• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus Hampei) Pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea Arabica)Di Kabupaten Pakpak Bharat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus Hampei) Pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea Arabica)Di Kabupaten Pakpak Bharat"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

EKOLOGI PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei)

PADA TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica)

DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

TESIS

OLEH

NORMAULI MANURUNG

087030017

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EKOLOGI PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei)

PADA TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica)

DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

dalam Program Studi Biologi pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

OLEH

NORMAULI MANURUNG

087030017

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Penelitian : EKOLOGI PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei) PADA TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) DI

KABUPATEN PAKPAK BHARAT Nama : NORMAULI MANURUNG

NIM : 087030017 Program Studi : BIOLOGI

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Prof. Dr. Retna Astuti Kuswardani, MS Ketua Anggota

Disetujui oleh :

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc Dr. Sutarman, M.Sc

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 16 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

Anggota : Prof. Dr. Retna Astuti Kuswardani, MS : Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc

(5)

PERNYATAAN

EKOLOGI PENGGEREK BUAH KOPI (Hypothenemus hampei) PADA TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica) DI KABUPATEN

PAKPAK BHARAT

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2010 Penulis

(6)

ABSTRACT

Ecology Research Coffee Pod Borer (Hypotenemus hampei) at Arabica Coffee Plants (Coffea arabica) in District Pakpak Bharat had been conducted in March 2010 - April 2010. Research in the form of this survey sampled at 5 height is: A ≤ 700, 700 < B ≤ 800, 800 < C ≤ 900, 900 < D ≤ 1000, and E > 1000 meters above sea level. This study aims to (a) know H.hampei distribution pattern, (b) measuring the intensity of attacks H.hampei, (c) the composition of stadia development in H.hampei connect with ripeness (green, yellow, red), and (d) know the correlation of physical environmental factors with itensity attacks. The results showed that the distribution pattern of H. hampei clustered in the bottom sector, the intensity of light attacks. Composition of the development of stadia H. hampei more progress on the red colored fruit. Physical environmental factors are not correlated to the intensity of attacks H.hampei.

(7)

ABSTRAK

Penelitian Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei) pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Kabupaten Pakpak Bharat telah dilaksanakan pada bulan Maret 2010 – April 2010. Penelitian yang berupa survei ini mengambil sampel di 5 ketinggian yaitu : A ≤ 700, 700< B≤800, 800<C≤900, 900<D≤1000, dan E>1000 meter di atas permukaan laut. Penelitian ini bertujuan (a) mengetahui pola distribusi H. hampei, (b) mengukur intensitas serangan H. hampei, (c) mengetahui komposisi stadia perkembangan H. hampei di hubungkan dengan kematangan buah (hijau, kuning, merah), dan (d) mengetahui korelasi faktor fisik lingkungan dengan intensitas serangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola distribusi H. hampei berkelompok disektor bawah, intensitas serangan ringan. Komposisi perkembangan stadia H. hampei lebih banyak berlangsung pada buah berwarna merah. Faktor fisik lingkungan tidak berkorelasi terhadap intensitas serangan H. hampei.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis tentang “Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei) pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Kabupaten Pakpak Bharat”. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS sebagai Dosen Pembimbing I dan Prof. Dr. Retna Astuti Kuswardani, MS sebagai Dosen Pembimbing II atas arahan dan bimbingan.

2. Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc, dan Dr. Budi Utomo, SP, MP sebagai penguji atas masukan dalam penyempurnaan penyusunan hasil penelitian ini.

3. Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.BIOMED yang banyak memberikan bantuan dan pemikiran dalam penyelesaiaan hasil penelitian ini, juga Ibu Hesti Wahyuningsih, M.Si yang telah membantu penulis untuk mengidentifikasi serangga ke LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).

4. Gubernur Provinsi Sumatera Utara dan Kepala Bappeda Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa S-2 kepada penulis.

Akhir kata semoga Tuhan memberkati Bapak Ibu sekalian dan selalu memberikan Berkat-Nya kepada kita dalam mengejar ilmu dan semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Terima kasih.

Medan, Agustus 2010

(9)

RIWAYAT HIDUP

NORMAULI MANURUNG dilahirkan pada tanggal 22 Mei 1962 di Medan, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan, Sumatera Utara. Anak dari pasangan ayahanda Alm. I.K Manurung dan ibunda O.Doloksaribu, sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Tahun 1974 penulis lulus SD St. Antonius V Medan, tahun 1977 lulus dari SMP Negeri 3 Medan dan tahun 1981 lulus dari SMA Negeri 5 Medan. Pada tahun 1981 memasuki Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Medan Fakultas MIPA dengan Program Studi Pendidikan Biologi lulus pada tahun 1986. Tahun 1986-1988 honor di Yayasan Parulian Medan. Pada tahun 1988 lulus PNS dan ditempatkan di SMA Negeri Sianjur Mulamula Tobasa. Tahun 1991 mutasi ke Medan sebagai Guru DPK pada SMA Swasta Timbul Jaya Medan. Pada tahun 2002 mutasi ke SMA Negeri 14 Medan sampai sekarang.

(10)
(11)
(12)
(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 1. Luas dan Produksi Tanaman Kopi Arabika Rakyat

KabupatenPakpak Bharat... 27 2. Lokasi Pengambilan Sampel Berdasarkan Ketinggian m dpl... 28 3. Nilai Rata-Rata Indeks Distribusi Seluruh Pengamatan

dalam Satu Pohon dari 5 Ketinggian... 36

4. Nilai Rata-Rata Indeks Distribusi pada Setiap Ketinggian... 38 5. Komposisi Stadia Perkembangan H.hampei pada 5 Ketinggian... 39 6. Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan

Kematangan Buah pada 5 Ketinggian... 40 7. Komposisi Telur, Larva, Pupa, dan Imago berdasarkan

Ketinggian Tempat... 43

8. Intensitas

Serangan H. hampei Berdasarkan Ketinggian Tempat... 44 9. Nilai Rata-rata dan Standart Deviasi Intensitas Serangan H.hampei

Berdasarkan Cabang Pohon di Sektor Bawah, Tengah,dan Atas... 45 10. Rata-Rata Intensitas Serangan H. hampei pada Masing-Masing

Ketinggian... 46

11. F

aktor Fisik Areal Tanaman Kopi Arabika di 5 Ketinggian……... 47 12. Nilai Analisis Korelasi Spearman antara berbagai Faktor Fisik

(14)

DAFTAR

GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Tanaman Kopi Arabika...6

2. Buah Kopi Hijau, Kuning dan Merah...8

3. a. H. hampei betina...12

b. H.hampei betina menggerek buah kopi...12

4. Telur H.hampei......13

5. Larva H hampei...13

6. Pupa H.hampei...13

7. Imago H. hampei....14

8. Buah Kopi yang terserang H. hampei...16

9. Cara menentukan tanaman pengamatan...30

10. Cara menentukan Sektor pengamatan...31

11. Penentuan Ranting dari Tiap Arah Mata Angin...31

Tajuk dilihat dari atas 12. Laba-laba Serigala...54

13. Laba-laba Kepiting...54

(15)

15. Laba-laba Lompat...54

16. Laba-laba Pembuat Jaring...54

17. Semut Angkrang...56

18. Semut Hitam...56

19. Semut Iridomyrmex...56

20. Famili Corduliidae...57

21. Famili Aeshnidae...57

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Peta Administrasi Kabupaten Pakpak Bharat...66

2. Gambar Stadia Perkembangan H.Hampei...67

3. a. Gambar Gejala Serangan H. hampei...68

b. Gambar Ukuran Buah Kopi...68

c. Gambar Buah yang Terserang H. Hampei...68

d. Gambar Buah yang Sehat...68

4. Pengamatan 1. Total Buah Kopi dan Jumlah Buah Kopi yang Terserang Percabang...69

5. Pengamatan 2. Total Buah Kopi dan Jumlah Buah Kopi yang Terserang Percabang...77

6. Pengamatan 1. Total Buah Kopi yang Sehat dan Jumlah Buah Kopi yang Terserang Perpohon... .85

7. Pengamatan 2. Total Buah Kopi yang Sehat dan Jumlah Buah Kopi yang Terserang Perpohon...87

8. Pengamatan 1. Komposisi Stadia Perkembangan H. hampei pada Buah Berwarna Hijau, Kuning dan Merah... 89

9. Pengamatan 2. Komposisi Stadia Perkembangan H. hampei pada Buah Berwarna Hijau, Kuning dan Merah... .92

10. Pengamatan 1. Faktor Abiotik... ….95

11. Pengamatan 2. Faktor Abiotik... .97

12. Data Curah Hujan/mm... .99

13. Contoh Pengolahan Data Indeks Distribusi (Morista)... 100

(17)

15. Tabel Rata- Rata Intensitas Serangan

pada masing-masing Ketinggian...102 16. Tabel Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan

Kematangan Buah (Warna Hijau, Kuning dan Merah)

pada 5 Ketinggian...106 17. Tabel Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan

Ketinggian Tempat...109 18. Analisis Faktor Fisik Lingkungan dengan Intensitas Serangan...111 19. Surat Hasil Identifikasi Serangga LIPI...114 20. Surat Jalan / Permohonan Bantuan Kelancaran

(18)

ABSTRACT

Ecology Research Coffee Pod Borer (Hypotenemus hampei) at Arabica Coffee Plants (Coffea arabica) in District Pakpak Bharat had been conducted in March 2010 - April 2010. Research in the form of this survey sampled at 5 height is: A ≤ 700, 700 < B ≤ 800, 800 < C ≤ 900, 900 < D ≤ 1000, and E > 1000 meters above sea level. This study aims to (a) know H.hampei distribution pattern, (b) measuring the intensity of attacks H.hampei, (c) the composition of stadia development in H.hampei connect with ripeness (green, yellow, red), and (d) know the correlation of physical environmental factors with itensity attacks. The results showed that the distribution pattern of H. hampei clustered in the bottom sector, the intensity of light attacks. Composition of the development of stadia H. hampei more progress on the red colored fruit. Physical environmental factors are not correlated to the intensity of attacks H.hampei.

(19)

ABSTRAK

Penelitian Ekologi Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei) pada Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) di Kabupaten Pakpak Bharat telah dilaksanakan pada bulan Maret 2010 – April 2010. Penelitian yang berupa survei ini mengambil sampel di 5 ketinggian yaitu : A ≤ 700, 700< B≤800, 800<C≤900, 900<D≤1000, dan E>1000 meter di atas permukaan laut. Penelitian ini bertujuan (a) mengetahui pola distribusi H. hampei, (b) mengukur intensitas serangan H. hampei, (c) mengetahui komposisi stadia perkembangan H. hampei di hubungkan dengan kematangan buah (hijau, kuning, merah), dan (d) mengetahui korelasi faktor fisik lingkungan dengan intensitas serangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola distribusi H. hampei berkelompok disektor bawah, intensitas serangan ringan. Komposisi perkembangan stadia H. hampei lebih banyak berlangsung pada buah berwarna merah. Faktor fisik lingkungan tidak berkorelasi terhadap intensitas serangan H. hampei.

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Perkebunan kopi mampu menyediakan lapangan kerja dan pendapatan kepada lebih dari 2 juta kepala keluarga petani dan menghasilkan devisa lebih dari US$ 500 juta/tahun pada periode 1994-1998 (Herman, 2003).

Kabupaten Pakpak Bharat merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi pada tahun 2003. Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat penghasil kopi Sidikalang. Predikat kopi Sidikalang yang diolah dari kopi robusta pernah mencapai masa kejayaan, bahkan secara ekonomis mengangkat harkat masyarakat Dairi. Belakangan ini popularitas kopi Sidikalang semakin surut seiring fluktuasi harga dan rendahnya produksi, akibatnya petani beralih ke tanaman kopi jenis arabika.

(21)

Tanamaan kopi dikenal sebagai salah satu tanaman yang disukai oleh banyak jenis serangga hama. Sampai saat ini tercatat lebih dari 900 jenis serangga hama pada tanaman kopi yang tersebar diseluruh dunia. Di Indonesia terdapat beberapa jenis hama utama kopi, yaitu: hama penggerek buah kopi (PBKo) Hypothenemus hampei,

penggerek cabang hitam Xylosandrus compactus, penggerek cabang coklat

Xylosandrus morigerus, kutu hijau Coccus viridis, dan penggerek batang merah

Zeuzera coffea (Kadir et al., 2003).

Di 70 negara yang termasuk daerah tropis lembab, kopi (Coffea spp,

Rubiaceae) merupakan komoditas pertanian yang penting. Produksinya telah meningkat selama dekade terakhir melalui penggunaan varietas unggul, pupuk dan jumlah tanaman (Baker et al., 2002 dalam Jaramillo et al., 2006). Dibanyak negara produksi kopi ini sangat terancam oleh serangan hama dan penyakit. Hypothenemus hampei sebagai hama kopi yang paling penting di dunia (Mathieu et al., 1997). Saat ini banyak petani kopi mengandalkan aplikasi insektisida sintetik untuk mengendalikan H.hampei. Endosulfan dan klorpirifos yang paling umum digunakan sebagai insektisida yang sangat beracun dan merupakan ancaman terhadap lingkungan, petani yang menggunakannya, dan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan perkebunan kopi (Baker et al., 2002 dalam Jaramillo et al., 2006).

(22)

parasitoid utama H.hampei yaitu Cephalonomia stephanoderes & Prorops nasuta

(bethylids), Phymastichus coffea (Eulophid), dan Braconid coffeicola, Heterospilus. Selain itu, Beauveria bassiana telah dilaporkan sebagai musuh alami yang penting. Jamur ini menginfeksi H. hampei betina dan membunuh sebelum masuk ke dalam biji kopi, patogen tampaknya sangat efektif, menyebabkan 80% H. hampei mati (Brun & Suckling, 2001).

1.2 Perumusan Masalah

Kopi arabika merupakan salah satu sumber penghasilan masyarakat Pakpak Bharat. Kopi arabika juga merupakan habitat bagi hama H. hampei yaitu hama penggerek buah kopi, hama tersebut dapat merusak buah kopi sehingga menyebabkan hasil produksi kopi akan menurun. Soekadar Wiryadiputra mengatakan serangan hama penggerak buah kopi ternyata mampu menurunkan produktivitas dalam jumlah besar hingga di atas 20 persen. Serangga ini merusak sejak fase pembungaan hingga pematangan yang membuat buah jadi hampa. Dari kalkulasi nasional, serangan itu telah menimbulkan kerugian ekonomi hingga 2,4 milliar per tahun atau kehilangan buah sebanyak 160 ribu ton.

(23)

dari 5% sampai 24% . Dalam kasus-kasus ekstrim dilaporkan kehilangan hasil sampai 50%. (Ramirez dan Mora, 2001 dalam Todo Monografías.com, 2006).

Salah satu kendala budi daya kopi di Kabupaten Pakpak Bharat adalah serangan Hypothenemus hampei, namun belum ada data yang menunjukkan berapa besar intensitas serangan dan pola distribusi dari H.hampei. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti berapa besar intensitas serangan dan bagaima pola distribusi

H.hampei pada tanaman kopi arabika masyarakat di Kabupaten Pakpak Bharat.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pola distribusi hama H. hampei pada tanaman kopi arabika di lokasi penelitian.

2. Untuk mengetahui intensitas serangan hama H. hampei pada tanaman kopi arabika di lokasi penelitian.

3. Untuk mengidentifikasi komposisi stadia perkembangan H. Hampei dihubungkan dengan kematangan buah kopi arabika yang berwarna hijau, kuning dan merah di lokasi penelitian.

4. Untuk mengetahui korelasi faktor fisik terhadap intensitas serangan H.hampei

pada tanaman kopi arabika di lokasi penelitian.

(24)

1.4 Manfaat Penelitian

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kopi

2.1.1 Klasifikasi

Tanaman kopi (Gambar 1) termasuk dalam Kingdom Plantae, Sub kingdom

Tracheobionta, Super divisi Spermatophyta, Divisi Magnoliophyta, Class

Magnoliopsida/Dicotyledons, Sub class Asteridae, Ordo Rubiales, Famili Rubiaceae,

Genus Coffea, Spesies Coffea arabica  L (USDA, 2002). Di dunia perdagangan dikenal beberapa golongan kopi, tetapi yang paling sering dibudidayakan hanya kopi arabika, robusta, dan liberika. Pada umumnya, penggolongan kopi berdasarkan spesies, kecuali kopi robusta. Kopi robusta bukan nama spesies karena kopi ini merupakan keturunan dari beberapa spesies kopi, terutama Coffea canephora (AAK, 1988).

(26)

2.1.2 Morfologi

Secara alami, tanaman kopi memiliki akar tunggang sehingga tidak mudah rebah. Namun, akar tunggang tersebut hanya dimiliki oleh tanaman kopi yang berasal dari bibit semai atau bibit sambung (okulasi) yang batang bawahnya berasal dari bibit semai. Sementara tanaman kopi yang berasal dari bibit setek, cangkok, atau okulasi yang batang bawahnya berasal dari bibit setek tidak memiliki akar tunggang sehingga relatife mudah rebah (AAK, 1988).

Batang dan cabang kopi berkayu, tegak lurus dan beruas-ruas. Tiap ruas hampir selalu ditumbuhi kuncup. Tanaman ini mempunyai dua macam pertumbuhan cabang, yaitu cabang Orthrotrop dan Plagiotrop. Cabang Orthrotrop merupakan cabang yang tumbuh tegak seperti batang, disebut juga tunas air atau wiwilan atau cabang air. Cabang ini tidak menghasilkan bunga atau buah. Cabang Plagiotrop

merupakan cabang yang tumbuh ke samping. Cabang ini menghasilkan bunga dan buah (AAK, 1988).

Daun kopi berbentuk bulat, ujungnya agak meruncing sampai bulat dengan bagian pinggir yang bergelombang. Daun tumbuh pada batang, cabang dan ranting. Pada cabang Orthrotrop letak daun berselang seling, sedangkan pada cabang Plagiotrop terletak pada satu bidang. Daun kopi robusta ukurannya lebih besar dari arabika (Wachjar, 1984).

(27)

4-6 kuntum bunga. Tanaman kopi yang sudah cukup dewasa dan dipelihara dengan baik dapat menghasilkan ribuan bunga. Bila bunga sudah dewasa, kelopak dan mahkota akan membuka, kemudian segera terjadi penyerbukan. Setelah itu bunga akan berkembang menjadi buah (AAK, 1988).

Buah kopi terdiri dari daging buah dan biji. Daging buah terdiri dari tiga bagian yaitu lapisan kulit luar (eksokarp), lapisan daging buah (mesokarp), dan lapisan kulit tanduk (endokarp) yang tipis, tetapi keras. Buah kopi yang muda berwarna hijau, tetapi setelah tua menjadi kuning dan kalau masak warnanya menjadi merah (Gambar 2). Besar buah kira-kira 1,5 x 1 cm dan bertangkai pendek. Pada umumnya buah kopi mengandung dua butir biji, biji tersebut mempunyai dua bidang, bidang yang datar (perut) dan bidang yang cembung (punggung). Tetapi ada kalanya hanya ada satu butir biji yang bentuknya bulat panjang yang disebut kopi "lanang". Kadang- kadang ada yang hampa, sebaliknya ada pula yang berbiji 3-4 butir yang disebut polysperma (AAK, 1988).

(28)

Biji kopi kering mempunyai komposisi sebagai berikut: air 12%, protein 13%, lemak 12%, gula 9%, caffeine 1-1,5% (arabika), 2-2,5% (robusta), caffetanic acid 9%, cellulose dan sejenisnya 35%, abu 4%, zat-zat lainnya yang larut dalam air 5% (Wachjar, 1984). Biji kopi secara alami mengandung cukup banyak senyawa calon pembentuk citarasa dan aroma khas kopi antara lain asam amino dan gula (PPKKI, 2006).

2.1.3 Syarat Tumbuh

Pertumbuhan dan produksi tanaman kopi sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim dan tanah, bibit unggul yang produksinya tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit. Hal yang juga penting harus dipenuhi adalah pemeliharaan antara lain: pemupukan, pemangkasan, pohon peneduh dan pemberantasan hama dan penyakit (AAK, 1988).

(29)

tahan terhadap masa kering yang berat. Hal ini disebabkan karena kopi arabika ditanam pada elevasi tinggi yang dingin dan relatif lebih lembab serta akarnya yang lebih dalam dari pada robusta (Wachjar, 1984).

Setiap jenis kopi menghendaki suhu atau ketinggian tempat yang berbeda. Misalnya, kopi robusta dapat tumbuh optimum pada ketinggian 400-700 m dpl dengan temperatur rata-rata tahunan 20°-24° C, tetapi beberapa diantaranya juga masih tumbuh baik dan ekonomis pada ketinggian 0-1000 m dpl. Kopi arabika menghendaki ketinggian tempat antara 500 - 1700 m dpl dengan temperatur rata-rata tahunan 17°-21°C. Bila kopi arabika ditanam di dataran rendah (kurang dari 500 m dpl), biasanya produksi dan mutunya rendah serta mudah terserang penyakit karat daun yang disebabkan oleh cendawan Hemmileia vastatrix (HV) (AAK, 1988).

Tanaman kopi menghendaki penyinaran matahari yang cukup panjang, akan tetapi cahaya matahari yang terlalu tinggi kurang baik. Oleh karena itu dalam praktek kebun kopi diberi naungan dengan tujuan agar intensitas cahaya matahari tidak terlalu kuat. Sebaliknya naungan yang terlalu berat (lebat) akan mengurangi pembuahan pada kopi. Produksi kopi dengan naungan sedang, akan lebih tinggi dari pada kopi tanpa naungan. Kopi termasuk tanaman hari pendek (short day plant), yaitu pembungaan terjadi bila siang hari kurang dari 12 jam (Wachjar, 1984).

Menurut AAK (1988), naungan yang sering dipergunakan di dalam perkebunan ialah jenis dadap (Eurythrina lithosperma), sengon laut (Albizzia falcata)

(30)

stek. Selain pohon pelindung biasanya disertai tanaman penutup tanah seperti Centrosema, kecipir gunung (Psophocarpus), semacam koro (krotok), wedusan dan sebagainya. Semua ini sangat baik sebagai mulsa. Menurut percobaan-percobaan di luar negeri, dengan mulsa itu dapat menaikkan produksi 66% - 213% selama tiga tahun. Dengan demikian mulsa dan penutup tanah itu sangat penting untuk semua perkebunan.

2.2 Hama Tanaman Kopi

2.2.1 Hypothenemus hampei ( Penggerek buah) 2.2.1.1 Klasifikasi

Hypothenemus hampei (Gambar 3a) merupakan salah satu penyebab utama penurunan produksi dan mutu kopi Indonesia, bahkan di seluruh negara penghasil kopi. Kerusakan yang ditimbulkannya berupa buah menjadi tidak berkembang, berubah warna menjadi kuning kemerahan, dan akhirnya gugur mengakibatkan penurunan jumlah dan mutu hasil (Kadir et al., 2003).

Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut:

(31)

Genus : Hypothenemus

Spesies : Hypothenemus hampei

2.2.1.2 Biologi H. hampei

H. hampei perkembangannya dengan metamorfosa sempurna dengan tahapan telur, larva, pupa dan imago atau serangga dewasa (Lampiran 2). Kumbang betina lebih besar dari kumbang jantan. Panjang kumbang betina lebihkurang 1,7 mm dan lebar 0,7 mm, sedangkan panjang kumbang jantan 1,2 mm dan lebar 0,6-0,7 mm. Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang gerekan dengan diameter lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada bagian ujung (Gambar 3b). Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lubang yang dibuatnya. Telur menetas 5-9 hari. Stadium larva 10-26 hari dan stadium pupa 4-9 hari. Pada ketinggian 500 m dpl, serangga membutuhkan waktu 25 hari untuk perkembangannya. Pada ketinggian 1200 m dpl, untuk perkembangan serangga diperlukan waktu 33 hari . Lama hidup serangga betina rata-rata 156 hari, sedangkan serangga jantan maksimal 103 hari (PCW, 2002 & Susniahti et al., 2005).

Gambar 3b. H. hampei betina menggerek buah kopi Gambar 3a

(32)

Kumbang betina menggerek ke dalam biji kopi dan bertelur sekitar 30 -50 butir. Telur (Gambar 4) menetas menjadi larva (Gambar 5) yang menggerek biji kopi. Larva menjadi kepompong (Gambar 6) di dalam biji. Dewasa (kumbang) keluar dari kepompong. Jantan dan betina kawin di dalam buah kopi, kemudian sebagian betina terbang ke buah lain untuk masuk, lalu bertelur lagi (PCW, 2002).

Gbr. TelurH.hampei Mikroskop Olympus BX51TF 100‐120/220‐240V .

Perbesaran 100 X

Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6

Telur H. hampei Larva H. hampei Pupa H. hampei

(33)

Gambar 7. Imago H. hampei

2.2.1.3 Gejala Serangan

Pada umumnya H. hampei menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi yang bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah demikian tidak berkembang, warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu kopi karena biji berlubang (Gambar 8). Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negatif terhadap susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia, sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen senyawa kimia yang terkandung dalam biji (Tobing et al., 2006).

(34)

Perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji keras yang sudah matang. Kumbang penggerek ini dapat mati secara prematur pada biji di dalam endosperma jika tidak tersedia substrat yang dibutuhkan. Kopi setelah pemetikan adalah tempat berkembang biak yang sangat baik untuk penggerek ini, dalam kopi tersebut dapat ditemukan sampai 75 ekor serangga perbiji. Kumbang ini diperkirakan dapat bertahan hidup selama kurang lebih satu tahun pada biji kopi dalam kontainer tertutup (Kalshoven, 1981).

H. hampei mengarahkan serangan pertamanya pada areal kebun kopi yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Jika tidak dikendalikan, serangan dapat menyebar ke seluruh kebun. Dalam buah tua dan kering yang tertinggal setelah panen, dapat ditemukan lebih dari 100 H. hampei (DPP, 2004). Betina berkembang biak pada buah kopi hijau yang sudah matang sampai merah , biasanya membuat lubang dari ujung dan meletakkan telur pada buah. Kumbang betina terbang dari satu pohon ke pohon yang lain untuk meletakkan telur. Ketika telur menetas, larva akan memakan isi buah sehingga menyebabkan menurunnya mutu kopi (USDA, 2002). Serangan H. hampei pada buah muda menyebabkan gugur buah. Serangan pada buah yang cukup tua menyebabkan biji kopi cacat berlubang-lubang dan bermutu rendah (PPKKI, 2006). H. hampei diketahui makan dan berkembang biak hanya di dalam buah kopi saja. Kumbang betina masuk ke dalam buah kopi dengan membuat lubang dari ujung buah dan berkembang biak dalam buah (Irulandi et al.,

(35)

Gambar 8. Buah kopi yang terserang H. hampei

Imago H.hampei telah merusak biji kopi sejak biji mulai membentuk endosperma. Serangga yang betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah memiliki endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Betina membuat lubang kecil dari permukaan kulit luar kopi (mesokarp) buah untuk meletakkan telur jika buah sudah cukup matang (Baker et al., 1992).

2.2.1.4 Pola Penyebaran

Penggerek buah kopi ini mula-mula berasal dari Afrika kemudian menyebar luas sampai ke Brazil, Guatemala, Asia, termasuk India, Indonesia dan beberapa pulau di kepulauan Pasifik, hama ini hanya menyerang buah kopi (Vega, 2002). Serangga hama ini dikenal dengan bubuk buah kopi atau ”coffee berry barer”, termasuk ordo Coleoptera, famili Scolytidae dan mempunyai penyebaran di Indonesia. Kumbang H. hampei berwarna hitam berkilat atau hitam coklat (Susniahti

(36)

Hama bubuk buah kopi, H. hampei serangannya meluas ke Afrika Tengah. Laporan tahunan kehilangan hasil yang disebabkan oleh hama ini diperkirakan lebih dari $ 500 juta setiap tahun. Disebutkan bahwa hama bubuk buah kopi ini telah ada di negara yang berbeda di mana lebih dari 20 negara, termasuk Puerto Rico juga telah terdapat hama ini (Vega, 2002).

Serangga H. hampei diketahui menyukai tanaman kopi yang rimbun dengan naungan yang gelap. Kondisi demikian tampaknya berkaitan dengan daerah asal dari hama PBKo, yaitu Afrika dimana serangga PBKo menyerang tanaman kopi liar yang berada di bawah hutan tropis yang lembab. Kondisi serupa juga dijumpai di Brazil, di mana serangan berat hama PBKo biasanya terjadi pada pertanaman kopi dengan naungan berat dan berkabut sehingga kelembaban udara cukup tinggi (Wiryadiputra, 2007).

(37)

2.2.1.5 Pengaruh Lingkungan

Perkembangan H. hampei dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan buah kopi.

H. hampei dapat hidup pada suhu 15⁰C-35⁰C, suhu optimal untuk perkembangan telur antara 30⁰C-32⁰C dan untuk larva, pupa dan dewasa antara 27⁰C-30⁰C.

Serangga betina dapat menggerek buah kopi antara suhu 20⁰C-33⁰C, pada suhu 15⁰C

dan 35⁰C serangga betina gagal menggerek buah kopi atau mampu menggerek buah kopi tapi tidak bertelur (Jaramilo et al.,2009).

2.2.1.6 Pengendalian

Pengendalian dengan sanitasi sangat efektif untuk menurunkan intensitas serangan hama H. hampei. Tindakan rampasan (memetik seluruh buah yang ada di pohon setelah panen) yang dipraktekkan pada suatu perkebunan pada tahun 1922 mampu menurunkan intensitas serangan H. hampei dari 40-90% menjadi 0,5-3%. Di Brazil, tindakan sanitasi dilaporkan juga sangat efektif untuk mengendalikan hama PBKo (Wiryadiputra, 2007).

Memutus daur hidup H. hampei, meliputi tindakan petik buah, yaitu mengawali panen dengan memetik semua buah masak yang terserang H. hampei

(38)

akhir panen. Semua bahan hasil petik bubuk, lelesan, dan racutan direndam dalam air panas kurang lebih 5 menit (PPKKI, 2006).

Pemangkasan merupakan salah satu upaya pengendalian secara kultur teknis yang dimaksudkan untuk memutus siklus hidup hama utama pada pertanaman kopi. Pemangkasan dilakukan baik pada tanaman kopi maupun terhadap tanaman penaung. Tindakan pemangkasan pada tanaman kopi ditujukan untuk menghindari kelembaban yang tinggi, memperlancar aliran udara sehingga proses penyerbukan dapat berlangsung secara intensif, membuka kanopi agar tanaman mendapat penyinaran merata guna merangsang pembungaan, dan membuang cabang tua yang kurang produktif atau terserang hama atau penyakit sehingga hara dapat didistribusikan kecabang muda yang lebih produktif (Kadir et al., 2003).

Pengendalian hayati dengan menggunakan musuh alami memiliki prospek untuk dikembangkan. Musuh alami terdiri dari predator, parasitoid dan patogen. Predator (pemangsa) menangkap dan memakan serangga hama (dan binatang lain). Serangga yang berperan sebagai predator di perkebunan kopi antara lain laba-laba, tawon kertas, cecopet, belalang sembah, kumbang kubah, kumbang harimau, kumbang tanah, capung dan beberapa macam kepik (DPP, 2004).

Parasitoid adalah serangga yang hidup di dalam atau pada tubuh serangga lain, dan membunuhnya secara pelan-pelan dari dalam. Ada empat parasitoid dari

H.hampei yaitu Stephanoderis cephalonomia & Prorops nasuta (Bethylids),

(39)

kopi yang tumbuh di wilayah Amerika Latin dan telah memberikan hasil yang menjanjikan sebagai agen biokontrol dari hama (Alvarado & Rojas, 2008).

Seperti manusia dan binatang, serangga juga bisa kena penyakit. Penyakit serangga bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk mengendalikan banyak jenis hama. Penyakit disebabkan oleh organisme patogen (jamur, virus, bakteri, protozoa dan nematoda). Jamur Beauveria bassiana adalah patogen yang telah tersedia dan prospektif untuk dikembangkan. Menurut PCW (2002) bahwa penggunaan jamur entomopatogen Beauvaria bassiana berhasil menyebabkan kematian H. hampei

sebesar 80% di Kolombia.

Berbagai upaya untuk mengendalikan hama, di daerah-daerah penghasil kopi di dunia masih diarahkan pada pengendalian secara kimia terutama dengan menggunakan endosulfan. Hasil penelitian di Kaledonia Baru menunjukan bahwa hama bubuk buah kopi ini telah mengembangkan ketahanannya pada endosulfan dan lindane. Hasil penelitian dengan menggunakan insektisida monokrotofos 150 g/l, metamidofos 200 g/l dan fosfamidon 500 g/l pada tanaman kopi di kecamatan Modoinding, Sulawesi Utara menunjukkan bahwa jenis-jenis insektisida ini dapat menekan populasi hama bubuk buah kopi (Sembel et al., 1993).

2.2.2 Xylosandrus spp (Penggerek cabang)

Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera. Larva hama penggerek cabang

(40)

muda yang masih lunak. Kumbang kecil ini termasuk ke dalam golongan serangga yang mengembangbiakkan makanan untuk anak-anaknya, yaitu jamur Ambrosia. Kumbang ini membuat lubang masuk ke dalam ranting pohon kopi sehingga ranting atau cabang itu tidak berbuah (DPP, 2004).

Cara pengendalian dengan menutup lubang gerekan, dan ulat yang ditemukan dimusnahkan. Cara lain adalah memotong batang/cabang terserang 10 cm di bawah lubang gerekan, kemudian ulatnya dimusnahkan/ dibakar. Cara hayati bisa dipakai, misalnya dengan Beauveria bassiana, atau agens hayati lain (DPP, 2004).

2.2.3 Coccus viridis ( Kutu hijau)

Famili Coccidae, Ordo Homoptera. Kutu hijau adalah serangga yang tidak berpindah tempat dalam kebanyakan fase hidupnya sehingga tetap tinggal di satu tempat untuk menghisap cairan dari tanaman. Kutu hijau menyerang cabang, ranting dan daun pohon kopi arabica dan Robusta. Pengendaliannya dilakukan dengan melestarikan kumbang helm dan larvanya yang merupakan musuh alami kutu hijau yang ampuh. Juga ada jamur putih Cephalosporium lecanii yang menyerang dan membunuh kutu hijau ini di kebun. Verticillium adalah penyakit yang menyerang kutu hijau dan dapat mengendalikannya (Pracaya, 1986).

2.2.4 Ferrisia virgata (Kutu putih)

(41)

selain kopi, termasuk lamtoro, jambu mete, kakao, jeruk, kapas, tomat, singkong, dll. Kotoran kutu putih mengandung gula dari tanaman, jika kotoran dibuang pada daun kopi, jamur dapat tumbuh pada kotoran tersebut dan merusak daun kopi. Kutu putih mempunyai banyak jenis musuh alami, termasuk tawon parasitoid, kumbang kubah, lalat jala dan jamur. (Pracaya, 1986).

2.3 Penyakit Tanaman Kopi

2.3.1 Hemileia vastatrix (Karat daun)

Hemileia vastatrix termasuk dalam Famili Urediaceae, Ordo Uredinales. H. vastatrix dapat menyerang mulai dari pembibitan sampai tanaman dewasa. Gejala tanaman yang terserang, daun yang sakit timbul bercak kuning kemudian berubah menjadi coklat. Permukaan bercak pada sisi bawah daun terdapat uredospora seperti tepung berwarna oranye atau jingga. Pada serangan berat pohon tampak kekuningan, daunnya gugur akhirnya pohon menjadi gundul. Pengendalian penyakit dengan memperkuat kebugaran tanaman melalui pemupukan berimbang, pemangkasan dan pengaturan naungan untuk mengurangi kelembaban kebun dan memberikan sinar matahari yang cukup pada tanaman (DPP, 2004).

2.3.2 Corticium salmonicolor (Jamur upas)

(42)

benang-benang jamur tipis seperti sutera, berbentuk sarang labalaba. Selanjutnya pada bagian tersebut terjadi nekrosis kemudian membusuk sehingga warnanya menjadi coklat tua atau hitam. Nekrosis pada buah bermula dari pangkal buah di sekitar tangkai, kemudian meluas ke seluruh permukaan dan mencapai endosperma (AAK, 1988).

Pengendalian jamur upas dengan menghilangkan sumber nutrisi yakni batang dan cabang sakit dipotong sampai 10 cm di bawah pangkal dari bagian yang sakit. Potongan-potongan ini dikumpulkan kemudian di bakar. Memetik buah-buah yang sakit, dikumpulkan dan dibakar atau dipendam. Pemangkasan pohon pelindung untuk mengurangi kelembaban kebun sehingga sinar matahari dapat masuk ke areal pertanaman kopi (AAK, 1988).

2.3.3 Penyakit akar

Ada tiga jenis penyakit jamur akar pada tanaman kopi yang disebabkan oleh Phellinus noxius, Rosellinia bunodes, dan Rigidoporus microporus

(43)
(44)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Deskripsi Area

3.1.1 Letak dan Luas Area

Kabupaten Pakpak Bharat (Lampiran 1) secara geografis terletak pada 02015’00” – 03032’00” LU dan 90000’ – 98031’ BT, sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Dairi, sebelah Timur dengan Kabupaten Toba Samosir, sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Humbang Hasundutan, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Singkil. Luas keseluruhan wilayah 121.830 Ha, yang terdiri dari 8 kecamatan yakni Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan, Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat Rube, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu, Kecamatan Pergetteng Getteng Sengkut, dan Kecamatan Pagindar. Luas wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya seluas 77.893,39 Ha, dan kawasan hutan lindung seluas 43.936,61 Ha. Luas area produksi kopi arabika yang terbesar adalah Kecamatan Kerajaan dengan luas area 357,20 Ha dan produksi 214,32 ton, diikuti dengan Kecamatan Siempat Rube dengan luas area 289,13 Ha dan produksi 173,50 ton dan Kecamatan Tinada dengan luas area 189,13 Ha dan produksi 128,89 ton (BPS Kabupaten Pakpak Bharat, 2008).

3.1.2 Topografi

(45)

laut. Luas Kabupaten Pakpak Bharat menurut kondisi tanah yaitu datar 3%, berombak 5%, curam 5%, bergelombang 18%, dan terjal 69%.

3.1.3 Tipe Iklim

Kabupaten Pakpak Bharat beriklim sedang dengan rata-rata suhu 28oC dengan curah hujan per tahun sebesar 3110 mm. Iklim di Kabupaten Pakpak Bharat tidak menentu, adakalanya musim penghujan dan adakalanya musim kemarau. Musim penghujan biasanya pada bulan Januari, Maret, Juli, Agustus, September, Oktober, November dan Desember setiap tahunnya (BPS Kabupaten Pakpak Bharat, 2008).

3.1.4 Mata Pencaharian Penduduk

(46)

Tabel 1. Luas dan Produksi Tanaman Kopi Rakyat Kabupaten Pakpak Bharat

Jenis Tanaman

Kopi Robusta Kopi Arabika No Kecamatan

Sumber : (BPS Kabupaten Pakpak Bharat 2008)

3.1.5 Penentuan Lokasi Penelitian

Data yang diperoleh dari Dinas Pertanian Pakpak Bharat 2008 (Tabel 1), bahwa dari 8 kecamatan tersebut yang memiliki produksi kopi arabika terbesar adalah kecamatan Kerajaan dengan luas area 357,20 Ha dan produksi 214,32 ton, diikuti dengan kecamatan Siempat Rube dengan luas area 289,13 Ha dan produksi 173,50 ton dan kecamatan Tinada dengan luas area 189,13 Ha dengan produksi 128,89 ton, sehingga 3 kecamatan tersebut dipilih menjadi kecamatan penelitian.

(47)

Tabel 2. Lokasi Pengambilan Sampel Berdasarkan Ketinggian Kecamatan

Kerajaan Siempat Rube Tinada

Ketinggian

Selanjutnya pada masing-masing desa pengamatan ditentukan kebun pengamatan. Pengamatan langsung di lapangan dilakukan dengan memilih kebun petani yang memiliki tanaman kopi arabika lebih kurang 250 sampai 800 pohon dengan umur tanaman 2-6 tahun.

Untuk menentukan pohon pengamatan digunakan metode diagonal sehingga diperoleh lima titik pengamatan. Dari tiap titik pengamatan diambil satu tanaman, sehingga diperoleh lima tanaman pengamatan, empat disudut dan yang kelima di bagian tengah kebun pengamatan.

(48)

Untuk metode diagonal besarnya persentase serangan berbanding lurus dengan jumlah serangga hama baik pada stadia telur, nimfa dan imago (BBP2TP, 2010).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan April 2010 di kebun kopi masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat di 3 kecamatan dan 15 desa dengan 5 ketinggian berkisar antara 600-1400 m dpl. Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali berturut-turut dengan interval waktu 1 kali dua minggu.

3.3 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman kopi arabika berumur 2-6 tahun, buah kopi yang terserang H. hampei dan alkohol. Alat yang digunakan adalah termometer, higrometer, altimeter, lux meter, lup, kantongan plastik, kamera digital, kain kasa, tali rafia, stoples, skapel, kuas, pinset, buku identifikasi Borror (1990), Chynery (1993) dan alat tulis.

3.4 Prosedur Pelaksanaan Penelitian

(49)

Pada masing–masing titik pengamatan ditentukan satu pohon pengamatan sehingga diperoleh lima tanaman pengamatan, empat di sudut dan satu di bagian tengah kebun pengamatan.

Gambar 9. Cara Menentukan Tanaman Pengamatan

3.4.1 Pola Sebaran Spatial

(50)

Sektor Bawah Sektor Tengah Sektor Atas

Gambar 10. Cara Menentukan Sektor Pengamatan

Utara

Barat

Selatan Timur

Gambar 11. Penentuan Ranting dari Tiap Arah Mata Angin, Tajuk dilihat dari Atas

3.4.2 Intensitas Serangan

Untuk mengetahui intensitas serangan H. hampei, pada setiap pohon kopi pengamatan dihitung jumlah buah kopi yang terserang pada masing–masing cabang dan total keseluruhan buah kopi yang terdapat pada masing – masing cabang (baik buah kopi hijau, kuning, dan merah).

(51)

3.4.3 Stadia Perkembangan H. Hampei

Untuk pengamatan stadia perkembangan H. hampei, diambil 10 buah kopi yang terserang baik buah kopi hijau, kuning dan merah pada masing-masing kebun pengamatan. Buah kopi yang terserang dibuka dan dilihat stadia perkembangan hama

H. hampei.

3.4.4 Pengamatan Parasitoid

Untuk melihat parasitoid dari H. hampei, buah kopi yang terinfeksi diambil sebanyak 50 buah pada masing-masing ketinggian. Buah kopi tersebut dimasukkan ke dalam toples dan ditutup dengan kain kassa, setelah 15 hari buah kopi tersebut dibuka dan serangga yang hidup di dalamnya dan yang ada di dalam toples diidentifikasi. Perlakuan yang sama dilakukan sebanyak 2 kali untuk masing-masing ketinggian. Serangga yang diperoleh dibawa ke LIPI untuk diidentifikasi.

3.5 Pengukuran Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang diukur mencakup faktor fisik antara lain: a. Temperatur Udara

Temperatur udara diukur dengan menggunakan termometer air raksa yang digantung selama lebih kurang 10 menit. Kemudian dibaca skala pada termometer

tersebut. Temperatur udara diukur pada pagi hari sekitar jam 06.00 WIB (sebelum matahari terbit), siang hari sekitar jam 12.00 WIB dan sore hari sekitar jam

(52)

b. Kelembaban Udara

Nilai kelembaban udara diukur dengan menggunakan higrometer dengan memasukkan air mineral pada kantong yang terdapat pada bagian belakang alat dan dibiarkan beberapa saat kemudian dihitung nilai kelembaban udaranya. Caranya dengan menghitung selisih suhu kering dengan suhu basah, kemudian disesuaikan dengan tabel yang ada pada alat tersebut.

c. Ketinggian

Ketinggian diukur dengan menggunakan altimeter, dengan cara membaca nilai yang tertera pada alat tersebut.

d. Curah Hujan

Data curah hujan diambil secara manual dengan menggunakan bambu yang berdiameter 10 cm. Setiap pagi diukur banyaknya air hujan yang tertampung dalam bambu dengan menggunakan rol dengan satuan milli meter selama satu bulan.

e. Intensitas cahaya

Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan lux meter, dengan cara membaca nilai yang tertera pada alat tersebut.

3.6 Analisis Data

Analisis data dilakukan pada (a) intensitas serangan H. hampei berdasarkan cabang pohon di sektor bawah, tengah dan atas; (b) intensitas serangan H. hampei

(53)

berdasarkan ketinggian tempat. Data diuji distribusi normal dan homogenitas variannya. Data yang berdistribusi normal dan homogen dilanjutkan dengan uji Anova taraf 5%. Jika berbeda nyata maka dilakukan uji Post Hoc Bonferroni taraf 5%. Jika data tidak berdistribusi normal dan / atau homogen maka dilanjutkan dengan uji Kruskal-Wallis. Jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney taraf 5%.

a. Indeks Distribusi (Morista)

Untuk mengetahui pola distribusi atau sebaran H. hampei, apakah berkelompok, acak dan teratur (lengkap) pada tanaman kopi arabika maka dicari melalui Indeks Morista dengan rumus sebagai berikut :

∑ x2 - ∑ x

1= N

( ∑ x )2 - ∑x

Keterangan: N = Jumlah Seluruh Plot

X = Jumlah Individu Pada Setiap Plot

1 = 0 = Distribusi Spesies Tersebut Random/Acak 1 > 0 = menunjukkan pola distribusi berkelompok

1 < 0 = menunjukkan pola distribusi seragam / beraturan

(54)

b. Intensitas Serangan

Intensitas serangan H. hampei dihitung dengan menggunakan rumus:

100%

x

b

a

I

Keterangan:

I = Tingkat serangan

a = Jumlah buah kopi terserang H. hampei per cabang b = Jumlah total buah kopi per cabang

Dengan kriteria sebagai berikut :

I < 25%, Intensitas Serangan Ringan I = 25% - 50% Intensitas Serangan Sedang I = 50% - 90% Inrensitas Serangan Berat

I > 90% Intensitas Serangan Fuso ( Rahayu et al., 2006).

c. Analisis Korelasi

(55)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Indeks Distribusi (Morista) H. Hampei

Pola distribusi Hypothenemus hampei dapat dilihat dari dua hal, yaitu pola distribusi dalam satu pohon (pola distribusi horizontal) dan pola distribusi pada tiap ketinggian lokasi tumbuhan kopi (pola distribusi vertikal). Untuk pola distribusi dalam satu pohon dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Nilai Rata-Rata Indeks Distribusi H. hampei dalam Satu Pohon dari 5 Ketinggian

Menurut (Nurdin, 1992), indeks distribusi suatu genus dapat menjadi acak atau random (bila Id = 0), berdistribusi berkelompok (bila Id > 0) dan berdistribusi beraturan (bila Id < 0). Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa pola distribusi horizontal

(56)

2004) H. hampei mengarahkan serangan pertamanya pada bagian kebun kopi yang bernaungan, lebih lembab atau di perbatasan kebun. Hal yang sama juga dikemukakan Nurdin (1992) bahwa penyebaran hewan darat dipengaruhi oleh cahaya, suhu dan kelembaban udara. Selanjutnya Jaramillo et al., (2009) mengemukakan bahwa distribusi H. hampei dipengaruhi oleh temperatur dan ketersediaan tanaman inang. Hasil penelitian Rawai dan Titus (2002) sifat sebaran serangga H. hampei secara horizontal adalah menggerombol karena tanaman yang terserang cenderung mengelompok pada kondisi lingkungan tertentu dimana makanan serangga tersedia.

Pola distribusi pada tiap ketinggian lokasi tumbuhan kopi (pola distribusi vertikal) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa pola distribusi

H.hampei pada ketinggian A,B,C dan D berkelompok di sektor bawah, tengah dan atas terutama di sektor bawah dengan nilai indeks distribusi A=10,07, B=9,53, C=6,43 dan D=11,85. Hal ini disebabkan karena buah kopi yang matang tidak merata. Menurut Wachjar (1984) cabang plagiotrop tanaman kopi berumur 1 tahun primordia bunga terbentuk mula-mula pada ruas yang paling tua (pangkal) selanjutnya pada cabang umur 2 tahun primordia bunga terbentuk dari pertengahan cabang menuju ke ujung dan pangkal. Berarti kematangan buah tidak merata, H.hampei menyukai buah yang matang berwarna merah.

(57)

distribusi mengelompok ditandai dengan jarak individu yang kecil, membutuhkan sumber daya tertentu, sumber daya tidak merata dan kemampuan bergerak terbatas. Menurut Lasmito et al., (1982) populasi hama di alam jarang sekali dijumpai menyebar secara acak, umumnya mereka akan menyebar secara berkelompok.

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Indeks Distribusi H. hampei pada Setiap Ketinggian

No Ketinggian Cabang di pohon Indeks Distribusi Keterangan

(58)

timur, selatan dan barat, didukung dengan faktor suhu 24,35˚C dan intensitas cahaya

396,67 lux yang rendah dibanding ketinggian A,B,C dan D sehingga faktor kelembaban tidak begitu berbeda antara sektor bawah, tengah dan atas. Seperti yang disampaikan oleh Suin (2002) bahwa faktor fisik yang hampir merata pada suatu habitat serta tersedianya makanan organisma yang hidup di dalamnya sangat menentukan organisme tersebut hidup beraturan.

4.2 Komposisi Stadia Perkembangan H.hampei (telur, larva, pupa, imago)

Hasil pengamatan terhadap komposisi stadia perkembangan H. hampei (telur, larva, pupa dan imago) yang dihubungkan dengan kematangan buah (buah berwarna hijau.kuning dan merah) dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi Stadia Perkembangan H. hampei pada 5 Ketinggian

(59)

Subtotal 43 _______________________________________________________________________ Tabel 5 menunjukkan komposisi stadia perkembangan H. hampei (telur, larva, pupa, imago) 23% berlangsung pada buah berwarna hijau, 34% berlangsung pada buah berwarna kuning dan 43% berlangsung pada buah berwarna merah. Jadi perkembangan stadia H. hampei lebih besar berlangsung pada buah berwarna merah, karena kekerasan endosperm pada buah merah lebih sesuai bagi H. hampei untuk meletakkan telurnya. Seperti yang dikemukakan DPP (2004) bahwa buah yang sudah tua paling disukai oleh hama ini. Selanjutnya Kalshoven (1981) mengemukakan bahwa perkembangan dari telur menjadi imago berlangsung hanya di dalam biji keras yang sudah matang berwarna kuning dan merah.

Hasil uji Bonferroni terhadap komposisi stadia perkembangan H. hampei

(telur, larva, pupa dan imago) yang dihubungkan dengan kematangan buah (buah berwarna hijau.kuning dan merah) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan Kematangan Buah pada 5 Ketinggian

Rata2total±Sd 3,61±1,86 2,11±1,22 1,89±1,23 5,29±0,66

(60)

Tabel 6 memperlihatkan bahwa jumlah telur pada buah berwarna hijau berbeda nyata dengan buah berwarna kuning dan merah. Jumlah telur lebih sedikit ditemukan pada buah berwarna hijau dan terbanyak pada buah berwarna merah. Hal ini disebabkan karena buah yang berwarna hijau pada umumnya digunakan imago sebagai bahan makanannya saja. Seperti yang dikemukakan oleh Tobing et al., (2006) buah kopi yang bijinya masih lunak umumnya hanya digerek untuk mendapatkan makanan, penggerek buah kopi tidak meletakkan telurnya tetapi keluar dari buah. Selanjutnya Jaramillo et al., (2006) mengatakan buah kopi yang kekerasan endospermanya kurang 20% akan ditinggalkan imago setelah mendapatkan makanan, tetapi ada juga yang menunggu di terowongan eksokarp sampai endosperma keras dan berkembang biak.

1 12 10

11 9 4

2

Jumlah larva pada buah berwarna merah berbeda nyata dengan jumlah larva pada buah berwarna hijau dan kuning. Jumlah larva lebih banyak pada buah berwarna merah karena serangga betina meletakkan telur pada buah kopi yang telah memiliki endosperma yang keras (Rubio et al., 2008). Kekerasan endosperma seiring dengan kematangan buah yang ditandai dengan perubahan warna buah. Menurut Jaramillo et al., (2006) buah kopi yang kekerasan endospermanya lebih 20% akan digunakan H. hampei untuk meletakkan telurnya. Selanjutnya DPP (2004) mengatakan buah yang paling disukai H. hampei buah kopi berwarna merah.

(61)

yang dibutuhkan telur menjadi pupa ± 15-35 hari (PCW, 2002) sedangkan perubahan buah kopi dari warna hijau kekuning dan kuning kemerah berlangsung selama 1 bulan (Manurung, 2008). Apabila telur diletakkan pada buah yang berwarna hijau, maka perubahan telur tersebut menjadi pupa bersamaan dengan pematangan buah hijau menjadi kuning atau kuning menjadi merah.

(62)

Nilai rata – rata dan standart deviasi jumlah imago (5,53±0,81) pada buah berwarna hijau berbeda nyata dengan jumlah telur (1,37±0,52), larva (1,17±0,37) dan pupa (0,60±0,37) pada buah berwarna hijau hal ini disebabkan karena pada saat buah dipetik imago sudah ada di dalam buah sedang menggerek untuk makan atau sedang menunggu di terowongan eksokarp sampai biji memilki kekerasan lebih 20% untuk meletakkan telurnya (Jaramillo et al., 2006). Stadia telur, larva dan pupa juga ditemukan pada buah berwarna hijau, karena serangga betina juga dapat bereproduksi pada buah berwarna hijau apabila kekerasan endosperma sudah lebih 20%.

Komposisi telur, larva, pupa dan imago berdasarkan ketinggian tempat dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil uji Anova (p>0,05), menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara ketinggian tempat A, B, C, D dan E terhadap jumlah telur, larva, pupa dan imago. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan dan ketersediaan buah kopi yang tidak jauh berbeda pada masing-masing ketinggian. Tabel 7. Komposisi Telur, Larva, Pupa dan Imago Berdasarkan Ketinggian Tempat

Ketinggian

3,89±2,08 2,56±1,73 1,00±0,87 5,39±0,19 ,21±2,09

700<B<800

4,06±2,01 ,00±1,42 1,94±1,25 4,83±0,73 3,21±1,80

800<C<900

3,61±2,83 2,50±1,80 2,11±1,50 4,61±0,35 3,21±1,88

900<D<100 3,44±2,14 1,94±0,63 1,89±0,92 5,67±0,33 3,24±1,91

E>1000

3,06±1,51 1,56±0,86 2,50±1,83 5,94±0,59 3,26±2,04

(63)

4.3 Intensitas Serangan

Intensitas seranganH. hampei pada ketinggian A, B, C, D dan E, termasuk kategori ringan. Nilai intensitas serangan pada masing – masing ketinggian dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Intensitas Serangan H. hampei Berdasarkan Ketinggian Tempat

No. Ketinggian (m dpl) I (%) Keterangan

1. A ≤ 700 7.74 Ringan 2. 700 < B ≤ 800 11.00 Ringan 3. 800 < C ≤ 900 3.19 Ringan 4. 900 < D ≤ 1000 3.51 Ringan 5. E > 1000 5.47 Ringan

(64)

matang dipanen dan dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga buah kopi yang matang tersedia sedikit di lapangan sebagai habitatnya dan tempat melangsungkan reproduksinya. Intensitas serangan tertinggi pada ketinggian 700 < B

≤ 800 m dpl dengan nilai intensitas serangan 11,00%. Hal ini disebabkan karena

pada saat pengamatan terjadi keterlambatan pemanenan sehingga terdapat banyak buah merah pada tanaman kopi tersebut. Intensitas serangan H. hampei akan semakin tinggi karena tersedianya substrat yang dibutuhkan oleh serangga untuk berkembang biak. Menurut DPP (2004) buah merah merupakan buah yang paling disukai oleh serangga betina untuk berkembang biak.

Hasil uji Anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0,05) rata-rata intensitas serangan H. hampei antara cabang Utara, Timur, Selatan, dan Barat pada sektor bawah, tengah dan atas (Tabel 9). Hal ini menunjukkan bahwa buah kopi yang matang tersedia pada cabang Utara,Timur, Selatan dan Barat baik di sektor bawah, tengah dan atas. Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa faktor fisik tidak begitu berpengaruh terhadap intensitas serangan H. hampei.

Tabel 9. Nilai Rata – rata dan Standart Deviasi Intensitas Serangan H. hampei Berdasarkan Cabang Pohon di Sektor Bawah, Tengah dan Atas

Sektor

(65)

Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan intensitas serangan yang signifikan antara ketinggian A, B dengan C, D dan E (Tabel 10). Hal ini disebabkan karena A, B memiliki suhu udara yang berbeda dengan C, D dan E. Perbedaan suhu mempengaruhi kemampuan H. hampei untuk bereproduksi dan beraktifitas. Hasil penelitian Jaramillo et al., (2009) menunjukkan stadia perkembangan H. hampei dari telur sampai imago berlangsung pada suhu antara 20-30⁰C. Suhu udara pada ketinggian A, B (26,12⁰C dan 26,21⁰C) lebih sesuai bagi H. hampei untuk bereproduksi dibandingkan dengan ketinggian C, D dan E dengan suhu udara (25,56⁰C, 25,55⁰C, 24,35⁰C) dibuktikan dengan intensitas serangan di A, B lebih tinggi dari di C, D dan E. Sesuai dengan yang dikemukakan Budiharsanto (2006), untuk melakukan aktivitas, masing – masing serangga hama mempunyai suhu optimal yang berbeda – beda. Suhu optimal bagi serangga hama kebanyakan adalah 26ºC, pada suhu optimum kemampuan berkembang sangat besar.

Tabel 10. Rata-Rata Intensitas Serangan H. hampei pada masing-masing Ketinggian

700 700B800 800C900 900D1000 E1000 m dpl m dpl m dpl m dpl m dpl I (%) I (%) I (%) I (%) I(%)

12.36±7.18a 13.64±6.58a 6.51±5.90b 5.02±3.74b 9.24±9.20b

Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda di dalam baris yang sama adalah berbeda secara nyata (p<0,05)

4.4. Analisis Faktor Fisik Lingkungan

(66)

kopi arabika dilima ketinggian dapat dilihat pada Tabel 11 di bawah ini.

Tabel. 11. Faktor Fisik Areal Tanaman Kopi Arabika di Lokasi Penelitian

(67)

b.Suhu

Menurut Jumar (2000) faktor yang berpengaruh terhadap serangga antara lain suhu, kisaran suhu, kelembaban/hujan dan cahaya. H. hampei seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalam buah kopi, oleh sebab itu suhu yang berperan terhadap ekologi

H. hampei adalah suhu udara. Suhu udara diukur pada pagi hari, siang hari dan sore hari. Tabel 11 menunjukkan bahwa suhu udara terendah 19,08⁰C pada ketinggian E >

1000 m dpl dan suhu tertinggi 31.08⁰C pada ketinggian A ≤ 700 m dpl. Secara

umum suhu udara di lokasi penelitian berkisar antara 24,35⁰C–26,21⁰C. Perbedaan suhu udara pada masing–masing ketinggian sesuai dengan hasil penelitian Braak (1925) diacu dalam Van Steenis (1972) mengemukakan bahwa suhu udara menurun 0,61⁰C setiap bertambahnya ketinggian tempat 100 m sampai pada ketinggian 2000

m dpl, pada peningkatan ketinggian selanjutnya suhu udara menurun 0,52⁰C tiap kenaikan 100 m.

c. Kelembaban

(68)

kegiatan, dan perkembangan serangga. Dalam kelembaban yang sesuai serangga biasanya lebih tahan terhadap suhu ekstrim.

H. hampei dapat berkembang biak secara normal pada genus Coffea spp, dan biasanya hidup dalam populasi yang tinggi di daerah hutan yang basah (hutan hujan tropis) ( Priatno, 1980). Kondisi serupa juga di jumpai di Brazil, dimana serangan berat hama PBKo biasanya terjadi pada pertanaman kopi dengan naungan berat dan berkabut sehingga kelembaban udara cukup tinggi (Wiryadiputra, 2007).

d. Curah Hujan

Kabupaten Pakpak Bharat memiliki rata-rata curah hujan bulanan pada setiap tahunnya sebesar 311 mm, berarti termasuk curah hujan tinggi (bulan basah). Bulan basah apabila curah hujan lebih dari 200 mm. Bulan lembab apabila curah hujannya 100 - 200 mm. Bulan kering apabila curah hujannya kurang dari 100 mm. Curah hujan yang terjadi selama pengamatan bulan Maret 2010 di lokasi penelitian pada masing-masing ketinggian yaitu: ketinggian A = 217 mm (bulan basah), ketinggian B =124,5 mm (bulan lembab), ketinggian C =176,5 mm (bulan lembab), ketinggian D =243,5 mm (bulan basah), ketinggian E = 225 mm (bulan basah). Curah hujan yang optimum untuk tanaman kopi arabika 2000-3000 mm per tahun (AAK, 1988).

(69)

Hubungan antara beberapa faktor fisik lingkungan dengan intensitas serangan diuji dengan Uji Korelasi Spearman. Hasil Uji Korelasi Spearman dapat dilihat pada Tabel 12 di bawah ini.

Tabel 12. Nilai Analisis Korelasi Spearman antara berbagai Faktor Fisik dengan Intensitas Serangan H. hampei Keterangan (+) = arah korelasi searah

(-) = arah korelasi berlawanan Sig < 0.05 = signifikan

Dari hasil uji korelasi Spearman antara beberapa faktor fisik lingkungan dengan intensitas serangan dapat dilihat dua arah korelasi. Arah korelasi negatif (-) menunjukkan adanya hubungan yang berbanding terbalik antara nilai faktor fisik dengan nilai intensitas serangan H. hampei. Arah korelasi searah (+) memperlihatkan adanya hubungan yang searah antara nilai faktor fisik dengan nilai intensitas serangan

H. hampei, maknanya semakin tinggi nilai faktor fisik maka semakin tinggi intensitas serangan H. hampei.

(70)

sebagai habitat dan sumber makanan H. hampei. Hasil penelitian menunjukkan intensitas cahaya sebesar 366,17 lux pada ketinggian B lebih sesuai untuk pertumbuhan tanaman kopi arabika dibuktikan dengan nilai intensitas serangan yang tertinggi (11,00%). Menurut Pendleton et al., (1966) setiap jenis tanaman membutuhkan intensitas cahaya tertentu untuk memperoleh fotosintesis yang maksimal. Oleh karena itu, pemberian naungan bertujuan mendapatkan intensitas cahaya matahari yang sesuai untuk fotosintesis. Intensitas cahaya tinggi menyebabkan intensitas serangan H. hampei rendah. Hal ini sesuai dengan Iskandar (1988) bagi tanaman kopi, naungan diperlukan untuk mengurangi pengaruh buruk akibat sinar matahari yang terik dan memperpanjang umur ekonomi. Naungan akan mempengaruhi jumlah intensitas cahaya matahari yang mengenai tanaman.

Kelembaban udara berkisar antara 83.00% – 92,00%. Ketinggian B dengan kelembaban 83% lebih sesuai dengan pertumbuhan tanaman kopi arabika terbukti dengan nilai intensitas serangan yang lebih tinggi (11%). Menurut Wachjar (1984) kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan tanaman kopi terjangkit penyakit karat daun yang dapat menurunkan produksi buah kopi. Keadaan udara yang terlalu lembab juga dapat menyebabkan buah banyak yang gugur, bisa mencapai 20-30%. Produksi buah kopi rendah berarti habitat dan sumber makanan serangga rendah akibatnya intensitas serangan juga rendah.

(71)

pembungaan yang menyebabkan berubahnya kuncup bunga menjadi kuncup tunas, curah hujan yang tinggi juga dapat menggagalkan pembentukan buah karena mengganggu penyerbukan sehingga dapat menurunkan produksi buah kopi.

Korelasi searah (+) mencakup suhu tanah, suhu siang dan suhu sore yang berarti semakin tinggi suhu tanah, suhu siang dan suhu sore maka semakin tinggi intensitas serangan H. Hampei. Ketinggian B dengan suhu sore 27⁰C H. hampei lebih

aktif terbang dihubungkan dengan intensitas serangan. Menurut Jumar (2000) serangga membutuhkan kisaran suhu untuk melakukan aktivitas dan perkembangan normal (maksimal). Selanjutnya Wiryadiputra (2007) mengatakan serangga betina (H. Hampei) muncul dan terbang dari buah ke buah antara pukul 16.00 – 18.00 untuk makan galleries atau untuk meletakkan telurnya. Semakin tinggi suhu tanah, suhu siang dan suhu sore semakin aktif serangga betina untuk melakukan penerbangan dan menggerek buah kopi dengan demikian semakin tinggi intensitas serangan. Susanti et al., (2010) mengatakan bahwa suhu udara yang meningkat menyebabkan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) mudah berkembang biak.

(72)

variabel mempunyai hubungan terbalik, artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel dibuat kriteria sebagai berikut:

a. Jika 0 : Tidak ada hubungan antara dua variabel b. Jika  0 - 0,25 : Hubungan sangat lemah

c. Jika  0,25 – 0,5 : Hubungan cukup d. Jika  0,5 -0,75 : Hubungan kuat e. Jika  0,75 – 0,99 : Hubungan sangat kuat

f. Jika 1 : Hubungan sempurna

Berdasarkan kriteria koefisien korelasi yang dibuat oleh Sarwono, suhu siang (0,800) mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap intensitas serangan dan secara keseluruhan faktor lingkungan yang diukur pada penelitian berkisar antara hubungan sangat lemah hingga hubungan sangat kuat (antara 0,100 hingga 0,800).

Berdasarkan nilai signifikansi menunjukkan bahwa, tidak adanya hubungan yang bermakna (signifikan) antara faktor fisik lingkungan dengan intensitas serangan

(73)

tempat tampaknya tidak berpengaruh terhadap tinggi rendahnya intensitas serangan dan populasi H. Hampei.

4.5 Pengamatan Parasitoid

Hasil identifikasi serangga yang ditemukan dari toples yang berisi buah kopi yang terserang dan ditutup kain kasa yaitu Hypothenemus hampei, Famili Scolytidae, Ordo Coleoptera; Heterhelus scutellaris dan Carpophilus hemipterus, Famili Nitidulidae, Ordo Coleoptera; Famili Braconidae, Ordo Hymenoptera; Famili Chloropidae, Ordo Diptera; Scymmus sp, Genus Scymmus, Famili Coccinellidae, Ordo Coleoptera. Serangga yang berperan sebagai parasitoid adalah Famili Braconidae dan sebagai predator Scymmus sp.

Famili Braconidae, Ordo Hymenoptera. Menurut Van Driesche & Bellow (1996) dalam Sosromarsono (2000), sebagian besar parasitoid yang digunakan dalam program pengendalian hayati tergolong dalam ordo Hymenoptera, dan diikuti pada skala yang lebih kecil oleh ordo Diptera. Dalam ordo Hymenoptera famili Braconidae dan Ichneumonidae yang paling banyak digunakan. Ada banyak jenis tawon bracon, panjangnya 2-15 mm dan tubuhnya bisa berbagai warna. Berbagai jenis tawon bracon menyerang ulat, kutu, kepik, wereng dan serangga lain. Ada dua jenis bracon yang menyerang penggerek batang Zeuzera (nama bracon tersebut Myosoma chinensis dan

Bracon zeuzerae) (DPP, 2004).

(74)

hidup dari kutu perisai, kutu daun, campuran dari tepung sari, dari jaringan tumbuhan. Kumbang-kumbang kelompok Coccinellidae berukuran kecil panjangnya 0,8–10 mm. Famili Coccinellidae, baik yang sudah dewasa maupun yang masih berbentuk larva, keduanya bersifat predator (Hidayat et al., 2004). Scymmus sp juga merupakan predator kutu dompolan putih Pseudococcu citri yang biasanya menyerang tanaman jeruk dan kopi (Pracaya, 1986).

Hasil identifikasi predator yang ditemukan di pohon kopi yaitu:

1.Laba-laba Ordo Araneae, Kelas Arachnida, menurut AMARTA (2010) berperan sebagai predator H.hampei.

Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Laba-Laba Serigala Laba-laba kepiting Laba-laba bunga (Famili Lycosidae) (Famili Heteropodidae) (Famili Thomisidae)

Gambar 15. Gambar 16.

Laba-laba lompat Laba-laba pembuat jaring

(75)

Laba-laba serigala (Gambar 12) Famili Lycosidae, umumnya aktif pada malam hari. Labalaba ini tidak membuat sarang, tapi berburu mangsa, sehingga disebut laba - laba pemburu. Serangga yang dilihatnya, dikejar, ditangkap dan digigit/dimakan. Laba-laba serigala dan tutul berjalan di atas tanah mencari serangga. Juga berburu di cabang dan dedaunan pohon kopi. Laba-laba ini memakan ngengat, ulat dan serangga lain (Jumar, 2000).

Laba-laba kepiting (Gambar 13) Famili Heteropodidae, Laba-laba kepiting keluar berburu sepanjang malam. Mereka memiliki taring kuat, dapat berlari sangat cepat, bahkan dapat menangkap kecoa, belalang, dan serangga-serangga lainnya yang bergerak cepat. Sewaktu istirahat, mereka bersembunyi di bawah kulit pohon atau di beberapa celah pohon (DPP, 2004).

Laba-laba bunga (Gambar 14) Famili Thomisidae, Laba-laba bunga aktif sepanjang hari. Laba-laba ini juga tidak membuat jaring, tapi menangkap mangsa dengan samaran. Tubuh sering berwarna sama dengan bunga atau daun di mana ia menunggu. Beberapa jenis dapat berubah warna, bila menunggu di bunga ungu berbelang putih, laba-laba akan berubah menjadi warna itu dalam waktu sekitar satu hari. Laba-laba tersebut sering disebut labalaba bunga. Laba-laba bunga memangsa berbagai serangga, misalnya lalat, lebah dan PBKo ( DPP, 2004).

(76)

yang lebih besar darinya, seperti ngengat. Laba-laba kecil merupakan pemangsa penting kepik dan hama lain. Laba-laba menusukkan racun yang melumpuhkan mangsa, kemudian mengisap cairannya. Laba-laba lompat aktif sepanjang hari (Jumar, 2000).

Laba-laba pembuat jarring (Gambar 16) Famili Tetragnathidae, Ordo Araneae, mata dan kaki laba-laba ini lemah, tidak mampu menangkap mangsa tanpa bantuan jaringnya. Laba-laba menunggu dengan sabar, bila ada serangga yang tertangkap di jaring, ia menggigit dan melumpuhkannya. Kadang-kadang langsung mengisap cairan, atau membungkus korban dengan sutera untuk dimakan kemudian (DPP, 2004).

2.Semut Famili Formicidae Ordo Hymenoptera, Kelas Insekta, menurut DPP (2004) berperan sebagai predator H.hampei

Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19 Semut Angkrang Semut hitam Semut Iridomyrmex (Oecophylla smaragdina) (Dolichoderus bituberculatus) (Famili Formicidae)

Gambar

GAMBAR..........................................................................
GAMBAR
Gambar 1. Tanaman Kopi Arabika
Gambar 4.                Gambar 5.                     Gambar 6
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembuatan ekstrak sambiloto menggunakan metode maserasi ultrasonik dengan getaran selama 30 menit dan dilakukan dua kali replikasi, dengan cara serbuk sambiloto ditimbang

Pelayanan, Harga dan Fasilitas terhadap Keputusan Menginap pada Hotel Jati Wisata Pangkalpinang ”.. Oleh karena itu, mohon bantuan

Untuk menganalisa tentang pertanggungjawaban pidana bagi pelaku atau penguna zat adiktif narkoba cair 4-cmc sebagai narkoba jenis baruyang belum diatur dalam

Pada penelitian di padang penggembalaan juga terlihat bahwa ternyata sapi Bali dapat menyesuaikan siklus kelahiran dengan fluktuasi produktivitas padang rumput dengan sangat baik

Metode eksplorasi geofisika yang digunakan adalah metode geolistrik Induksi Polarisasi (IP) konfigurasi Dipole-dipole di IUP PT Timah Tbk Desa Tempilang, Kabupaten Bangka

Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat.. Senang membaca dengan keras

[r]