• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Pers Dan Kerja Jurnalistik Dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etika Pers Dan Kerja Jurnalistik Dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

KABAR LAMPU HIJAU JAWA POS)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)

Oleh

Atika Suri

NIM: 1112051100009

KONSENTRASI JURNALISTIK

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tangerang, 2 Juni 2016

(5)

i ABSTRAK

ATIKA SURI

Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau)

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) merupakan aturan yang dikeluarkan Dewan Pers sebagai tatanan perilaku ideal yang seharusnya dilaksanakan wartawan. Namun berdasarkan data disebutkan masih ada 80 persen wartawan yang belum pernah membaca KEJ, sehingga sangat berpotensi untuk melakukan pelanggaran. Salah satu media, terutama media cetak yang kerap menjadi perbincangan mengenai penerapan KEJ, adalah surat kabar Lampu Hijau.

Berdasarkan latar belakang tersebut, timbul pertanyaan bagaimana pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau? Bagaimana kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau?

Pelaksanaan etika pers terkait Kode Etik Jurnalistik oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau terbagi ke dalam beberapa poin seperti penerapan, pelanggaran, pelaksanaan tentatif, serta improvisasi yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau. Beberapa hal jenis pelaksanaan ini dapat diketahui dari kinerja wartawan dalam memuat berita sehari-hari.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian etnometodologi, dengan penjabaran yang bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi yang dilakukan berupa observasi partisipatif dengan terjun langsung mengikuti kegiatan wartawan di lapangan. Jenis wawancara yang dilakukan adalah wawancara informal dan wawancara dengan pedoman umum. Pengumpulan dokumen juga dilakukan untuk melengkapi kebutuhan data.

Teori utama yang digunakan adalah teori Kode Etik Jurnalistik dan didukung dengan teori-teori lain yang berkaitan dengan etika, kejurnalistikan, serta kewartawanan. Terdapat 11 pasal dengan poin-poin yang berbeda dalam Kode Etik Jurnalistik sebagai acuan kinerja wartawan yang ideal.

Setiap media termasuk surat kabar Lampu Hijau memiliki ciri khas tersendiri dalam melaksanakan kerja jurnalistik. Namun kerja jurnalistik sudah sepatutnya disesuaikan dengan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku. Hal ini dilakukan agar hasil kerja sesuai dengan harapan berbagai pihak, sehingga nantinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, yang telah memberikan begitu banyak karunia dan nikmat kepada

penulis, termasuk berbagai kemudahan dalam penyusunan skripsi ini. Dengan

ridho-Nya lah akhirnya penulis dapat melewati berbagai proses untuk

merampungkan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan

kepada Baginda Nabi Muhammad SAW., Rasul teladan umat.

Sebagai peneliti awam, penulis tentu memiliki begitu banyak keterbatasan.

Namun berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat tetap

memiliki energi untuk terus melangkah melaksanakan perkuliahan hingga

akhirnya menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir perkuliahan. Karena itulah

dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orangtua yang sangat penulis cintai, Ibunda Hj. Iyum Rumsinah

dan Ayahanda H. Rafiudin yang telah memberikan dukungan dan doa

tanpa lelah.

2. Keluarga tercinta, kakak Masyhuri Sidik, S. Sos.I, Galih Mugni, S.E,

(7)

masing-iii

masing, dan adik penulis satu-satunya Muhammad Said Assurur atas

energi positif yang selalu diberikan.

3. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

beserta jajarannya.

4. Dr, Arief Subhan, MA., Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

beserta jajarannya.

5. Kholis Ridho, M.Si, Ketua Jurusan Konsentrasi Jurnalistik, dan Dra.

Hj. Musfirah Laily, MA., Sekretaris Jurusan Konsentrasi Jurnalistik.

6. Siti Nurbaya, M.Si, Dosen Pembimbing Akademik mahasiswa

konsentrasi jurnalistik A angkatan 2012. Beserta seluruh dosen yang

telah memberikan ilmunya semasa perkuliahan kepada penulis.

7. Rachmat Baihaky, MA., Dosen Pembimbing Skripsi, terima kasih atas

bimbingan, waktu, dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

8. Keluarga besar surat kabar Lampu Hijau, Syahroni, Pemimpin Redaksi

surat kabar Lampu Hijau; Sri Nurganingsih, Sekretaris Redaksi surat

kabar Lampu Hijau; M. Isa Bustomi, wartawan surat kabar Lampu

Hijau wilayah Jakarta Selatan; dan seluruh wartawan surat kabar

Lampu Hijau atas bantuan dan sambutan hangat yang telah diberikan

selama proses penelitian.

9. Dedi Fahrudin, M. Ikom, pembimbing DNK TV, serta Deden Mauli

(8)

iv

ilmu dan pengalaman yang diberikan selama penulis bergabung dalam

DNK TV dan zamzamedia.com.

10.Annisa Novianti, Ruqoyah Raudhatul Jannah, Devi Yuliana, Rahmah

Putri Awaliah, dan Avissa Suseno atas kebersamaan selama masa

perkuliahan. Terima kasih telah menjadi tempat bernaung dan berbagi

cerita yang nyaman dan aman.

11.Asti Niswatussoliha, Lisfa Novianti, Fadhla Rizkia, dan Riezky

Romadhona atas warna lain yang telah diberikan dalam menjalani

kehidupan di tanah rantau selama masa perkuliahan.

12.Seluruh teman Konsentrasi Jurnalistik angkatan 2012, spesial untuk

Jurnalistik A 2012. Tak lupa pula teman-teman DNK TV 2012,

zamzamedia.com dan KKN Pelangi atas pengalaman berharga yang

telah kita lewati bersama. Terima kasih pula untuk semua pihak yang

tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang

membangun dari para pembaca. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak yang membutuhkan. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Tangerang, 2 Juni 2016

(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 5

C. Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan Penelitian... 5

E. Manfaat Penelitian ... 6

F. Metodologi Penelitian ... 7

1. Pendekatan Penelitian ... 7

2. Metode Penelitian ... 8

3. Teknik Pengumpulan Data ... 13

G. Tinjauan Pustaka ... 16

(10)

vi

BAB II LANDASAN TEORI

A. Etika ... 19

B. Moral dan Moralitas ... 22

C. Surat Kabar ... 23

D. Empat Teori Pers ... 25

1. Teori Pers Otoritarian ... 28

2. Teori Pers Libertarian ... 34

3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial ... 36

4. Teori Pers Soviet Komunis ... 39

E. Kode Etik Jurnalistik ... 45

F. Etika Profesi Jurnalistik ... 52

G. Wartawan dan Etikanya ... 53

BAB III GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Perkembangan Pers di Indonesia ... 57

1. Media Massa Era Penjajahan ... 57

2. Memasuki Kemerdekaan ... 58

3. Indonesia di Iklim Reformasi ... 61

B. Sejarah Perkembangan Koran Kuning ... 70

C. Gambaran Umum Surat Kabar Lampu Hijau ... 75

1. Profil dan Sejarah Lampu Hijau ... 75

(11)

vii

3. Karakteristik Pembaca ... 78

4. Distribusi ... 78

5. Ciri Khas ... 79

BAB IV HASIL PENELITIAN ETIKA PERS DAN KERJA JURNALISTIK DALAM SURAT KABAR (STUDI ETNOMETODOLOGI WARTAWAN SURAT KABAR LAMPU HIJAU) A. Etika Pers Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ... 80

1. Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ... 80

2. Improvisasi oleh Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ... 117

B. Kerja Jurnalistik Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau ... 124

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 144

B. Saran ... 146

DAFTAR PUSTAKA ... 147

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 perbedaan empat teori pers secara umum ... 43

Tabel 3.1 perbandingan jumlah pers dan total tiras tahun 1965 dan 1966 ... 64

Tabel 4.1 pelaksanaan pasal 1 Kode Etik Jurnalistik ... 81

Tabel 4.2 pelaksanaan pasal 2 Kode Etik Jurnalistik ... 88

Tabel 4.3 pelaksanaan pasal 3 Kode Etik Jurnalistik ... 97

Tabel 4.4 pelaksanaan pasal 4 Kode Etik Jurnalistik ... 100

Tabel 4.5 pelaksanaan pasal 5 Kode Etik Jurnalistik ... 104

Tabel 4.6 pelaksanaan pasal 6 Kode Etik Jurnalistik ... 106

Tabel 4.7 pelaksanaan pasal 7 Kode Etik Jurnalistik ... 109

Tabel 4.8 pelaksanaan pasal 8 Kode Etik Jurnalistik ... 110

Tabel 4.9 pelaksanaan pasal 9 Kode Etik Jurnalistik ... 112

Tabel 4.10 pelaksanaan pasal 10 Kode Etik Jurnalistik ... 114

(13)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Logo Surat Kabar Lampu Hijau ... 75

Gambar 4.1 Penyertaan Sumber Gambar oleh Wartawan ... 91

Gambar 4.2 Contoh Pemuatan Berita Sadis dan Cabul... 102

Gambar 4.3 waktu pengambilan gambar tidak dicantumkan ... 103

Gambar 4.4 tidak menyebutkan identitas korban kejahatan seksual ... 105

Gambar 4.5 penyebutan identitas korban kejahatan seksual ... 105

Gambar 4.6 tidak menyebutkan identitas anak pelaku kejahatan ... 106

Gambar 4.7 Headline Lampu Hijau edisi 3 Mei 2016 ... 119

Gambar 4.8 Headline Lampu Hijau edisi 7 Mei 2016 ... 120

Gambar 4.9 Headline Lampu Hijau edisi 9 Mei 2016 ... 120

Gambar 4.10 Sisi Humanis Pada Judul Berita ... 123

Gambar 4.11 Contoh Penulisan Profil Tokoh ... 135

(14)

1

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, media mencakup sarana komunikasi seperti pers,

media penyiaran (broadcasting) dan sinema.1 Produk media secara umum

dapat dilihat sebagai proses di mana makna-makna diproduksi melalui teks

media. Makna tersebut bagi produsen dan bagi audiens dapat berbeda.

Proses produksi tersebut juga merupakan proses pemilihan. Media dapat

dideskripsikan sebagai memproduksi komoditas, budaya, dan

makna-makna tentang masyarakat.

Produksi dikendalikan oleh pelbagai imperative yang merupakan

bagian dari sistem kapitalis, dibentuk oleh pelbagai praktik yang

merutinkan (routinise) dan menjual produk, serta dipengaruhi oleh konteks

komersial.2

Berita secara khusus merupakan bentuk produk yang khusus karena

hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu pandangan yang

bermanfaat tentang dunia. Proses pembuatan berita dipengaruhi oleh

ide-ide di ruang berita tentang profesionalisme, nilai-nilai berita, dan agenda

yang memberikan prioritas terhadap beberapa cerita dibandingkan

cerita-cerita yang lain.

1

Graeme Burton, Media dan Budaya Populer (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 9 2

(15)

Berita adalah sesuatu yang diproduksi. Wartawan memberi tekanan

untuk mendapatkan cerita yang nyata dan mendapatkan fakta apa adanya.3

Namun demikian terdapat faktor lain yang dapat memengaruhi pemilihan

dan penyajian berita, yakni kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat berupa

kekuasaan tersembunyi yang meliputi ideologi, hegemoni, serta wacana.4

Wartawan menurut tugasnya terbagi dalam dua golongan, yakni yang

pertama mencari dan menghimpun informasi, dan kedua mengerjakan

berita dan menulis.5 Bahkan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

yang pertama, Mr. Sumanang menegaskan: “Tiap wartawan Indonesia

berkewajiban bekerja bagi kepentingan Tanah Air dan Bangsa dengan

senantiasa mengingat akan persatuan bangsa dan kedaulatan Negara”.6

Tak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya media memiliki idealisme,

peran, dan fungsi sebagai tuntutan yang mau tidak mau akan selalu

mengiri media tersebut. Terkait dengan peran dan fungsi yang dimiliki

media dan kenyataan bahwa masih terdapatnya kemungkinan media

melakukan pelanggaran, Dewan Pers sebagai lembaga pengawas Pers di

Indonesia menerapkan Kode Etik Jurnalistik untuk semua pers.

Kode Etik Jurnalistik telah ditetapkan berlaku untuk semua wartawan

sejak 14 Maret 2006. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya penulisan kolom

di media massa pada awal kemerdekaan yang bernuansa satir, sinis, dan

3

Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, h. 108 4

Graeme Burton, Media dan Budaya Populer, h. 71-74 5

Floyd G. Arpan, Wartawan Pembina Masjarakat (Bandung: Binatjipta, 1970), h. 36 6

(16)

penuh dengan anekdot yang menimbulkan sejumlah kontroversi termasuk

perdebatan apa yang boleh dan tidak boleh ditulis dalam bidang jurnalistik.

Kode Etik Jurnalistik pertama ini akhirnya terbentuk pada tahun

1947, yang diketuai oleh Tasrif, seorang wartawan yang kemudian

menjadi pengacara. Isi kode etik ini lebih merupakan terjemahan dari

Canon of Journalism, Kode Etik Jurnalistik wartawan Amerika pada masa

itu.7 Karena itulah isi Kode Etik Jurnalistik pada masa itu sama seperti

Canon of Journalism, hanya saja penyebutannya disesuaikan dengan

bahasa Indonesia.

Sayangnya hingga saat ini belum semua pers menerapkan Kode Etik

Jurnalistik tersebut sepenuhnya. Berkenaan dengan hal ini, bahkan

menurut Sukardi, ternyata 80 persen wartawan Indonesia dewasa ini sama

sekali belum pernah membaca Kode Etik Jurnalistik dan UU No. 40/1999

tentang pers.8 Bahkan ketua dewan pers periode 2010-2013, Bagir Manan,

pernah mengungkapkan bahwa dewan pers sempat menemukan 80 persen

pemberitaan atau siaran melawan kode etik.9

Kode Etik Jurnalistik bersifat otonom karena disusun melalui

ketentuan-ketentuan tertulis oleh, dari, dan untuk wartawan yang

tergabung dalam organisasi kewartawanan, untuk kemudian berikrar

melaksanakannya.

7

Wina Armada Sukardi, Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, (Jakarta: Dewan Pers, 2012), h. 327

8

Menurut Sukardi seperti dikutip dalam Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, h. 57

9

(17)

Dewasa ini banyak anggapan bahwa adanya Kode Etik Jurnalistik

akan menghambat kebebasan pers. Wartawan Indonesia tetap dianggap

memiliki kebebasan pers, asal bersamaan dengan itu tetap menghayati

tanggung jawab etisnya ke berbagai segi seperti terhadap hati nuraninya

sendiri, sesama warga negara yang juga memiliki kebebasan, kepentingan

umum yang diwakili pemerintah, serta terhadap rekan seprofesinya.10

Melihat fenomena tersebut, penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui bagaimana penerapan etika pers dan kerja jurnalistik yang

dilakukan oleh wartawan surat kabar, khususnya pada wartawan surat

kabar Lampu Hijau.

Surat kabar Lampu Hijau diterbitkan oleh Rakyat Merdeka yang

merupakan bagian dari Jawa Pos. Surat kabar ini merupakan perubahan

dari surat kabar Lampu Merah pada tahun 2008 karena dilarang terbit.

Namun nyatanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara Lampu

Hijau dengan pendahulunya tersebut.

Berdasarkan hal-hal tersebutlah maka peneliti tertarik untuk

mengkaji lebih jauh mengenai penerapan etika pers dan kerja jurnalistik

yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau dalam skripsi yang

berjudul “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi

Etnometodologi Wartawan Surat Kabar Lampu Hijau Jawa Pos)”.

10

(18)

B. Fokus Penelitian

Penelitian mengenai etika pers dan kerja jurnalistik ini difokuskan

pada pelaksanaan etika pers yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik

serta kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar Lampu Hijau.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu

Hijau?

2. Bagaimana kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar

Lampu Hijau?

D. Tujuan Penelitian

1. Mengungkap pelaksanaan etika pers oleh wartawan surat kabar Lampu

Hijau

2. Mengungkap kerja jurnalistik yang dilakukan wartawan surat kabar

(19)

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

mengungkap pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik pada media massa

cetak.

2. Manfaat Praktis

a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk praktisi

komunikasi, khususnya mahasiswa jurnalistik, agar lebih

mengetahui hal-hal terkait Kode Etik Jurnalistik dan penerapannya

dalam media massa cetak.

b) Sebagai acuan bagi media agar senantiasa menerapkan Kode Etik

Jurnalistik yang berlaku demi terciptanya lingkungan pers yang

sehat.

c) Untuk melengkapi penelusuran dan referensi keilmuan serta

koleksi skripsi pada Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah

(20)

F. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif secara

deskriptif. Istilah penelitian kualitatif dimaksudkan sebagai jenis

penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur

statistik atau bentuk hitungan lainnya. Metode kualitatif dapat

digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik

fenomena yang sedikit pun belum diketahui.

Pada dasarnya ada tiga unsur utama penelitian kualitatif, pertama

yaitu data, data bisa berasal dari berbagai macam sumber biasanya dari

wawancara dan pengamatan. Kedua, penelitian kualitatif terdiri atas

berbagai prosedur analisis dan interpretasi yang digunakan untuk

memahami data. Ketiga, laporan tertulis dan lisan dapat dikemukakan

dalam jurnal ilmiah atau konferensi.11

Alasan peneliti menggunakan metode kualitatif adalah karena

jenis penelitian ini membutuhkan wawancara serta pengamatan untuk

mengetahui bagaimana penerapan etika pers serta kerja jurnalistik

yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu Hijau. Penjabaran

hasil analisis secara deskriptif juga dinilai sesuai karena penelitian ini

tidak menggunakan penjabaran angka-angka yang biasa digunakan

dalam penelitian kuantitatif.

11

(21)

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode

etnometodologi. Hal ini dilakukan guna mengungkap etika pers dan

kerja jurnalistik yang dilakukan oleh wartawan surat kabar Lampu

Hijau.

Etnometodologi berasal dari bahasa Yunani „Etnos‟ yang berarti

orang, „Metodos‟ yang berarti metode, dan „Logos‟ yang berarti Ilmu,

sehingga secara harfiah etnometodologi adalah “sebuah studi atau ilmu

tentang metode yang digunakan oleh orang awam atau masyarakat

biasa untuk menciptakan perasaan keteraturan atau keseimbangan di

dalam situasi di mana mereka berinteraksi”.12

Etnometodologi menurut Heritage dapat didefinisikan sebagai

“kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan

pertimbangan yang dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa,

mereka bisa mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan di mana

mereka bisa menemukan dirinya sendiri”.13 Di sisi lain Mehan dan

Wood mengartikan etnometodologi sebagai “keseluruhan penemuan,

suatu metode, suatu teori, suatu pandangan dunia. Pandangan

etnometodologi berasal dari kehidupan”.14 Selain itu, Muhadjir

12 Soleh Hamdani, “Etnometodologi”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari https://solehhamdani.wordpress.com/sosiologi/etnometodologi/

13

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi (Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia, 2013), h. 145

14

(22)

menyatakan bahwa “etnometodologi berupaya untuk memahami

bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan, dan

menggambarkan tata hidup mereka sendiri”.15

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa

etnometodologi merupakan suatu metode untuk mengetahui bagaimana

masyarakat memandang tata kehidupan yang mereka jalani. Adapun

dalam penelitian ini, masyarakat yang dimaksud adalah wartawan yang

mendedikasikan dirinya bekerja untuk surat kabar Lampu Hijau.

Dengan demikian, metode etnometodologi ini digunakan untuk

mengetahui bagaimana kerja jurnalistik dan penerapan etika pers yang

dilakukan oleh wartawan, dan bagaimana pandangan wartawan

terhadap hal tersebut.

Pelopor kajian etnometodologi ini adalah Harold Garfinkel. Ia

merupakan professor Emeritus di University Of California, Los

Angeles.16 Sejarah penemuan metode etnometodologi diawali saat

Garfinkel diajak oleh Fred Strodtbeck dan Saul Mendlovitz untuk

meneliti anggota dewan juri di suatu pengadilan.17

Strodbeck meletakkan alat perekam secara tersembunyi di ruang rapat pengadilan Wichita, untuk merekam kegiatan musyawarah para juri. Garfinkel terkejut oleh kenyataan bahwa para juri yang tidak diajarkan teknik-teknik hukum mampu menguji, mengkaji tindak pidana, dan mengutarakan kesalahan para pelakunya. Untuk dapat melakukan itu, mereka menggunakan berbagai prosedur dan logika

15

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 146

16Ferry Roen, “Harold Garfinkel: Ethnometodology”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://perilakuorganisasi.com/harold-garfinkel-ethno-metodelogy.html

17

(23)

penilaian bersama, seperti membedakan benar dan salah, kemungkinan, serta ketepatan; mereka mampu mengevaluasi ketepatan argumen yang dikemukakan selama proses pengadilan.18

Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat

sebuah praktik evaluasi dan penilaian yang dapat dideskripsikan.

Melalui kejadian tersebutlah akhirnya Garfinkel mengetahui metode

yang mulai tahun 1955 disebut sebagai etnometodologi.19

Etnometodologi yang diperkenalkan oleh Harold Garfinkel

adalah suatu ranah ilmiah yang unik, sekaligus radikal dalam kajian

ilmu sosial karena dikenal keras dalam mengkritik cara-cara yang

dilakukan para sosiolog sebelumnya.20 Etnometodologi yang

diperkenalkan Garfinkel ini memiliki tatanan secara teoritis maupun

praktis.

Pada tatanan teoritis, Harold Garfinkel di tahun 1940 telah

menolak pemikiran Emile Durkheim mengenai “fakta sosial” karena

baginya justru “aktor sosial” itulah yang sangat menentukan dan tidak

pernah dibatasi oleh struktur dan pranata sosial.21 Sedangkan pada

tatanan praktisnya, etnometodologi Garfinkel menekankan pada

kekuatan atau pendengaran dan eksperimen melalui simulasi.22

18

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 141

19

Alain Coulon, Etnometodologi, (Jakarta: Lengge, 2008), h. 56 20

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 142

21

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial Buku Sumber untuk Penelitian Kualitatif, h. 199

22

(24)

Kelahiran etnometodologi tak lepas dari pengaruh karya-karya

yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan lain. Etnometodologi

Garfinkel ini diilhami oleh karya-karya dari Talcot Parson dan Alfred

Schutz. Adapun sumber lain yang ikut memberikan pengaruh di

antaranya Durkheim, Weber, Mannheim, Edmun Husserl, Aaron

Gurwitsch, Maurice Merleau-ponty, dan lain-lain.23

Meskipun telah disebutkan bahwa etnometodologi Garfinkel ini

diilhami serta dipengaruhi oleh para pemikir lain, Garfinkel mengakui

bahwa sumber utama yang memberikan pengaruh baginya adalah

fenomenologi oleh Schutz.24

Validitas dalam etnometodologi dapat dilihat dengan sederhana

karena tidak menggunakan cara-cara konvensional dalam mengukur

suatu konsep. Etnometodologi sangat bergantung pada kekuatan

interpretasi peneliti terhadap masalah sosial yang sedang dihadapinya.

Penelitian etnometodologi memiliki beberapa tujuan utama,

yakni: (1) untuk mempelajari bagaimana anggota masyarakat selama

berlangsungnya interaksi sosial, membuat pengungkapan

istilah-istilah; (2) berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat,

mengerti, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia

sehari-hari di tempat mereka hidup; (3) Pemanfaatan metode ini lebih dilatari

oleh pemikiran praktis dibanding kemanfaatan logika formal; dan (4)

23

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 142

(25)

Hasil penelitian dari etnometodologi dapat berupa program atau

prinsip perubahan dan pembaruan.25

Dalam melakukan penelitian, peneliti tentu memerlukan sebuah

strategi tersendiri, termasuk dalam penelitian menggunakan metode

etnometodologi. Dalam penelitian etnometodologi, terdapat tiga

strategi yang dapat dilakukan, yaitu (1) strategi responsif,

mengungkapkan bagaimana seseorang menanggapi apa yang pernah

dialaminya; (2) strategi provokatif, mengungkapkan reaksi orang

terhadap situasi atau bahasa; dan (3) strategi subersif, yang lebih

menekankan pada perubahan status atau peran yang biasa dimainkan

oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.26

Adapun tahap pengumpulan data dalam penelitian

etnometodologi adalah dengan melakukan wawancara, terutama pada

penelitian kualitatif menggunakan etnometodologi seperti yang

dilakukan peneliti. Wawancara dalam penelitian etnometodologi itu

sendiri dapat dibedakan menjadi tiga pendekatan dasar seperti

wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum, serta

wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka.27

Wawancara informal, yakni proses wawancara didasarkan

sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara

25

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 147

26

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 151

27

(26)

spontan dalam interaksi alamiah, dengan tipe wawancara observasi

partisipatif.28

Wawancara dengan pedoman umum dilakukan oleh peneliti

dengan dilengkapi pedoman wawancara (interview guide) yang sangat

umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa

menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk

pertanyaan eksplisit.29

Sedangkan wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka,

yakni pedoman wawancara ditulis secara rinci dan lengkap dengan set

pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Dalam penelitian ini

peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai dengan

sekuensi yang tercantum, serta menanyakannya dengan cara yang sama

pada narasumber berbeda.30

3. Teknik Pengumpulan Data

a) Observasi

Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah jenis observasi

partisipatif dengan mengikuti kegiatan wartawan surat kabar

Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan selama 14 hari sejak tanggal

2 hingga 15 Mei 2016. Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti

28

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154

29

Ellys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In Communication Konsep, Panduan, dan Aplikasi, h. 154

30

(27)

dalam melakukan observasi partisipatif adalah dengan mengikuti

berbagai rangkaian kegiatan wartawan dalam proses pencarian

informasi. Peneliti ikut terjun ke lapangan untuk proses peliputan,

mengikuti kegiatan wartawan dalam meramu informasi menjadi

naskah berita utuh yang siap saji, dan peneliti juga turut mengikuti

rapat redaksi yang dilakukan tim redaksi wartawan surat kabar

Lampu Hijau untuk lebih mengetahui secara lebih detail kerja

jurnalistik yang dimulai dari perencanaan yang disusun dalam rapat

redaksi.

Observasi partisipatif ini dilakukan agar peneliti dapat

mengetahui kerja jurnalistik wartawan surat kabar Lampu Hijau

dan bagaimana penerapan Kode Etik Jurnalistik yang dilakukannya

secara lebih real dan mendalam. Dengan observasi partisipatif

peneliti juga dapat merasakan bagaimana menjadi wartawan yang

bekerja di surat kabar Lampu Hijau.

b) Wawancara

Secara umum dapat dibedakan tiga pendekatan dasar dalam

memperoleh data kualitatif melalui wawancara secara

(28)

pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar

terbuka.31

Terdapat dua jenis wawancara yang dilakukan oleh peneliti,

yakni wawancara informal dan wawancara dengan pedoman

umum. Wawancara informal dilakukan saat peneliti melaksanakan

observasi partisipatif pada 2-15 Mei 2016 dengan turut terjun

langsung bersama Muhammad Isa Bustomi, wartawan surat kabar

Lampu Hijau wilayah Jakarta Selatan di lapangan. Selama proses

penelitian tersebut peneliti melakukan wawancara secara informal

untuk menggali data dari objek penelitian.

Adapun wawancara dengan pedoman umum telah terlebih

dahulu dilakukan sebelum peneliti melaksanakan onservasi

partisipatif. Wawancara dengan pedoman umum dilakukan secara

formal dengan interview guide yang telah disiapkan peneliti.

Wawancara dengan pedoman umum dilangsungkan pada 14 April

2016 bersama Syahroni, Pemimpin Redaksi dari surat kabar Lampu

Hijau bertempat di Gedung Rumah Pena, Jakarta Barat.

c) Dokumentasi

Dokumentasi yang dilakukan peneliti untuk melengkapi data

penelitian adalah berupa foto-foto kegiatan, rincian kegiatan

penelitian, rekaman suara wawancara yang telah ditranskrip,

31

(29)

naskah berita wartawan pra dan pasca cetak, serta dokumen resmi

berupa Company Profile Lampu Hijau yang diperoleh melalui

email langsung dari General Manager Lampu Hijau.

G. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka pada penelitian “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik

dalam Surat Kabar (Studi Etnometodologi Wartawan Surat Kabar

Lampu Hijau Jawa Pos)” ini adalah penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya oleh mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, yakni sebagai

berikut:

1. Skripsi berjudul “Dinamika Kerja Citizen Journalism dalam

Manajemen Redaksi Rubrik Rohani www.kabarindonesia.com” oleh

Cucu Sulastri, Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, tahun 2014.

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Cucu Sulastri ini adalah

mengetahui bagaimana struktur kerja citizen journalism dalam manajemen

redaksi rubrik rohani www.kabarindonesia.com, kebijakan redaksional

www.kabarindonesia.com dalam mengelola rubrik rohani, serta tujuan

ideologi www.kabarindonesia.com dalam mengelola rubrik rohani. Ketiga

hal tersebut diungkap dengan menggunakan metode etnometodologi.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa persamaan antara penelitian

mengenai “Etika Pers dan Kerja Jurnalistik dalam Surat Kabar (Studi

(30)

penelitian berjudul “Dinamika Kerja Citizen Journalism dalam

Manajemen Redaksi Rubrik Rohani www.kabarindonesia.com” oleh Cucu

Sulastri ini adalah berada pada metode penelitian yang dilakukan yang

sama-sama menggunakan medote etnometodologi.

Adapun perbedaan terletak pada objek penelitian. Cucu Sulastri

menjadikan media online www.kabarindonesia.com sebagai objek

penelitian, sedangkan peneliti menjadikan media cetak surat kabar Lampu

Hijau sebagai objek penelitian. Fokus penelitian juga berbeda. Cucu

Sulastri fokus pada dinamika kerja citizen journalism di media

www.kabarindonesia.com, yang diketahui sebagai pihak eksternal media.

Sedangkan peneliti fokus terhadap etika pers dan kerja jurnalistik

wartawan surat kabar Lampu Hijau yang merupakan pihak internal media.

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan latar belakang masalah, fokus penelitian,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi

penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab ini diuraikan berbagai teori yang terkait dengan masalah

penelitian seperti etika, moral dan moralitas, surat kabar, empat teori pers,

(31)

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini menjabarkan gambaran umum perkembangan pers di

Indonesia, sejarah perkembangan Koran kuning, serta gambaran umum

surat kabar Lampu Hijau yang meliputi profil dan sejarah Lampu Hijau,

visi dan misi, karakteristik pembaca, distribusi, dan ciri khas.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Bab ini menjelaskan hasil penelitian berupa etika pers wartawan

surat kabar Lampu Hijau dan kerja jurnalistik wartawan surat kabar

Lampu Hijau.

BAB V PENUTUP

(32)

19

A. Etika

Secara etimologis, kata “Etika” berasal dari bahasa Yunani Kuno,

ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang

biasa; padang rumput, kandang, habitat; kebiasaan, adat; akhlak, watak;

perasaan, sikap, cara berpikir.1

Secara epistemologis, etika memiliki beberapa pengertian. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu tentang apa

yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral

(akhlak).2

Guwandi menyebutkan ada tiga macam pengertian etika, yakni: (1)

etika sebagai nilai-nilai dan asas-asas moral yang dipakai seseorang atau

suatu kelompok sebagai pegangan bagi tingkah lakunya; (2) etika sebagai

kumpulan asas dan nilai yang berkenaan dengan moralitas, sesuatu yang

dianggap baik atau buruk; (3) etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah

laku manusia dari sudut norma dan nilai moral.3

1

K. Bertens, Etika, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013), h. 3-4 2

KBBI Online, “Surat Kabar”, pengertian kata diakses pada 16 Mei 2016 dari

http://kbbi.web.id/etika 3

(33)

Menurut Ward, etika juga didefinisikan sebagai “analisis, evaluasi

dan promosi perilaku yang benar dan/ atau karakter yang bagus menurut

standar terbaik yang ada”.4

Altschull mendefinisikan etika sebagai “studi tentang pembentukan

nilai-nilai moral dan prinsip-prinsip mengenai benar dan salah”.5

Adapun menurut American Heritage Dictionary: Description of

Ethic, disebutkan bahwa etik memiliki beberapa arti yakni: (1) seperangkat

prinsip perilaku yang benar; suatu teori atau sistem nilai-nilai moral; (2)

studi tentang sifat umum dari moral dan pilihan-pilihan moral yang

spesifik yang dibuat oleh seseorang.6

Dari beberapa pengertian etika di atas, dapat disimpulkan bahwa

etika merupakan suatu aturan mengenai baik dan buruk serta benar atau

salah mengenai perilaku yang ditetapkan berdasarkan standar tertentu.

Dalam hal ini memungkinkan adanya perbedaan penerapan etika di setiap

tempat, karena dikembalikan pada standar yang diberlakukan di wilayah

yang bersangkutan. Namun intinya etika memberikan sebuah penilaian

tersendiri terhadap perilaku, apakah dianggap baik atau buruk, maupun

benar atau salah.

Menurut Zulkarimein Nasution setidaknya ada dua alasan mengapa

etika tumbuh di masyarakat yaitu: (1) pada hakikatnya manusia sadar

bahwa mereka butuh dan ingin berbuat baik sehingga secara otomatis

4

Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), h. 27

5

Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 84 6

(34)

sebenarnya manusia memiliki potensi untuk berperilaku baik; (2) karena

adanya kesadaran akan kebutuhan dan keinginan untuk berperilaku baik

tersebutlah maka sudah selayaknya ditegakkan aturan berperilaku dengan

konsekuensi mendapat sanksi sosial bagi pihak yang melanggar.7

Aturan perilaku yang terbentuk itulah yang kemudian disebut sebagai

etika. Adapun kemungkinan buruk akan adanya sanksi sosial kepada pihak

yang dianggap melanggar etika adalah karena meskipun pada hakikatnya

manusia ingin berperilaku baik, namun tidak dapat dipungkiri bahwa

masih banyak juga manusia yang tidak mengindahkan hakikat tersebut

dengan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap sebagai tindakan

yang tidak seharusnya.

Terdapat banyak etika dalam kehidupan manusia, salah satunya

adalah etika pers. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya terkait

pengertian etika yang terkait dengan hal baik dan buruk, maka dapat

dikatakan bahwa etika pers merupakan hal yang dianggap baik maupun

buruk dalam kehidupan pers. Bahkan menurut Franz Magnis-Suseno, etika

pers menyangkut peranan dan tanggung jawab pers dalam masyarakat

modern.8

Peranan dan tanggung jawab pers yang paling utama dalam

masyarakat tentunya adalah menyampaikan informasi. Karena itulah pers

dituntut untuk menyajikan informasi yang berorientasi pada kebenaran.

7

Zulkarimein Nasution, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, h. 20-21 8

(35)

B. Moral dan Moralitas

Istilah “moral” berasal dari bahasa latin “mos”, dan jamaknya adalah

“mores” yang artinya adat, kebiasaan.9

Secara etimologis makna kata

“moral” sama dengan “etika” meskipun bahasa asalnya berbeda. Kata

“etika” berasal dari bahasa Yunani, sedangkan “moral” berasal dari bahasa

Latin. Adapun menurut KBBI, moral adalah: (1) ajaran tentang baik buruk

yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan

sebagainya; (2) kondisi mental yang membuat orang tetap berani,

bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan

yang dapat ditarik dari suatu cerita.10

Secara epistemologis, atau pengertian yang lebih luas, moral

memiliki beberapa arti, yakni: (1) ajaran tentang baik dan buruk yang

diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; (2)

kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah,

berdisiplin, dan sebagainya; (3) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari

suatu cerita.11

Sedangkan “Moralitas” yang berasal dari bahasa Latin moralis

mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada

lebih abstrak. Jika berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya

segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya.Moralitas adalah sifat

9

Sudirman Tebba, Etika Media Massa Indonesia, h. 10 10

KBBI Online, “Moral”, pengertian kata diakses pada 16 Mei 2016 dari

http://kbbi.web.id/moral 11

(36)

moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan

buruk.12

C. Surat Kabar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), surat kabar adalah

“lembaran-lembaran kertas bertuliskan berita dan sebagainya”.13 Di

masyarakat, surat kabar dikenal juga dengan nama koran. Apriadi

Tamburaka mengatakan “surat kabar atau koran merupakan media massa

paling tua sebelum adanya film, radio, dan televisi. Media yang satu ini

hanya dapat dinikmati oleh mereka yang melek huruf atau mampu baca

tulis”.14

Apriadi juga mengungkapkan bahwa pelanggan surat kabar biasanya

berasal dari golongan menengah ke atas yang berpendidikan tinggi dan

juga dari kelompok pekerja kantoran yang mapan.15 Mereka yang berada

pada golongan menengah ke atas dan kelompok pekerja kantoran biasanya

memiliki pendidikan tinggi, yang secara otomatis tentunya mereka melek

huruf sehingga dapat menikmati surat kabar. Selain itu, masyarakat yang

ada pada golongan ini juga biasanya melek informasi dan merasa butuh

akan informasi, khususnya informasi yang sesuai dengan bidang yang

mereka geluti.

12

K. Bertens, Etika, h. 6 13

KBBI Online, “Surat Kabar”, pengertan kata diakses pada 6 Mei 2016 dari

http://kbbi.web.id/surat%20kabar 14

Apriadi Tamburaka, Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa,

(37)

Sebagai media cetak, kelebihan surat kabar adalah sebagai catatan

tertulis yang dapat mendokumentasikan suatu peristiwa yang pernah

terjadi.16 Berbeda dengan televisi dan radio yang siarannya hanya dapat

dinikmati dalam sekali waktu, karena bentuknya berupa lembaran kertas

yang tercetak, surat kabar dapat disimpan dan jika sewaktu-waktu kembali

dibaca, peristiwa yang pernah disajikan tetap terdokumentasi di sana.

Pada dasarnya surat kabar memiliki sifat profesionalisme untuk

menekankan akurasi dan objektivitas pemberitaan.17 Tentu sikap

profesionalisme jurnalisme seperti itu adalah harapan masyarakat selaku

konsumen informasi. Namun pada kenyataannya dengan berbagai macam

alasan, ada sebagian surat kabar yang terkadang tidak lagi peduli pada

akurasi dan objektivitas pemberitaan, bahkan lebih mengutamakan

keuntungan.

Persoalan yang dihadapi surat kabar saat ini adalah kompetisi berupa

persaingan, baik dengan sesama platform media cetak maupun dengan

media elektronik.18 Namun persaingan ini tidak begitu menggairahkan lagi

karena munculnya konglomerasi media di abad ke 20, sehingga surat kabar

akan mewakili satu komunitas tertentu.19 Jika surat kabar menjadi

perwakilan dari komunitas tertentu, tidak dapat dipungkiri akan memiliki

keberpihakan. Pers hanya akan menjadi alat pewujud tujuan sang

empunya.

16 Elisa Zakaria, “Surat Kabar”, artikel diakses pada 25 Juni 2016 dari http://elisazakaria18.blogspot.co.id/2016/03/surat-kabar.html

17

Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 50 18

Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 137 19

(38)

Robert McChesney mengatakan “ketika kepemilikan secara nasional

terkonsentrasi pada bentuk rantai, jurnalisme menjadi refleksi kepentingan

para pemilik dan pengiklan daripada ragam kepentingan dari sebuah

masyarakat”.20

Salah satu kepentingan para pemilik adalah untuk memperoleh

keuntungan sebanyak-banyaknya. Karena itulah tak heran jika akhirnya

surat kabar rela mengganti ruang pada halaman koran, yang seharusnya

dapat digunakan untuk memuat berita, dengan iklan. Hal ini disebut

sebagai komersialiasi media.21 Dengan menempatkan iklan pada kolom di

surat kabar, secara otomatis kuantitas berita akan menurun. Padahal tujuan

utama dari penerbitan surat kabar adalah untuk menyampaikan informasi

kepada masyarakat.

D. Empat Teori Pers

Menurut Haris Sumadiria, Pers seringkali dianggap sama dengan

jurnalistik meski sebenarnya tidak.22 Anggapan adanya kesamaan antara

pers dan jurnalistik ini mungkin dapat terjadi karena adanya hubungan

yang sangat erat antar keduanya. Hubungan yang erat tersebut tentu

terjalin karena pers dan jurnalistik berada dalam ruang lingkup yang sama,

yakni mengenai pemberitaan.

20

Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 139 21

Apriadi Tamburaka, LIterasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, h. 139 22

(39)

Haris Sumadiria dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik Indonesia

Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional” juga

mengatakan bahwa “jurnalistik menunjuk pada proses kegiatan, sedangkan

pers berhubungan dengan media”.23 Dengan demikian perbedaan antara

pers dan jurnalistik dapat terlihat dari spesialisasi yang dimiliki. Seperti

yang telah disebutkan bahwa jurnalistik adalah bagian dari proses kegiatan

wartawan mengumpulkan informasi, sedangkan pers adalah media yang

menampung ataupun menyalurkan pemberitaan. Dalam hal ini terlihat

bahwa jurnalistik fokus kepada objek manusia, sedangkan pers lebih

kepada wadah media itu sendiri.

Dengan adanya hubungan yang erat dan saling berkesinambungan

antara pers dan jurnalistik, maka muncullah apa yang disebut dengan

jurnalistik pers. Jurnalistik pers ini dapat diartikan sebagai proses kegiatan

mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat, dan menyebarkan

berita melalui media berkala pers kepada masyarakat.24 Keduanya saling

melengkapi satu sama lain. Jurnalistik tanpa pers akan menyebabkan

kegiatan pencarian berita sia-sia karena tidak sampai kepada masyarakat.

Pers tanpa jurnalistik juga akan pincang karena tidak memiliki bahan

informasi untuk disampaikan.

Kembali pada teori pers, di dunia ini terdapat empat macam teori

pers yang muncul seiring berjalannya waktu sesuai dengan keadaan,

23

Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 1

24

(40)

situasi, serta kondisi yang terjadi pada masa perkembangannya. Keempat

teori pers tersebut di antaranya adalah teori pers otoriter, teori pers

liberal, teori pers bertanggung jawab sosial, dan teori pers komunis

Soviet.25Keempat teori pers ini seperti yang telah disebutkan sebelumnya,

berkembang sesuai dengan keadaan, situasi, serta kondisi yang terjadi pada

masa perkembangannya masing-masing.Hal ini tentu menyebabkan

adanya perbedaan dari masing-masing teori pers tersebut.

Dalam buku “Empat Teori Pers” yang merupakan terjemahan dari

buku “The Four Theories of the Press” diungkapkan bahwa perbedaan

-perbedaan di antara keempat teori pers: “sebagiannya mencerminkan

kemampuan sebuah negara dalam membiayai persnya, kesederhanaan dan

sumber daya mekanik yang dapat mendukung komunikasi massa,dan

tingkat urbanisasi relatif yang menyebabkan sirkulasi media massa

sekaligus lebih mudah dan lebih diperlukan”.26

Selain perbedaan, teori pers Otoritarian, Libertarian, Tanggung

jawab Sosial, serta Komunis Soviet juga memiliki keterkaitan. Teori

Komunis Soviet merupakan pengembangan dari teori Otoritarian,

sedangkan teori Tanggung jawab Sosial merupakan pengembangan dari

teori Libertarian.27 Berikut adalah penjabaran lebih lanjut mengenai

keempat teori pers tersebut:

25

Menurut Siebert seperti dikutip dalam Wahyu Wibowo, Menuju Jurnalisme Beretika, (Jakarta: Kompas, 2009), h. 172

26

(41)

1. Teori Pers Otoritarian

Teori pers yang pertama yakni teori pers otoritarian. Otoritarian

berasal dari kata otoriter, yang menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia berarti “berkuasa sendiri, sewenang-wenang”.28 Dari

pengertian tersebut dapat terlihat bahwa dalam teori pers otoritarian

terdapat pihak yang memiliki kuasa yang lebih dibandingkan dengan

pihak lainnya.

Teori pers Otoritarian secara jelas berpendapat, bahwa negara, ekspresi tertinggi dari kelompok organisasi manusia, mengungguli perorangan dalam skala nilai, karena tanpa negara orang-perorangan tidak sanggup mengembangkan atribut-atribut manusia yang berbudaya.Ketergantungan perorangan terhadap negara dalam mencapai dan mengembangkan peradaban, muncul sebagai formula umum dari semua sistem otoritarian.29

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa teori pers

Otoritarian menganggap negara memiliki kedudukan tertinggi

dibandingkan dengan sekelompok manusia yang tinggal dalam negara

tersebut. Hal ini dikarenakan manusia tidak akan dapat

mengembangkan atribut kemanusiaannya seperti budaya tanpa negara.

Ketidakmampuan manusia mengembangkan diri dan kehidupan tanpa

adanya negara inilah yang menunjukkan adanya ketergantungan

manusia. Karenanya kedudukan negara menjadi lebih tinggi dibanding

manusia itu sendiri. Hal semacam ini adalah formula umum dalam

28

KBBI Online, “Otoriter”, pegertian diakses pada 24 Juni 2016 dari

http://kbbi.web.id/otoriter 29

(42)

sistem otoritarian karena dalam sistem ini semua pihak termasuk pers

harus tunduk kepada negara.

Pada awal perkembangannya, teori pers otoritarian digunakan

oleh semua negara di Eropa Barat sebagai pondasi teoritis untuk sistem

pengawasan terhadap pers, dan hingga kini telah menjadi doktrin dasar

bagi sebagian besar dunia selama berabad-abad.30 Pers otoritarian

dianggap dapat memberikan pengawasan terhadap pers karena seperti

yang telah disebutkan sebelumnya bahwa negara memiliki kedudukan

tertinggi dibandingkan organisasi kelompok manusia, sehingga segala

atribut manusia termasuk pers harus tunduk terhadap negara.Hal ini

secara otomatis tentu akan memberi kemudahan kepada negara untuk

melakukan pengawasan.

Fred S. Siebert mengatakan bahwa “teori Otoritarian memberikan

jawaban yang sama terhadap problem-problem filosofis yang lebih

mendasar, tentang hakikat pengetahuan dan kebenaran”.31 Hakikat

pengetahuan dan kebenaran yang dimaksud tentu memiliki keterkaitan

dengan peran pers yang berjalan di negara yang menganut teori

otoritariantersebut. Pengetahuan yang bukan berasal dari Tuhan seperti

agama didapat dari hasil usaha manusia dan Fred berpandangan bahwa

usaha ini sudah selayaknya disalurkan melalui negara demi kebaikan

semua orang agar pengetahuan yang didapat tersebut dapat menjadi

30

(43)

patokan seluruh masyarakat yang pada akhirnya memunculkan

kebaikan.32

Teori pers Otoritarian ini rupanya juga mendapat perhatian dari

ilmuwan lain seperti Plato. Filsuf Yunani Kuno ini memiliki keyakinan

bahwa masyarakat ideal akan terbentuk dalam negara yang membentuk

dan memaksakan tujuan politik dan kultural.33 Hal ini secara tidak

langsung menyiratkan bahwa Plato mendukung teori pers Otoritarian

yang menjadikan negara sebagai pemangku kedudukan tertinggi

dibanding sekelompok organisasi manusia. Dalam keyakinannya

tersebut Plato jelas-jelas beranggapan bahwa peran negara amat besar

dalam membentuk masyarakat ideal. Dapat disimpulkan bahwa

keyakinan Plato ini memiliki makna bahwa dengan adanya paksaan

dari negara, masyarakat akan lebih terkontrol sehingga masyarakat

ideal sesuai harapan negara akan terwujud.

Terlepas dari adanya tujuan dan harapan negara, teori pers

otoritarian memiliki sistem pengawasan terhadap media massa yang

ada di negara penganutnya. Dalam hal ini otoritarian memiliki filsafat

utama yang diperlihatkan dalam berbagai bentuk pengorganisasian

pemerintah yang memiliki banyak variasi namun tetap memiliki

kesamaan dalam karakteristik pengawasannya.34

Salah satu bentuk pengawasan negara terhadap media massa

dalam teori pers otoritarian ini adalah berupa pemberian paten kepada

32

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 11 33

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 12 34

(44)

orang yang terlibat dalam proses penyajian berita kepada masyarakat.

Pemberian paten ini juga tidak sembarang dilakukan. Paten atau yang

bisa disebut sebagai izin khusus pada pemberlakukan pers otoritarian

ini hanya diberikan kepada pihak yang disukai oleh pemerintah dan

dinilai dapat mendukung kebijakan negara.35

Fred S. Siebert memaparkan bahwa di Inggris, sistem paten ini tumbuh dengan baik selama 200 tahun. Dalam periode panjang itu, jelas terlihat bahwa metode ini lebih sukses dari metode yang lain. Sistem ini mencapai puncaknya ketika dibentuk sebuah organisasi para

pemegang paten atau para pencetak “yang punya hak khusus” (dikenal

dengan nama Stationers' Company) yang melalui para pegawai dan anggotanya dapat mengawasi perdagangan barang-barang cetakan, praktis tanpa biaya negara.36

Namun kesuksesan sistem pengawasan dengan menggunakan hak

paten tersebut rupanya tidak bertahan selamanya. Di akhir abad 17

sistem ini mengalami keruntuhan.37 Hal ini menunjukkan bahwa tak

ada yang abadi dalam dunia ini. Bahkan sistem yang telah berhasil

bertahan selama ratusan tahun pun akhirnya runtuh. Hal ini tentu

dipengaruhi juga oleh keadaan, situasi, serta kondisi yang terus

berkembang seiring perubahan zaman.

Sistem lain yang juga sempat diterapkan adalah berupa sistem

lisensi. Sistem lisensi atau yang disebut juga sebagai sistem

“penyensoran” pada abad ke 17 dan 18 ini digunakan untuk karya

-karya perorangan, yang sempat diterapkan di negara-negara Eropa

35

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 21-22 36

(45)

Barat.38 Jika dilihat dari namanya, sistem penyensoran tentu akan

membatasi aktivitas pemberitaan. Lagi-lagi segala hal yang disajikan

tentu harus mampu mendukung kebijakan dan tujuan negara. Melalui

sistem ini pula negara tetap dapat melakukan pengawasan terhadap

pers.

Selain sistem paten dan lisensi, pengawasan pers dengan sistem

otoritarian juga menggunakan cara pendakwaan. Pengawasan dengan

metode yang berkembang saat monopoli negara dan sistem lisensi

tidak lagi mampu mengawasi pers ini, dilakukan di depan pengadilan

terhadap pihak yang dianggap melanggar aturan, yang tentunya telah

dibuat oleh negara.

Metode pendakwaan ini tentu berkaitan dengan hukum. Menurut

Fred S. Siebert, dua masalah tradisional mengenai hal ini dalam bidang

hukum yakni berupa penghianatan (treason) dan hasutan (sedition).39

Dalam hal penghianatan, terdapat tiga hal yang dianggap sebagai

perilaku penghiatan yakni (1) usaha menggulingkan negara, (2) terlibat

dalam kegiatan yang dapat mengarah kepada penggulingan negara, dan

(3) mendukung serta menganjurkan kebijaksanaan yang dapat

mengarahkan kepada penggulingan negara.40

Jika diperhatikan, inti dari tindakan yang dianggap sebagai

penghianatan terhadap negara adalah hal-hal yang dapat mengancam

38

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 23 39

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 25

(46)

keamanan negara, berupa penggulingan negara. Mengingat pandangan

otoritarian yang menganggap bahwa negara memiliki kedudukan

tertinggi, tentu menggulingkan negara adalah hal yang tidak pantas

dilakukan. Sebaliknya, seluruh masyarakat termasuk pers yang berada

dalam suatu negara tersebut haruslah mendukung tujuan serta

kebijakan yang dimiliki negara.

Masalah lain pada hukum dalam metode pendakwaan adalah

hasutan. Jika telah disebutkan sebelumnya bahwa tindakan

penghianatan berkaitan dengan tindakan penggulingan negara, maka

tindakan menghasut lebih kepada perkara-perkara kecil yang dilakukan

oleh seseorang yang dianggap menentang penguasa.41

Baik penghianatan ataupun penghasutan, keduanya sama-sama

tindakan yang dianggap dapat mengancam kedudukan negara, dan juga

penguasa selaku pemimpin negara. Hal ini wajar dimasukan ke dalam

ranah hukum dalam sistem otoritarian, mengingat sistem ini memang

memandang posisi negara lebih tinggi dibanding yang lainnya,

sehingga tidak ada pihak yang diperkenankan untuk mengganggu hal

tersebut.

(47)

2. Teori Pers Libertarian

Teori pers libertarian berangkat dari konsep liberal atau

kebebasan.42 Teori ini mulai tumbuh pada abad ke 17, kemudian mulai

benar-benar hadir di abad ke 18 serta berkembang di abad ke 19.43

Fred S. Siebert dalam buku “The Four Theories of the Press” yang

telah diterjemahkan dalam buku berjudul “Empat Teori Pers”

mengatakan bahwa:

Abad ke 18 merupakan abad di mana prinsip-prinsip pers secara keseluruhan beralih dari otoritarian ke libertarian. Pada awal abad itu sistem pengawasan pers otoritarian sedang sekarat. Kekuasaan kerajaan untuk mengatur pers telah dihapuskan, gereja tidak lagi berfungsi sebagai agen-agen pengatur, dan monopoli negara dalam penerbitan telah dihapuskan. Menjelang akhir abad itu, prinsip-prinsip libertarian disisipkan di hukum dasar dan kalimat Undang-Undang yang melindungi kebebasan berbicara dan kebebasan pers.44

Selain Fred S. Siebert, tokoh lain yang juga turut berpengaruh

terhadap perkembangan teori pers libertarian ini adalah Thomas

Jefferson. Filsuf sekaligus negarawan ini memiliki keinginan agar

pemerintahan memberi kesempatan kepada setiap orang karena ia

memiliki keyakinan meskipun warga negara secara individual

memiliki kemungkinan melakukan kesalahan, namun suatu kelompok

akan mampu membuat keputusan yang tepat.45

Dalam masing-masing pernyataannya, baik Fred S. Siebert

maupun Thomas Jefferson sama-sama mengakui bahwa warga negara

(48)

sudah selayaknya diberikan kebebasan berbicara dan membuat

keputusan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan pandangan

otoritarian yang menganggap negara memiliki kedudukan tertinggi

sehingga manusia harus tunduk kepada negara. Kemunculan libertarian

sebagai tanda keruntuhan otoritarian membentuk sejarah baru

perkembangan teori pers dunia.

Dengan pandangan manusia perlu diberi kesempatan untuk

memiliki kebebasan, Thomas Jefferson mengungkapkan bahwa untuk

mempersiapkan semua itu maka setiap orang memerlukan pendidikan

dan diberikan informasi.46 Bahkan menurut Thomas Jefferson, “Fungsi

pers adalah untuk berpartisipasi dalam pendidikan orang-perorangan

dan pada saat yang sama juga menjaganya dari penyimpangan oleh

pemerintah dari tujuan-tujuannya semula”.47 Melihat hal tersebut, tentu

pers perlu memiliki kebebasan dari pengawasan pemerintah agardapat

melaksanakan fungsinya dengan lebih leluasa. Bahkan dalam

pernyataan itu disebutkan bahwa pers harus menjaga penyimpangan

pemerintah dari tujuannya semula. Hal ini tentu tidak mungkin dapat

terlaksana jika negara masih mengungkung kebebasan pers.

Di bawah konsep libertarian, fungsi media komunikasi massa adalah untuk memberi informasi dan menghibur. Fungsi ketiga dikembangkan sebagai suatu korelasi dengan dua fungsi sebelumnya, untuk mempersiapkan suatu basis pendukung ekonomi dan yang karenanya dapat menjamin ketidaktergantungan finansial.Fungsi ini adalah fungsi penjualan dan periklanan. Secara dasarnya, tujuan dari media adalah untuk menolong menemukan kebenaran, membantu

46

(49)

penyelesaian masalah-masalah politik dan sosial dengan mengetengahkan semua bentuk bukti dan opini sebagai dasar pembentukan keputusan.48

Dari pemaparan tersebut kita dapat mengetahui bahwa fungsi

media dalam konsep libertarian fokus terhadap pelayanan yang

dilakukan oleh media itu sendiri terhadap semua pihak yang

membutuhkannya. Dalam teori pers libertarian, media atau bisa kita

sebut sebagai pers tentu harus memiliki kebebasan dari tekanan atau

pengaruh apapun agar dapat memberi sajian yang bebas dari campur

tangan pihak lain terutama pemerintah. Bahkan pers itulah yang

memiliki hak dan tugas untuk mengawasi pemerintah agar para pejabat

pemerintah tidak menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki.49

3. Teori Pers Tanggung Jawab Sosial

Teori pers tanggung jawab sosial mulai berkembang sejak abad

ke 20 saat secara bertahap orang-orang mulai menjauhi libertarianisme

murni.50 Asumsi utama dari teori pers tanggung jawab sosial ini adalah

bahwa kebebasan dan pers harus bertanggung jawab kepada

masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi

massa dalam masyarakat modern.51 Dalam hal ini dikatakan bahwa

tanggung jawab sosial yang dimiliki pers harus dilaksanakam kepada

48

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 57 49

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 63 50

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 83 51

(50)

masyarakat, karena masyarakat itu sendiri lah yang menjadi target

penerima informasi.

Adapun fungsi-fungsi komunikasi massa yang harus

dilaksanakan pers terkait dengan tanggung jawabnya kepada

masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pers diantaranya

melayani sistem politik, memberi penerangan kepada masyarakat,

menjadi penjaga hak perorangan, melayani sistem ekonomi,

menyediakan hiburan, dan mengusahakan sendiri biaya finansial.52

Kembali kepada asumsi dasar teori pers tanggung jawab sosial

yang menyebutkan bahwa kebebasan pers harus bertanggung jawab

kepada masyarakat, hal ini jelas menunjukkan bahwa kebebasan yang

dimiliki pers merupakan kebebasan yang terbatas. Pers harus

mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di masyarakat terkait

pemberitaan yang dimuat. Kebebasan yang dimiliki pers adalah

kebebasan dengan aturan. Masyarakat itu sendiri lah yang menjadi

pengontrol dari kebebasan yang dimiliki pers.

Teori pers tanggung jawab sosial juga merupakan kelanjutan dari

teori pers libertarian yang mendewakan kebebasan individu termasuk

pers. Jika dalam teori pers libertarian para warga negara

memperjuangkan kebebasan pers dari tekanan dan pengawasan

pemerintah, dalam teori pers tanggung jawab sosial pers justru

(51)

mendapat “tekanan” baru berupa tanggung jawab kepada masyarakat

sosial.

Ada dua teori mengenai masyarakat: teori individualistis dan

teori kolektivistis. Teori individualistis berpandangan bahwa individu

lebih penting dibandingkan masyarakat. Sebaliknya, teori kolektivistis

menganggap bahwa masyarakat lebih penting dibandingkan individu.53

Teori tanggung jawab sosial memperlihatkan adanya penggabungan pemikiran seperti itu. Ini bukanlah berarti bahwa teori tanggung jawab sosial pada titik ekstremnya menunjukkan kecenderungan ke arah totalitarianisme. Sebaliknya, teori ini menganggap tanggung jawab sosial media sebagai benteng terhadap totalitarianisme.54

Sementara itu Lukman Solihin dalam artikel yang berjudul

“Etnografi Sejarah Koran Kuning (1) menyebutkan bahwa:

Totalitarianisme merupakan sistem sosio-politis yang ditandai campur tangan secara lalim oleh negara yang bersifat otoriter dan birokratis dalam kehidupan masyarakat dan individu-individu. Dengan kata lain, sistem ini meletakkan martabat tertinggi pada negara yang menguasai segala golongan dalam masyarakat dalam segala bidang: politik, ekonomi, ilmu, agama, dan sebagainya.55

Dalam teori tanggung jawab sosial, pers memiliki beberapa

tuntutan terhadap pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal ini Komisi

Kebebasan Pers telah menyebutkan lima hal yang dituntut masyarakat

modern kepada persnya dan tuntutan-tuntutan tersebut merupakan

ukuran pelaksanaan kegiatan pers.56 beberapa tuntutan yang dimiliki

pers tersebut diantaranya: (1) pers dituntut untuk menyajikan laporan

53

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 93 54

Fred S. Siebert, dkk, Empat Teori Pers, h. 93

55 Lukman Solihin, “Etnografi Sejarah Koran Kuning (1)”, artikel diakses pada 26 April 2016 dari http://arti-definisi-pengertian.info/arti-totalitarianisme/

56

Gambar

GAMBARAN UMUM
Tabel 2.1 perbedaan empat teori pers secara umum
gambar, foto, suara
gambar dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun yang khusus memuat informasi berita saja, dari keseluruhan isi surat kabar sebanyak sekitar 60- 70%.(Koesworo;1994:72). Pers mempunyai peran penting dalam masyarakat. Peran

Landasan teori yang digunakan pada penelitian ini antara lain : teori segitiga makna Charles Sanders Pierce, Kritik Sosial, Kartun dan Karikatur, Karikatur dalam Surat Kabar,

Mareta Ramadhani Muradi, D0210071, Pandangan Pers terhadap Pengunduran Diri Pejabat (Analisis Wacana Pengundura Diri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu dalam Tajuk Rencana Surat

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa wartawan Harian Tribun Timur Makassar sepenuhnya memahami Kode Etik Jurnalistik pasal 6 mengenai penyalahgunaan profesi

REPRESENTASI “KELAMBATAN KERJA” (Studi Semiotik Representasi Kelambatan Kerja Dalam Karikatur ”100 Hari Pemerintahan SBY-Budiono” Di Surat Kabar Jawa