A Comparative Political Case Study:
AKTUALISASI POLITIK ISLAM:
PERBANDINGAN POLA ‘ISLAMISASI’ DI
INDONESIA DAN MALAYSIA
Comparative Study: Islamizations Policy in Indonesia and Malaysia, the
Implications for Democratic Governance
Disusun oleh:
Anggina Mutiara Hanum
1406517960
PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
Abstract
In the Malay World (South East Asia region), 90 percent of over 250 million of its population are Muslims. This makes Islam the most powerful religion in the region. Indonesia and Malaysia are the two largest majority Muslim nation-states in Southeast Asia, both known as homes to approximately one-fifth of the world’s Muslim population; Indonesia (total population 243 million, 86 percent Muslim) and Malaysia (total population 26 million, 60 percent Muslim). In terms of scale, Islam has the largest number of adherents compared to other religions in Indonesia and Malaysia.
LATAR BELAKANG
Hubungan antara Islam dan demokrasi masih menjadi tema perdebatan yang
menarik bagi politik modern. Di Indonesia sendiri wacana yang berkembang lebih
banyak menyangkut pro-kontra penerapan atau formulisasi syari’at Islam. Perdebatan
ini tidak pernah membuahkan solusi yang dapat diterima semua kalangan.
Ada dua faktor yang menyebabkan perdebatan seputar formalisasi syari’at
Islam tampak stagnan. Pertama, pandangan yang pro ataupun yang kontra terjebak
pada argumentasi-argumentasi yang umum, misalnya argument bahwa Islam adalah
agama yang sempurna dan penerapan hukum syari’at merupakan tuntutan
kesempurnaan itu. Faktor kedua, yaitu kecenderungan untuk mengusung tafsir syari’at
Islam yang humanis supaya terlihat tidak bertentangan dengan konsep-konsep
modern, seperti HAM, demokrasi dan civil society.1
Kemudian, wacana yang berkembang di tahun 1970-an, adanya permintaan
tuntutan penegakan prinsip-prinsip tertentu Syariah sebagai hukum resmi negara,
umumnya dikenal sebagai kebangkitan "Islam politik."2Ketegangan antara realitas sistem hukum nasional sekuler, di satu sisi, dan tuntutan populer untuk penegakan
syariah oleh Negara Islam, di sisi lain, adalah latar belakang umum dan konteks
perdebatan kontemporer mengenai hubungan Islam dengan negara, Hukum Islam
dengan pemerintahan yang demokratis dan penegakkan hak-hak asasi manusia.
Perdebatan-perdebatan tersebut terus dilakukan sebagai upaya untuk
menemukan satu basis ideologi Islam yang dapat diterima oleh semua kalangan di
dunia Islam, para pemikir dari berbagai kalangan masyarakat muslim mulai
merambah agenda-agenda alternative untuk dapat merekonsiliasi perbedan-perbedaan
1
Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Islam, Demokrasi, dan Kultur Politik.”Gugus Press. Hal. 3
2
Abdullahi An-Na'im, Human rights and the rise of political Islam. [article online].
yang dimiliki berbagai kelompok kebangkitan Islam dalam pembangunan Politik
Modern.
Politik Islam di seluruh Negara-negara Muslim sejak era 1970-an hingga abad
ke 21 mengalami banyak perubahan yang sangat penting. Tahun 1970-an gerakan
kebangkitan Islam (revivalism) mulai memainkan peran politik yang cukup besar di
negaranya masing-masing.3Sampai dewasa ini terus dilakukan pembaharuan Islam dan gerakan kebangkitan Islam, dimana melibatkan partisipasi politik yang besar
untuk memperkuat praktik politik Islam dalam Nation-State.
Memasuki kawasan The Malay World—Indonesia dan Malaysia sebagai wilayah kajian—secara ontologis, terdapat dua bentuk politik Islam yang berkembang, yaitu ‘embedded practice’ dan ‘political/global imagination’.4 Persoalan yang timbul kemudian datang dari Political Imagination, yang menyatakan bagaimana syariah laws should be the sole source of law as well as the norm for individual behavior, both for the sovereign and the simple believer. Problematika politik Islam dari sebuah orientasi pemikiran baru yang berusaha untuk
melegitimasikan Islam sebagai 'sistem politik' dan ‘hukum negara’.
Kajian ilmiah ini akan membandingkan perkembangan isu-isu politik Islam di
Indonesia dan Malaysia, dengan komparasi proses ‘Islamisasi’ sebagai Gerakan
Islamic Revivalism yang juga merupakan bagian dari Politik Islam yang diterapkan di
kedua Negara. Dan menganalisa apakah proyek demokratisasi akan banyak
terpengaruh dari kedua proses tersebut; implikasi yang ada terhadap penegakan
nilai-nilai HAM.
3
Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks
Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia.]
4
I. ISLAM, DEMOKRASI DAN NEGARA: WACANA INTELEKTUAL
Sejak perang dingin berakhir dan dunia memasuki abad ke dua puluh, salah
satu isu paling populer yang muncul ke permukaan secara masif dan
berkesinambungan secara terus-menerus hingga ke masa ini adalah demokratisasi.
Demokrasi muncul sebagai ikon yang bersifat hegemonik,5 dalam artian bahwa tidak
ada satu Negara yang bisa mengelak dari tuntutan demokrasi.
Di tengah arus demokratisasi yang terjadi dimana-mana itu, pada mulanya
dunia Islam tidak menjadi bagian karena dianggap bahwa dunia Islam tidak memilik
prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi
yang cukup. Pada prakteknya terjadi resistensi yang cukup kuat terhadap arus
demokratisasi di dunia Islam, karena pada hakikatnya demokrasi membawa spirit
sekularisasi,6 yang dianggap mengingkari ajaran-ajaran Islam, sehingga tidak akan
berjalan mulus. Pandangan tersebut dipertegas dengan tesis Samuel P. Huntington,
melalui bukunya ‘The Third Wave’, dimana ia menyatakan keraguan akan ajaran Islam dapat sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi barat.
Dalam konteks Indonesia dan Malaysia, pada tahun 2001 Freedom House
menerbitkan satu laporan yang mengkategorisasikan Indonesia dan Malaysia dalam
Negara-negara Islam yang ‘partly free’, yaitu Negara-negara yang masih memiliki potensi keberhasilan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam Negaranya.
Sementara hampir semua Negara di timur tengah masuk ke dalam kategori “not free”
artinya tidak demokratis. Hal tersebut disimpulkan secara dramatis oleh Freedom House melalui studi mereka Freedom in the World 2001-2001, menyatakan bahwa ‘a non-Islamic country is more than three times likely to be democratic than an Islamic
5
Demokrasi di prakarsai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Dikutip dari tulisan Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Pengalaman Baru Muslim Dalam Transisi Indonesia.” Gugus Press. Hal. XIII
6
state.’7Penilaian dalam konteks global sedemikian rupa tidak dibenarkan oleh banyak Intelektual dan aktivis Muslim, dimana mereka malah berpendapat sebaliknya.
Kendati sebagai ‘praktik’, prinsip demokrasi barat terbilang asing bagi
sebagian kaum Muslim pada waktu itu maupun dewasa ini, namun pengertian atau
konsep demokrasi yang sesungguhnya tidaklah asing bagi pemikiran Islam.8 Sejumlah
aktivis gerakan HAM dan demokrasi di seluruh dunia Muslim, menyadari bahwa
prinsip-prinsip demokrasi sudah ada di dalam inti cita-cita dan pemikiran Islam.
Bahkan menurut kelompok tersebut, diperlukan tindakan untuk
mengembangkan beberapa prinsip ini dalam sistem politik yang moden. Demokrasi
bukanlah warisan yang diberi oleh Islam, namun bagi kaum Muslim Modernis
(Moderate), gagasan mengenai demokrasi harus didukung dan secara aktif
dipromosikan melalui pembaharuaan pendidikan dan pendiriaan institusi-institusi
sosial yang dapat mendorong kesadaran demokratis dan mendukung partisipasi
masyarakat madani / civil society yang lebih besar dalam bidang politik dan agama.9 Seiring dengan berjalannya waktu proses demokratisasi di melibatkan banyak
wacana intelektual baru yang mewarnai hubungan antara kelompok Islam dan
pemerintahan demokratis, making berkembang Gerakan political Islam yang disebut dengan Islamic Revivalism, dimana gerakan tersebut mengusung agenda sosial-politik yaitu ‘islamisasi’, parktik kebijakan politik Islam yang diterapkan di kedua Negara
kajian; Indonesia dan Malaysia. Kendati memiliki kesamaan dalam sumber konsepsi
nilai-nilai kepercayaan, dalam proses islamisasi kedua Negara memiliki perbedaan
yang mencolok.
7
Demokrasi di prakarsai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Dikutip dari tulisan Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Pengalaman Baru Muslim Dalam Transisi Indonesia.” Gugus Press. Hal. XV
8
(Osman 1994, 1996; Kamali 1994, 1999a, 1999b), artikel Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Hal. 242
9
•A ‘POLITICAL ISLAM’ PERSPECTIVES
o Politik Islam mengandung pengertian sebagai aktivitas politik umat Islam
yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.
o Politik Islam menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, dengan
menggunakan prinsip-prinsip Islam dan istilah-istilah keislaman dalam
peraturan dasar Negara, organisasi, nilai-nilai perjuangan serta wacana politik
yang diusung.
o Politik Islam sebagai hasil percampuran Islam dengan kekuasaan kelompok
dan Negara yang bertujuan untuk melahirkan sikap dan perilaku politik
(political behavior) serta budaya politik (political culture) yang orientasinya berlandaskan kepada nilai-nilai Islam secara menyeluruh.10
o Pndangan umum yang disebut political imagination.11Imajinasi politik ini dalam pengertian universalnya diartikan sebagai tumbuhnya suatu keyakinan
akan ketidaterpisahan antara wilayah agama, hukum dan politik.
o Dua bentuk politik Islam yang berkembang di wilayah The Malay World, yaitu
‘embedded practice; scripturalist/old indigineous form dan ‘political/global imagination: proposes as its ultimate aim the creation of a ‘borderless space’ of global Islamic btotherhood, free of nation-state boundaries’.12
Selanjutnya, ketika aktivitas Politik Islam tersebut masuk kedalam ranah
Pemerintahan Negara Demokratis, kerap kali menjadikan Politik Islam berada di
posisi yang dilematis. Hal ini dikarenakan adanya keraguan secara Global mengenai
kompabilitas Islam dan Demokrasi.
10
M. Din Syamsyudin. 2002. Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2002. 11
Oliver Roy. Dikutip dari artikel; Bahtiar Effendy. 2002. Problematika Politik Islam: Refleksi 3 periode.
12
Islamisasi
Islamisasi adalah proses dimana apa yang dipandang sebagai huku, nilai-nilai,
dan adat kebiasaan islam didorong menjadi lebih bermakna ke dalam Negara,
Masyarakat dan budaya. Islamisasi merupakan gejala kontemporer yang antara lain
terkait dengan era pasca-kolonialisasi dan sebagian dipandang sebagai penegasan
kembali identitas Islam dalam merespon modernisasi.13
Islamisasi merupakan pencarian ideal keislaman. Ini merupakan upaya
mengembalikan Islam yang murni, yang dianggap telah hilang atau rusak sebagai
akibat dominasi kolonialisme Barat. Untuk memahami berbagai gerakan Islamisasi
kontemporer, orang perlu menempatkannya secara historis di dalam konteks
sosio-politik.
Berdasarkan uraian singkat diatas secara singkat, makalah ini akan
mencoba untuk menjawab dua pertanyaan penelitian yang akan dijadikan sebagai
dasar analisa, rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah relasi Islam dengan Negara dari pengalaman historical
cultural di kedua negara?
2. Sejauh apa implikasi yang diakibatkan oleh proses ‘Islamisasi’ yang
merupakan agenda dari politik Islam di masing-masing Negara, ke dalam tatanan
democratic governances dan HAM?
13
(Osman 1994: 123-43), artikel Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Hal. 246
II. PENDEKATAN PLURALISME DEMOKRASI DAN NEGARA
MODERNISME SEBAGAI KERANGKA TEORITIS
Pendekatan Pluralisme Kultural
Michael Walzer (1995) mengacu pada asas non-diskriminasi sebagai model
untuk mengakomodasi pluralism kultural di dalam sebuah Negara. Ia juga
mengusulkan hak-hak kelompok yang memerlukan berbagai langkah untuk
melindungi dan mempromosikan identitas etnis-kultural. Beberapa langkah tersebut
meliputi; kebebasan beragama, hak-hak bahasa, klaim atas tanah, otonomi daerah dan
perwakilan yang dijamin.
Hampir setiap Negara di dunia dewasa ini bersifat pluralistic, Pluralistik dalam
pengertian dan upaya memperjuangkan persamaan serta keadilan sosial dalam
konteks suaru Negara yang ditandai dengan perbedaan dan pluralism menjadi
semakin kompleks dan problematis. Pluralisme merupakan isu normative penting
yang berkaitan dengan demokrasi serta problem dan prospek demokratisasi. 14
Prinsip-prinsip dasar tertentu dalam prosedur demokrasi diperlukan, agar
Negara atau masyarakat mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan kultural dan
historis yang ada. Negara demokratis modern dengan pemerintahan yang
konstitusional juga didasarkan pada prinsip persamaan semua warganegaranya
didepan hukum tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, Gender, bahasa,
agama, pandangan politik atau lainnya.
Demokrasi dan pluralism memang relevan dengan politik, masyarakat dan
budaya di Indonesia maupun Malaysia. Kedudukan sentral Islam di kedua Negara
bisa dikatakan sebagai penegas adanya kompleksitas upaya dalam mengatasi
14
Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.
perselisihan yang berkaitan dengan demokrasi dan pluralism sebagai prosedur dan
ideologi di kehidupan sehari-hari.
Untuk menawarkan solusi kepada berbagai gerakan Islam, dimana baik
anggota kelompok tersebut dan non-moslem bisa menemukan potensi atau inisiatif
yang berarti atas demokratisasi berbasis Islam yang mempromosikan toleransi dan
penghormatan kepada pluralism di dalam komunitas Muslim itu sendiri serta
komunitas-komunitas agama lain di Nation-State yang bersangkutan.
Pendekatan 3 paradigma relasi Agama-Negara
Dalam pemikiran politik Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga paradigma
dalam melihat relasi agama-negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma
simbiotik, dan paradigma sekularistik.15
Bagi paradigma integralistik, agama (Islam) dan negara adalah sesuatu yang
manunggal dan tidak bisa dipisahkan. Islam dimengerti sebagai sebuah totalitas:
agama sekaligus negara (al-Islâm dîn wa dawlah).16 Negara dan kekuasaan politik
menyatu dalam rukun Islam, karena itu menegakkan khilâfah atau imâmah adalah
wajib syar’i. Bentuk negara/pemerintahan Islam adalah teokrasi, sebuah kekuasaan
politik dengan mandat keagamaan. Pandangan ini dianut oleh kaum fundamentalis,
baik dari jalur sunni maupun syi’i.
Paradigma simbiotik memandang agama dan negara secara simbiotik, yakni
berhubungan secara timbal balik dan bersifat komplementer. Agama memerlukan
negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara
15
M. Dien Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 45.
16
memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat tumbuh dalam bimbingan
etika dan moral.17
Paradigma ketiga, yaitu paradigma sekularistik, berada di titik ekstrem
liberal. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik
agama-negara. Bagi paradigma sekularistik, agama dan negara adalah dua wilayah yang
terpisah. Agama merupakan sistem keyakinan yang bersumber dari wahyu sementara
negara adalah sistem sosial yang bersumber dari akal dan pertimbangan rasional. Di
barisan aliran ini, Ali Abdur Râziq berdiri di garis depan. Menurut Râziq, Islam tidak
memberi petunjuk apapun tentang bentuk negara yang harus didirikan umat Islam,
termasuk khilâfah. Baik Qur’an maupun Hadits tidak pernah menyebut khilâfah
dalam pengertian sebagai sistem politik seperti ada dalam sejarah politik Islam.
Manurut Râziq, khilâfah tidak mempunyai dasar, baik dalam Qur’an maupun
al-Hadits.18
Berdasarkan ketiga paradigma di atas, elit-elit Melayu UMNO, seperti
Mahathir, memahami hubungan antara agama dan negara dalam kerangka simbiotik.
Pandangan simbiotik ini sangat berpengaruh dalam menentukan Islam dalam proses
demokratisasi dan dinamika politik Islam di Malaysia, termasuk dalam
keberhadapannya dengan PAS.
17
M. Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep”, op.cit., hal. 47
18
III. PRAKTIK POLITIK ISLAM: RELASI ISLAM DAN AGENDA
‘ISLAMISASI’ DI DUA NEGARA KAJIAN
1. RELASI ISLAM DAN NEGARA
INDONESIA: Perdebatan Islam Sebagai Dasar Negara
Indonesia merupakan Negara multi etnis yang sejak periode perjuangan
kemerdekaan telah ada polarisasi dua arus kekuatan besar, Islam dan Nasionalisme.
Semenjak Negara ini lahir, penduduk di dalamnya tidak pernah berhenti berdebat
tentang seberapa besar tempat yang herus diberikan kepada Islam dalam konteks
politik modern.
Relasi Islam dan negara di Indonesia dapat didekati melalui periodisasi sejarah
politik Indonesia pra-kemerdekaan, paska-kemerdekaan pada masa Orde Lama dan
Orde Baru, serta paska reformasi. Pada masa pra-kemerdekaan, perdebatan Islam
sebagai dasar negara dan penerapan hukum Islam adalah dua isu penting yang muncul
pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia.19
Pada masa pra-kemerdekaan, para founding fathers negeri ini sempat terbelah dalam soal apakah Islam atau lainnya yang menjadi dasar Negara. Kelompok Islam
beranggapan bahwa sudah selayaknya Islam diberi tempat lebih besar dalam struktur
ketatanegaraan baru, karena Indonesia ditegakkan dan dihuni oleh mayoritas
penduduk yang beragama Islam. Sementara kelompok nasionalis berdalih bahwa
Negara yang penduduknya tidak seratus persen Muslim, hubungan legal-formal antara
Islam dan Negara bukan sebuah keharusan, karena hal itu rentan melahirkan
diskriminasi, khususnya bagi kalangan non-muslim. Menurut argumen ini, sejauh
umat Islam berperan aktif dalam proses politik, maka tidak akan ada kebijakan yang
tidak dipengaruhi nilai-nilai Islam.
Relasi hubungan yang pertama melibatkan adanya kontroversi seputar Piagam
Jakarta, yang kemudian berimplikasi langsung atas politik Indonesia
paska-kemerdekaan dan semasa pemerintahan (1945-1966). Sidang PPKI tanggal 18
Agustus 1945 menyepakati dihapuskannya ‘tujuh kata’ pada Piagam Jakarta dari
konstitusi. Keputusan penghapusan tujuh kata tersebut, menurut Hatta, disepakati oleh
anggota PPKI dari kubu Islam, diantaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid
Hasyim, Tengku M. Hasan dan Kasman Singodimejo.20
19
Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’ dalam Syamsul Anwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Antara Idealitas dan Realitas
20
Selanjutnya pada periode pemerintahan Orde Baru (1965-1998), sikap politik
pemerintah Orde Baru melanjutkan usaha pemerintah Orde Lama yang
mempertahankan Pancasila dan menolak Piagam Jakarta.21 Pada masa ini, dinamika
hubungan Islam dan Negara dapat ditandai dengan tiga periode penting, yaitu
konfrontatif, resiprokal kritis, dan akomodatif.22
Periode konfrontatif terjadi pada tiga tahun pertama masa Orde Baru
(1965-1968). Pada masa ini, pemerintahan memperlihatkan sikap demokratis, ditandai
dengan kehidupan pers yang relatif bebas, produk-produk Majlis Permusyawaratan
Rakyat Sementara/MPRS yang berisi prinsip penegakkan demokrasi dan HAM.
Kemudian, paska Pemilu 1971 yang mengantarkan kemenangan mutlak Golkar,
pemerintah Orde Baru, secara gamblang memperlihatkan sikap antagonisnya terhadap
Islam.23 Untuk meneguhkan otoritasnya, pemerintah Orde Baru menggunakan
birokrasi, militer (ABRI), dan Golkar, untuk menekan Islam.24
Periode selanjutnya adalah fase resiprokal kritis (1969-1985). Pada periode
ini, pemerintah selain menggunakan cara represi, untuk menalukkan umat Islam.
Sama seperti pada periode sebelumnya, pemerintah secara resmi membatasi ekspresi
politik umat Islam dan puncaknya adalah melalui Ketetapan MPR Tahun 1983
tentang Asas Tunggal kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya UU No. 08 tahun
1985 tentang Organisasi Sosial dan Politik. 25
Kedua aturan tersebut melarang secara resmi ormas Islam menggunakan
ideologi selain Pancasila sebagai dasar organisasi, bahkan pemerintah mengancam
pembubaran ormas yang menentang aturan tersebut. Namun demikian, kebijakan
pemerintah Orde Baru pada masa ini memperoleh reaksi positif dari ormas Islam,
utamanya ketika NU (pada tahun 1983) dan Muhammadiyah (pada tahun 1985)
menerima prinsip asas tunggal Pancasila. Karena itu, wajar jika perjuangan umat
Islam lebih mengedepankan perjuangan budaya melalui dakwah dan menghindari
konfrontasi politik dengan pemerintah.
21
Moh. Mahfud MD, “Konfigurasi Politik dan Hukum Pada Era Orde Baru dan Orde Lama” dalam Khamami Zada-Idy Muzayyad (eds.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia (Yogyakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Syari`ah dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 24-25; Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (London: Routledge, 1995), hlm. 20.
22
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara..., hlm. 2
23
Ibid, hlm. 26 dan 242-243.
24
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 17
25
Periode terakhir akan dibahas di sub bahasan berikutnya karena akan
menguraikan pola ‘Islamisasi’ yang diagendakan oleh pemerintah Indonesia maupun
berkembangnya gerakan-gerakan Islam revivalist pasca orde baru.
MALAYSIA: Islam sebagai Agama Resmi dan Political Ideology
Di Malaysia, relasi Islam dan negara dapat disusun ke dalam tiga periode
penting; periode pra-Mahatir, masa kepemimpinan Mahatir dan paska Mahatir. Pada
masa pra-Mahatir atau masa Perdana Menteri Malaysia pertama, Tunku Abdul
Rahman, pemerintah menempatkan Islam pada posisi sentral dan secara resmi
mengakui Islam sebagai agama resmi negara melalui konstitusi. 26 Pemerintah secara
aktif melaksanakan program-program Islami, seperti penyelenggaraan Musabaqah
Tilawatil Qur`an, pembangunan masjid, pendirian Majlis Nasional Malaysia urusan
Keislaman pada tahun 1968,27 Pusat Penelitian dan Lembaga Dakwah Islam, serta
memperluas kegiatan aktifitas dakwah dengan mendirikan lembaga dakwah di
negara-negara bagian.
Selain itu, pada tahun 1971, melalui Kongres Budaya Nasional, pemerintah
secara resmi menyatakan bahwa Islam sebagai bagian penting dalam budaya nasional
Malaysia. Kongres tersebut juga merekomendasikan untuk mengeksplisitkan
nilai-nilai moral Islam melalui instrumen hukum nasional. Moral Islam menjadi agenda
penting pemerintah, karena itu Tunku Abdul Rahman menginisiasi pendirian
program-program siaran Agama Islam di radio dan televisi, memerintahkan
lembaga-lembaga penyiaran untuk mengumandangkan azan salat lima waktu, melarang
kegiatan konser musik rock serta pemutaran film hiburan di radio dan televisi serta
mewajibkan siswa perempuan menggunakan busana muslim.28
Pada periode Mahathir, posisi Islam semakin sentral dalam politik Malaysia,
bahasan details untuk periode ini masuk ke dalam sub-bahasan, ‘kebijakan islamisasi
sebagai praktik politik Islam oleh Malaysia’.
26
Termasuk partai pemerintah UMNO, partai oposisi PAS, serta ormas-ormas Islam di Malaysia seperti Tablig, Arqam dan ABIM.
27
Zainah Anwar. 2006. Law-Making in The Name of Islam: Implications for Democratic Governance. [book]. Hal. 122
28
2. KEBIJAKAN ‘ISLAMISASI’ SEBAGAI PRAKTIK POLITIK ISLAM
INDONESIA: ‘Islamisasi’ Pengetahuan/Pendidikan Islam
Ada beberapa saluran proses Islamisasi di Indonesia, yaitu perdagangan,
perkawinan, kesenian dan pendidikan, namun pada sub bahasan ini akan difokuskan
pada pendidikan dalam proses Islamisasi di Indonesia.
Pendidikan Islam di Indonesia yang pada mulanya dilaksanakan secara
informal, yang pelaksanaannya menitikberatkan kepada terjadinya hubungan dan
kontak-kontak pribadi antara mubaligh,29 dengan masyarakat sekitar; pada waktu
terjadinya hubungan antar “pemberi” dan “penerima” tersebut terjadilah proses
pendidikan.
Kemudian setelah masyarakat muslim terbentuk pendidikan Islam semakin
intensif dilaksanakan dimasjid-masjid atau langgar dalam bentuk pendidikan
nonformal. Seterusnya semakin intensif lagi pelaksanaannya setelah terbentuk
lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti pesantren, dayah, maktab dan setelah
abad ke-20 muncullah madrasahdan perguruan tinggi Islam. Keseluruhan
lembaga-lembaga pendidikan itu memberi sumbangan besar bagi proses Islamisasi di
Indonesia.30
Sumbangan lembaga-lembaga pendidikan Islam itu bagi proses Islamisasi
dapat dilihat dari produk (output) lembaga-lembaga tersebut menghasilkan
manusia-manusia terdidik menjadi ulama-ulama atau kiai-kiai muda yang dengan kiprah
mereka ditengah-tengah masyarakat melaksanakan Islamisasi, baik lewat jalur
pendidikan maupun dakwah Islamiyah, sehingga Islam dengan cepat tersebar
diseluruh Nusantara sebagai hasil dari usaha yang mereka lakukan.3126
Peranan Kerajaan Islam juga memiliki peran yang sangat signifikan bagi
proses islamisasi di Indonesia ini dapat dilihat dari bagaimana perhatian yang cukup
tinggi dari Sultan Agung pada masa pemerintahannya dalam bidang pendidikan pada
zaman itu tingkatan-tingkatan Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dibagi ke
4 tingkatan.
29
Syahrul Budiman. PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA. Article Online.
https://www.academia.edu/5562405/PERANAN_PENDIDIKAN_ISLAM_DALAM_PROSES_ISLAMISASI_PE NDIDIKAN . Diakses pada tanggal 14 Desember 2014
30
Daulay, Sejarah,h. 17
31
MALAYSIA: ‘Islamisasi’ Pemerintahan dan Hukum
Islamisasi telah dikembangkan baik oleh koalisi yang telah lama memerintah,
yakni barisan Nasional yang dipimpin oleh UMNO (United Malays National
Organization) maupun partai Islamis oposisi, yaitu PAS (Parti Islam Se-Malaysia).
PAS adalah satu-satunya partai oposisi mulsim di Malaysia dan memiliki dominasi
politis di dua Negara bagian pantai timur semenanjung Malaysia, Kelantan dan
Terengganu.32
Pada periode Mahathir, posisi Islam semakin sentral dalam politik Malaysia,
Pada tahun pertama menjabat sebagai Perdana Menteri, Mahatir menyelenggarakan
seminar ‘the Concept of Development in Islam’ pada tahun 1981.33 Seminar ini kemudian merekomendasikan pembentukan komite-komite dalam bidang sosial,
ekonomi, hukum, pendidikan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, pada
tahun 1984, Mahathir mengumumkan program “pemerintahan secara Islami” atau
melakukan Islamisasi pada struktur pemerintahan dan pemberlakuan hukum Islam
bagi umat Islam di Malaysia. Selain itu, pemerintah juga menginisiasi pendirian Bank
Islam, Yayasan Ekonomi Islam serta lembaga pendidikan Islam dan
menyelenggarakan Konferensi Ulama pada tahun 1983. Sementara itu, pada bidang
media, Mahatir melarang siaran agama selain Islam, meski lembaga penyiaran
tersebut merupakan lembaga penyiaran non-Islam, serta mewajibkan pembaca berita
pada stasiun televisi Malaysia yang laki-laki wajib memakai songkok (tutup kepala
bagi laki-laki muslim) pada setiap hari Jum`at dan, setiap mengawali pembacaan
berita, harus mengucapkan “Assalamu`alaikum”.34
Pada bidang hukum, Mahatir, pada tahun 1988, menyatakan bahwa hukum
Islam harus dijaga dari serangan mendadak oleh hukum-hukum sekuler. Pengadilan
Islam harus sama dengan pengadilan sipil.35 Hukum dan aturan harus diterapkan
terhadap mereka yang melakukan kegiatan makan dan minum di depan umum selama
satu bulan pada bulan Ramadan.
Kebijakan luar negeri Mahathir dengan Dunia Islam juga memperlihatkan
kebijakan yang pro-Islam. Melalui konferensi tokoh-tokoh Muslim dunia dan yang
terakhir adalah konferensi Organisation of Islamic Conference/OIC pada tahun 2003
32
Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 163
33
ibid
34
Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 163
35
di Kuala Lumpur, Mahatir menyatakan dukungannya terhadap Palestina dan, bahkan
dalam sidang umum PBB pada tahun 2003, dengan lantang mengkritik Barat karena
tidak mampu menyelesaikan krisis di Palestina.
Periode paska-Mahatir atau masa kepemimpinan Abdullah Badawi (2003-)
adalah masa kebangkitan kelompok Islam konservatif Malaysia. Fase ini ditandai
dengan empat hal, yaitu semakin menguatnya kelompok-kelompok Islam radikal,
kebangkitan PAS di pentas politik nasional, aktifitas Islam Hadari dan munculnya
kelompok Islam progresif.
Salah satu kelompok Islam radikal yang gencar melakukan perlawanan
terhadap pemerintah adalah Kelompok Mujahidin Malaysia (KKM). Kelompok
ditengarai sebagai jaringan al-Qaedah di Malaysia. Bahkan, KMM dipercaya menjadi
tulang punggung aksi-aksi radikal dan terorisme di Malaysia.36 Sementara itu, pada
pentas politik nasional, PAS menjadi penyeimbang kekuatan partai politik
pemerintah, UMNO.
Orientasi Islam PAS juga terlihat lebih jelas ketimbang UMNO, utamanya
sikap partai yang secara terang-terangan menyatakan anti-Amerika dan dukungan
terhadap pemerintahan Taliban di Afganistan. Sementara itu, kelompok Islam Hadari
semakin muncul kepermukaan untuk menandingi suara anti-pemerintah. Kelompok
Islam Hadari yang dibentuk pada masa pemerintahan Mahatir merepresentasikan
kekuatan Islam kultural dan berfungsi sebagai alat legitimasi Islami program-program
pemerintah Malaysia.
Pada saat yang sama, masa paska-Mahatir juga ditandai dengan semakin
kuatnya kelompok Islam progresif, seperti Sister in Islam dan JUST World.
Kelompok ini mengusung gagasan progresif tentang demokrasi, HAM, keadilan
jender, dan kebebasan berpikir. Prinsip kebijakan Islamisasi yang diperkenalkan
UMNO sejak 1980-an adalah perluasan hukum perdata maupun hukum pidana
shari’ah serta amandemen hukum keluarga muslim di tiga belas Negara bagian dan
tiga wilayah federasi Malaysia (Kuala Lumpur, Putra Jaya dan Labuan). Mencakup
UU 1995 yang memperbolehkan fatwa Islam yang relevan. 37
Berbagai organisasi atau gerakan Islam lainnya seperti ABIM (Angkatan Belia
Islam Malaysia), Darul Arqam dan Jemaah Islah Malaysia (JIM) yang hendak
36
Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 167
37
mempertegas kembali karakter dan identitas Islam dalam kehidupan sosial dan politik
kaum Muslim Malaysia. 38 Kesamaan berbagai gerakan Islamisasi itu adalah
semaksimal mungkin mengangkat status, nilai-nilai, tindakan dan hukum muslim di
seluruh aspek kehidupan. Gerakan-gerakan itu memiliki alasan yang sama bahwa
Islam merupakan satu-satunya solusi yang dapat mengatasi semua persoalan yang
dihadapi umat muslim. Dalam ABIM, kaum muda muslim Malaysia dengan
pendidikan tinggi menjadi agen Islamisasi yang dinilai layak.
38
V. ANALISA: IMPLIKASI ‘ISLAMISASI’ TERHADAP
DEMOCRATIC GOVERNANCE
Masalah demokratisasi seringkali dikonseptualisasikan sebagai masalah
nasional. Dalam mengkaji implikasi ‘Islamisasi’ terhadap proses demokratisasi di
Negara Demokrasi Baru seperti Malaysia dan Indoneisa, kompleksitas dan masalah
politik serta budaya politik di masing-masing masyarakat secara keseluruhan harus
diperhitungkan.
Malaysia dan Indonesia adalah Negara yang menempatkan Islam dalam
kedudukan penting. Itu dikarenakan Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas
masyarakat kedua Negara tersebut. Muslim di Indonesia dan Malaysia menganut
Mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab moderat dan paling banyak dianut di Asia
Tenggara. Di Malaysia, gerakan-gerakan Islam relatif homogen dalam menyuarakan
tuntutan Islamisasi nilai-nilai dan hukum Islam di semua wilayah kehidupan.
Sebaliknya, di Indonesia ada keragaman gerakan Islam, yang meliputi perspektif yang
beragam tentang cara mengaktualisasikan Islam dan prinsip-prinsipnya dalam
kehidupan publik.
Sama seperti Indonesia, Islam menjadi bagian penting dalam politik Malaysia.
Islam tidak saja menjadi alat legitimasi kekuasaan rejim, tapi juga menjadi alat
perlawanan terhadap negara. Namun, berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia
secara resmi mengadopsi Islam sebagai ‘agama resmi’ negara, karena itu interpretasi
Islam menjadi ‘doktrin’ merupakan kekuatan yang diperebutkan oleh kelompok dan
partai politik di Malaysia.
Gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang muncul di kedua Negara memang
memiliki kesamaan dalam sumber konseptual dan ideologi Islam, yang
membedakannya ialah pendekatan dan agenda yang dibawa ke ranah nasional dan
bagaimana praktik-sosial politik yang direalisasikan. Seperti misalnya tahun 1990-an,
ketika pemerintah Malaysa melakukan Islamisasi dalam konteks konstitusi Negara,
yaitu dengan perluasaan hukum pidana dan perdata Islam bagi kaum muslim.
Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah proses ‘Islamisasi’ dengan melakukan penyebaran ide Islam sekularisme. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas
bahwa agama Islam memiliki posisi sebagai pedoman etis dan kultural dalam
Masyarakat. Dan memiliki batasan peran ke dalam sistem Islam Politik.
Perbandingan relasi Islam dan negara di Indonesia dan Malaysia. Meski kedua
Islam dan negara di Indonesia dan Malaysia merepresentasikan dua bentuk relasi yang
saling bertolak belakang. Dimana Islam masuk dalam konstitusi Malaysia sebagai
agama resmi negara, sehingga praktis tidak ada perlawanan dari kelompok-kelompok
nasionalis sekular seperti di Indonesia. Mengingat peristiwa pembatalan 7 kata (berisi
syari’at) di dalam Piagam Jakarta yang sampai sekarang masih terus menyisakan
ketidakpuasan di sebagian kelompok masyarakat Islam. Merupakan kesadaran
bersama bagi seluruh rakyat Indonesia mengenai pencantuman syariat Islam dalam
UUD 1945 dianggap akan menggoyahkan persatuan nasional yang hendak digalang di
antara seluruh komponen bangsa, karena itu dihapuskan.
Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Malaysia merupakan salah satu negara
yang mempunyai posisi cukup penting di dunia Islam karena kiprah keislamannya.
Berbagai proses Islamisasi di negeri jiran ini tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan
didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang, meskipun penduduknya tidak
sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan hampir separuh dari keseluruhan warganya
adalah non muslim yang didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun demikian
Malaysia telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam
yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan banyak
diwarnai oleh prinsip-prinsip keislaman.
Kajian perbandingan tentang pengalaman gerakan islamisasi ini ketika
dihubungkan dengan proses demokratisasi dalam Negara, menunjukkan signifikansi
dalam dalam prioritas agenda-agenda Islamic Revivalism yang diimplementasikan ke lintasan yang berbeda. Formulasi kebijakan Islamisasi yang meliputi ranah struktur
pemerintahan dan Hukum di Malaysia terlihat mempengaruhi prospek demokrasi di
Negaranya, dengan adanya 7 implikasi utamanya:39
o Diskriminasi: Pengakuan Islam sebagai agama resmi negara berimplikasi
langsung pada sikap pemerintah yang mengedepankan kepentingan politik
umat Islam.
o Shroud of Silence: Both at drafting and legislative levels, first is the absence
of any kind of consultation and public debate in the law making process;
o Fear and Ignorance: the bifurcations of the modern education system meam
that those trained in secular schools have little knowledge of religion and those trained in religion have little understanding of the world outside.
o The authority to speak on Islam: Tradtionally, most muslims believe that only ulama have the right to speak on Islam.
o The Tendency to codfy the most conservative Opinion: Be it in the area of
fundamental liberties or women’s rights, the tendency displayed by the religious authorities is often to codify the most conservative opinion into law.
o The Misogynistic Bent: While civil laws are being repealed or amended to recognize equality between men and women, Islamic laws remain discriminatory against women.
o A Holier-than-thou Competition: PAS and UMNO are engaged in a
one-upmanship game to prove each other’s religious.
Dalam konteks relasi hubungan Islam dan Negara, walaupun Islam merupakan
kelompok mayoritas di Indonesia dan kebanyakan tokoh kemerdekaan kita juga
menganut agama Islam, tetapi ketika memasuki konteks Negara dan Ideologi Politik,
berperan penting dalam perjuangan meraih Kemerdekaan, tetapi kesepakatan yang
tercapai dalam pembentukan dasar-dasar Negara tetap Pancasila, dengan menjunjung
tinggi kaedah-kaedah yang ada di dalam Islam.
Konstalasi pola hubungan Islam dengan Negara dalam konteks Indonesia, bisa
dilihat dari catatan sebelumnya mengalami pergolakan di beberapa periode, pada
periode orde baru, Islam terus mengalami represi dari pemerintah, dan posisi Islam
dalam kancah politik nasional yang semakin terpinggirkan dan dalam beberapa kasus
memicu kemarahan umat Islam kepada pemerintah waktu itu.
Terkait aspek kekuatan simbolik, di Malaysia, Islam tampil sebagai kekuatan
simbolik dominan yang tak tertandingi oleh sistem simbolik lain. Islam adalah faktor
penting dalam keseluruhan isi dan proses politik di Malaysia. Arti penting Islam
dimungkinkan sekurang-kurangnya karena dua hal; Pertama, Islam adalah agama
resmi Malaysia sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Federal Pasal 3 (1): “Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation”.40Kedua, Islam di Malaysia menjadi satu-satunya sistem simbolik yang paling dominan dan belum ada sistem simbolik lain
yang memiliki tingkat legitimasi politis setaraf dengan sistem simbolik Islam.
40
“Islamic Revived (the moderate) and democratization have been going hand in hand through the last decades of the twentieth century in Southeast asia and these trends are converging to promote and strengthen Islamic civil society in public life..”
DAFTAR PUSTAKA
[Book]
Norani Othman. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. 2004.
Ariel & Mandal Heryanto. Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 2004
Shamsul A.B, 2005. Islam Embedded: ‘Moderate’ Political Islam and Governance in the Malay World.
K.S Nathan dan Mohammad Hashim Kamali. 2005. Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century. ISEAS, Singapore.
Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Islam, Demokrasi, dan Kultur Politik.”Gugus Press. Hal. 3
Riddell, Peter G. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore
Ramage, Douglas E. Politics in Indonesia Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London: Routledge, 1995.
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 17
Ahmad Syafi`i Ma`arif, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985),
Anwar, Zainah 2006. Law-Making in The Name of Islam: Implications for Democratic Governance. [book]. Hal. 122
Syamsyudin, M. Din Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2002.
[Website]
Abdullahi An-Na'im, Human rights and the rise of political Islam. [article online].
http://www.abc.net.au/religion/articles/2010/11/05/3058143.htm . [diakses pada 12 Desember 2014] Syahrul Budiman. PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA. Article Online.
https://www.academia.edu/5562405/PERANAN_PENDIDIKAN_ISLAM_DALAM_PROSES_ISLA MISASI_PENDIDIKAN . Diakses pada tanggal 14 Desember 2014
[citation]
[Legal Research Board, Federal Constitution (Selangor: International Law Book Services, 2003)
Daulay, Sejarah
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara
Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’ dalam Syamsul Anwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Antara Idealitas dan Realitas