commit to user
ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun Oleh:
BASKORO ADI PRABOWO E 0005009
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
commit to user
ii
commit to user
v MOTTO
Orang yang paling sukses adalah orang yang paling sering gagal, dan ia mau terus berusaha
hingga ia dapatkan kesuksesan yang sesungguhnya, , ,
Hal yang paling harus kita takuti di dunia ini adalah ketakutan itu sendiri, , ,
Apabila kita mencoba mungkin kita akan gagal, namun apabila kita tidak mencoba maka kita
pasti gagal. . .
Tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. . .
Hal yang besar selalu diawali dari hal yang kecil, dan dilakukan mulai sekarang. . .
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Didalam ketidaksempurnaan, kupersembahkan skripsiku ini:
v Untuk Tuhan-ku “ALLAH SWT”,
v Untuk Rasul-ku “Muhammad SAW”, v Untuk mereka yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku dan mendoakanku yang tak bisa kubalas jasanya, “Ibu dan Bapak” yang tercinta, kakak-kakak terbaikku
Indra Kusumawardhani, Early Kusumaningtyas, Agung Nugroho Oktavianto,
v Untuk Dwi Wulan Maimunah yang selalu setia dalam suka dan duka serta selalu setia menanti skripsi ini tercipta
v Untuk Keluarga besar penulis yang telah menjadi motivator dan inspirasi bagi penulis untuk selalu optimis,,
commit to user
vii ABSTRAK
Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. “ANALISIS PUTUSAN HAKIM
MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA
PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)”. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penulisan Hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Bagaimana Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Terhadap Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009).
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis isi (content analysis).
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada dasarnya, Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bukan merupakan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) karena sengketa Penggelembungan DPT tersebut lebih cenderung terhadap pelanggaran administrasi karena pelanggaran tersebut dilakukan akibat warga negara yang belum memenuhi syarat-syarat untuk menjadi pemilih tetapi sudah diberikan hak pilih dan merupakan bagian dari proses persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan dalam pasal 248 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.
Dasar Hukum yang digunakan dalam Penggelembungan DPT yaitu Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UU No. 42 Tahun 2008, Pasal 258 UU No. 10 Tahun 2008. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa penggelembungan DPT pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut: Masalah Kualitatif yang terdiri dari Bantuan pihak asing dalam Pemilu, Pengurangan Tempat Pemungutan Suara (TPS), Pemutakhiran DPT dan pelanggaran-pelanggaran lainnya, masalah Kuantitatif yang terkait dengan penggelembungan suara dan pengurangan suara.
Kata Kunci: Sengketa Penggelembungan DPT, Pemilihan Presiden dan Wakil
commit to user ABSTRACT
Baskoro Adi Prabowo, E0005009, 2010. "ANALYSIS OF THE
CONSTITUTIONAL COURT OF JUSTICE DECISION ON THE DISPUTE distension LIST OF VOTERS REMAIN ON PRESIDENTIAL ELECTION OF 2009 (A Case Study of the Constitutional Court Decision Against Number 108-109/PHPU.B-VII/2009). Faculty of Law, Sebelas Maret University.
Legal writing this review and answer the problem of how the Constitutional Court Decision Analysis Dispute Against distension Voters List On Presidential Election of 2009 (Case Study Towards the Constitutional Court Decision No. 108-109/PHPU.B-VII/2009).
This research study is a descriptive normative law. Type of data used are secondary data covering primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques used is the study of documents with the technique of content analysis.
Based on this study showed that basically, Dispute inflate the Voters List is not a Dispute Election Results because the dispute is more likely to inflate the DPT against administrative violations because the offense was committed due to citizens who do not meet the requirements for become voters but has been granted the right to vote and are part of the preparation process of Presidential and Vice-President. This is in accordance with those described in article 248 of Law No. 10 of 2008 About Elections.
Legal Basis used in mark-DPT namely Article 29 through Article 32 of Law No. 42 of 2008, Article 258 of Law No. 10 of 2008. Basic Considerations Justice of the Constitutional Court in deciding disputes on Election DPT inflate the President and Vice President as follows: Qualitative Problems of foreign aid in the election, polling Reduction (TPS), DPT Updates and other violations, Quantitative problems associated with inflation of sound and sound reduction.
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Bismilahirrahmaanirrahiim
Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah AWT karena hanya dengan
berkah, rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum dengan judul “ANALISIS PUTUSAN HAKIM
MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP SENGKETA
PENGGELEMBUNGAN DAFTAR PEMILIH TETAP PADA PEMILIHAN
PRESIDEN TAHUN 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 108-109/PHPU.B-VII/2009)” dengan baik dan lancar.
Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta
memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain itu penulisan hukum ini
diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan informasi bagi penulisan
maupun pembaca.
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis tidak dapat
menyelesaikannya tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Moh. Jamin, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas HukumUniversitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penulisan hukum
ini;
2. Ibu Rofikah, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah
memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
3. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku pembimbing
utama skripsi penulis yang telah berjasa memberikan arahan, bantuan,
meluangkan waktu tanpa mengenal lelah dan dengan penuh kesabaran yang
tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini yang tidak akan
commit to user
ix
4. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.Hum. selaku co. pembimbing skripsi
penulis yang dengan penuh kesabaran memberikan arahan, bantuan, semangat,
senyuman dan telah meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan keluh
kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan beliau merupakan inspirator
penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang
jasanya tidak akan pernah penulis lupakan;
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum
pada khususnya kepada penulis sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadikan
bekal dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam
kehidupan masa depan penulis;
6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang selama ini telah banyak sekali membantu Penulis dalam hal
akademis dan hal-hal lain yang berkenaan dengan perkuliahan;
7. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibunda yang selama ini telah mengorbankan
jiwa dan raganya dan senantiasa mencurahkan seluruh kasih sayangnya,
Ayahanda yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi penulis
sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum ini;
8. Kakak-Kakakku, Mbak Iin, Mbak Lily dan Mas Nunuk, terima kasih atas
nasehat dan dukungan kalian selama ini,
9. Dwi Wulan Maimunah, orang yang selalu ada di hati penulis yang telah
memberikan doa dan banyak inspirasi dan selalu setia menanti penulisan
hukum ini.
10. Bapak dan Ibu Orang tua Wulan, Mbak Anti dan Nana yang selalu memberi
dukungan dan motivasi serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan hukum ini dengan lancer,
11. Seluruh teman-teman Angkatan 2005: FM, Komeng, Trek, Galih, Endrika,
Bajay, Rusdi, Dony dsb yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
12. Seluruh teman-teman diecaster; Om Poing, Om Her, Mas Adi dan semua
diecaster di seluruh Indonesia yang telah memberikan dukungan dan motivasi
commit to user
x
13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun penulisan hukum
ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu
kritik dan saran dari pembaca budiman sangat penulis perlukan. Akhirnya,
semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat bagi kita semua.
Surakarta, 25 Oktober 2010
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis ... 18
1. Tinjauan mengenai Negara Hukum ... 18
2. Tinjauan mengenai Demokrasi ... 23
3. Tinjauan mengenai Konstitusi ... 30
4. Tinjauan mengenai Mahkamah Konstitusi ... 40
commit to user
xii
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang Menjadi Dasar Hukum dan Dasar
Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Memutus
Sengketa Penggelembungan DPT ... 63
1. Faktor-faktor yang menjadi Dasar Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi ... 63
2. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi ... 65
3. Dasar Hukum Pengaturan DPT berdasarkan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 ... 74
B. Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Sengketa Penggelembungan DPT (Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)) ... 76
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ... 76
2. Kedudukan Hukum ... 77
3. Pokok Perkara Permohonan ... 79
4. Amar Putusan... 80
BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan ... 87
2. Saran ... 87
commit to user
xiii
[image:14.595.168.436.237.498.2]DAFTAR GAMBAR
commit to user BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jenuhnya masyarakat terhadap status quo yang telah berjalan beberapa
dekadelah yang mendasari amukan gelombang massa pada tahun 1997 yang
menuntut Orde Baru segera turun dan diganti dengan semangat pembaharuan
yaitu reformasi. Berbagai keputusan politik dan produk hukum yang lahir pada
era reformasi merupakan bentuk tuangan suara rakyat yang menuntut adanya
perubahan yang nyata setelah sistem demokrasi bangsa Indonesia selama 32
tahun hanya terjadi pada tingkat elit sedangkan sebagian besar masyarakat
tidak pernah dilibatkan dalam praktek demokrasi semu tersebut. Oleh karena
itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 juga
merupakan daftar teratas tuntutan yang menjadi latar belakang runtuhnya
rezim Orde Baru pada tahun 1998. Persoalannya bukan lagi siapa yang
menjadi tokoh penguasa pada masa tersebut yang menyebabkan otoriter,
namun juga sistem hukum dan ketatanegaraannya. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti
(Moris, dalam Jimly Asshiddiqie, www.mahkamahkonstitusi.go.id).
Ketidaksempurnaan tersebut terlihat jelas bahwa tidak adanya
mekanisme check and balances sehingga kekuasaan eksekutif begitu kuat
tanpa ada yang membatasi kewenangannya. Pasal-pasal dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan pasal yang
multitafsir oleh karena itu dapat dijadikan landasan hukum saat terjadi sebuah
penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah penguasa. Terlebih MPR
sebagai badan tertinggi negara pada masa tersebut hanya berfungsi sebagai
“boneka kekuasaan” dari eksekutif sehingga praktek demokrasi hanya menjadi
retorika saja. Sehingga, kesepakatan pemerintahan Habibie dengan menggelar
pelaksanaaan pemilu pertama pasca Orde Baru pada tahun 1999 merupakan
commit to user
langkah awal tegaknya demokrasi Indonesia. Bahwa pemilu tersebut jauh
lebih demokratis daripada pemilu-pemilu sebelumnya.
Sistem pemerintahan otoriter yang bergerak ke arah sistem
pemerintahan yang lebih demokratis jika diibaratkan seperti halnya arah dari
gerakan pendulum. Pilihan kebijakan yang diambil tergantung kepada situasi
dan kondisi politik pada zamannya masing-masing. Model pengaturan yang
demikian memungkinkan untuk terjadi karena hukum adalah sebuah produk
politik (Moh. Mahfud M.D., 1998: 7).
Terkait dengan proses demokrasi di Indonesia, atas dasar semangat
reformasi perubahan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari “Kedaulatan ditangan rakyat
dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa
kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang
dasar yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar oleh
lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya
dalam Undang-Undang Dasar.
Konsep pemikiran tersebut kembali diperjelas dengan sikap yang nyata
oleh pemerintah, ketika menawarkan terobosan politik (political
breakthrough) ketika bersama-sama dengan DPR merombak secara total
mekanisme sistem sistem Pemilihan Presiden (Pilpres) dari Pilpres yang
ditetapkan oleh MPR menjadi Pilpres secara langsung. Landasan dasar hukum
adanya pilpres secara langsung ini termuat pada Pasal 6A ayat (4)
amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang
menegaskan bahwa Berdasarkan Pasal 6A Ayat (1) menyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
commit to user
Mekanisme Pilpres secara langsung ini mengisyaratkan bahwa proses
demokrasi dan arah kebijakan dari pemerintah tidak lagi ditentukan oleh
segelintir kaum elit saja. Terlibatnya suara rakyat yang merupakan
pendelegasian dari arus demokrasi yang menggumpal yang tak dapat
dibendung oleh siapa pun. Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik,
maka demokrasi akan membuat jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah
suara Tuhan (vox populi vox dei). Adagium ini tak dapat diartikan, suara
rakyat (vox populi) itu identik dengan suara Tuhan, melainkan vox populi yang
bersumber dari sanubari rakyat itu akan selalu dimenangkan oleh Tuhan.
(Mahfud MD, dalam http://www.mohmahfudmd.com/ index.php?
page=web.Opini Lengkap&id =15)
Perubahan paradigma dalam amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 apabila dikaitkan dengan pendapat dari K.C.
Wheare merupakan sebuah keputusan yang tepat, dalam bukunya, Modern
Constitutions, menegaskan bahwa konstitusi adalah resultante atau produk
kesepakatan politik yang dibuat sesuai dengan kebutuhan dan situasi tertentu.
Ini berarti, isi konstitusi harus selalu sesuai dengan situasi dan kebutuhan
masyarakat, karena itu dapat diubah melalui resultante baru jika situasi dan
kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah. (K.C Wheare, dalam
Mahfud M.D) http://www.mohmahfudmd.com/ index.php?page=web.
OpiniLengkap&id=15.
Terlebih ketika terdapat sengketa pemilu telah diatur secara rigid
kewenangan yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan badan negara
yang independen dalam memutus sengketa pemilu tersebut. Kewenangan
tersebut berada pada tangan Mahkamah Konstitusi (MK). Mahkamah
Konstitusi berperan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of
the constitution). Inilah salah satu ciri dari sistem penyelenggaraan kekuasaan
negara yang berdasarkan konstitusi. Setiap tindakan lembaga-lembaga negara
commit to user
konstitusi. Tindakan yang bertentangan dengan konstitusi dapat diuji dan
diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui proses peradilan yang
diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi diberikan
wewenang oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final. Final dalam artian bahwa tidak dapat diupayakan terjadinya upaya
hukum lagi setelah putusan ditetapkan.
Terkait dengan Pilpres pada 8 Juli 2009 yang diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang terdapat drama-drama politik ketika
rakyat dilibatkan dalam pesta demokrasi dan telah menggunakan hak pilih
masing-masing untuk mendukung salah satu dari ketiga kandidat Capres dan
Cawapres yang disahkan oleh KPU. Ketiga pasangan Capres dan Cawapres
yang bersaing memperebutkan kursi nomor satu di negeri ini adalah Megawati
Soekarnoputri-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Yusuf
Kalla-Wiranto. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang diumumkan Mahkamah
Konstitusi KPU pada Sabtu, 25 Juli 2009 pasangan nomor urut dua, Susilo
Bambang Yudhoyono-Boediono menempati urutan teratas dan berpeluang
menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2009-2014.
Pesta demokrasi yang hampir selesai kembali menuai konflik, banyak
pengangkatan isu-isu miring mengenai kinerja KPU dalam hal masalah Daftar
Pemilih Tetap (DPT) oleh partai-partai politik setelah pengumuman pasangan
pemenang Pilpres. Banyak yang meragukan akuntabilitas dari daftar pemilih
yang dimiliki oleh KPU, apakah benar sudah semua rakyat yang telah
mempunyai hak untuk memilih telah terdaftar. Hal ini dikarenakan banyak
terdapat temuan-temuan di lapangan bahwa terdapat warga yang seharusnya
tidak mempunyai hak memilih masuk di DPT sedangkan warga yang
seharusnya memilih malah tidak terdaftar. Polemik inilah yang menjadi topik
hangat yang menjadi headline news di beberapa media beberapa bulan
commit to user
Adanya dugaan terjadinya praktik penggelembungan DPT yang
diangkat beberapa perwakilan politik memperkeruh dan mempersempit ruang
demokrasi rakyat. Jika pengangkatan dugaan pengglembungan DPT tersebut
terbukti secara meyakinkan di pembuktian Mahkamah Konstitusi selaku badan
yang berwenang memutus sengketa pemilu. Maka ada kekhawatiran di
berbagai kalangan bahwa akan terjadi Pilpres ulang sebagaimana yang diputus
di Pilkada Jatim. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar selain menghabiskan
dana rakyat yang tidak sedikit untuk melakukan Pilpres ulang. Pertanyaan
yang membayangi kemudian adalah kredibilitas dari KPU dan pemerintah
patut dipertanyakan. Menurut Yudi, selaku saksi ahli atas permintaan Tim
JK-Wiranto itu mengatakan “permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di
Indonesia hanya satu-satunya di Indonesia.
Salah satu pelanggaran yang paling berat, kata Yudi, adalah persoalan
DPT. Carut marut DPT yang selama ini menyertai pemilu menyebabkan cacat
besar dalam pemilu. Sebab basis demokrasi adalah diakuinya hak
konstitusional setiap warga negara. Persoalan DPT telah membuat sekian
banyak warga negara kehilangan hak pilihnya. "DPT yang baik adalah basis
pemilu yang baik. Itulah yang jadi basis legalitas. Tanpa legalitas, pemilu
cacat," kata Yudi.
(http://genenetto.blogspot.com/2009/08/saksi-ahli-kasus-dpt-tak-ada.html).
Pengajuan sengketa Pilpres atas nama rakyat ataukah pengajuan
segelintir kalangan yang mengatasnamakan rakyatlah yang menjadi tanda
tanya di benak masyarakat. Dan bagaimanakah kebijakan Mahkamah
Konstitusi dalam proses pengambilan putusan dalam menyikapi sengketa
pemilu inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk mengangkat masalah ini
dengan judul : ANALISIS PUTUSAN HAKIM MAHKAMAH
commit to user B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan
yang diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis,
sistematis dan representatife untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin
dipecahkan. Arti penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi
tujuan dan manfaat penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang
optimal.
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan
diteliti adalah meliputi:
a. Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan dasar pertimbangan
hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa Penggelembungan
Daftar Pemilih Tetap;
b. Analisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa
penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum (PHPU)).
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya
maka untuk mengarahkan suatu penelitian maka diperlukan adanya tujuan dari
suatu penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif, dan
merupakan pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian
tersebut (Soerjono Soekanto, 2006:118).
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut:
1. Tujuan obyektif:
a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum
dan dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
commit to user
b. Untuk menganalisis putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
perkara sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU))
2. Tujuan subyektif:
a. Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, dan
pemahaman Penulis khususnya di bidang Hukum Tata Negara;
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana
dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat
memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun
manfaat yang diharapkan sehubungan dengan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada
umumnya dan hukum tata negara pada khususnya;
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di
bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di
masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memperoleh data guna dianalisa agar dapat menjawab rumusan
masalah yang Penulis kemukakan;
b. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarkat luas
mengenai Analisis Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi terhadap
Sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap Pada Pemilihan
Presiden Tahun 2009 (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor
commit to user
c. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis
serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh Penulis selama studi di
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum dan masyarakat, dengan jalan menganalisanya.
Yang diadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu
menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi
merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis,
dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah
yang diteliti.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah dalam melakukan
penelitian hukum adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.
commit to user
Sebagai langkah pertama dalam penelitian hukum untuk
keperluan praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan
mengeliminir hal-hal yang tidak relevan. Sering kali kasus yang
dikemukakan oleh klien bercampur antara fakta dan pendapat serta
keinginan klien. Dalam hal ini ahli hukum harus dapat
membedakan mana fakta dan mana pendapat klien. Lebih jauh ahli
hukum harus dapat membedakan mana yang fakta hukum dan yang
bukan fakta hukum. Dengan membedakan fakta dan fakta
non-hukum peneliti akan dapat menetapkan isu non-hukum yang hendak
dipecahkan.
2) Penelitian untuk keperluan akademis.
Untuk mengidentifikasi fakta hukum, mengeliminir hal-hal
yang tidak relevan dan menetapkan isu hukum bagi keperluan
akademis, langkah pertama adalah peneliti harus dapat
memisahkan dirinya dari kepentingan-kepentingan yang terlibat di
dalam kegiatan penelitian itu. Ia harus menjadi dirinya sendiri yang
mempunyai sikap disinterestedness terhadap isu atau masalah
hukum yang hendak dipecahkan. Selanjutnya peneliti harus mampu
mengeliminir faktor-faktor yang tidak relevan dengan isu tersebut.
Penelitian yang dilakukan peneliti disini adalah penelitian
untuk keperluan akademis. Dalam penelitian ini diambil dua isu
yang menjadi permasalahan yang perlu dijawab atau dipecahkan
yaitu; (1) Faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar hukum dan
dasar pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap? (2) Analisis
putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara sengketa
penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (putusan Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum (PHPU)). Kedua isu hukum itulah yang
commit to user
b. Pengumpulan bahan-bahan hukum.
Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran
untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang
dihadapi. Karena dalam hal ini, salah satu pendekatan yang digunakan
peneliti adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach),
maka sesuai dengan isu yang diangkat, penulis harus mengumpulkan
bahan-bahan yang diantaranya yaitu Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 baik sebelum maupun sesudah
perubahan serta bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan isu
hukum yang diangkat tersebut.
c. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan.
Dalam rangka menjawab isu hukum yang diangkat, peneliti harus
menelaah isu hukum itu dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan
hukum yang relevan dengan isu tersebut. Selain menelaah isu tersebut
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang relevan, isu itu juga ditelaah
dari berbagai bahan-bahan hukum yang relevan dengan isu itu, yang
telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti. Dari telaah yang dilakukan
oleh peneliti berdasarkan bahan-bahan hukum maupun bahan
non-hukum itu, peneliti berusaha untuk menjawab isu yang diangkatnya.
Kemudian dari telaah-telaah itu diambil sebuah kesimpulan sebagai
jawaban atas isu hukum yang diangkat tersebut.
d. Menarik kesimpulan yang menjawab isu hukum.
Penelitian hukum itu bukan untuk menguji hipotesis, maka
konsekuensinya kesimpulan yang ditarik dari penelitian hukum bukan
menghasilkan diterima atau ditolaknya hipotesis. Dengan
menggunakan bahan-bahan hukum dan bilamana perlu juga
non-hukum sebagai penunjang, peneliti akan dapat menarik kesimpulan
commit to user
e. Memberikan Preskripsi.
Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya
merupakan hal yang esensial dari penelitian hukum. Baik untuk
keperluan praktek maupun untuk penulisan akademis, preskripsi yang
diberikan menentukan nilai penelitian tersebut, maka langkah terakhir
dari suatu penelitian yaitu memberikan preskripsi berupa rekomendasi
yang didasarkan pada kesimpulan yang telah diambil. Berpegang pada
karekteristik Ilmu Hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang
diberikan di dalam kegiatan penelitian hukum harus dapat atau
setidaknya mungkin untuk diterapkan.
Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan, baik terhadap
penelitian untuk keperluan praktis maupun untuk kajian akademis.
Itulah ringkasan mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan di
dalam penelitian hukum yang dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki
di dalam bukunya yang berjudul “Penelitian Hukum” (Peter Mahmud
Marzuki, 2008 : 171-209).
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian hukum ini, Penulis menggunakan penelitian hukum
yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala,
keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif
adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dan
memperkuat teori-teori lama di dalam kerangka menyusun teori-teori baru
(Soerjono Soekanto:2006:10).
3. Pendekatan Penelitian
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal
issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach)
commit to user
tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johnny Ibrahim,
2007 : 299).
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)
dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 93). Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima
pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical
approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut
(Johnny Ibrahim, 2007: 246). Dari beberapa pendekatan tersebut,
pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan
undang-undang (statute approach) dan pendekatan analitis (analytical
approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan mendekati
masalah yang diteliti dengan menggunakan sifat hukum yang normatif,
karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma
tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Oleh
karena itu, pengkajian yang dilakukan hanyalah terbatas pada peraturan
perundang-undangan (tertulis) yang terkait dengan masalah yang diteliti.
Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif dengan
menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, serta menganalisis
permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang telah
dikemukakan dalam perumusan masalah.
4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa
keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi
kepustakaan, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945, peraturan perundangan lainnya
commit to user
yang diteliti seperti putusan dan tulisan-tulisan ilmiah, sumber-sumber
tertulis lainnya serta makalah-makalah yang berkaitan dengan penelitian
ini.
5. Sumber Data
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (normatif), sehingga
bahan dari penelitian ini adalah data-data hukum sekunder. Data-data
hukum sekunder oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi
(Soerjono Soekanto dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990:
14-15).
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Antara lain sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
hasil amandemen;
2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi;
3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden.
4) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 108-109/PHPU.B-VII/2009
tentang Penggelembungan DPT Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden
5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang
Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan
Suara di Tempat Pemungutan Suara.
6) Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum.
7) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki,
bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua
commit to user
resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter
Mahmud Marzuki, 2005: 141). Bahan penelitian hukum sekunder yang
digunakan penulis adalah penjelasan dari tiap-tiap peraturan
perundang-undangan sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai
bahan hukum sekunder yang menjadi pertimbangan penting bagi
penulis, dikarenakan penjelasan dari tiap-tiap peraturan
perundang-undangan menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan peraturan
perundang-undangan oleh subyek-subyek pembentuknya, buku-buku
yang terkait dengan materi/bahasan, hasil-hasil penelitian, artikel
majalah dan koran, pendapat pakar hukum maupun makalah-makalah
yang berhubungan dengan topik penulisan ini;
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
6. Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap dalam hal ini
dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai
validitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal tiga
jenis pengumpulan data yaitu studi kepustakaan atau bahan pustaka,
pengamatan atau observasi dan wawancara.
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data
sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data
sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan
digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh
kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai
commit to user
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
hukum ini adalah studi kepustakaan yaitu berupa pengumpulan data
sekunder. Dalam penelitian hukum ini, penulis mengumpulkan data
sekunder yang memiliki hubungan dengan masalah yang diteliti dan
digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Selanjutnya data yang diperoleh
kemudian dipelajari, diklarifikasikan serta dianalisis lebih lanjut sesuai
dengan tujuan dan permasalahan penelitian.
7. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika
deduktif. Menurut Johny Ibrahim yang mengutip pendapatnya Bernard
Arief Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik
kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat
individual (Johny Ibrahim, 2007: 249). Sedangkan Prof. Peter Mahmud
Marzuki yang mengutip pendapatnya Philiphus M. Hadjon menjelaskan
metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles,
penggunaan metode deduksi berpangkal dari pegajuan premis major
(pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat
khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 47). Jadi yang dimaksud
dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah
menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik
kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus.
F. Sistematika Penulisan
Dalam bagian ini, Penulis mensistematiskan bagian-bagian yang akan
dibahas menjadi beberapa bab yang diusahakan dapat berkaitan dan lebih
tersistematis, terarah dan mudah dimengerti, sehingga saling mendukung dan
menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh.
commit to user
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini mencakup latar belakang permasalahan yang akan ditulis,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini akan mencakup kajian pustaka berkaitan dengan judul
dan masalah yang diteliti yang memberikan landasan teori serta
diuraikan mengenai kerangka pemikiran yaitu berupa Tinjauan Pertama mengenai Negara Hukum yang meliputi : Pendapat para ahli tentang Negara Hukum dan Prinsip-prinsip Negara
Hukum. Tinjauan Kedua mengenai Demokrasi yang meliputi
Pengertian dan hakikat demokrasi; asas-asas demokrasi;
faktor-faktor penegak demokrasi; model-model demokrasi. Tinjauan Ketiga mengenai Konstitusi meliputi : sejarah konstitusi; pengertian konstitusi; tujuan, fungsi dan ruang lingkup
konstitusi; klasifikasi konstitusi; nilai-nilai konstitusi; serta
prinsip-prinsip umum perubahan konstitusi. Tinjauan Keempat
mengenai Mahkamah Konstitusi yang meliputi : Latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi RI; Tugas dan
wewenang Mahkamah Konstitusi. Tinjauan Kelima mengenai
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi : Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi; sumber hukum
acara Mahkamah Konstitusi; asas-asas hukum Mahkamah
Konstitusi; permohonan dalam hukum acara Mahkamah
Konstitusi; alat bukti dan sistem pembuktian; serta putusan
Mahkamah Konstitusi.
BAB III : PEMBAHASAN
Bab ini mencakup hasil penjelasan dari penelitian yang
commit to user
1. Faktor-faktor yang menjadi dasar hukum dan dasar
pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
sengketa Penggelembungan Daftar Pemilih Tetap serta,
2. Analisis hakim Mahkamah Konstitusi terhadap perkara
sengketa penggelembungan Daftar Pemilih Tetap (Putusan
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)).
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab akhir ini mencakup tentang uraian kesimpulan dari hasil
pembahasan serta memuat saran-saran mengenai permasalahan
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Mengenai Negara Hukum
Negara Hukum merupakan terjemahan dari rechtstaat (ahli-ahli
hukum Eropa Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglosaxon).
Ide Negara hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan the rule of
law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy sebagai faktor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan. Karena itu, istilah nomokrasi itu
berkaita erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai
kekuasaan tertinggi.
Menurut Komisi Internasional Ahli Hukum, Konferensi di
Bangkok tahun 1965 (The International Commission of Jurists),
pemerintah yang demokratis di bawah rule of law harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Adanya perlindungan konstitusional;
b. Adanya pemilihan umum yang bebas;
c. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat;
e. Adanya kebebasan untuk berserikat /berorganisasidan beroposisi
f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Profesor Utrecht membedakan antara Negara Hukum formil dan
Negara Hukum materiil. Negara Hukum formil menyangkut pengertian
hukum yang bersifat formil dan sempit yaitu dalam arti
perundang-undangan tertulis, sedangkan negara hukum materiil yang lebih mutakhir,
mencakup pula pengertian keadilan didalamnya. Pembedaan ini, menurut
Jimly Asshiddiqie, memang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam
konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta-merta akan terwujud
commit to user
secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu
sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat
pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum utama.
Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti
perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang
dikembangkan bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin
keadilan substantif. Karena itu, disamping istilah the rule of law oleh
Friedman juga dikembangkan istilah rule of just law untuk memastikan
bahwa dalam pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian
keadilan yang lebih essensial daripada sekedar memfungsikan peraturan
perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan
tetap the rule of law, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan
dicakup dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyebut
konsepsi tentang Negara Hukum di zaman sekarang (Majalah
Konstitusi.2009. Edisi 26:16).
Dari uraian-uraian diatas, dapat dirumuskan kembali adanya dua
belas pokok prinsip Negara Hukum (Rechtstaat) yang merupakan
pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern
sehingga dapat disebut Negara Hukum yaitu (Jimly
Asshiddiqie.2005:151):
a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi
hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum
sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum
(supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang
sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan
hukum yang tertinggi. Dalam republik yang menganut sistem
commit to user
lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara
empirik. Dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap diskriminatif
dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan
tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat
khusus dan sementara guna mendorong dan mempercepat kelompok
masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk
mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang
sama dan setara dengan kelompok masyarakat yang jauh lebih maju.
c. Asas Legalitas (Due Process of Law)
Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas
legalitas dalam segala bentuknya (Due Process of Law) yaitu bahwa
segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis.
d. Pembatasan Kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara
dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal
atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum
besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk
berkembang menjadi sewenang-wenang.
Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat
checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling
mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan
commit to user
beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu,
kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ
atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewenang-wenangan.
e. Organ-organ Eksekutif Independen
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang
berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang
bersifat independent, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi
kepolisian dan kejaksaan. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi
ini sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan
eksekutif, tetapi sekarang berkembang menjadi independen sehingga
tidak lagi sepenuhnya merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif
untuk menentukan pengangkatan atau pemberhentian pimpinannya.
f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak
harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas
yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik
karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang. Untuk
menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya
intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim,
baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif
ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa.
g. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan
bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai
pilar utama Negara Hukum. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan
pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting
commit to user
keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak
yang berkuasa.
h. Peradilan Tata Negara (Constitusional Court)
Dalam negara hukum modern diharapkan adanya jaminan
tegaknya keadilan tiap-tiap warga negara dengan mengadopsikan
gagasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Pentingnya Mahkamah Konstitusi adalah upaya memperkuat sistem
check and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja
dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.
i. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia
dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses
yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut
dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai
ciri yang penting suatu negara hukum yang demokratis.
j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)
Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan
mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh
ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk
kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.
k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
commit to user
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan
bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui
gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan
negara hukum yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
l. Transparansi dan Kontrol Sosial.
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap
setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan
dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi
dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat
secara langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.
Adanya partispasi langsung ini penting karena sistem perwakilan
rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai
satu-satunya saluran aspirasi rakyat.
2. Tinjauan mengenai Demokrasi
a. Pengertian dan Hakikat Demokrasi
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa
(etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, "demokrasi"
berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu
demos yang berarti rakyat, dan cratos atau cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan sebagai pemerintahan
rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan
commit to user
tersebut. Demokrasi bila ditinjau dari terminologis (Azyumardi Azra,
2000 : 110), sebagaimana dikemukakan beberapa para ahli, misalnya:
1) Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2) Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
3) Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
4) Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik
yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
5) Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu
pengertian dasar bahwa demokrasi merupakan suatu sistem
pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, yang
mengandung tiga unsur, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat mengandung pengertian
bahwa pemerintah yang berdaulat adalah pemerintah yang mendapat
pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi suatu pemerintahan
sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan yang
berdaulat dapat menjalankan pemerintahannya serta program-program
commit to user
Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintah yang
mendapat legitimasi amanat dari rakyat sudah seharusnya untuk
tunduk pada pengawasan rakyat (social control). Dengan adanya
control tersebut, maka dapat sebagai tindakan preventif mengantisipasi
ambisi keotoriteran para pejabat pemerintah.
Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan
yang diberikan dari dan oleh rakyat kepada pemerintah harus
dijalankan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya
kepekaan pemerintah terhadap kebutuhan rakyat dan terhadap aspirasi
rakyat yang perlu diakomodir yang kemudian di follow-up melalui
pengeluaran kebijakan maupun melalui pelaksanaan program kerja
pemerintah.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang
membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan
legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang
saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu
sama lain. Independensi dan kesejajaran dari ketiga jenis lembaga
negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and
balances.
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara
langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden
atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara
tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih
sendiri secara langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak makna
kedaulatan rakyat. Peranannya dalam sistem demokrasi tidak besar,
suatu pemilu sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara
commit to user
tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus,
sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang
pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada
masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara.
b. Asas-asas Demokrasi
Dalam menentukan berlakunya suatu sistem demokrasi di suatu
negara ialah ada tidaknya asas-asas demokrasi dalam sistem
pemerintahan suatu negara. Adapun asas-asas demokrasi yaitu
(http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/01/blogsp
ot.html diakses tgl kamis 4 februari 2010 jam 15.15):
1) Adanya pengakuan hak – hak asasi manusia sebagai penghargaan
terhadap martabat manusia
Negara berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan
menjamin hak asasi manusia dengan diatur dalam peraturan
perundanga-undangan yang mempunyai payung hukum yang jelas
terhadap hak asasi manusia. Seperti di Indonesia, sudah ada
pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dicantumkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
2) Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah
Rakyat ikut serta menentukan kebijakan pemerintah yang
bersifat asasi dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga
pemerintah tidak dapat semena-mena dalam menentukan
kebijakan, perlu adanya kontrol dari rakyat. Di sisi lain, pemerintah
membutuhkan dukungan langsung dari rakyat dalam hal pemilihan
commit to user c. Faktor-faktor Penegak Demokrasi
Mengingat sangat pentingnya demokrasi, maka perlu adanya
faktor-faktor untuk menegakan demokrasi itu sendiri (Azyumardi
Azra, 2000 : 117 – 121). Ada empat faktor utama yaitu :
1) Negara hukum (rechtstaat dan rule of law)
Konsep rechtsstaat adalah adanya perlindungan terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan pada lembaga negara, pemerintahan berdasarkan
peraturan, serta adanya peradilan administrasi. Konsep dari rule of
law yaitu adanya supremasi aturan-aturan hukum, adanya
kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law),
serta adanya jaminan perlindungan HAM.
Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik
suatu konsep pokok dari negara hukum adalah adanya jaminan
perlindungan terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan negara, dan adanya lembaga peradilan yang bebas dan
mandiri.
2) Masyarakat madani
Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang
terbuka, yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara,
masyarakat yang kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat
yang egaliter. Masyarakat yang seperti ini merupakan elemen yang
sangat signifikan dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang
terbentuk kemudian dapat dianggap sebagai hasil dinamika
masyarakat yang menghendaki adanya partisipasi. Selain itu,
demokrasi merupakan pandangan mengenai masyarakat dalam
kaitan dengan pengungkapan kehendak, adanya perbedaan
commit to user 3) Infrastruktur
Infrastruktur politik yang dimaksud terdiri dari partai
politik (parpol), kelompok gerakan, serta kelompok kepentingan
atau kelompok penekan.
Partai politik merupakan suatu wadah struktur kelembagaan
politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan
cita-cita yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik dalam mewujudkan
kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan lebih dikenal dengan organisasi
masyarakat, yang merupakan sekelompok orang yang berhimpun
dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdayaan
warganya. Kelompok kepentingan atau penekan adalah
sekumpulan orang dalam suatu wadah organisasi yang didasarkan
pada kriteria profesionalitas dan keilmuan tertentu.
Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo,
parpol memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi
politik, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai recruitment kader
dan anggota politik, serta sebagai sarana pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut merupakan pengejawantahan dari
nilai-nilai demokrasi, yaitu adanya partisipasi serta kontrol rakyat
melaui parpol. Sedangkan kelompok gerakan dan kelompok
kepentingan merupakan perwujudan adanya kebebasan
berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan melakukan
oposisi terhadap negara dan pemerintah.
4) Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar
informasi yang obyektif melakukan kontrol sosial yang konstruktif
menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan
commit to user
positif antara pers, pemerintah, dan masyarakat (Sukarno, 1986 :
30).
d. Model-model demokrasi (Azyumardi Azra, 2000 : 134).
1) Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi
undang-undang dan pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam
waktu yang tetap secara berkala.
2) Demokrasi terpimpin, yaitu dimana para pemimpin percaya bahwa
segala tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan
umum yang bersaing sebagai “kendaraan” untuk menduduki
kekuasaaan.
3) Demokrasi Pancasila, adalah dimana kedaulatan rakyat sebagai
inti dari demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama
untuk menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik
yang sama semua rakyat. Untuk itu, Pemerintah patut memberikan
perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan
hak politik.
4) Demokrasi sosial, adalah demokrasi yang menaruh kepedulian
pada keadilan sosial dan egaliterianisme bagi persyaratan untuk
memperoleh kepercayaan publik.
5) Demokrasi partisipasi, yang merupakan hubungan timbal balik
antara penguasa dengan yang dikuasai.
6) Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi
kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang
erat di antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.
7) Demokrasi langsung, yang mana lembaga legislatif hanya
berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan,
sedangkan pemilihan pejabat eksekutif dan legislatif melalui
pemilihan umum (pemilu) oleh rakyat secara langsung.
8) Demokrasi tidak langsung, yang mana lembaga parlemen (sebagai
commit to user
berkaian dengan kehidupan masyarakat dalam hubungannya
dengan pemerintah dan negara. Hal ini berarti rakyat tidak secara
langsung berhadapan dengan pemerintah.
3. Tinjauan Mengenai Konstitusi
a. Sejarah Konstitusi
1) Terminologi klasik ( Constitutio dan Politeia )
Dari sejarah klasik terdapat 2 perkataan yang berkaitan erat
dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi , yaitu dalam
perkataan Yunani kuno Politeia dan perkataan bahasa latin
Constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua
perkataan politeia dan costitutio itulah awal mula gagasan
konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta
hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah.
Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat
dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah Politeia yang
berasal dari kebudayaan Yunani.
Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya
istilah yang mencerminkan kata jus ataupun constituio seperti
dalam tradisi romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan
sistem berfikir para filosof Yunani kuno, perkataan constitution
seperti yang kita maksudkan sekarang, tidak dikenal.
2) Warisan Yunani kuno (Aristoteles)
Menurut Aristoteles, klasifikasi konstitusi tergantung pada :
a) The ends pursued by states, and
b) The kind of authority exercised by their government
Tujuan tertinggi dari Negara adalah a good life, dan hal ini
merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh
commit to user
wrong constution dengan ukuran kepentingan bersama. Jika
konstitusi diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan
bersama, maka konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi
jika sebaliknya konstitusi itu adalah kostitusi yang salah (Jimly
Asshiddiqie.2010:6).
3) Warisan Romawi Kuno
Salah satu sumbangan penting filsof romawi, terutama
setelah Cicero mengembangkan karyanya adalah pemikiran tentang
hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah
dikembangkan sebelumnya oleh para filosof kuno sebelumnya.
Pada masa ini adalah awal mula dipakainya istilah lex yang
kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik
dan hukun di zaman Romawi kuno. Penggunaan perkataan lex
tampaknya dianggap lebih luas cakupan maknanya.
Konstitusi mulai dipahami sebagai sasuatu yang berada di
luar dan bahkan diatas negara. Tidak seperti masa sebelumnya,
konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana
bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai prinsip the
higher law. Prinsip hierarki hukum juga makin dipahami secara
tegas kegunaannya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan.
4) Warisan Islam (Konstitusionalisme dan Piagam Madinah)
Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang
dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti
modern dalam Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan
bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil
penduduk kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari
commit to user
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada
abad ke 7 M itu merupakan inovasi yang paling penting selama
abad-abad pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya
perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat
untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam
bentuk yang tertulis.
5) Terminologi konstitusi modern
Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak
ditetapkan oleh lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan
yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma
hukum y