ABSTRAK
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI YANG DILAKUKAN WAKIL BUPATI
MESUJI TERPILIH
(Studi Kasus Nomor : 132/Pid.B/2011/PN.Mgl)
Oleh Helda Novriliana
Otonomi daerah membawa beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak negatif, salah satu yang menonjol adalah munculnya kejahatan institusional. Baik eksekutif maupun legislatif sering kali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikan secara kolektif antara eksekutif dan legislative. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut dan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang “legal” karena dilegitimasi dengan keputusan. Korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan, uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barang-barang publik untuk kepentingan pribadi. Adapun permasalahan yang akan penulis angkat dalam skripsi ini yaitu Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih?. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim serta dasar hukum hakim dalam menetapkan vonis 1 tahun penjara, denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsider 1 bulan kurunganserta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam ribu juta rupiah) subsider 1 tahun kurunganpada Wakil Bupati Mesuji Terpilih?
Metode penelitian dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengambilan sampel digunakan metode purposive sampling. Adapun sumber data adalah data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan dan dokumentasi, serta data primer yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan melalui metode wawancara terhadap seluruh responden, yaitu Hakim Pengadilan Negeri Menggala, Jaksa Kejaksaan Negeri Menggala, Pengacara serta dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.
kurunganserta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam ribu juta rupiah) subsider 1 tahun kurungan. 2). Dasar Pertimbangan hakim dalam. Penjatuhan hukuman yang ditetapka Majelis Hakim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yaitu berdasarkan pertimbangan yuridis,sosioligis,dan filosofis serta menimbang berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan yang menyangkut diri terdakwa selaku Anggota DPRD Kabupaten Tulang Bawang periode 2004-2009 yang telah mengabdikan diri pada bangsa dan negara, bahwa andai kata para terdakwa dimasukkan ke dalam penjara maka akan memperburuk perilakunya di kemudian hari dan memperhatikan pula hukuman yang akan dijatuhkan pada para terdakwa menurut pandangan Majelis Hakim akan memberikan efek jera baginya.Dasar Hukum Hukum Hakim menetapkan vonis 1 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus Sembilan puluh enam ribu juta rupiah ) perkara korupsi penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji yaitu pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1).
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pelaku tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang
dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih Ismail Ishak, dikenakan sanksi pidana kurungan, pidana denda serta membayar uang pengganti sesuai dengan pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana
telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi meskipun terdakwa sudah lama
mengabdikan dirinya berkiprah di Lembaga Legislatif Kabupaten Tulang Bawang, agar menimbulkan efek jera terhadap pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Perbuatan tersebut dapat dicela atau dipersalahkan serta
dipertanggunjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya (asas
culpabilitasatau kesalahan) sehingga ia dapat dipidana dan perbuatan tersebut
memenuhi unsur-unsur pidana, yaitu adanya kemampuan pada si pembuat. 2. Dasar Pertimbangan Hakim Serta Dasar Hukum Hakim menetapkan vonis
1 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
yaitu Hakim dalam menjatuhkan putusannya berdasarkan pertimbangan yuridis,filosofis,dan sosiologis.Dimana dalam mempertimbangan secara yuridis merupakan pertimbangan unsure-unsur dari tindak pidana,apakah
tindak pidana yang dilakukan terdakwa telah sesuai dengan tindak pidana oleh dakwaan jaksa.Selain itu hakim mmpertimbangkan segi sosiologis yang ada di
masyarakat. dimana unsur-unsur yang ada didalamnya telah terpenuhi namun putusan hakim yang diterapkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Menggala tidak sesuai serta tergolong sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek
jera kepada terdakwa.
Dasar hokum Hakim dalam menjatuhkan vonis tersebut mengacu pada pasal 11 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1)
B. Saran
Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Pihak Pengadilan khususnya Pengadilan Negeri Menggala diharapkan
menjatuhkan putusan terdakwa Korupsi dengan hukuman maksimal sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku serta orang-orang yang akan
2.
A. Latar Belakang
Otonomi daerah membawa beberapa perubahan dalam hubungan antara eksekutif
dengan legislatif. Eksekutif bersama dewan mempunyai otonomi penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal dan anggota dewan memiliki otonomi penuh dan mempunyai peluang besar dalam proses legislasi. Kewenangan dewan dalam
membuat kebijakan tidak terbatas hanya dalam memilih kepala daerah, tetapi juga berwenang membuat undang-undang, pengawasan, investigasi dan bersama-sama
dengan eksekutif menyusun APBD yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Implikasi lain dari otonomi daerah adalah pelimpahan dana ini dibarengi dengan dilaksanakannya reformasi penganggaran dan reformasi sistem akutansi keuangan
daerah1.
Otonomi daerah banyak memunculkan dampak negatif, salah satu yang menonjol
adalah munculnya kejahatan institusional. Baik eksekutif maupun legislatif sering kali membuat peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan institusional itu dipraktikan secara kolektif antara eksekutif dan
legislatif. Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut dan
1
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang “legal” karena dilegitimasi dengan keputusan2.
Fenomena korupsi tersebut diatas pada dasarnya berakar pada bertahannya jenis
birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya karena sangat kuatnya
pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa ini, sehingga cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan
lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi.
Menurut Hary Susanto 3 korupsi pada level pemerintahan daerah adalah dari sisi penerimaan, pemerasan, uang suap, pemberian perlindungan, pencurian
barang-barang publik untuk kepentingan pribadi. Sementara Baswir menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik dari kalangan pemerintah. Ketujuh pola tersebut meliputi : pola konvensional, pola
upeti, pola komisi, pola menjegal order, pola perusahaan rekanan, pola kuitansi fiktif dan pola penyalagunaan wewenang4.
Fakta tumbuh suburnya praktik korupsi yang dilakukan pemerintah daerah dapat
juga dilihat berdasarkan laporan Dr. M. Umar Hasibuan (Staf Khusus Menteri
2
Khudori,Politik Anggaran Publik, Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2004
3
Donny Ardyanto,Korupsi di sektor pelayanan Publik Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2, Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, (Jakarta, 2001), hlm. 34.
4
Dalam Negeri) juga mengemukakan bahwa aktor utama terjadinya praktik korupsi
di daerah dilakukan oleh Walikota/Bupati. Sejak tahun 2004-2012 tercatat 16 Wali kota/Plt Wali kota menjadi tersangka, 1 Wali kota menjadi saksi, dan 8 wakil Wali Kota terkait dengan dugaan kasus korupsi di masing-masing daerah
kekuasaannya. Pada kurun waktu tersebut 114 Bupati dan 59 wakil Bupati terlibat dengan kasus korupsi. Keseluruhan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang
terlibat kasus korupsi dalam kurun waktu 2004-2012 tercatat 173 orang (Laporan
Indonesian Corruption Watch (ICW)Tahun 2012.
Kasus yang akan penulis teliti adalah kasus korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD PT. Tulang Bawang Jaya yang melibatkan Wakil Bupati Mesuji Terpilih, sebagai terdakwa kasus korupsi dana penyertaan modal BUMD PT. Tulang Bawang Jaya. Ismail Iskak dalam kedudukannya sebagai Anggota DPRD Kabupaten Tulang Bawang periode 2004-2009 telah menyalagunakan dana APBD Kabupaten tahun anggran 2006 dalam penggunaan dana penyertaan modal BUMD PT. Tulang Bawang Jaya yang mana karena perbuatannya tersebut mengakibatkan Negara mengalami kerugian sebesar Rp. 1.405.000.000 (satu miliar empat ratus lima juta rupiah).
juta rupiah) subsider 1 (satu) bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam juta rupiah) subsider 1 tahun kurungan.
Kondisi penjatuhan putusan pemberantasan korupsi sebagaimana diuraikan diatas yang apabila diperbandingkan dengan nominal kerugian keuangan Negara yang sangat besar, tentunya penjatuhan hukuman belum dapat dikatakan bermanfaat
secara maksimal. Kondisi tersebut tidak banyak didapat manfaatnya oleh Negara, sebaliknya Negara akan tetap mengalami kesulitan dalam meningkatkan
pertumbuhan perekonomiannya, khususnya dalam tujuannya untuk menuju masyarakat adil, makmur, sejahtera dan madani, maka dengan demikian upaya pemeberantasan tindak pidana korupsi dapat dikatakan sangat jauh dari yang
diharapkan.
Tentunya keadaan sedemikian tidak boleh terlalu berlarut-larut dibiarkan
berlangsung bagi bangsa Indonesia, untuk itulah pengambilan kebijakan (stake holder) yaitu pemerintahan (lembaga eksekutif) dan pembuat undang-undang (lembaga legislatif), serta pelaksana undang-undang (lembaga yudikatif) harus
segera bertindak cepat dalam mengambil langkah berupa tindakan antisipatif, dengan merakukan koreksi, inovasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum tentang
tindak pidana korupsi . Pada intinya penulis membandingkan putusan hakim apakah sudah sesuai dengan ketentuan dan aturan hukum yang berlaku.
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka penulis berminat untuk
Korupsi Yang Dilakukan Oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih (Studi Kasus Nomor : 132/Pid.B/2011/PN.Mgl)”.
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, maka dirumuskan permasalahan pokok yang akan dibahas yaitu :
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dan dasar hokum hakim menetapkan vonis 1 tahun penjara, denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta
rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam juta rupiah) subsider 1 tahun kurunganpada Wakil Bupati Mesuji Terpilih?
2. Ruang Lingkup
Berkaitan dengan permasalahan tersebut diatas maka ruang lingkup penelitian ini
meliputi bidang hukum pidana khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal
Dengan pertanggungjawaban pidana serta dalam lingkungan hokum di Pengadilan
Negeri Menggala.
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMD yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim serta dasar hukum hakim menetapkan vonis 1 tahun penjara, denda Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsider 1 bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp. 396.000.000 (tiga ratus sembilan puluh enam juta rupiah) subsider 1 tahun kurunganpada Wakil Bupati Mesuji Terpilih.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang pemidanaan dan prosedur beracara
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum acara pidana pada umumnya dan tindak pidana khusus pada khususnya.
3. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitiansejenis untuk tahap berikutnya.
b. Secara Praktis
1. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
2. Dapat memberikan data atau informasi tentang pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi pengelolaan dana penyertaan modal BUMN
yang dilakukan oleh Wakil Bupati Mesuji Terpilih.
3. Hasil Penelitian ini dapat menjadikan referensi dalam penjatuhan sanksi
sesuai dengan aturannya dan demi tegaknya hukum Indonesia serta memberantas tindak pidana korupsi di berbagai kalangan baik atas maupun bawah.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoretis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan,
dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini5.
5
Kesengajaan merupakan salah satu unsur dari pertanggungjawaban pidana, dimana dapat dilihat hubungan batin Pejabat Publik dengan perbuatannya. Pejabat Publik dapat dicelakan atas perbuatannya apabila adanya kesengajaan dalam sikap batinnya ketika melakukan perbuatan. Kesengajaan (opzet) juga biasa disebut sebagai unsur subyektif, yang diartikan sebagai menghendaki dan mengetahui (willens en wetens). Sehingga Pejabat Publik dianggap melakukan tindak pidana apabila dengan sengaja menghendaki perbuatannya dan mengetahui atau menyadari tentang akibat dari perbuatannya.
Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini digunakan teori tentang pertanggungjawaban pidana. Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat
menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:
a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu
telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teorifautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam
penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang
harus ditanggung6.
6
Sedangkan Asas dalam pertanggungjawaban hukum pidana dapat digolongkan :
1. Asas yang dirumuskan di dalam KUHP atau perundang-undangan lainnya
a) Asas berlakunya undang-undang menurut tempat, mempunyai arti penting bagi penentuan tentang sampai dimana berlakunya undang-undang hukum
pidana suatu negara apabila terjadi tindak pidana.
b) Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu, yang menentukan saat kapan terjadinya tindak pidana.
c) Asas berlakunya hukum pidana menurut orang, sebagai pembuat atau peserta, yang mempunyai arti penting untuk terjadinya tindak pidana dan
penuntutannya terhadap seseorang dalam suatu negara maupun yang berada di luar wilayah suatu negara.
2. Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak
tertulis serta dianut dalam yurisprudensi.
Para ahli pada umumnya mengakui asas yang tidak tertulis dalam hukum pidana yaitu asas kesalahan, sebab dipidananya seseorang tidaklah cukup
apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana.
bertanggung jawab atas perbuatannya, pembuat haruslah terbukti bersalah (schute
hebben) terhadap tindak pidana yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana(schuld in ruime zin) terdiri dari 3 (tiga) unsur: a. Toerekening strafbaarheid(dapat dipertanggungjawabkan) pembuat.
1) Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya. 2) Kelakuan yang sengaja.
b. Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan : culva, schuld in enge zin).
c. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana
pembuat(unsur Toerekenbaar heid).
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Tindak pidana adalaha perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melarang larangan tersebut7.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
dimaksud dengan tindak pidana korupsi berbunyi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
7
Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi juga mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan social dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Memahami suatu tindakan dikatakan telah merugikan keuangan Negara, maka
berikut ini akan dijelaskan penegertian kerugian Negara. Kerugian Negara yang ditimbulkan dari akaibat perbuatan tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah
adanya kerugian yang ditimbulkan pada keuangan Negara atau perekonomian Negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang dimaksud dengan kerugian Negara atau
daerah adalah :
“ Kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka dapat dikemukakan unsur-unsur dari kerugian Negara yaitu :
1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/ atau nilai yang seharusnya.
demikian kerugian negara tersebut hanya merupakan indikasi atau berupa
potensi terjadinya kerugian.
3. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat.
Penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai keuangan negara adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara baik di tingkat pusat maupun di daerah.
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara,
sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan maupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
Perihal dasar Pertimbangan Hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek
penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana, dengan demikian dapat dikonsklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa guna memproleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus
dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti dapat menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding, atau kasasi,
melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan pihak lain, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia,
penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan8.
Pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim. Hakikatnya, pada
pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsusr-unsur (bestenddelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/ penuntut umum. Dapat
dikatakan lebih jauh bahwasanya dasar pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/ diktum putusan hakim.
Sistem pembuktian dalam acara pidana dikenal dengan “sistem negatif” (negatife wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materiil, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku sistem pembuktian positif
8
(positief wettelijk bewijsleer), dimana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran
yang formal9.
Adanya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut menjamin kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan, dimana hakim
selain mempunyai kebebasan dalam menentukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan pidana (straf
modus atau sraf modolitet), juga mempunyai kebebasan untuk menemukan hukum (rehtsvinding) terhadap peristiwa yang tidak diatur dalam undang-undang. Atau dengan kata lain hakim tidak hanya menetapkan tentang hukumnya tetapi
hakim juga dapat menemukan hukum (rehtsvinding) dan akhirnya menerapkan sebagai keputusannya10.
Selain hal tersebut diatas, dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, hakim pun mempertimbangkan segi sosiologis yaitu segi kemasyarakatan yang belum diatur menurut hukum akan tetapi perlu dipertimbangkan secara kemasyarakatan
dan perikemanusian pertimabangan tersebut antara lain11:
1. Faktor yang memperberat penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa diluar
KUHP :
a. Terdakwa berbelit-belit dalam menjalani proses persidangan. b. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya.
9
Fuadi Munir,Sejarah Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakri, 2009), hlm.
10
Lilik Mulyadi,Hukum Acara Pidana, (Bandung : PT. Alumni, 2005), hlm. 86
11
c. Terdakwa tidak menunjukan rasa hormat dan sopan dalam menjalani
proses persidangan.
d. Dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan perilaku yang kurang baik. e. Tidak menyesali perbuatannya.
f. Merugikan keuangan Negara yang seang krisis keuangan. g. Menentang program kebijakan pemerintah.
h. Menimbulkan keadaan kacau dan resah pada masyarakat secara luas.
2. Faktor yang meringankan penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa diluar
KUHP :
a. Terdakwa tidak berbelit-belit dalam menjalani proses persidangan.
b. mengakui perbuatan pidana yang telah dilakukan.
c. Sopan dan bekerja sama dalam mengikuti proses persidangan.memeliki perilaku yang baik dalam keseharian.
d. Masih berusia relatif muda.
e. Mempunyai banyak tanggungan keluarga/sebagai tulang punggung
kehidupan keluarga.
2. Konseptual
Konsep ini akan dijelaskan tentang pengertian yang dijadikan konsep dalam penelitian sehingga mempunyai batasan yang dijadikan konsep dalam penelitian
sehingga mempunyai batasan yang tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman dalam melakukan penelitian yang mendasar dari istilah-istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi in,
a. Analisis adalah aktivitas yang memuat sejumlah kegiatan seperti mengurai,
membedakan, memilah sesuatu untuk digolongkan dan dikelompokkan kembali menurut kriteria tertentu kemudian dicari kaitannya dan ditaksir maknanya12.
b. Pertanggungjawaban Pidana adalah pengancaman hukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana dikenal
denganComminatoire Clausule,Strafbedreiging, danThreat of Punishment13.
c. Pelaku (pleger) adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik14.
d. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melarang larangan terebut15.
e. Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi dengan menyalagunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
12
Gunawan Wiradi,Metodelogi Studi Agraria, (Bogor : Sajogyo Institute, 2009), hlm.
13
Yan Pramadya Puspa,Kamus Hukum (Edisi Lengkap), (Semarang : Pen. Aneka, 1977), hlm. 277
14
Pasal 55 KUHP
15
E . Sistematika Penulisan
Pembahasan ini, penulis membagi dalam lima bab dengan maksud agar
memiliki susunan yang sistematis sehingga dapat memudahkan untuk mengetahui dan memahami hubungan antar bab yang satu dengan bab yang
lain sebagai satu rangkaian yang konsisten dan tidak dapat dilakukan secara acak. Masing-masing akan digolongkan dalam sub bab. Adapun sistematika tersebut adalah :
[[
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas tentang pendahuluan yang mendasar dan pengantar awal dari penulisan tugas akhir ini. Oleh karena itu dalam bab
ini terdapat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
II. TINJAUAN UMUM
Dalam bab ini kajian pustaka berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti yang akan memberikan landasan atau kerangka teori serta diuraikan
mengenai kerangka pemikiran. Kajian pustaka ini terdiri dari Tinjauan Umum tentang Korupsi, Tinjauan Umum tentang Putusan Hakim,
Tinjauan Umum tentang Pembuktian meurut Keyakinan Hakim dan Alat Bukti. Selain itu untuk memudahkan pemahaman alur berpikir, maka di dalam bab ini juga disertai dengan Kerangka Pemikiran.
Merupakan bab yang menguraikan pendekatan masalah, sumber dan jenis
data, populasi dan sample penelitian, prosuder pengumpulan data dan pngolahan data, serta analisis data tentang pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan Wakil Bupati Mesuji
Terpilih.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan hasil dari penelitian yang membahas tentang latar belakang penerapan hukum mengenai putusan.
[
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini diuraikan simpulan dari hasil pembahasan beserta
A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability” dalam segi falsafah hukum dikenalkan oleh seorang filosof besar abad ke 20.
Pertangungjawaban pidana diartikan Roscoe Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah di rugikan. Pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut
tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “ toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,” pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat di
pertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang di lakukanya itu.
Dalam konsep KUHP tahun 2010-2012, pada Pasal 36 menyatakan bahwa :
Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh adalah orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak tertulis mengatakan,
“tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,” merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.
Menurut Prodjohamidjojo mengatakan bahwa seseorang melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delict, dilihat dari segi masyarakat patut di cela 17. Dengan demikan, menurutnya seseorang mendapatkan pidana tergantung pada dua hal, yaitu :
1. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain, harus ada unsur melawan hukum.jadi harus ada unsur Obejektif.
2. Terhadap pelakunya ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau
kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan kepadanya.jadi ada unsur subjektif.
Hal kemampuan bertanggung jawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab
dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa
sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah
17
yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.
Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini mewakili
pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan. Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai perbuatan yang tidak
muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.
Hal kemampuan bertanggung jawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab
dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah
yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran-ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.
Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk di adakan
pertanggungjawaban, sebagaimana di tegaskan dalam ketentuan Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan pengadilan negeri”.
Mengenai kemampuan bertanggung jawab sebenarnya tidak secara terperinci di
tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga) syarat, yaitu :
1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam kejahatan. 2. Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut dalam pergaulan
masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi.
Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan
dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan kehendaknya. Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu :
1. kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.
2. kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi18.
Dengan kata lain kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang di
perbolehkan dan yang di larang atau melanggar hukum, dan kedua faktor perasaan
18
atau kehendak yang menetukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah
lakunya dengan penuh kesadaran.
B. Azas-azas Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan seseorang untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya yang bertentangan dan melanggar hukum pidana sesuai dengan kemampuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pertanggungjawaban pidana harus didasari oleh azas-azas pertanggungjawaban pidana, berikut adalah azas-azas pertanggungjawaban pidana:
1. Culpability dan Absolute Liability
Suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap deliquent adalah karena perbuatannya
sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan sebagai
berikut :
a. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan(based on fault)
tidak sepenuhnya diterima dalam hukum modern. Individu secara hukum
bertanggungjawab tidak hanya jika secara obyektif harmful effect dilakukan secara terlarang, tetapi juga jika akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya
maksud atau direncanakan oleh individu pelaku.
Suatu sikap mental delinquent tersebut, atau disebut mensrea, adalah suatu elemen delik. Elemen ini disebut dengan terma kesalahan (fault) (dalam arti lebih luas disebut dolus atau culpa). Ketika sanksi diberikan hanya
terhadap delik dengan kualifikasi psikologis inilah disebut dengan pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (responsibility based on faultatau
culpability).
b. Pertanggungjawaban mutlak(absolut responsibility).
Hukum primitif melihat bahwa hubungan antara perbuatan dan efeknya tidak
memiliki kualifikasi psikologis. Apakah tindakan individu telah diantisipasi atau dilakukan dengan maksud menimbulkan akibat atau tidak adalah tidak relevan. Adalah cukup bahwa perbuatannya telah membawa efek yang
dinyatakan oleh legislator sebagai harmful, yang berarti menunjukkan hubungan eksternal antara perbuatan dan efeknya. Tidak dibutuhkan adanya
sikap mental pelaku dan efek dari perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban semacam ini disebut dengan pertanggungjawaban absolut.
Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan antara kasus ketika tindakan individu telah direncanakan dan dimaksudkan untuk efek tertentu dari perbuatan tersebut dan kasus ketika tindakan seorang individu membawa akibat harmful
individualis mensyaratkan bahwa suatu sanksi harus diberikan kepada tindakan
individu hanya jika harmful effect dari perbuatan tersebut telah direncanakan dan dimaksudkan demikian oleh individu pelaku, dan maksud tersebut merupakan perbuatan terlarang. Akibat yang oleh legislator dianggap sebagai harmful
mungkin secara sengaja dilakukan oleh individu tanpa maksud menyakiti individu lain.
Hukum modern juga dikenal bentuk lain dari kesalahan yang dilakukan tanpa maksud atau perencanaan, yaitu kealpaan (negligance). Kealpaan adalah suatu
delik omisi dan pertanggungjawaban terhadap kealpaan lebih merupakan pertanggungjawabanabsolutdari padaculpability.
2. Tanggungjawab Individual dan Kolektif
Pembedaan terminologis antara kewajiban hukum dan pertanggungjawaban
hukum diperlukan ketika sanksi tidak atau tidak hanya dikenakan terhadap
delinquenttetapi juga terhadap individu yang secara hukum terkait dengannya.
Hubungan tersebut ditentukan oleh aturan hukum. Pertanggungjawaban korporasi terhadap suatu delik yang dilakukan oleh organnya dapat menjadi contoh. Suatu sanksi dapat dikenakan terhadap individu yang tidak melakukan sendiri suatu
delik tetapi berposisi dalam suatu hubungan hukum tertentu dengan pelaku delik. Dalam bahasa hukum, korporasi atau negara dipersonifikasikan, mereka
adalahjuristic personsebagai lawan darinatural person.
Bilamana suatu sanksi dikenakan terhadap individu-individu yang memiliki
yang merupakan elemen karakteristik hukum primitif. Pertanggungjawaban
individual terjadi pada saat sanksi dikenakan hanya pada deliquent. Baik pertanggungjawaban individual maupun kolektif dapat diberlakukan dengan mengingat fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang sepenuhnya
independen. Bahkan dikatakan bahwa mempertentangkan antara individu dan komunitas adalah dalil ideologis dari sistem liberal, yang harus ditempatkan sama
dengan dalil-dalil ideologi komunis.
Ketika sanksi tidak diterapkan kepada deliquent, tetapi kepada individu yang
memiliki hubungan hukum dengandeliquent, maka pertanggungjawaban individu tersebut memiliki karakter pertanggungjawaban absolut. Pertanggungjawaban
kolektif selalu merupakan pertanggungjawaban absolut.
3. Kesalahan
Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban.
Jan Remmelink mendefinisikan kesalahan sebagai pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat
dihindarinya, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat hukum untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari perbuatan yang
a. Kesalahan dalam Hukum Pidana
Kesalahan ini dapat dilihat dari dua sudut :
1) Menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan (verwijtbaarheid)
2) Menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (vermijdbaar-heid) perbuatan yang melawan hukum
Kesalahan mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan,
itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya, pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan
hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens,” seperti dikatakan oleh van Hamel.
Adanya kesalahan harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat, bahwa “das recht ist das ethische minimum”. Setidak-tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri
dari sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.
Menurut hukum pidana, kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu :
1) Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pelaku atas
perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas
2) Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (sculdvorm) yang berupa kesengajaan
(dolus, opzet, vorzatz atau intention) atau kealpaan (culpa, onachtzaamheid, fahrlassigkeitataunegligence).
3) Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan
di atas. Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”.
b. Unsur-unsur dari kesalahan
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya sangat berkaitan dengan pertanggungjawaban
pidana yaitu :
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pelaku (schuldfahigkeit atau
zurechnungsfahigkeit), artinya keadaan jiwa sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi “normadressat” yang mampu. 2) Hubungan batin antara sipelaku dengan perbuatannya, yang berupa
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap
perbuatannya.
3) Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan bahwa ada
C. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang diancam hukuman sebagai
kejahatan atau pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Abdoel Djamali mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya 19 Unsur-unsur tindak pidana terdiri dari:
1. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum.
Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif disini adalah tindakannya. 2. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh
undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau
beberapa orang).
Suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Menurut Abdoel Djamali, syarat- syarat yang harus dipenuhi ialah sebagai berikut :
1. Harus adanya suatu perbuatan.
2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan
hukum.
19
a. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
b. Harus berlawanan dengan hukum. c. Harus tersedia ancaman hukumannya.
Hari Saherodji mengatakan, bahwa Tindak Pidana merupakan suatu kejahatan yang dapat diartikan sebagai berikut :
1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada suatu waktu tertentu.
2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.
3. Perbuatan mana diancam dengan hukuman/perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan, serta mengganggu ketertiban umum, perbuatan mana dapat
dihukum oleh negara.
2.Unsur-Unsur Tindak Pidana
a. Unsur Subjektif
1) Kesengajaan atau kelalaian.
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP yang berbunyi :
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena sendiri.
3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP yang berbunyi:
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
5) Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP yang berbunyi:
“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh”.
b. Unsur Objektif
1) Sifat melawan hukum.
2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil melakukan
kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP yang berbunyi:
“Seorang pejabat atau orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
3) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyatan sebagai akibat20.
3.Tempat dan Waktu Tindak Pidana
Tidak mudah untuk menentukan secara pasti tentang waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. Hal ini disebabkan oleh hakikat pidana pidana
merupakan tindakan manusia, dimana pada waktu melakukan tindakannya
20
seringkali manusia menggunakan alat yang dapat menimbulkan akibat pada waktu
dan tempat yang lain dimana orang tersebut telah menggunakan alat-alat itu.
Dapat pula terjadi bahwa tindakan dari seorang pelaku telah menimbulkan akibat
pada waktu dan tempat yang lain daripada waktu dan tempat di mana pelaku tersebut telah melakukan perbuatannya. Jadi,tempus delictiadalah waktu di mana
telah terjadi suatu tindak pidana sedangkan locus delicti adalah tempat tindak pidana berlangsung. Yang dianggap sebagai locus dilicti adalah :
a. Tempat di mana seorang pelaku itu telah melakukan sendiri perbuatannya.
b. Tempat di mana alat yang telah dipergunakan oleh orang yang melakukan perbuatannya.
c. Tempat di mana akibat langsung dari suatu tindakan itu telah timbul. d. Tempat di mana akibat konstitutif itu telah timbul.
D. Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus. Selanjutnya,
disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah Corruptio turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris:Corruption, Corrupt;Prancis: Corruption; dan Belanda:Corruptie
(korruptie)21.
Korupsi dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan sebagai (dari bahasa latin:
corruptio= penyuapan, corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat,
badan-21
badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan melawan hukum.
b. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana.
c. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. d. Merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
Adapun yang termasuk unsur-unsur tindak pidana korupsi menurut Sudarto yaitu :
1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan.
“Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa saja, misalnya: mengambil, memindahbukukan, menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga si
pembuat bertambah kaya.
2. Perbuatan itu bersifat melawan hukum“Melawan hukum” di sini diartikan secara formil dan materil. Unsur ini perlu dibuktikan karena tercantum secara
tegas dalam rumusan delik.
3. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara
dan/atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
Berkenaan dengan pengertian korupsi, Mc. Mullan Juga memberikan definisi
“Seorang pejabat pemerintahan dikatakan ‘korup’ apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum”.
Secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yaitu:
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan
sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2. Korupsi : busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yangdipercayakan
kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi).
1. Sebab-Sebab Terjadinya Korupsi
Korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan
mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan
korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi
Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang
diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
Andi Hamzah Mengemukakan penyebab korupsi yaitu22:
a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yangmakin
meningkat.
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber
atau sebab meluasnya korupsi.
c. Manajemen yang kurang efektif dan efesien yang memberikan
peluang tentang korupsi.
d. Modernisasi perkembangbiakan korupsi.
Sementara itu Merican menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut:
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan. c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer. e. Pengaturan yang bertele-tele.
22
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
Disisi lain Ainan menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu : a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah
dengan upeti atau suap.
d. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.
Pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, dan
administrasi yang lamban. b. Warisan pemerintahan kolonial.
c. Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegara, dan tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
2. Dampak Yang Terjadi Akibat Korupsi
Akibat yang ditimbulkan sebagai dampak dari korupsi yaitu sebagai berikut :
1) Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman
2) Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer,
menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3) Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc. Mullan menyatakan bahwa akibat korupsi adalah 23:
1) Ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, 2) Memboroskan sumber-sumber negara,
3) Tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing,
4) Ketidakstabilan politik.
5) Pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1) Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2) Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3) Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4) Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
23
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
3. Upaya Penanggulangan Korupsi.
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan
terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan
bertanggung jawab.
Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang
masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah
b. pembayaran tertentu.
c. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat. d. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah
pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih antara organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang
e. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi yaitu dengan jalan
meningkatkan ancaman dan hukuman pidana.
f. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar
beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk
mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan ke dalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan
adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab
pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Selanjutnya, Myrdal memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadaan
pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus
dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil serata orang-orang
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinjau dari segi induktifnya yaitu mulai melihat
masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.
Kartono menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
a. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial.
b. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
c. Pemimpin dan pejabat diwajibkan memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
d. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum
tindak korupsi.
e. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
f. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
g. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
h. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
j. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang
mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi
malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan
lagi.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a. Preventif
1) Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2) Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan
pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya. 3) Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap
jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa
pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
5) Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk
kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6) Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu
berusaha berbuat yang terbaik.
b. Represif.
1) Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2) Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
4. Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Korupsi
Untuk dapat melakukan tindakan yang luar biasa dalam memberantas korupsi maka terlebih dahulu diidentifikasi faktor-faktor yang selama ini menghambat
pemberantasan korupsi. Untuk mengidentifikasinya maka berangkat dari tolak ukur efektifitas berlakunya hukum, yaitu ada tiga komponen yang dapat dianalisis fungsi dan peranannya dalam pemberantasan korupsi.
a. Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan mempunyai peran yang sangat penting dalam
pemberantasan korupsi, karena dalam peraturan perundang-undangan itulah diberikan jenis-jenis wewenang dalam pemberantasan korupsi, apabila kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan itu efektif dan tepat
tentang batasan-batasan waktu untuk penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
persidangan kasus korupsi sehingga seringkali penanganan kasus korupsi berjalan berlarut-larut.
b. Aparat Penegak Hukum
Aparat penegak hukum mempunyai peran yang sangat penting dalam
pemberantasan korupsi, tanpa aparat hukum yang kompeten dan bersih maka mustahil pemberantasan korupsi bias berjalan. Namum yang terjadi di Indonesia menurut hasil riset dan survey justru menempatkan aparat penegak hukum dalam
urutan yang pertama sebagai lembaga yang paling korup.
c. Partisipasi Masyarakat
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi disebabkan oleh
kurangnya pendidikan akan hukum dan politik. Sehingga masyarakat tidak mengetahui bagaimana cara-cara memantau, melaporkan dan menghapus korupsi.
E. Putusan Hakim
1. Pengertian Putusan
Istilah putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan
oleh Kejaksaan Agung RI tahun 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan24.
Merupakan akhir dari semua proses mencari, mengumpulkan, memeriksa dan
menilai alat bukti. Putusan hakim mempunyai peranan yang menentukan dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena itu di dalam menjatuhkan
putusannya hakim diharapkan agar selalu berhati-hati.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai suatu putusan penuh dengan kekeliruan yang akibatnya akan menimbulkan rasa tidak puas,
ketidakadilan dan dapat menjatuhkan kewibawaan pengadilan. Dengan demikian, dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hokum (rechtszekerheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya
hukum verzet, banding, atau kasasi; melakukan grasi; dan sebagainya.
Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah “mahkota” dan “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kearifan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau
fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan25.
Begitu kompleksitasnya dimensi dan substansi putusan hakim tersebut, memang tidaklah mudah untuk memberikan rumusan aktual, memadai, dan sempurna
24
Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm. 52
25
terhadap pengertian putusan hakim. Di dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP
disebutkan bahwa putusan pengadilanadalah : “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini ”.
2. Jenis Putusan
Menurut KUHAP, secara doktrin serta aspek teoritik dan praktek peradilan maka pada asasnya putusan hakim atau putusan pengadilan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1) Putusan Akhir
”Putusan akhir” dalam praktik lazim disebut dengan istilah ”putusan” atau ”eind vonnis” dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakikatnya putusan akhir dapat terjadi setelah Majelis Hakim memeriksa terdakwa yang hadir di
persidangansampai dengan ”pokok perkara” selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, serta Pasal 199 KUHAP).
2) Putusan yang bukan putusan akhir
Bentuk dari putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa ”penetapan” atau ”putusan sela” atau dengan istilah bahasa Belanda ”tussen-vonnis”. Pada hakekatnya putusan ini dapat berupa :
Negeri lain sebagaimana limitatif Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1)
KUHAP.
b) Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan jaksa/ penuntut umum batal demi hukum, yang diatur oleh ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
c) Putusan yang berisikan bahwa dakwaan jaksa/ penuntut umum tidak dapat diterima sebagaimana ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP disebabkan materi
perkara tersebut telah kedaluwarsa, materi perkara seharusnya merupakan materi hukum perdata, perkara disebabkan telah nebis in idem, dan sebagainya.
Selanjutnya ”penetapan” atau ”putusan sela” secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa atau penasihat hukum serta penuntut umum telah menerima apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim. Tetapi secara materiil perkara dapat dibuka kembali apabila jaksa atau penuntut umum melakukan perlawanan
atau verzet yang dibenarkan, sehingga Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan (Lilik Mulyadi , 2007:124).
b. Bentuk Putusan
Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
1) Putusan bebas
Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) yang berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak) atau
”acquittal”, yakni terdakwa dibebaskan dari pemidanaan. Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan :
a) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif.
Dari hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus tidak diyakini oleh hakim.
b) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, hal ini bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP.
2) Putusan pengelepasan dari segala tuntutan hukum
Putusan pengelepasan dari segala tuntutan hukum atau biasa disebut dengan ”onslag van recht vervolging” diatur dalam Pasal 191 ayat (2), yang bunyinya : ”Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwadiputus lepas dari segala tuntutan hukum.”
Bunyi Pasal diatas, kiranya putusan penglepasan dari segala tuntutan hukum didasarkan pada kriteria :