ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG
MENGGUNAKAN
COLD CHAIN SYSTEM
(CCS)
DENGAN NELAYAN TRADISIONAL
DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Oleh
Teruna Tarigan
097039014/MAG
PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG
MENGGUNAKAN
COLD CHAIN SYSTEM
(CCS)
DENGAN NELAYAN TRADISIONAL
DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Magister Pertanian pada Program Studi Magister Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
Oleh
Teruna Tarigan
097039014/MAG
PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul : Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang Menggunakan Cold Chain System (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai
Nama : Teruna Tarigan
NIM : 097039014
Program Studi : Magister Agribisnis
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) (Ir. Iskandarini, MM)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji pada Selasa, 20 September 2011
Tim Penguji
Ketua : Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc _________________
Anggota : 1. Ir. Iskandarini, MM _________________
2. Dr. Ir. Rahmanta Ginting, MSi _________________
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul:
ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG
MENGGUNAKAN COLD CHAIN SYSTEM (CCS) DENGAN NELAYAN
TRADISIONAL DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun
sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan
secara benar dan jelas.
Medan, Januari 2012 yang membuat pernyataan,
Teruna Tarigan
ABSTRAK
TERUNA TARIGAN, Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang menggunakan Cold Chain Sistem (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai (dibawah bimbingan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. sebagai Ketua dan Ir. Iskandarini, MM, sebagai Anggota).
Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional, namun hal ini belum didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan hasil ikan yang memadai. Salah satu sarana dan prasarana yang dapat mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil perikanan tersebut adalah Cold Chain System (CCS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Cold Chain System (CCS), dan menganalisis perbedaan total pendapatan nelayan yang menggunakan CCS dan non CCS. Sampel dipilih dengan metode stratified random sampling dengan jumlah 60 orang. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan uji beda rata-rata independent sample t test.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biaya produksi harga jual dan pendapatan antara nelayan CCS dengan nelayan non CCS. Penerapan teknologi CCS membuat mutu ikan menjadi lebih baik sehingga harga yang diterima nelayan menjadi lebih tinggi. Dalam rangka meningkatkan mutu produk ikan serta meningkatkan pendapatan nelayan Kabupaten Serdang Bedagai maka sebaiknya pemerintah mensosialisasikan teknologi CCS serta membantu permodalan nelayan untuk melengkapi kebutuhan penggunaan CCS.
ABSTRACT
TERUNA TARIGAN, Comparative Analysis between the Income of the Fishermen Using Cold Chain System (CCS) and That of Traditional Fishermen in Serdang Bedagai District, Under the supervision of Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec and Ir. Iskandarini, MM.
Fisheries and marine sector is one of the superior sectors generating national economy, yet this has not been supported by the availability of adequate facility and infrastructure. One of the facilities and infrastructures that can solve the problem of the low quality of fishery products is Cold Chain System (CCS). The purpose of this study was to analyze the CCS implementation and the total difference of the income of the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The samples for this study were 60 fishermen selected through stratified random sampling method. The data obtained were analyzed through descriptive analysis, mean difference test and independent sample t test.
The result of this study showed that there was the difference between production cost, selling price and the income between the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The application of CCS technology made the quality of fishery products better that the price received by the fishermen became higher. To improve the quality of fishery product and to increase the income of the fishermen of Serdang Bedagai District, the government should socialize the CSS technology and provide the fishermen with capital assistance to meet the need to use the CSS.
RIWAYAT HIDUP
TERUNA TARIGAN, lahir di Medan Pada tanggal 13 November 1963 anak dari Bapak B. Tarigan dan Ibu NG. Br. Sinulingga. Penulis merupakan
anak ketiga dari tujuh bersaudara. Penulis memiliki Istri Suriani Saragi S.Pd
dan memiliki anak 4 orang yaitu Hendra Tarigan, Daniel Hermanto Tarigan, Astri
Sufanny Tarigan, dan Agi Putra Jaya Tarigan.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1970 masuk Sekolah Dasar Negeri 2 Biru-biru tamat tahun 1975.
2. Tahun 1976 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta bersubsidi
Biru-biru, tamat tahun 1979.
3. Tahun 1979 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri I Pancur Batu,
Tamat tahun 1982.
4. Tahun 1999 melanjutkan Pendidikan S1 di Universitas Medan Area (UMA)
Sumatera Utara Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (SEP), tamat tahun
2003.
5. Tahun 2009 melanjutkan Pendidikan S2 di Magister Agribisnis Universitas
KATA PENGANTAR
Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan
baik.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Ibu Ir. Iskandarini, MM. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah
membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta
Suriani Saragi S.Pd. serta anak-anak yang sangat saya sayangi yang selalu
memberikan motivasi dan dorongan untuk menyelesaikan studi dan penyelesaian
tesis ini.
Penghargaan yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bapak
Ir. H. Muhammad Ramlan, M.Sc (Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Serdang Bedagai), serta seluruh staf Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Serdang Bedagai, pegawai TPI Kecamatan Tanjung Beringin yang
telah memberikan segala informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita
semua.
Medan, Januari 2012
DAFTAR ISI
2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif ... 19
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39
4.1. Deskripsi Daerah Penelitian ... 39
4.2. Krakteristik Nelayan Sampel ... 39
4.3. Hasil Analisis dan Pembahasan ... 42
4.3.1. Penggunaan Cold Chain System (CCS) ... 42
4.3.1.1. CCS Diatas Kapal ... 43
4.3.1.2. CCS di TPI ... 47
4.3.2. Biaya Produksi ... 52
4.3.3. Pendapatan ... 59
4.3.4. Perbedaan Pendapatan CCS dan Non CCS ... 61
BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1. Kesimpulan ... 63
5.2. Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 64
LAMPIRAN ... 66
DAFTAR TABEL
No Hal
1. Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai ... 31
2. Jumlah Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai. ... 32
3. Jumlah armada Kapal Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai ... 33
4. Data Produksi Ikan di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. ... 34
5. Jumlah Armada Kapal Menurut CCS dan Non CCS/Desa di Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai ... 35
6. Karekteristik Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS ... 40
7. Jenis Biaya Variabel Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS Per Trip Melaut ... 53
8. Jenis Biaya Variabel Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS per Bulan... 55
9. Jenis Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS per Trip Melaut ... 57
10. Jenis Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS per Bulan ... 58
11. Jenis Biaya Variabel dan Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS ... 58
12. Pendapatan Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS ... 60
DAFTAR GAMBAR
No Hal
1. Jaminan Mutu Untuk Ekspor ... 12
2. Sumber Bahan Baku Ekspor ... 15
3. Proses Pembekuan Udang ... 21
4. Skema Kerangka Pemikiran ... 30
5. Kapal Nelayan 5 GT ... 44
6. Penyimpanan Ikan di Dek Kapal Nelayan 5 GT ... 45
7. Pembekuan Ikan dengan Cool Box ... 46
8. Persortiran Ikan oleh Nelayan di TPI ... 50
DAFTAR LAMPIRAN
No Hal
1.a. Karakteristik Sampel Nelayan CCS ... 66
1.b. Karakteristik Sampel Nelayan Non CCS ... 69
2. Jenis Alat-Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan ... 72
3. Jenis-Jenis Biaya Variabel/Biaya Produksi Setiap Melaut ... 73
4. Perhitungan Nilai Penyusutan Alat-Alat ... 74
5a. Biaya Variabel Nelayan CCS ... 75
5b. Biaya Variabel Nelayan Non CCS ... 78
6.a. Biaya Tetap (Alat-Alat) Nelayan CCS... 81
6.b. Biaya Tetap (Alat-Alat) Nelayan Non CCS ... 84
7.a. Biaya Penyusutan (Alat-Alat) Nelayan CCS ... 87
7.b. Biaya Penyusutan (Alat-Alat) Nelayan Non CCS ... 90
8.a. Jumlah Produksi Dan Nilai Produksi Nelayan CCS ... 93
8.b. Jumlah Produksi Dan Nilai Produksi Nelayan Non CCS ... 96
8.c. Jumlah Pendapatan Nelayan Sampel CCS per Trip Melaut ... 99
ABSTRAK
TERUNA TARIGAN, Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang menggunakan Cold Chain Sistem (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai (dibawah bimbingan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. sebagai Ketua dan Ir. Iskandarini, MM, sebagai Anggota).
Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional, namun hal ini belum didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan hasil ikan yang memadai. Salah satu sarana dan prasarana yang dapat mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil perikanan tersebut adalah Cold Chain System (CCS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Cold Chain System (CCS), dan menganalisis perbedaan total pendapatan nelayan yang menggunakan CCS dan non CCS. Sampel dipilih dengan metode stratified random sampling dengan jumlah 60 orang. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan uji beda rata-rata independent sample t test.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biaya produksi harga jual dan pendapatan antara nelayan CCS dengan nelayan non CCS. Penerapan teknologi CCS membuat mutu ikan menjadi lebih baik sehingga harga yang diterima nelayan menjadi lebih tinggi. Dalam rangka meningkatkan mutu produk ikan serta meningkatkan pendapatan nelayan Kabupaten Serdang Bedagai maka sebaiknya pemerintah mensosialisasikan teknologi CCS serta membantu permodalan nelayan untuk melengkapi kebutuhan penggunaan CCS.
ABSTRACT
TERUNA TARIGAN, Comparative Analysis between the Income of the Fishermen Using Cold Chain System (CCS) and That of Traditional Fishermen in Serdang Bedagai District, Under the supervision of Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec and Ir. Iskandarini, MM.
Fisheries and marine sector is one of the superior sectors generating national economy, yet this has not been supported by the availability of adequate facility and infrastructure. One of the facilities and infrastructures that can solve the problem of the low quality of fishery products is Cold Chain System (CCS). The purpose of this study was to analyze the CCS implementation and the total difference of the income of the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The samples for this study were 60 fishermen selected through stratified random sampling method. The data obtained were analyzed through descriptive analysis, mean difference test and independent sample t test.
The result of this study showed that there was the difference between production cost, selling price and the income between the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The application of CCS technology made the quality of fishery products better that the price received by the fishermen became higher. To improve the quality of fishery product and to increase the income of the fishermen of Serdang Bedagai District, the government should socialize the CSS technology and provide the fishermen with capital assistance to meet the need to use the CSS.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000
km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia
terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor
perikanan dan kelautan mempunyai andil sangat besar terhadap pertumbuhan
ekonomi dan devisa negara yang pada gilirannya akan mensejahterakan
masyarakat.
Demikian juga sektor perikanan dan kelautan Propinsi Sumatera Utara
yang memiliki panjang pantai 545,00 km di pantai Barat dan 375,00 km di Pantai
Timur serta 380,00 km di Pulau Nias. Demikian juga jika dilihat dari posisi
letaknya, Sumatera Utara berada pada kawasan yang sangat strategis yaitu
diantara Selat Malaka dan Samudera Hindia. Dengan keberadaan Sumatera Utara
yang diapit oleh dua laut tersebut, pembangunan sektor perikanan dan kelautan
mempunyai potensi yang cukup besar untuk digali dan dikembangkan secara
maksimal. Oleh sebab itu pemerintah Propinsi Sumatera Utara berupaya
mengembangkan potensi tersebut secara bersama-sama dengan masyarakat dan
pengusaha lokal maupun mancanegara.
Pemerintah telah menetapkan sektor perikanan dan kelautan menjadi salah
satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional. Hal ini disebabkan
karena sektor ini memiliki berbagai keunggulan yang salah satunya diantaranya
adalah potensi sumberdaya ikan yang berlimpah baik jumlah maupun
dalam menyediakan lapangan kerja atau penyerapan tenaga kerja, sumber
pendapatan bagi nelayan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi serta
sumber pendapatan daerah maupun devisa negara melalui ekspor.
Pengembangan perikanan di Sumatera Utara, tentu berkait rapat dengan
wujudnya multiplyer pendapatan nelayan yang dapat menjadi stimulan bagi
produsen ikan. Sehingga sebagai konsekwensi logisnya adalah penanganan sektor
perikanan tidak hanya tertumpu pada pra penangkapan dan penangkapan/budidaya
tetapi aspek yang juga perlu mendapat perhatian adalah penanganan pasca panen
produksi sektor perikanan.
Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di
kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi
perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi
masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu
produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah
akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing.
Ada tiga hal kegiatan pasca panen perikanan yaitu teknologi pengolahan,
pembinaan mutu (quality control) dan pemasaran. Ketiga kegiatan tersebut akan
sangat menentukan dalam kelancaran pemasaran baik dalam negeri maupun
ekspor, penyediaan jenis komoditi yang sesuai dengan biaya pengolahan yang
efisien dan memberikan jaminan mutu produk yang dipasarkan.
Pada sisi eksternal, tantangan saat ini dan waktu yang akan datang adalah
penyesuaian terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen Mutu Hasil
Perikanan agar diterima secara International. Untuk meningkatkan daya saing
komoditas perikanan dipasar global dan sekaligus meningkatkan ekspor.
Pada sisi kekuatan internal, Sumatera Utara memiliki jumlah Rumah
Tangga Perikanan (RTP) sebanyak 41.781 RTP pada tahun 2008 sebagian besar
adalah rumah tangga di Penangkapan Ikan di laut sebanyak 29.436 RTP
sedangkan sisanya adalah 12.345 RTP yang merupakan gabungan dari RTP
perikanan di sungai, danau, rawa dan waduk.
Dari jumlah RTP tersebut di atas jumlah produksi pada tahun 2008
mencapai 338.006 ton yang 326.336 ton diantaranya adalah hasil perikanan dari
penangkapan di laut. Produksi ini merupakan suatu jumlah yang cukup besar dan
masih dapat ditingkatkan khususnya untuk penangkapan ikan di Perairan Pantai
Barat Sumatera Utara. Hasil produksi tersebut merupakan kinerja dari unit
penangkapan ikan yang ada di Sumatera Utara yang terdiri dari 35.717 unit
penangkapan yaitu 27.883 unit penangkapan di laut dan 7.834 unit penangkapan
di perairan umum. Jumlah armada tersebut di atas terdiri dari perahu tanpa motor
(PTM) 11.829, perahu motor tempel 7.834 unit dan kapal motor 15.262 unit.
Dalam rangka meningkatkan nilai tambah produksi khusunya ikan hasil
tangkapan di laut maka perlu adanya pengolahan hasil. Disamping memberikan
nilai tambah maka usaha pengolahan juga akan dapat memberikan tambahan
lapangan kerja baru serta multiple efek bagi kegiatan ekonomi lainnya. Secara
Nasional berdasarkan data yang di peroleh dari Direktorat Jenderal Pengolahan
Pada tahun 2008 terdapat unit pengolahan sebanyak 18.274 unit yang
terdiri dari skala usaha kecil 17.616 unit (96.3 %) dan skala menengah dan besar
sebanyak 658 unit (3,7 %). Mengingat jumlahnya unit pengolahan skala kecil
yang cukup besar maka sangat diharapkan peranannya dalam meningkatkan
perekonomian wilayah masyarakat pesisir. Peranan tersebut dapat diukur dari
meningkatnya pendapatan per kapita dan juga peningkatan terhadap penyerapan
tenaga kerja.
Disamping perikanan tangkap, Sumatera Utara juga memiliki potensi
perikanan budidaya yang cukup besar baik budidaya air tawar di Dataran Tinggi
Bukit Barisan seperti kolam air tenang, mina padi, keramba dan keramba jaring
apung. Demikian juga potensi budidaya air payau yang terbentang sepanjang
Pantai Timur dengan komoditi utama adalah udang, kerapu, dan nila merah.
Khusus untuk budi daya laut terdapat komoditi unggulan berupa ikan kerapu,
kakap putih dan rumput laut.
Selain itu dalam rangka mendorong pemasaran produk perikanan di dalam
negeri pemerintah juga telah membangun 24 unit Pasar Ikan Higienis (PIH), 7
unit Depo Pemasaran Ikan (DPI) dan 2 unit Raiser Ikan Hias (RIH). Seluruh
sarana pemasaran ini dibangun untuk mendukung keberadaan 1.870 unit pasar
tradisional yang memasarkan produk perikanan.
Unit pengolahan hasil perikanan berskala besar dengan kegiatan
pembekuan dan pengalengan terdapat di Kawasan Industri Medan (KIM). Skala
menengah dan kecil dengan jenis pengolahan penggaraman, pengasapan,
perebusan, dan pengeringan tersebar di desa-desa pesisir baik Pantai Timur
membentuk klaster-klaster di daerah Kawasan Industri Medan, maka skala kecil
dan menengah tersebar merata sepanjang pantai di desa-desa pesisir.
Masih dominannya kapal penangkap ikan skala kecil dimana dari jumlah
unit penangkapan sebesar 28.520 unit 11.585 terdiri dari perahu tanpa motor
2.759 motor tempel dan 10.643 unit kapal motor yang lebih kecil dari 5 GT.
Kondisi ini sudah barang tentu peralatan yang dimiliki sangat terbatas khususnya
peralatan untuk penanganan ikan yang mengakibatkan hasil tangkapan mutunya
rendah karena sebagian besar nelayan tidak menerapkan sistem penangan ikan
semenjak ikan tertangap, penanganan di atas kapal, pendaratan di TPI,
penanganan di Unit Pengolahan dan industri. Namun dengan potensi dan
dukungan sarana dan prasarana yang dimiliki Sumatera Utara belum sepenuhnya
mampu menghasilkan produk, baik hasil tangkapan nelayan maupun hasil olahan
yang berkualitas baik (mutu ekspor). Hasil kajian tingkat kerusakan (losses) dari
kegiatan usaha perikanan sebesar 27,8 %, losses tertinggi terdapat pada tahap
penanganan ikan di atas kapal yaitu 17,2 %, penanganan di TPI/PPI dan distribusi
4,0 % serta losses di Unit Pengolahan Ikan (UPI) 6,6 %. Tingginya tingkat
kerusakan tersebut dikarenakan komodistas ikan yang cepat mengalami
penurunan mutu apabila tidak ditangani secara cermat.
Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa total tingkat kerusakan hasil
tangkapan ikan oleh nelayan sampai produk tersebut sampai ketangan konsumen
adalah 27,8 %. Sebahagian besar kerusakan tersebut terdapat pada penanganan di
atas kapal yaitu 17.2 %. Hal ini disebabkan terbatasnya sarana yang dimiliki di
Disamping itu ketersediaan es yang terbatas menyebabkan penanganan di atas
kapal sangat minim.
Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil
perikanan adalah dengan “Mengembangkan Sistem Rantai Dingin atau Cold
Chain System (CCS)”. Dengan diterapkannya sistem rantai dingin dalam bisnis
usaha perikanan diharapkan kesegaran ikan sejak ikan ditangkap sampai ke tangan
konsumen dapat dipertahankan, dapat mengurangi tingkat kerusakan ikan (losses),
meningkatkan nilai jual ikan, mutu hasil olahan yang lebih baik, meningkatkan
ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
nelayan dan pengolah ikan serta keluarganya.
Keterbatasan penerapan CCS tersebut dikarenakan terbatasnya
penggunaan es dalam proses produksi. Sebagai konsekwuensinya produk
tangkapan nelayan banyak yang telah mengalami penurunan mutu. Jumlah es
yang dibawa nelayan umumnya minim dikarenakan disamping keterbatasan
jumlah es harga juga tidak terjangkau. Hal ini mengandung resiko disamping
memberi kesempatan kepada nelayan untuk menggunakan bahan pengawet
lainnya juga produk berkualitas rendah.
Idealnya kebutuhan es untuk kegiatan perikanan adalah 2 kali dari total
ikan yang diproduksi, namun pada kenyataannya pabrik es yang ada hanya
mampu memberikan kontribusi sebesar 30 - 40 % dari total kebutuhan.
Terbatasnya pabrik es saat ini juga mengakibatkan harga es menjadi mahal,
sehingga berdampak pada keengganan nelayan menggunakan es dalam
terutama bila waktu penangkapan lebih dari satu hari. Beberapa faktor yang
mempengaruhi terhadap penerapan CCS ini dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Pengetahuan nelayan pada umumnya sangat rendah terutama tentang
bagaimana cara mempertahankan mutu ikan, sanitasi dan hygiene serta cara
penanganan ikan yang baik dan benar.
2. Sarana dan prasarana untuk penanganan ikan yang sangat terbatas. Hal ini
mengakibatkan banyaknya ikan yang didaratkan di TPI dan ikan yang
dilelang, dibiarkan ditebar di lantai tanpa menggunakan wadah dan es, hal ini
mengakibatkan ikan yang didaratkan tidak dapat dipertahankan mutunya.
3. Sarana transportasi masih terbatas dan tidak memenuhi persyaratan baik
teknis maupun sanitasi. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi, umumnya
sarana transportasi yang digunakan para bakul dan pengolah ikan terutama
skala kecil menengah untuk membawa ikan dari TPI/PPI ke unit pengolahan
atau pasar masih banyak yang menggunakan keranjang bambu dengan hanya
diberi sedikit es, selanjutnya diangkut mengunakan gerobak/ becak yang
terbuka.
4. Kondisi demikian mengakibatkan ikan langsung bersentuhan dengan panas
matahari, sehingga akan mempercepat proses penurunan mutu ikan.
5. Peralatan penanganan ikan sebagai bahan baku (raw material) di unit
pengolahan ikan (UPI) skala kecil dan menengah sebagian besar sangat
terbatas, baik dalam jumlah maupun kualitasnya, pada umumnya peralatan
yang digunakan kurang memenuhi persyaratan teknis, seperti peralatan:
wadah, cool box, penggunaan es, mengakibatkan produk yang dihasilkan
Di kedua wilayah perairan Sumatera Utara baik Pantai Timur maupun
Pantai Barat terdapat kelimpahan sumberdaya alam baik perikanan budidaya
maupun perikanan tangkap. Hasil perikanan tersebut sekitar 70 % di pasarkan
dalam bentuk ikan segar dan sebagian diolah dalam berbagai jenis pengolahan
hasil perikanan laut baik pengolahan dengan sistem modern maupun tradisional.
Implikasi dasar dari penggunaan CCS dalam pasca panen adalah
peningkatan pendapatan nelayan. Peningkatan pendapatan ini diperoleh dari
tingginya harga ikan segar karena terjaminnya mutu ikan yang menggunakan
sistem rantai dingin. Hal ini tentu berbeda dengan pendapatan nelayan yang tidak
menggunakan CCS . Dengan demikian perbedaan pendapatan antara nelayan yang
menggunakan CCS dengan nelayan yang tidak menggunakan CCS perlu dianalisis
secara ilmiah.
1.2. Identifikasi Permasalahan
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan penelitian
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penggunaan Cold Chain System (CCS) dilakukan oleh
nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan di Kabupaten Serdang
Bedagai?
2. Berapakah total Pendapatan penggunaan CCS dan non CCS oleh nelayan
di Kabupaten Serdang Bedagai?
3. Apakah ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara nelayan yang
menggunakan sistem CCS dengan nelayan tradisional yang non CCS di
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi permasalahan, tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimanakah penggunaan Cold Chain System (CCS)
dilakukan oleh nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan.
2. Untuk menganalisis total pendapatan penggunaan CCS dan non CCS oleh
nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Untuk menganalisis perbedaan tingkat pendapatan antara nelayan yang
menggunakan sistem CCS dengan nelayan tradisional di Kabupaten Serdang
Bedagai.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan motivasi bagi para nelayan tradisional agar menggunakan CCS
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.
2. Sebagai bahan pemerintah untuk mensosialisasikan kepada para nelayan
tradisional agar dapat menggunakan CCS di tingkat nelayan Kabupaten
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Murniati dan Sunarman (2000)
menyatakan bahwa penggunaan suhu rendah sangat dapat menghambat proses
pembusukan sebab dengan suhu rendah pertumbuhan mikroba dapat dihambat
atau bahkan dapat membunuh mikroba atau bakteri tersebut dan untuk
mempertahankan kesegaran produk perikanan selain bentuk serta susunan
kimianya tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan penggunaan suhu
tinggi. Penggunaan suhu rendah dilakukan dengan pemakaian es atau pembekuan.
Menurut Lailossa (2009), untuk mendesain sebuah sistem rantai dingin
ikan beku ada beberapa titik kritis yang perlu dicermati untuk pengembanan
penelitan selanjutnya yaitu:
− Selalu meng up date standar internasional dan regional tentang safety, quality
dan traceability yang harus di penuhi
− Teknik modeling dan strategi penerapan Risk Analysis dan HACCP pada ikan
beku
− Penerapan sistem penanganan ikan dan model teknologi refrigerasi yang tepat
sejak dari penangkapan sampai ke konsumen.
− Model cold chain management/cold chain system perlu di evaluasi setiap saat,
agar safety, quality dan traceability dari produk ikan beku tetap terjamin.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dirjen P2HP-DKP penanganan
ikan dengan suhu dingin sekitar 0 oC secara terus menerus tidak terputus sejak
dipasarkan hingga ke tangan konsumen, maka ikan hasil tangkapan atau ikan hasil
panen dapat dipastikan memiliki mutu tinggi, aman dikonsumsi serta memenuhi
kriteria produk perikanan prima. Oleh karena itu, penerapan sistem rantai dingin
secara benar diterapkan dengan baik serta memperhatikan sanitasi dan hygiene.
2.2. Landasan Teori
Pembinaan mutu dan pengolahan hasil merupakan salah satu kegiatan
penanganan pasca panen yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan
pembangunan perikanan karena dengan pembinaan mutu dapat menyelamatkan
hasil produksi para nelayan dan petani ikan dari kemerosotan mutu dan nilainya
yang sekaligus juga dapat meningkatkan pendapatan dan melindungi konsumen
dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penggunaan zat-zat additive yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan mutu hasil perikanan yang baik akan
meningkatkan kesehatan dan taraf hidup manusia serta membuat produk memiliki
daya saing yang tinggi.
Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di
kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi
perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi
masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu
produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah
akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing.
Sedikitnya ada tiga hal kegiatan pasca panen dalam perikanan yaitu
(distribusi). Ketiga kegiatan tersebut akan sangat menentukan dalam kelancaran
pemasaran baik dalam negeri maupun ekspor, penyediaan jenis komoditi yang
sesuai dengan biaya pengolahan yang efisien dan memberikan jaminan mutu
produk yang dipasarkan.
Terlebih dalam memasuki era globalisasi tantangan yang dihadapi adalah
untuk menyesuaikan terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen
Mutu Hasil Perikanan yang dapat diterima secara International. Jika tidak maka
produk suatu negara akan mendapat penolakan dari negara-negara importir.
Gambar 1. Jaminan Mutu untuk Ekspor
Negara Uni Eropa yang merupakan persekutuan dari 27 negara maju akan
sangat menentukan dalam percaturan ekspor hasil perikanan. Penolakan dari
negara tujuan ini tidak dapat dianggap hal yang sepele, karena akan diikuti juga
oleh negara-negara importir lainnya seperti Amerika dan Asia seperti Korea,
dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas perikanan dipasar
global dan sekaligus meningkatkan ekspor.
2.2.1. Susut Hasil Perikanan
Susut hasil perikanan adalah keseluruhan nilai kerugian pasca panen hasil
perikanan akibt terjadinya kerusakan fisik dan kemunduran mutu yang dapat
mengakibatkan pengaruh terhadap susut Gizi dan susut fungsional yang terjadi
mulai dari saat ikan ditangkap sampai ketangan konsumen dan tipe susut dapat
kita bedakan dari beberapa tipe.
a. Susut nutrisi/gizi (nutritional losses)
- Sulit diukur.
- Perubahan biokimiawi spesifik sebagai akibat dari pembusukan atau
pengolahan.
b. Susut fungsi/fungsional (functional losses)
- Setiap saat, mulai dari ditangkap sampai ke konsumen.
- Jarang dianggap, jarang di perhitungkan dalam pengertian sehari-hari.
- Kesalahan dalam pengolahan dan penanganan yang dapat menyebabkan
menurunnya fungsi ikan.
- Ikan untuk sosis yang kenyal menjadi kurang kenyal.
Ciri kualitas ikan yang bagus dapat kita lihat dari warna ikan masih
mengkilat, mata berwarna cerah dan menonjol, insang berwarna merah cemerlang,
bau ikan masih sangat segar khas jenis masing-masing, padat elastis bila ditekan
dengan jari, bila daging disayat akan berwarna sangat cemerlang, dinding
Dalam konteks pembinaan terhadap usaha Perikanan dan Kelautan,
implementasi Program peningkatan Ekspor Hasil Perikanan perlu
dioptimalisasikan khususnya usaha pengolahan skala kecil (KUB) dan
peningkatan mutu melalui penerapan PMMT/HACCP. Produk perikanan di pasar
dalam negeri merupakan penyedia protein hewani masyarakat selain sebagai
bahan baku industri pengolahan, kosmetik dan obat-oatan. Dengan jumlah
penduduk yang cukup besar, peluang pasar dalam negeri mempunyai prospek
yang menjanjikan. Meski demikian, ikan atau produk perikanan lainnya belum
menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.
Hal itu tecermin dalam tingkat konsumsi ikan dalam negeri yang masih rendah.
Pada 2004, tingkat konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia hanya sekitar
23,18 kg/kapita/tahun (DKP, 2005). Pada hal sesuai dengan standar gizi
masyarakat yang ditetapkan oleh organisasi makanan se dunia (FAO) stadar gizi
ikan adalah sebesar 26,5 kg/kapita/tahun.
Dalam hubungannya dengan tingkat konsumsi di atas mengingat ikan
mempunyai manfaat yang sangat besar sedangkan pasar dalam negeri belum
berkembang baik, pengembangan dan penguatan pemasaran dalam negeri perlu
dilakukan dengan dua tujuan, yaitu untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan
meningkatkan kesejahteraan melalui bisnis perikanan. Untuk mencapai dua tujuan
itu, misi penguatan dan pengembangan pasar dalam negeri ditujukkan untuk
meningkatkan konsumsi ikan perkapita, mendorong harmonisasi supply dan
demand, serta mendorong distribusi marjin secara proposional. Program
pengembangan pemasaran dalam negeri berangkat dari konsep pemasaran sebagai
Gambar 2. Sumber Bahan Baku Ekspor
Oleh karena itu, pemasaran mempunyai posisi terdepan dalam menghela
peningkatan produksi dan investasi di bidang perikanan. Peningkatanan produksi
dan investasi nantinya akan menghela pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan
lapangan kerja dengan tumbuhnya usaha penangkapan, budidaya, pengolahan, dan
industri Perikanan lainnya yang pada akhirnya mendorong peningkatan
kesejahteraan nelayan/pembudidaya/pelaku usaha perikanan lainnya.
Pada konsideran peraturan bersama menteri Pertanian dan kesehatan
(31/Kpts/Um/1/1975) disebutkan bahwa lingkup pembinaan mutu hasil perikanan
adalah: a) memanfaatkan potensi perikanan secara maksimal; b) melindungi
konsumen dari pemalsuan dan penipuan oleh produsen yang beritikad tidak baik;
c) membina produsen hasil perikanan, dan d) meningkatkan mutu ekspor hasil
perikanan.
Berdasarkan tujuan ini maka sasaran Pembinaan dan Pengolahan hasil
kapal/tambak pedagang pengumpul di tempat-tempat pengmpul atau TPI, para
pedagang pengangkut maupun pengecer, para produsen di unit-unit pengolahan
dan para petugas penguji (analis) dan pengambil contoh yang bertugas melakukan
pengujian terhadap produk akhir sebelum ekspor. Dengan demikian cakupan
pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan meliputi sejak ikan
ditangkap/dipanen, diangkut, dilelang, diolah di unit-unit pengolahan dan
didistribusikan sampai ketangan konsumen.
Ikan adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki sifat mudah
rusak. Sesuai karakteristik tersebut ditambah dengan kondisi iklim tropis di
Indonesia, hasil produksi perikanan sebagai bahan baku perlu dilakukan
tindakan-tindakan pencegahan terjadinya susut (losses) dan kemunduran mutu selama
penanganan baik di tambak untuk budidaya, di atas kapal untuk penangkapan,
ketika didaratkan di TPI, di Unit pengolahan ikan, dan saat didistribusi.
Usaha-usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah:
- Pembinaan terhadap nelayan dan petani ikan melalui pelatihan-pelatihan dan
penyuluhan,
- Penyediaan sarana air bersih dan es untuk kebutuhan nelayan dalam rangka
mengembangkan sistem rantai dingin (Cold Chain System),
- Introduksi wadah ikan (Fish Container), kotak pendingin (Cool Box) untuk
memperbaiki penanganan selama pengangkutan,
- Pembinaan terhadap pedagang pengumpul dalam penanganan hasil perikanan
meliputi pelatihan-pelatihan, sosialisasi dan magang kerja,
- Pembangunan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan dari aspek
Dari uraian tersebut di atas nyata sekali bahwa peningkatan taraf hidup
masyarakat khususnya wilayah pesisir sangat ditentukan oleh produk dan jaminan
mutu. Demikian juga dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia
diperlukan protein yang tinggi khususnya dari ikan. Produksi ikan baik dari
budidaya dan tangkap juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir
khususnya nelayan yang merupakan kelompok paling miskin di wilayah pesisir.
Dalam kaitan dengan hal tersebut aspek pembinaan mutu merupakan hal yang
tidak dapat dipungkiri. Mutu produksi yang memenuhi standar kesehatan atau
standar yang ditetapkan oleh negara importir akan menjamin kelangsungan usaha
di bidang perikanan. Dengan demikian suatu produksi yang ada jaminan mutu
akan meningkatkan taraf hidup masayarakat serta pemenuhan akan berbagai
protein hewani.
Produk hasil perikanan baik dalam bentuk segar, hidup maupun olahan
dari sumber budidaya maupun tangkap akan memiliki nilai jika dapat dipasarkan
dan memberi manfaat (keuntungan) bagi pembudidaya, nelayan muapun
pengolah. Dilihat dari segi peluang pasar maka potensi pemasaran hasil perikanan
di Indonesia memiliki prospek yang cerah mengingat beberapa hal diantaranya
adalah sebagai berikut:
- Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak merupakan peluang domestic
demand. Pada 2004, jumlah penduduk mencapai 217 juta, sedangkan pada
2005 diproyeksikan menjadi 219 juta (BPS, 2005). Selain itu, tingkat
konsumsi ikan perkapita masyarakat masih rendah, sementara kesadaran
masyarakat terhadap manfaat konsumsi ikan bagi kesehatan sudah mulai
- Potensi suplai perikanan dari jumlah atau ragam jenisnya yang cukup banyak
dapat dimanfaatkan melalui pengembangan industri penangkapan atau
budidaya. Dari seluruh potensi sumberdaya ikan, pemanfaatan melalui
penangkapan pada tahun 2004 mencapai 4,7 juta ton atau 91,8 % dari jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB = 5,12 ton/tahun).
- Beberapa komuditas perikanan yang merupakan edible products memiliki
prospek pasar yang cukup baik dengan semakin meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap manfaat mengkonsumsi ikan karena kandungan protein
dan lemak tak jenuhnya yang baik bagi kesehatan. Sama halnya pada
non-edible products (seperti ikan hias, mutiara, produk biota laut untuk industri
perhiasan, kosmetika, farmasi dan sebagainya) yang sudah memperoleh
tempat di masyarakat.
- Fungsi ikan sebagai sumber protein alternatif menjadi meningkat dengan
munculnya kasus terkait penyakit, seperti sapi gila dan penyakit mulut dan
kuku (PMK) pada sapi, anthrax pada kambing dan burung onta, flu burung
pada unggas (ayam dan bebek). Hal ini mendorong konsumen mencari
alternatif pengganti sumber protein hewani sehingga peluang pasar hasil
perikanan di dalam negeri semakin meningkat.
- Semakin berkembangnya usaha pasar ritel (hypermarke, supermarket,
convenience stores) serta usaha perhotelan, restoran dan catering yang
menyediakan penjualan produk perikanan dan/atau menu khusus perikanan
sehingga membantu promosi produk perikanan dan mendorong peningkatan
Dalam rangka pemanfaatan potensi dan kendala menjadi peluang sebagai
penguatan dan pengembangan pemasaran dalam negeri, diperlukan penyusunan
program yang dilakukan secara strategi, terintegrasi, dan operasional.
2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif
Pengondisian iklim yang kondusif bagi usaha perikanan diperlukan untuk
mendorong keberlangsungan usaha dan kontinyuitas pasokan dengan harga yang
terjangkau konsumen. Upaya untuk mendorong iklim usaha yang kondusif dapat
dilakukan, antara lain melalui penyederhanaan prosedur dalam perizinan usaha di
bidang pemasaran perikanan, peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan,
penyediaan fasilitas bagi pelaku usaha dalam akses permodalan, dan pelibatan
pelaku usaha dalam pembahasan kebijakan terkait pengembangan pemasaran
dalam negeri.
2.2.3. Konsep Cold Chain System (CCS)
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa ikan dikenal sebagai
bahan pangan yang sangat mudah rusak jika dibandingkan dengan produk hewani
lainnya. Ketika ikan mati, metabolismenya menjadi tidak terkendali. Enzim di
dalam perut yang semula berfungsi mencerna makanan mulai menyerang bagian
tubuh ikan, terutama berawal dari dinding perut. Proses itu disebut otolisis dan
akan mengakibatkan daging mulai menurun kesegarannya dan dapat
menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang dimanfaatkan mikroorganisme,
Demikian juga pada ikan yang sehat sekali pun banyak terkandung
mikroorganisme, terutama di kulit permukaan (lendir), insang, dan sebagian di
perut. Pada saat ikan mati, sistem pertahanan tubuh menjadi tidak bekerja
sehingga mikroorganisme yang semula tidak berbahaya mulai menyerang tubuh
ikan. Terlebih lagi ketika otolisis telah mencapai tahap lanjut, pertumbuhan
mikroorganisme akan semakin cepat dan menghasilkan senyawa yang membuat
ikan menjadi busuk (menjadi lembek atau berair, berbau amis, dan berbau busuk).
Jika ada bakteri penyebab penyalit, daging ikan dapat menjadi penyebab penyakit
bagi manusia yang mengonsumsinya akibat bakterinya (infeksi) atau racun yang
dihasilkannya (intoksikasi).
Jika tidak ditangani dengan benar dan cepat Ikan akan terus menurun
kesegarannya sejak mati dan akan mengarahkan pada kebusukan. Oleh karena itu,
sebenarnya penurunan kesegaran atau kebusukan tidak dapat dihentikan total,
kecuali memperlambat penurunan kesegaran sehingga kebusukan dapat ditunda.
Reaksi ensimatis atau aktivitas mikroorganisme itu sangat dipengaruhi
suhu. Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi suhu, semakin cepat laju reaksi
enzimatis dan aktivitas mikroorganisme. Berdasrkan hasil penelitian para ahli
diketahui pula, setiap kenaikan suhu sebesar 5ºC, laju pembusukan akan
meningkat sebesar dua kali. Sebaliknya apabila terjadi penurunan suhu 5ºC maka
laju penurunan mutu menurun juga dua kali lipat. Oleh karena itu, satu-satunya
cara untuk memprtahankan kesegaran ikan adalah dengan menekan laju reaksi
enzimatis dan aktivitas mikroorganisme, yaitu dengan menurunkan suhu serendah
Gambar 3. Proses Pembekuan Udang
Untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sama sekali, ikan dapat
pula dibekukan dan disimpan pada suhu sampai dengan -45ºC. Pada suhu itu,
reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme praktis berhenti, bahkan hampir
semua mikroorganisme mati. Dengan demikian, daya simpannya akan lebih
panjang lagi, tetapi beberapa sifat dagingnya akan terpengaruhi. Kegiatan proses
penangan ini lazim disebut dengan pembekuan.
Di dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan
sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, sebaik apa pun proses pengolahannya
tidak akan menghasilkan produk yang baik sehingga nilai tambah yang diperoleh
pun tidak optimal. Di samping itu, kesegaran ika pun sangat berpengaruh terhadap
keamanan konsumsinya. Salah satu contoh yang sering digunakan untuk
menggambarkan hubungan antara kesegaran ikan dan keamanan konsumsi adalah
keracunan karena mengkonsumsi ikan jenis scombroid (tuna, tongkol, kembung,
Teknologi yang sudah banyak diterapkan untuk mendinginkan ikan adalah
pembekuan dengan es (icing), yaitu mencampur ikan dan es dengan proporsi 1: 2.
Untuk perikanan tangkap, cara itu harus dilakukan sejak ditangkap dan
dimasukkan ke kapal. Artinya, es mutlak harus dibawa saat nelayan berangkat
melaut. Kapal besar dan modern biasanya punya unit pendinginan (bahkan unit
pembekuan) sehingga tidak harus membawa es dari darat.
Agar sistem rantai dingin dapat berjalan dengan baik, sarana untuk
mempertahankan suhu ikan agar tetap di bawah 4ºC mutlak adanya. Sarana itu
meliputi palka berinsulasi, kotak pendingin (cool box), pemecah es, sarana
distribusi berpendingin, sarana pengeceran, dan sebagianya. Kebutuhan itu sulit
dihitung secara detil, tetapi pasti memerlukan investasi yang tidak sedikit.
Susut hasil dalam penanganan ikan tidak selalu akibat tidak tersedianya es,
tetapi akibat lain yang kadang tidak bersifak teknis. Berdasarkan defenisi sistem
rantai dingin sebelumnya, penyediaan sarana dan prasarana pendinginan tidak
serta merta menjamin berjalannya sistem. Ada prasyarat lain yang harus dipenuhi,
yaitu adanya prosedur baku yang harus ditaati berupa Praktek Penanganan Ikan
yang Baik (GHP, Good Handling Practices). Beberapa prinsip utama GHP, antara
lain cepat, cermat dan bersih.
Hal ini sesuai dengan konsep CCS yang disarankan oleh pemerintah
dimana jenis sarana dan prasarana CCS yang sebaiknya tersedia di setiap tahap
penanganan ikan antara lain:
1. Di atas kapal: cool box (kapal 5-10 GT), palkanisasi (kapal 10-20 GT),
2. Di Tambak/Kolam Ikan: tempat/ruang penanganan ikan (handling space),
trays/ keranjang, cool box, air bersih, ice storage, ice crusher dan sarana
sanitasi dan higiene.
3. Di TPI/PPI: trays/keranjang, kereta dorong, pabrik es skala kecil (mini ice
plant), ice crusher, ice storage, kereta dorong, air bersih, sarana sanitasi dan
hygiene, cool box dan cold storage.
4. Di UPI SKM: freezer, cold storage, cool room, ice crusher, ice storage,
trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene
5. Distribusi dan Transportasi CCS: truk berrefrigerasi (refrigerated truck),
Truk berinsulasi (insulated truck), mobil angkut pick up, sepeda motor
dilengkapi box berinsulasi, becak dilengkapi box berinsulasi, cool box,
trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene.
6. Di Pasar Hygienis dan Tradisional: showcase, cool box, trays/keranjang, ice
tube/ice flake, air bersih serta sarana sanitasi dan hygiene.
Selain itu, faktor ketidakpastian mengakibatkan tidak semua nelayan
membawa es dalam jumlah besar karena, selain memakan tempat di palka, hal itu
perlu biaya tinggi. Praktek yang sering dilakukan adalah mengawetkan ikan hasil
tangkapan awal dengan garam dan hanya menggunakan es untuk tangkapan akhir
menjelang pendaratan. Penanganan seperti itu membuat ikan tangkapan awal
keadaan fisiknya sudah tidak bagus karena tergencet tangkapan berikutnya dan
pada akhirnya harus dilelang sebagai bahan baku ikan asin dengan harga yang
tidak tinggi.
Penggunaan es untuk mengawetkan tangkapan akhir menunjukkan,
pada saat lelang akan mendapatkan harga tinggi. Beberapa nelayan demersal
dengan hasil tangkapan ikan kakap ternyata melakukan pembekuan dengan es
terhadap hasil tangkapannya dengan benar karena mereka mengetahui ikan kakap
tangkapan mereka akan dihargai sangat tinggi dalam keadaan segar.
Di pelelangan, GHP belum diterapkan dengan benar meskipun sarana dan
prasaranannya telah dilengkapi. Itu kembali menunjukkan betapa sikap atau
attitude pelaku perikanan kita, termasuk pengelola pelelangan, belum tepat dalam
menangani ikan hasil tangkapannya.
Kedua contoh itu memperlihatkan berapa ketersediaan es saja tidak cukup
untuk mempertahankan kesegaran ikan yang didaratkan. Ada faktor lain yang
harus dicermati, yaitu kedisiplinan para pelaku dalam menerapkan GHP yang
ternyata masih sangat kurang walaupun sejumlah Petunjuk Teknis atau Praturan
Menteri terkait dengan itu sudah banyak diterbitkan dan disosialisasikan. Selain
itu, pngakan aturan masih merupakan salah satu titik lemah. Itu menjadi tantangan
bagi pemerintah atau para pemangku kepentingan untuk mengatasinya. Hasil
investigasi tim Uni Eropa berdasarkan pada dua kali peninjauan lapangan (April
2004 dan September 2005) untuk mendukung kenyataan itu. Salah satu temuan
mereka adalah tidak bagusnya praktem penanganan ikan selama di atas kapal, saat
pelelangan, atau di unit pengolahan, serta kurangnya kendali aparat. Tidak heran
jika kemudian Uni Eropa melalui CD (Council Directive) No. 236 tahun 2006
baru-baru ini memberlakukan Systematic Border Control terhadap produk
perikanan Indonesia. Salah satunya terhadap kandungan histamin sebagai
Melihat kenyataan di lapangan dan pemberlakuan Systematic Border
Control, harus segera diambil langkah untuk memperbaiki penerapan sistem rantai
dingin di lapangan. Langkah yang harus diambil merupakan komitmen bersama
dan serentak (cencerted efforts) antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk
kelompok nelayan dan asosiasi. Oleh karena tingginya investasi yang dibutuhkan
untuk penerapan sistem rantai dingin, pemerintah dan dunia usaha harus
bahu-membahu mengadakannya. Aturan yang telah dibuat harus segera dikuatkan
penerapannya di lapangan. Selain itu, fasilitas dari pemerintah seperti pelatihan,
sosialisasi petunjuk teknis, dan sejenisnya harus sesering mungkin dilaksanakan.
Penyediaan es murah merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil
pemerintah untuk merangsang penggunaan es lebih baik lagi.
2.2.4. Proses Cold Chain Sistem (CCS)
Proses perlakuan CCS yang baik diatas kapal nelayan adalah:
- Setelah semua bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan telah dipersiapkan
dan dibawa sesuai dengan kebutuhan seperti: Cool Box, Keranjang, Ember,
Air Tawar, Es Curah serta alat-alat pendukung lainnya.
- Setelah ikan tertangkap maka ikan dibersihkan dengan air tawar lalu disortir
sesuai dengan jenis dan ukurannya.
- Selanjutnya ikan dimasukkan kedalam Cool Box dengan susunan lapisan
bawah es curah lalu lapisan ikan lalu lapisan es demikian seterusnya. Dalam
proses ini diusahakan jumlah es jangan sampai kurang, sebaiknya 2: 1
sehingga suhu dalam Coll Box bisa dipertahankan dan tidak berubah sampai
Selanjutnya perlakuan CCS diteruskan oleh pedagang/pengumpul untuk
dikirim ke pabrik/konsumen.
2.2.5. Fungsi Produksi dan Pendapatan
Menurut Mubyarto (1989), fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang
menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dan faktor-faktor
produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi dituliskan
sebagai berikut:
Y = f (X1,X2,...,Xn)
dimana:
Y = Hasil produksi fisik
X1,X2,...,Xn = Faktor produksi
Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikalikan harga.
Pendapatan bersih adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam satu
kali periode produksi. Secara grafik pendapatan maksimum oleh suatu usaha dapat
ditunjukkan dengan grafik yang menggambarkan biaya total dan hasil penjualan
(penerimaan) (Samuelson, 2001).
Dalam usaha prikanan, nelayan akan memperoleh penerimaan dan
pendapatan, penerimaan nelayan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh
dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:
TRi = Yi . Pyi dimana:
Tri = Total Penerimaan nelayan
Yi = Produksi
Pendapatan nelayan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya
Pd = TR – TC dimana:
Pd = Pendapatan
TR = Total Penerimaan
TC = Total Biaya
Biaya usaha perikanan biasanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu biaya
tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap biasanya didefinisikan sebagai biaya yang
relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh
banyak atau sedikit, contoh: pajak. Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel
biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhui oleh
produksi yang diperoleh, contoh: biaya untuk sarana produksi. Menurut Suratiyah
(2006), cara menghitung biaya tetap adalah:
FC = ∑��=��� . ��� dimana:
FC = Biaya Tetap
∑ Xi = Jumlah Fisik dari input yang membentuk biaya tetap
Pxi = Harga input
Xi = Macam input
Total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC)
TC = FC+ VC
Menurut Sudrajat (2008) Untuk analisis kelayakan usaha, perhitungan
biaya yang sering dilakukan yaitu cost ratio (R/C). Revenue cost ratio lebih besar
untuk memeperoleh benefit itu. Bukan hanya sekedar benefit lebih besar dari
biaya, tetapi B/C ratio lebih besar dari satu sedemikian rupa sehingga benefit
dapat menutupi selain dari biaya, juga dapat mengembalikan (repayment)
investasi. Bukan hanya sekedar dapat menutupi biaya dan pengembalian investasi,
tetapi benefit juga harus dapat memberikan keuntungan (profit) bagi perusahaan
(Radiks, 1997).
Benefit merupakan manfaat atau faedah yang diperoleh atau dihasilkan
dari suatu kegiatan yang produktif. Misalnya pembangunan atau rehabilitasi atau
perluasan sehingga diperoleh hasil yang lebih besar. Benefit yang diperoleh
mungkin sama tiap-tiap periode dan mungkin berbeda. Maka dalam disiplin
penelitian dan penilaian proyek. Benefit diberlakukan sebagai benefit tetap (fixed
benefit) maupun benefit variabel (variabel benefit) (Radiks, 1997).
2.3. Kerangka Pemikiran
Penggunaan CCS dalam usaha di bidang perikanan merupakan usaha
untuk menjamin mutu produk perikanan, agar tetap bermutu dan memiliki nilai
jual yang tinggi. Hal ini penting mengingat permintaan produk perikanan yang
memiliki mutu dari tahun ke tahun terus meningkat.
Namun demikian tidak semua nelayan melakukan penjagaan mutu produk
dengan menggunakan CCS. Hal ini disebabkan implementasi CCS memerlukan
tambahan biaya untuk melengkapkan sarana dan prasarana CCS sesuai dengan
kaedahnya. Sehingga diperlukan perbandingan antara Return-Cost (R/C).
Perbandingan antara penerimaan dan pengeluaran atau biaya (R/C)
penggunaan CCS dengan nelayan tradisional dianggap dapat memberikan
ratio > 1 maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan dan layak untuk
diusahakan atau dikembangkan. Namun jika R/C ratio < 1 maka usaha tersebut
mengalami kerugian atau tidak layak untuk diusahakan atau dikembangkan.
Dengan diketahuinya biaya( pengeluaran) yang terdiri dari biaya tetap
(fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost) pada proses produksi dan
penerimaan yang diperoleh maka dapat diketahui keuntungan yang diperoleh
dengan menghitung selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Jika penerimaan
lebih besar daripada total biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut
memperoleh keuntungan. Sedangkan jika penerimaan lebih kecil daripada total
biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut mengalami kerugian.
Bagi nelayan yang tidak menggunakan CCS tentu input produksinya lebih
rendah dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Namun demikian
bukan berarti biaya yang rendah akan berdampak pada keuntungan yang lebih
besar dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Hal ini disebabkan
keuntungan juga ditentukan oleh harga jual produk, dimana mutu produk
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan signifikan antara pendapatan nelayan yang menggunakan
CCS dengan nelayan tradisional yang tidak menggunakan CCS. Penerimaan
Produksi
Pendapatan
Alternatif Kebijakan CCS Biaya Input
Nelayan di Kab.
Serdang Bedagai Nelayan yang Tidak Menggunakan CCS Nelayan yang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Pemilihan Lokasi
Dari 17 Kecamatan Kabupaten Serdang Bedagai memiliki 5 Kecamatan
Pesisir dengan 23 Desa Pesisir, salah satu Kecamatan Pesisir adalah Kecamatan
Tanjung Beringin yang secara purposive dipilih menjadi lokasi penelitian ini dengan berbagai pertimbangan yang mendukung jalannya penelitian ini antara
lain:
- Pelaksanaan kegiatan Cold Chain System (CCS) melalui kegiatan bantuan Pemerintah Kabupaten.
- Sarana kapal nelayan berukuran 5 – 10 GT cukup banyak.
- Sarana alat tangkap nelayan (jaring ikan) cukup banyak dan berpariasi.
- Jumlah nelayan cukup banyak
Tabel 1. Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Berdagai
No Kecamatan Jumlah
Dari lima kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai,
maka Kecamatan Tanjung Beringin yang layak dipilih sebagai lokasi sampel.
Kecamatan Tanjung Beringin memiliki delapan desa, dipilih secara
purposive sebagai sampel yang terdiri dari : 250 nelayan yang menggunakan CCS
Untuk dapat melihat berapakah jumlah nelayan yang ada di Kecamatan
Tanjung Beringin baik nelayan tetap ataupun nelayan sambilan dapat di lihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin
No Desa
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai.
Pada Tabel 2. dapat kita lihat bahwa jumlah nelayan yang ada di
kecamatan Tanjung Beringin berjumlah 3435. Adapun nelayan yang ada di
Kecamatan Tanjung Beringin ada nelayan tetap dan nelayan sambilan, nelayan
tetap merupakan nelayan yang mata pencaharian sehari-harinya dengan pergi
melaut terdiri dari 2016 orang nelayan tetap, dan 1419 nelayan sambilan yang
sebahagian waktunya di luangkan untuk melaut.
Dengan demikian jumlah nelayan di Kecamatan Tanjung Beringin tidaklah
sama tingkat keadaannya dikarenakan armada yang digunakan nelayan sangatlah
bervariasi yang pada dasarnya ukuran kapal serta kapasitas armada kapalnya tidak
lah sama, dapat dilihat pada Tabel 3.
Dari Tabel 3. dapat kita lihat jumlah armada kapal yang ada di Kecamatan
bervariasi dari kapal tanpa motor berjumlah 246 unit, sedangkan 0 – 4 GT
berjumlah 504 unit, 5-10 GT berjumlah 1245 unit, dan 11-15 GT berjumlah 161
unit, dan 15 GT keatas berjumlah 28 unit.
Tabel 3. Jumlah Armada Kapal Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai
Dari data produksi ikan di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten
Serdang Bedagai 5 tahun sebelumnya dapat dilihat adanya kenaikan produksi
± 1,2 % setiap tahunnya.
Produksi tersebut dari segi jenis ikan bahwa jenis ikan gembung kuring ,
kedah yang lebih dominan atau lebih banyak produksinya jenis ini adalah ikan
yang sangat mudah membusuk, maka perlu dilakukan penanganan supaya tetap
segar sampai ke Tempat Pendaratan Ikan (TPI), sehingga harga jualnya lebih
Tabel 4. Data Produksi Ikan di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten
Dari jumlah kapal nelayan penangkap ikan di Kecamatan Tanjung
Beringin maka ada 3 desa yang populasinya cukup tinggi yaitu :
- Desa Pekan Tanjung Beringin 645 Kapal.
- Desa Tebing Tinggi 518 Kapal.
- Desa Nagur 529 Kapal.
Sehubungan dengan tingginya Populasi tersebut maka program CCS ini
dilakukan di 3 desa tersebut dengan jumlah 250 armada, dan setiap tahunnya ada
peningkatan penggunaan CCS. Adapun data nelayan yang menggunakan CCS dan
Tabel 5. Jumlah Armada Kapal menurut CCS dan Non CCS/Desa di
Penelitian ini menggunakan metode stratified random sampling. Populasi
terlebih dahulu di strata menjadi dua stratum, yaitu stratum 1 adalah nelayan yang
menggunakan sistim rantai dingin atau CCS dengan populasi 250 nelayan dan
stratum II adalah nelayan yang tidak menggunakan sistem rantai dingin atau CCS
dengan populasi 2184 nelayan.
Jumlah sampel yang diambil adalah jumlah sampel berimbang yaitu
sebanyak 30 sampel nelayan untuk Stratum I dan 30 nelayan sampel untuk
Stratum II. Dengan demikian jumlah sampel keseluruhan adalah sebanyak 60
sampel nelayan.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Adapun data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh dari data hasil wawancara langsung
yang telah disiapkan sedangkan data sekunder merupakan data yang diproleh dari
lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini.
3.4. Metode Analisa Data
Setelah dikumpulkan, kemudian data yang telah diperoleh ditabulasikan
dan selanjutnya dianalisis. Untuk menganalisis tujuan 1 digunakan analisis
deskriptif. Pada analisis ini akan didiskripsikan bagaimana penggunaan sistim
rantai dingin atau CCS oleh nelayan sampel yang menggunakan CCS.
Untuk menganalisis tujuan 2 digunakan analisis cost-benefit, dengan
rumus sebagai berikut:
a. Biaya Produksi (Cost) Nelayan
TC = FC + VC dimana:
TC = Total Biaya (Rp)
FC = Biaya Tetap (Rp)
VC = Biaya Variabel (Rp)
b. Penerimaan (Benefit) Nelayan:
TRi = Yi . Pyi dimana:
Tri = Total Penerimaan
Yi = Produksi yang diperoleh dalam suatu usaha nelayan
c. Pendapatan Nelayan
Pd = TR – TC dimana:
Pd = Pendapatan Usaha Nelayan
TR = Total Penerimaan
TC = Total Biaya.
Tujuan 3 yaitu menganalisis perbedaan tingkat pendapatan nelayan yang
menggunakan CCS dengan nelayan Tradisional Non CCS, digunakan analisis uji
beda rata-rata untuk sampel heterogen atau dengan analisis ttest dengan software
SPSS.
3.5. Definisi dan Batasan Operasional 3.5.1. Definisi
1. Populasi adalah jumlah nelayan yang menggunakan CCS dan yang tidak
menggunakan CCS dengan ukuran kapal 5-10 GT dan sampel diambil 10%
dari populasi (jiwa) tersebut.
2. Nelayan sampel adalah individu yang tergabung dalam kelompok nelayan
yang bermata pencaharian sebagai nelayan (jiwa).
3. Nelayan tradisional adalah nelayan yang tidak menggunakan CCS (jiwa).
4. CCS adalah Cold Chain System (sistem rantai dingin).
5. Total biaya (Rp) adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
hasil tangkapan ikan yang menggunakan CCS dan tidak menggunakan CCS.
6. Hasil tangkapan adalah semua hasil yang didapat dalam melaut dan semua
7. Pasca panen adalah upaya atau perlakuan penanganan terhadap hasil
tangkapan sampai pada pemasaran.
8. Total pendapatan adalah semua pendapatan (Rp) yang diterima dari hasil
tangkapan.
3.5.2. Batasan Operasional
1. Daerah penelitian adalah Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang
Bedagai.
2. Sampel dalam penelitian ini adalah nelayan yang menggunakan CCS dan yang
tidak menggunakan CCS dengan ukuran kapal 5-9 GT di Kecamatan Tanjung
Beringin Kabupaten Serdang Bedagai.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Daerah Penelitian
Kabupaten Serdang Bedagai merupakan pemekaran dari Kabupaten Deli
Serdang dimana efektif pemerintahannya berjalan sejak Januari 2004. Kabupaten
Serdang Bedagai mempunyai Luas Wilayah ± 1.900,22 km² dengan ketinggian
0-500 m di atas permukaan Laut yang terdiri dari 17 Kecamatan, 243 Kelurahan/
Desa dengan kepadatan Penduduk ± 332 jiwa/ km² (data tahun 2009) dan jumlah
penduduk Kabupaten Serdang Bedagai 630.728 jiwa dengan komposisi laki-laki
316.745, perempuan 313.983 jiwa dengan 149.702 RT.
Salah satu kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai, yang merupakan
lokasi penelitian adalah Kecamatan Tanjung Beringin. Kecamatan Tanjung
Beringin memiliki luas wilayah 74,170 Km2 sedangkan jumlah penduduk
Kecamatan Tanjung Beringin ± 37.561 Jiwa, dengan batas – batas wilayah Kecamatan Tanjung beringin sebagai berikut :
- Utara berbatasan dengan Selat Malaka.
- Selatan berbatasan dengan kecamatan Sei Rampah.
- Barat berbatasan dengan Kecamatan teluk Mengkudu.
- Timur berbatasan dengan Kecamatan Bandar Khalipah
4.2. Karakteristik Nelayan Sampel
Nelayan sampel pada penelitian ini terdiri dari nelayan penangkap ikan di
laut yang dalam proses produksinya menggunakan Cold Chain System (CCS) atau
atau Non CCS. Karekteristik kedua nelayan sampel ini memiliki perbedaan seperti
yang dijelaskan pada Tabel 6.
Tabel 6. Karekteristik Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS No Karekteristik Nelayan CCS Non CCS
1 Tanggungan Keluarga 5 orang 4 orang
2 Pendidikan SMP SD
3 Pengalaman Melaut 14 tahun 18 tahun
4 Lama Penggunaan CCs 2 tahun -
5 Jumlah Trip/Bulan 12 kali 12
6 Lama di Laut/Trip 8 jam 7 jam
7 Ukuran Kapal 6 GT 6 GT
Sumber: Data Primer, 2011 (diolah)
Tabel 6 menunjukkan bahwa sampel nelayan yang menggunakan CCS
memiliki rata-rata 5 orang tanggungan keluarga, sedangkan yang non CCS
memiliki rata-rata 4 orang tanggungan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa
jumlah tanggungan sampel nelayan ini tergolong tinggi baik yang CCS maupun
non CCS.Namun demikian kebanyakan nelayan sampel menggunakan tenaga
kerja dalam keluarga untuk membantu kepala keluarga menangkap ikan di laut.
Berdasarkan hasil wawancara dijumpai bahwa semakin besar jumlah tanggungan
keluarga maka semakin dominan tenga kerja yang digunakan bersumber dari
dalam keluarga.
Tingkat pendidikan merupakan faktor penting dalam adopsi teknologi.
Penggunaan CCS lebih mudah disosialisasikan bagi nelayan yang memiliki
tingkat berpendidikan Sekolah Menengah. Tabel 5. menunjukkan bahwa sampel
nelayan yang menggunakan CCS memiliki rata-rata tingkat Sekolah Menengah