• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tingkat Kebisingan Pada Ruang Auditorium Multifungsi Di Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Tingkat Kebisingan Pada Ruang Auditorium Multifungsi Di Universitas Sumatera Utara"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN PADA RUANG AUDITORIUM

MULTIFUNGSI DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelas sarjana

LATIFA HANUM SIREGAR 040801011

DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERSETUJUAN

Judul : ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN

AUDITORIUM MULTIFUNGSI DI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Kategori : SKRIPSI

Nama : LATIFA HANUM SIREGAR

Nomor Induk Mahasiswa : 040801011

Program Studi : SARJANA (S1) FISIKA

Departemen : FISIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di

Medan , 10 agustus 2009

Diketahui

Departemen Fisika FMIPA USU Pembimbing

Ketua

Drs.Marhaposan Situmorang Drs.Muhammad Firdaus MSi

(3)

PERNYATAAN

ANALISIS TINGKAT KEBISINGAN PADA RUANG AUDITORIUM

MULTIFUNGSI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Saya mengaku bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan summbernya.

Medan, 10 Agustus 2009

(4)

PENGHARGAAN

“Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat ALLAH SWT yang maha pengasih

dan penyayang dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil

diselesaikan”.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Drs. Muhammad Firdaus MSi selaku

pembimbing yang telah memberika banyak waktu, kritik dan sarannya dalam penyusunan

tugas akhir ini. Ketua dan Sekretaris Departemen Fisika, Dr. Marhaposan Situmorang dan

Dra. Justinon MSi. Dekan dan pembantu dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam USU. Bapak kepala BTKL-PPM Sumut dan seluruh stap pegawainya,

yang telah memberikan fasilitas untuk melaksanakan penelitian.

Tidak terlupa Ucapan terima kasih saya penuh cinta kepada ayahanda Lampo Siregar dan

ibunda Rosida Nasution, adinda Aisyah, Fitri dan Iqbal yang ku sayangi. Serta sahabat ku

oie, listy ray, aisyah, lina, devi, heni dan keluarga besarku lainnya yang selalu memberi

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ... i

Pernyataan ... ii

Penghargaan ... iii

Daftar Isi ... iv

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 2

1.3. Batasan Masalah ... 2

1.4. Tujuan Penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian ... 3

1.6. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 3

1.7. Metode Penelitian ... 3

1.8. Sistematika Penelitian ... 4

(6)

2.1.1. Pengertian gelombang ... 6

2.1.2. Terjadinya Bunyi... 7

2.1.3. Gelombang Bunyi ... 8

2.1.4. Decibell (dB)... 13

2.1.5. Sound Level Meter ... 15

2.2. Polusi Suara atau Kebisingan ... 17

2.2.1. Pengaruh Bising Terhadap Manusia ... 20

2.3. Karakteristik Kebisingan dan Tanggapan Masyarakat ... 23

2.4. Bising Auditorium ... 23

2.4.1. Penyelesaian Akustik Plafon Panggung ... 26

2.4.2. Penyelesaian Akustik Lantai Area Penonton ... 27

2.5. Pengendalian Kebisingan ... 28

2.5.1. Metode Pengendalian Bising lingkungan ... 28

2.5.2. Penekanan Bising di Sumbernya ... 28

2.5.3. Perencanaan Tempat (Site Planning) ... 29

2.5.4. Pengendalian terhadap Penerima Bising ... 29

2.6. Tinjauan Umum Kesehatan Lingkungan ... 29

2.6.1. Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan... 29

2.7. Baku Kebisingan ... 32

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian... 33

(7)

3.1.2. Pengumpulan Data di Lapangan ... 35

3.2. Peralatan Yang Digunakan... 35

3.3. Tahapan Pengambilan Data ... 36

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengolahan Data ... 39

4.2. Korelasi antara Jarak Pengukuran dan Kebisingan ... 43

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan ... 47

5.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49 Lampiran A

(8)

ABSTRAK

Kebisingan didefenisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki manusia. Salah

satu sumber utama bising auditorium multifungsi adalah tingkat bising latar belakang dan

pengaruh AC. Penelitian ini untuk memperoleh besar tingkat kebisingan ekivalen akibat

sumber bunyi di dalam auditorium multifungsi USU dengan variabel jarak pengukuran 0

meter, 5 meter, 10 meter, 15 meter, dan 20 meter. Kebisingan ekivalen yang diperoleh

akan dibandingkan dengan standar kesehatan sesuai dengan keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup KEP-48/MENHL/XII/1996 untuk memperoleh jarak yang ideal untuk

(9)

ANALYSIS OF MULTIFUNGSIONAL AUDITORIUMS AT UNIVERSITY SOUNTH SUMATERA

ABSTRACK

Noise is defined as unwanted sound the people. Any main resource

multifungsional auditoriums sound is background noise level and of outdoor condensing.

The study aim to obtained the multifungsional auditoriums at university sounth sumatera

with variabel 0 m, 5 m, 10 m, 15 m, and 20 m. The value of equivalent noise that be

obtained will be compared with the noise standard level base of

(10)

ABSTRAK

Kebisingan didefenisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki manusia. Salah

satu sumber utama bising auditorium multifungsi adalah tingkat bising latar belakang dan

pengaruh AC. Penelitian ini untuk memperoleh besar tingkat kebisingan ekivalen akibat

sumber bunyi di dalam auditorium multifungsi USU dengan variabel jarak pengukuran 0

meter, 5 meter, 10 meter, 15 meter, dan 20 meter. Kebisingan ekivalen yang diperoleh

akan dibandingkan dengan standar kesehatan sesuai dengan keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup KEP-48/MENHL/XII/1996 untuk memperoleh jarak yang ideal untuk

(11)

ANALYSIS OF MULTIFUNGSIONAL AUDITORIUMS AT UNIVERSITY SOUNTH SUMATERA

ABSTRACK

Noise is defined as unwanted sound the people. Any main resource

multifungsional auditoriums sound is background noise level and of outdoor condensing.

The study aim to obtained the multifungsional auditoriums at university sounth sumatera

with variabel 0 m, 5 m, 10 m, 15 m, and 20 m. The value of equivalent noise that be

obtained will be compared with the noise standard level base of

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.

Auditorium merupakan tempat untuk menyaksikan suatu pertunjukan tertentu

seperti theater harus dapat memberi kepuasan kepada setiap penonton di berbagai tempat

agar dapat mendengar dengan jelas aktivitas percakapan aktor, sehingga nuansa dan efek

dramatis yang ditampilkan dapat ditangkap dan dicerna oleh penonton. Dalam

pertunjukan musik, aktivitas musik dan mimik aktor bukan merupakan hal yang utama.

Namun yang terpenting adalah hal penonton dari berbagai lokasi harus dapat mendengar

dan menikmati musik tersebut dengan baik.

Kebanyakan auditorium mempunyai masalah pada tingkat bising latar belakang

(background noise level) melebihi kriteria kebisingan (noise criteria) yang disyaratkan

sehingga mempengaruhi kinerja akustik auditorium. Performa kualiltas bunyi yang baik

dalam suatu auditorium dipengaruhi pula oleh faktor-faktor subjektif, misalnya: lantai,

dinding pembatas, dan plafon. Serta faktor objektif yang dipengaruhi oleh kapasitas

maksimun penonton. (Mediastika, christina, 2005)

Kriteria akustik ruang auditorium menyatakan kemampuan auditorium tersebut

untuk menjalankan fungsinya, yaitu bagaimana pendengar dapat menangkap memahami

dengan baik dan utuh suara yang telah dipancarkan oleh pembicara atau pemusik.

Salah satu tujuan dalam mendesain ruang auditorium adalah mencapai suatu

tingkat kejelasan yang tinggi sehingga diharapkan agar setiap pendengar pada semua

(13)

pembicara atau pemusik di upayakan dapat menyebar merata dalam auditorium, agar para

pendengar dengan posisi yang berbeda-beda dalam auditorium tersebut memiliki

penangkapan dan pemahaman yang sama akan informasi yang disampaikan oleh

pembicara dan pemusik.

Syarat agar pendengar dapat menangkap informasi yang disampaikan meskipun

dalam posisi berbeda adalah selisih antara tingkat tekanan bunyi terjauh dan terdekat

tidak lebih dari 6 dB. Jika dalam satu ruangan yang relatif kecil dimana sumber bunyi

dengan tingkat suara yang normal telah mampu menjangkau pendengar terjauh, maka

hampir dapat di pastikan bahwa distribusi tingkat tekanan bunyi dalam ruangan tersebut

merata.

Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki atau disenangi dapat

terjadi oleh karena penilaian tergantung temperamen/watak seseorang dan kebiasaan

dalam mendengar bunyi.

1.2. Permasalahan.

“Bagaimana pengaruh jarak terhadap tingkat kebisingan ruangan auditorium pada

auditorium multifungsi Universitas Sumatera Utara?”

1.3. Batasan Masalah.

a. Menggunakan alat pengukur tingkat kebisingnan yaitu Sound Level Meter

b. Membandingkan tingkat kebisingan dengan standar kesehatan sesuai Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-4/MENLH/11/1996.

(14)

1.4. Tujuan Penelitian.

a. Untuk menentukan tingkat kebisingan auditorium serba guna.

b. Untuk mengamati pengaruh volume suara dan jarak terhadap tingkat kebisingan.

c. Menganalisa kondisi kenyamanan auditorium.

1.5. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi berbagai pihak yang terkait dan

masyarakat yang memakai auditorium dalam berbagai acara.

1.6. Waktu dan Lokasi Penelitian.

Di auditorium multifungsi Universitas Sumatera Utara bekerja sama dengan Balai Teknis

Kesehatan Lingkungan-Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL-PPM) Medan

Departemen Kesehatan RI.

1.7. Metode Penelitian.

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengukuran besar

tingkat kebisingan pada auditorium multifungsi. Sound Level Meter (SLM) adalah Suatu

alat pengukuran tingkat kebisingan. Pengukurannya dilakkukan 2 hari pada waktu siang

hari (traffic peak hour) dalam kondisi kosong sebagai data background dan pada saat ada

acara. Pengambilan data dilakukan 3 jenis pengukuran yang dilakukan yaitu volume

(15)

1.7. Sistematika Penelitian.

Sistematika penelitian masing-masing bab adalah sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan.

Bab ini mencakup latar belakang penelitian, tujuan penelitian, batasan

masalah, manfaat penelitian, waktu dan lokasi penelitian, metode

penelitian dan sistematika penelitian.

Bab 2 Tinjauan Pustaka.

Bab ini membahas tentang teori bunyi dan kebisingan, polusi suara dan

pengaruhnya terhadap manusia, tingkat bising latar belakang kinerja

akustik auditorium multifungsi.

Bab 3 Metodologi Penelitian.

Bab ini membahas pelaksanaan penelitian yang dilakukan mulai dari

survei awal, penelitian lapangan dengan mengukur volume suara, jarak

pengukuran dan kebisingan dilakukan selama 2 hari pada siang hari antara

09.30 – 12.30.

Bab 4 Analisa Data.

Membahas tentang penelitian serta analisis data yang mencakup analisis

pengaruh volume suara, jarak pengukuran terhadap kebisingan dan

(16)

Bab 5 Kesimpulan dan Saran.

Menyimpulkan hasil-hasil yang di dapatkan dari penelitian dan

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Kebisingan.

2.1.1. Pengertian Gelombang.

Gelombang ditimbulkan oleh adanya pergeseran suatu bagian medium elastis dari

kedudukan normalnya (Medium elastis adalah suatu medium yang dapat mengalami

deformasi, contohnya air, udara). Karena sifat elastis medium, maka gangguan tersebut

akan ditransmisikan dari suatu lapis ke lapis berikutnya. Pada udara contohnya dari kipas

angin.

Sebagai akibatnya, gangguan atau gelombang ini akan bergerak maju melalui

medium tersebut, sedangkan medium itu sendiri tidak secara keseluruhan bergerak, air

digerakkan sehingga timbul gelombang. Bila diperhatikan, maka terlihat bahwa

sesungguhnya air bergerak sedikit ke atas dan bawah, serta ke depan dan ke belakang.

Sedangkan gelombang mencapai objek, maka gelombang akan membuat objek bergerak,

yang berarti gelombang memindahkan tenaga ke benda.

Gelombang yang membutuhkan medium untuk perambatannya disebut

gelombang mekanis, contohnya gelombag air, dan gelombang suara, sedangkan

gelombang yang tidak membutuhkan medium untuk perambatannya disebut gelombang

elektromagnetik, contohnya gelombang cahaya. (Halliday dan Resnick,1978).

Berdasarkan perambatannya gelombang mekanis terbagi dua yaitu gelombang

(18)

arah rambatan gelombang. Gelombang longitudinal adalah gelombang yang terjadi jika

partikelnya bergetar atau bergerak sepanjang arah perambatan gelombang. (Sears dan

Zemansky,1962).

2.1.2. Terjadinya Bunyi.

Bunyi terjadi karena adanya benda yang bergetar yang menimbulkan gesekan

dengan zat di sekitarnya. Semua bunyi yang terjadi disekitar kita selalu berasal dari objek

yang bergetar, mulai dari bunyi mangkok tukang bakso, bunyi kenderaan bermotor,

bahkan suara manusia sendiri. Mangkok bakso berbunyi ketika dipukul oleh sendok,

pukulan ini menyebebkan mangkok bergetar. Mesin kenderaan bermotor mengubah

energi dari hasil pembakaran menjadi energi mekanis yang selanjutnya dipakai untuk

menggerakkan kenderaan. Sumber getaran dapat berupa objek yang bergerak, dan dapat

juga berupa udara yang bergerak. Contoh dari udara yang bergerak terjadi pada terompet

yang di tiup.

Getaran atau gerakan objek atau udara tersebut kemudian menyentuh partikel zat

yang ada di dekatnya. Zat itu berupa gas, cairan atau padatan, tergantung letak objek

yang bergetar. Partikel zat yang pertama tersentuh (yang paling dekat dengan objek) akan

meneruskan energi yang diterimanya ke partikel disebelahnya. Demikian seterusnya

partikel-partikel zat akan saling bersentuhan sehingga membentukn rapatan dan regangan

yang dapat digambarkan sebagai gelombang yang merambat. (Mediastika, Christina,

2005).

Oleh karena itu, keberadaan zat disekitar objek yang bergetar seringkali disebut

(19)

gelombangnya masih terus berjalan sampai pada keadaan tertenntu dari objek tersebuit.

Rambatan gelombang bunyi disebabkan oleh lapisan perapatan dan peregangan

partikel-partikel udara bergerak ke arah luar, yaitu karena penyimpangan tekanan. Ini sama

dengan penyebaran gelombang air pada permukaan suatu kolam dari titik dimana batu

dijatuhkan. Partikel-partikel udara yang meneruskan gelombang bunyi tidak berubah

posisi normalnya. (Dolle. Leslie 1993)

2.1.3. Gelombang Bunyi.

Sama halnya dengan gelombang lainnya, gelombang bunyi dapat diukur dalam

satuan panjang gelombang, frekuensi, dan kecepatan rambat. Mari kita tinjau

satu-persatu. Panjang gelombng yang dinotasikan sebagai lambda ( λ ) adalah jarak antara dua

titik pada posisi yang saling berurutan, misalnya jarak antara dua puncak gunung, atau

jarak antara dua lembah. Panjang gelombang diukur dalam satuan meter (m) dan

merupakan elemen yang menunjukkan kekuatan bunyi. Semakin panjang gelombangnya,

semakin kuat pula bunyi tersebut, dalam arti, semakin jauh bunyi mampu merambat. Hal

ini diperkuat oleh peneliti yang menunjukkan bahwa dalam medium udara, serepan udara

pada bunyi dengan gelombang yang pendek (Templeton dan Saunders, 1987). Pada

tingkat kecepatan rambat yang sama (dalam medium yang sama), bunyi dengan

gelombang panjang identik dengan frekuensi rendah, dan demikian pula sebaliknya. (

mediastika, Christina 2005)

Gelombang longitudinal merupakan gelombang yang terdengar sebagai bunyi bila

masuk ke telinga. Gelombang longitudinal yang masuk dan terdengar sebagai bunyi pada

(20)

dengar (addible sound). Bunyi-bunyi yang muncul pada frekuensi dibawah 20 Hz disebut

bunyi infrasonik, sedangkan yang muncul di atas 20.000 Hz disebut ultrasonik, dalam

rentang 20 Hz sampai 20.000 Hz tersebut, bunyi masih dibedakan lagi menjadi

bunyi-bunyi dengan frekuensi rendah (dibawah 1000 Hz), frekuensi sedang (1000 Hz sampai

4000 Hz) dan frekuensi tinggi (diatas 4000 Hz). Penelitian menunjukkan bahwa manusia

lebih nyaman mendengarkan bunyi-bunyi dalam frekuensi rendah. (mediastika,Christina

2005).

Gelombang yang terdengar oleh telinga berasal dari tali – tali yang bergetar (biola, pita

suara manusia), kolom udara yang bergetar (orgel, clarinet), dan plat serta selaput yang

bergetar (tambur, pengeras suara, mesin). Suara yang di hasilkan elemen tersebut bergetar

ke depan dan merenggangkan udara sewaktu bergerak ke belakang. Udara kemudian

mentransmisikan gangguan-gangguan yang ke luar dari sumber tersebut sebagai

gelombang. Sewaktu memasuki telinga, gelombang-gelombang ini menimbulkan sensasi

bunyi. (Halliday dan Resnick,1978)

1. Sumber Bunyi.

Sumber bunyi adalah benda yang bergetar atau benda yang mendapat gangguan.

Getaran dari benda itu merambat melalui zat penghantar sampai ke telinga. Benda yang

bergetar adalah zat padat, zat cair dan zat gas. Demikian pula yang merupakan zat

penghantar bunyi adalah zat padat, cair dan gas.

Pada saat suatu benda dipukul, kita mendengar bunyi, air terjun kita dengar

bunyinya, tetapi bunyinya berbeda dengan bunyi senar atau suling. Bunyi senar gitar enak

di dengar dan bunyi yang demikian disebut nada. Bunyi alat-alat musik termasuk nada.

(21)

benda yang bergetar. Kalau getaran benda merupakan getaran selaras atau mendekati

getaran selaras, maka bunyi yang dihasilkannya menjadi nada.

Bunyi garfu tala dapat di katakan murni sinusoidal seperti gambar 2.1a. Bunyi terompet

tidak murni sinusoidal tetapi masih enak di dengar (gambar 2.1b)

a.bunyi garfu tala b.bunyi terompet

Gambar 2.1.Grafik dari nada

2. Keras-lemah dan tinggi-rendahnya bunyi.

Keras bunyi (loudness) sangat dipengaruhi oleh sensasi yang ditimbulkan pada

pendengaran seseorang. Jadi, bersifat subjektif, berbeda pada tiap-tiap orang, dan tidak

dapat diukur secara langsung dengan suatu alat, berbeda dengan intensitas bunyi yang

objektif, dan dapat di ukur dengan alat. Keras bunyi bertambah jika intensitas meningkat,

tetapi pertambahan ini tidak terjadi secara linier. (Sears dan Zemansky 1962)

Makin besar amplitudo suatu getaran, makin keras bunyi yang di hasilkannya. Hal

ini sesuai dengan energi getaran

(22)

K = konstanta pegas

A = Amplitudo

Energi dari benda yang bergetar dirambatkan oleh bunyi melalui zat penghantar sampai

ke telinga dan selaput telinga kita bergetar. Energi getaran bergantung pada amplitudo,

juga bergantung pada frekuensi getaran. Energi getaran akan menentukan kesan

pendengaran pada telinga yang normal. Makin besar energi getaran, makin kuat kesan

pendengaran yang tertangkap oleh telinga. (Mundilarto, dkk 1992).

3. Tingkat Intensitas.

Intensitas adalah jumlah energi bunyi tiap detiknya menembus tegak lurus bidang

seluas satu satuan luas. Karena luasnya daerah intensitas bunyi yang dapat diterima

telinga manusia, penggunaan skala logaritma akan mempermudah pembacaan harga

intensitas bunyi. Tingkat intensitas suara (L) dihitung dalam skala logaritmik yang

dinyatakan dalam satuan bel atau decibel (dB). Hubungan antara intensitas (I) dengan

tingkat intensitas suara dinyatakan dengan:

L = 10 log 10 (I / Io)……….(2.3)

Dimana :

L = Tingkat intensitas bunyi (sound pressure level) (dB)

I = Intensitas suara (watt/m2)

(23)

Pada pengukuran intensitas bunyi dengan menggunakan tekanan, dikenal istilah

sound pressure level (SPL), yaitu nilai yang menunjukkan perubahan tekanan didalam

udara karena adanya perambatan gelombang bunyi. (mediastika,Christina.2005)

SPL = 20 log P/Po………(2.4)

Dimana :

SPL = Sound Pressure Level (SPL)

P = tekanan dalam Pa atau bars ( 1 Pa = 10 ubars)

Po = tekanan acuan (20 uPa)

2.1.4. decibell (dB).

Beberapa model pengukuran tingkat kekuatan bunyi yang telah dibahas pada

bagian sebelumnya menunjukkan bahwa pada beberapa hal, pengukuran menjadi tidak

nyaman dan sulit dilakukan karena menggunakan angka-angka yang terlalu kecil,

demikian pula pengukuran tingkat kekuatan bunyi dengan bantuan ambang bawah dan

ambang atas telinga pun tidak selalu mudah dilakukan karena terlaku jauh selisihnya,

yaitu dari 1 x 10-10 watt/m2 sampai 100 watt/m2, atau dari 2 x 10-5 Pa sampai 200 Pa.

Oleh karena itu, dipakailah model pengukuran dengan sistem rasio atau

perbandingan di antara dua nilai tekanan. Perbandingan ini dilakukan dengan sistem

logaritmik dan selanjutnya di hitung dalam satuan decibell (yang secara umum ditulis

(24)

IL = 10 log 10 I2/I1 = 10 log 10 (p2/p11)2………...(2.5)

Dimana :

IL = adalah intetnsitas bunyi (dB)

I2 dan I1 = intensitas akhir dan awal bunyi yang di bandingkan

P2 dan P1 = tekanan akhir dan awal yang diperbandingkan

Meski menggunakan cara pengukuran yang berbeda, dalam kenyataan dilapangan,

baik SPL maupun IL adalah model pengukuran yang berbasiskan 0 dB sebagai level

terendahnyna (hearing threshold). Kedua-keduanya dapat dipakai sebagai standar

pengukuran tingkat kekuatan bunyi, meski sebenarnya, intensitas aktual dan tekanan

aktual yang ditunjukkan oleh kedua model melalui angka yang sama memiliki arti yang

berbeda-beda dalam ukuran dan satuan.

Angka tunggal tingkat kebisingan dijumpai dilapangan bergantung pada faktor:

1. Bahwa tekanan bunyi umumnya mengalami fluktuasi setiap waktu.

2. Adanya perbedaan karakteristik tiap-tiap bunyi pada kondisi tekanan yang

berbeda.

Terlepas dari adanya faktor yang menurunkan tingkat kebenaran pengukuran bunyi

dalam dB, pengukuran kekuatan bunyi dangan satuan dB memudahkan manusia untuk

mengetahui ambang batas bawah dan atas dari kekuatan bunyi yang mampu di dengar,

(25)

Tabel 2.1.Ambang batas pendengaran manusia (dalam dB) Sound Pressure

(Pa)

Sound Level (dB) Contoh keadaan

200

Tingkat kekuatan atau kekerasan bunyi diukur dengan alat yang disebut Sound

Level Meter (SLM). Alat ini terdiri dari: mikrofon, amplilfier, weighting network dan

layar display dalam satuan dB. Layar dapat berupa layar manual yang ditunjukkan

dengan jarum dan angka seperti halnya jam manual, ataupun berupa layar digital seperti

halnya jam digital. SLM sederhana hanya dapat mengukur tingkat kekerasan bunyi dalam

satuan dB, sedangkan SLM yang canggih sekaligus mampu menunjukkan frekuensi

(26)

amplifier

atau Skala-dB

Filter oktaf-band

Monitor hasil

Gambar 2.2.Sistem kerja Sound Level Meter

SLM yang amat sederhana biasanya hanya dilengkapi dengan bobot pengukuran

A {dB(A)} dengan sistem pengukuran seketika (tidak dapat menyimpan dan mengolah

data), sedangkan yang sedikit lebih baik, dilengkapi pula dengan skala pengukuran B dan

C. Beberapa SLM yang lebih canggih dapat sekaligus dipakai untuk menganalisis tingkat

kekerasan dan frekuensi bunyi yang muncul selama rentang waktu (misalnya tingkat

kekerasan selama 1 menit, 10 menit, atau 8 jam), dan mampu menggambarkan

gelombang yang terjadi. Beberapa produsen menamakannya Hand Held Analyser (HHA),

ada pula dalam model Desk Analyser (DA).

Meski nampak canggih dan rumit, sesungguhnya menggunakan SLM untuk

mengukur tingkat kekerasan bunyi tidaklah sulit. Yang terpenting adalah menaati

pedoman atau standar yang telah ditetapkan agar hasil pengukurannnya menjadi sahih.

Adapun persyaratan tersebut adalah:

1. Agar posisi pengukuran stabil, SLM sebaiknya dipasang pada tripod.

Setiap SLM, bahkan yang paling sederhana, idealnya dilengkapi dengan

lubang untuk mendudukkanya pada tripod. SLM yang diletakkan pada

(27)

dekat dengan SLM juga dapat mengganggu penerimaan bunyi oleh SLM

karena tubuh manusia mampu memantulkan bunyi. Peletakan SLM pada

papan, seperti meja atau kursi, juga dapat mengurangi kesahihan hasil

pengukuran karena sarana tersebut akan memantulkan bunyi yang

diterima.

2. Operator SLM setidaknya berdiri pada jarak 0,5 m dari SLM tidak terjadi

efek pemantulan.

3. Untuk menghindari terjadinya pantulan dari elemen-elemen permukaan

disekitarnya, SLM sebaiknya ditempatkan pada posisi 1,2 m dari atas

permukaan lantai; 3,5 m dari permukaan dinding atau objek lain yang akan

memantulkan bunyi.

4. Untuk pengukuran di dalam ruangan atau bangunan, SLM berada pada

posisi 1 m dari dinding-dinding pembentnuk ruangan. Bila diletakkan

dihadapan jendela maka jaraknya 1,5 m dari jendela tersebut. Agar hasil

lebih sahih, karena adanya kemungkinan pamantulan oleh elemen

pembentuk ruang, pengukuran dengan SLM dalam ruang sebaiknya

dilakukan pada tiga titik berbeda dengan jarak antar titik lebih kurang

(28)

5. Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang sahih dan mampu mencatat

semua fluktuasi bunyi yang terjadi, SLM dipasang pada posisi slow

responsse.

2.2. Polusi Suara atau Kebisingan.

Suara atau kebisingan didefenisikan semua bunyi yang mengalihkan perhatian,

mengganggu, atau berbahaya bagi kegiatan sehari-hari (kerja, istirahat, hiburan, atau

belajar) dianggap sebagai bising. Sebagai defenisi standar, tiap bunyi yang tak diinginkan

oleh penerima dianggap sebagai bising. (Doelle. Leslie L.1993)

Kebisingan yang terjadi di sekitar kita dapat berasal dari berbagai sumber.

Sumber ini dibedakan menjadi sumber yang diam dan sumber yang bergerak. Contoh

yang diam adalah industri/pabrik dan mesin-mesin konstruksi. Sedangkan contoh dari

sumber yang bergerak misalnya kenderaan bermotor, kereta api, dan pesawat terbang.

- Kebisingan Industri/Pabrik.

Industri modern yang telah menggunakan peralatan-peralatan bermesin merupakan

sumber kebisingan diam yang sangat potensial. Kebisingan yang dihasilkan oleh

mesin-mesin didalam pabrik juga dapat merambat ke luar bangunan pabrik, sehingga selain

dirasakan secara langsung oleh pekerja pabrik, Kebisingan itu juga dirasakan oleh

masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik. Mesin-mesin pabrik umumnya menghasilkan

bunyi berfrekuensi rendah, sehingga selain menghasilkan bunyi bising mesin-mesin

tersebut juga menghasilkan getaran. Oleh karena itu idealnya bangunnan pabrik di

rancang sebagai bangunan yang mampu meredam getaran agar tidak merambat keluar,

(29)

Sementara itu, para pekerja pabrik yang selalu berdekatan dengan mesin-mesin berbunyi

keras, sebaiknya menggunakan earprotection saat bekerja

- Kebisingan Kereta Api.

Kebisingan dari kereta api juga memiliki wujud ganda berupa bunyi dan getaran akibat

adanya gesekan roda kereta api dari bahan keras dengan rel kereta api yang juga terbuat

dari bahan keras. Kebisingan yang muncul datang dari mesin kereta api, klakson, dan

gesekan antara roda dan rel yang sering kali menghasilkan bunyi berdecit. Kebisingan

dari kereta api dirasakan oleh mereka yang berada dalam stasiun kerta api dan bangunan

yang dibangun disekitar jalur kereta api. Oleh karena itu, idealnya, bangunan disepanjang

jalur kereta api didesain dengan akustik yang baik untuk mengurangi masuknya

kebisingan dan didesain dengan redaman yang baik untuk mengurangi masuknya

kebisingan dan didesain dengan redaman yang baik untuk mengurangi masuknya getaran

ke dalam bangunan.

- Kebisingan Pesawat Terbang.

Bunyi-bunyi yang muncul pada pesawat terbang memiliki bobot yang berbeda dengan

bunyi mesin-mesin lain yaitu pada bobot D, sebagaimana diuraikan dalam Bab 1.

kebisingan yang terjadi dari pesawat terbang umumnya diderita oleh bangunan yang

berlokasi dekat dengan pelabuhan udara dan beberapa ratus meter dari pelabuhan udara

tersebut (ketika pesawat tinggal landas dan mendarat, serta saat pesawat terbang pada

ketinggian yang rendah). Ketika pesawat telah mencapai posisinya pada ketinggian

tertentu, maka kebisingan yang dihasilkan sepanjang jalur perjalannya tidak akan

(30)

melalui dinding dan atap bangunan yang dibuat sedemikia rupa dapat mengurangi

kebisingan pesawat saat tinggal landas, medarat, dan terang rendah.

- Kebisingan Jalan Raya.

Kebisingan jalan raya disebabkan oleh pemakaian kendaraan bermotor, baik yang beroda

dua, yang beroda empat, maupun beroda lebih dari beroda dari empat. Dengan begitu

banyaknya sumber kebisingan di atas permukaan jalan, maka jalan raya pun ditetapkan

sebagai sumber kebisingan utama dewasa ini. Setiap jenis kendaraan bermotor memiliki

frekuensi tertentu.Menurut dan Walker (1982) kendaraan bermotor umumnya memiliki

tingkat kebisingan maksimum pada frekuensi antara 100 Hz sampai 7000 Hz. Sumber

kebisingan kendaraan bermotor berasal dari mesin, tranmisi rem, klakson, knalpot, dan

gesekan ban dengan jalan (White dan Walker !982). Kareana gesekan yang terjadi antara

ban dengan jalan adalah gesekan antara benda lunak dan keras, dan berat kendaraan pada

umumnya jauh di bawah berat kereta api dan pesawat terbang, maka kebisingan dari jalan

umumnya berupa bunyi dan hanya sedikit yang berupa bunyi dan getaran. Oleh karena

itu, idealnya, bangunan ditepi jalan cukup didesain untuk meredam masuknya bunyi ke

dalam bangunan.

2.2.1. Pengaruh Bising Terhadap Manusia.

Timbulnya bising bunyi dikenakan intensitas yang tinggi, sumber bunyi yang beraneka

ragam, bunyi yang ireguler maka akan memberi dampak/efek yang negatif terutama pada

proses pendengaran, misalnya bisa tuli sementara atau tuli permanen. (Gabriel.1997 )

(31)

a. Kenaikan ambang pendengaran yang mennyebabkan secara sementara (temporary

hearing loss). Apabila seseorang yang memasuki tempat yang bising, gangguan hanya

terasa diawal saja tetapi lama kelamaan kebisingan tersebut tidak lagi terasa sebagai

gangguan.

Kemampuan pendengaran pada umumnya dapat pulih seperti semula dalam waktu

beberapa menit sampai beberapa minggu tergantung dari lamanya orang tersebut berada

ditempat bising tersebut, besar tingkat yang diterima dan kerentanan individu tersebut.

Keadaan tersebut dikenal dengan sebutan kehilangan pendengaran sementara. Pada

kondisi ini teliga masih dapat di atasi dengan obat atau dengan pembedahan.

b. Kenaikan ambang pendengaran yang berkurangnya daya pendengaran secara permanen

(permanent hearing loss).

Apabila seseorang mendengar kebisingan yang tinggi dan berulang dalam waktu lama

(10-15 tahun), maka akan terjadi penurunan ambang pendengaran yang bersifat tetap

(permanent hearing loss). Pada umumnya perubahan ambang pendengaran yang bersifat

tetap ini merupakan efek gabungan dari kebisingan yangn didengar dan proses penuaan

dari orang yang bersangkutan.(Wiyadi, 1979)

2. Pengaruh pada hal-hal lain:

a. Gangguan tidur.

Kebisingan dapat mengganggu dan menghentikan jalannya tidur. Pada gangguan tidur

tidak akan terjadi jika bising berada dibawah 35 dB (A). Bila tingkat bising mencapai 40

dB (A) kemungkinan terbangun adalah 5% dan meningkatkan menjadi 30% pada 70 dB

(A), Serta menjadi 100 % pada saat bising mencapai 100 dB (A) ke atas. (Croone, 1982)

(32)

Gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh kebisingan antara lain: ketegangan otot,

penyempitan pembuluh darah, kenaikan tekanan darah, meningkatnya debaran jantung,

mual, pusing, dan muntah bila suara mencapai lebih dari 130 dB (A) Selain itu bising

juga dapat menyebabkan gangguan kejiwaan, penurunan kecermatan dalam pekerjaan,

gangguan konsentrasi dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada manusia.(Croone,1982)

Hubungan antara tingkat suara/bising dengan reaksi manusia dapat dilihat pada tabel.2.2

berikut:

Jenis suara Tingkat bising

(dB)

Efek pada manusia

Mesin pesawat, jet, sirene 140 Sangat menyakitkan Pesawat jet lepas landas,

diskotik, truk sampah, pemancangan tiang

100-130 Kemampuan mendengar

pembicaraan maksimum

Truk besar (50 ft), mesin pemotong rumput

90 Sangat mengganggu

Bunyi alarm (jarak 2 ft), hair dryer, lalu lintas kota sibuk, restoran yang sibuk, lalu lintas jalan bebas hambatan

70 Sulit untuk berbicara

ditelepon

Bunyi AC (jarak 100 ft) 50 Sunyi

Lalu lintas ringan (jarak 100 ft) 50 Sunyi Ruang tamu, ruang tidur, kantor

yang sepi, lalu lintas ringan kota malam hari

40

Perpustakaan, bisikan halus, lalu lintas luar kota malam hari

30 Sangat pelan

Studio penyiaran 20

(33)

2.3. Karakteristik Kebisingan dan Tanggapan Masyarakat.

Sebagaimana telah diuraikan, tiap individu memiliki subjektivitas terhadap noise,

begitupun sesungguhnya tiap individu juga memiliki subjektivitas terhadap kebisingan.

Toleransi manusia terhadap kebisingan bergantung pada faktor akustikal dan

non-akustikal (Sander dan McCormik, 1987). Faktor non-akustikal meliputi: tingkat kekerasan

bunyi, frekuensi bunyi, durasi munculnya bunyi, fluktuasi kekerasan bunyi, fluktuasi

frekuensi bunyi, dan waktu munculnya bunyi. Sementara faktor non akustikal meliputi:

pengalaman terhadap kebisingan, kegiatan, perkiraan terhadap kemungkinan munculnya

kebisingan, manfaat objek yang menghasilkan kebisingan, kepribadian, lingkungan dan

keadaan. Semua faktor tersebut harus diperhitungkan setiap kali mengukur tingkat

kebisingan pada suatu tempat, sehingga data yang dihasilkan menjadi sahih dan solusi

yang diterapkan lebih tepat.

Kebisingan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: kebisingan tunggal dan

kebisingan majemuk. Kebisingan tunggal dihasilkan oleh sumber bunyi berbentuk garis.

Tingkat gangguan kebisingan dapat diukur menggunakan skala berdasarkan apa yang

dirasakan manusia, seperti merasakan adanya kebisingan, merasa terusik, merasa

terganggu, sampai merasa sangat terganggu atau tidak tahan.

2.4. Bising Auditorium.

Pengendalian bising auditorium harus mulai dengan perencanaan letak (site) yang

baik dengan memisahkan auditorium-auditorium sebanyak mungkin dari semua bising

eksterior dan interior dan sumber-sumber getaran, seperti lalu-lintas kenderaan yang

(34)

peralatan mekanis, ruang elektronik atau bengkel. Pentingnya menempatkan auditorium

sejauh mungkin dari sumber bising eksterior dan interior yang potensial tak cukup

ditekan, karena ini selalu terbukti merupakan tindakan pengendalian bising yang paling

ekonomis dan paling efisien.

Perancangan ruang-ruang penahan yang melindungi auditorium dari sumber

bising eksterior secara baik akan menyebabkan penggunaan dinding-dinding insulatif

yang lebih sedikit, artinya lebih murah, sekeliling auditorium.

Kalau dalam pengendalian bising daerah tempat tinggal, kantor, hotel, rumah

sakit, rumah makan dan lain-lain, penggunaan bising latar belakang yang kontinu, tak

dikenal dan tak terlalu keras sebagai efek penyelimut tidak hanya diboleh dilakukan

tetapi sering bahkan diinginkan, maka dalam akustik auditorium bising pada umumnya

tak diinginkan. Sistem ventilasi dan pengondisi udara untuk suatu auditorium harus

dirancang sedemekian hingga tingkat bising yang dihasilkan sistem adalah 5 sampai 15

dB di bawah tingkat bising latar belakang yang ditentukan dalam kriteria bising. Hal ini

penting untuk mencengah gangguan bising mekanis terhadap inteligibilitas pembicaran

atau kenikmatan musik.

Masalah pengendalian bising dalam akustik auditorium langsung berhubungan

dengan pengadaan kekerasan yang cukup karena bila tingkat bising latar belakang dalam

ruang telah direduksi dengan sejumlah decibel yang cukup, maka kekerasan subjektif dari

isi acara dengan sendirinya akan bertambah dengan jumlah yang sama.

Masalah bising yang umum dalam akustik ruang, timbul pada rancangan

auditorium yang dapat dibagi dalam ruang-ruang dan auditorium serbaguna. Sebelum

(35)

dibagi kedalam ruang-ruang, penggunaan ruang-ruang yang terbagi-bagi tersebut harus

dijelaskan untik menentukan dugaan intensitas dalam acara bunyi. (Doelle.Leslie

L.1993).

a. Akustika Luar Ruangan (Eksterior).

Penyelesaian desain akustik luar ruangan diperlukan agar pada akhirnya kita

mendapatkan kualitas akustik dalam ruangan auditorium yang maksimal. Terlebih lagi

bila auditorium terletak pada lokasi dengan tingkat kebisingan tinggi. Perancangan secara

eksterior meliputi pengendalian kebisingan disekitar bangunan auditorium, agar

kebisingan tersebut tidak masuk atau mengganggu aktivitas didalam auditorium.

Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, prinsip perancangan akustik secara

eksterior meliputi:

• Usaha-usaha untuk menjauhkan bangunan dari sumber kebisingan. Hal ini dapat

diterapkan dengan meletakkan bangunan pada bagian belakang lahan. Sisa lahan

dibagian depan dapat dengan sengaja dimanfaatkan untuk area parkir.

• Bila kebisingan dari jalan didepan lahan telah sedemikian tinggi, maka

seyogyanya dibangun penghalang atau barrier dalam wujud yangn tidak

mengganggu fasa bangunan secara keseluruhan. Agar penghalang yang dibangun

tidak terlampau tinggi.

• Selanjutnya kita memilih konstruksi bangunan auditorium dari bahan yang

memiliki tingkat insulasi tinggi, sekaligus menempatkan model vertilasi yang

(36)

b. Akustika Dalam Ruangan (Interior).

Sebelum membahas lebih mendalam mengenai akustik dalam ruang auditorium. Perlu

kiranya kita tinjau kembali keberadaan ruang-ruang yang dibutuhkan di dalam bangunan

auditorium. Secara garis besar ruang-ruang didalam auditorium dapat dibedakan menjadi

3 ruang :

1. Ruang-ruang utama, yang meliputi: ruang panggung dan ruang penonton, baik

ruang penonton lantai satu maupun lantai balkon.

2. Ruang-ruang pendukung, yang meliputi: ruang persiapan pementasan, toilet,

kafetaria, hall, ruang tiket, dan lain-lain.

3. Ruang-ruang servis, yang meliputi: ruang generator, ruang pengendali udara,

gudang peralatan, dan lain-lain.

Keberadaan ketiga kelompok ruang tersebut saling mendukung untuk menampung

aktivitas yang terjadi dalam auditorium, namum demikian, hanya ruang utamalah yangn

membutuhkan penyelesaian akustik secara mendalam. Kebisingan dari ruang-ruang

pendukung masih berada pada taraf yang dapat dikontrol oleh pengelolah auditorium.

Oleh karenanya, peletakan yang berdekatan dianggap tidak menimbulkan kebisingan

yang berarti. Peletakan ini juga akan sangat memudahkan penyaji dan pengunjung ketika

mereka membutuhkan ruang-ruang tersebut.

2.4.1. Penyelesaian Akustik Plafon Panggung.

Ketinggian plafon panggung sangat bermacam-macam dan biasanya bergantung

pada dimensi ruang auditorium secara keseluruhan. Peletakan plafon yang terlalu rendah

(37)

yang menggunakan balkon, sebab sudut pandang penonton pada trap tertinggi atau pada

lantai balkon ke arah panggung menjadi kurang leluasa.

Plafon ruang pangngung sebaiknya diselesaikan ruang panggung sebaiknya

diselesaikan dengan bahan yang memantulkan, agar pada keadaan tanpa bantuan

peralatan elektronik (sound system) suara dari penyaji dapat disebarkan ke arah penonton.

Pemantulan yang terjadi akan memperkuat suara asli, selama munculnya suara pantulan

tidak lebih lama dari 1/20 detik suara asli.

2.4.2. Penyelesaian Akustik Lantai Area Penonton.

Lantai penonton dapat diselesaikan sebagai lantai mendatar. Keuntungan dari

penyelesaian lantai mendatar adalah kemungkinan digunakannya auditorium untuk

berbagai aktivitas (kemultifungsian). Namun pada lantai semacam ini, terutama ketika

jumlah penonton cukup banyak, sebagian besar penonton akan mendapat kualitas visual

yang amat rendah.

Jumlah ideal kursi penonton untuk ditata sejajar adalah 12 sampai 15 buah,

dengan asumsi bahwa penonton yang duduk ditengah-tengah tidak menempuh perjalanan

terlalu jauh kearah selasar utama. Pemabatasan ideal jumlah kursi yang dijajar ini

menyebabkan terbentuknya selasar atau lorong-lorong sirkulasi pada area penonton. Jarak

antara kursi dalam baris (depan-belakang) standarnya adalah 86 cm, namun untuk

kenyamanan penonton yang kemungkinan besar keluar masuk dari kursinya, maka antar

kursi dalam baris dapat dibuat jarak 115 cm, sehingga penonton tidak perlu berdiri ketika

(38)

Gambar 2.3. Jarak antar baris temapat duduk

2.5. Pengendalian Kebisingan

2.5.1. Metode pengendalian Bising Lingkungan

Bermacam-macam cara dapat dilakukan untuk mengeliminasi atau mereduksi

bising dengan efektif didalam maupun diluar bangunan. Telah menjadi sangat jelas

bahwa perjuangan melawan sejumlah bising yang merusak dan senantiasa bertambah

hanya akan membawa hasil yang memuaskan bila semua orang yang berhubungan

dengan perancangan dan penggunaan lingkungan baik didalam maupun diluar, bekerja

bersama-sama untuk mencapai sasaran tersebut.

Pengendalian bising dapat juga diperoleh lewat cara lain diluar perancangan,

misalnya, lewat modifikasi tertentu dari sumber atau jejak perambatan atau dengan

pengaturan kembali seluruh daerah bising dengan sebaiknya-baiknya. Usaha-usaha ini

ada dalam tangan pengusaha-pengusaha pabrik, manajemen kantor, dan lain-lain.

2.5.2. Penekanan Bising di Sumbernya.

Tindakan pengendalian bising yang paling ekonomis adalah menekan bising tepat

disumbernya dengan memilih mesin-mesin dan peralatan yang relatif tenang dengan

memakai proses-proses pabrik atau metode kerja yang tidak menyebabkan tingkat bising

(39)

menggunakan penahan pintu karet-busa. Perubahan dari mengeling menjadi mengelas

atau dari memalu menjadi penekanan hidrolik akan meniadakan beberapa bising yang

paling kuat di pabrik.

2.5.3. Perencanaan Tempat (site planning).

Pengalaman menunjukkan bahwa sekali suatu sumber bising diluar ada di suatu

daerah, maka sulit untuk menghilangkannya. Karena itu adalah penting

bahwa-gedung-gedung yang membutuhkan lingkungan bunyi yang tenang (sekolah, rumah sakit,

lembaga penelitian, dan lain-lain) diletakkan pada tempat yang tenang, jauh dari jalan

raya, daerah industri, dan bandar udara.

Gedung-gedung yang tidak mudah dapat menerima bising dapat digunakan sebagai

penahan bising (noise baffles) dan dapat diletakkan antara sumber bising dan

daerah-daerah yang membutuhkan ketenangan.

2.5.4. Pengendalian terhadap Penerima Bising.

Strategi pengendalian terhadap penerima bising yang dapat dilakukan antara lain

melalui perencanaan tata guna lahan, disain bangunan yang dapat mengurangi

penerimaan bising (misalnya dengan memberikan lapisan peredam suara pada bangunan

dan mengngunakan bahan bangunan yang dapat meredam suara). Meningkatkan

pengertian dan pemahaman masyarakat terhadap pengendalian kebisingan, memberikan

kompensasi terhadap penerima bising, dan membuat peraturan-peraturan pengendalian

kebisingan. (Papacostas,1993)

2.6. Tinjauan Umum Kesehatan Lingkungan.

2.6.1. Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan.

(40)

Bagaimanapun lingkungan itu dikelompokkan, pada prinsipnya, lingkungan (air, udara,

tanah, sosial, dan lain-lain) tidak dapat dipisah-pisahkan, karena itu mempunyai batas

yang nyata dan merupakan suatu kesatuan ekosistem. Benda hidup tak dapat dipisahkan

dari benda mati.

Bagi manusia, lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitarnya, baik

berupa benda hidup, benda mati, benda nyata ataupun abstrak, termasuk manusia

lainnyna, serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara

elemen-elemen dialam tersebut. Lingkungan itu sangat luas, oleh karenanya seringkali di

kelompokkan untuk mempermudahan pemahamanya.

Lingkungan dapat diklasifikasi dengan berbagai cara sebagai berikut:

1. Lingkungan yang hidup (biotis) dan lingkungan tidak hidup (abiotis).

2. Lingkungan alamiah dan lingkungan buatan (manusia).

3. Lingkungan prenatal dan lingkungan postnatal

4. Lingkungan biofisis dan lingkungan psikososial.

5. Lingkungan air (hidrosfir), lingkungan udara (atmosfir), lingkungan tanah

(litosfer), lingkungan biologis (biosfer), dan lingkungan sosial (sosiosfir).

6. Kombinasi dari klasifikasi-klasifikasi teresebut.

2. Serapan Udara.

Udara disekitar kita, yang menjadi medium perambatan gelombang bunyi,

sesungguhnya mampu menyerap sebagian kecil kekuatan gelombang bunyi yang

melewatinya. Kemampuan serapan udara tersebut bergantung pada suhu dan

kelembabannya. Serapan yang lebih besar akan terjadi lebih baik pada udara dengan

(41)

tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pada udara yang bersuhu rendah,

molekulnya lebih stabil dan rapat sehingga gesekan yang terjadi ketika ada gelombang

bunnyi yang merambat menjadi lebih besar (dengan demikian kekuatannya akan

menurun). Bunyi merambat lebih cepat pada udara yang bersuhu tinggi karena

molekulnya lebih renggang (sehingga bunyi bisa merambat dengan halangan minimal.

Sementara itu pada udara yang memiliki kelembaban relatif tinggi, titik-titik air

terkandung di udara akan mengurangi terjadinya gesekan saat ada gelombang bunyi yang

merambat, sehingnga penurunan kekeatan gelommbang bunyi juga tidak besar.

(Meastika,Christina. 2005)

Selain karena suhu dan kelembaban, tingkat serapan juga berbeda-beda

tergantung pada frekuensi bunyi yang merambat. Pada suatu ruang tertutup, kemampuan

serapan udara terhadap ggelombang bunyi yang merambat adalah 4 mV. Dengan m

adalah koefisien serapan udara dalam ruangan yang sangat tergantung pada frekuensi dan

kelembaban dan V adalah volume ruangan tertutup tersebut (Templeton dan Saunders,

1987).

3. Angin.

Pengaruh angin dalam mengurangi kekuatan bunyi adalah fenomena yang belum

dapat dipahani sepenuhnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kecepatan dan arah angin.

Pada kondisi angin bertiup dari sumber bunyi menuju suatu titik, maka titik tersebut akan

menerima bunyi dengan lebih cepat, dalam kekuatan yang cukup besar. Namun

sebaliknya, bila angin bertiup menuju arah yang berlawanan, menjauhi titik, maka titik

(42)

2.7. Baku Kebisingan.

Menyadari dampak yang ditimbulkan oleh kebisingan, Pemerintah negara maju telah

mengupayakan agar permasalahan kebisingan dipahami oleh masyarakat umum dan

diatur dalam perundangan yang ketat disertai sanksi bagi yang menghasilkan kebisingan

tersebut.

Pemerintah Indonesia memiliki aturan kebisingan dalam Undang-Undang No. 16/2002

mengenai Bangunan Gedung (UUBG). Dalam UUBG, peraturan kebisingan hanya

dimasukkan dalam pasal mengenai kenyamanan, belum sampai pada pasal mengenai

kesehatan.

Kebisingan juga diatur dalam peraturan Menkes No.718/MenKes/Per/XI/87 dan

keputusan Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular (PPM) No.70-I/PP.03.04.LP. Dari

peraturan tersebut, diperolehlah bakuan tingkat kebisingan menurut pintakat peruntukan

(zone) sebagaimana tercantum pada tabel. 2.3.

Tabel 2.3. Pintakat peruntukan

(Peraturan MenKes No. 718/MenKes/Per/XI/87, dalam Lutfi, 1995)

Pintakat Peruntukan Tingkat Kebisingan (Dba) maksimum di dalam bangunan

A. Laboratorium, rumah sakit, panti

perawatan

B. Rumah, Sekolah, tempat rekreasi

C. Kantor, pertokoan

D. Industri, terminal, stasiun KA

Dianjurkan Diperbolehkan

35 45

45 55

50 60

(43)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. RANCANGAN PENELITIAN.

Penelitian ini dilaksanakan dengan dua tahap yaitu pertama pengambilan data

lapangan di auditorium multifungsi di Universitas Sumatera Utara, kedua dilakukan

pengolahan data untuk memperoleh besar kebisingan ekivalen.

Prosedur awal sampai pengelolahan terlihat pada diagram 3.1:

VOLUME SUARA JARAK PENGUKURAN ALAT PENGUKURAN KEBISINGAN

(44)

Kegiatan pengambilan data dilapangan meliputi:

3.1.1. Survei awal.

Terdiri dari:

a. Pemilihan alat.

Bertujuan untuk menentukan alat-alat apa saja yang akan digunakan pada saat

pengambilan data di lapangan. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Stop

watch, meteran atau roda ukur dan sound level metar.

b. Pemilihan lokasi.

Pemilihan lokasi untuk menentukan tempat pengambilan data. Lokasi yang dipilih adalah

Auditorium Multifungsi di Universitas Sumatera Utara. Lokasi penelitian dipilih di

tempat yang sering digunakan dalam berbagai kegiatan.

c. Penentuan waktu pelaksanaan.

Bertujuan untuk memilih hari dan dan waktu pelaksaan dilapangan. Hari yang di pilih

untuk pengambilan data adalah hari-hari pada jam sibuk, saat kondisi ruangan kosong

dan di variasikan pada saat di gunakan.

d. Penentuan interval dan durasi waktu penelitian.

Gunanya untuk mendapatkan jumlah sampel yang cukup banyak untuk di olah dan

(45)

3.1.2. Pengumpulan Data di Lapangan

Terdiri dari:

a. Survei volume.

Tujuan pengambilan data volume ini adalah untuk mendapatkan seberapa besar pengaruh

AC dan sumber bising lain yang di hidupkan terhadap kebisingan auditorium.

b. Jarak pengukuran.

Bertujuan untuk melihat seberapa besar pengaruh jarak terhadap besar kebisingan yang

diterima oleh pendengar. Sesuai dengan jarak pengukuran yang sudah ditentukan.

c. Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan dilakukan dengan mengukur tingkat bising latar belakang. Skala

kebisingan yang di gunakan adalah dalam satuan dB (A) dan alat disetel dalam fast

response karena karakteristik bunyi bising auditorium multifungsi sangat cepat dan

tinggi.

3.2. PERALATAN YANG DIGUNAKAN.

Dalam penelitian ini digunakan peralatan sebagai berikut:

1. Stop watch, sebanyak 2 buah.

2. Sound level meter, merk QUEST sebanyak 1 buah (Lampiran C).

(46)

3.3. TAHAPAN PENGAMBILAN DATA.

Pengambilan data untuk mengetahui tingkat kebisingan di auditorium multifungsi

ini harus dilakukan secara serentak / bersamaan baik itu pengambilan data volume suara

dan kebisingan. Dengan waktu pelaksanaan Senin, 25 Mei 2009 dan Rabu 10 Juni 2009.

Waktu pelaksanaan pada waktu siang hari (traffic peak hour) yaitu pada pukul 09.30

sampai dengan 12.30 dalam waktu kosong divariasikan pada waktu digunakan.

Prosedur pengambilan data dilapangan adalah sebagai berikut:

1. Pengambilan data dan volume.

Pengambilan data volume dilakukan selama ± 2 jam setiap hari. Pengambilan

data volume dilakukan 2 orang. Data volume diambil pada auditorium multifungsi

Universitas Sumatera Utara, dimana volume pada kondisi ruangan kosong dan pada saat

digunakan. Data volume diambil dengan menggunakan alat Handy counter yang di hitung

komulatif setiap periode 5 menit.

2. Jarak pengukuran.

Jarak pengukuran yang diambil yaitu sejauh 0, 5, 10, 15, dan 20 m. Jarak terhadap

pendengar. Jarak yang diambil ini di sesuaikan dengan kondisi di ruangan auditorium.

(47)

Sound system Auditorium USU

Titik pengukuran I(0 m)

Titik pengukuran 2(5 m)

Titik pengukuran 3(10m)

Titik pengukuran 4(15m)

Titik pengukuran 5(20m)

Gambar 3.2. Sketsa Lokasi Pengukuran Kebisingan

4. Pengukuran kebisingan.

Pengukuran kebisingan dilakukan menggunakan alat Sound Level Meter (SLM) merk

QUEST. Pengukuran kebisingan dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Fase sebelum pengambilan data.

1. Menentukan interval pengambilan sampel dan durasi waktu pengukuran yang akan

dilakukan. Interval pengambilan sampel yaitu 4 detik, sedangkan durasi waktu

pengukuran adalah 15 menit.

2. ”Fast” response pada alat SLM digunakan jika puncak kebisingan akan diambil, jika

tidak digunakan “Slow” response.

(48)

4. Informasi tambahan, seperti volume suara sebaiknya diambi bersamaan dengan

penelitian kebisingan.

b. Fase penelitian lapangan.

1. Titik-titik tempat pengambilan data dilapangan ditandai. Jarak titik dari pinggir yaitu 0

m, 5 m, 10 m, 15 m, dan 20 m.

2. Alat dipasang pada satuan dB (A)

3. Data atau informasi tentang lokasi penelitian dicatat

4. Nilai dasar (base level) dipilih dan dicatat. Pada alat pengukur kebisingan tipe QUEST

base levelnya adalah 20-80, 40-100, 60-120, dan 80-140 dB (A). Untuk penelitian ini

base level yang dipilih adalah 60-120 dB (A) karena tingkat kebisingan yang terjadi pada

auditorium multifungsi mencapai 60 dB (A).

5. Alat diatur pada “fast response” atau “ slow response” sesuai kebutuhan

6. Waktu saat penelitian dimulai dicatat.

7. Penelitian dilakukan dengan SLM menggunakan skala dB (A) dengan interval dan

durasi yang telah ditentukan.

8. Waktu akhir pengambilan data dicatat, kondisi alat dicek kembali dan semua informasi

yang telah diambil dicatat.

c. Fase setelah penelitian lapangan:

1. Data yang telah diperoleh dicek kembali.

2. Jumlah data yang doperoleh dihitung dan ditabulasikan.

3. Tingkat kebisingan ekivalen dan jarak antara sumber bunyi dengan pendengar pada

(49)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengolahan Data.

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel dalam

sampel-sampel data untuk masing-masing tabel dilakukan kedalam kolom dilembaran Microsoft

Excel.

Untuk pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap yaitu :

1. Data – data sampel disusun dalam sebuah tabel menurut jarak pengukuran dan

waktu (Lampiran A).

2. Sampel dikelompokkan sesuai lampiran B berdasarkan range atau interval sebagai

berikut:

• 35 – 39,9 dB (A)

• 40 – 44,9 dB (A)

• 45 – 49,9 dB (A)

• 50 – 54,9 dB (A)

• 55 – 59,9 dB (A)

• 60 – 64,9 dB (A)

• 65 – 69,9 dB (A)

• 70 – 74,9 dB (A)

• 75 – 79,9 dB (A)

(50)

3. Nilai Tengah (NT) dicari dari masing-masing range (kolom 1).

4. Besar (NT) dari masing-masing range dikalikan dengan 0,1 (kolom 2).

5. Diperoleh frekuensi tabulasi atau banyak sampel dan berdasarkan range (kolom

3).

6. Hasil kali dari kolom 2 dipangkatkan dengan bilangan 10 (kolom 5).

7. Data pada kolom 3 dikalikan dengan data pada kolom 5 dan didapatkan jumlah

data. (kolom 6).

8. Jumlah pada kolom 6 dibagikan dengan jumlah pada kolom 3 (data 7).

9. Dicari besar nilai logaritma dari data tersebut (data 8).

10.Hasil dari logaritma data tersebut dikalikan dengan 10 dan diperoleh besar

ekivalen.

11.Kemudian dicari besar data minimum (Min), kebisingan rata-rata (L rata-rata),

data maksimum (Max)

Tahap diatas dilakukan untuk setiap tabel data sehingga diperoleh untuk masing-masing

data adalah sebagai berikut:

1. LAeq (kebisingan ekivalen).

2. Min (nilai terendah sampel).

3. Lrata-rata (kebisingan rata-rata).

4. Max (nilai tertinggi sampel).

Setelah dilakukan pengolahan data dengan bantuan program Microsoft Excel, maka

diperoleh hasil perhitungan kebisingan ekivalen auditorium multifungsi di Universitas

(51)

1. Rabu, 10 Juni 2009:

a) Jarak 0 meter : - kanan : 72,42 dB (A)

- kiri : 75,63 dB (A)

- tengah : 57,55 dB (A)

b) Jarak 5 meter : - kanan : 59,65 dB (A)

- kiri : 63,23 dB (A) - tengah : 64,00 dB (A)

c) Jarak 10 meter : - kanan : 63,00 dB (A)

- kiri : 65,91 dB (A)

- tengah : 57,46 dB (A)

d) Jarak 15 meter: - kanan : 57,91 dB (A)

- kiri : 58,79 dB (A)

- tengah : 57,68 dB (A)

e) Jarak 20 meter : - kanan : 58,04 dB (A)

- kiri : 58,25 dB (A)

- tengah : 60,69 dB (A)

(52)

1. Rabu, 10 Juni 2009:

a. Jarak 0 meter = 72,42 + 75,63 + 57,55

3 = 68,53 dB (A)

b. Jarak 5 meter = 59,65 + 63,23 + 64,00

3

= 62,29 dB (A)

c. Jarak 10 meter = 63,00 + 65,91 + 57,46

3

= 62,12 dB (A)

d. Jarak 15 meter = 57,91 + 58,79 + 57,68

3

= 58,12 dB (A)

e. Jarak 20 meter = 58,04 + 58,25 + 60,69

3

(53)

4.2. Korelasi antara Jarak Pengukuran dan Kebisingan.

Kebisingan ekivalen yang diperoleh akan dikolerasikan dengan jarak pengukuran selama

pengukuran dilakukan.

1. Sebelah Kanan. Rabu, 10 Juni 2009.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 77,17

2 5 61,18

3 10 63,75

4 15 58,01

5 20 57,59

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu

(54)

2. Sebelah kiri.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 77,14

2 5 65,06

3 10 61,26

4 15 59,75

5 20 57,59

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu

(55)

3. Sebelah Tengah.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 57,94

2 5 58,25

3 10 57,92

4 15 57,67

5 20 62,47

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu

(56)

4. Kurva Kebisingan ekivalen.

No Jarak Pengukuran LA eq dB(A)

1 0 57,59

2 5 57,50

3 10 57,52

4 15 57,60

5 20 57,59

Jarak vs Kebisingan untuk Rabu

(57)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN.

1. Besar kebisingan ekivalen rata-rata adalah:

• Rabu, 10 Juni 2009

a. Jarak 0 meter = 68,53 dB (A)

b. Jarak 5 meter = 62,29 dB (A)

c. Jarak 10meter = 62,12 dB (A)

d. Jarak 15meter = 58,12 dB (A)

e. Jarak 20meter = 58,99 dB (A)

• Senin, 7 Juni 2009

a. Jarak 0 meter = 57,59 dB (A)

b. Jarak 5 meter = 57,50 dB (A)

c. Jarak 10meter = 57,52 dB (A)

d. Jarak 15meter = 57,60 dB (A)

e. Jarak 20meter = 57,59 dB (A)

2. Dari hasil pengukuran yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata tingkat

kebisingan dalam auditorium masih tetap tinggi yaitu berkisar antara 54 – 80

(58)

5.2. SARAN.

1) Pengukuran tingkat kebisingan auditorium multifungsi perlu diperhatikan

ketelitian dalam membaca skala.

2) Pengambilan data kebisingan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Pengambilan data didalam auditorium multifungsi perlu dilakukan beberapa

sumber bunyi yang yang bervariasi untuk membandingkan tingkat kebisingan

yang mengganggu pendengaran manusia.

3) Pada penelitian selanjutnya perlu diteliti faktor-faktor material yang

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Dolle, Leslie.1993. “Akustika Lingkungan”. Erlangga, Jakarta

Halliday, and Resnick. 1978. “Physics”.3 edition. Jhon Wiley & sons Inc.New York.

Hemond,Jr and Conrad J. 1983.”Engineering Acoustics and Noise Control”. Prentice-

Hall, Inc.Englewood Cliffs, New Jersey.

Hansen, and Bies. 1925.”Engineering Noise Control Theory and Practice”.Boston sydney

wellington. London.

Ishaq, Mohamad. 2006.”Fisika Dasar”.Cetakan Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Mediastika, Chistina. 2005.”Akustika bangunan: Prinsip-prinsip dan Penerapannya di

Indonesia”. Erlangga, Bandung.

Mundilarto,dkk. 1992.”Fisika Dasar II”.Universitas Terbuka, Depdikbud. Jakarta.

Sears, and Zemansky. 1962.”Physics”. Addison wesley publishing co.Inc.Reading

Massachusetts.

Sutrisno. 1984.”Fisika Dasar: Gelombang dan Optik”. ITB. Bandung.

Vernando Lumbanraja, 2008.”Analisis Tingkat Kebisingan Lalu-Lintas pada Jalan Tol

Ruas Amplas-Tanjung Morawa”. Medan.

Http/www.Menlh.go.id/apec.vc/asaka/eastjava/noise_id1/index.html.diakses tgl 25

oktober 1996

(60)

LAMPIRAN C

ALAT PENGUKURAN KEBISINGAN (Sound Level Meter)

Spesifikasi Alat :

1. Standar : ANSI 1,4 – 1983 – Type 2

IEC 651 – 1979 Type 2

2. Microphone : 0,83 (21 mm)

3. Output : AC dan DC untuk chart recorder

4. Range-freq : 4 Hz – 50 KHz

5. Display : 3,5 digit LCD

6. dB Range : 20 – 140 dB

7. Ukuran : 84 x 208 x 47 mm3

8. Berat : 680 gr

Gambar

Gambar 2.1.Grafik dari nada
Tabel 2.1.Ambang batas pendengaran manusia (dalam dB) Sound Pressure Sound Level (dB) Contoh keadaan
Gambar 2.2.Sistem kerja Sound Level Meter
Tabel 2.3. Pintakat peruntukan (Peraturan MenKes No. 718/MenKes/Per/XI/87, dalam Lutfi, 1995
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena para pembuat keputusan itu berada dalam keadaan yang serba tidak pasti khususnya yang menyangkut akibat-akibat dari tindakan- tindakan mereka di masa datang, maka

Jika perdarahan tidak seberapa banyak dan kehamilan kurang dari 16 minggu, evakuasi dapat dilakukan secara digital atau cunam ovum untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar

Satelit GPS tidak mentransmisikan informasi posisi kita, yang ditransmisikan satelit adalah posisi satelit dan jarak penerima GPS kita dari satelit.. $nformasi ini

MASALAH KELOMPOK MASYARAKAT MENGHADAPI MASALAH LOKASI TERJADI MASALAH FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA MASALAH UPAYA YANG INGIN MASYARAKAT LAKUKAN UNTUK PENINGKATAN

-XQµ Perhitungan waktu tempuh Waktu tempuh sudah baik -XQµ Kalibrasi roda bantu kelima Hasil kalibrasi baik -XQµ Pengujian pada landasan beton I Hasil kurang baik -XQµ Pengujian

(4) Peran serta masyarakat dalam pengendalian mutu pelayanan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup partisipasi dalam perencanaan, pengawasan, dan

Pendidikan adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk peserta didik secara aktif mengembangkan potensi