LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA
GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN
PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA
TESIS
OLEH
ANGGIAT PARDAMEAN SIMAMORA
107005003/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA
GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN
PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum dalam program Studi Ilmu Hukum pada
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ANGGIAT PARDAMEAN SIMAMORA
107005003/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM KERANGKA GATS : KAJIAN HUKUM TERHADAP PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI ASING DI INDONESIA
Nama Mahasiswa : Anggiat Pardamean Simamora
NIM : 107005003
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
(Prof. Dr. Bismar Nasution., SH., MH)
(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH)
Anggota Anggota
(Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH) (Prof. Dr. Runtung., SH., M.Hum)
Telah Diuji
Pada Tanggal 20 Pebruari 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua Prof.Dr.Bismar Nasution,S.H.,M.H Anggota 1. Prof. Dr. Suhaidi.,SH.,MH
2. Dr. Mahmul Siregar.,SH.,M. Hum
3. Prof. Dr . Tankamello., SH.,MS
ABSTRAK
Liberalisasi pendidikan tinggi yang difasilitasi oleh WTO/GATS telah mendistorsi hakikat pendidikan tinggi sebagai layanan publik di Indonesia. Penelitian ini membahas tentang : 1). Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, 2) Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi Asing di Indonesia, dan 3). Apa dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, Peneliti menemukan bahwa 1). Pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia menempatkan pendidikan tinggi sebagai layanan public yang dapat diselenggarakan oleh PTN dan PTS, namun negara memperlakukan kedua nya secara diskriminatif, 2) Eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang-undangan diakui sebagai bagian dari SPN yang dapat dilakukan melalui kerja sama Internasional, bukan dengan mendirikan pendidikan tinggi asing secara mandiri, sehingga pendidikan tinggi asing di Indonesia tidak termasuk dalam ruang lingkup GATS, dan 3))GATS berdampak pada pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia karena Indonesia terikat pada segala ketentuan yang terdapat di dalam WTO/GATS. Berdasarkan temuan tersebut, maka disarankan agar 1). Pemerintah memperlakukan PTN dan PTS sama karena meduanya mengemban mini yang sama dan diselenggarakan dengan sistim yang sama yaitu SPN; 2 ) ketentuan yang mewajibkan pendidikan tinggi asing diselenggarakan dalam bentuk kerja sama tetap dipertahankan untuk meningkatkan kapasitas perguruan tinggi dalam negeri; 3) Indonesia perlu membuat legislasi barn yang mengatur pendidikan tinggi sebagai komoditas.
ABSTRACT
Higher education liberalization facilitated by the WTO/ GATS has distorted the nature of education as a public service in Indonesia. This study aims at finding out 1). how higher education (HE) in Indonesia is regulated, 2). what the existence of foreign higher education in the Indonesian regulation is, and 3) what the impact of GATS on regulating higher education in Indonesia is. It was found out that 1). both public higher education (PTN) and Private higher education (PTS) conduct governmental authority. Otherwise, the regulations threat them discriminately, 2). Foreign HE is recognized in Indonesian regulation as a part of SPN. Consequently, foreign HE instututions legally cannot be established in Indonesia, 3). GATS impacts on regulating HE in Indonesia since all agreements achieved in RTOIGATS abide Indonesia. From these findings, it is suggested that I ) . Government threat both PTA' and PTS equally since they are held in the same system, 2). Regulation obliging foreign higher education to be held as parts of SPN be maintained to improve the quality of Indonesia higher education, 3). Indonesia makes a new legislation on higher education industry.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini rnerupakan
salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Magister Hukum pada
Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, dengan segala hormat Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), SpA (K), selaku rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H, selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Anggota
Komisi Pembimbing.
4. Bapak Prof. Dr. Wismar Nasution, S.H, M.H, selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang telah memberikan saran, bimbing
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing. an, perhatian dan dukungan hingga selesainya
penulisan tesis ini.
6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamelo, S,H.NI.S selaku anggota Komisi Penguji.
7. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH,M.Hum, selaku Anggota Komisi Penguji.
cakrawala berpikir Penulis.
9. Ibunda tcrcinta, P.Banjanahor yang dada hentinya berdoa dan mebimbing Penulis,
Istri tercinta, Dewi Yunidar Napitupulu, yang selalu mendukung segala aktivitas
Penulis, Kakanda tercinta, Elista SImamora, yang selalu mendukung Penulis baik
secara moril dan materil,
10.Direktur Politeknik MBP, Bapak Drs. Tenang Malem Tarigan,Ak.M.Si, yang selalu
memberi kesempatan kepada Penulis untuk berkarya di lingkungan Yayasan Mandiri
Bina Prestasi.
11.Deliana Napitupulu dan rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi S2 Magister
Ilmu Hukum USU Angkatan Tahun 2010 dan seluruh staf dan pegawai di Program
Studi Ilmu Hukum USU atas segala bantuan-bantuan, pelayanan yang ramah,
kiranya Tuhan yang membalas semua kebaikannya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari sempurna, namun, Penulis berharap
tulisan ini sebagai sumbangan pemikiran mengenai pendidikan tinggi
di Indonesia dalam kaitannya dengan globalisasi, khususnya GATS.
Medan, Pebruari 2013 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. DATA DIRI
Nama : Anggiat P. Simamora
Tpt /Tgi Lahir : Pakkat, 04-07-1970
Alamat : Jl. Mongonsidi Gg Upah Tendi No. 1D Medan
Agama : Katolik
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1976-1983
2. SMP RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1983-1986
3. SMA RK Pakkat, Kec. Pakkat Kab. Humbahas, tahun 1986-1989
4. IKIP Negeri Medan, Prodi. Pend. Bhs. Inggeris (S1) , tahun 1989-1994
5. Universitas Sisingamangara, Ilmu Hukum (SI), tahun 1999-2004
6. Pasta Sarjana Universitas Sumatera Utara, Ilmu Hukum, 2010-2013
III. PENDIDIKAN INFORMAL dan PELATIHAN
1. Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh AAI
dan Universitas Darma Agung tahun 2006
2. Pelatihan Training for Trainer for Hospitality yang diselenggarakan oleh NMCP (PUM) dengan Mondreaan Hotel School di The Haque Belanda -2006
IV. KELUARGA
Ayah : A. Simamora (Alm)
Ibu : P. Banjarnahor
Istri : Dewi Yunidar Napitupulu
Kakak : Elista Simamora
V. Pekerjaan
Dosen Politeknik MBP Tahun 2002-Sekarang
DAFTAR ISI
BAB II PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI SUB SISTIM DART SISTIM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA 1. Sistirn Pendidikan Nasional ... 22
1. Landasan Philosofis, Konstitusional dan Yuridis ... 24
2. Struktur Sistim Pend iA l B. Pendidikan Tinggi Sebagai Subsistim dari Sistim Pendidikan -ar, Nasional ... 29
Nasional ... 34
1. Perkembangan Regulasi Pendidikan Tinggi ... 34
2. Penyelenggaraan Pendi
BAB III EKSISTENSI PENDIDIKAN TINGGI ASING DA-LAM SISTIM PENDIDIKAN NASIONAL A. Dasar Hukum ... 74
B. Bentuk Penyclenggaraar. ... 78
1. Kontrak Manajemen ... 80
3. Gelar Ganda ... 81
4. Program Pen indahan Kredit ... 82
C. Tujaun dan Manfaat ... 83
BAB IV PENGARUH GATS TERHADAP PENGATURAN PENDIDIKAN , TINGGI DI INDONESIA B. Liberalisasi Jasa Pendidikan Tinggi di dalam GATS ... 119
beralization ... 117
4. Conditional Initial Offering Indonesia untuk Subsektor pendidikan tinggi (GATS) ... 142
C. Dampak GATS terhadap Pengaturan Pendidikan Tinggi di Indonesia ... 146
1. Konsekuensi Keanggotaan Indonesia di claim GATS ... 146
2. Komersialisasi Pendidikan Tinggi ... BAB V PENUTUP 152 A. Kcsimpulan ... 157
B. Saran ... 158
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pengusul clan Pemberi ijin Pendirian Satuan Pendidikan Tinggi 52
Tabel 2 Persyaratan Jumlah Dosen Perprogram Studi 57
Tabel 3 Komponen Oftoriomi Perguruan Tinggi 63
Tabel 4 Cakupan Otonomi Perguruan Tinggi di Berbagai Negara 65
Tabel 5 Komponen Biaya Pendidikan Tinggi 68
Tabel 6 Distribusi Mahasiswa pada PTN/PTS tahun 2005-2010 70
Tabei 7 Perbedaan Alasan clan Dampak Pendidikan Lintas Negara 88
Tabel 8 Dallar Perundingan GATT 94
Tabel 9 Kontribusi Eksport Jasa Berdasarkan Kelompok Pendapatan 100
Tabel 10 Program Kembaran Perguruan Tinggi Australia dengan
Perguruan Tinggi Malaysia (Feb. 1998) 128
Tabel I I Permohonan Penghapusan Hambatan (barriers) Perdagangan
PendidikanTinggi oleh AS kepada Beberapa Negara 135
Tabel 12 Conditional Initial Offer Indonesia Untuk Subsektor
Pendidikan Tinggi 144
Tabel I3 Beberapa Ketentuan dalam Perundang-Undangan Pendidikan
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Dampak Pendidikan Terhadap Ekonomi 1
Gambar 2 Hubungan Pancasila, UUD 1945 dengan Pendidikan Nasional 29
Gambar 3 Struktur Pendidikan Indonesia 34
Gambar 4 Proses Akreditasi Program Studi 73
DAFTAR SINGKATAN
APED Anggaran Pendapatan dan Belanjda Daerah
APBN Anggaran Fendapatan dan Belanja Negara
APBN-P Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perbaikan
APEC Asia Pacific Edonomic Cooperation
BAN-PT Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
BHMN Badan Hukum Milik Negara
BHP Badan Hukum Pendidikan
BP-PTS Badan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Swasta
CTG Council For Tradc in Goods
CTS Council For Trade in Services
DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
GDP Gross Domestic Bruto
KTM Konferensi Tingkat Menteri
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
ENTs Economic Need Tets
GATS General Agreement on Trade in Services
IMF International Monetary Fund
Kepmendikbud Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
MA Madrasah Aliyah
MAK Madrasah Aliyah Kejuruan
OECD Organization for Economy Co-operation and Development
PP Peraturan Pemcrintah
Permendikbud Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan
Pur
PTN Perguruan Tinggi Negeri
pres Peraturan Presiders
PTS Perguruan Tinggi Swasta
SLTA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SMA Sekolah Menengah Atas
SMK Sekolah Menengah Kejuruan
SNP Standar Nasional Pendidikan
SPN Sistim Pendidikan Nasional
UU Undang-Undang
UUBIlP Undang-undang Badan HukumMilik Negara
UUD 1945 Undang-Undang Dasar tahun 1945
UUSPN Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional
ABSTRAK
Liberalisasi pendidikan tinggi yang difasilitasi oleh WTO/GATS telah mendistorsi hakikat pendidikan tinggi sebagai layanan publik di Indonesia. Penelitian ini membahas tentang : 1). Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia, 2) Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi Asing di Indonesia, dan 3). Apa dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan menggunakan penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, Peneliti menemukan bahwa 1). Pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia menempatkan pendidikan tinggi sebagai layanan public yang dapat diselenggarakan oleh PTN dan PTS, namun negara memperlakukan kedua nya secara diskriminatif, 2) Eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan perundang-undangan diakui sebagai bagian dari SPN yang dapat dilakukan melalui kerja sama Internasional, bukan dengan mendirikan pendidikan tinggi asing secara mandiri, sehingga pendidikan tinggi asing di Indonesia tidak termasuk dalam ruang lingkup GATS, dan 3))GATS berdampak pada pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia karena Indonesia terikat pada segala ketentuan yang terdapat di dalam WTO/GATS. Berdasarkan temuan tersebut, maka disarankan agar 1). Pemerintah memperlakukan PTN dan PTS sama karena meduanya mengemban mini yang sama dan diselenggarakan dengan sistim yang sama yaitu SPN; 2 ) ketentuan yang mewajibkan pendidikan tinggi asing diselenggarakan dalam bentuk kerja sama tetap dipertahankan untuk meningkatkan kapasitas perguruan tinggi dalam negeri; 3) Indonesia perlu membuat legislasi barn yang mengatur pendidikan tinggi sebagai komoditas.
ABSTRACT
Higher education liberalization facilitated by the WTO/ GATS has distorted the nature of education as a public service in Indonesia. This study aims at finding out 1). how higher education (HE) in Indonesia is regulated, 2). what the existence of foreign higher education in the Indonesian regulation is, and 3) what the impact of GATS on regulating higher education in Indonesia is. It was found out that 1). both public higher education (PTN) and Private higher education (PTS) conduct governmental authority. Otherwise, the regulations threat them discriminately, 2). Foreign HE is recognized in Indonesian regulation as a part of SPN. Consequently, foreign HE instututions legally cannot be established in Indonesia, 3). GATS impacts on regulating HE in Indonesia since all agreements achieved in RTOIGATS abide Indonesia. From these findings, it is suggested that I ) . Government threat both PTA' and PTS equally since they are held in the same system, 2). Regulation obliging foreign higher education to be held as parts of SPN be maintained to improve the quality of Indonesia higher education, 3). Indonesia makes a new legislation on higher education industry.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik
untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat serta untuk kemajuan bangsa dan
negara. Hal ini diakibatkan oleh kontribusi pendidikan tersebut pada berbagai sektor
kehidupan baik ekonomi, kemanusiaan, demokrasi dan lain sebagainya. Pada bidang
ekonomi misalnya hasil penelitian Katharina Michaelowa menunjukkan bahwa
pendidikan memberi dampak kepada individu dan lingkungannnya melalui peningkatan
pendapatan dan kesiapan memasuki lapangan kerja (micro) yang pada akhirnya
berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja (macro).1 Gbr 1. Dampak Pendidikan Tehadap Ekonomi
Sumber : Katharina (2000)
1
Katharina Michaelowa. Returns to Education in Low Income Countries: Evidence for Africa Diakses dari Diakses darihttp://www1.aucegypt.edu/src/skillsdevelopment/pdfs/returns%20to%20educati
Deepa Rawat mengatakan bahwa “education is the engine of economic growth
and sosial change. ... Education not only increases the economic returns but also has a significant effect on poverty, income distribution, health, fertility, mortality, population growth and overall quality of human life. Jauh sebelumnya, Immanuel Kant sebagaimana dikutip oleh Moira Murphy mengatakan bahwa “ the purpose of education
is to train children, not only with reference to their success in the present state of
society, but also to be a better possible state in accordance with an ideal conception of humanity”.2
Bangsa-bangsa di dunia melalui Universal Declaration on Human Rights 1948 3 dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights mengakui bahwa
“ … that education shall enable all persons to participate effectively in a free society,
promote understanding, tolerance and friendship among all nations and all racial, ethnic or religious groups, and further the activities of the United Nations for the maintenance of peace“4
Dari penjelasan di atas maka sangat tepat apa yang dikatakan Presiden Amerika
Serikat, Barrack Obama, dalam pidatonya di Wakefield High School di Arlington
menyatakan bahwa “ What you're learning in school today will determine whether we as
a nation can meet our greatest challenges in the future.” .
5
2
Moira Murphy. Experience in The Internationalization of Education : Strategies To Promote
Equality of Opportunity at Monterrey Tech., diakses dari
3
Article 26
4
Article 1.3 GATS
5
Obama's speech on importance of education. Diakses dari
Robert Sedgwick mengatakan “in most countries around the world, education has
traditionally been viewed as a public good 6 provided and guaranteed by the state”.7 Status public goods/service yang disandang oleh pendidikan sangat penting dalam
mengimplementasikan tanggungjawab negara dalam penyediaan dan pendanaan
pendidikan tersebut. Sandy Baum mengatakan “The concept of public goods is central
to economic analysis of the role of government in the allocation of resources”.8
Dari konteks pendanaan pendidikan, konsep pendidikan sebagai layanan publik
lebih terlihat pada pendidikan dasar.Hal ini sejalan sejalan dengan amanat Universal
Declaration on Human Rights 1948 bahwa “ everyone has the right to education.
Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made
generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit.” Konsep tersebut menunjukkan bahwa negara hanya berkewajiban untuk
6
Publik service adalah jasa yang disediakan oleh negara kepada masyarakat yang tinggal di wilayah hukumnya baik secara langsung melalui sektor publik ataupun melalui sektor swasta yang dibiayainya. Jasa yang demikian harus tersedia kepada setiap orang tanpa tergantung pada jumpah pendapatan mereka
7
Robert Sedgwick. The Trade Debate in International Higher Education Diakses dari
Menurut Markus, pemahaman terhadap publik service dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. Pendekatan pertama berbasis pada apa yang disupply (what is supplied). Misalnya pendidikan, kesehatan, transportasi publik, dll. Pendekatan kedua berbasis pada kepada siapa jasa tersebut diberikan dan dengan persyaratan apa (whom and under which conditions the service is supplied). Pendekatan ketiga berbasis pada siapa yang akan memberikan pelayanan tersebut (who is supplying the service). Dengan pendekatan ini bahwa suatu jasa disebut publik service jika pengadaannya ada pada badan publik. Baca : Markus Krajewski. Publik Services And The Scope Of The General Agreement On Trade In Services (GATS), A Research Paper For Center For International Environmental Law (CIEL), Geneva, May 2001. Hal 4
Akses terhadap layanan publik yang baik merupakan satu hak yang paling dasar yang dapat dituntut oleh warga negara dari Pemerintah sebagai kompensasi atas pembayara pajak mereka. ( Open Publik Services White Paper. Diunduh dari http://files.openpublikservices.cabinetoffice. gov.uk/OpenPublik Services-WhitePaper.pdf pada tanggal 10 Des.2012)
8
Sandy Baum. Is Education a Public Good or a Private Good? Dapat diakses pada http://chronicle
mendanai pendidikan dasar, sementara untuk pendidikan tinggi negara hanya
berkewajiban untuk menyediakannya yang terbuka untuk umum tanpa diskriminasi.
Dengan demikian, kebijakan (pendanaan) pemerintah terhadap pendidikan tinggi
kondisional. Camelia Stejar mengatakan “ countries that have a low inclusion rate of
high-school graduates in universities, perhaps the term “public good” is still fully
associated with higher education” 9
Sandy Baum da
tidak murni sebagai public goods karena masyarakat yang tidak sanggup membayar tidak dapat menikmati pendidikan tersebut. Seseorang yang menikmati pendidikan
tinggi memperoleh manfaat langsung dari jasa pendidikan tinggi yang diperolehnya
seperti mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun masyarakat juga mendapat
manfaat dari jasa pedidikan tinggi yang diterima orang lain karena tamatan perguruan
tinggi tersebut akan memberi kontribusi melalui inovasi dan kreativitasnya pada
masyarakat sekitarnya.10
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya
pemerintahan Indonesia adalah untuk mencerdaskan bangsa. Dengan demikian
pendidikan merupakan mission of state. Hal ini kemudian dipertegas di dalam UU No.20
tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (SPN) dimana salah satu tujuan
pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
9
Camelia Stejar . Higher Education: Public Good Or Public Service? Analysis from the perspective of International. Management & Marketing. Challenges for the Knowledge Society. Vol. 6, No.1. 2011. hlm 150
10
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis.
Dengan perkataan lain bahwa walaupun Pemerintah tidak berkewajiban secara penuh
pada pendanaan pendidikan tinggi, statusnya adalah sebagai layanan social negara
kepada warga negara atau sebagai layanan publik. UU No.25 tahun 2005 tentang
Layanan Publik secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan merupakan layanan
publik.
Hakikat pendidikan sebagai layanan publik sebagaimana dijelaskan di atas mulai
mengalami pergeseran sejak lahirnya WTO dan disepakatinya perjanjian internasional
GATS tahun 1994, karena di dalam perjanjian tersebut, secara eksplisit dinyatakan
bahwa pendidikan merupakan komoditas yang dapat diperdagangkan secara
internasional. Melalui GATS, negara-negara anggota WTO sepakat untuk meliberalisasi
jasa pendidikan tinggi. Bagi Indonesia, pendidikan sebagai layanan publik secara juridis
mengalami distorisi sejak Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional
tersebut melalui UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Estabilishing the World Trade
organization)11
Bagi Indonesia, pergesaran paradigma pendidikan tinggi sebagai layanan publik
menjadi komoditas perdagangan internasional paling tidak menimbulkan dua karena secara juridis, Indonesia telah menerima konsep pendidikan sebagai komoditas sebagaimana diatur di dalam GATS.
11
permasalahan mendasar. Permasalahan pertama adalah kemampauan lembaga
pendidikan tinggi Indonesia bersaing dengan pendidikan tinggi asing. Di kawasan Asia,
mutu perguruan tinggi Indonesia berada pada peringkat 15 persen terendah dari 77
perguruan tinggi. Di tingkat ASEAN, perguruan tinggi Indonesia hanya berada pada
ranking 11. 12
Tim Graewert menyebutkan bahwa konflik hukum terjadi jika dua atau lebih
norma hukum yang berbeda secara substansi ditujukan pada objek yang sama, dan oleh
karena itu harus dibuat pilihan hukum yang akan digunakan. “ ... a conflict of law results
from two or more norms which are different in substance but apply to the same or similar facts, and whose application would lead to contrary decisions, so that a choice must be made between them”
Permasalahan mendasar yang kedua adalah permasalahan hukum. Sebagai
negara yang berdaulat, Pemerintah Indonesia berkewajiban melaksanakan amanat
konsitusi dan aturan perundang-undangan; dalam hal ini memperlakukan pendidikan
sebagai layanan publik. Pada sisi lain, sebagai bagian dari komunitas internasional,
Indonesia harus menghormati segala kesepakatan yang sudah dicapai di dalam
WTO/GATS , termasuk meliberalisasi pendidikan tinggi sebagai komoditas. Dengan
demikian, dalam memandang pendidikan tinggi, Pemerintah Indonesia terikat pada dua
hukum yang saling kontradiksi, yaitu UUD 1945 dan aturan perundang-undangan
lainnya sebagai hukum nasional dan GATS sebagai perjanjian/ hukum internasional.
13
12
Sofyan Effendi. Capital Flight” dan Pendidikan Tinggi. Diakses dari http://sofian.staff.ugm. ac.id/artikel/Capital-Flight-PT.pdf pada tanggal 14 September 2012
13
Tim Graewert. Conflicting Laws And Jurisdictions In The dispute settlement process of Regional
trade agreements and the WTO. Diunduh dari
Pilihan hukum sebagaimana disampaikan Tim Graewert di atas tidak diterapkan di
dalam rejim WTO/ GATS. Konsep yang justru dipakai adalah unifikasi dan harmonisasi
hukum dimana secara keseluruhan isi perjanjian tersebut menjadi bagian dari sistem
hukum nasional negara-negara anggota WTO, dan implementasinya akan diatur melalui
peraturan nasional masing-masing (domestic regulation). Hal ini berarti bahwa konsep
pendidikan sebagai komoditas mengikat Indonesia yang implementasinya akan diatur
selanjutnya melalui aturan perundang-undangan nasional.
Solly Lubis mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia yang tinggi pada
negara-negara maju membuat Indonesia harus pragmatis. Dengan perkataan lain bahwa
Indonesia tidak bisa mengisolasi diri dari kecenderungan yang terjadi di dunia karena
alasan tidak sesuai dengan konstitusi.
Indonesia tidak dapat mengelakkan diri dari lilitan gurita neo liberalisme itu karena bagaimanapun muluk dan idealnya nilai-nilai yang paradigmatik dalam Pancasila dan UUD kita, namun karena faktor ketergantungan (dependancy) kita kepada negara – negara lain amat kuat, maka tidak mungkin strategi politik dapat kita lakukan secara mendasar (grounded) sesuai dengan nilai nilai ideologis kita, sehingga dalam beberapa hal kita terpaksa memilih jalan pragmatis, untuk memenuhi kepentingan kita yang mendesak.14
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan rangkaian pemaparan di atas, maka masalah yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan pendidikan tinggi sebagai subsistem dari Sistem
Pendidikan Nasional di Indonesia ?
14
2. Bagaimana eksistensi pendidikan tinggi asing dalam perundang-undangan di
bidang pendidikan di Indonesia ?
3. Bagaimana dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di Indonesia ?
C.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tentang pengaturan pendidikan tinggi sebagai sub Sistem
dari Sistem pendidikan nasional.
2. Untuk mengetahui eksistensi pendidikan tinggi asing dalam aturan
perundang-undangan di Indonesia.
3. Untuk mengetahui dampak GATS terhadap pengaturan pendidikan tinggi di
Indonesia
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran untuk kajian selanjutnya dalam menempatkan pendidikan tinggi Indonesia
dari pespektif layanan publik dan komoditas menurut aturan perundang-undangan yang
berlaku.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan oleh Pemerintah Pusat dan
Daerah dalam membuat kebijakan dan aturan hukum di bidang pendidikan tinggi, dan
oleh DPR atau DPRD dalam merumuskan undang-undang atau peraturan daerah dalam
bidang pendidikan tinggi . Hasil penelitian ini juga akan dapat dimanfaatkan oleh para
dalam penyelenggaraan dan pengelolaan perguruan tinggi secara umum, dan dalam
menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan tinggi dengan pihak asing secara khusus.
E. Keaslian Penelitian
Sesuai dengan hasil penelusuran yang dilakukan Penulis di Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, dan melalui Internet, tidak ditemukan penelitian dengan
judul atau kajian yang sama. Namun demikian, ditemukan beberapa penelitian yang
membahas tentang pendidikan tinggi dalam hubungannya dengan WTO/ GATS:
1. Que Anh Dang, mahasiswa magister bisnis di Copenhagen Business School,
dengan judul tesis Internationalisation of Higher Education in China and
Vietnam: From Importers of Education to Partners In Cooperation. Penelitian ini membahas tentang :
a. Alasan China dan Vietnam melaksanakan internasionalisasi pendidikan
tinggi,
b. Perbedaan strategi yang dilaksanakan China dan Vietnam dalam
internasionalisasi pendidikan tinggi
c. Cakupan dampak WTO/GATS terhadap pelaksanaan dan kebijakan cross
border education di China dan Vietnam.
2. Aleš Vlk, mahasiswa doktoral di Universiteit Twente, dengan judul desertasi
Higher Education And GATS. Regulatory Consequences and Stakeholders’
Responses.” Penelitian ini membahas tentang :
b. Posisi dan pengaruh para pemangku kepentingan dalam negosiasi GATS
pada bidang pendidikan tinggi
c. Faktor-faktor yang relevan memberi dampak pada kapasitas negara dalam
bidang pendidikan tinggi
3. Nasir Karim, mahasiswa doktoral jurusan Manajemen pada Qurtuba University
of Science & Information Technology, Korea Selatan dengan judul thesis
Managing Higher Education In Pakistan Under GATS Environment. Penelitian ini membahas tentang bagaimana pengelolaan pendidikan tinggi di Pakistan
dalam kerangka GATS.
4. Cibele Cessa, mahasiswa Magister Universiteit Van Amsterdam, dengan judul
tesis Internationalisation of Higher Education in Brazil: The debate on GATS
and Other International Cooperation Initiatives” Tesis ini membahas tentang : a. Pihak-pihak yang terlibat dalam Sistem pendidikan tinggi Brazil dalam
internasionalisasi pendidikan tinggi khususnya dalam komitmen yang
diberikan di dalam GATS.
b. Alasan-alasan dan kepentingan yang mendorong Brazil lebih memilih kerja
sama Internasional daripada GATS
c. Alasan para pihak Non Government tidak setuju dengan kerjasama
internasional pendidikan tinggi.
Ditinjau dari bidang ilmu dan objek kajian yang dibahas pada penelitian-penelitian
di atas tidak terdapat kesamaan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
dicantumkan sumber dan nama penulisnya sebagaimana mestinya. Dengan demikian,
keaslian penelitian dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka teori
Solly Lubis mengatakan bahwa landasan teori merupakan kerangka pemikiran,
butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan sebagai pegagangan teoritis dalam membuat kerangka berpikir dalam
penulisan.15
Teori-teori yang digunakan sebagai kerangka berpikir dalam menjawab
permasalahan dalam penelitian ini adalah teori Sistem Hukum dan teori Monisme.
Teori Sistem hukum merupakan teori yang membahas tentang bekerjanya
komponen-komponen hukum secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum, sementara teori
monisme membahas tentang hubungan hukum nasional dan hukum internasional.
a. Teori Sistem Hukum
Sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang berarti suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole compound of several parts). Sistem
merupakan suatu kebulatan yang memiliki unsur-unsur dan peran yang saling berkaitan
dan saling mempengaruhi.16 Masing-masing unsur harus dilihat dalam kaitannya
dengan unsur-unsur lain sehingga keseluruhannya seperti mozaik atau legpuzzle17
15
M.Solly Lubis. Filsafat Ilmu dan Penelitian. (Bandung: Mandar Madju, 1994) hal.80
.
16
Soewandi, Diktat Pengantar Ilmu Hukum, (Salatiga: FH UKSW, 2005) hal. 65
17
Sistem hukum berfungsi untuk menjaga atau mengusahakan keseimbangan tatanan
dalam masyarakat (restitutio in integrum)18
Friedman menjelaskan bahwa sistem hukum adalah satu kesatuan hukum yang
tersusun dari tiga unsur, yaitu substansi hukum (legal substance) , struktur hukum (legal
structure) dan budaya hukum (legal culture).
Substansi hukum merupakan materi, norma atau aturan hukum yang menjadi
panduan dan tolak ukur dalam berperilaku yang wujudnya dalam bentuk
perundang-undangan atau aturan hukum. “ The substance is composed of substantive rules and
rules about how instututions should behave.”19
Struktur hukum adalah organisasi atau insitusi yang merupakan rangka dari Sistem
hukum tersebut. The structure of the system is it’s skeletal framework; it is the
permanent shape, the institutional body of the system.
Beberapa substansi hukum yang berkenaan dengan pendidikan tinggi di Indonesia yang masih berlaku diantaranya adalah
UU No. No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi, PP No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17
tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
20
18
Ibid, hal 31
Struktur hukum berfungsi
sebagai pelaksana dari substansi hukum, dalam bidang pendidikan diantaranya adalah
Depdikbud, , BP-PTS, BAN PT, Kopertis, termasuk perguruan tinggi itu sendiri.
19
Lawrence M. Friedman. The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russell Sage Foundation, 1975) Hal. 11-16
Mengenai substansi hukum, L.A Hart menjelaskan bahwa Sistem hukum terdiri dari “primary rules” dan “secondary rules”. Primary rules adalah norma prilaku dan secondary rules merupakan norma yang mengatur norma-norma tersebut.( H.L.A Hart. The concept of law, 1961. Hal 91-92)
20
Budaya hukum adalah nilai-nilai, sikap, prilaku, atau cara pandang masyarakat
terhadap hukum. “ Legal culrure is the element of sosial attitude and value. Legal
Structure refers to those parts of general culture – custom, opinions, ways of doing and thinking-that bend sosial forces toward or away from the law and in particular ways”21 Budaya hukum sebagai kekuatan sosial berperan penting dalam menentukan efektifitas
substansi hukum. “ What gives life and reality to the legal system is the outside, sosial
world. The legal system is not insulated or isolated; it depends absolutely on inputs from outside”22
Abduh Manan mengatakan tingkat kesadaran hukum tercermin dari kepatuhan dan
ketaatan masyarakat terhadap hukum tersebut.
23
Paul Scholten bahkan mengatakan
kesadaran hukum adalah dasar sahnya hukum positif (hukum tertulis) karena tidak ada
hukum yang mengikat masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukum, karenanya
kesadaran hukum adalah sumber dari semua hukum.24
Substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum ini sebagai satu sistem merupakan satu kesatuan yang bekerja secara sistematis dalam mencapai tujuan hukum
tersebut. “A legal system in actual operation is a complex organism in which structure,
substance, and culture interact.”
25
Sebagai contoh bagaimana ketiga unsur hukum tersebut berinteraksi satu sama lain
dapat dilihat dari contoh berikut. Pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu
Abdul Manan,. Aspek-aspek Pengubah Hukum. (Jakarta: Kencana. 2009 ) . hal.19-20
24
Kesadaran Hukum. diakses dari hukum/ pada tanggal 30 Maret 2012
25
pendidikan, telah mensyaratkan guru harus minimal berijajah sarjana (S1) 26. Melalui
ketentuan ini Pemerintah mengharapkan guru-guru yang belum berpendidikan sarjana
untuk dapat melanujutkan kuliah mereka ke jenjang Sarjana. Kenyataanya ada
oknum-oknum guru yang justru memperoleh ijajah Sarjana dengan cara-cara yang tidak
semestinya, misalnya membeli ijajah. 27 Praktik yang demikian juga terjadi pada profesi
lainnya, bahkan ada aknum-oknum yang berani menggunakan ijazah palsu untuk
mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI.28 Hal tersebut merupakan prilaku atau
budaya hukum yang konradiktif dengan tujuan dibuatnya UU No. 14 Tahun 2005
tersebut. Praktik tersebut semakin langgeng karena tidak berfungsinya Legal structure dalam melakukan pengawasan.29
Dari contoh di atas, UU No. 14 Tahun 2005 tersebut merupakan legal substance, sementara prilaku guru yang memperoleh ijajah Strata Satu dengan cara yang tidak
sesuai dengan aturan perundang-undangan merupakan legal culture. Sementara
perguruan tinggi yang mengeluarkan ijajah tersebut atau lembaga yang gagal mengawasi
26
Pasal 8 dan 9 UU Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen
27
Seorang guru berijazah palsu lulus uji kompetensi. Diakses dari http://www.antaranews. com/berita/315404/seorang-guru-berijazah-palsu-lulus-uji-kompetensi pada tanggal 17 Januai 2013.
Fenomena jual beli gelar selain tak bisa dilepaskan dari adanya permintaan pasar tenaga kerja yang berlabel legal formal, juga berkolaborasi dengan konsumerisme yang mengedepankan budaya instan. Gelar akademik pun dianggap sebagai komoditas yang bisa dikonsumsi dalam arti dibeli untuk dipajang dan dikoleksi. Mereka yang gemar mengoleksi berbagai gelar akademik seperti Dr/PhD, MA, MBA, MSc dan Profesor, mulai dari pengusaha, anggota DPR(D), bupati, gubernur, pejabat militer, polisi hingga pendeta. (Baca: “Jual Beli Gelar Akademik” dapat diakses dari read/?id=21328)
28
Anggota DPR Ketahuan Pakai Ijazah Palsu. Diakses dari Juli 2012.
29
peguruan tinggi tersebut merupakan legal structure. Kegagalan salah satu dari unsur sistem hukum ini bekerja akan berakibat pada tidak tercapainya tujuan hukun
(pendidikan) itu sendiri.
Hukum selalu berada pada status “law in the making”, tidak bersifat final. Hukum harus selalu peka terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, baik lokal,
nasional, maupun global. Namun tujuan perubahan hukum tersebut harus dipastikan
untuk melindungi rakyat.30
GATS merupakan legal substance yang akan mengubah legal culture kita, atau
legal culture masyarakat internasional yang telah merubah legal substance kita. Pemerintah sebagai legal structure yang memiliki otoritas yang paling dominan harus mampu memastikan bahwa ketiga unsur tersebut tertata rapi untuk menciptakan
sinergitas dalam mencapai tujuannya, dalam hal ini tujuan pendidikan nasional.
Oleh karena itu membuat atau menghilangkan substansi
hukum akan selalu terjadi sebagai respon atas perubahan jaman.
b. Teori Monisme
Dalam perkembangan teori-teori hukum, ada dua aliran besar mengenai hubungan
antara hukum nasional dengan hukum internasional; Monisme dan Dualisme.31
30
Satjipto Rahardjo; Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia . (Jogyakarta:Genta Publishing.2009). hal 18
Menurut
teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua Sistem hukum
yang berbeda. Dilihat dari sumber hukum, maka hukum internasional bersumber dari
kehendak negara-negara, sedangkan sumber hukum nasional bersumber dari kehendak
negara. Agar hukum internasional berdampak pada hukum nasional terlebih dahulu
31
harus diadopsi sesuai dengan sistm yang berlaku di negara tersebut sehingga ketika
diaplikasikan tetapi menjadi hukum nasional. 32
Menurut teori Monisme bahwa hukum nasional dan internasional merupakan satu
kesatuan yang terdiri dari aturan-aturan yang mengikat baik kepada negara, individu,
maupun subjek selain negara sehingga akan memunculkan adanya hirarki diantara
keduanya. Hukum nasional dan internasional yang diterima oleh negara melalui traktat
menentukan apakah satu perbuatan hukum tertentu legal atau tidak. Segera pemerintah
menandatangani atau meratifikasi satu perjanjian internasional, maka pada saat itu juga
hukum internasional telah menjadi bagian dari Sistem hukum nasional yang tidak
memerlukan interpretasi, modifikasi, atau penyesuaian sehingga dapat langsung di
aplikasikan atau digunakan oleh masyarakat dan penegak hukum. S. K. Verma
mengatakan bahwa menurut teori Monisme hukum internasional dan hukum nasional
merupakan hukum yang berasal dari sumber sama, yaitu hukum alam dan sama-sama
mengikat negara dan individu
33
Pertanyaan yang muncul dari teori Monisme ini adalah jika terjadi konflik antara
hukum nasional dan hukum internasional, kepentingan hukum mana yang dimenangkan.
Pertanyaan tersebut kemudian melahirkan dua pendapat yang disebut dengan Primat
Hukum Nasional dan Primat Hukum internasional.
34
32
Boleslaw Adam Boczek .International Law: A Dictionary. (Marland.Scarecrow Press.Inc.2007) Hal. 6
33
S. K. Verma . An Introduction To Publik International Law.(PHI.2004). Hal 48
34
Menurut paham Hukum Primat Internasional bahwa hukum nasional bersumber dari
hukum internasional maka jika terjadi konflik diantara kedua hukum tersebut hukum
internasional harus menang dan tidak dapat dibatasi oleh aturan-aturan yang terdapat di
dalam hukum nasional. 35
Berangkat dari teori tersebut di atas, maka tindakan Pemerintah Indonesia yang
meratifikasi pembentukaan WTO melalui UU No.7 tahun 1994 berakibat pada
masuknya segala perjanjian yang terdapat di dalam WTO dalam hal ini GATS tersebut
ke dalam sistem hukum Indonesia,.
Sedangkan menurut Hukum Primat Nasional bahwa hukum
internasional bersumber dari hukum nasional dengan alasan bahwa tidak ada satu
organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara di dunia ini. Alasan
kedua adalah bahwa yang menjadi dasar dari hukum internasional untuk mengatur
hubungan internasional merupakan wewenang negara-negara untuk mengadakan
perjanjian-perjanjian internasional.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan tinggi di Indonesia
merupakan layanan publik, sementara dalam WTO/GATS pendidikan tinggi merupakan
komoditas yang diliberalisasi dalam perdagangan internasional. Kedua fakta ini telah
menimbulkan permasalahan hukum, dimana terjadi konflik dalam memandang
pendidikan tinggi, yaitu sebagai layanan publik (domestic rule) dan komoditas (GATS).
2. Kerangka Konseptual
Di dalam penelitian hukum normatif maupun sosiologis atau empiris, dimungkinkan
untuk menyusun kerangka konsepsionil yang didasarkan atau diambil dari peraturan
35
perundang-undangan tertentu. Biasanya kerangka konsepsionil tersebut sekaligus
merumuskan defenisi-defenisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasionil di
dalam proses pengumpulan,analisis, dan konstruksi data. 36
a. Liberalisasi pendidikan adalah proses penghapusan atau pengurangan
hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa pendidikan secara internasional
dalam bentuk aturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan .
Untuk menghindari
kesalahan ( misinterpretation), ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini, yaitu :
b. Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah
yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan
doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
c. Perguruan tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan
tinggi.
d. Pendirian Perguruan Tinggi adalah pembentukan akademi, politeknik, sekolah
tinggi,institut, atau universitas oleh nagara atau lembaga pendidikan asing di
Indonesia.
e. General Agreement on Trade and Services (GATS) adalah perjanjian internasional dibidang perdagangan jasa yang dihasilkan oleh WTO sebagai
aturan perdagangan jasa internasional.
36
f. Modes of Supply adalah cara atau modus yang dipergunakan dalam melakukan perdagangan internasional dibidang jasa yaitu Cross border supply,
Consumption Abroad, Commercial Presence dan Presence of Natural Person. g. Eksistensi artinya “hal berada, keberadaan”37
G. Metode Penelitian
. Eksistensi pendidikantinggi
asing yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adalah keberadaan
pendidikan tinggi asing di Indonesia.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Metode yang dipakai pada penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian
yang mengacu pada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat di dalam
peraturan perundang-undangan. Menurut Ronald Dworkin bahwa penelitian normatif
disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik
sebagai law as it is written in the book maupun law as it is decided by the judge through
judicial process.38 Penelitian yang demikian dikenal sebagai penelitiam hukum normatif yang bersifat kualitatif.39
37
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.Edisi keempat (Jakarta:Gramedia Pustaka Jaya,2008)
Penelitian hukum normatif bersifat kualitatif
didasarkan pada alasan bahwa analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan
dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau
38
Ronald Dworkin, dalam Bismar Naution., Metode Penelitian Normatif dan Perbandingan Hukum. Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada MajalahAkreditasoi, Fakultas Hukum USU.TANGGAL 18 Pebruari 2003.Hal. 1
39
modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang
dikumpulkan.40
2. Sumber Data
Penelitian yuridis normatif lebih menekankan pada data sekunder atau data
kepustakaan yang sumber datanya terdiri dari bahan hukum primer yakni bahan hukum
yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan SPN, pendidikan
tinggi,dan perjanjian internasional pada perdagangan jasa, diantaranya adalah :
a. UUD 1945
b. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
c. UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
d. UU No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization)
h. PP Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
i. PP No. 66 tahun 2010 Tentang Perubahan atas PP No. 17 tahun 2010 Tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
j. Kepmendikbud No. 234/U/2000 Tentang Pedoman pendirian perguruan tinggi
k. GATS Agreement
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, terdiri atas buku-buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli,
makalah-makalah, dan media internet. 41
40
Ibid. Hal. 38
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang
41
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum. 42
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan dengan mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar, bahan
kuliah yang relevan. 43
4. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dipilah-pilah untuk mendapatkan
pasal-pasal, kaidah-kaidah yang mengatur tentang pendidikan tinggi, penyelenggaraan
pendidikan asing, serta ketentuan-ketentuan dan aturan, prinsip perdagangan jasa di
dalam GATS.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yakni
dengan memilih teeori-teori, asas-asas norma-norma, serta pasal-pasal yang terdapat di
dalam aturan perundang-undangan yang relevan, yaitu yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pendidikan tinggi baik yang diselenggarakan oleh PTN, PTS maupun
Perguruan Tinggi Asing (PTA), serta pengaturan perdagangan jasa yang diatur di dalam
GATS Agreement. Data tersebut dianalisis secara kualitatif dan dikemukakan dalam
bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data
sehingga dapat member jawaban terhadap masalah yang telah dirumuskan.
42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.Jakarta.(PT Raja Grafindo Persada.2001) Hal. 195-196.
43
BAB II
PENGATURAN PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI SUBSISTEM DARI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA
A. Sistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan Nasional (SPN) merupakan keseluruhan komponen pendidikan
yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.44
Winch mengatakan “ The aims of any system of education tells us what it is for.
Since they embody the fundamental purposes of education, they determine the character of everything else; institutions, curriculum, pedagogy and assesment “.
Di
dalam UU No.20 tahun 2003 tentang SPN tidak ditemukan penjelasan apa saja yang
dimaksud dengan komponen-komponen tersebut. Namun dari beberapa pendapat
dibawah ini dapat dipahami apa saja yang dimaksud dengan komponen-komponen
tersebut.
45
Promila Sarma mengelompokkan komponen-komponen pendidikan ke dalam tiga
bagian besar, yaitu 1) orientation yang mencakup philosofi, hukum, pembiayaan, organization yang mencakup struktur umum, pendidikan dasar, pendidikan menengah,
pendidikan tinggi, media massa, 3) Operation yang terdiri dari peserta didik, pendidik, Pendapat
tersebut mengindikasikan bahwa komponen yang dimaksud diantaranya adalah tujuan
pendidikan, lembaga pendidikan, kurikulum, pengajaran, dan penilaian.
44
Pasal 1 ayat (3) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional yang dimaksud adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
45
kurikulum, metode pengajaran, materi ajar, evaluasi dan ujian, bimbingan, supervisi,
dan administrasi. 46
Rochmat Wahab juga mengatakan “ hakekat, tujuan, prinsip-prinsip, subjek , dan
penyelenggaraan pendidikan nasional, disamping ketenagaan, kurikulum, kelembagaan,
evaluasi, dan partisipasi masyarakat merupakan hal penting diketahui dalam dalam
memahami Sistem Pendidikan Nasional.“ 47
Sesuai dengan pemaparan di atas maka komponen-komponen SPN yang dimaksud
adalah semua unsur dari SPN tersebut antara lain organisasi, kurikulum, pendidik,
peserta didik, landasan hukum, landasan philosofis, pendanaan, dan lain sebagainya
dimana keseluruhannya saling terkait dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Santosh Kumar Madugula dari Research Scholar, Law Faculty, National University
of Singapore mengatakan bahwa:
Every country has a unique higher education scenario and have experienced different historical and contemporary developments that have lead the current governments to lay education policies that would best suit the ‘development’ or other such macro level objectives. However, there are certain similarities among countries that have put them in similar state of affairs. 48
Apa yang disampaikan Santosh di atas menunjukkan bahwa sistim pendidikan
nasional suatu negara dibentuk berdasarkan kebijakan (politik) suatu negara khususya
dalam bidang pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan negara tersebut untuk
46
Promila Sharma. Education Administration. (Darya Gan.SB.Nangia.2007) Hal. 317
47
Rochmat Wahab. Mengkritisi Sistem Pendidikan Nasional, Aktualisasi Otonomi Pendidikan dan Alokasi Anggaran Pendidikan. Diakses dari Rochmat%20Wahab,%20M.Pd.,MA.%20Dr.%20,%20Prof.%20/SISTEM%20PENDIDIKAN%20NASIO NAL%20-%20IAI%20Al-Ghazali.pdf pada tanggal 13 Agustus 2012
48
Santosh Kumar Madugula. Foreign University under WTO – GATS mechanism: Should WTO members of Pro-‘Education Services Liberalization’ allow Foreign Private Universities or Foreign
mencapai tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian, SPN suatu negara dapat
dikatakan sebagai identitas nasional negara yang bersangkutan yang menjadikannya
berbeda dari sistim pendidikan negara lain.
1. Landasan filosofis, konstitusional dan teknis operasional SPN
Landasan filosofis pendidikan adalah asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak
dalam rangka studi dan praktek pendidikan, sedangkan landasan hukum/yuridis
pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundangan yang
berlaku yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. 49
Asumsi-asumsi yang menjadi titik tolak dalam rangka pendidikan berasal dari
berbagai sumber, dapat bersumber dari agama, filsafat, ilmu, dan hukum atau yuridis.
Berdasarkan sumbernya, jenis landasan pendidikan dapat diidentifikasi dan
dikelompokkan menjadi: 1) landasan religius pendidikan, 2) landasan filosofis
pendidikan, 3) landasan ilmiah pendidikan, dan 4) landasan konstitusional pendidikan.50
Pancasila adalah dasar dan ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara
sehingga Pancasila merupakan rujukan dari setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan.
51
49
Y. Suyitno. Landasan filosofis pendidikan. Universitas pendidikan indonesia.2009 Diakses dari Dengan demikian, pengaturan pendidikan nasional Indonesia harus merujuk
pada Pancasila sebagai dasar filosofi negara dan itu berarti bahwa landasan filosofis
pendidikan nasional adalah Pancasila.
FILOSOFIS_PENDIDIKAN_DASAR.pdfY.
50
Suyitno. Ibid
51
Pancasila sebagai landasan filosofis negara mengandung arti bahwa pendidikan
nasional Indonesia mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila
tersebut. Dengan demikian, pendidikan nasional Indonesia adalah:
1. Pendidikan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Pendidikan yang berperikemanusiaan
3. Pendidikan yang mencerinkan persatuan Indonesia
4. Pendidikan yang berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam persmusyawaratan dan perwakilan (demokratis)
5. Pendidikan yang berkadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan nasional yang pancasilais di atas harus tercermin dalam setiap
komponen pendidikan nasional lainnya, seperti kurikulum, pengelolaan, pendanaan, dan
lain sebagainya yang merupakan karaktristik atau ciri khas pendidikan nasional
Indonesia dan membedakannya dari sistem pendidikan negara lain.
Pasal 3 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan bahwa “ Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar52 dalam Peraturan
Perundang-undangan”.53 Sebagai hukum dasar, maka UUD 1945 54
52
Norma dasar digunakan oleh Hans Kelsen untuk konstitusi yang merupakan norma tertinggi dalam sebuah negara. Segala norma khusus (perundang-undangan) yang diciptakan harus sesuai dengan norma dasar tersebut. Lihat : Pengantar Teori Hukum oleh Hans Kelsen terjemah Siwi Purwandari terbitan Penerbit Nusa Mediaan, Hal..97.
menjadi acuan atau
53
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011
54
rujukan dari segala aturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan (landasan
konstitusional) .
Ketentuan-ketentuan yang merupakan kerangka dasar pendidikan di Indonesia
yang tercantum di dalam UUD 1945 adalah BAB XA tentang Hak Asasi Manusia, dan
Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan. BAB XA terdiri dari 2 Pasal, yaitu Pasal
28C Ayat (1) yang menyatakan “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” dan Pasal 28E Ayat (1) yang
menyatakan “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Sedangkan Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan terdiri dari 1 Pasal, yaitu pasal
31 yang menyatakan bahwa :
Pasal 31 UUD 1945 55
1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. :
2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
55
5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Ketentuan Pasal 31 Ayat (3) diatas mengamanatkan bahwa pendidikan
diselenggarakan dalam satu SPN yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan tersebut
menjadi dasar bagi Pemerintah untuk mendesain Sistem SPN, yang saat ini telah
ditentukan di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN. Undang-undang ini kemudian
berfungsi sebagai landasan operasional penyelenggaraan pendidikan di Indonesia
dimana di dalamnya telah ditetapkan dasar, fungsi, tujuan dan prinsip penyelenggaraan
nasional sebagai berikut :
Dasar, fungsi dan tujuan
1. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.56
2. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.57
Prinsip penyenggaraan :58
1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
56
Pasal 2 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN
57
Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN
58
4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Hubungan antara Pancasila sebagai landasan philosofis, UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional, dan UU No. 20 tahun 2003 tentang SPN sebagai landasan
operasional pendidikan di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
Gbr 2. Hubungan Pancasila dan UUD 1945 dengan Pendidikan Nasional
Sumber : Diolah dari UU No.20 tahun 2003
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 mengatur pendidikan
dalam 2 konteks, yaitu pendidikan sebagai hak asasi manusia yang bersifat universal,
dan pendidikan nasional yang berkaitan dengan dengan hak dan kewajiban Pemerintah
dan warga negara yang diseleggarakan dalam SPN. Maka yang dimaksud dengan
pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang diselenggarakan dalam SPN
sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945 dan telah diatur di
dalam UU No.20 tahun 2003 tentang SPN. PANCASILA
UU No.20 thn 2003 Ttg SPN
2. Struktur Pendidikan Nasional
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional sebagaimana disebutkan di atas,
pendidikan nasional disusun ke dalam beberapa jalur, jenjang, dan jenis.59 Jalur
pendidikan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu jalur pendidikan nonformal,
informal, dan formal.60
Pendidikan nonformal berfungsi sebagai sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal bagi warga masyarakat.
61
Sesuai dengan fungsi tersebut,
maka hasil proses pendidikan nonformal bak yang diselenggarakan oleh lembaga kursus
atau dan pelatihan dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah
melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dengan mengacu pada SNP. Program paket A yang diperoleh dari
pendidikan nonformal, diakui setara dengan pendidikan dasar (SD) pada jalur formal,
Program paket B pendidikan nonformal, diakui setara dengan SMP pada jalur formal,
dan Program paket C pendidikan nonformal, diakui setara dengan pendidikan menengah
atas (SMA sederajat) pada jaur formal.62
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.63
59
Pasal 12 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang
dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam berbentuk kegiatan belajar secara
60
Pasal 15 UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
61
Pasal 26 ayat ( 1) UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan Nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang dilaksanakan dalam bentuk lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
62
Pasal 1 ayat (7) dan 8 Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2008 tentang Wajib Belajar.
63
mandiri. Sebagaimana pendidikan formal, hasil pendidikan informal juga dapat diakui
sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai
dengan standar nasional pendidikan. 64
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
65
Pendidikan
dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah dan
diselenggarakan dalam bentuk SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat, serta SMP
dan MTs, atau bentuk lain yang sederajat66
Pendidikan dasar merupakan prioritas di Indonesia karena selain sebagai hak
warga negara, juga merupakan kewajiban bagi Pemerintah untuk membiayainya .
67
, serta
kewajiban bagi orangtua untuk memberikannya kepada anaknya. 68
1. Setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar wajib mengikuti program wajib belajar.
Kewajiban ini
ditegaskan kembali melalui Pasal 12 PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar :
2. Setiap warga negara Indonesia yang memiliki anak usia wajib belajar bertanggung jawab memberikan pendidikan wajib belajar kepada anaknya.
Ketentuan yang mewajibkan Pemerintah membiayai pendidikan dasar menunjukkan
bahwa pendidikan dasar tersebut murni sebagai layanan publik dimana pendanaannya
ditanggung oleh Pemerintah. Dengan demikian, pendidikan dasar yang gratis bukan
64
Pasal 27 UU No.20 tahun 2003 tentang SPN
65
Pasal 1 ayat (11) UU No.20 tahun 2003 tentang SPN
Selain berdsarkan jenjang, Pendidikan formal juga dikelompokkan berdasarkan jenisnya, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (Pasal 15 UU No.20 tahun 2003)
merupakan kebaikan atau prestasi pemerintah daerah tetapi hanya sebagai bentuk
konsistensi pelaksanaan konstitusi; justru kalau ada lembaga pendidikan dasar yang
memungut biaya atau pemerintah daerah yang membiarkan hal tersebut terjadi
merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan harus diberi sanksi, termasuk orangtua
yang tidak memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Pendidikan menengah sebagai lanjutan pendidikan dasar terdiri dari pendidikan
menengah umum dan menengah kejuruan yang diselenggarakan dalam bentuk SMA,
MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat. UUD 1945 tidak mewajibkan
Pemerintah atau pemerintah daerah untuk membiayai pendidikan menengah ini
sebagaimana halnya dengan pendidikan dasar. Namun demikian Pemerintah berusaha
meningkatkan akses pendidikan menengah ini melalui pemberian dana BOS.69
Tidak adanya kewajiban konstitusional Pemda untuk mendanai atau memberikan
pendidikan menengah secara gratis telah mengakibatkan issu ini menjadi bahan
kampanye calon kepala daerah. Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Hamid Muhammad mengatakan bahwa hal tersebut merupakan
praktik yang tidak sehat karena membuat masyarakat tidak mandiri.70
Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan yang tertinggi setelah pendidikan
menengah yang mencakup program diploma, sarjana, magister, doktor, dan profesi,
serta spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
71
69
Menguatkan Pendidikan Menengah. Diakses dari
Berdasarkan jenisnya,
70
Kampanye Sekolah Gratis tidak Mendidik. Diakses dari
71
pendidikan tinggi dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu pendidikan akademik,
vokasi, dan profesi.
Pendidikan akademik diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang
ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara pendidikan vokasi diarahkan untuk
menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan, dan pendidikan
profesi untuk menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan
keahlian khusus. 72
Masing-masing jenjang dan jalur pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas
dikelola dan diselenggarakan oleh organ-organ atau struktur tersendiri yang merupakan
bagian dari struktur pendidikan yang tanggungjawabnya ada pada Pemerintah yang
bertanggungjawab di bidang pendidikan, dalam hal ini Kemendikbud. Walaupun
masing-masing jenjang dan jenis pendidikan tersebut di kelola dan diselenggarakan oleh
organ-oragan tersendiri, namun semuanya merupakan bagian atau subsistem dari SPN
sehingga penyelenggaraanya bermuara pada satu tujuan yaitu tujuan pendidikan
nasional.
Sama halnya dengan pendidikan menengah, UUD 1945 tidak
mewajibkan Pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi ini.
Prase “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia” menegaskan bawah penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia harus berkarakter kebudayaan Indonesia, walaupun tidak ada penjelasan atau pengertian yang lebih luas tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi yang “berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
72