TESIS MAGISTER
HUBUNGAN TERAPI MANITOL 20 % DENGAN
FUNGSI GINJAL PADA PENDERITA STROKE
PERDARAHAN INTRASEREBRAL DENGAN
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
OLEH
ANYTA PRISCA DORMIDA
NIM 117112002
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK
Telah diuji pada
Tanggal : 14 Oktober 2014
PANITIA TESIS MAGISTER
1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) (Penguji) 2. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K)
3. dr. Darlan Djali Chan, Sp.S 4. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) 5. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)
6. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) (Penguji) 7. dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K) (Penguji) 8. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S
9. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S 10.dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS 11.dr. Cut Aria Arina, Sp.S
12.dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S 13.dr. Alfansuri Kadri, Sp.S 14. dr. Aida Fitrie, Sp.S
15. dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S
16. dr. Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S
17. dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S
18. dr. RA. Dwi Puji Astuti, M.Ked(Neu), Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang atas
segala berkat, rahmat dan kasih-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis
magister kedokteran klinik ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program
magister kedokteran klinik pada Program Studi Magister Neurologi di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk
mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu
Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H.Adam
Malik Medan yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing,
mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan
dan penyelesaian tesis ini.
3. Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), selaku Guru Besar Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H.Adam
Malik Medan yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing,
mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan
dan penyelesaian tesis ini.
4. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara di saat penulis melakukan penelitian dan sebagai
Ketua Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
/ RSUP H. Adam Malik Medan saat tesis ini selesai disusun yang banyak
memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
5. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), Ketua Program Studi Neurologi Fakultas
dan saat tesis ini selesai disusun yang banyak memberikan
masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
6. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), dan dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S selaku
pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong,
membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan,
pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
7. Guru-guru penulis: dr. Darlan Djali Chan, Sp.S; dr. Kiking Ritarwan, MKT,
Sp.S(K); dr. Aldy S. Rambe, Sp.S(K); dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S; dr. Cut Aria
Arina, Sp.S; dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S; dr.Iskandar Nasution, Sp.S; dr. Aida
Fithrie, Sp.S; dr. Alfansuri Kadri, Sp.S; dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S;
dr.Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S; dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S;
dr. RA. Dwi Puji Astuti, M.Ked(Neu), Sp.S; dr. Chairil Amin Batubara,
M.Ked(Neu), Sp.S dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program
Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
8. DR. Ir. Erna Mutiara, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak
meluangkan waktunya yang berharga untuk berdiskusi dan membimbing
penulis dalam penulisan tesis ini.
9. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah
memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga
penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
10. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-I Departemen Neurologi FK-USU / RSUP.
H. Adam Malik Medan, khususnya kepada teman–teman seangkatan, dr. Rita
M. Sibarani, dr. Sesmi Betris, dr. Toety Simanjuntak, dr. Rizky Syafria dan dr.
Artisya Fajriani serta kakak-kakak senior dan adik-adik junior, terima kasih
atas hari-hari yang penuh warna yang telah kita jalani bersama.
11. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah
bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik
ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
telah banyak membantu penulis dalam menjalani Program Pendidikan
Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
12. Semua pasien yang berobat ke Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik
Medan yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian
13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya ucapkan kepada
kedua orang tua saya, Drs. Piter Pardede, MBA dan Annie S. Sihombing, BA
yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan senantiasa
memberi dukungan moril dan materiil, bimbingan dan nasehat yang berharga
serta doa yang tiada putus agar penulis dapat menyelesaikan Program
Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf.
14. Ucapan terima kasih kepada kedua Bapak/Ibu mertua saya, Hasiholan Silaen,
SH dan Rosmawati Siagian, BA atas segala dukungan dan doa yang tulus
agar saya dapat menjalani dan menyelesaikan pendidikan dengan baik.
15. Teristimewa kepada suamiku tercinta, Pahala K. S. Silaen, SE, MSi, yang
selalu dengan sabar dan penuh pengertian, mendampingi dengan penuh cinta
dan kasih sayang dalam suka dan duka, kuucapkan terima kasih yang
setulus-tulusnya.
16. Kepada anakku tersayang, belahan jiwaku, Helena Margaretha Silaen, Hector
Imannuel Silaen dan Holand Peter JR Silaen, yang telah menjadi pembangkit
semangat dan penghibur hati dalam menjalani hari-hari pendidikan yang
terkadang tidak mudah.
17. Kepada seluruh keluarga yang senantiasa membantu, memberi dorongan,
pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini,
penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
18. Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak mungkin saya sebutkan satu
persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima
kasih yang sebesar-besarnya, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan
rahmat dan kasihnya kepada kita semua. Akhirnya penulis mengharapkan
semoga penelitian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua jasa dan budi baik
mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam mewujudkan cita-cita
penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 14 Oktober 2014
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : dr. Anyta Prisca Dormida
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 10 April 1984
Agama : Kristen Protestan
Nama Ayah : Drs. Piter Pardede, MBA
Nama Ibu : Annie Sabar Sihombing, BA
Nama Suami : Pahala Kiki Sujadi Silaen, SE, MSi
Nama Anak : 1. Helena Margaretha Putri Silaen
2. Hector Imannuel Silaen
3. Holand Peter JR Silaen
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar di SD Fransiskus Xaverius Bandar Lampung, tamat tahun
1996.
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Bandar Lampung, tamat tahun
1999.
3. Sekolah Menengah Umum di SMA Negeri 1 Medan, tamat tahun 2002.
4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara tamat tahun 2007.
Riwayat Pekerjaan
April 2008 – Oktober 2010 : Dokter PNS Fungsional pada Pemerintah
Kota Tebing Tinggi
Oktober 2010 s/d sekarang : Dokter PNS Fungsional pada Pemerintah
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN……….. i
KATA PENGANTAR……….. iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….. vi
DAFTAR ISI………..vii
DAFTAR SINGKATAN………... xii
DAFTAR TABEL………..xiii
DAFTAR GAMBAR………. xv
DAFTAR LAMPIRAN………. xvi
ABSTRAK……… xvii
ABSTRACT………. xviii
BAB I PENDAHULUAN……… 1
I.1. Latar Belakang………. 1
I.2. Perumusan Masalah……….. 7
I.3. Tujuan Penulisan……… 8
I.3.1. Tujuan Umum……… 8
I.3.2. Tujuan Khusus……….. 8
I.4. Hipotesis ………9
I.5. Manfaat Penelitian……… 9
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian………. 9
I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan…….. 9
I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat ………10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 11
II.1. STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL…………. 11
II.1.1. Definisi……… 11
II.1.2. Epidemiologi……….. 11
II.1.3. Faktor Resiko………. 13
II.1.4. Klasifikasi ………14
II.1.5. Patofisiologi……… 15
II.1.6. Penanganan……….. 17
II.1.7. Terapi Osmotik………...21
II.2. MANITOL……….. 22
II.2.1. Farmakologi………22
II.2.2. Farmakokinetik……….. 23
II.2.3. Farmakodinamik ………25
II.2.4. Dosis………26
II.2.5. Efek Fisiologis……… 26
II.2.5.1. Efek Penurunan TIK………. 27
II.2.5.3. Efek Pada Sirkulasi Darah……… 29
II.2.5.4. Efek Mikrosirkulasi………. 29
II.2.6. Efek Samping……… 30
II.3. PENGARUH MANITOL TERHADAP FUNGSI GINJAL…31 II.4. KERANGKA TEORI……… 35
II.5. KERANGKA KONSEP ………36
BAB III METODE PENELITIAN………... 37
III.1. TEMPAT DAN WAKTU………..37
III.2. SUBYEK PENELITIAN……….. 37
III.2.1. Populasi Sasaran……….. 37
III.2.2. Populasi Terjangkau……….. 37
III.2.3. Besar Sampel………. 38
III.2.4. Kriteria Inklusi………. 39
III.2.5. Kriteria Eksklusi………. 39
III.3. BATASAN OPERASIONAL………. 39
III.4. RANCANGAN PENELITIAN ………42
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN……… 43
III.5.1. Instrumen……… 43
III.5.2. Pengambilan Sampel ………43
III.5.3. Kerangka Operasional……….. 45
III.5.4. Variabel yang Diamati………... 46
III.5.5. Analisa Statistik……….. 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……….... 48
IV.1. HASIL PENELITIAN……….. 48
IV.1.1. Karakteristik Demografik Dan Klinis Subyek Penelitian……….... 48
IV.1.2. Hubungan antara penggunaan manitol 20% dengan fungsi ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK……….………….... 50
IV.1.3. Perbedaan kadar kreatinin serum penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian Manitol 20%………...……….…………....52
IV.1.4. Perbedaan kadar ureum serum penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian Manitol 20%………...……….…………....53
IV.1.6. Perbedaan output urin penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian Manitol 20%…………... 55 IV.1.7. Perbedaan kadar elektrolit serum penderita
stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian
Manitol 20%………...……….…………....56 IV.1.8. Hubungan antara kreatinin serum dengan
osmolalitas serum pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan
peningkatan TIK………...……….………….... 58 IV.1.9. Hubungan antara volume perdarahan
dengan fungsi ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral yang
mendapatkan terapi manitol 20%….……….. 61 IV.2. PEMBAHASAN……….. 66
IV.2.1. Karakteristik Demografik Dan Klinis
Subyek Penelitian……….…….... 67 IV.2.2. Hubungan antara penggunaan manitol 20%
dengan fungsi ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan
peningkatan TIK……….………….... 69 IV.2.3. Perbedaan kadar kreatinin serum penderita
stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian
Manitol 20%………...……….…………....70 IV.2.4. Perbedaan kadar ureum serum penderita
stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian
Manitol 20%………...……….…………....71 IV.2.5. Perbedaan osmolalitas serum penderita
stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian
Manitol 20%………...……….…………....72 IV.2.6. Perbedaan output urin penderita stroke
perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian Manitol 20%…………... 73 IV.2.7. Perbedaan kadar elektrolit serum penderita
stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian
osmolalitas serum pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan
peningkatan TIK………...……….………….... 75
IV.2.9. Hubungan antara volume perdarahan dengan fungsi ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral yang mendapatkan terapi manitol 20%….……….. 78
IV.2.10.Keterbatasan Penelitian.……….……...….... 79
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..……….... 83
V.1. KESIMPULAN..……..………. 83
V.2. SARAN………..……….…….. 85
DAFTAR PUSTAKA……….. 87
DAFTAR SINGKATAN
ACE : Angiotensin Converting Enzyme
ADH : Anti Diuretic Hormone
AIDS : Acquired Immuno Deficiency Syndrome
ARF : Acute Renal Failure
ASNA : ASEAN Neurological Association
ATP : Adenosin Trifosfat
AVM : Arterio-Venous Malformation
BUN : Blood Urea Nitrogen
Ca2+ Cl
: Calsium
-CPP : Cerebral Perfusion Pressure
: Chloride
CT : Computed Tomography
dL : desi liter
FK-USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
g : gram
GFR : Glomerular Filtration Rate
GGA : Gagal Ginjal Akut
iv : intravena
K+
kg : kilogram
: kalium
kgBB : kilogram berat badan
L : liter
mEq : milli equivalen
mg : milli gram
Mg2+
mL : milli liter
: Magnesium
mm : milli meter
mmHg : millimeter merkuri mOsm : milli osmolar Na+
PSA : Perdarahan Subaraknoid : natrium
RS : Rumah Sakit
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SD : Standard Deviation
SPSS : Statistical Product and Science Service
TIA : Transient Ischemic Attack
TIK : Tekanan Intrakranial WHO : World Health Organization
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kandungan natrium dan osmolalitas cairan infus……… 21
Tabel 2 Kegunaan medis manitol……….. 27
Tabel 3 Efek samping manitol………. 30
Tabel 4 Nefrotoksisitas manitol………... 32
Tabel 5 Karakteristik demografik dan klinis subjek saat masuk RS…. 49 Tabel 6 Perbedaan rerata GFR sebelum dan setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK………..… 50
Tabel 7 Stadium CKD sebelum dan setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK………... 51
Tabel 8 Perbedaan rerata kadar kreatinin serum sebelum dan setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK….. 52
Tabel 9 Perbedaan rerata kadar ureum serum sebelum dan setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK….. 53
Tabel 10 Perbedaan rerata osmolalitas serum sebelum dan setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK….. 54
Tabel 11 Perbedaan rerata output urin sebelum dan setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK………...….… 55
Tabel 12 Perbedaan rerata kadar elektrolit serum sebelum dan setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK….. 58
Tabel 13 Hubungan antara kreatinin serum dengan osmolalitas pada hari kedua setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK………...….… 59
Tabel 14 Hubungan antara kreatinin serum dengan osmolalitas pada hari ketiga setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK………...….… 59
Tabel 15 Perbedaan rerata GFR sebelum dan setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan volume perdarahan < 30 cc……… 62 Tabel 16 Perbedaan rerata GFR sebelum dan setelah pemberian
intraserebral dengan volume perdarahan > 30 cc……… 62 Tabel 17 Perbedaan rerata kadar kreatinin serum sebelum dan
setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan volume
perdarahan < 30 cc………. 63 Tabel 18 Perbedaan rerata kadar kreatinin serum sebelum dan
setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan volume
perdarahan > 30 cc………. 64 Tabel 19 Perbedaan rerata kadar ureum serum sebelum dan
setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan volume
perdarahan < 30 cc………. 65 Tabel 20 Perbedaan rerata kadar ureum serum sebelum dan
setelah pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan volume
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Algoritma penanganan perdarahan intraserebral…… 20
Gambar 2 Struktur manitol………... 22
Gambar 3 Efek manitol pada tubulus proksimal renal……… 25 Gambar 4 Kriteria gagal ginjal akut……….... 33 Gambar 5 Grafik linear hubungan antara kreatinin serum
dengan osmolalitas pada hari kedua
setelah pemberian manitol 20%………...… 60 Gambar 6 Grafik linear hubungan antara kreatinin serum
dengan osmolalitas pada hari ketiga
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 LEMBARAN PENJELASAN KEPADA CALON
SUBJEK PENELITIAN
LAMPIRAN 2 PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
LAMPIRAN 3 LEMBAR PENGUMPULAN DATA
ABSTRAK
Latar Belakang : Peningkatan tekanan intrakranial sering terjadi pada penderita stroke perdarahan intraserebral. Penanganan peningkatan tekanan intrakranial merupakan hal yang penting dan manitol 20% telah menjadi salah satu pilihan utama dalam penanganan peningkatan tekanan intrakranial yang cepat. Terapi manitol 20% dapat menyebabkan terjadinya gangguan cairan dan elektrolit, reaksi hipersensitivitas, bahkan gagal ginjal meskipun dalam dosis terapi. Akan tetapi hubungan antara fungsi ginjal dengan pemberian manitol 20% pada peningkatan tekanan intrakranial masih belum jelas diketahui.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kasus potong lintang dengan 39 subyek yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik. Subyek merupakan pasien yang didiagnosis dengan stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan tekanan intrakranial berdasarkan pemeriksaan neurologis dan CT scan kepala dan diterapi dengan manitol 20% dosis 0,5 g/kg berat badan selama 3 hari. Kadar kreatinin serum, ureum serum, osmolalitas serum, urin output dan elektrolit serum diperiksa sebelum dan setelah pemberian manitol 20%.
Hasil : Dari 39 penderita (21 pria, 18 perempuan), selama pemberian manitol 20% ditemukan perubahan kadar parameter fungsi ginjal pada hari ke-3 setelah pemberian manitol 20%. Terdapat peningkatan kadar kreatinin serum 0,21+0,51 mg% (p=0,014), peningkatan kadar ureum serum 18,44+25,7 mg% (p=0,000), peningkatan kadar osmolalitas serum 8,64+17,95 mmol/kgH2O (p=0,005) dan penurunan kadar natrium serum 3,03+6,68 mEq/L (p=0,007). Selain itu, juga terdapat peningkatan kadar kalium serum dan penurunan kadar klorida serum (p>0,05). Tidak subyek yang mengalami anuria maupun oliguria. Terdapat penurunan GFR 14,87+36,42 mL/menit (p=0,015), namun tidak ada subyek yang mengalami gagal ginjal. Terdapat korelasi positif lemah yang signifikan antara kreatinin serum dengan osmolalitas serum pada hari ketiga setelah pemberian manitol 20% (r=0,415, p=0,009).
Kesimpulan : Pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK menunjukkan adanya perbedaan kadar kreatinin, ureum, osmolalitas dan natrium serum secara signifikan (p<0,05) serta penurunan GFR (p<0,05) dibandingkan dengan sebelum pemberian manitol 20%.
ABSTRACT
Background : Intracerebral hemorrhage can increase intracranial pressure. Treatment of increased ICP is one of the most important and most common problems. Mannitol has been seen as one of the first choices in the immediate-treatment of increased ICP. The most common complications of mannitol therapy are fluid and electrolyte imbalances, hypersensitivity reactions and might also cause renal failure even in therapeutic doses. However the influence of osmotherapy on renal function in patients treated with mannitol due to increased intracranial pressure was not so far well described.
Method : This was a cross sectional study of 39 subjects in Haji Adam Malik General Hospital. Subjects were patients who diagnosed with stroke caused by intracerebral hemorrhage with increasing of intracranial pressure based on neurological examination and head CT scan examination and treated with mannitol 20% dose 0,5 g/kg body weight for 3 days. Renal function were measured before and after mannitol 20% administration.
Results : Of 39 patients (21 males, 18 females), mannitol 20% administration showed changes of renal function parameter on the 3rd day. There were increasing of serum creatinine level 0,21+0,51 mg% (p=0,014), increasing of serum ureum level 18,44+25,7 mg% (p=0,000), increasing of serum osmolality 8,64+17,95 mmol/kgH2O (p=0,005) and decreasing of serum sodium level 3,03+6,68 mEq/L (p=0,007). Increasing of serum potassium level and decreasing of serum chloride level were also found (p>0,05). None of patients developed anuria or oliguria. There was decreasing of GFR 14,87+36,42 mL/menit (p=0,015), but none of patients developed acute renal failure. There was a significant relationship between creatinine level and serum osmolality on the 3rd day (r=0,415, p=0,009).
Conclusion : Mannitol 20% administration for stroke caused by intracerebral hemorrhage with increasing of intracranial pressure showed changes of serum creatinine, ureum, osmolality and natrium level significantly (p<0.05) and also decreased of glomerular filtration rate (p<0.05).
Keywords : Mannitol 20% – Renal Function – Stroke caused by Intracerebral
ABSTRAK
Latar Belakang : Peningkatan tekanan intrakranial sering terjadi pada penderita stroke perdarahan intraserebral. Penanganan peningkatan tekanan intrakranial merupakan hal yang penting dan manitol 20% telah menjadi salah satu pilihan utama dalam penanganan peningkatan tekanan intrakranial yang cepat. Terapi manitol 20% dapat menyebabkan terjadinya gangguan cairan dan elektrolit, reaksi hipersensitivitas, bahkan gagal ginjal meskipun dalam dosis terapi. Akan tetapi hubungan antara fungsi ginjal dengan pemberian manitol 20% pada peningkatan tekanan intrakranial masih belum jelas diketahui.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kasus potong lintang dengan 39 subyek yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik. Subyek merupakan pasien yang didiagnosis dengan stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan tekanan intrakranial berdasarkan pemeriksaan neurologis dan CT scan kepala dan diterapi dengan manitol 20% dosis 0,5 g/kg berat badan selama 3 hari. Kadar kreatinin serum, ureum serum, osmolalitas serum, urin output dan elektrolit serum diperiksa sebelum dan setelah pemberian manitol 20%.
Hasil : Dari 39 penderita (21 pria, 18 perempuan), selama pemberian manitol 20% ditemukan perubahan kadar parameter fungsi ginjal pada hari ke-3 setelah pemberian manitol 20%. Terdapat peningkatan kadar kreatinin serum 0,21+0,51 mg% (p=0,014), peningkatan kadar ureum serum 18,44+25,7 mg% (p=0,000), peningkatan kadar osmolalitas serum 8,64+17,95 mmol/kgH2O (p=0,005) dan penurunan kadar natrium serum 3,03+6,68 mEq/L (p=0,007). Selain itu, juga terdapat peningkatan kadar kalium serum dan penurunan kadar klorida serum (p>0,05). Tidak subyek yang mengalami anuria maupun oliguria. Terdapat penurunan GFR 14,87+36,42 mL/menit (p=0,015), namun tidak ada subyek yang mengalami gagal ginjal. Terdapat korelasi positif lemah yang signifikan antara kreatinin serum dengan osmolalitas serum pada hari ketiga setelah pemberian manitol 20% (r=0,415, p=0,009).
Kesimpulan : Pemberian manitol 20% pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK menunjukkan adanya perbedaan kadar kreatinin, ureum, osmolalitas dan natrium serum secara signifikan (p<0,05) serta penurunan GFR (p<0,05) dibandingkan dengan sebelum pemberian manitol 20%.
ABSTRACT
Background : Intracerebral hemorrhage can increase intracranial pressure. Treatment of increased ICP is one of the most important and most common problems. Mannitol has been seen as one of the first choices in the immediate-treatment of increased ICP. The most common complications of mannitol therapy are fluid and electrolyte imbalances, hypersensitivity reactions and might also cause renal failure even in therapeutic doses. However the influence of osmotherapy on renal function in patients treated with mannitol due to increased intracranial pressure was not so far well described.
Method : This was a cross sectional study of 39 subjects in Haji Adam Malik General Hospital. Subjects were patients who diagnosed with stroke caused by intracerebral hemorrhage with increasing of intracranial pressure based on neurological examination and head CT scan examination and treated with mannitol 20% dose 0,5 g/kg body weight for 3 days. Renal function were measured before and after mannitol 20% administration.
Results : Of 39 patients (21 males, 18 females), mannitol 20% administration showed changes of renal function parameter on the 3rd day. There were increasing of serum creatinine level 0,21+0,51 mg% (p=0,014), increasing of serum ureum level 18,44+25,7 mg% (p=0,000), increasing of serum osmolality 8,64+17,95 mmol/kgH2O (p=0,005) and decreasing of serum sodium level 3,03+6,68 mEq/L (p=0,007). Increasing of serum potassium level and decreasing of serum chloride level were also found (p>0,05). None of patients developed anuria or oliguria. There was decreasing of GFR 14,87+36,42 mL/menit (p=0,015), but none of patients developed acute renal failure. There was a significant relationship between creatinine level and serum osmolality on the 3rd day (r=0,415, p=0,009).
Conclusion : Mannitol 20% administration for stroke caused by intracerebral hemorrhage with increasing of intracranial pressure showed changes of serum creatinine, ureum, osmolality and natrium level significantly (p<0.05) and also decreased of glomerular filtration rate (p<0.05).
Keywords : Mannitol 20% – Renal Function – Stroke caused by Intracerebral
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Penelitian yang berskala cukup besar di Indonesia dilakukan oleh
survei ASNA (ASEAN Neurological Association) di 28 rumah sakit (RS) di
seluruh Indonesia, pada penderita stroke akut yang dirawat di RS, dan
dilakukan survei mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan, mortalitas
dan morbiditasnya. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan
profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45 – 64
tahun berjumlah 54,7% dan di atas usia 65 tahun 33,5% (Misbach, 2011).
Stroke perdarahan intraserebral terjadi sekitar 10 – 15% dari semua
stroke pada populasi Barat dan didefinisikan sebagai onset non-traumatik,
dengan sakit kepala tiba-tiba yang parah, tingkat kesadaran yang
berubah, atau defisit neurologis fokal yang berhubungan dengan lokasi
perdarahan dalam parenkim otak pada neuroimaging atau otopsi yang
bukan karena trauma atau konversi hemoragik dari infark serebral
(Flaherty dkk, 2010).
Perdarahan intraserebral terjadi sekitar 10 sampai 15% dari seluruh
kejadian stroke di seluruh dunia atau 10 sampai 30 kasus per 100.000
orang per tahun. Penderita perdarahan intraserebral menunjukkan
prognosa terburuk dari semua subtipe stroke dengan angka kematian 30
perdarahan intraserebral juga lebih buruk, dengan 75% penderita
mengalami cacat atau meninggal dalam 1 tahun. Perdarahan intraserebral
lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama pada populasi
Jepang, dan dua kali lebih umum terjadi di Asia dibandingkan dengan
kelompok etnis lainnya. Insiden perdarahan intraserebral juga meningkat
pada usia lanjut (Brouwers dkk, 2012).
Adanya kerusakan atau lesi efek massa di otak dapat
menyebabkan edema dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
Penanganan peningkatan TIK merupakan hal yang penting dan selalu
menjadi permasalahan utama di fasilitas rawat neuro intensif.
Penanganannya bervariasi mulai dari intervensi medis dan pembedahan.
Manitol telah menjadi salah satu pilihan utama dalam penanganan
peningkatan TIK yang cepat. Namun, manitol mempunyai beberapa efek
yang tidak diharapkan, antara lain gagal ginjal dan hipovolemia. Manitol
juga dapat mengeksaserbasi edema otak apabila diberikan terlalu lama
(Mortazavi dkk, 2012).
Dziedzic dkk (2003) meneliti 51 penderita stroke hemoragik yang
diterapi dengan manitol menurut pedoman American Heart Association.
Kadar ureum dan kreatinin serum diukur pada hari pertama sebelum
manitol diberikan, hari kedua, kelima dan keempat belas setelah manitol
diberikan. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa terjadi peningkatan
sementara kadar ureum dan kreatinin serum, meskipun tidak ada
konsentrasi ureum tersebut dapat meningkatkan osmolalitas serum dan
akhirnya mempengaruhi fungsi ginjal.
Gagal ginjal akut (GGA) yang disebabkan oleh penggunaan manitol
jarang dilaporkan. Perez dkk pada tahun 2002 melaporkan empat kasus
penderita laki-laki antara usia 20 dan 42 tahun, yang mengalami gagal
ginjal akut (3 anuria, 1 nonoliguria) setelah menerima manitol 1,172 ± 439
g (rata-rata ± SD) selama jangka waktu 58 ± 28 jam. Tingkat infus manitol
adalah 0,25 ± 0,02 g / kg / jam. Terjadinya gagal ginjal akut terdeteksi 48 ±
22 jam setelah pemberian infus manitol. Dari hasil evaluasi sitologi urin
pada 2 dari 3 kasus dijumpai kehadiran vakuola yang mengandung sel-sel
tubulus ginjal. Semua penderita mengalami hiponatremia (120 ± 11 mEq /
L), dan hiperosmolalitas (osmolar gap 70 ± 11 mOsm / kg air). Tidak ada
faktor lain dapat menunjukkan sebagai penyebab gagal ginjal akut. Dalam
3 kasus anuria dimana hemodialisis dilakukan, pemulihan diuresis segera
diamati. Fungsi ginjal pada dua penderita pulih pada hari kelima dan
keenam, dan 2 meninggal karena hipertensi intrakranial. Dalam laporan
ini, gagal ginjal akut yang disebabkan manitol (manitol-induced ARF)
terjadi pada dosis berkisar dari 0,25 mg / kg / jam.
Rabetoy dkk (1993) melaporkan seorang perempuan 31 tahun
yang menggunakan warfarin jangka panjang untuk menangani fibrilasi
atrial mengalami kejang umum tonik klonik. Dari hasil scan kepala tampak
adanya edema serebral dan ditangani dengan steroid dan hiperventilasi.
edema serebral yang semakin progresif dengan midline shift. Dalam 28
jam, manitol 550 g diinfuskan dan menyebabkan terjadinya GGA.
Suzuki dkk pada tahun 1993 melaporkan 2 penderita mengalami
GGA dengan oliguria setelah infus manitol diberikan sebagai penanganan
untuk hipertensi intrakranial. Kedua penderita mengalami mual dan
muntah dan menjadi semakin lesu dengan edema tubuh secara umum.
Gagal jantung kongestif juga terjadi. Data laboratorium menunjukkan
hiponatremia berat dan hiperosmolalitas.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Du dkk tahun 1996, dilaporkan
14 kasus GGA yang diinduksi manitol. Dosis manitol yang digunakan
bervariasi. Dalam semua kasus, serum Na+ dan HCO3- menurun, serta K+ dan blood urea nitrogen (BUN) meningkat secara signifikan. Osmolalitas
serum diukur dalam 5 kasus dan dijumpai osmolal gap sangat meningkat
hingga 77,4 mOsm / kg. Peningkatan osmolal gap mungkin berperan
penting pada GGA dengan cara menyebabkan vasokonstriksi ginjal.
Pemantauan osmolalitas serum atau osmolal gap dapat membantu
mencegah keracunan manitol. Penurunan serum Na+
Penelitian yang dilakukan Halma tahun 1996 pada seorang pria 75
tahun yang mengalami edema serebral yang diterapi dengan manitol,
anuria terjadi setelah 2 hari terapi. Fungsi ginjal kembali normal setelah mungkin menjadi
tanda peringatan osmolal gap meningkat. Hemodialisis adalah cara
hemodialisis dilakukan. Dosis tinggi manitol dapat menyebabkan GGA,
terutama pada penderita yang menderita gangguan ginjal sebelumnya.
Nakhoul dkk pada tahun 1995 melaporkan seorang penderita
dengan GGA oliguria reversibel. Manitol 25% intravena diberikan untuk
menangani edema intrakranial, selama pemberian inhibitor angiotensin
converting enzyme (ACE) untuk hipertensi arterial. Tingkat kreatinin serum
meningkat menjadi 5,6 mg / dL dari nilai sebelumnya 1,2 mg / dL.
Osmolalitas serum diukur dan meningkat hingga 310 mOsm / kg dari
pengukuran awal 280 mOsm / kg. Nakhoul dkk berpendapat bahwa infus
manitol mungkin menyebabkan pembengkakan sel tubulus dengan
obstruksi luminal.
Dua kasus GGA terkait dengan manitol dilaporkan oleh Lin dkk
tahun 1995. Kasus pertama adalah laki-laki 16 tahun dengan leukemia
promyelocytic acute. Penderita mengalami kompresi ventrikel kiri dengan
penurunan kesadaran (koma) pada saat masuk RS. Manitol 30 g infus
intravena setiap 6 jam digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial.
Setelah dosis manitol ditingkatkan hingga 120 g setiap 4 jam, output urin
mengalami penurunan dari 4000 mL / hari menjadi 100 mL / hari setelah 1
hari kemudian. Kreatinin serum juga meningkat dari 1 mg / dL menjadi 4
mg / dL, dan BUN meningkat dari 15 mg / dL menjadi 50 mg / dL. Osmolar
gap adalah 66 mOsm / L. Dosis manitol akhirnya diturunkan menjadi 15 g
setiap 4 jam. Setelah penderita menjalani hemodialisis, kreatinin serum
seorang pria, 89 tahun. Manitol 15 g infus intravena setiap 6 jam diberikan
karena penurunan kesadaran. Dosis ditingkatkan menjadi 60 g setiap 4
sampai 6 jam karena infark otak ditemukan pada hari keempat. 4 hari
kemudian output urine menurun dari 3500 – 4500 mL / hari menjadi 400
mL / hari. Dosis total manitol 1005 g diberikan (870 g dalam 4 hari
terakhir). Kreatinin serum meningkat dari 1,1 mg / dL menjadi 2,7 mg / dL,
dan BUN meningkat dari 20 hingga 35 mg / dL. Osmolar gap adalah 85
mOsm / L. Penderita menerima dialisis peritoneal dan dosis manitol
dikurangi menjadi 15 g setiap 4 jam.
Dorman dkk pada tahun 1990 melaporkan 8 kasus GGA yang
diinduksi manitol. Dorman dkk mendapatkan gagal ginjal akut berupa
oliguria yang terjadi dalam waktu 3,5 + 1,1 (rata-rata + SD) hari setelah
menerima dosis manitol harian 189 + 64 g dan total 626 + 270 g, selama
lebih dari 3,5 + 1,5 hari. Puncak serum kreatinin adalah 5,7 + 2,7 mg / dL
dan puncak osmolal gap adalah 74 + 39 mOsm / kgH2O. Sel epitel tubular mengandung vakuola terlihat dalam sedimen urin pada 6 penderita.
Fungsi ginjal membaik dengan cepat setelah penghentian manitol dan /
atau dengan hemodialisis. Dalam kasus-kasus yang sebelumnya memiliki
fungsi ginjal normal dilaporkan GGA terjadi setelah menerima dosis total
manitol 1.171 + 376 g dan puncak osmolal gap adalah 107 + 17.
Sebaliknya, pada penderita dengan gangguan ginjal, fungsi ginjal
memburuk setelah dosis total manitol 295 + 143 g. Patogenesis manitol
berhubungan dengan vasokonstriksi ginjal yang dihasilkan oleh
konsentrasi tinggi dari manitol. Hal ini dapat dihindari dengan memantau
osmolal gap, dibandingkan osmolalitas serum saja, bila menggunakan
infus manitol untuk pengobatan hipertensi intrakranial.
Upadhyay dkk (2010) mendeskripsikan bahwa selama manitol
digunakan secara intensif, maka osmolaritas serum di bawah 320 mOsm/L
direkomendasikan karena komplikasi dari nekrosis tubular akut dan gagal
ginjal. Komplikasi tersebut terjadi sebagai akibat dari dehidrasi dan
hipovolemia. Karena efek diuretik dan risiko hipovolemia, manitol memiliki
risiko lebih besar untuk terjadinya nekrosis tubular akut dibandingkan
dengan salin hipertonik.
Meskipun beberapa studi mendapatkan bahwa penggunaan
manitol 20% dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal, akan tetapi
hubungan dan pengaruh manitol 20% terhadap fungsi ginjal belum secara
jelas diketahui.
I.2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti
yang telah dirumuskan di atas dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah hubungan antara penggunaan manitol 20% dengan
fungsi ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan
I.3. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan :
I.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara penggunaan manitol 20%
dengan fungsi ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral
dengan peningkatan TIK.
I.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan antara penggunaan manitol 20% dengan
fungsi ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan
peningkatan TIK di RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui kadar kreatinin serum penderita stroke perdarahan
intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian Manitol 20%.
3. Untuk mengetahui kadar ureum serum penderita stroke perdarahan
intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian Manitol 20%.
4. Untuk mengetahui osmolalitas serum penderita stroke perdarahan
intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian Manitol 20%.
5. Untuk mengetahui output urin penderita stroke perdarahan
intraserebral dengan peningkatan TIK selama pemberian Manitol 20%.
6. Untuk mengetahui kadar elektrolit serum penderita stroke perdarahan
7. Untuk mengetahui hubungan antara kreatinin serum dengan
osmolalitas serum pada penderita stroke perdarahan intraserebral
dengan peningkatan TIK di RSUP H. Adam Malik Medan.
8. Hubungan antara volume perdarahan dengan fungsi ginjal pada
penderita stroke perdarahan intraserebral yang mendapatkan terapi
manitol 20% di RSUP H. Adam Malik Medan.
9. Untuk mengetahui karakteristik demografi penderita stroke perdarahan
intraserebral dengan peningkatan TIK di RSUP H. Adam Malik Medan.
I.4. HIPOTESIS
Ada hubungan antara penggunaan manitol 20% dengan fungsi
ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral dengan peningkatan
TIK.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian
Dengan mengetahui adanya hubungan antara penggunaan manitol
20% dengan fungsi ginjal pada penderita stroke perdarahan intraserebral
dengan peningkatan TIK dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya tentang pengaruh manitol terhadap fungsi ginjal pada
I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan
Dengan mengetahui adanya hubungan antara penggunaan manitol
20% dengan fungsi ginjal pada penderita stroke, perdarahan intraserebral
dengan peningkatan TIK maka diharapkan dapat menambah keilmuan
kepada para dokter dalam penanganan stroke, khususnya stroke
perdarahan intraserebral.
I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat
Dengan mengetahui adanya hubungan antara penggunaan manitol
20% dengan fungsi ginjal pada seseorang yang mengalami stroke
perdarahan intraserebral dengan peningkatan TIK, maka dapat dilakukan
pencegahan efek samping manitol 20% sehingga dapat menekan biaya
perawatan dan meningkatkan kualitas hidup penderita stroke perdarahan
intraserebral dengan peningkatan TIK yang mendapatkan terapi manitol
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. STROKE PERDARAHAN INTRASEREBRAL
II.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu episode dari disfungsi neurologis yang
disebabkan oleh iskemia atau hemoragik, berlangsung selama > 24 jam
atau meninggal, tetapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk
diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
Stroke perdarahan intraserebral adalah tanda klinik disfungsi
neurologis yang berkembang cepat akibat perdarahan dalam parenkim
otak yang tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).
II.1.2. Epidemiologi
Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan
terdapat 100 – 200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun
(Hacke dkk, 2003). Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000
insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian
per tahun, dengan 4,8 juta penderita stroke yang bertahan hidup
(Goldstein dkk, 2006).
Meskipun dapat mengenai semua usia, insiden stroke meningkat
dengan bertambahnya usia dan terjadi lebih banyak pada wanita usia
64 tahun adalah 1,25; pada umur 65 – 74 tahun adalah 1,50; 75 – 84
tahun adalah 1,07; dan pada umur >85 tahun adalah 0,76 (Lloyd dkk,
2009).
Dari survei ASNA di 28 RS seluruh Indonesia, diperoleh gambaran
bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dan profil
usia 45 tahun yaitu 11,8%, usia 45 – 64 tahun berjumlah 54,2% dan diatas
usia 65 tahun sekitar 33,5%. Data-data lain dari ASNA Stroke
Collaborative Study diperoleh angka kematian sebesar 24,5% (Misbach
dkk, 2011).
Insiden stroke perdarahan intraserebral di belahan bumi Barat
selama era CT umumnya berkisar dari 10 sampai 30 kasus per 100.000
orang. Tingkat insiden perdarahan intraserebral lebih tinggi di Asia Timur,
di mana perdarahan intraserebral tersebut memiliki persentase yang lebih
besar dari semua stroke dibandingkan pada populasi Barat (Flaherty dkk,
2010).
Insiden perdarahan intraserebral menurun antara 1950-an dan
1980-an. Studi sebelumnya mendapatkan bahwa ada kecenderungan
penurunan kejadian perdarahan intraserebral di Oxfordshire, Inggris
antara tahun 1981 dan 2006. Kejadian perdarahan intraserebral juga
menurun selama tahun 1990-an di beberapa kota di Cina. Namun,
penurunan yang serupa belum terlihat dalam penelitian lain. Stabilisasi
setidaknya sebagian disebabkan oleh deteksi dan klasifikasi yang tepat
dari perdarahan kecil dengan neuroimaging modern (Flaherty dkk, 2010).
Risiko perdarahan intraserebral tampaknya sedikit lebih besar pada
pria dibandingkan pada wanita. Di Amerika Serikat kulit hitam dan
Hispanik memiliki insidensi jauh lebih tinggi dibandingkan kulit putih. Di
antara orang kulit hitam dan Hispanik, risiko perdarahan intraserebral
paling sering pada orang muda dan setengah baya. Lokasi dominan
perdarahan intraserebral dalam otak juga bervariasi dalam populasi yang
berbeda. Di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia, perdarahan yang
berasal dari periventrikular, nukleus kaudatus, kapsula interna, putamen,
globus pallidus, atau talamus adalah yang paling umum, diikuti oleh
perdarahan lobar pada gray matter atau white matter subkortikal.
Sedangkan dalam sebuah studi berbasis populasi yang besar di Jepang,
perdarahan lobar hanya terjadi 15% dari keseluruhan perdarahan
intraserebral (Flaherty dkk, 2010).
II.1.3. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : (Sjahrir, 2003)
1. Non modifiable risk factors
a. Usia
b. Jenis kelamin
2. Modifiable risk factors
a. Behavioral risk factors
1. Merokok
2. Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat,
kolesterol, low fruit diet
3. Alkoholik
4. Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulansia, anti platelet,
obat kontrasepsi
b. Physiological risk factors
1. Penyakit hipertensi
2. Penyakit jantung
3. Diabetes mellitus
4. Infeksi / lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
5. Gangguan ginjal
6. Kegemukan (obesitas)
7. Polisitemia, viskositas darah meninggi dan penyakit perdarahan
8. Kelainan anatomi pembuluh darah
9. Dan lain-lain
II.1.4. Klasifikasi
Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke berdasarkan atas
patologi anatomi (lesi), stadium dan lokasi (sistem pembuluh darah)
I. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
1. Stroke iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Trombosis serebri
c. Emboli serebri
2. Stroke hemoragik
a. Perdarahan intraserebral
b. Perdarahan subaraknoid
II. Berdasarkan stadium :
1. TIA
2. Stroke in evolution
3. Completed stroke
III. Berdasarkan lokasi (sistem pembuluh darah) :
1. Tipe karotis
2. Tipe vertebrobasiler
II.1.5. Patofisiologi
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan
perdarahan subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih
20% adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah
perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000).
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya
sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak.
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriol berdiameter 100 – 400
mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah
tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma
tipe Bouchard. Pada kebanyakan penderita, peningkatan tekanan darah
yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang kecil.
Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan
pada arteriol dan pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini
pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan semakin besar
(Caplan, 2000).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik
akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di
daerah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala
neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang
menyebabkan nekrosis (Caplan, 2000).
Perdarahan intraserebral sekunder (sekitar 12 sampai 22% dari
seluruh kejadian perdarahan intraserebral) disebabkan oleh penyebab lain
selain pecahnya pembuluh darah kecil, misalnya, aneurisma, malformasi
arteri-vena, transformasi hemoragik stroke iskemik, dan neoplasma
II.1.6. Penanganan
Stroke perdarahan dikaitkan dengan tingkat kematian yang tinggi
dan morbiditas yang berat. Pengobatan pilihan masih kontroversial,
mengingat bahwa data dari beberapa uji klinis belum memberikan bukti
yang meyakinkan untuk mendukung efektivitas surgical clot removal. Oleh
karena itu, penanganan dilakukan terutama terhadap edema serebri
sebagai target potensial untuk terapi intervensi pada penderita stroke
hemoragik (Thiex dkk, 2007).
Beberapa hal yang berperan besar untuk menjaga agar TIK tidak
meninggi pada stroke, antara lain (Misbach, 2011) :
1. Mengatur posisi kepala lebih tinggi 15 – 300
2. Mengusahakan tekanan darah yang optimal.
dengan tujuan
memperbaiki venous return.
Tekanan darah yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema
serebral, sebaliknya tekanan darah terlalu rendah akan
mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya juga akan menyebabkan
edema dan peninggian TIK.
3. Mengatasi kejang, menghilangkan rasa cemas, mengatasi rasa
nyeri dan menjaga suhu tubuh normal < 37,50
Kejang, gelisah, nyeri dan demam akan menyebabkan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan akan substrat
metabolisme. Di satu sisi terjadi peningkatan metabolisme serebral,
terjadi kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya
akan mengakibatkan peninggian TIK.
4. Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit.
Hiponatremia akan menyebabkan penurunan osmolalitas plasma
sehingga akan terjadi edema sitotoksik sedangkan hipernatremia
akan menyebabkan lisisnya sel-sel neuron.
5. Mengatasi hipoksia.
Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme
anaerob, sehingga akan terjadi metabolisme tidak lengkap yang
menghasilkan asam laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian
asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat
dan selanjutnya menyebabkan edema otak dan peninggian TIK.
6. Menghindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan
abdominal seperti batuk, mengedan dan penyedotan lendir
pernafasan yang berlebihan.
7. Pemberian larutan manitol 20 – 25% dengan dosis 0,75 – 1 mg /
kgBB bolus, diikuti 0,25 – 0,5 mg / kgBB setiap 3 – 5 jam
tergantung pada respon klinis. Komplikasi penggunaan manitol
adalah hipotensi, hipokalemia, gangguan fungsi ginjal karena
hiperosmolaritas, gangguan jantung kongestif dan hemolisis.
Terdapat beberapa pedoman untuk mengendalikan pembengkakan
sederhana, seperti obat penenang, ventilasi, dan posisi kepala yang
ditinggikan, gagal untuk mengontrol pembengkakan otak, perawatan
medis lebih lanjut dapat diterapkan, termasuk inotropik, salin hipertonik,
manitol, dan hipotermia. Perfusi otak dan tekanan intrakranial merupakan
target terapi dalam mencegah hipoperfusi otak yang berpotensi
mengancam nyawa. Pedoman baru-baru ini merekomendasikan target
tekanan intrakranial adalah kurang dari 25 mmHg dan CPP lebih besar
Gambar 1. Algoritma penanganan perdarahan intraserebral
Dikutip dari : Qureshi, A.I., Tuhrim, S., Broderick, J.P., Batjer, H.H., Hondo, H., Hanley, D.F. 2001. Spontaneous intracerebral hemorrhage. N Engl J Med.
II.1.7. Terapi Osmotik
Efek terapi osmotik terhadap TIK diduga dengan menyebabkan
penyusutan otak setelah pergeseran air keluar dari substansi otak.
Berbagai zat yang digunakan sebagai terapi osmotik, antara lain urea,
gliserol, sorbitol, manitol, dan salin hipertonik (White dkk, 2006).
Sodium Content and Osmolality of Solutions
Administered to Patients after Neurotrauma
Sodium
concentration
(mmol/L)
Osmolality
(mOsm/kg)
a
0.9% saline
154
308
Lactated Ringer’s
solution
130
275
20% mannitol
-
1098
1,7% saline
291
582
3% saline
513
1026
7.5% saline
1283
2566
10% saline
1712
3424
23.4% saline
4004
8008
29.2% saline
5000
10.000
[image:42.595.114.507.282.568.2]*The osmolality of a solution is the number osmoles of solute per kilogram solvent. Osmolality can be measured by determining a change in the solution’s colligative properties or calculated as the sum of the concentration of the solutes present in the solution.
Tabel 1. Kandungan natrium dan osmolalitas cairan infus
Dikutip dari : White, H., Cook, D., Venkatesh, B. 2006. The use of hypertonic saline for treating intracranial hypertension after traumatic brain injury. Anesth
Meskipun efektif, urea tidak lagi digunakan karena memiliki
berbagai efek samping termasuk mual, muntah, diare, hemoglobinuria,
koagulopati, dan rebound hipertensi intrakranial. Gliserol dan sorbitol
dapat menurunkan TIK akan tetapi dapat menyebabkan hiperglikemia
yang signifikan. Manitol cukup efektif dan aman serta direkomendasikan
oleh Brain Trauma Foundation dan European Brain Injury Consortium
sebagai terapi osmotik pilihan (White dkk, 2006).
II.2. MANITOL
II.2.1. Farmakologi
Manitol adalah polialkohol nonmetabolik C-6 dengan berat molekul
182, dan merupakan agen diuretik tertua serta paling banyak digunakan
sebagai osmotik. Selain menjadi agen hiperosmotik, manitol juga telah
terbukti sebagai scavenger efektif radikal hidroksil bebas dalam berbagai
[image:43.595.163.459.541.652.2]sistem biologis termasuk ekstraselular (Better dkk, 1997).
Gambar 2. Struktur manitol
Manitol memiliki struktur kimia 1,2,3,4,5,6-hexanehexol (C6H8
(OH)6) dan merupakan poliol (alkohol gula) yang banyak digunakan dalam
industri makanan dan farmasi. Manitol adalah zat alami yang ditemukan
dalam ganggang laut, jamur segar, dan dalam eksudat dari pohon. Serta
merupakan isomer dari sorbitol, yang biasanya disintesis oleh hidrogenasi
glukosa. Manitol juga tersedia secara komersial dalam berbagai bubuk
kristal putih dan bentuk granular, yang semuanya larut dalam air. Infus
manitol bersifat asam (pH 6.3) dan dapat mengkristal jika disimpan pada
suhu kamar, tetapi dapat dibuat larut lagi dengan pemanasan (Shawkat
dkk, 2012).
Manitol hipertonik intravena (iv) merupakan agen farmakologis
pertama yang digunakan untuk profilaksis terhadap GGA, diperkenalkan
oleh Homer Smith pada tahun 1940 untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerulus (GFR) pada manusia dan anjing. Smith mencatat efek diuretik
osmotik manitol tersebut. Hal ini diikuti oleh Selkurt tahun 1945 yang
menunjukkan bahwa manitol memperbaiki GGA iskemik pada anjing.
Sejak saat itu, profilaksis manitol terhadap GGA pada manusia digunakan
secara luas tetapi tidak secara universal (Better dkk, 1997).
II.2.2. Farmakokinetik
Manitol harus diberikan secara parenteral karena pemberian secara
oral tidak diserap. Manitol didistribusikan hampir seluruhnya dalam cairan
hasilnya, hanya 7% hingga 10% yang dimetabolisme, mungkin di hati,
sedangkan sisanya secara bebas disaring oleh glomerulus dan
diekskresikan utuh dalam urin. Sekitar 7 persen diserap kembali oleh
tubulus ginjal. Dengan fungsi ginjal normal, setelah dosis tunggal manitol
intravena, half life manitol dalam sirkulasi plasma adalah sekitar 15 menit.
Dari dosis yang diberikan, 90% ditemukan dalam urin setelah 24 jam.
Namun, pada insufisiensi ginjal yang berat maka tingkat ekskresi manitol
sangat berkurang sehingga manitol dalam tubuh dapat meningkatkan
tonisitas ekstraselular menyebabkan pergeseran air keluar dari sel,
memperbanyak cairan ekstraselular dan menyebabkan terjadinya
hiponatremia serta osmolalitas serum yang meningkat. Oleh karena itu,
manitol harus digunakan dengan hati-hati pada kondisi insufisiensi ginjal
(Nissenson dkk, 1979).
Karena berat molekulnya yang rendah (182), manitol secara bebas
disaring melalui tubulus ginjal. Namun, karena tidak diserap, terus menjadi
osmotik aktif dalam tubulus, hal inilah yang menyebabkan aksinya sebagai
diuretik osmotik. Manitol juga menyebabkan pelepasan prostaglandin
ginjal yang menyebabkan vasodilatasi ginjal dan peningkatan aliran urin
tubular yang dipercaya untuk melindungi terhadap cedera ginjal dengan
mengurangi obstruksi tubular. Hal ini juga bertindak sebagai scavenger
radikal bebas dan mengurangi efek berbahaya dari radikal bebas selama
II.2.3. Farmakodinamik
Diuretik osmotik terutama bekerja pada tubulus proksimal dan pars
desendens lengkung Henle. Melalui efek osmotik, diuretik juga
menghambat efek ADH pada collecting tubule. Manitol mencegah
penyerapan normal air dengan kekuatan osmotik, sehingga volume urin
meningkat. Peningkatan laju aliran urin mengurangi waktu kontak antara
[image:46.595.123.504.360.623.2]cairan dan epitel tubular, sehingga mengurangi Na+ serta reabsorpsi air (Tavakkoli, 2011).
Gambar 3. Efek manitol pada tubulus proksimal renal
II.2.4. Dosis
Manitol biasanya diberikan dalam larutan 20% dalam dosis bolus,
dibandingkan sebagai infus kontinyu. Tekanan intrakranial akan menurun
dalam 5 – 10 menit. Efek maksimum terjadi dalam waktu sekitar 60 menit
dan total efek dapat berlangsung 3 – 4 jam. Pemberian bolus
meminimalkan hemokonsentrasi dan memperpanjang efek. Bolus 0,25 –
0,5 g / kg (diberikan selama 10 – 20 menit) dapat digunakan dan diulang
tergantung pada respon. Dosis 0,25 g / kg tampaknya seefektif dosis 1 g /
kg dalam mengurangi TIK tetapi tidak memiliki lama efek yang sama
(Reilly, 1997).
II.2.5. Efek Fisiologis
Selain penggunaannya dalam industri makanan dan farmasi,
manitol juga banyak digunakan dalam praktek medis untuk berbagai
indikasi (Tabel 2), terutama karena sifat osmotiknya. Untuk penggunaan
klinis, manitol diberikan sebagai cairan steril 10% dan 20% dalam 500 mL
Indikasi manitol
Menurunkan peningkatan tekanan intrakranial
Menjaga fungsi ginjal perioperasi pada pasien rencana operasi jantung dan pasien jaundice
Diuresis dan mengurangi resiko gagal ginjal akut setelah transplantasi ginjal
Menjaga fungsi ginjal pada rhabdomyolysis akibat trauma dan compartment syndrome
Persiapan kolon sebelum operasi kolorektal, kolonoskopi,dan enema barium
[image:48.595.105.513.111.352.2]Meningkatkan ekskresi zat toksik pada urin
Tabel 2. Kegunaan medis manitol
Dikutip dari : Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A.2012. Mannitol : a review of its clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-85.
II.2.5.1. Efek Penurunan TIK
Edema serebral terlibat dalam berbagai macam penyakit saraf
seperti iskemia otak, perdarahan otak, trauma otak dan tumor otak atau
abses otak. Edema serebral yang parah harus dikelola segera untuk
mencegah herniasi otak (Zeng dkk, 2010).
Osmoterapi telah digunakan sejak awal abad 20 untuk mengobati
TIK yang meningkat. Dasar fisiologis dan konsep osmoterapi pertama kali
diterbitkan pada 1919. Infus intravena manitol dianggap sebagai 'standar
emas' untuk penanganan TIK yang meningkat (Harutjunyan dkk, 2005).
Pemantauan terus menerus TIK menunjukkan bahwa edema otak
dapat menyebabkan peningkatan TIK, yang membutuhkan perawatan.
Kortikosteroid, meskipun sering digunakan untuk mengobati edema otak,
tidak meningkatkan kelangsungan hidup setelah stroke. Diuretik osmotik,
terutama manitol, adalah salah satu agen yang banyak digunakan dalam
penanganan edema serebral. Manitol diperkirakan menurunkan TIK
dengan cara mengurangi kadar air keseluruhan dan volume cairan
serebrospinal serta dengan mengurangi volume darah melalui
vasokonstriksi. Manitol juga dapat meningkatkan perfusi otak dengan
mengurangi viskositas (Bereczki dkk, 2000).
Situasi di mana penurunan tekanan intrakranial yang sangat cepat
diperlukan merupakan indikasi untuk terapi dengan agen osmotik seperti
manitol. Infus larutan hipertonik manitol dapat dengan cepat mengurangi
cairan otak dengan menciptakan gradien osmotik antara otak dan plasma.
Ketika manitol (1 g / kg) diberikan selama 10 sampai 15 menit (misalnya,
250 mL larutan 20% pada orang dewasa), penurunan tekanan intrakranial
dari 30 sampai 60% dapat diharapkan dalam 2 sampai 4 jam. Manitol
tampaknya meningkatkan sirkulasi dengan mengurangi tekanan
intrakranial serta dengan menciptakan efek langsung pada perfusi
serebral dalam mikrosirkulasi. Selain itu, manitol bertindak sebagai
scavenger radikal bebas. Karena manitol secara bertahap berdifusi dari
kompartemen vaskular ke dalam sistem saraf pusat, tindakan ini dapat
II.2.5.2. Efek Proteksi Ginjal
Manitol telah digunakan sebagai agen pelindung ginjal pada
penderita berisiko tinggi terkena gagal ginjal, seperti yang menjalani
operasi jantung dan pembuluh darah, transplantasi ginjal, dan pada
penderita jaundice dan rhabdomyolysis. Namun, studi-studi
menunjukkan bahwa meskipun manitol meningkatkan output urin, hal
tersebut tidak mengurangi risiko terjadinya GGA (Shawkat dkk, 2012).
II.2.5.3. Efek Pada Sirkulasi Darah
Manitol dapat menginduksi peningkatan cardiac output dan tekanan
pengisian, serta peningkatan sementara tekanan arterial dan tekanan
perfusi serebral. Cardiac output dapat meningkat hingga 30% sehingga
menyebabkan aliran darah otak juga meningkat. Beberapa studi
menunjukkan bahwa manitol sangat mempengaruhi resistensi vaskular
sistemik karena efek reologinya. Hal ini juga meningkatkan transportasi
oksigen sistemik maupun serebral (Castillo dkk, 2009).
II.2.5.4. Efek Mikrosirkulasi
Manitol merupakan scavenger radikal bebas dan memiliki efek
mikrosirkulasi yang kuat dengan cara meningkatkan aliran darah kapiler.
Efek ini bersifat sementara dan berdasarkan kenaikan volaemia kapiler,
urea dan gliserol, yang tidak lagi digunakan secara klinis (Castillo dkk,
2009).
II.2.6. Efek Samping
Manitol memiliki banyak efek samping, antara lain ekspansi volume
awal (meningkatkan risiko gagal jantung), hipovolemia dan hipotensi,
asidosis metabolik, dan ketidakseimbangan elektrolit, termasuk
hipernatremia dan hipokalemia (Shawkat dkk, 2012).
Efek samping manitol
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Asidosis metabolik
Gagal jantung Kongesti paru Hipovolemia Hipotensi Tromboplebitis
[image:51.595.111.530.359.569.2]Nekrosis kulit pada lokasi ekstravasasi Reaksi alergi, termasuk anafilaksis Peningkatan rebound TIK
Tabel 3. Efek samping manitol
Dikutip dari : Shawkat, H., Westwood, M., Mortimer, A. 2012. Mannitol : a review of its clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 12:82-85.
Dalam dosis besar, juga dapat menyebabkan gagal ginjal karena
dapat mengakibatkan osmolalitas serum sangat tinggi (>320 mOsm / liter)
dan komplikasi neurologis berikutnya. Efek samping yang dapat terjadi
akibat pemberian manitol dapat dilihat dalam Tabel 3 (Shawkat dkk,
2012).
II.3. PENGARUH MANITOL TERHADAP FUNGSI GINJAL
Komplikasi yang paling umum dari terapi manitol adalah
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, edema kardiopulmoner, dan
rebound edema serebral. Manitol juga dapat menyebabkan gagal ginjal
dalam dosis terapi, dan reaksi hipersensitivitas juga dapat terjadi.
Mekanisme patogenesa manitol terkait cedera ginjal akut melibatkan
dehidrasi, tubuloglomerular feedback, cedera osmotik dan vasokonstriksi
(Bereczki dkk, 2000).
Penggunaan manitol di bawah dosis 200 g / hari jarang
menyebabkan terjadinya GGA. Pada dosis rendah manitol memberikan
efek vasodilator ginjal, sedangkan pada dosis tinggi menyebabkan
vasokonstriktor ginjal yang dapat mempengaruhi terjadinya GGA (Better
dkk, 1997). Gagal ginjal akut tersebut biasanya berupa oliguria dengan
ekskresi sodium fraksi rendah. Mekanisme terjadinya gagal ginjal diduga
karena efek tubuloglomerular feedback akibat keluarnya air dan garam
setelah penggunaan dosis tinggi manitol (Schwartz, 1997). Selain itu,
diuresis manitol juga dapat meningkatkan penggunaan energi di ginjal
menyebabkan lebih mudahnya terjadi GGA. Akan tetapi, komplikasi
tersebut jarang terjadi dan umumnya terjadi akibat penggunaan dosis
tinggi manitol 400 hingga 900 g / hari (Better dkk, 1997).
Nefrotoksisitas manitol
1. Terjadi setelah dosis tinggi manitol (>200 g/hari) 2. Resembles vasomotor ARF
3. Pulih setelah dilakukan hemodialisis
4. Umumnya berhubungan dengan dekompresi peningkatan tekanan intrakranial atau intraokular
[image:53.595.115.530.223.352.2]Data are from Gadallah et al, Am J Med Sci 309:219-222, 1995 (case report and review; N=10). Used with permission.
Tabel 4. Nefrotoksisitas manitol
Dikutip dari : Visweswaran, P., Massin, E.K., Dubose, T.D. 1997. Mannitol-Induced Acute Renal Failure. J Am Soc Nephrol. 8:1028-1033.
Pada gambar 4 dapat dilihat skema klasifikasi untuk GGA. Sistem
klasifikasi termasuk kriteria terpisah untuk kreatinin dan output urin.
Seorang penderita dapat memenuhi kriteria perubahan kreatinin serum
Gambar 4. Kriteria gagal ginjal akut
Dikutip dari : Bellomo, R., Ronco, C., Kellum, J.A., Mehta, R.L., Palevsky, P., ADQI workgroup. 2004. Acute renal failure – definition, outcome measures,
animal models, fluid therapy and information technology needs: the Second
International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative
(ADQI) Group. Critical Care. 8:R204-R212.
Penderita dengan gangguan ginjal, usia tua dan menggunakan
agen nefrotoksik merupakan faktor risiko untuk terjadinya GGA akibat
manitol. Jadi penderita harus diskrining untuk fungsi ginjal sebelum
dipertimbangkan menggunakan manitol (Tsai dkk, 2010).
Ketika merawat penderita dengan dosis tinggi manitol, penting
untuk memantau secara rutin konsentrasi serum natrium, kalium, kalsium,
osmolal gap serum melebihi 55 mOsmol / kg H2
[Mannitol] = Osmolal gap X 182 / 10
O atau jika konsentrasi
serum manitol melebihi 1000 mg / L, maka manitol harus dihentikan.
Konsentrasi serum manitol dapat diperkirakan dengan menggunakan
rumus:
(182 merupakan berat molekul manitol)
Dosis tinggi terapi manitol harus digunakan dengan teliti,
khususnya dalam menghadapi insufisiensi ginjal. Pencegahan GGA akibat
manitol dapat dilakukan dengan menghindari dosis yang besar dan terapi
terus–menerus pada penderita berisiko. Namun, ketika toksisitas manitol
terjadi dapat ditangani dengan menghentikan manitol dan dengan
mengembalikan volume cairan ekstraselular. Pemulihan dapat terjadi
secara spontan. Jika diuresis tidak terjadi, hemodialisis mungkin
II.4. KERANGKA TEORI
Stroke Perdarahan Intraserebral
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Manajemen Tekanan Intrakranial
Manitol 20%
Mortazavi dkk, 2012: Penanganan peningkatan TIK merupakan hal yang penting dan selalu menjadi permasalahan utama di fasilitas rawat neuro intensif. Manitol telah menjadi salah satu pilihan utama dalam penanganan peningkatan TIK yang cepat.
Dziedzic dkk, 2003: Terjadi peningkatan sementara kadar ureum dan kreatinin serum pada 51 penderita stroke hemoragik yang diterapi dengan manitol menurut pedoman American Heart Associ