• Tidak ada hasil yang ditemukan

A Comparative Political Case Study: AKTUALISASI POLITIK ISLAM: PERBANDINGAN POLA KEBIJAKAN ‘ISLAMISASI’ DI INDONESIA DAN MALAYSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "A Comparative Political Case Study: AKTUALISASI POLITIK ISLAM: PERBANDINGAN POLA KEBIJAKAN ‘ISLAMISASI’ DI INDONESIA DAN MALAYSIA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

                       

A Comparative Political Case Study:  

AKTUALISASI POLITIK ISLAM:

PERBANDINGAN POLA ‘ISLAMISASI’ DI

INDONESIA DAN MALAYSIA

Comparative Study: Islamizations Policy in Indonesia and Malaysia, the

Implications for Democratic Governance

   

Disusun oleh:

Anggina Mutiara Hanum

1406517960

PASCA SARJANA DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

(2)

Abstract

In the Malay World (South East Asia region), 90 percent of over 250 million of its population are Muslims. This makes Islam the most powerful religion in the region. Indonesia and Malaysia are the two largest majority Muslim nation-states in Southeast Asia, both known as homes to approximately one-fifth of the world’s Muslim population; Indonesia (total population 243 million, 86 percent Muslim) and Malaysia (total population 26 million, 60 percent Muslim). In terms of scale, Islam has the largest number of adherents compared to other religions in Indonesia and Malaysia.

(3)
(4)

LATAR BELAKANG

Hubungan antara Islam dan demokrasi masih menjadi tema perdebatan yang

menarik bagi politik modern. Di Indonesia sendiri wacana yang berkembang lebih

banyak menyangkut pro-kontra penerapan atau formulisasi syari’at Islam. Perdebatan

ini tidak pernah membuahkan solusi yang dapat diterima semua kalangan.

Ada dua faktor yang menyebabkan perdebatan seputar formalisasi syari’at

Islam tampak stagnan. Pertama, pandangan yang pro ataupun yang kontra terjebak

pada argumentasi-argumentasi yang umum, misalnya argument bahwa Islam adalah

agama yang sempurna dan penerapan hukum syari’at merupakan tuntutan

kesempurnaan itu. Faktor kedua, yaitu kecenderungan untuk mengusung tafsir syari’at

Islam yang humanis supaya terlihat tidak bertentangan dengan konsep-konsep

modern, seperti HAM, demokrasi dan civil society.1

Kemudian, wacana yang berkembang di tahun 1970-an, adanya permintaan

tuntutan penegakan prinsip-prinsip tertentu Syariah sebagai hukum resmi negara,

umumnya dikenal sebagai kebangkitan "Islam politik."2Ketegangan antara realitas sistem hukum nasional sekuler, di satu sisi, dan tuntutan populer untuk penegakan

syariah oleh Negara Islam, di sisi lain, adalah latar belakang umum dan konteks

perdebatan kontemporer mengenai hubungan Islam dengan negara, Hukum Islam

dengan pemerintahan yang demokratis dan penegakkan hak-hak asasi manusia.

Perdebatan-perdebatan tersebut terus dilakukan sebagai upaya untuk

menemukan satu basis ideologi Islam yang dapat diterima oleh semua kalangan di

dunia Islam, para pemikir dari berbagai kalangan masyarakat muslim mulai

merambah agenda-agenda alternative untuk dapat merekonsiliasi perbedan-perbedaan

      

1 

Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Islam, Demokrasi, dan Kultur Politik.”Gugus Press. Hal. 3

2

Abdullahi An-Na'im, Human rights and the rise of political Islam. [article online].

(5)

yang dimiliki berbagai kelompok kebangkitan Islam dalam pembangunan Politik

Modern.

Politik Islam di seluruh Negara-negara Muslim sejak era 1970-an hingga abad

ke 21 mengalami banyak perubahan yang sangat penting. Tahun 1970-an gerakan

kebangkitan Islam (revivalism) mulai memainkan peran politik yang cukup besar di

negaranya masing-masing.3Sampai dewasa ini terus dilakukan pembaharuan Islam dan gerakan kebangkitan Islam, dimana melibatkan partisipasi politik yang besar

untuk memperkuat praktik politik Islam dalam Nation-State.

Memasuki kawasan The Malay WorldIndonesia dan Malaysia sebagai wilayah kajian—secara ontologis, terdapat dua bentuk politik Islam yang berkembang, yaitu ‘embedded practice’ dan ‘political/global imagination’.4 Persoalan yang timbul kemudian datang dari Political Imagination, yang menyatakan bagaimana syariah laws should be the sole source of law as well as the norm for individual behavior, both for the sovereign and the simple believer. Problematika politik Islam dari sebuah orientasi pemikiran baru yang berusaha untuk

melegitimasikan Islam sebagai 'sistem politik' dan ‘hukum negara’.

Kajian ilmiah ini akan membandingkan perkembangan isu-isu politik Islam di

Indonesia dan Malaysia, dengan komparasi proses ‘Islamisasi’ sebagai Gerakan

Islamic Revivalism yang juga merupakan bagian dari Politik Islam yang diterapkan di

kedua Negara. Dan menganalisa apakah proyek demokratisasi akan banyak

terpengaruh dari kedua proses tersebut; implikasi yang ada terhadap penegakan

nilai-nilai HAM.

       3

Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks

Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia.]

4

(6)

I. ISLAM, DEMOKRASI DAN NEGARA: WACANA INTELEKTUAL

Sejak perang dingin berakhir dan dunia memasuki abad ke dua puluh, salah

satu isu paling populer yang muncul ke permukaan secara masif dan

berkesinambungan secara terus-menerus hingga ke masa ini adalah demokratisasi.

Demokrasi muncul sebagai ikon yang bersifat hegemonik,5 dalam artian bahwa tidak

ada satu Negara yang bisa mengelak dari tuntutan demokrasi.

Di tengah arus demokratisasi yang terjadi dimana-mana itu, pada mulanya

dunia Islam tidak menjadi bagian karena dianggap bahwa dunia Islam tidak memilik

prospek untuk menjadi demokratis serta tidak mempunyai pengalaman demokrasi

yang cukup. Pada prakteknya terjadi resistensi yang cukup kuat terhadap arus

demokratisasi di dunia Islam, karena pada hakikatnya demokrasi membawa spirit

sekularisasi,6 yang dianggap mengingkari ajaran-ajaran Islam, sehingga tidak akan

berjalan mulus. Pandangan tersebut dipertegas dengan tesis Samuel P. Huntington,

melalui bukunya ‘The Third Wave’, dimana ia menyatakan keraguan akan ajaran Islam dapat sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi barat.

Dalam konteks Indonesia dan Malaysia, pada tahun 2001 Freedom House

menerbitkan satu laporan yang mengkategorisasikan Indonesia dan Malaysia dalam

Negara-negara Islam yang ‘partly free’, yaitu Negara-negara yang masih memiliki potensi keberhasilan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam Negaranya.

Sementara hampir semua Negara di timur tengah masuk ke dalam kategori “not free”

artinya tidak demokratis. Hal tersebut disimpulkan secara dramatis oleh Freedom House melalui studi mereka Freedom in the World 2001-2001, menyatakan bahwa ‘a non-Islamic country is more than three times likely to be democratic than an Islamic

       5

Demokrasi di prakarsai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Dikutip dari tulisan Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Pengalaman Baru Muslim Dalam Transisi Indonesia.” Gugus Press. Hal. XIII

6

(7)

state.’7Penilaian dalam konteks global sedemikian rupa tidak dibenarkan oleh banyak Intelektual dan aktivis Muslim, dimana mereka malah berpendapat sebaliknya.

Kendati sebagai ‘praktik’, prinsip demokrasi barat terbilang asing bagi

sebagian kaum Muslim pada waktu itu maupun dewasa ini, namun pengertian atau

konsep demokrasi yang sesungguhnya tidaklah asing bagi pemikiran Islam.8 Sejumlah

aktivis gerakan HAM dan demokrasi di seluruh dunia Muslim, menyadari bahwa

prinsip-prinsip demokrasi sudah ada di dalam inti cita-cita dan pemikiran Islam.

Bahkan menurut kelompok tersebut, diperlukan tindakan untuk

mengembangkan beberapa prinsip ini dalam sistem politik yang moden. Demokrasi

bukanlah warisan yang diberi oleh Islam, namun bagi kaum Muslim Modernis

(Moderate), gagasan mengenai demokrasi harus didukung dan secara aktif

dipromosikan melalui pembaharuaan pendidikan dan pendiriaan institusi-institusi

sosial yang dapat mendorong kesadaran demokratis dan mendukung partisipasi

masyarakat madani / civil society yang lebih besar dalam bidang politik dan agama.9 Seiring dengan berjalannya waktu proses demokratisasi di melibatkan banyak

wacana intelektual baru yang mewarnai hubungan antara kelompok Islam dan

pemerintahan demokratis, making berkembang Gerakan political Islam yang disebut dengan Islamic Revivalism, dimana gerakan tersebut mengusung agenda sosial-politik yaitu ‘islamisasi’, parktik kebijakan politik Islam yang diterapkan di kedua Negara

kajian; Indonesia dan Malaysia. Kendati memiliki kesamaan dalam sumber konsepsi

nilai-nilai kepercayaan, dalam proses islamisasi kedua Negara memiliki perbedaan

yang mencolok.

       7

Demokrasi di prakarsai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Dikutip dari tulisan Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Pengalaman Baru Muslim Dalam Transisi Indonesia.” Gugus Press. Hal. XV

8

(Osman 1994, 1996; Kamali 1994, 1999a, 1999b), artikel Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Hal. 242

9 

(8)

A ‘POLITICAL ISLAM’ PERSPECTIVES

o Politik Islam mengandung pengertian sebagai aktivitas politik umat Islam

yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok.

o Politik Islam menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, dengan

menggunakan prinsip-prinsip Islam dan istilah-istilah keislaman dalam

peraturan dasar Negara, organisasi, nilai-nilai perjuangan serta wacana politik

yang diusung.

o Politik Islam sebagai hasil percampuran Islam dengan kekuasaan kelompok

dan Negara yang bertujuan untuk melahirkan sikap dan perilaku politik

(political behavior) serta budaya politik (political culture) yang orientasinya berlandaskan kepada nilai-nilai Islam secara menyeluruh.10

o Pndangan umum yang disebut political imagination.11Imajinasi politik ini dalam pengertian universalnya diartikan sebagai tumbuhnya suatu keyakinan

akan ketidaterpisahan antara wilayah agama, hukum dan politik.

o Dua bentuk politik Islam yang berkembang di wilayah The Malay World, yaitu

‘embedded practice; scripturalist/old indigineous form dan ‘political/global imagination: proposes as its ultimate aim the creation of a ‘borderless space’ of global Islamic btotherhood, free of nation-state boundaries’.12

Selanjutnya, ketika aktivitas Politik Islam tersebut masuk kedalam ranah

Pemerintahan Negara Demokratis, kerap kali menjadikan Politik Islam berada di

posisi yang dilematis. Hal ini dikarenakan adanya keraguan secara Global mengenai

kompabilitas Islam dan Demokrasi.

       10

M. Din Syamsyudin. 2002. Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2002. 11 

Oliver Roy. Dikutip dari artikel; Bahtiar Effendy. 2002. Problematika Politik Islam: Refleksi 3 periode.  

12

(9)

Islamisasi

Islamisasi adalah proses dimana apa yang dipandang sebagai huku, nilai-nilai,

dan adat kebiasaan islam didorong menjadi lebih bermakna ke dalam Negara,

Masyarakat dan budaya. Islamisasi merupakan gejala kontemporer yang antara lain

terkait dengan era pasca-kolonialisasi dan sebagian dipandang sebagai penegasan

kembali identitas Islam dalam merespon modernisasi.13

Islamisasi merupakan pencarian ideal keislaman. Ini merupakan upaya

mengembalikan Islam yang murni, yang dianggap telah hilang atau rusak sebagai

akibat dominasi kolonialisme Barat. Untuk memahami berbagai gerakan Islamisasi

kontemporer, orang perlu menempatkannya secara historis di dalam konteks

sosio-politik.

Berdasarkan uraian singkat diatas secara singkat, makalah ini akan

mencoba untuk menjawab dua pertanyaan penelitian yang akan dijadikan sebagai

dasar analisa, rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah relasi Islam dengan Negara dari pengalaman historical

cultural di kedua negara?

2. Sejauh apa implikasi yang diakibatkan oleh proses ‘Islamisasi’ yang

merupakan agenda dari politik Islam di masing-masing Negara, ke dalam tatanan

democratic governances dan HAM?

      

13 

(Osman 1994: 123-43), artikel Norani Othman. 2004. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. Hal.231. [dikutip dari: Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. Hal. 246

(10)

II. PENDEKATAN PLURALISME DEMOKRASI DAN NEGARA

MODERNISME SEBAGAI KERANGKA TEORITIS

Pendekatan Pluralisme Kultural

Michael Walzer (1995) mengacu pada asas non-diskriminasi sebagai model

untuk mengakomodasi pluralism kultural di dalam sebuah Negara. Ia juga

mengusulkan hak-hak kelompok yang memerlukan berbagai langkah untuk

melindungi dan mempromosikan identitas etnis-kultural. Beberapa langkah tersebut

meliputi; kebebasan beragama, hak-hak bahasa, klaim atas tanah, otonomi daerah dan

perwakilan yang dijamin.

Hampir setiap Negara di dunia dewasa ini bersifat pluralistic, Pluralistik dalam

pengertian dan upaya memperjuangkan persamaan serta keadilan sosial dalam

konteks suaru Negara yang ditandai dengan perbedaan dan pluralism menjadi

semakin kompleks dan problematis. Pluralisme merupakan isu normative penting

yang berkaitan dengan demokrasi serta problem dan prospek demokratisasi. 14

Prinsip-prinsip dasar tertentu dalam prosedur demokrasi diperlukan, agar

Negara atau masyarakat mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan kultural dan

historis yang ada. Negara demokratis modern dengan pemerintahan yang

konstitusional juga didasarkan pada prinsip persamaan semua warganegaranya

didepan hukum tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, Gender, bahasa,

agama, pandangan politik atau lainnya.

Demokrasi dan pluralism memang relevan dengan politik, masyarakat dan

budaya di Indonesia maupun Malaysia. Kedudukan sentral Islam di kedua Negara

bisa dikatakan sebagai penegas adanya kompleksitas upaya dalam mengatasi

      

14 

Ariel & Mandal Heryanto. 2004 Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta.

(11)

perselisihan yang berkaitan dengan demokrasi dan pluralism sebagai prosedur dan

ideologi di kehidupan sehari-hari.

Untuk menawarkan solusi kepada berbagai gerakan Islam, dimana baik

anggota kelompok tersebut dan non-moslem bisa menemukan potensi atau inisiatif

yang berarti atas demokratisasi berbasis Islam yang mempromosikan toleransi dan

penghormatan kepada pluralism di dalam komunitas Muslim itu sendiri serta

komunitas-komunitas agama lain di Nation-State yang bersangkutan.

Pendekatan 3 paradigma relasi Agama-Negara

Dalam pemikiran politik Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga paradigma

dalam melihat relasi agama-negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma

simbiotik, dan paradigma sekularistik.15

Bagi paradigma integralistik, agama (Islam) dan negara adalah sesuatu yang

manunggal dan tidak bisa dipisahkan. Islam dimengerti sebagai sebuah totalitas:

agama sekaligus negara (al-Islâm dîn wa dawlah).16 Negara dan kekuasaan politik

menyatu dalam rukun Islam, karena itu menegakkan khilâfah atau imâmah adalah

wajib syar’i. Bentuk negara/pemerintahan Islam adalah teokrasi, sebuah kekuasaan

politik dengan mandat keagamaan. Pandangan ini dianut oleh kaum fundamentalis,

baik dari jalur sunni maupun syi’i.

Paradigma simbiotik memandang agama dan negara secara simbiotik, yakni

berhubungan secara timbal balik dan bersifat komplementer. Agama memerlukan

negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara

       15

M. Dien Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Abu Zahra (ed.), Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hal. 45.

16

(12)

memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat tumbuh dalam bimbingan

etika dan moral.17

Paradigma ketiga, yaitu paradigma sekularistik, berada di titik ekstrem

liberal. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik

agama-negara. Bagi paradigma sekularistik, agama dan negara adalah dua wilayah yang

terpisah. Agama merupakan sistem keyakinan yang bersumber dari wahyu sementara

negara adalah sistem sosial yang bersumber dari akal dan pertimbangan rasional. Di

barisan aliran ini, Ali Abdur Râziq berdiri di garis depan. Menurut Râziq, Islam tidak

memberi petunjuk apapun tentang bentuk negara yang harus didirikan umat Islam,

termasuk khilâfah. Baik Qur’an maupun Hadits tidak pernah menyebut khilâfah

dalam pengertian sebagai sistem politik seperti ada dalam sejarah politik Islam.

Manurut Râziq, khilâfah tidak mempunyai dasar, baik dalam Qur’an maupun

al-Hadits.18

Berdasarkan ketiga paradigma di atas, elit-elit Melayu UMNO, seperti

Mahathir, memahami hubungan antara agama dan negara dalam kerangka simbiotik.

Pandangan simbiotik ini sangat berpengaruh dalam menentukan Islam dalam proses

demokratisasi dan dinamika politik Islam di Malaysia, termasuk dalam

keberhadapannya dengan PAS.

       17

M. Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep”, op.cit., hal. 47

18

(13)

III. PRAKTIK POLITIK ISLAM: RELASI ISLAM DAN AGENDA

‘ISLAMISASI’ DI DUA NEGARA KAJIAN

1. RELASI ISLAM DAN NEGARA

INDONESIA: Perdebatan Islam Sebagai Dasar Negara

Indonesia merupakan Negara multi etnis yang sejak periode perjuangan

kemerdekaan telah ada polarisasi dua arus kekuatan besar, Islam dan Nasionalisme.

Semenjak Negara ini lahir, penduduk di dalamnya tidak pernah berhenti berdebat

tentang seberapa besar tempat yang herus diberikan kepada Islam dalam konteks

politik modern.

Relasi Islam dan negara di Indonesia dapat didekati melalui periodisasi sejarah

politik Indonesia pra-kemerdekaan, paska-kemerdekaan pada masa Orde Lama dan

Orde Baru, serta paska reformasi. Pada masa pra-kemerdekaan, perdebatan Islam

sebagai dasar negara dan penerapan hukum Islam adalah dua isu penting yang muncul

pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia.19

Pada masa pra-kemerdekaan, para founding fathers negeri ini sempat terbelah dalam soal apakah Islam atau lainnya yang menjadi dasar Negara. Kelompok Islam

beranggapan bahwa sudah selayaknya Islam diberi tempat lebih besar dalam struktur

ketatanegaraan baru, karena Indonesia ditegakkan dan dihuni oleh mayoritas

penduduk yang beragama Islam. Sementara kelompok nasionalis berdalih bahwa

Negara yang penduduknya tidak seratus persen Muslim, hubungan legal-formal antara

Islam dan Negara bukan sebuah keharusan, karena hal itu rentan melahirkan

diskriminasi, khususnya bagi kalangan non-muslim. Menurut argumen ini, sejauh

umat Islam berperan aktif dalam proses politik, maka tidak akan ada kebijakan yang

tidak dipengaruhi nilai-nilai Islam.

Relasi hubungan yang pertama melibatkan adanya kontroversi seputar Piagam

Jakarta, yang kemudian berimplikasi langsung atas politik Indonesia

paska-kemerdekaan dan semasa pemerintahan (1945-1966). Sidang PPKI tanggal 18

Agustus 1945 menyepakati dihapuskannya ‘tujuh kata’ pada Piagam Jakarta dari

konstitusi. Keputusan penghapusan tujuh kata tersebut, menurut Hatta, disepakati oleh

anggota PPKI dari kubu Islam, diantaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid

Hasyim, Tengku M. Hasan dan Kasman Singodimejo.20

       19

Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’ dalam Syamsul Anwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Antara Idealitas dan Realitas

20

(14)

Selanjutnya pada periode pemerintahan Orde Baru (1965-1998), sikap politik

pemerintah Orde Baru melanjutkan usaha pemerintah Orde Lama yang

mempertahankan Pancasila dan menolak Piagam Jakarta.21 Pada masa ini, dinamika

hubungan Islam dan Negara dapat ditandai dengan tiga periode penting, yaitu

konfrontatif, resiprokal kritis, dan akomodatif.22

Periode konfrontatif terjadi pada tiga tahun pertama masa Orde Baru

(1965-1968). Pada masa ini, pemerintahan memperlihatkan sikap demokratis, ditandai

dengan kehidupan pers yang relatif bebas, produk-produk Majlis Permusyawaratan

Rakyat Sementara/MPRS yang berisi prinsip penegakkan demokrasi dan HAM.

Kemudian, paska Pemilu 1971 yang mengantarkan kemenangan mutlak Golkar,

pemerintah Orde Baru, secara gamblang memperlihatkan sikap antagonisnya terhadap

Islam.23 Untuk meneguhkan otoritasnya, pemerintah Orde Baru menggunakan

birokrasi, militer (ABRI), dan Golkar, untuk menekan Islam.24

Periode selanjutnya adalah fase resiprokal kritis (1969-1985). Pada periode

ini, pemerintah selain menggunakan cara represi, untuk menalukkan umat Islam.

Sama seperti pada periode sebelumnya, pemerintah secara resmi membatasi ekspresi

politik umat Islam dan puncaknya adalah melalui Ketetapan MPR Tahun 1983

tentang Asas Tunggal kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya UU No. 08 tahun

1985 tentang Organisasi Sosial dan Politik. 25

Kedua aturan tersebut melarang secara resmi ormas Islam menggunakan

ideologi selain Pancasila sebagai dasar organisasi, bahkan pemerintah mengancam

pembubaran ormas yang menentang aturan tersebut. Namun demikian, kebijakan

pemerintah Orde Baru pada masa ini memperoleh reaksi positif dari ormas Islam,

utamanya ketika NU (pada tahun 1983) dan Muhammadiyah (pada tahun 1985)

menerima prinsip asas tunggal Pancasila. Karena itu, wajar jika perjuangan umat

Islam lebih mengedepankan perjuangan budaya melalui dakwah dan menghindari

konfrontasi politik dengan pemerintah.

       21

Moh. Mahfud MD, “Konfigurasi Politik dan Hukum Pada Era Orde Baru dan Orde Lama” dalam Khamami Zada-Idy Muzayyad (eds.), Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia (Yogyakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Syari`ah dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 24-25; Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance (London: Routledge, 1995), hlm. 20.

22

Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara..., hlm. 2

23

Ibid, hlm. 26 dan 242-243.

24

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 17

25

(15)

Periode terakhir akan dibahas di sub bahasan berikutnya karena akan

menguraikan pola ‘Islamisasi’ yang diagendakan oleh pemerintah Indonesia maupun

berkembangnya gerakan-gerakan Islam revivalist pasca orde baru.

MALAYSIA: Islam sebagai Agama Resmi dan Political Ideology

Di Malaysia, relasi Islam dan negara dapat disusun ke dalam tiga periode

penting; periode pra-Mahatir, masa kepemimpinan Mahatir dan paska Mahatir. Pada

masa pra-Mahatir atau masa Perdana Menteri Malaysia pertama, Tunku Abdul

Rahman, pemerintah menempatkan Islam pada posisi sentral dan secara resmi

mengakui Islam sebagai agama resmi negara melalui konstitusi. 26 Pemerintah secara

aktif melaksanakan program-program Islami, seperti penyelenggaraan Musabaqah

Tilawatil Qur`an, pembangunan masjid, pendirian Majlis Nasional Malaysia urusan

Keislaman pada tahun 1968,27 Pusat Penelitian dan Lembaga Dakwah Islam, serta

memperluas kegiatan aktifitas dakwah dengan mendirikan lembaga dakwah di

negara-negara bagian.

Selain itu, pada tahun 1971, melalui Kongres Budaya Nasional, pemerintah

secara resmi menyatakan bahwa Islam sebagai bagian penting dalam budaya nasional

Malaysia. Kongres tersebut juga merekomendasikan untuk mengeksplisitkan

nilai-nilai moral Islam melalui instrumen hukum nasional. Moral Islam menjadi agenda

penting pemerintah, karena itu Tunku Abdul Rahman menginisiasi pendirian

program-program siaran Agama Islam di radio dan televisi, memerintahkan

lembaga-lembaga penyiaran untuk mengumandangkan azan salat lima waktu, melarang

kegiatan konser musik rock serta pemutaran film hiburan di radio dan televisi serta

mewajibkan siswa perempuan menggunakan busana muslim.28

Pada periode Mahathir, posisi Islam semakin sentral dalam politik Malaysia,

bahasan details untuk periode ini masuk ke dalam sub-bahasan, ‘kebijakan islamisasi

sebagai praktik politik Islam oleh Malaysia’.

       26

Termasuk partai pemerintah UMNO, partai oposisi PAS, serta ormas-ormas Islam di Malaysia seperti Tablig, Arqam dan ABIM. 

27

Zainah Anwar. 2006. Law-Making in The Name of Islam: Implications for Democratic Governance. [book]. Hal. 122

28

(16)

2. KEBIJAKAN ‘ISLAMISASI’ SEBAGAI PRAKTIK POLITIK ISLAM

INDONESIA: ‘Islamisasi’ Pengetahuan/Pendidikan Islam

Ada beberapa saluran proses Islamisasi di Indonesia, yaitu perdagangan,

perkawinan, kesenian dan pendidikan, namun pada sub bahasan ini akan difokuskan

pada pendidikan dalam proses Islamisasi di Indonesia.

Pendidikan Islam di Indonesia yang pada mulanya dilaksanakan secara

informal, yang pelaksanaannya menitikberatkan kepada terjadinya hubungan dan

kontak-kontak pribadi antara mubaligh,29 dengan masyarakat sekitar; pada waktu

terjadinya hubungan antar “pemberi” dan “penerima” tersebut terjadilah proses

pendidikan.

Kemudian setelah masyarakat muslim terbentuk pendidikan Islam semakin

intensif dilaksanakan dimasjid-masjid atau langgar dalam bentuk pendidikan

nonformal. Seterusnya semakin intensif lagi pelaksanaannya setelah terbentuk

lembaga-lembaga pendidikan formal, seperti pesantren, dayah, maktab dan setelah

abad ke-20 muncullah madrasahdan perguruan tinggi Islam. Keseluruhan

lembaga-lembaga pendidikan itu memberi sumbangan besar bagi proses Islamisasi di

Indonesia.30

Sumbangan lembaga-lembaga pendidikan Islam itu bagi proses Islamisasi

dapat dilihat dari produk (output) lembaga-lembaga tersebut menghasilkan

manusia-manusia terdidik menjadi ulama-ulama atau kiai-kiai muda yang dengan kiprah

mereka ditengah-tengah masyarakat melaksanakan Islamisasi, baik lewat jalur

pendidikan maupun dakwah Islamiyah, sehingga Islam dengan cepat tersebar

diseluruh Nusantara sebagai hasil dari usaha yang mereka lakukan.3126

Peranan Kerajaan Islam juga memiliki peran yang sangat signifikan bagi

proses islamisasi di Indonesia ini dapat dilihat dari bagaimana perhatian yang cukup

tinggi dari Sultan Agung pada masa pemerintahannya dalam bidang pendidikan pada

zaman itu tingkatan-tingkatan Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dibagi ke

4 tingkatan.

       29

Syahrul Budiman. PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA. Article Online.

https://www.academia.edu/5562405/PERANAN_PENDIDIKAN_ISLAM_DALAM_PROSES_ISLAMISASI_PE NDIDIKAN . Diakses pada tanggal 14 Desember 2014

30

Daulay, Sejarah,h. 17

31

(17)

MALAYSIA: ‘Islamisasi’ Pemerintahan dan Hukum

Islamisasi telah dikembangkan baik oleh koalisi yang telah lama memerintah,

yakni barisan Nasional yang dipimpin oleh UMNO (United Malays National

Organization) maupun partai Islamis oposisi, yaitu PAS (Parti Islam Se-Malaysia).

PAS adalah satu-satunya partai oposisi mulsim di Malaysia dan memiliki dominasi

politis di dua Negara bagian pantai timur semenanjung Malaysia, Kelantan dan

Terengganu.32

Pada periode Mahathir, posisi Islam semakin sentral dalam politik Malaysia,

Pada tahun pertama menjabat sebagai Perdana Menteri, Mahatir menyelenggarakan

seminar ‘the Concept of Development in Islam’ pada tahun 1981.33 Seminar ini kemudian merekomendasikan pembentukan komite-komite dalam bidang sosial,

ekonomi, hukum, pendidikan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian, pada

tahun 1984, Mahathir mengumumkan program “pemerintahan secara Islami” atau

melakukan Islamisasi pada struktur pemerintahan dan pemberlakuan hukum Islam

bagi umat Islam di Malaysia. Selain itu, pemerintah juga menginisiasi pendirian Bank

Islam, Yayasan Ekonomi Islam serta lembaga pendidikan Islam dan

menyelenggarakan Konferensi Ulama pada tahun 1983. Sementara itu, pada bidang

media, Mahatir melarang siaran agama selain Islam, meski lembaga penyiaran

tersebut merupakan lembaga penyiaran non-Islam, serta mewajibkan pembaca berita

pada stasiun televisi Malaysia yang laki-laki wajib memakai songkok (tutup kepala

bagi laki-laki muslim) pada setiap hari Jum`at dan, setiap mengawali pembacaan

berita, harus mengucapkan “Assalamu`alaikum”.34

Pada bidang hukum, Mahatir, pada tahun 1988, menyatakan bahwa hukum

Islam harus dijaga dari serangan mendadak oleh hukum-hukum sekuler. Pengadilan

Islam harus sama dengan pengadilan sipil.35 Hukum dan aturan harus diterapkan

terhadap mereka yang melakukan kegiatan makan dan minum di depan umum selama

satu bulan pada bulan Ramadan.

Kebijakan luar negeri Mahathir dengan Dunia Islam juga memperlihatkan

kebijakan yang pro-Islam. Melalui konferensi tokoh-tokoh Muslim dunia dan yang

terakhir adalah konferensi Organisation of Islamic Conference/OIC pada tahun 2003

       32

Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 163

33

ibid

34

Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 163

35

(18)

di Kuala Lumpur, Mahatir menyatakan dukungannya terhadap Palestina dan, bahkan

dalam sidang umum PBB pada tahun 2003, dengan lantang mengkritik Barat karena

tidak mampu menyelesaikan krisis di Palestina.

Periode paska-Mahatir atau masa kepemimpinan Abdullah Badawi (2003-)

adalah masa kebangkitan kelompok Islam konservatif Malaysia. Fase ini ditandai

dengan empat hal, yaitu semakin menguatnya kelompok-kelompok Islam radikal,

kebangkitan PAS di pentas politik nasional, aktifitas Islam Hadari dan munculnya

kelompok Islam progresif.

Salah satu kelompok Islam radikal yang gencar melakukan perlawanan

terhadap pemerintah adalah Kelompok Mujahidin Malaysia (KKM). Kelompok

ditengarai sebagai jaringan al-Qaedah di Malaysia. Bahkan, KMM dipercaya menjadi

tulang punggung aksi-aksi radikal dan terorisme di Malaysia.36 Sementara itu, pada

pentas politik nasional, PAS menjadi penyeimbang kekuatan partai politik

pemerintah, UMNO.

Orientasi Islam PAS juga terlihat lebih jelas ketimbang UMNO, utamanya

sikap partai yang secara terang-terangan menyatakan anti-Amerika dan dukungan

terhadap pemerintahan Taliban di Afganistan. Sementara itu, kelompok Islam Hadari

semakin muncul kepermukaan untuk menandingi suara anti-pemerintah. Kelompok

Islam Hadari yang dibentuk pada masa pemerintahan Mahatir merepresentasikan

kekuatan Islam kultural dan berfungsi sebagai alat legitimasi Islami program-program

pemerintah Malaysia.

Pada saat yang sama, masa paska-Mahatir juga ditandai dengan semakin

kuatnya kelompok Islam progresif, seperti Sister in Islam dan JUST World.

Kelompok ini mengusung gagasan progresif tentang demokrasi, HAM, keadilan

jender, dan kebebasan berpikir. Prinsip kebijakan Islamisasi yang diperkenalkan

UMNO sejak 1980-an adalah perluasan hukum perdata maupun hukum pidana

shari’ah serta amandemen hukum keluarga muslim di tiga belas Negara bagian dan

tiga wilayah federasi Malaysia (Kuala Lumpur, Putra Jaya dan Labuan). Mencakup

UU 1995 yang memperbolehkan fatwa Islam yang relevan. 37

Berbagai organisasi atau gerakan Islam lainnya seperti ABIM (Angkatan Belia

Islam Malaysia), Darul Arqam dan Jemaah Islah Malaysia (JIM) yang hendak

       36

Peter G. Riddell. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore. Hal 167

37 

(19)

mempertegas kembali karakter dan identitas Islam dalam kehidupan sosial dan politik

kaum Muslim Malaysia. 38 Kesamaan berbagai gerakan Islamisasi itu adalah

semaksimal mungkin mengangkat status, nilai-nilai, tindakan dan hukum muslim di

seluruh aspek kehidupan. Gerakan-gerakan itu memiliki alasan yang sama bahwa

Islam merupakan satu-satunya solusi yang dapat mengatasi semua persoalan yang

dihadapi umat muslim. Dalam ABIM, kaum muda muslim Malaysia dengan

pendidikan tinggi menjadi agen Islamisasi yang dinilai layak.

      

38 

(20)

V. ANALISA: IMPLIKASI ‘ISLAMISASI’ TERHADAP

DEMOCRATIC GOVERNANCE

 

Masalah demokratisasi seringkali dikonseptualisasikan sebagai masalah

nasional. Dalam mengkaji implikasi ‘Islamisasi’ terhadap proses demokratisasi di

Negara Demokrasi Baru seperti Malaysia dan Indoneisa, kompleksitas dan masalah

politik serta budaya politik di masing-masing masyarakat secara keseluruhan harus

diperhitungkan.

Malaysia dan Indonesia adalah Negara yang menempatkan Islam dalam

kedudukan penting. Itu dikarenakan Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas

masyarakat kedua Negara tersebut. Muslim di Indonesia dan Malaysia menganut

Mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab moderat dan paling banyak dianut di Asia

Tenggara. Di Malaysia, gerakan-gerakan Islam relatif homogen dalam menyuarakan

tuntutan Islamisasi nilai-nilai dan hukum Islam di semua wilayah kehidupan.

Sebaliknya, di Indonesia ada keragaman gerakan Islam, yang meliputi perspektif yang

beragam tentang cara mengaktualisasikan Islam dan prinsip-prinsipnya dalam

kehidupan publik.

Sama seperti Indonesia, Islam menjadi bagian penting dalam politik Malaysia.

Islam tidak saja menjadi alat legitimasi kekuasaan rejim, tapi juga menjadi alat

perlawanan terhadap negara. Namun, berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia

secara resmi mengadopsi Islam sebagai ‘agama resmi’ negara, karena itu interpretasi

Islam menjadi ‘doktrin’ merupakan kekuatan yang diperebutkan oleh kelompok dan

partai politik di Malaysia.

Gerakan-gerakan kebangkitan Islam yang muncul di kedua Negara memang

memiliki kesamaan dalam sumber konseptual dan ideologi Islam, yang

membedakannya ialah pendekatan dan agenda yang dibawa ke ranah nasional dan

bagaimana praktik-sosial politik yang direalisasikan. Seperti misalnya tahun 1990-an,

ketika pemerintah Malaysa melakukan Islamisasi dalam konteks konstitusi Negara,

yaitu dengan perluasaan hukum pidana dan perdata Islam bagi kaum muslim.

Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah proses ‘Islamisasi’ dengan melakukan penyebaran ide Islam sekularisme. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas

bahwa agama Islam memiliki posisi sebagai pedoman etis dan kultural dalam

Masyarakat. Dan memiliki batasan peran ke dalam sistem Islam Politik.

Perbandingan relasi Islam dan negara di Indonesia dan Malaysia. Meski kedua

(21)

Islam dan negara di Indonesia dan Malaysia merepresentasikan dua bentuk relasi yang

saling bertolak belakang. Dimana Islam masuk dalam konstitusi Malaysia sebagai

agama resmi negara, sehingga praktis tidak ada perlawanan dari kelompok-kelompok

nasionalis sekular seperti di Indonesia. Mengingat peristiwa pembatalan 7 kata (berisi

syari’at) di dalam Piagam Jakarta yang sampai sekarang masih terus menyisakan

ketidakpuasan di sebagian kelompok masyarakat Islam. Merupakan kesadaran

bersama bagi seluruh rakyat Indonesia mengenai pencantuman syariat Islam dalam

UUD 1945 dianggap akan menggoyahkan persatuan nasional yang hendak digalang di

antara seluruh komponen bangsa, karena itu dihapuskan.

Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Malaysia merupakan salah satu negara

yang mempunyai posisi cukup penting di dunia Islam karena kiprah keislamannya.

Berbagai proses Islamisasi di negeri jiran ini tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan

didahului oleh pencarian dan pergulatan yang panjang, meskipun penduduknya tidak

sebanyak penduduk di Indonesia, bahkan hampir separuh dari keseluruhan warganya

adalah non muslim yang didominasi oleh etnik Cina dan India. Namun demikian

Malaysia telah tampil di pentas dunia internasional dengan nuansa serta simbol Islam

yang begitu melekat, termasuk dalam kebijakan perundang-undangan banyak

diwarnai oleh prinsip-prinsip keislaman.

Kajian perbandingan tentang pengalaman gerakan islamisasi ini ketika

dihubungkan dengan proses demokratisasi dalam Negara, menunjukkan signifikansi

dalam dalam prioritas agenda-agenda Islamic Revivalism yang diimplementasikan ke lintasan yang berbeda. Formulasi kebijakan Islamisasi yang meliputi ranah struktur

pemerintahan dan Hukum di Malaysia terlihat mempengaruhi prospek demokrasi di

Negaranya, dengan adanya 7 implikasi utamanya:39

o Diskriminasi: Pengakuan Islam sebagai agama resmi negara berimplikasi

langsung pada sikap pemerintah yang mengedepankan kepentingan politik

umat Islam.

o Shroud of Silence: Both at drafting and legislative levels, first is the absence

of any kind of consultation and public debate in the law making process;

(22)

o Fear and Ignorance: the bifurcations of the modern education system meam

that those trained in secular schools have little knowledge of religion and those trained in religion have little understanding of the world outside.

o The authority to speak on Islam: Tradtionally, most muslims believe that only ulama have the right to speak on Islam.

o The Tendency to codfy the most conservative Opinion: Be it in the area of

fundamental liberties or women’s rights, the tendency displayed by the religious authorities is often to codify the most conservative opinion into law.

o The Misogynistic Bent: While civil laws are being repealed or amended to recognize equality between men and women, Islamic laws remain discriminatory against women.

o A Holier-than-thou Competition: PAS and UMNO are engaged in a

one-upmanship game to prove each other’s religious.

Dalam konteks relasi hubungan Islam dan Negara, walaupun Islam merupakan

kelompok mayoritas di Indonesia dan kebanyakan tokoh kemerdekaan kita juga

menganut agama Islam, tetapi ketika memasuki konteks Negara dan Ideologi Politik,

berperan penting dalam perjuangan meraih Kemerdekaan, tetapi kesepakatan yang

tercapai dalam pembentukan dasar-dasar Negara tetap Pancasila, dengan menjunjung

tinggi kaedah-kaedah yang ada di dalam Islam.

Konstalasi pola hubungan Islam dengan Negara dalam konteks Indonesia, bisa

dilihat dari catatan sebelumnya mengalami pergolakan di beberapa periode, pada

periode orde baru, Islam terus mengalami represi dari pemerintah, dan posisi Islam

dalam kancah politik nasional yang semakin terpinggirkan dan dalam beberapa kasus

memicu kemarahan umat Islam kepada pemerintah waktu itu.

Terkait aspek kekuatan simbolik, di Malaysia, Islam tampil sebagai kekuatan

simbolik dominan yang tak tertandingi oleh sistem simbolik lain. Islam adalah faktor

penting dalam keseluruhan isi dan proses politik di Malaysia. Arti penting Islam

dimungkinkan sekurang-kurangnya karena dua hal; Pertama, Islam adalah agama

resmi Malaysia sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Federal Pasal 3 (1): “Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation”.40Kedua, Islam di Malaysia menjadi satu-satunya sistem simbolik yang paling dominan dan belum ada sistem simbolik lain

yang memiliki tingkat legitimasi politis setaraf dengan sistem simbolik Islam.

       40

(23)

“Islamic Revived (the moderate) and democratization have been going hand in hand through the last decades of the twentieth century in Southeast asia and these trends are converging to promote and strengthen Islamic civil society in public life..”

 

 

   

   

       

(24)

DAFTAR PUSTAKA

[Book]

Norani Othman. Islamisasi dan Demokratisasi di Malaysia dalam konteks Regional dan Global. 2004.

Ariel & Mandal Heryanto. Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Antara Indonesia dan Malaysia. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta. 2004

Shamsul A.B, 2005. Islam Embedded: ‘Moderate’ Political Islam and Governance in the Malay World.

K.S Nathan dan Mohammad Hashim Kamali. 2005. Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century. ISEAS, Singapore.

Bahtiar Effendy. 2002. Dilema Islam, Dilema Demokrasi; “Islam, Demokrasi, dan Kultur Politik.”Gugus Press. Hal. 3

Riddell, Peter G. 2005. Islamization, Civil Society and Religious Minorities in Malaysia. ISEAS. Singapore

Ramage, Douglas E. Politics in Indonesia Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. London: Routledge, 1995.

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 17

Ahmad Syafi`i Ma`arif, Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985),

Anwar, Zainah 2006. Law-Making in The Name of Islam: Implications for Democratic Governance. [book]. Hal. 122

Syamsyudin, M. Din Beberapa Catatan Problematika Politik Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta. 2002.

[Website]

Abdullahi An-Na'im, Human rights and the rise of political Islam. [article online].

http://www.abc.net.au/religion/articles/2010/11/05/3058143.htm . [diakses pada 12 Desember 2014] Syahrul Budiman. PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PROSES ISLAMISASI DI INDONESIA. Article Online.

https://www.academia.edu/5562405/PERANAN_PENDIDIKAN_ISLAM_DALAM_PROSES_ISLA MISASI_PENDIDIKAN . Diakses pada tanggal 14 Desember 2014

[citation]

[Legal Research Board, Federal Constitution (Selangor: International Law Book Services, 2003)

Daulay, Sejarah

Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara

Moh. Mahfud MD, ‘Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia’ dalam Syamsul Anwar, Antologi Pemikiran Hukum Islam di Indonesia Antara Idealitas dan Realitas

Referensi

Dokumen terkait

PEI.,AKSANAAN PERATURAN DAERAH TINGKAT I BENGKULU NOMOR 2 TAHUN 1994 TENTANG PENERIMAAN SUMBANGAN DARI PIHAK KETIGA KEPADA PEMERINTAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I

Untuk mendapatkan respon ternormalisasi oleh bobot maka digunakan metode AHP dengan standar penilaian mutu tablet yang terdiri atas tingkat kekerasan, daya keregasan

Berdasarkan hasil penelit ian dapat disim pulkan inst rum en penilaian sikap yang dikem bangkan sudah layak digunakan dalam proses pem belaj aran kim ia.. Ka t a Ku n ci :

Akan tetapi menurut pengamatan di beberapa program studi Pendidikan Bahasa Arab maupun sastra Arab, dan jurusan Terjemah bahwa (1) pengajaran bahasa Arab masih banyak

Hasil uji coba lapangan menunjukkan t hitung > t tabel yaitu 1,83 > 1,67 maka, hipotesis H 0 ditolak,sehingga dapat disimpulkan pembelajaran dengan menggunakan

PIMPINAN DAERAH MUHAMMADIYAH KOTA YOGYAKARTA MAJELIS PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH SEKOLAH MENENGAH ATAS.. SMA MUHAMMADIYAH 5 YOGYAKARTA TERAKREDITASI

Sistem informasi eksekutif ialah sistem yang menyediakan informasi bagi eksekutif mengenai kinerja keseluruhan perusahaan yang merupakan salah satu kebutuhan utama dalam

5 Seorang guru agama dituntut tidak hanya mengajarkan ilmu pendidikan agama Islam semata dalam proses pembelajaran, tetapi juga melakukan usaha-usaha tersebut