• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas kemandirian dan kemanfaatan tindak nasionalisasi modal asing (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Asas kemandirian dan kemanfaatan tindak nasionalisasi modal asing (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN

NASIONALISASI MODAL ASING

(Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Azhar Nur Fajar Alam NIM: 1111048000083

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

Azhar Nur Fajar Alam NIM: 1111048000083

Pembimbing

Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM, NIP: 195505051982031012

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)

iii

salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 02 April 2015

(5)

iv

ABSTRAK

Azhar Nur Fajar Alam, NIM 1111048000083, “ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN NASIONALISASI MODAL ASING (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)”,

Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix + 83 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan pemahaman antara perspektif hukum Indonesia dan perspektif hukum internasional dalam pengertian nasionalisasi modal asing. Serta untuk mengetahui konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan. Latar belakang penelitian ini adalah pertimbangan hukum ekonomi dan sejarah hukum untuk realisasi tindakan nasionalisasi terhadap modal asing demi mewujudkan kesempurnaan kemandirian ekonomi nasional. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode Pengolahan dan Analisa Data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan non-hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan pemahaman dan pengakuan aktualisasi nasionalisasi modal asing dalam dunia hukum internasional dan nasional. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa cita-cita kemandirian ekonomi nasional dalam pasal 33 UUD 1945 masih jauh dari realita, sehingga kebijakan hukum ekonomi yang diharapkan kendati lebih bersifat liberalis dan lebih memilih berpihak kepada asing sehingga melahirkan ketergantungan modal.

(6)

v Bismillahirrahmanirrahim...

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat, serta anugerah- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN NASIONALISASI

MODAL ASING (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)”. Salawat serta salam penulis sampaikan kepada tauladan Islam

Nabi Muhammad SAW, yang telah memimpin ummat Islam keluar dari zaman kegelapan ke zaman yang penuh cahaya Islam. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

vi

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

4. Segenap staf perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staf perpustakan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staf perpustakan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk beliau semua.

6. Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda Drs. H. Uce Supriadi, MH dan Ibunda Hj. Jamilah, S.Pd.I, terimah kasih atas kasih sayang, motivasi, perhatian, ilmu pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan tulus tanpa pamrih, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi negeri. Begitu pula untuk Kakak-kakak tercinta, Elzha Nur Fadhilah S.KM, Elvid Nur Fitra Mubarok, S.HI, Rusdiana Nur Ridho, S.H dan adikku Dede Nur Fitriansyah, terimah kasih atas segala kasih sayang, perhatian, dukungan dan inspirasi yang telah kalian berikan.

(8)

vii skripsi ini.

8. Senior-senior yang saya hormati, bang Indra, bang Irfan, bang Arif, ka Endah, ka Riri, ka Hilda, bang Rizky, Bang Wawan, Bang Eko, Bang Andi yang telah memberikan arahan dan bimbingan ilmu hukum selama menempuh perkuliahan. 9. Keluarga besar Program Studi Hukum Bisnis dan Ketatanegaraan angkatan 2011

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi inspirasi dalam kebersamaan dan kekompakan.

10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Periode 2013-2014 yang telah memberikan pengalaman berorganisasi dan yang telah melatih jiwa kepemimpinan serta solidaritas tinggi.

11. Keluarga besar Angkatan Pemuda Peduli Hukum (AMPUH), Business Club Community (BLC), dan Tim Redaksi Tabloid Justitia atas konsistensi dan kekompakannya yang telah memberikan wadah untuk saling belajar, berbagi dan menggali ilmu dalam mengkaji Hukum secara holistik.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca sekalian. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullohi wa barokatuh...

Jakarta, 02 April 2015

(9)

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... ii

LEMBAR PERNYATAAN... iii

ABSTRAK... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah... 5

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian... 6

D.Kerangka Teoretis dan Konseptual... 7

E. Tinjauan Kajian Terdahulu... 10

F. Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan... 11

BAB II KEBIJAKAN HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA A.Pengertian Hukum Investasi Asing... 17

B. Asas-Asas dalam Hukum Investasi Asing... 21

C.Arah Kebijakan Hukum Investasi di Indonesia... 23

(10)

ix

B. Nasionalisasi dalam Perspektif Hukum Internasional... 37 C.Pemberian Kompensasi Terhadap Milik Asing Sebagai Konsekuensi

Nasionalisasi... 43

BAB IV ANALISA YURIDIS KEMANDIRIAN EKONOMI DAN

PERTIMBANGAN HUKUM NASIONALISASI MODAL ASING

A.Nasionalisasi dalam Pandangan Aliran Pragmatif Kontemporer... 49 B. Makna Kemandirian Ekonomi dari Perspektif Hukum Ekonomi

Pembangunan... 56 C.Kemanfaatan Nasionalisasi dan Dampak Negatifnya dalam Segi Hukum

Ekonomi Pembangunan... 66 D.Pertimbangan dan Hambatan Hukum Aktualisasi Nasionalisasi... 73

BAB V PENUTUP

A.Saran... 76 B. Kesimpulan... 77

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Penanaman modal pada dasarnya, diperlukan untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil. Apabila modal yang berasal dari dalam negeri belum mencukupi, maka suatu negara akan berusaha untuk menarik modal asing sebagai pelengkap. Kendatipun diniatkan sebagai pelengkap, tetapi modal asing ini seringkali mempunyai peran sangat penting, sehingga dapat mempercepat pembangungan dalam perekonomian suatu negara. Dalam konteks ini, ekonomi global dan negara-negara yang terbuka ekonominya digerakkan oleh modal global, selain kekuatan internalnya sendiri. Semakin atraktif suatu negara terhadap modal asing, maka semakin terbuka sistem ekonomi negara tersebut. Modal global berperan dalam modernisasi ekonomi negara tersebut, serta memajukan sektor-sektor utama dalam ekonomi, terutama industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain.1

Terdapat dua aliran dalam memandang keberadaan penanaman modal asing. Pertama adalah aliran liberal yang berpendapat bahwa penanaman modal asing bermanfaat bagi kemakmuran ekonomi Negara penerima, dan kedua adalah aliran penganut teori ketergantungan (dependencia/dependency theory) yang berpendapat bahwa penanaman modal asing akan melahirkan dominasi dan ketergantungan pada

1

Didik J. Rachbini, Arsitektur Hukum Investasi Indonesia (Analisis Ekonomi Politik),

(12)

perusahaan asing sehingga merugikan masyarakat. Sebagai jalan tengah di antara kedua aliran itu, Negara-negara penerima penanaman modal asing berusaha menarik modal asing untuk dimanfaatkan guna mendorong kemajuan ekonomi negara yang bersangkutan seraya meminimkan dampak negatifnya yang merugikan kepentingan ekonomi nasional.2

Filosofi yang melatarbelakangi kebijakan dalam penanaman modal asing adalah bahwa modal asing diperlukan guna melengkapi modal dalam negeri yang tidak mencukupi untuk memutar roda perekonomian suatu negara. Akan tetapi manakala modal asing tersebut kemudian menjadi pendorong utama perekonomian negara, dan bahkan menyebabkan ketergantungan secara ekonomi, sering timbul sikap permusuhan terhadap penanaman modal asing. Sikap tidak bersahabat ini dapat diwujudkan dalam suatu keputusan politik hukum untuk menasionalisasi atau mengambilalih modal asing.

Sejarah mencatat, kegagalan dalam upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional secepatnya pada masa orde lama, sebagian besar ditafsirkan oleh para pemimpin Indonesia sebagai kegagalan mengatasi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda. Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani para pemimpin Republik di Den Haag pada tahun 1949 memuat jaminan bahwa hak-hak yang diberikan kepada modal asing akan dihormati. Mengacu kepada konferensi tersebut, perusahaan-perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor-sektor ekonomi yang utama,

2

(13)

3

sehingga perkembangan ekonomi pasca penyerahan kedaulatan tidak mengalami perubahan dari periode kolonial Hindia-Belanda. Hal itu dikarenakan, perusahaan-perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor perekonomian utama yang meliputi kegiatan ekspor dan impor. Ketimpangan ekonomi ini menyebabkan rasa frustasi bagi sebagian besar pemimpin Indonesia. Upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional akan selalu terhalang selama modal asing, dalam hal ini Belanda, masih beroperasi di Indonesia.3

Berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1985 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Yang Berada Di Wilayah Republik Indonesia (Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda), membuktikan keinginan Indonesia untuk lepas dari kekuatan ekonomi kolonial, sehingga melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, tindakan nasionalisasi ini mengakibatkan Indonesia dituntut dalam litigasi internasional di Republik Federasi Jerman dalam perkara yang dalam kepustakaan hukum internasional disebut kasus Tembakau Bremen (Bremen Tobacco Case). Dalam perkara ini, Indonesia tetap berargumen bahwa nasionalisasi merupakan tindakan sah Negara yang berdaulat dalam rangka perubahan struktur ekonomi dari struktur ekonomi kolonial ke struktur

3

(14)

ekonomi nasional.4 Hal-hal di atas dapat kiranya menjadi pelajaran bagi pemerintah saat ini untuk berani mengambil tindakan nasionalisasi demi percepatan kemandirian ekonomi nasional namun juga harus bijak dalam menghadapi setiap resiko hukum dan ekonomi yang terjadi.

Nasionalisasi modal asing dalam perkembangannya, diatur tersendiri dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA), tepatnya pada Pasal 21 dan Pasal 22 yang mana pengaturannya lebih generalis dan tidak terpaku pada tindakan dekoloniasisasi semata terhadap perusahaan milik asing Belanda seperti yang diatur sebelumya dalam Undang-Undang No 68 Tahun 1958. Sedangkan di era kekinian, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) yang menentukan bahwa nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal tidak akan dilakukan kecuali dengan undang-undang dan disertai dengan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Apabila tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi, maka akan dilakukan penyelesaian melalui arbitrase. Sayangnya, tidak dicantumkan alasan hukum apa saja yang menjadi pijakan bagi Indonesia untuk dapat menasionalisasi aset asing, serta bentuk pasalnya yang bersifat konstitusional bersyarat dan merupakan bentuk larangan untuk bertindak, sehingga hal-hal ini semakin memperjelas kecenderungan dan keberpihakan Indonesia terhadap modal asing.

4

(15)

5

Dalam perkembangan politik hukum ekonomi di Indonesia timbul berbagai pendapat mengenai kemandirian suatu bangsa dalam membangun perekonomian yang efesien guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pandangan ekstrim pun berkembang di mana wujud ekonomi nasional yang semakin hari cenderung liberal dan berpihak kepada asing, harus direalisasikan dengan kemandirian dalam mengelolah sumber daya alam dan permodalan. Dengan salah satu cara melahirkan kebijakan hukum menasionalisasi seluruh atau sebagian (secara bertahap atau sekaligus) aset asing untuk dikuasai dan dikelola semaksimalkan mungkin untuk hajat hidup bangsa sendiri.

Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalami terkait dengan asas kemanfaatan dan keadilan dalam menasionalisais modal asing yang selalu diusung oleh founding father dalam perspektif hukum ekonomi pembangungan dan juga apa yang dicantumkan dalam pasal 33 UUD terkait asas kemandirian dan penguasaan sumber daya alam yang vital bagi kemakmuran rakyat.

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

(16)

Investment) dan tinjauan yuridis ambiguitas pemahaman realisasi asas kemandirian dan kemanfaatan dari sudut hukum ekonomi pembangunan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:

a. Bagaimana keterkaitan pemahaman antara perspektif hukum Indonesia dan perspektif hukum internasional dalam pelaksanaan nasionalisasi modal asing? b. Bagaimana konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas

kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan?

c. Apa saja dampak positif dan negatif serta pertimbangan hukum ekonomi dalam aktualisasi tindakan nasionalisasi modal asing?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengaturan konsep nasionalisasi modal asing dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

(17)

7

b. Untuk mengetahui konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan.

d. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif serta pertimbangan hukum ekonomi dalam aktualisasi tindakan nasionalisasi modal asing?

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

Secara teoretis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan dibidang hukum penanaman modal asing khususnya berkaitan dengan konsep tindakan nasionalisasi modal asing dan pemahaman asas kemandirian dari perspektif hukum ekonomi pembangunan.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang mendukung berjalannya tindakan nasionalisasi modal asing dalam hukum penanaman modal di Indonesia.

D.Kerangka Teoretis dan Konseptual

(18)

individualistik, ada juga yang berangkat dari pemikirian sosialis komunalistik, serta ada juga yang berusaha berangkat dari pemikiran east far ideology, semua itu berhak untuk mendapatkan peran di semesta ini dalam usaha menciptakan suatu Negara yang sejahtera.

(19)

9

Memperhatikan hal-hal di atas, secara konseptual, tindakan nasionalisasi merupakan pengambilalihan aset dan modal asing yang dituntut untuk mengembalikan segala aset Negara yang merupakan hajat orang banyak yang selama ini dikuasai oleh investor asing, namun disisi lain kita juga dituntut untuk mematuhi prinsip hukum yang menjunjung tinggi asas kepastian hukum dan keadilan, karena dalam konstitusi kita dengan jelas tertera bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sangat sulit memang bagi Negara Indonesia yang saat ini masih memiliki ketergantungan oleh barang-barang impor, dan segala bentuk investasi yang dikuasi asing, untuk berani meminimalisir masuknya modal asing ke negara kita. Dalam UUPM telah tertera asas kemandirian dimana dijelaskan bahwa asas penanaman modal yang dilakukan tetap mengedepankan potensi bangsa dan Negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

(20)

E.Tinjauan Kajian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Buku dengan Judul “Hukum Nasionalisasi Modal Asing,” yang disusun oleh Rustanto, S.H. LL.M. yang telah diterbitkan oleh Penerbit Kuwais Jakarta 2012. Buku ini membahas mengenai konsep definisi tindakan nasionalisasi modal asing dan konsep ranah teoritis kepastian hukum serta konsep keadilan yang berusaha dirumuskan dalam nasionalisasi khususnya ketika dalam konteks tarik-menarik kepentingan antara negara-negara maju pengekspor modal dengan negara-negara berkembang penerima modal.

Skripsi yang disusun oleh Retno Astriningtyas Soejoedono, SH dari Fakultas Hukum Indonesia, tahun 2002, dengan judul “Nasionalisasi Hak Milik Asing: Analisa Terhadap Tanggung Jawab Negara Untuk Memberikan Ganti Rugi.”

Penelitian ini difokuskan terhadap pemahaman negara-negara berkembang dan maju dalam kewajiban pemberian ganti rugi atau kompensasi terhadap nasionalisasi hak milik asing, serta pemahamannya dalam dunia hukum internasioanal.

(21)

11

dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 dan Undang-Undang terkait yang relevan dalam tindakan nasionalisasi modal asing.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.5 Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how penilitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang

dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah tersebut.6

Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

5

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.

6

(22)

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.

2. Pendekatan Yang Dipakai

Sehubungan dengan penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian normatif maka penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis

(23)

13

di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta peraturan-peraturan lainnya dan asas-asas internasional yang terkait.

3. Bahan dan Sumber Penelitian

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundangan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.7 Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum primer adalah UUD 1945, Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda, Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, dan Peraturan Kepala BKPM yang berkaitan dengan nasionalisasi modal asing dan investasi asing.

b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu8 seperti buku-buku investasi .

4. Metode Pengumpulan Data

7

Ibid, h. 181.

8

(24)

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan nasionalisasi modal asing, peraturan perundang-undangan dan peraturan internasional yang terkait dengan tindakan nasionalisasi modal asing. pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.

5. Metode Pengolahan dan Analisa Data

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.9 Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan mendalam mengenai tindakan nasionalisasi dalam hukum investasi di indonesia

9

(25)

15

serta melakukan studi komparatif terhadap penerapan keabijakan serupa di negara yan lain.

G.Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan; Diuraikan tentang latar Belakang Masalah, dilanjutkan dengan Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Tinjauan umum mengenai hukum penanaman modal asing di Indonesia; Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian hukum investasi asing di Indoneisa, asas-asas hukum investasi, arah kebijakan-kebijakan pemerintah dalam investasi asing serta tujuan serta manfaat adanya investasi asing di Indonesia.

(26)

BAB IV Tinjauan yuridis asas kemandirian terkait pelaksanaan tindakan nasionalisasi dalam perspektif hukum ekonomi pembangunan; Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai konsep dan pemahaman nasionalisasi dalam pandangan aliran pragmatis kontemporer, kemanfaatan nasionalisai dalam segi hukum dan ekonomi, makna dan pemahaman kemandirian ekonomi dari perspektif hukum ekonomi pembangungan, serta mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum serta dampak positif dan negatif pelaksanaan nasionalisasi modal asing baik internal maupun eksternal.

(27)

17

BAB II

KEBIJAKAN HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA

A. Pengertian Hukum Investasi Asing

Investasi menurut Webster berasal dari kata to invest, yang artinya: to use (money) to make more money out of something that expected to increase in value.1

Dalam kamus istilah keuangan dan investasi digunakan istilah investement yang mempunyai arti penggunaan modal utuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi digunakan terminologi investment, penanaman modal, adalah investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.2

Istilah investasi dan penanaman modal merupakan istilah-istilah yang dikenal baik dalam kegiatan bisnis sehari-hari maupun dalam bahasa perundang-undangan. Istilah investasi merupakan istilah yang lebih populer dalam dunia usaha, sedangkan istilah penanaman modal lebih banyak digunakan dalam bahasa perundang-undangan. Namum demikian, pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama sehingga kadang-kadang digunakan secara interchangable. Kedua istilah

1

Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 356.

2

(28)

tersebut merupakan terjemahan dari kata investment. Di kalangan masyarakat luas, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (portofolio investment),3 sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung.4

Dalam perkembangan hukum internasional, terdapat perbedaan batasan ruang dalam memberikan definisi hukum investasi asing atau hukum penanaman modal asing. Dalam Draft Text Perjanjian Multilateral mengenai penanaman modal (Multilateral Investment Agreement) yang dibuat oleh Organization For Economic

Co-operation Development (OECD) memberikan definisi yang sangat luas tentang penanaman modal asing, termasuk di dalamanya tidak hanya penanaman modal asing langsung, tetapi juga portofolio investment. Draft text tersebut mengemukakan bahwa penanaman modal asing adalah:

“Every kind of aset owned or controlled, directly or indirectly, by an investor, including:

1 An enterprise (being a legal person or any other entity constituted or organized under the applicable law of the contracting party, whether or not for profit, and whether private or goverment owned or controlled, and includes a corporation, trust, partnership, sole proprietorship, branch joint venture, association or organization);

3

Portofolio Investment adalah investasi tidak langsung dengan kepemilikan portofolio/ bukti lembaran surat berharga melalui pergerakan modal dengan maksud membeli saham dalam suatu perusahaan yang berada di luar negeri. Jenis investasi ini dapat juga berupa pembelian jaminan, surat utang, atau penghimpunan dana/ reksa dana. Karakteristik utama dalam penanaman modal seperti ini adalah terdapatnya pemisahan antara manajemen perusahaan dengan pengawasaan perusahaan serta kepemilikannya.

4

Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum & Kebijjakan Investasi Langsung Di

(29)

19

2 Share, stock or other forms of equaty participation in interprise, and right derived thereform;

3 Bonds, debentures, loans and other form of debt and rights derived thereform;

4 Right under contract, including turnkey, construction, management, production or revenue-sharing contract;

5 Claims to money and claim to performance;

6 Right conferred pursuant to law or contract such as concessions, licenses, authorizations, and permits;

7 Intellectual property rights,;

8 And other tangible and intangible, moveble and immovable property and any related proverty rights, such as leases, morgages, liens and pledges”.5 International Monetary Fund (IMF) menggunakan definisi yang sempit terhadap penanaman modal asing dengan tidak memasukkan portofolio investment ke dalam definisi penanaman modal asing langsung. Yang dimaksud dengan penanaman modal asing langsung/ Foreign Direct Investment (FDI) menurut IMF adalah Investment that is made to acquaire a lasting interest in an interprise operating in an economy other than that of an investor, the investor’s purpose being to have an

affective choice in the management of the enterprise”.6

Sedangkan menurut Hukum Nasional, lebih tepatnya diatur dalam ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (undang-undang yang lama) disebutkan bahwa:

“Pengertian penanaman modal asing di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk

5

An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan

Internasional dan Hukum Penanaman Modal (Bandung: PT Alumni, 2011), h. 39.

6

(30)

menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut”.

Perumusan sebagaimana tersebut di atas tentang apa yang dimaksudkan dengan penanaman modal asing pada prinsipnya mengandung beberapa unsur pokok yakni:

1. Penanaman modal secara langsung (direct investment)

2. Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia 3. Resiko yang langsung ditanggung oleh pemilik modal.

Penjelasan UU No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing juga menjelaskan bahwa kredit berbeda dengan penanaman modal asing, yaitu dalam hal kredit, resiko penggunaan kredit ditanggung oleh peminjam/penerima modal, sedangkan pada penanaman modal asing resiko penggunaannya ada pada penanam modal. Berkaitan dengan tanggungan atas resiko ini pembuat undang-undang memberikan hak kepada investor asing untuk menentukan direksi perusahaan di mana modalnya ditanam sebagaimana tersebut dalam pasal 9.7

Melalui Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal sebagai pengganti UU Penanaman Modal Asing yang lama, melalui ketentuan umum angka (3) telah dirumuskan apa yang dimaksud dengan penanaman modal asing, yaitu “kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik

7

(31)

21

Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing8sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”.

B.Asas-Asas Dalam Hukum Investasi Asing

Di antara hal-hal yang menarik dengan kehadiran UU Penanaman Modal yang baru adalah dicantumkannya sejumlah asas yang menjiwai norma yang ada dalam undang-undang penanaman modal. Tampaknya, pembentuk undang-undang berupaya untuk menangkap nilai-nilai yang hidup dalam tatanan pergaulan masyarakat baik di tingkat nasional maupun di dunia internasional. Artinya, dengan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum internasional, maka berbagai nilai yang dianggap telah menjadi norma universal diakomodasikan ke dalam hukum nasional.

Pemerintah selaku stake holders yang mengawasi iklim investasi dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sudah sepatutnya menerapkan asas-asas yang sebagian besar diadopsi dari Prinsip utama Good Corporate Governance, demi terwujudnya kesejateraan rakyat nasional dan

internasional. Tepatnya dalam pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya menyebutkan sejumlah asas dalam penanaman modal yang dimaksud, yaitu:9

8

Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh Negara Asing, perseorangan warga Negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Selanjutnya Sunarhayati Hartono mengemukakan bahwa yang menjadi ukuran apakah sesuatu itu termasuk modal asing atau bukan adalah: Dalam hal valuta asing, apakah valuta asing itu merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia atau tidak, dan dalam hal alat-alat atau keahlian, apakah alat, barang atau keahlian tertentu itu merupakan milik orang asing atau tidak.

9

(32)

1. Asas kepastian hukum. Adapun maksud asas ini adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. 2. Asas keterbukaan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang terbuka terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

3. Asas akuntabilitas. Adapun maksud asas ini adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman moodal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. Adapun maksud asas ini adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.

5. Asas kebersamaan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

(33)

23

7. Asas berkelanjutan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang.

8. Asas berwawasan lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan asas ini adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

9. Asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedapankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

10.Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Adapun maksud asas ini adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.

C.Arah Kebijakan Hukum Investasi Asing di Indonesia

(34)

(investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik); ketiga, legal certainty atau kepastian hukum.10

Memperhatikan syarat-syarat di atas, investasi asing juga diarahkan untuk memperkuat tumbuhnya ekonomi nasional dalam rangka mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan uraian Sunarhayati Hartono bahwa suatu pembahasan mengenai penanaman modal asing tidak dapat dilihat terlepas dari peranannya dalam pembangungan ekonomi dan rencana pembangunan (economy planning).11

Selain itu, dalam program pembangunan nasioanal secara tegas disebutkan bahwa kebijakan dan penyelenggaraan proses investasi asing ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang diwujudkan melalui instrumen kebijakan berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan juga Peraturan Pelaksana yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Seperti lahirnya UU No 1 Tahun 1967 jo. UU No 11 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Asing dan UU No 6 Tahun 1968 jo. UU No 12 Tahun 1970 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, di mana Undang-Undang ini telah diperbaharui dengan lahirnya UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

Kebijakan pemerintah terhadap penanaman modal dari waktu ke waktu terus mengalami pasang surut, kadang kala diperlukan kebijaksanaan yang sangat ketat,

10

Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, h. 48. 11

(35)

25

guna menjaga keutuhan sumber daya alam dan kasatuan ekonomi yang demokratis. Seperti mensyaratkan setiap kegiatan investasi asing yang dilakukan di Indonesia diharuskan dan diwajibkan untuk melakukan kerja sama dalam bentuk usaha patungan (joint venture)12 dengan modal nasional. Dan juga pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Terubuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Perpres ini pemerintah membagi 3 (tiga) kelompok bidang usaha yaitu bidang usaha tertutup, bidang usaha terbuka dengan persyaratan yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM), dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kepemilikan modal, lokasi tertentu dan perizinan khusus, serta bidang usaha yang terbuka.

Arah kebijakan pemerintah terhadap penyelenggaraan penanaman modal asing haruslah jelas dan konsisten sehingga dalam pelaksanaannya tidak bias dan tidak mudah berubah sesuai selera pengambil kebijakan. Dengan kata lain kebijakan yang terarah diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keuntungan ekonomi bagi bangsa dan tanah air Indonesia. Sudah sepatutnya setiap arah kebijakan yang hendak ditetapkan harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 khususnya Pasal 33 di mana semua kebijakan akan bermuara pada kesejahteraan dan kemakmuran milik bangsa Indonesia.

12

(36)

D.Tujuan, Manfaat, Serta Dampak Negatif Investasi Asing

Tujuan utama penyelenggaraan penanaman modal adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional demi kesejahteraan sosial. Tujuan ini merupakan Keniscayaaan yang tak dapat dihindari karena dampak lansung dari kegiatan penanaman modal adalah injeksi positif bagi kegiatan ekonomi. Bahkan faktor penanaman modal menjadi unsur yang paling penting di dalam sistem perekonomian nasional maupun sistem ekonomi pada umumnya. Hal itu sesuai dengan makna pembangunan ekonomi menurut GBHN 1999-2004, yaitu:13

“Pembangungan ekonomi mempunyai arti pengolahan kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal, penggunaan teknologi serta melalui penambahan kemampuan berorganisasi dan manajemen. Maka selama Indonesia belum memiliki sendiri faktor-faktor tersebut, dapat dimanfaatkan potensi-potensi modal asing, teknologi, dan keahlian dari luar negeri sepanjang tidak mengakibatkan ketergantungan yang terus-menerus serta tidak merugikan kepentingan nasional”.

Dengan demikian tujuan penting terselenggaranya penanaman modal asing adalah demi terwujudnya pembangunan ekonomi nasioanal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. sehingga dapat meningkatkan kesempatan kerja, meraih teknologi, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan sosial.

Hal ini juga selaras dengan yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (2) UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bahwa:

“(2) Tujuan Penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:

13

(37)

27

a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. Menciptakan lapangan kerja;

c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; e. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan

h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.

Terlepas dari pro kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun secara teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara mempunya manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud, yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah pengahasilan negara dari sektor pajak, adanya alih tekonologi (transfer of technology) maupun alih pengetahuan (transfer of know how).14

Penanaman modal asing untuk saat ini, masih menjadi salah satu alternatif penting dalam memperoleh dana, guna melaksanakan pembangunan ekonomi. Melalui penanaman modal asing, diharapkan investor yang tertarik menanamkan modal tidak saja membawa modal namun juga ilmu pengetahuan dan teknologi, keahlian dan keterampilan dalam berbagai bidang termasuk manajemen berorganisasi dan manajemen pemasaran. Dengan demikian diharapkan tidak saja memajukan industri ke arah modernisasi industri namun juga meningkatkan devisa,

14

(38)

meningakatkan pendapatan negara-pemerintah daerah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, terjadinya alih pengetahuan, alih teknologi, dan sebagainya.

John. W Head juga mengemukakan tujuh keuntungan investasi, khususnya investasi asing. Ketujuh keuntungan investasi asing itu adalah:15

1. Menciptakan lowongan kerja bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat meningkaatkan kualitas penghasilan dan standar hidup mereka;

2. Menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan perusahaan-perusahaan baru; 3. Meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendatangkan pengahasilan

tambahan dari luar yang dapt dipergunakan untuk berbagai keperluan bagi kepentingan penduduknya;

4. Menghasilkan pengalihan peralihan pelatihan teknis dan pengetahuan yang dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain; 5. Memperluas potensi keswasenbadaan negara taun rumah dengan memproduksi

barang setempat untuk menggantikan barang impor;

6. Menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan penduduk negara tuan rumah;

15

Rahayu Hartini, “Analisis yuridis UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal”,

(39)

29

7. Membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam maupun manusia, agar lebih baik dari pemanfaatannya semula.

Kekhawatiran pun mulai diperhitungkan dari banyak sarjana tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan akibat aktivitas penanaman modal asing dalam membiayai investasi di Indonesia. Antara lain tentang ketergantungan terhadap luar negeri, nasib penduduk khususnya penduduk yang termasuk angkatan kerja, tentang tanah dimana penanaman modal itu akan dilaksanakan dan ketentuan devisa yang berlaku karena pengusaha asing akan memanfaatkan bagian-bagian keuntungan di negara asalnya.16

Pandangan lain juga mengemukakan, bahwa kehadiran investasi asing di samping membawa dampat positif, senantiasa dapat membawa dampak negatif berupa motivasi komersial semata untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini terungkap dari pemikiran yang dilontarkan oleh Ushaa Dar dan Pratap K Dar:17

“it should, however, be clearly understood from the beginning that the foreign investor is not motivated by consideration of extendinng aid for development. The prime motivation is commercial, and expects return from his investment”.

16

G. Kartasapoetra, Kovensi-konvensi Internasional Tentang Paten Dalam Kaitannya Dengan Alih Tekonologi dan Kepentingan Nasional, (Bandung: Pionir Jaya, 1991), h. 87

17

(40)

Berbagai pihak juga berpandangan bahwa kehadiran investor asing tidak bisa dilepaskan dari dunia bisnis, yakni selalu menempuh cara apapun untuk mencari keuntungan yang besar . Sebagaimana yang dikemukakan oleh Panjdi Anoraga:18

“Banyak bukti menunjukan, bahwa betapapun juga, eksplorasi sumber daya alam adalah jenis industri yang bersifat ekstratif dengan ciri utama pada padat modal dan berteknologi tinggi. Dengan demikian, penanaman modal asing di sektor ini juga sangat sulit diharapkan dampak positifnya dalam penyerapan tenaga kerja yang justru menjadi salah satu tujuan pokok pihak Indonesia mengundang mereka datang ke negara ini”.

Persoalan lainnya dalam kontra manfaat investasi tersebut adalah dampak negatif dari investor asing yang notabene hadir dari deretan Perusahaan Multinasional dan Internasional yang menguasai moda global, yang memberikan efek waspada bagi kedaulatan negara kita, khususnya dalam penyelenggaraan penanaman modal asing adalah:19

1. Perusahaan multinasional berdampak negatif bagi perekonomian negara penerima; 2. Perusahaan multinasional melahirkan sengketa dengan negara penerima atau dengan penduduk asli miskin setempat, khususnya negara yang sedang berkembang;

3. Perusahaan multinasional dapat mengontrol atau mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. Sebagai akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan-kebijakan politis dari negar penerima;

18

Ibid, h. 44

19

(41)

31

4. Adanya realita perusahaan multinasional yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Pasalnya perusahaan multinasional telah menggunakan zat-zat kimia dan menerapkan teknologi yang membahayakan lingkungan lingkungan. 5. Perusahaan multinasional dikritik telah merusak aspek-aspek positif dari

penanaman modal di negara-negara berkembang.

Mengantisipasi dampak-dampak di atas, diperlukan kebijakan pemerintah yang terencana dengan perangkat hukum yang sempurna sehingga kesimpangsiuran yang terjadi akibat lemahnya koordinasi antar instasi dalam mengawasi penyelenggaraan investasi asing ini tidaklah memperburuk dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi. Dan juga peran dan konsistensi pemerintah dalam mencapai tujuan dan manfaat investasi asing haruslah benar-benar direalisasikan, agar dampak positif langsung maupun jangka panjang benar adanya dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia.

(42)

nasional, terutama usaha kecil menengah, dan koperasi serta memperluas basis dan peningkatan daya saing perekonomian nasioanal menuju kemandirian ekonomi.20

20

(43)
(44)

33

A.Nasionalisasi Dalam Perspektif Hukum Nasional

Nasionalisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu proses, cara, atau perbuatan menjadikan sesuatu, terutama milik asing menjadi milik bangsa atau negara, biasanya diikuti dengan penggantian yang merupakan kompensasi.1 Sedangkan dalam kajian Politik Hukum Ekonomi Nasional, istilah nasionalisasi paling tidak mencakup tiga pengertian yaitu “konfiskasi”; “Onteigening/expropriation” dan “pencabutan hak”. Berbicara nasionalisasi berarti

terkait suatu peraturan di mana pihak penguasa memaksakan semua atau segolongan tertentu untuk menerima bahwa hak-hak mereka atas semua atau beberapa macam benda tertentu beralih kepada negara. Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak pertekelir kepada negara secara paksa (Pencabutan Hak) dan disertai kompensasi. Dalam artian setiap onteigening dan pencabutan hak yang dilakukan tidak disertai dengan ganti rugi maka hal itu dapat disebut konfiskasi.2

1

Bambang Marjihanto, kamus Besar Bahasa Indonesia Populer, (Surabaya: Bintang Timur Offset, 1996) h. 256.Lihat jugaKamus Besar Bahasa Indoensia online Di akses pada 05/01/2015 dari

http//kbbi.web.id/nasionalisasi

2

Antonio Suhadi, dkk. “Studi Hukum Atas Nasionalisasi Perusahaan Asing; Dasar Hukum

(45)

34

Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, Istilah Nasionalisasi telah dikenal sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Pasal 1 UU No. 86 Tahun 58 menyebutkan bahwa Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia. selanjutnya dalam penjelasan umum undang-undang ini menjelaskan bahwa yang dinasionalisasikan adalah pada dasarnya segala perusahaan milik Belanda yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia, baik ia merupakan pusatnya maupun cabangnya.

Undang-undang di atas juga tidak dicantumkan secara jelas perihal batasan definisi dari makna tindakan nasionalisasi. Sehingga tidak hadirnya kepastian hukum dan tujuan keadilan dalam tindakan nasionalisasi ini. Hanya saja penyusun undang-undang ini mengisyaratkan melalui beberapa pasalnya dan penjelasan umumnya bahwa nasionalisasi adalah tindakan pengembilahan hak secara penuh terhadap seluruh aset asing berupa perusahaan dan modal asing peninggalan kolonial yakni Belanda.3

Ambiguitas dalam pendefinisian nasionalisasi di setiap negara berkembang pasti selalu timbul, begitu pun Indonesia. Dalam penyusunan UU Nasionalisasi ini,

3

(46)

banyak kalangan pejabat dan ahli hukum masa itu berdebat mengenai batasan definisi dan hak pemberian ganti rugi. Dalam risalah sementara Kabinet Kerja Republik Indonesia yang telah menyusun UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958 ini terjadi perbedaan pemahaman mengenai konsep nasionalisasi milik asing. Menteri Stabilisasi Ekonomi pada saat itu, Kolonel Suprajogi, Tertanggal 7 November 1958 kepada DPR mengatakan pendapatnya:

“Pemerintah memilih tindakan nasionalisasi karena tindakan ini diakui oleh hukum internasional. syarat sah terpenting adalah ganti kerugian dan ini akan dilakukan oleh pemerintah. Maka jelaslah bahwa tuduhan seolah-olah pemerintah telah mensita bahkan dikatakan mencuri adalah tidak benar.” Tidak hanya Kolonel Suprajogi, Mr. Sujarwo dan Ruslan Abdul Ghani juga berpendapat demikian bahwa nasionalisasi yang menjadi hak negara berkembang harus disertai ganti kerugian. Berbeda halnya dengan beberapa anggota DPR seperti H.A Chamid Widjaja, dan Nungtjik A.R yang berpendapat bahwa :

”Di dalam masyarakat ramai telah berkembang saran-saran dan pernyataan dari masyarakat luas yang diajukan, agara supaya perusahaan-perusahaan itu disita saja, dala artian diambil-alih tanpa diberikan ganti kerugian. Sehingga nasionalisasi yang diinginkan masyarakat luas adalah nasionalisasi tanpa memberikan ganti kerugian”.4

Dengan demikian, perbedaan pendefenisian dan aktualisasi nasionalisasi hanyalah berputar dalam hal pengambilalihan dengan pemberian ganti rugi dan penyitaan tanpa ganti rugi (konfiskasi).

4

Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia,

(47)

36

Selanjutnya pengaturan nasionalisasi terdapat pada Undang-undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Pasal 21 dan pasal 22. Pasal 21 berbunyi bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/ pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian. Selanjutnya Pasal 22 (1) jikalau diadakan tindakan seperti tersebut pada pasal 21 maka Pemerintah wajib memberikan kompensasi/ ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang berlaku.

Dalam perkembangannya UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing ini dirubah dan digantikan dengan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman modal. Perihal nasionalisasi dalam UU ini diatur dalam pasal 7 bahwa:

“(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. (2) Dalarn hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (I), Pemerintah akan rnemberikan kompensasi yang jurnlahnya ditetapkan bcrdasarkan harga pasar.5 (3) Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kescpakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase”.

5

(48)

Sekilas tidak ada yang terlalu berbeda antara pengaturan mengenai tindakan nasionalisasi dalam kedua UU tersebut. Hanya saja pada pasal 7 UU No. 25 Tahun 2007 lebih terdapat penekanan bahwa nasionalisasi tidak akan dilakukan kecuali dengan undang-undang. Hal ini menunjukan kedudukan pasal ini sebagai konstitusional bersyarat dimana segala yang terkait dengan panafsiran dan pelaksanaanya akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam naskah akademik undang-undang ini disebutkan bahwa tindakan nasionalisasi tidak akan dilakukan kecuali dengan undang-undang adalah semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum bagi investor asing, sehingga kegiatan investasi yang dilaksanakan tidak dibayangi rasa takut akan diambilalih atau dinasionalisasi. Begitu pula dengan pengaturan ganti rugi atau kompensasi yang akan diberikan oleh pemerintah sebagai konsekuensi dari tindakan nasionalisasi akan ditetapkan sesuai dengan harga pasar yang diakui oleh hukum internasional. Hal ini adalah wujud dari penerapan asas keadilan dalam menjamin keamanan aset investor asing selama meninvestasikan modalnya di Indonesia.

B.Nasionalisasi Dalam Perspektif Hukum Internasional

(49)

38

pressing problem”, yang menyebabkan hingga masalah ini merupakan “question of very real moment” bahwa nasionalisasi adalah bagian “the growth of chauvinis

following the rise of extreme nationalist movements, and the spread of communism in many countries formely under tutelage of the great powers”.6

Dalam perkembangan Hukum ekonomi internasional istilah nasionalisasi, ekspropriasi dan konfiskasi sering dipertukarkan dan dianggap mempunyai makna serupa sebagai tindakan pengambilalihan “taking”, sebenarnya terdapat perbedaan di antara ketiganya. Nasionalisasi adalah pengambilalihan secara menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan tujuan untuk mengakhiri penanaman modal asing di dalam ekonomi atau sektor-sektor ekonomi dalam negeri, sedangkan ekspropriasi mengacu pada pengambilalihan perusahaan tertentu demi kepentingan umum atau kepentingan ekonomi tertentu. Sementara itu konfiskasi adalah pengambilalihan hak milik yang dilakukan penguasa demi kepentingan pribadi. Konfiskasi biasa terjadi dinegara-negara yang dipimpin oleh diktator terhadap para pedagang-pedagang asing yang merambah antar mancanegara. Perlakuan konfiskasi ini selalu tidak diiringi dengan ganti rugi atau kompensasi diakibatkan pengambilalihannya secara paksa. Dengan demikian jelas Sornarajah berpendapat bahwa ketiga hal ini harus lah dibedakan dalam pendefenisian, pengaturan dan penerapannya.7

6

Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, h. 1

7

(50)

Adriaanse sebagaimana telah dikutip oleh Sunarhayati memberikan perbedaan antara kofiskasi, eksproriasi dan nasionalisasi. Bahwa Confiscation merupakan “any gevernmental action by which private property is seized without compensation, no matter in what form or under what name.” Sedangkan

expropriation adalah dipakai dalam arti expropriation for public utility against just compensation. Sedangkan dalam mengartikan nationalization, andriaanse sepaham dengan Gillian White bahwa “Nationalization is the term used to describe the

process whereby property, and rights and interest in property are transfered from private public ownership by agents of the state acting on the authority of a legislative

of executive measure. After transfer, the property remains in the ownership of, and is exploited by the state.”8

Dalam Hukum Internasional, tindakan nasionalisasi dirasakan sebagai ancaman bagi setiap penanam modal asing yang sedang mengembangkan bisnisnya. Akan tetapi wujud nasionalisasi merupakan bukti kedaulatan suatu negara dalam pembangunan ekonomi dimana hal itu diakui dan dihormati oleh dunia internasional sebagai wujud kemandirian dan kedaulatan bangsa. Akan tetapi dalam hal ini perlu diketahui pula, bahwa ada pandangan tradisional yang berpendapat bahwa seorang pemilik dengan cara dan alasan bagaimanapun juga tidak boleh dicabut hak miliknya (karena hal ini merupakan suatu hak asasi), sehingga berdasarkan doktrin vested

8

(51)

40

right hak milik seseorang, baik warga negara maupun orang asing tidak dapat dinasionalisasi.9

Begitu sakral hak milik seseorang sebagai hak asasi yang tidak dapat diambil oleh siapapun telah mengalami perubahan sejak ditinggalkannya politik laisez faire10 dan digantikan dengan konsep negara kesejahteraan (walfare state). Maka peranan pemerintah dalam menentukan dan menyelenggarakan kepentingan masayarakat sosial menjadi lebih besar. Akibatnya hak milik yang merupakan hak mutlak asasi baik warga negara maupun asing lambat laun dapat digugat jika hal itu melanggar ketertiban umum dan memiliki peran untuk melengkapi kepentingan sosial.

Namun di era kekinian dari ketiga istilah pengambilalihan modal asing, hukum internasional hanya mengenal tindakan nasionalisasi dan ekspropriasi sebagai perbuatan yang legal jika dipenuhi beberapa persyaratan sesuai customary international law. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara tegas mengakui sebuah kedaulatan ekonomi bangsa untuk melakukan tindakan nasionalisasi atau ekspropriasi sebagai hak negara tuan rumah penerima modal (host country). Pengakuan ini merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara yang bersangkutan. (United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource) menyatakan bahwa:

9

Hilman Panjaitan dan Anner Mangatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing, h. 207

10

(52)

“Nationalization, expropriation or requistioning shall be based on grounds or reasons of public utility, security or the national interest which are recognized as overriding purely individual or private interest, both domestic and foreign. In such cases the owner shall be paid appropriate compensation, in accordance with the rules in force in the state taking such measures in the exercise of its sovereignty and in accordance with international law. In any case where the question of compensation gives rise to a controversy, the national jurisdiction of the state taking such measures shall be exhausted. However, upon agreement by sovereignty states and other parties concerned, settlement of the dispute should be made through arbitration or international adjudication”.11

Demikian pula halnya dalam UNCTAD Series on issues in international investment agreements, dijelaskan bahwa pengambilalihan milik asing (taking of foreign property) telah diakui dalam dunia hukum internasional, dan dapat

bersumber dari tindakan pengambilalihan oleh pemerintah terhadap aset asing di negara host country, dan pemilik perusahaan terhadap aset-asetnya di negara-negara penerima investasi dengan alasan penurunan nilai aset, signifikasi aset dan lain sebagainya. Pengambilalihan milik asing dapat berbentuk secara langsung (direct taking such nationalization) maupun tidak langsung (indirect taking such creeping

expropriation).12 Hal ini lebih lanjut dijelaskan bahwa:

“The taking of foreign property by a host country has constituted, at least in the past, one of the most important risks to foreign investment. The taking of property by Governments can result from legislative or administrative acts that

11

Lihat Paragraf 4 Resolusi Majelis Umum PBB Tentang kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 (United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over Natural Reource)

12

(53)

42

transfer title and physical possession. Takings can also result from official acts that effectuate the loss of management, use or control, or a significant depreciation in the value of assets. Generally speaking, the former can be classified as “direct takings” and the latter as “indirect takings”. Direct takings are associated with measures that have given rise to the classical category of takings under international law. They include the outright takings of all foreign property in all economic sectors, takings on an industry-specific basis, or takings that are firm-specific. Usually, outright takings in all economic sectors or on an industry-specific basis have been labeled “nationalizations”. Some particular types of such takings have been called “creeping expropriations”, while others may be termed “regulatory takings”. All such takings may be considered “indirect takings”.Firm specific takings on the other hand have often been called “expropriations”. Both nationalizations and expropriations involve the physical taking of property.”13

Dengan demikian terlihat betul bagaimana para pakar hukum internasional dan kovensi-konvensi internasional membedakan pendefinisian antara konfiskasi, ekspropriasi, dan nasionalisasi. Sedangkan perihal nasionalisasi merupakan hak setiap negara yang berdaulat adalah mutlak adanya dan hal itu diakui oleh negara-negara yang beradab dan oleh hukum internasional. Begitu juga halnya dengan perbedaan pemahaman pemberian kompensasi atau ganti kerugian terhadap aset milik asing yang dinasionalisasikan, sekiranya telah menjadi syarat yang harus dipersiapkan oleh negara host country untuk menghormati keberadaan prinsip-prinsip negara yang beradab dan berkeadilan.

13

Lihat UNCTAD Series on issues in international investment agreements “Taking

(54)

C.Pemberian Ganti Rugi (Kompensasi) Terhadap Milik Asing Sebagai

Konsekuensi Nasionalisasi

Dalam sejarah perkembangan hukum nasional Indonesia, istilah kompensasi atau pemberian ganti rugi sebagai akibat tindakan nasionalisasi telah dikenal sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Tepatnya Pasal 2 undang-undang ini menyatakan bahwa, Kepada pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan tersebut dalam pasal 1 (yakni perusahaan-perusahaan yang dilakukan nasionalisasi) diberi ganti kerugian yang besarnya ditetapkan oleh sebuah Panitia yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh Pemerintah. Selanjutnya dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 Tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda menyatakan bahwa, Panitia Penetapan Ganti Kerugian seperti tersebut dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 sekurang-kurangnya terdiri dari : a. Wakil Kementerian Kehakiman sebagai anggota merangkap Ketua; b. Wakil Kementerian Keuangan sebagai anggota merangkap Wakil Ketua c.Wakil Kementerian Keuangan sebagai anggota.

(55)

44

perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dan menetapkan besarnya ganti kerugian yang dapat diberikan. Pemilik perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dapat melaporkan besaran ganti kerugian kepada Panitia Penetapan Ganti Kerugian dengan membawa berkas-berkas dan bukti-bukti sah atas kepemilikan perusahaan beserta asetnya.14

PP ini memiliki perbedaan dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dalam hal siapa yang berwenang dalam menentukan besaran ganti kerugian. Pasal 7 ayat 2 undang-undang ini tidak secara spesifik menentukan besaran kompensasi serta pihak siapa yang menjadi panitia penetapan ganti kerugian. Undang-undang ini menyatakan dalam hal terjadinya nasionalisasi pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Dalam penjelasannya, harga pasar yang dimaksud adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh panitia independen yang ditunjuk oleh para pihak. Jadi secara tidak langsung, yang akan menentukan besaran ganti kerugian adalah pihak ketiga berdasarkan formula yang mereka tetapkan sendiri.15

Terdapat hal yang baru dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang belum dimiliki oleh peraturan-peraturan

14

Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian. Bandingkan dengan perihal pemberian ganti rugi dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

15

Referensi

Dokumen terkait

1) Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan aliran arus modal yang berasal dari luar negeri yang mengalir ke sektor swasta baik yang melalui investasi langsung ( direct investment )

Perizinan meruapakan hal yang sangat penting dalam proses penanaman modal, agar terciptanya kemudahan pelayanan perizinan investasi baik asing maupun domestic menerapkan konsep

Ginting,Budiman , Hukum Investasi : Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007.. Harjono, K, Dhaniswara,

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 12 ayat (3) dimana disebutkan bahwa bidang usaha yang tertutup bagi penanamam modal asing

Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang- Undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, karena kedua undang- undang tersebut

Agar penanam modal asing mau menanamkan modalnya di sektor pariwisata maka Negara harus mengupayakan cara agar para penanam modal asing tersebut tertarik untuk menanamkan

Berbagai pertimbangan di atas dan mengingat hukum penanaman modal yang telah berlaku selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun semakin mendesak kebutuhan Undang-Undang

1, 2018 e-ISSN : 2621-7007 diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam