam petelur mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggy yaitu 14,9% dan
energy metabolisme rendah. Kandungan serat kasar pada manure ayam petelur dapat
mencapai 14,9% dengan rincian dinding sel 35,9%, hemiselulosa 18%, selulosa
13,2%, clan lignin 3,4% (Smith dan Calvert, 1976). Aritonang, (1993) menganjurkan
pemberian serat kasar pada babi grower sebanyak 6%, oleh karena itu pemberian
tepung manure ayam petelur hams dibatasi supaya ransum tidak amba (bulky) dan
menurunkan kualitas ransum.
Faktor pembatas lainnya adalah kandungan NPN dalam manure ayam petelur
cukup tinggy sebesar 47 sampai 64% dari total nitrogen bahan kering, sedangkan 30
-
60% asam urat dari NPN tidak dapat dicerna oleh unggas (Blair, 1982). Menurut Bo
Gohl (1981) bahwa manure ayam petelur mengandung protein kasar 30% dari bobot
kering dan setengahnya mengandung asam urat. Asam urat merupakan bagian
terbesar dari NPN. Menurut 07Dell et al. (1960) hasil analisis N dalam win ayam
mengandung N urea sebesar 4,5%, NH3 10,5%, N asam amino 2,2%, N asam urat
80,7% dan N lainnya 2,1%. Selanjutnya dilaporkan bahwa 40 hingga 50% nitrogen
yang terdapat dalam manure ayam petelur adalah dalam bentuk protein murni, asam
urat merupakan bahan utama penyusun nitrogen bukan protein
(NPN)
dm jurnlahtersebut dapat mencapai 30% dari total nitrogen manure ayam petelur (Fontenot dan
Webb, 1975).
Bahaya yang mungkm timbul dengan adanya daur ulang manure ayam petelur
berat (Fontenot dan Webb, 1975). Menurut Arndt et al. (1979) manure ayam petelur
mengandung banyak bakteri antara lain alcaligenes, echerichia, aerobacter,
micrococus, streptococcus, lactobactilus, arthrohacter, bacillus, dan clostridium,
akan tetapi dapat diatasi dengan cara penjemuran atau pengeringan. Fontenot dan
Webb (1975) menganjurkan sebelum manure ayam petelur dicampur dalarn ransurn
perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu sehingga terhindar dari organisme yang
membahayakan seperti bakteri, jamur dan sisa pestisida.
Pengolahan Manure Ayam Petelur
Pengolahan manure ayam petelur sebelum digunakan dalam ransum akan
meningkatkan palatabilitas, melindungi zat-zat makanan, membunuh bibit penyakit,
dan mengurang bau (Saaka, 1986). Usaha untuk mengurangi kendala tersebut
diatas dapat dilakukan dengan cara pemanasan, pengglingan atau melalui proses
fermentasi.
Penggunaan manure ayam petelur sebagai bahan baku ransum tidak dapat
langsung dicampur dengan bahan baku lain, sebab kandungan air manure ayam
petelur sangat tinggi yaitu 75% (Biely et ~ 1 . ~ 1 9 8 0 ) oleh sebab itu sebelurn manure
digunakan, harus dikeringkan terlebih dahulu agar kadar airnya berkurang dan mudah
dicampur dengan bahan baku lain. Pengeringan manure ayam petelur hams cepat
dilakukan karena mudah mengalami fermentasi (Kamal, 1998).
Arndt et al. (1979) mengemukakan beberapa cara pengolahan manure ayam
petelur, yang terutama dilakukan adalah pengeringan dengan panas matahari
tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian. Pengeringan alamiah merniliki
keuntungan yaitu manure ayam petelur yang dkeringkan mudah bercampur dengan
ransurn, penanganan mudah dan murah, kerugiannya adalah kehilangan nitrogen dan
nilai gizi yang cukup tinggi, mudah menggumpal sehingga perlu dihancurkan untuk
penggunaan berikutnya. Pada pengeringan oven biasanya lebih disukai oleh ternak
karena baunya hilang, tetapi pengolahan ini memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Shannon dan Brown (1969) melaporkan bahwa pengeringan dengan sinar
matahari merupakan alternatif yang terbaik, disamping biaya murah, energi dan
nitrogen yang hilang lebih kecil yaitu 1,3% &banding dengan pengeringan dengan
oven pada suhu 60-120°C sebesar 1,2
-
6,6%. Menurut Bo Gohl (1981) suhupengeringan tidak boleh lebih dari 90°C agar proteinnya tidak rusak dan tidak boleh
kurang dari 70°C agar manure ayam petelur tetap steril. Yeck dm Schleusener
(1971) melaporkan bahwa manure ayam petelur dapat didaur ulang lebih dari sekali
tanpa kehilangan zat-zat makanan dalam manure ayam tersebut.
Asam Amino Lisin Deskripsi Asam Amino Lisin
Protein tersusun dari asam-asam amino (Crampton dan Harris, 1969). Kualitas
dari protein ditentukan oleh adanya asarn amino esensial yakni asam amino yang
tidak dapat dibentuk dalam tubuh (Morrison, 1959). Asam-asam amino esensial untuk
babi adalah asam amino lisin, triptopan, histidin, leusin, isoleusin, penilalanin,
h a n g dalam campuran bahan ransum babi dalam praktek sehari-hari adalah asam
amino lisin, triptophan dan metionin (Sihombing, 1997).
Lisin merupakan asam amino esensial yang paling rawan, karena lisin sering
kekurangan dalam bahan makanan nabati (Sutardi, 1980). Selain itu asam amino lisin
sangat peka terhadap panas dan mudah rusak karenanya. Lisin merupakan asam
amino esensial sehingga perlu ditambahkan kedalam ransum (Krider dan Carrol,
1977), jika asam amino lisin berlebih maka kelebihan itu akan dimetabolis meng-
hasilkan nitrogen dan dlkeluarkan melalui urin (Morrison, 1959).
Anggorodi (1985) menyatakan bahwa asam amino lisin (C6H1402N2) adalah salah
satu asam amino esensial yang mempunyai dua gugus amino (-NH2) clan satu gugus
carbohydrogen atau karboksil (-COOH). Berdasarkan struktur kmianya, maka asam
amino lisin digolongkan kedalam asam-asam amino aliphatic yaitu dalam sub-
golongan asam dlammo-monocarxyllc. Bangun kirnia asam amino lisin (asam a - E -
dlammokaproat) adalah sebagai berikut :
CH2 - CH2 -CH2
-
CH2-
CH - COOHI
I
NH2 N H2
Faktor yang mempengaruhi kebutuhan ternak akan asam amino lisin antara lain
adalah genetik, umur, temperatux-, keseimbangan asam-asam amino dan jenis kelamin
(Austic, 1 982). Defisiensi asam amino lisin akan menyebabkan berkurangny a nafsu
makan, menurunnya bobot badan, rambut kering dan kondisi umum menjadi kurus
(Cunha, 1977)
Menurut Parakkasi (1985) bahwa penambahan asam amino esensial (lisin dan
mempunyai respon yang positif, penambahan sedilat asam amino pembatas (yang
paling defisien) akan memperbaiki keseimbangan asam amino yang ada untuk hidup
pokok atau produksi dan mengurangi jumlah asam amino yang terbuang.
Asam amino lisin sintetis biasanya ditambahkan dalam ransurn berbentuk L-lrsm
monohrdrokhlorat dengan kemurnian 98% dan mengandung total asam amino lisin
80%. Asam amino lisin umumnya merupakan asam amino pembatas utama dalam
ransum dengan bahan dasar biji-bijian pada babi yang sedang bertwnbuh karena
ransum dengan bahan dasar biji-bijian defisien akan asam amino lisin, kebanyakan
konsentrat protein adalah marginal akan kandungan asam amino lisin dan babi
mempunyai kebutuhan asam amino lisin yang tinggi untuk pembentukan daging
(Siagian, 1999).
Lunchick et al. (1978) menyatakan bahwa dengan penambahan asam amino lisin
kedalam ransum babi dengan kadar protein kasar 16 dan 18% sama nilainya dengan
ransum berkadar protein kasar 20%. Sedangkan Easter dan Baker (1980) menyatakan
bahwa babi yang diberi ransum berkadar protein kasar rendah tanpa suplementasi
asam amino lisin akan mengalami penurunan bobot badan.
Peranan Asam Amino Lisin terhadap Penampilan Produksi Babi
Sheppard et al. (1 97 1 ) menyatakan bahan penyusunan ransum dengan tingkat
protein tertentu bertujuan untuk mementh tingkat asarn amino esensial yang kritis
yaitu asam amino lisin dan metionin. Sutardi (1980) menyatakan keseimbangan asam
berkadar protein rendah yang menyebabkan penurunan selera makan dan laju
perturnbuhan, akan tetapi dapat dikoreksi dengan suplementasi asam amino pembatas
pertama. Ketidak seimbangan asam amino mempunyai penyimpangan dua arah, yaitu
protein tersebut mempunyai kekurangan satu atau beberapa asam amino esensial dan
kelebihan asam amino yang lain.
Asam amino lisin merupakan asam amino pembatas dalam ransum babi oleh
karena itu babi yang diberi ransurn berkadar protein kasar rendah tanpa suplementasi
asam amino lisin akan mengalami penurunan bobot badan (Siagian, 1999).
Penambahan asam amino lisin kedalam ransum babi akan meningkatkan
konsumsi ransum, daya cerna dan penyerapan bahan makanan sehingga sangat
penting untuk dipenuh (Hamilton dan Veum, 1986), dan babi tidak dapat
mengkonsumsi asam amino yang berlebih hari ini untuk mencukupi kebutuhan
besok (Cunha, 1977). Yen et al. (1986) juga menyatakan bahwa peningkatan
konsentrasi asam amino lisin secara linier akan meningkatkan penampilan babi.
National Research Council (1988) merekomendasikan kebutuhan asam amino lisin
untuk babi priode starter ( 20-35 kg) sebesar 0,7%. Kemudian Yen et al. (1986)
menyatakan penggunaan L-lisin yang optmal untuk perturnbuhan babi muda telah
ditetapkan sebesar 0,5
-
1,0% dalam ransum.Frekuensi pemberian ransum yang lebih sering, akan meningkatkan penyerapan
asam amino bebas dan asam amino terikat. Peningkatan frekuensi pemberian asam
amino lisin sintetik secara linier menurunkan tebal lemak punggung dan
meningkatkan retensi nitrogen, tetapi tidak berpengaruh terhadap konversi ransum
(1980) melaporkan laju penambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum
meningkat sesuai dengan peningkatan kadar protein ransum 16 dan 18% dm
penambahan 0,2% asam amino lisin sintetis atau babi yang diberi ransum berkadar
protein rendah tanpa diberi suplemen asam amino lisin akan mengalami penunman
bobot badan.
Deskripsi Babi
Babi merupakan ternak monogastrik yang mempunyai kesanggupan
dalam mengubah bahan makanan secara efisien. Babi lebih cepat tumbuh, cepat
dewasa dan prolifik ditunjukkan dengan banyak anak perkelahiran berkisar 8 - 14
ekor, dengan rata-rata dua kali kelahiran per tahunnya. Menurut Parrakasi (1985),
babi dara dapat dikawinkan pada umur delapan bulan, beranak pada umur satu tahun
dan dapat mencapai bobot
*
100 kg pada umur 5 - 6 bulan bila dipelihara padakeadaan sehat.
Ransum Babi
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyusun ransum babi
adalah kebutuhan zat-zat makanan bagi babi harus terpenuhi, ekonomis dan efisien
dalam mencerna bahan-bahan ransum yang diberikan.
Kandungan protein (asam-asam amino) ransum yang optimal pada ransum babi
dbutuhkan sejumlah energi untuk membuat tiap gram protein untuk pertumbuhan.
Kebutuhan zat makanan babi berbagai periode dapat dilihat dalam Tabel 3.
Tabel 3. Kebutuhan Zat Makanan untuk Babi Fase Grower - Finisher (NRC 1988)
makanan
Energi dt dicema Protein kasar
Asam amino :
Arginin Penilalanin Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Treonin Triptopan Mineral Posfor Kalium Kalsium Mangan Natrium
I
Bobot badanI
Satuan 20-303.380
Bobot badan
I
Bobot badanI
Batterham (1990) menyatakan bahwa sedlkitnya ada sembilan asam amino
esensial yang sangat diperlukan babi. Untuk menjaga proporsi asam amino yang
seimbang tersebut dilakukan perhitungan relatif terhadap asam amino lisin.
Kekurangan salah satu asarn amino tersebut akan mengakibatkan asam amino lain
kurang terpakai, yang pada akhimya akan dipecah menjadi energ dan nitrogen
akhirnya dibuang melalui urin.
Huges dan Varley (1980) menyatakan selain kebutuhan asam amino perlu juga
diperhtungkan keseimbangan protein dan energi untuk menjaga pertumbuhan babi
[image:120.612.96.514.193.449.2]amino lisin sintetis adalah kelarutannya cukup tinggi dan mudah hcerna, sehingga
hanya dapat dimanfaatkan 50% oleh babi.
Konsumsi Ransum Babi
Ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk 24 jam (Anggorodi,
1994). Ransum sempurna adalah kombinasi beberapa bahan makanan yang bila
dikonsumsi secara normal dapat mensuplai zat-zat makanan kepada ternak dalam
perbandingan jumlah, bentuk, sedemikian rupa sehingga fungsi-fungsi fisiologis
dalam tubuh berjalan secara normal (Parakkasi, 1983). Pada ransum dengan tingkat
protein 14, 16 dan 18%, rataan konsumsi ransum harian masing-masing adalah
1,961, 1,984 dan 1,986 kg dengan bobot badan 20-90 kg (Close, 1983).
Konsumsi ransum harian sangat dipengaruhi oleh bobot badan, umur ternak
dan temperatur, pada temperatur lingkungan yang tmggi, ternak akan mengurangi
konsumsi ransum (Devendra dan Fuller,1979). Sedangkan kandungan serat kasar
dalam ransum akan mempengaruhi daya cerna dan konsumsi ransum sekaligus
mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan (Tillman el al., 1984). Tingkat
konsumsi (voluntary feed intake) adalah jumlah ransum yang termakan oleh ternak
bila bahan makan ternak diberikan ad lzb~tum. Church (1979) menyatakan faktor
penting yang menentukan tingkat konsumsi ransum adalah palatabilitas dan
palatabilitas tergantung kepada bau, rasa, tekstur, dan beberapa faktor lain seperti
suhu lingkungan, kesehatan ternak, stres, dan bentuk ransum. Anggorodi (1985)
menambahkan bahwa konsumsi ransum cenderung meningkat bila kandungan energi
Menurut NRC (1988), pada masa pertumbuhan babi dengan bobot badan 20
-
50 kg akan mengkonsumsi ransum per hari 1900 gram bobot kering. Karena
konsumsi yang semakm tinggi tidak selalu hikuti dengan kenaikan bobot badan, babi
yang masih muda lebih efisien dalam menggunakan ransum dibanding dengan babi
yang telah lewat pubertas. Frekuensi pemberian ransum akan memberi pengaruh
terhadap jumlah ransum yang dikonsumsi. Pada umumnya konsumsi ransum per hari
akan meningkat dengan meningkatnya fiekuensi pemberian ransum. Menurut Supnet
(1980), bahwa babi dengan bobot 10-90 kg yang diberi ransum dua kali sehari akan
mengkonsumsi ransum rata-rata sebesar 1,54 kg per ekor per hari. Pada pemberian
tiga kali sehari konsumsi ransum sebesar 1,92 kg clan yang diberi ad lrbitum
konsumsi ransum sebesar 2,61 kg/ekor/hari. Tillman et al. (1984) menyatakan bahwa
konsumsi ransum berhubungan erat dengan daya cerna, semakin tinggi daya cerna
bahan ransum maka konsumsi semakin tinggi.
Supnet (1980) menyatakan bahwa suhu lingkungan juga turut mempengaruhi
tingkat konsumsi ransurn, semakin tmggi suhu lingkungan maka konsumsi ransum
akan menurun yang diikuti peningkatan temperatur rectal dan kecepatan respirasi.
Williamson dan Payne (1978) menyatakan bahwa temperatur lingkungan yang
optimal untuk babi dengan bobot badan 20-50 kg adalah 18-22" C.
Pertumbuhan Babi
Pertumbuhan meliputi perbanyakan jurnlah sel (hiperplasi) serta peningkatan
~ k u r a n sel (hipertropi), didefinisikan sebagai pertambahan besar dari otot, tulang,
(1977) kurva pertumbuhan babi normal adalah seperti huruf S atau sigmozd dan
kenaikan bobot yang tertinggi adalah pada saat menjelang dewasa kelaminlpubertas,
pada keadaan ini kecepatan pertumbuhan maksimum. Lebih lanjut dinyatakan pula
bahwa pertumbuhan merupakan fimgsi daripada konsumsi langsung yang dipengaruhi
oleh nafsu makan dan diatur oleh pusat saraf hlpotalamus (Goodwin, 1974).
Menurut Tillman et al. (1984) perturnbuhan mempunyai tahap-tahap yang cepat dan
larnbat. Tahap cepat terjadi pada saat lahir sampai pubertas, dan tahap lambat terjadi
pada saat-saat kedewasaan tubuh tercapai.
Pertumbuhan umumnya diukw dengan kenaikan bobot badan yang dengan
mudah dilakukan dengan penimbangan berulang-ulang dan diketengahkan sebagai
pertambahan bobot badan harian, minggu atau tiap waktu lainnya (Tillrnan et al.,
1984)
Harnmond (1971) menyatakan dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
yaitu kandungan zat makanan dan daya cerna bahan makanan. Parakkasi (1985)
menyatakan bahwa babi muda, pertumbuhan mengarah pada penyimpanan protein
dan air sampai dengan bobot badan sekitar 40 kg, setelah itu mulailah energi tersebut
dipakai untuk pembentukan jaringan lemak yang semakm meningkat dengan
bertambahnya umur. Speedy (1980) mengemukakan bahwa kecepatan pertumbuhan
suatu ternak dlpengaruhi berbagai faktor yaitu bangsa, jenis kelamin,
ww,
ranqufX1serta kondisi lingkungan lainnya.
Maynard et al. (1979) menyatakan bahwa protein menempati urutan paling
penting diantara zat-zat makqpqn laiw
produksi, dsamping protein juga dibutuhkan sejumlah energi yang cukup untuk
membantu proses pertumbuhan.
Ensminger (1969) menyatakan bobot badan periode starter biasanya antara 15-
45 kg dan kebutuhan protein berkisar antara 14
-
16%, dan menurut Knder dan Carrol(1977) adalah 16% sedangkan menurut NRC (1988) kebutuhan protein kasar pada
babi starter adalah 16%, dengan energi metabolisme sebesar 31 75 kkalkg, sehmgga
pertarnbahan bobot badan diharapkan 0,6 kg, sedangkan konsumsi ransurn sebanyak
1,7 kg maka konsumsi protein kasar 272 gram/hari dan energi dapat dicerna 5610
kkallhari .
Menurut Sihombing (1997) periode pertumbuhan
-
pengakhiran yaitu babimemiliki bobot rata-rata 35 kg hmgga mencapai bobot badan 90 kg. Periode ini
merupakan periode yang hams diperhatrkan akan kebutuhan zat makanannya, dan
ransum yang bermutu tinggi adalah salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi
performans babi grower. Menurut NRC (1988) babi mempunyai pertambahan bobot
badan dan konversi ransum yang tinggi, pada babi periode pengakhlran pertambahan
bobot badan mencapai 820 gr/hr dan konversi ransum 3,11.
Efisiensi Penggunaan Ransum Babi
Efisiensi penggunaan ransum adalah kemampuan ternak mengubah ransum
kedalam bentuk tambahan bobot badan (Bogart, 1977). Sedangkan konversi ransum
yang dilaporkan oleh Campbell et al. (1985) tergantung kepada : (1) kemarnpuan
ternak untuk mencerna zat makanan, (2) kebutuhan ternak akan energ dan protein
yang hilang melalui proses metabolisme dan kerja yang tidak produkbf dan (4) tipe
ransum yang dkonsumsi. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
penggunaan ransum adalah keturunan, urnur dan bobot badan, tingkat konsumsi
ransum, pertambahan bobot badan per hari, palatabilitas clan hormon.
Hammond (1971) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan ransum tergantung
kepada aktivitas fisiologi ternak, sementara Williamson dan Payne (1978)
menyatakan bahwa efisiensi penggunaan ransum akan menwun apabila suhu
meningkat diatas suhu kritis.
Nilai konversi ransum dipengaruhi oleh pertumbuhan babi itu sendiri
(Dunlun,1978). Menurut Cole (1972), bahwa konversi ransum akan menurun dengan
bertambah besarnya babi dan variasi akan terjadi diantara bangsa-bangsa babi.
Faktor lain yang mempengaruhinya adalah keturunan, umur, bobot badan, tingkat
konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, palatabilitas, dan hormon. Sedangkan
Devendra dan Fuller (1979) menyatakan bahwa faktor yang mempenganh konversi
ransum adalah nutrisi, bangsa ternak, lingkungan, kesehatan ternak d m
keseimbangan ransum yang diberikan.
Menurut Arganosa et al. (1977) bahwa kandungan energi ransum berpengaruh
terhadap konversi ransum, pada ransum berenergi 3000 dan 2400 kkal EMkg,
konversi ransum masing-masing adalah 3,37 dan 4,26 sedangkan protein ransum 14,
16 dan 18%, konversi ransum yang diperoleh masing-masing 2,91, 2,82 dan 2,88
Umur Mencapai Bobot Potong Babi
Secara ekonomis bobot hidup 90 kg merupakan bobot potong optimum karena
akan mampu meningkatkan kualitas daging yang lebih balk dan memudahkan
penanganan pada saat pemotongan. Bobot potong umumnya akan dicapai pada urnur
10 bulan, namum dengan pemberian ransurn yang lebih baik akan mampu
mempercepat pencapaian bobot potong. Untuk menghasilkan bobot karkas yang
berkisar 78
-
86 kg maka babi sebaiknya dipotong pada bobot hdup dengan lusaran90
-
I00 kg (Sihombing, 1997).Secara umum pencapaian bobot potong dipengaruhi oleh faktor bangsa ternak,
jenis kelamin, kematangan seksual, cara dan jenis ransmn yang diberikan serta
interaksi antara keempat faktor tersebut (Sihombing, 1997).
Karkas Babi
Tujuan utarna dalam produksi babi adalah memaksimalkan daging dengan tebal
lemak yang dapat diterima. Karkas babi yang dihasilkan berkisar 60
-
90% daribobot hidup, tergantung pada kondisi ternak, kekenyangan, kualitas dan cara
pemotongan. Faktor kekenyangan pada babi kurang begitu pentmg pengaruhnya
terhadap bobot karkas dibandingkan pada sapi karena babi mempunyai kapasitas
lambung yang lebih kecil (Ensminger, 1969).
Devendra dan Fuller (1 979) menyatakan persentase karkas adalah perbandingan
bobot karkas terhadap bobot hdup dalam persen, persentase karkas ini dapat
menggambarkan bagian daging yang dapat dimakan dari bobot hidup ternak.
lebih tinggi pada babi dibandingkan pada sapi atau domba, karena babi tidak
mempunyai rongga badan yang terlalu besar (Blakely dan Bade, 1985). Campbell et
al. (1985) menyatakan besarnya persentase karkas dipengaruhi oleh faktor tipe
ternak, penanganan ternak, lamanya pemuasaan serta banyaknya kotoran yang
dikeluarkan. Pemberian makanan yang bersifat bulky dan lama pemuasaan sebeliun
ternak dipotong dapat berpengaruh pada persentase karkas yang dihasilkan (Devendra
dan Fuller, 1979).
Tebal Lemak Punggung (TLP)
Tebai lemak punggung merupakan indikator yang baik dalarn menentukan
kualitas karkas karena dua perbga dari seluruh lemak pada karkas babi adalah
subcutan. Menurut Krider dan Carrol (1971) tebal lemak punggung memiliki
hubungan terhadap komposisi daging yang dihasilkan seperti terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hubungan antara Tebal Lemak Punggung dan Persentase Daging yang Dihasilkan terhadap Golongan Ternak Menurut Mutunya
Kelas Tebal Lemak Punggung (cm) Persentase Daging (%)
US No 1 < 3,56 > 53
US NO 2 3,56 - 4,32 50 - 42,9
US No 3 4,32 - 5,08 47 - 49,9
US No 4 >5,08 < 47
Sumber : Meat Evaluation Handbook, 1988.
Campbell et al. (1985) menyatakan lemak punggung semakin tebal pada babi
dapat disebabkan oleh panas yang dihasilkan akibat metabolisme lebih banyak,
akibatnya ternak memungkinkan menylmpan kelebihan energi dalam bentuk lemak
tebal lemak punggung dengan panjang karkas, babi dengan badan yang pendek akan
menghasilkan ketebalan lemak yang lebih dalarn daripada babi dengan badan yang
lebih panjang akan menghasilkan ketebalan lemak yang lebih tipis.
Loin Eye Area
I,om eye area (LEA) merupakan luas penampang otot Longrsrmus dors~ yang
diukur diantara tulang n~suk ke-10 dan 11. Lozn eye area berhubungan erat dengan
jumlah perototan karkas. Luas penampang tersebut mengandung lemak intramuskuler
(marbling) yang berpengaruh terhadap keempukan daging. L o ~ n eye area
dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal tersebut diperlihatkan oleh Krider dan Carroll
(1971) yang menyatakan bahwa nilai heritabilitas LEA adalah antara 16-79%,
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Kandang Penelitian Koperasi Peternak Babi
Indonesia (PT Babi Obor Swastika) Cisanla, Kabupaten Bandung, dengan lama
penelitian sekitar enam bulan, dimulai pada awal bulan Januari sampai akhir Juni
2002.
Ternak Penelitian
Ternak yang digunakan pada percobaan ini adalah babi bangsa persilangan, umm
8 minggu (lepas sapih) sebanyak 24 ekor dengan rataan bobot badan 20
+
0,52 kgdengan koefisien variasi adalah 9,5%.
Kandang
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu sebanyak
24 unit, berlantai semen, beratap seng dengan ukuran kandang 0,6 x 2,O x 0,8 meter.
Tiap ternak ditempatkan dalarn suatu kandang yang dilengkapi dengan tempat makan
dan minurn.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalarn penelitian ini adalah timbangan elektrik
kapasitas 500 kg dengan tingkat ke\el$jp
P,1
\k
ppk
pt@pbwyphi,
t ~ p a f l ~ q nI , I ! I I
duduk berkapasitas 100 kg dengan {&&at ketelitiqq
9,l
t p
, unh$pfqirnppg
ransurn clan timbangan biasa dengan kapasitas 5 kg dengan tingkat ketelitian 0,01 kg
untuk menimbang ransurn dan sisa ransum. Kantong plastik digunakan untuk tempat
mengukw luas lorn eye area dan Dlgltal Backfat Indicator untuk mengukur tebal lemak punggung.
Manure dan Asam Amino yang Digunakan
Manure ayam petelur yang digunakan dalam percobaan adalah manure segar
yang diperoleh dari peternakan ayam petelur di Tanjung Sari, Kabupaten Sumedang.
Manure segar yang diambil langsumg dikeringkan dibawah sinar matahari selama dua
sampai tiga hari, dengan lama penjemuran 6 - 7 jam/hari, setelah kering manure
ditumbuk dan diayak dengan menggunakan ram kawat, sehingga manure dapat
dicampurkan dengan bahan makanan lain yang telah ditentukan. Sebelum digunakan,
manure lanalisa terlebih dahulu untuk menentukan zat makanan yang terkandung
didal amny a.
Asam amino L-Lisin yang digunakan berasal dari produksi perusahaan
Ajinomoto dalam bentuk L-lrsm monohrdrokhlorat dengan kemurnian 98% dan
mengandung total lisin 80%.
Susunan Ransum Percobaan
Ransurn percobaan dibuat dengan kandungan protein dan energi yang sama (is0
energi dan protein) pada setiap perlakuan. Perubahan ransum dilakukan dari periode
babi pemula (starter) ke periode grower-finisher. Susunan ransum starter dan grower-
finisher masing-masing dapat dillhat pada Tabel 5 dan 6, sedangkan kandungan zat
Table 7. Dengan demiluan kandungan zat makanan dari tiap ransum perlakuan pada
babi starter dan grower- finisher masing-masing dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9.
Pemberian ransum dilakukan dua kali sehari yaitu pa@ dan siang hari dengan
ad lzbitum dan dengan air minum selalu tersedia. Untuk mencegah agar ransum tidak
banyak terbuang, maka diperhtungkan kebutuhannya setiap dua minggu (berdasarkan
bobot badan penimbangan).
Sebelum penelitian dimulai ternak tersebut diberi obat cacing, untuk prakondisi
dilakukan pemberian ransum pendahuluan selama tujuh hari. Setiap babi diberi
nomor telinga dengan tatto, untuk menjaga kebersihan babi dimandkan pada pagi
dan siang hari sebelwn ransum &berikan.
Tabel 5. Susunan Ransum Percobaan Babi Periode Starter (Pemula)
Bahan Makanan &A ROB RIA RIB RZA R ~ B R ~ A R ~ B
Jagung Manure Dedak padi
T. &an
B. Kelapa T. Tulang Minyak nabati Premix
Lisin 0,OO 0,20 0,OO 0,20 0,OO 0,20 0,OO 0,20 Total 100,OO 100,OO 100,OO 100.00 100,OO 100.00 100.00 100.00 Keterangan : &A = ransum kontrol, tanpa manure dan L-Lisin
bB = tingkat penambahan manure 0%, L-lisin 0,2%
R I . ~ = tingkat penambahan manure 5%, L-lisin 0%
RIB = tingkat penambahan manure 5%, L-lisin 0,2%
R2A = tingkat penambahan manure lo%, L-lisin 0%
RZR = tingkat penambahan manure lo%, L-lisin 0,2%
R3A = tingkat penambahan manure 15%, L-lisin 0%
[image:131.612.78.506.395.748.2]Tabel 6. Susunan Ransum Percobaan Periode Pertumbuhan sampai PengaWlrran (Grower-Finisher)
Bahan Makanan
ROA ROB R I A R I B R2.4 R ~ B R ~ A R ~ B
J a g u g Manure Dedak padi T. Ikan B. Kelapa T. Tulang Minyak nabati Premix L-lisin Total
Tabel 7. Kandungan Zat Makanan dari Bahan Makanan yang Digunakan
dalam Penelitian
Bahan Makanan EM PK SK Lisin Kalsium Posfor
(kkal)
...
(%)...
J a ~ g 3250,OO 8,45 5,9 0,28 0,02 0,30
Manure 2280,OO 24,50 20,OO 0,18 6,70 2,34
Dedak padi 2978,OO 12,75 22,l 0,50 0,03 0,26
T. Ikan 2860,OO 54,20 0,OO 3,72 3,90 2,85
B. Kelapa 293 1,OO 17,60 6,OO 0,55 0,08 0,15
T. Tulang 0,OO 0,OO 0,OO 0,OO 29,58 1 1,64
Minyak nabati 8200,OO 0,OO 0,OO 0,OO 0,OO 0,OO
Premix
*
0,OO 0,OO 0,OO 0,07 0,13 0 , l lL-lisin
*
0,OO 0,OO 0,OO 78,50 0,OO 0,OOSumber : Hasil analisis Balai Bioteknologi Penelitian Tanaman Pangan
Bogor 200 1 ,
*
Kandungan bahan dari brosur pembelian.Tabel 8. Kanduntran Zat Makanan Ransum Penelitian Periode Pemula (Starter)
Ransurn
EM PK Lisin Ca P SK
[image:132.612.107.527.145.324.2] [image:132.612.93.516.562.717.2]Tabel 9. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Periode Pertumuhan sampai dengan Pengakhiran (Grower -Finisher)
Ransurn
Percobaan EM
(kkal)
RO A 3191,65
ROB 3191,40
R I A 3 190,54
R ~ B 3190,14
RZA 3190,51
R2s 3191,08
R ~ A 3 190,82
R ~ B 3190,ll
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Pertambahan Bobot Badan Harian (gramlhari)
Penimbangan dilakukan pada jam dan waktu yang sama yaitu pagi hari, sebelum
diberi makan. Pertambahan bobot badan dihitung dengan mengurangi bobot akhir
minggu dengan bobot awal minggu setiap satu minggu sekali sampai akhir
penelitian.
PBBH(gram/hari) = Bobot akhir rningp (gram) - Bobot Awal rningp (gram)
7 hari
2. Konversi Ransum, ditentukan dengan membandingkan jumlah konsumsi ransum
dengan pertambahan bobot badan.
Konversi Ransum = Konsumsi Ransum !gam/hari)
PBBH (gramhari)
3. Umur Mencapai Bobot Potong. Jumlah hari yang diperlukan untuk mencapai
4. Persentase Karkas.
Pada akhir penelitian babi dipotong, dengan mengrkuti prosedur pemotongan
ternak di rumah pemotongan hewan (RPH). Persentase karkas dihitung dengan
perbandingan antara bobot karkas per bobot hidup dikalikan seratus persen.
5. Lorn eye area, diukur dengan memotong tulang belakang karkas diantara tulang
rusuk ke-10 dan 11 sehingga terlihat otot loin eye area kemudian digambar
dengan menggunakan plastik transparan lalu dihitung luasnya dengan kertas
milimeter blok.
6. Tebal Lemak Punggung (TLP). Tebal lemak punggung diukur dengan
menggunakan mistar skala milimeter pada tulang rusuk pertarna, ke-12 dan ujung
tulang punggung. Untuk mengukur tebal lemak punggung saat hidup digunakan
alat Drgztal Backfat Indzcator dengan metoda scanner, diatas tulang rusuk
terakhir .
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
pola faktorial (4X2), dimana faktor pertama adalah tingkat pemberian manure ayam
petelur pada ransum babi (0, 5, 10, dan 15%), dan faktor kedua adalah penarnbahan
asam amino lisin ( 0 dan 0,2%), setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga
kali dengan demikian penelitian ini terdiri atas 24 ekor babi dimana tiap ekor babi
Penempatan babi dalam kandang individu dan perlakuan ransum dilakukan
secara acak, sedangkan pengaruh lingkungan kandang dianggap sama dan babi
dipotong bila mencapai bobot potong rata-rata 90 kg.
Data hasil penelitian dianalisa menggunakan analisis ragam dengan model
matematik yang digunakan (Steel dan Torrie, 1989) dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
Y i j k = p
+
ai+
p j
+
( a p ) i j
+
E ijkKeterangan :
Yijk - nilai pengamatan pada faktor manure taraf ke-i,
faktor L-lisin taraf ke-j dan ulangan ke-k.
P = merupakan komponen aditif dari rataan
a z = pengaruh utama faktor penarnbahan manure ke i
pj
= pengaruh utama faktor asam amino L-lisin ke j(a/?)ij = merupakan komponen interaksi dari faktor manure
ke i dan L-lisin ke j
E zjk = merupakan pengaruh acak yang menyebar normal (0, 0 ').
Data dianalisa dengan analisa variance apabila ada perbedaan yang nyata
(p<0,05) antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan, semua perbedaan
HASlL DAN
PEMBAHASAN
Persiapan dan Temperatur Lingkungan Penelitian
Tahap persiapan dimulai dengan penyeleksian babi yang diperoleh dari
perusahaan P.T. Obor Swastika Cisarua Lembang, Kabupaten Bandung. Seleksi
dilakukan pada babi yang mempunyai urnur yang hampir sama dengan rataan bobot
badan 20 kg.
Penempatan tiap ekor babi dalam kandang dan ransum perlakuan dilakukan
secara acak untuk menghomogenkan perlakuan. Selama satu minggu mulai
dilakukan subtitusi ransum secara bertahap sesuai dengan perlakuannya agar tidak
tejadi cekaman terhadap babi yang mendapat ransurn perlakuan. Frekuensi
pemberian makanan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi dan siang hari.
Tempat makanan dan minuman dibersihkan setiap hari, sedangkan kandang
dibersihkan dua kali sehari sebelum pemberian rnakan. Pengambilan sisa ransum
dilakukan setiap hari pada pa@ hari . Penimbangan dilakukan sekali seminggu pada
waktu pagi hari sebelum babi diberi makan.
Hasil pengamatan pada minggu pertama awal penelitian terjadi mencret
(diarrhea) pada lima ekor babi penelitian, seterusnya pada minggu kedua babi yang
mencret hanya seekor dan pada minggu berikutnya tidak ditemukan babi yang
mencret.
Pencatatan temperatur kandang dilakukan dua kali sehari yaitu pukul 08.00 dan
pukul 12.00 dapat dilihat pada Table 10, sedangkan pada sore dan malam hari tidak
dilakukan karena suhunya relatif lebih rendah dibanding pagi dan siang hari.
adalah 18-24°C sedangkan 40-90 kg adalah 12-22°C (Devendra dan Fuller, 1979).
Menurut Sihombing (1 997) bahwa temperatur ideal babi periode pengakhiran adalah
15