• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PELAKU BULLYING dan BUKAN PELAKU BULLYING PADA REMAJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PELAKU BULLYING dan BUKAN PELAKU BULLYING PADA REMAJA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan, manusia akan mengalami masa perkembangan dan pertumbuhan yang

dilalui dengan bertahap, dan setiap tahapannya memiliki arti, fungsi, dan tugas tersendiri. Salah

satu tahapan yang dianggap sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa

adalah masa remaja. Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang

kehidupan, masa remaja memiliki karakteristik atau ciri-ciri tertentu yang membedakannya

dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Dalam masa perkembangannya akan terdapat

perbedaan ciri-ciri antara remaja yang satu dengan yang lainnya, baik dalam perubahan perilaku,

nilai, maupun sikap. Perubahan yang berbeda ini akan tampak dengan adanya nilai, sikap, dan

perilaku yang berbeda pula pada setiap tahapnya, yang pada akhirnya akan menunjukkan

perbedaan antara remaja awal dan remaja akhir (dalam Hurlock, 1980:206).

Perubahan yang dialami dalam masa remaja ini baik secara langsung maupun tidak

langsung akan berpengaruh pada diri remaja itu sendiri. Pengaruh tersebut dapat menimbulkan

dampak positif maupun negatif tergantung pada faktor-fakor yang mempengaruhinya, baik yang

berasal dari dalam (intern) maupun yang berasal dari luar (ekstern). Remaja melakukan

penyesuaian atau adaptasi terhadap segala perubahan yang terjadi pada dirinya, dimana hal

tersebut mencakup penyesuaian fisik (biologis) dan psikologis.

Banyak tokoh yang mendefinisikan berbeda tentang rentang usia pada masa remaja awal

dan akhir. Secara umum masa remaja awal memiliki rentang usia antara 13-16 tahun dan masa

remaja akhir antara 17-18 tahun. Rentang usia tersebut adalah rentang usia dimana sebagian

remaja sedang menempuh pendidikan formal dalam suatu lembaga pendidikan (dalam Hurlock,

1980:216).

Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang ada, tentu memiliki aturan-aturan

atau norma yang diterapkan kepada para siswanya, dimana aturan-aturan atau

norma-norma tersebut bertujuan untuk membentuk budi pekerti yang baik, sehingga dapat mencetak

remaja yang berkemampuan baik pula secara akademis. Faktor lingkungan dalam sekolah juga

sangat mempengaruhi prestasi akademis para siswanya. Lingkungan sekolah yang baik adalah

(2)

juga harus memiliki kepala sekolah yang aktif dan energik, serta para guru yang aktif

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, karena peran masing-masing pengajar turut

memberikan sumbangsih terhadap suatu kesuksesan para siswanya. Dan yang terpenting adalah

citra sekolah menjadi baik dikalangan masyarakat luas.

Dalam lingkungan sekolah, setiap siswanya tentu dituntut untuk dapat mentaati peraturan

serta dapat berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku di dalam lingkungan sekolah

itu sendiri. Seperti kita ketahui, bahwasanya seorang remaja dalam perkembangannya tidak

pernah lepas dari pengaruh nilai-nilai yang diterapkan oleh orang tua dan kemampuannya untuk

mengeneralisasikan nilai-nilai yang ada. Syeh, (1997) dalam Lalu Panca Sang Saka Putra

mengatakan, bahwasanya pola pengasuhan orang tua terhadap anak dapat menjadi salah satu

faktor yang terkait dalam upaya pembentukan perilaku, sikap, dan nilai yang tertanam pada

remaja itu sendiri.

Dalam posisi inilah, remaja akan banyak sekali mengalami hambatan atau konflik yang

sangat pesat. Pada perkembangan kognitif, para remaja biasanya lebih kritis, sehingga banyak

persoalan-persoalan yang dipertanyakan, termasuk segala aturan-aturan yang ada. Dalam

perkembangan emosi, biasanya para remaja masih labil, sehingga mereka dapat saja berlaku

seenaknya saja tanpa berfikir apa yang akan terjadi selanjutnya (dalam Hurlock, 1980:207).

Hurlock sendiri mengkategorikan masalah-masalah personal dan karakteristik remaja secara

terpisah. Adapun masalah personal, meliputi hubungan remaja dengan lingkungan keluarga,

sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian diri, social pekerjaan dan nilai-nilai.

Persoalan-persoalan inilah yang dapat membuat seorang remaja menjadi bingung dengan apa

yang seharusnya Ia dilakukan yang selanjutnya akan membawa mereka pada hal-hal yang dapat

bersifat positif maupun negatif. Di samping itu, perkembangan emosi seorang remaja yang masih

labil atau kurang terkontrol dapat mengarahkan mereka pada tindakan kekerasan, pengerusakan

atau biasa disebut perilaku yang agresif.

Bagi sebagian remaja di belahan dunia, aksi kekerasan yang dilakukan baik secara

individual maupun massal sudah menjadi berita harian. Aksi kekerasan itu dapat terjadi di mana

saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi kekerasan

juga dapat terjadi kapan saja, pagi, siang, sore ataupun malam. Adapun bentuk dari aksi tersebut

dapat berupa kekerasan verbal (seperti, mencaci maki) maupun kekerasan fisik (seperti,

(3)

atau tawuran masal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung

dianggap biasa. Para pelaku aksi kekerasan ini bahkan sudah mulai dilakukan oleh siswa-siswa

di tingkat SLTP, SMP, SD dan bahkan Taman Kanak-Kanak. Banyak tayangan sinetron ber“ setting” sekolah yang bercerita tentang persaingan tak sehat di antara siswasiswinya juga mempengaruhi tindak kekerasaan. Jalan cerita sarat dengan saling ejek antarteman, memaki,

mengucilkan, bahkan hingga menganiaya antara yang satu dengan yang lainnya. Ternyata semua

itu bukan hanya ada di sinetron ataupun di film saja. Bila mau membuka mata dan telinga,

banyak hal yang serupa terjadi di lingkungan sekolah bahkan juga dalam lingkungan universitas

(perguruan tinggi).

Sejak di bangku SD, manusia telah diperkenalkan filosofi tentang budaya masyarakat

Indonesia. Dikatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terkenal hingga mancanegara

karena keramahtamahannya, gemar menolong, gotong royong, dan lain sebagainya. Namun,

semua itu akan menjadi kenangan bila berita yang dibaca atau didengar selalu berkutat seputar

kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam lembaga pemerintahan, bahkan

yang paling mengkhawatirkan adalah kekerasan di lingkungan sekolah. Padahal dalam hal ini,

sekolah adalah merupakan lembaga pendidikan dimana masyarakat menggantungkan harapan

akan masa depan bangsa. Apa jadinya bila di lembaga pengharapan itu malah kerap terjadi

tindak kekerasan.

Bullying itu problem, seperti cerita tentang: Cipong (kelas 1 SD) yang pernah dikurung di toilet sekolah oleh kawannya, Angga (kelas 3 SD) yang selalu dijauhi oleh kawan-kawannya jika

dia mau jajan di kantin sekolah, atau Chanchan (kelas 5 SD) yang baru ngeh pas mau ganti baju

di kamar, bahwa bagian belakang bajunya ada yang menempelkan kertas bertulisan “Nenek Lampir”, atau yang paling parah seperti yang dialami Billy (kelas 3 SMP) dia digosipkan sudah pernah ML sama pacarnya. Beberapa cerita terkait dengan bullying memang benar-benar terjadi

dan merupakan fenomena yang terjadi di masyarakat. (Andri Priyatna, 2010)

Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Tazkia (2008) bertujuan untuk melihat hubungan

antara personal self-estem dan collective self-esteem dengan perilaku bulying pada siswa-siswi kelas XII SMA. Penelitian ini melibatkan 174 siswa-siswi kelas XII SMA yang berusia 16-19

tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara personal

self-estem dan collective self-esteem dengan perilaku bulying. Namun, terdapat hubungan yang

(4)

artinya semakin tinggi kebutuhan seseorang akan identitas kelompok semakin tinggi pula

perilaku bullying yang diampilkan.

Masih dalam penelitian Tazkia (2008), secara spesifik mengukur harga diri dalam setting

kelompok yang mengukur tingkat identifikasi individu dengan kelompok. Hasil yang ditemukan

tentang adanya hubungan signifikan antara kebutuhan akan identitas kelompok dan perilaku

bullying menunjukan bahwa semakin individu mengidentifikasikan diri dengan kelompok akan di ikuti dengan meningkatnya perilaku diskriminasi untuk memperoleh harga diri kelompok yang

lebih baik. Perilaku diskriminasi ditampilkan dengan melakukan bullying terhadap orang lain yang bukan anggota kelompoknya.

Tindak kekerasan seperti itu disebut dengan istilah bullying. Banyak masyarakat yang

belum familiar dengan istilah ini. Apalagi, belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa

Indonesia untuk mengartikan istilah bullying ini. Padahal, tanpa disadari tindak bullying kerap terjadi setiap hari, baik di lingkungan rumah, lingkungan sekolah, kantor dan dimana pun bisa

terjadi tindak bullying. Adapun bullying berasal dari bahasa Inggris, dari kata bull, yang berarti banteng yang senang menyeruduk kesana kemari. Istilah ini akhirnya diambil untuk menguraikan

suatu tindakan yang destruktif (menghancur atau merusak). Secara lebih jelas, bullying adalah suatu bentuk agresi dimana terdapat kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban,

yang mana dalam hal ini pelaku selalu mempunyai kekuatan pada korbannya yang berada dalam

posisi lebih lemah dari si pelaku. Adapun pengertian bullying adalah Tindakan yang disengaja

oleh si pelaku pada korbannya bukan sebagai kelalaian. Memang betul-betul di sengaja.

Tindakan yang terjadi berulang-ulang. Bullying tidak pernah dilakukan secara acak atau cuma sekali saja. Didasari perbedaan power yang mencolok. Dalam bullying pelaku benar-benar berada di atas angin dari korbanya. (Andri Priyatna, 2010). Yang terjadi adalah jika pelaku sudah

"diakui" oleh kelompoknya, maka perbuatan bullying akan terus berlanjut. Tayangan perilaku bullying sering disajikan pada tayangan televisi, sehingga kejadian tersebut memang benar-benar terjadi dan menjadi fenomena sosial di masyarakat.

Menurut Sullivan (dalam Juwita & Mustikolaksmi, 2010) bullying adalah perbuatan agresi atau manipulasi yang disadari dan bertujuan oleh satu atau lebih orang terhadap satu atau

sekelompok orang lainnya. Sedangkan menurut Rigby (dalam Juwita & Mustikolaksmi, 2010)

bullying adalah merupakan pola berulang dari tingkah laku agresif terhadap orang lain yang

(5)

bahwa penyebab bullying mencakup faktor personal dan situasional dari bullying dimana

faktor-faktor tersebut meliputi pola asuh ayah yang otoriter, pola asuh ibu yang otoriter, tayangan

televisi, bullying oleh guru dan konformitas pada remaja. Pada tingkatan perguruan tinggi kesejahteraan psikologis, bullying oleh guru dan konformitas. Faktor penyebab yang tidak muncul adalah pola asuh yang permisif dan bullying oleh teman sebaya ternyata tidak mendorong terjadinya bullying pada siswa. Hanya saja, ketika dimasukkan hasil olahan tambahan dari motivasi melakukan bullying, tampak bahwa balas dendam merupakan faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan bullying. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indira (2010) dalam Lalu Panca Sang Saka Putra mengenai bullying di kalangan

siswa SMA dan SMK di Salatiga, terjadi bullying ketika jam pelajaran kosong, jam istirahat, dan

jam ketika pulang sekolah atau ketika tidak adanya kontrol guru.

Bullying juga menyebutkan ada perbedaan gender yang membuat perbedaan bahwa anak

laki cenderung melakukan bullying dalam bentuk-bentuk agresi fisikal. Selain itu anak

laki-laki cenderung lebih sering mengalami tindakan bullying disbandingkan dengan anak perempuan, sekaligus pelaku bullying pun lebih banyak dari kalangan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Sedangkan anak perempuan cenderung menjahati anak

perempuan lebih secara tidak langsung. Misal, menyebar isu, gossip, atau fitnah, ke

kawan-kawan dekat dari objek yang dituju. Anak perempuan sering kali mengalami bullying dalam bentuk pelecehan seksual. Misal, menerima komentar berbau seksual karena penampilan

fisiknya, digodain secara berlebihan, dan lain-lain (Andri Priyatna, 2010). Dari data di atas dapat

disimpulkan bahwa anak laki-laki cenderung melakukan tindak bullying dengan cara fisikal dan anak laki-laki cenderung lebih banyak mengalami tindak bullying, sekaligus sebagai pelaku bullying, sedangkan anak perempuan cenderung menjahati anak perempuan lain secara tidak langsung. Selain itu anak perempuan sering kali mengalami bullying dalam bentuk pelecehan seksual.

Bullying terbagi menjadi dua, yaitu bullying dengan menggunakan fisik dannon fisik. Bullying dengan menggunakan fisik contohnya seperti menendang,memukul. Sedangkan non fisik yaitu dengan aspek verbal (mengintimidasi) dan non verbal (mengucilkan teman) (Sullivan

K, Sullivan G & Cleary, 2005).

(6)

atas dirinya dari lingkungannya. Hasil penelitian membuktikan bahwa bullying adalah perilaku yang timbul karena proses pembelajaran, lebih dari sekedar agresi fisikal semata. Ada beberapa

pelaku bullying yang berasal dari kalangan anak yang sudah popular karena status orang tuanya

atau karena kepandaiannya. Dia menikmati status tinggi dan penghargaan dari kawan bahkan

guru.

Pelaku Bullying merupakan tindakan yang di lakukakan oleh pelaku bullying antara lain:

menyembunyikan sepatu, merusak gambar yang baru saja selesai dibuatnya, mengolok-olok,

menolak untuk duduk di samping anak itu apabila guru memerintahkannya, memukul, melempar

sepatu, atau perbuatan-perbuatan sejenis lainnya. Pelaku bullying tidak selalu menggunakan tindakan fisikal dalam menyerang korbannya, dan cenderung mengunakan

tindakan-tindakan manipulatif. Karena, berdasarkan pengalaman, tindakan-tindakan-tindakan-tindakan agresi nonfisikal seperti itu lebih ”aman” karenan tidak mudah diketahui oleh anak lain sehingga tidak ada yang akan menghalangi perbuatannya. Pelaku bullying akan merasa powerful. (Andri Priyatna, 2010)

Berdasarkan hasil penelitian, anak usia Taman Kanak-Kanak tidak dengan sengaja

melakukan bullying pada anak lain. Mereka melakukan hal tersebut karena belajar dari pengalaman sebelumnya, bahwa tindakan tersebut memberi efek yang betul-betul nyata. Jadi

membuat mereka ketagihan untuk melakukannya lagi. Yang menjadi pembeda bullying di Taman

Kanak-Kanak adalah bentuknya. Contoh kasus yang terdapat pada Taman Kanak-Kanak yaitu

Angga sangat ingin bermain dengan Cindy, Billly, dan Simon. Tetapi mereka selalu menolaknya.

Kadang-kadang mereka mau juga mengajak Angga bermain, yaitu kalau mereka ingin main

rumah-rumahan dan perlu kucing. Kucing kan tidak usah bicara. Angga yang jadi kucingnya.

Setelah lima menit, Angga pun bersedih dan langsung lari pulang. Tindakan seperti itu telah memenuhi “syarat” untuk disebut bullying.

Efek/dampak jangka panjang menjadi pelaku bullying : Menjadi orang dewasa yang agresif. satu dari lima anak laki-laki pelaku bullying bertumbuh menjadi "orang dewasa nakal. Hasil penelitian menunjukan bahwa anak laki-laki yang melakukan bullying di usia 14 masih suka melakukan tindakan yang sama saat dia menginjak usia 32. Terlibat tindak kriminal. Tidak

dapat dipungkiri bahwa ada hubungan antara bullying di usia muda dengan tindak kriminal

seseorang di masa dewasa. Dalam sebuah penelitian, 60% yang jadi anak bandel saat duduk di

(7)

usia 24;35--40% malah terlibat dengan lebih 1 kali tindak criminal (dibanding dengan orang

yang dulunya tidak pernah menjadi anak bandel).

Seperti halnya dengan perilaku bullying yang dilakukan di kalangan remaja mengenai masalah yang erat berkaitan dengan masa remaja adalah hasil-hasil studi yang panjang di

berbagai negara menunjukkan, bahwa masa remaja adalah masa yang paling penting dan

menentukan perkembangan harga diri. Pada masa inilah seseorang akan mengenali dan

mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya, sehingga Ia mampu menentukan sikap atas

kepemilikan harga diri mereka. Karena pada dasarnya, perkembangan harga diri pada seseorang

akan menentukan keberhasilan maupun kegagalannya di masa mendatang

(http://www.e-psikologi.com).

Seseorang dalam menggunakan aspek kognisinya akan bereaksi terhadap pengalaman

yang telah Ia alami dengan menggunakan sisi afeksi yang Ia miliki. Dimensi afeksi dari

obyektifikasi diri inilah yang biasa disebut dengan harga diri. Harga diri terdiri dari sekelompok

sentimen, di mana yang menjadi obyek sentimennya adalah diri itu sendiri. Pendekatan terhadap

harga diri menekankan pada penilaian dari orang lain, sebagaimana diri mereka dipersepsikan

oleh orang lain dalam suatu situasi tertentu. Selain itu, harga diri juga dipengaruhi oleh penilaian

seseorang terhadap dirinya sendiri. Menurut Coopersmith, 1967 (dalam Santrock, 2002:360)

harga diri merupakan suatu proses penilaian yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya

sendiri.

Dijelaskan lebih lanjut, harga diri semata-mata bukan produk dari situasi tertentu.

Namun, harga diri merupakan sebuah proses refleksi yang berkelanjutan, dimana seorang

individu diharuskan memilih atau memutuskan standar yang sesuai dengan dirinya, tentang

apakah individu tersebut memilih untuk memiliki harga diri yang tinggi atau individu tersebut

memilih untuk memiliki harga diri yang rendah.

Harga diri merupakan aspek penting dalam perkembangan anak, terutama perkembangan

kepribadiannya. Mereka yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia, sehat, berhasil

dan dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya orang yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak

sehat, cemas, tertekan, pesimis tentang masa depannya dan mudah atau cenderung gagal

Dayakisni, 2003 : 70-71 (dalam Dian Mei Arwulan).

Tingkah laku sosial seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan tentang siapa dirinya.

(8)

dirinya, baik secara positif atau negatif. Jika orang menilai secara positif terhadap dirinya, maka

ia menjadi percaya diri dalam mengerjakan hal-hal yang ia kerjakan dan memperoleh hasil yang

positif pula. Sebaliknya, orang yang menilai secara negatif terhadap dirinya, menjadi tidak

percaya diri ketika mengerjakan sesuatu dan akhirnya, hasil yang didapatkan pun tidak

menggembirakan. Penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri ini disebut

harga diri (self esteem). Harga diri menunjukan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya

sendiri, baik positif maupun negatif ( Sarwono & Meinarno, 2009:57 ).

Apabila dasar harga diri yang positif itu tidak dipunyai oleh seseorang pada masa

kanak-kanaknya, maka upaya untuk mencapai harga diri yang sehat pada masa-masa selanjutnya tidak

mudah dilakukan. Ini berarti, anak mungkin akan tumbuh menjadi orang dewasa yang merasa

tidak mampu menghadapi tantangan yang ada di sekitarnya.

Rosenberg (dalam Wirawan, 1998) menyatakan bahwa harga diri merupakan sumber

dari semua persepsi tingkah laku yang ditampilkan individu. Harga diri mempunyai pengaruh

yang luas dan signifikan pada diri seseorang. Orang-orang dengan harga diri yang tinggi adalah

lebih bahagia dan efektif dalam memenuhi tuntutan lingkungan dari pada orang yang berharga

diri rendah. Sedangkan orang yang berharga diri rendah, akan menarik diri dari orang lain dan

mengalami perasaan distress yang konsisten (Coopersmith, 1967).

Coopersmith (1967), mengungkapkan bahwa harga diri terbentuk melalui

pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan. Pengalaman-pengalaman-pengalaman itu

selanjutnya menimbulkan perasaan positif maupun perasaan negatif terhadap diri individu.

Perasaan-perasaan yang ada pada seseorang pada umumnya berkaitan dengan tiga hal yaitu pada

saat ia menjadi anggota suatu kelompok tertentu, pada saat ia mengalami keberhasilan atau

kegagalan, pada saat ia dihargai atau merasa tidak dihargai. Hal ini sesuai dengan apa yang

dinyatakan oleh Horney (dalam Hall & Lindzey 1993) bahwa harga diri seseorang ditentukan

oleh banyaknya penghargaan yang diterima dari masyarakat lingkungan sekitarnya.

Dulu harga diri yang rendah dianggap sebagai akar dari berbagai penyakit

sosial.Orang-orang yang melakukan penyalahgunaan obat-obatan, memiliki prestasi yang buruk,

mengalami depresi, dan melakukan tindak kekerasan (termasuk terorisme) adalah orang-orang

yang memiliki harga diri yang rendah (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Namun, dari

serangkain penelitian di temukan bahwa harga dir yang tinggi tidak selalu berpengaruh positif

(9)

yang dilakukan oleh orang dengan haga diri tinggi. Mengapa orang dengan harga diri tinggi

melakukan hal tersebut? Harga diri tinggi menggambarkan superioritas terhadap orang lain dan

orang termotivasi untuk terus mempertahankannya. Ketika ada situasi yang dipersiapkan

mengancam superioritas tersebut, maka muncul tingkah laku agresif yang bertujuan untuk

mempertahankannya (Sarwono & Meinarno. 2009). Anak-anak tidak bertindak agresif karena

mereka memiliki harga diri yang rendah, tetapi karena mereka terluka di masa lalu (Myers,

2012).

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Perbedaan tingkat harga diri antara pelaku bullying dan bukan pelaku bullying pada remaja”.

B. Rumusan Masalah

. Berdaarkan latas belakang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada perbedaan tingkat harga diri antara pelaku bullying dan bukan pelaku bullying pada remaja”.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat harga diri

antara pelaku bullying dan bukan pelaku bullying pada remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan konsep

maupun teori yang dapat memberikan dukungan dan perhatian atau kajian dengan topik bullying

dalam bidang psikologi khususnya psikologi sosial.

2. Secara Praktis

Peneliti berharap, bahwasanya hasil penelitian ini dapat memberikan bahan masukan,

bacaan ataupun informasi bagi orang tua dan masyarakat mengenai perbedaan tingkat harga diri

(10)

i

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PELAKU BULLYING dan BUKAN PELAKU BULLYING PADA REMAJA

SKRIPSI

Oleh:

M TAUFIQ NUR HIDAYAT

07810050

FAKULTAS PSIKOLOGI

(11)

ii

PERBEDAAN TINGKAT HARGA DIRI ANTARA PELAKU BULLYING dan BUKAN PELAKU BULLYING PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang

sebagai salah satu persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

M TAUFIQ NUR HIDAYAT

07810050

FAKULTAS PSIKOLOGI

(12)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi telah diuji oleh Dewan Penguji

Tanggal : 4 Agustus 2012

Dewan Penguji :

Ketua penguji : Hudaniah, M.Si., Psi.

………

Anggota penguji : 1. Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si.

………

2. Dra. Tri Dayakisni, M.Si.

………

3. Adyatman Prabowo, M. Psi.

………

Mengesahkan,

Dekan Fakultas psikologi

Universitas muhammadiyah Malang

(13)

iv

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat

dan hidayah-Nya, serta Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW

yang telah membimbing umatNya ke jalan yang benar. Alhamdulillah penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan Judul “Perbedaan tingkat harga diri antara pelaku bullying dan bukan pelaku bullying pada remaja”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis

banyak mendapatkan bimbingan dan petunjuk serta bantuanyang bermanfaat dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Dra. Cahyaning Suryaningrum M.Si, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas

Muhammadiyah Malang

2. Hudaniah, M.Si. Psi dan Yuni Nurhamida, S.Psi M.Si selaku pembimbing I dan

pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan

arahan yang sangat berguna, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik.

3. Dra. Cahyaning Suryaningrum M.Si, selaku dosen wali yang telah mendukung dan

memberi pengarahan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

4. Kepala dinas pendidikan kab. Malang telah memberikan ijin penelitian dan Kepala SMA

Negeri 1 Lawang yang telah memberikan ijin dan fasilitas bagi penulis untuk melakukan

penelitian.

5. Siswa-siswi SMA Negeri 1 Lawang yang telah bersedia menjadi subjek penelitian.

6. Papa dan Mama , adik Riris, eyang uti, eyang kakung, bude, mbak Danik dan

saudara-saudara saya semuanya yang selalu memberi dukungan, doa dan kasih sayang sehingga

penulis memiliki motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Yang terkasih ”Amalia Rachmawati”, atas semua bantuan, do’ a, kasih sayang dan yang selalu memberi semangat sehingga penulis terdorong untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabatku Psi. 07, Inung, Panca, Co2, Cino, Ria, Mat, Ndos, Romo, Ade,

Mbekz, Kebo, Ciput, Nandar, Zein, Amik, Arul, serta sahabat-sahabat seperjuanganku

(14)

v

atas segala dukungan dan semangatnya, serta semua teman-teman yang tidak dapat

disebutkan satu persatu,saya minta maaf dan terima kasih atas bantuan dan dukungannya.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah benyak memberikan

bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari tiada satupun karya manusia yang sempurna, sehingga kritik

dan saran demi perbaikan karya skripsi ini sangat penulis harapkan. Meski demikian,

penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan

pembaca pada umumnya.

Malang, 28 Juli 2012

Penulis

(15)

vi

2. Pembentukan dan Perkembangan Harga Diri ...21

3. Jenis-Jenis Harga Diri ...22

4. Dinamika Hubungan Harga Diri Antara Pelaku dan bukan pelaku Bullying ...30

D. Jenis data dan Metode Pengumpulan Data ...36

E. Populasi dan Sampel ...40

F. Prosedur Penelitian ...41

G. Validitas dan Reliabilitas ...41

(16)

vii

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data ...47 B. Analisis Data ...48 C. Pembahasan...49

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ...52 B. Saran ...52

(17)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Tabel 3.1 Butir Aitem Favorable ...39

Tabel 3.2 Butir Aitem Unfavorable ...39

Tabel 3.3 Blue Print Harga Diri ...40

Tabel 3.4 Uji Validitas Variabel Harga Diri ...43

Tabel 3.5 Uji Reliabilitas Faktor Skala Harga Diri ...45

Tabel 3.6 Rangkuman Uji Relibilitas Variabel Skala Harga Diri ...45

Tabel 4.1 Perhitungan T-Skor Harga Diri ...47

Tabel 4.2 Deskripsi Data Jumlah Subyek Berdasarkan perilaku Bullying ...48

(18)

ix

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. (2004). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Alwisol. 2006. Psikologi kepribadian. Edisi Revisi. Malang : UMM Press.

Baron, Robert A & Byrne Donn. 2003. Psikologi sosial. Jilid 1. Edisi Kesepuluh. Jakarta: Erlangga. PT Gelora Aksara Pratama.

Clemes, H. , & Bean, R. 1995. Bagaimana kita meningkatkan harga diri anak. Jakarta : Binarupa Aksara.

Dayakisni, T. , & Hudaniah. 2009. Psikologi sosial. Malang : UMM Press.

Dariyo, A. 2007. Psikologi perkembangan anak tiga tahun pertama (psikologi atitama). Bandung : PT Refika Aditama.

Hurlock, B. E. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta : Erlangga

Indira, P. M. (2010). Studi deskriptif tentang bullying pada sekolah menengah atas dan kejuruan di Salatiga. Proceding temu ilmiah konfrensi nasional Peran pendidikan dalam pembangunan karakter bangsa di Malang.

Myers, G, D. 2012. Psikologi sosial. Jakarta : Salemba Humanika

Priyatna, A. (2010). Let’s end bullying. Jakarta : Kompas Gramedia

Robinson, B, J., Shaver, R, P., Wirnghtsmam, S, L. (1991). Measures of personality and sosial psychological attitudes. San Diego : Academic Press.

Santrock, J. (2003). Adolescence. Jakarta : Erlangga

Sarwono, W, S., & Meinarno, A, E. 2009. Psikologi sosial. Jakarta : Salemba Humanika

Sullivan, K., Sulivan, G., & Cleary.(2005). Bullying in secondary schools. California : Corwin Press.

Suryabrata, Sumadi. (2010). Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press.

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisis regresi yang digunakan untuk melihat risiko perusahaan yang dikaji diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi risiko yang sangat besar pada perusahaan

dilakukan monitoring untuk memastikan data terkelompok dengan benar. Selain itu pada penelitian lain yang dilakukan [8] mengimplementasikan tahapan pembobotan yang sama

Berdasarkan dari fenomena dan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada konsumen khususnya remaja dikota Semarang, dimana informan dalam penelitian ini sebanyak 12 (dua belas)

Untuk pemeriksaan klinis probe masuk kira-kira sedalam 1–2 mm dari margin gingiva dengan tekanan aksial sedang dan dijalankan dari interproksimal ke interproksimal sepanjang

Pada dasarnya, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank

praktikum berdasarkan lembar observasi kinerja yang telah

Kedua ; hubungan agama dan negara menyatu dalam satu koridor yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bagi Natsir Islam telah menyediakan perangkat dasar yang

Saran dalam penelitian selanjutnya adalah dalam mengestimasi nilai Value at Risk portofolio sebaiknya dilakukan dengan membandingkan berbagai model copula yang