• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang Menggunakan Cold Chain System (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang Menggunakan Cold Chain System (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG

MENGGUNAKAN

COLD CHAIN SYSTEM

(CCS)

DENGAN NELAYAN TRADISIONAL

DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Oleh

Teruna Tarigan

097039014/MAG

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG

MENGGUNAKAN

COLD CHAIN SYSTEM

(CCS)

DENGAN NELAYAN TRADISIONAL

DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

TESIS

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Magister Pertanian pada Program Studi Magister Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Oleh

Teruna Tarigan

097039014/MAG

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul : Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang Menggunakan Cold Chain System (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai

Nama : Teruna Tarigan

NIM : 097039014

Program Studi : Magister Agribisnis

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc) (Ir. Iskandarini, MM)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(4)

Telah diuji dan dinyatakan LULUS di depan Tim Penguji pada Selasa, 20 September 2011

Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc _________________

Anggota : 1. Ir. Iskandarini, MM _________________

2. Dr. Ir. Rahmanta Ginting, MSi _________________

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul:

ANALISIS KOMPARASI PENDAPATAN NELAYAN YANG

MENGGUNAKAN COLD CHAIN SYSTEM (CCS) DENGAN NELAYAN

TRADISIONAL DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun

sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan

secara benar dan jelas.

Medan, Januari 2012 yang membuat pernyataan,

Teruna Tarigan

(6)

ABSTRAK

TERUNA TARIGAN, Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang menggunakan Cold Chain Sistem (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai (dibawah bimbingan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. sebagai Ketua dan Ir. Iskandarini, MM, sebagai Anggota).

Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional, namun hal ini belum didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan hasil ikan yang memadai. Salah satu sarana dan prasarana yang dapat mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil perikanan tersebut adalah Cold Chain System (CCS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Cold Chain System (CCS), dan menganalisis perbedaan total pendapatan nelayan yang menggunakan CCS dan non CCS. Sampel dipilih dengan metode stratified random sampling dengan jumlah 60 orang. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan uji beda rata-rata independent sample t test.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biaya produksi harga jual dan pendapatan antara nelayan CCS dengan nelayan non CCS. Penerapan teknologi CCS membuat mutu ikan menjadi lebih baik sehingga harga yang diterima nelayan menjadi lebih tinggi. Dalam rangka meningkatkan mutu produk ikan serta meningkatkan pendapatan nelayan Kabupaten Serdang Bedagai maka sebaiknya pemerintah mensosialisasikan teknologi CCS serta membantu permodalan nelayan untuk melengkapi kebutuhan penggunaan CCS.

(7)

ABSTRACT

TERUNA TARIGAN, Comparative Analysis between the Income of the Fishermen Using Cold Chain System (CCS) and That of Traditional Fishermen in Serdang Bedagai District, Under the supervision of Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec and Ir. Iskandarini, MM.

Fisheries and marine sector is one of the superior sectors generating national economy, yet this has not been supported by the availability of adequate facility and infrastructure. One of the facilities and infrastructures that can solve the problem of the low quality of fishery products is Cold Chain System (CCS). The purpose of this study was to analyze the CCS implementation and the total difference of the income of the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The samples for this study were 60 fishermen selected through stratified random sampling method. The data obtained were analyzed through descriptive analysis, mean difference test and independent sample t test.

The result of this study showed that there was the difference between production cost, selling price and the income between the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The application of CCS technology made the quality of fishery products better that the price received by the fishermen became higher. To improve the quality of fishery product and to increase the income of the fishermen of Serdang Bedagai District, the government should socialize the CSS technology and provide the fishermen with capital assistance to meet the need to use the CSS.

(8)

RIWAYAT HIDUP

TERUNA TARIGAN, lahir di Medan Pada tanggal 13 November 1963 anak dari Bapak B. Tarigan dan Ibu NG. Br. Sinulingga. Penulis merupakan

anak ketiga dari tujuh bersaudara. Penulis memiliki Istri Suriani Saragi S.Pd

dan memiliki anak 4 orang yaitu Hendra Tarigan, Daniel Hermanto Tarigan, Astri

Sufanny Tarigan, dan Agi Putra Jaya Tarigan.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1970 masuk Sekolah Dasar Negeri 2 Biru-biru tamat tahun 1975.

2. Tahun 1976 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Swasta bersubsidi

Biru-biru, tamat tahun 1979.

3. Tahun 1979 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri I Pancur Batu,

Tamat tahun 1982.

4. Tahun 1999 melanjutkan Pendidikan S1 di Universitas Medan Area (UMA)

Sumatera Utara Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian (SEP), tamat tahun

2003.

5. Tahun 2009 melanjutkan Pendidikan S2 di Magister Agribisnis Universitas

(9)

KATA PENGANTAR

Puji sukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan

baik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Ibu Ir. Iskandarini, MM. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah

membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta

Suriani Saragi S.Pd. serta anak-anak yang sangat saya sayangi yang selalu

memberikan motivasi dan dorongan untuk menyelesaikan studi dan penyelesaian

tesis ini.

Penghargaan yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bapak

Ir. H. Muhammad Ramlan, M.Sc (Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Serdang Bedagai), serta seluruh staf Dinas Perikanan dan Kelautan

Kabupaten Serdang Bedagai, pegawai TPI Kecamatan Tanjung Beringin yang

telah memberikan segala informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, Januari 2012

(10)

DAFTAR ISI

2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif ... 19

(11)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian ... 39

4.2. Krakteristik Nelayan Sampel ... 39

4.3. Hasil Analisis dan Pembahasan ... 42

4.3.1. Penggunaan Cold Chain System (CCS) ... 42

4.3.1.1. CCS Diatas Kapal ... 43

4.3.1.2. CCS di TPI ... 47

4.3.2. Biaya Produksi ... 52

4.3.3. Pendapatan ... 59

4.3.4. Perbedaan Pendapatan CCS dan Non CCS ... 61

BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

5.1. Kesimpulan ... 63

5.2. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

LAMPIRAN ... 66

(12)

DAFTAR TABEL

No Hal

1. Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai ... 31

2. Jumlah Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai. ... 32

3. Jumlah armada Kapal Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai ... 33

4. Data Produksi Ikan di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. ... 34

5. Jumlah Armada Kapal Menurut CCS dan Non CCS/Desa di Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai ... 35

6. Karekteristik Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS ... 40

7. Jenis Biaya Variabel Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS Per Trip Melaut ... 53

8. Jenis Biaya Variabel Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS per Bulan... 55

9. Jenis Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS per Trip Melaut ... 57

10. Jenis Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS per Bulan ... 58

11. Jenis Biaya Variabel dan Biaya Tetap Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS ... 58

12. Pendapatan Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS ... 60

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Hal

1. Jaminan Mutu Untuk Ekspor ... 12

2. Sumber Bahan Baku Ekspor ... 15

3. Proses Pembekuan Udang ... 21

4. Skema Kerangka Pemikiran ... 30

5. Kapal Nelayan 5 GT ... 44

6. Penyimpanan Ikan di Dek Kapal Nelayan 5 GT ... 45

7. Pembekuan Ikan dengan Cool Box ... 46

8. Persortiran Ikan oleh Nelayan di TPI ... 50

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1.a. Karakteristik Sampel Nelayan CCS ... 66

1.b. Karakteristik Sampel Nelayan Non CCS ... 69

2. Jenis Alat-Alat Tangkap yang Digunakan Nelayan ... 72

3. Jenis-Jenis Biaya Variabel/Biaya Produksi Setiap Melaut ... 73

4. Perhitungan Nilai Penyusutan Alat-Alat ... 74

5a. Biaya Variabel Nelayan CCS ... 75

5b. Biaya Variabel Nelayan Non CCS ... 78

6.a. Biaya Tetap (Alat-Alat) Nelayan CCS... 81

6.b. Biaya Tetap (Alat-Alat) Nelayan Non CCS ... 84

7.a. Biaya Penyusutan (Alat-Alat) Nelayan CCS ... 87

7.b. Biaya Penyusutan (Alat-Alat) Nelayan Non CCS ... 90

8.a. Jumlah Produksi Dan Nilai Produksi Nelayan CCS ... 93

8.b. Jumlah Produksi Dan Nilai Produksi Nelayan Non CCS ... 96

8.c. Jumlah Pendapatan Nelayan Sampel CCS per Trip Melaut ... 99

(15)

ABSTRAK

TERUNA TARIGAN, Analisis Komparasi Pendapatan Nelayan yang menggunakan Cold Chain Sistem (CCS) dengan Nelayan Tradisional di Kabupaten Serdang Bedagai (dibawah bimbingan Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec. sebagai Ketua dan Ir. Iskandarini, MM, sebagai Anggota).

Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional, namun hal ini belum didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan hasil ikan yang memadai. Salah satu sarana dan prasarana yang dapat mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil perikanan tersebut adalah Cold Chain System (CCS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan Cold Chain System (CCS), dan menganalisis perbedaan total pendapatan nelayan yang menggunakan CCS dan non CCS. Sampel dipilih dengan metode stratified random sampling dengan jumlah 60 orang. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif dan uji beda rata-rata independent sample t test.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan biaya produksi harga jual dan pendapatan antara nelayan CCS dengan nelayan non CCS. Penerapan teknologi CCS membuat mutu ikan menjadi lebih baik sehingga harga yang diterima nelayan menjadi lebih tinggi. Dalam rangka meningkatkan mutu produk ikan serta meningkatkan pendapatan nelayan Kabupaten Serdang Bedagai maka sebaiknya pemerintah mensosialisasikan teknologi CCS serta membantu permodalan nelayan untuk melengkapi kebutuhan penggunaan CCS.

(16)

ABSTRACT

TERUNA TARIGAN, Comparative Analysis between the Income of the Fishermen Using Cold Chain System (CCS) and That of Traditional Fishermen in Serdang Bedagai District, Under the supervision of Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec and Ir. Iskandarini, MM.

Fisheries and marine sector is one of the superior sectors generating national economy, yet this has not been supported by the availability of adequate facility and infrastructure. One of the facilities and infrastructures that can solve the problem of the low quality of fishery products is Cold Chain System (CCS). The purpose of this study was to analyze the CCS implementation and the total difference of the income of the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The samples for this study were 60 fishermen selected through stratified random sampling method. The data obtained were analyzed through descriptive analysis, mean difference test and independent sample t test.

The result of this study showed that there was the difference between production cost, selling price and the income between the fishermen using CCS and those who did not use CCS. The application of CCS technology made the quality of fishery products better that the price received by the fishermen became higher. To improve the quality of fishery product and to increase the income of the fishermen of Serdang Bedagai District, the government should socialize the CSS technology and provide the fishermen with capital assistance to meet the need to use the CSS.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dengan panjang pantai 81.000

km serta terdiri atas 17.500 pulau, perhatian pemerintah Republik Indonesia

terhadap sektor perikanan dan kelautan terus ditingkatkan, karena sektor

perikanan dan kelautan mempunyai andil sangat besar terhadap pertumbuhan

ekonomi dan devisa negara yang pada gilirannya akan mensejahterakan

masyarakat.

Demikian juga sektor perikanan dan kelautan Propinsi Sumatera Utara

yang memiliki panjang pantai 545,00 km di pantai Barat dan 375,00 km di Pantai

Timur serta 380,00 km di Pulau Nias. Demikian juga jika dilihat dari posisi

letaknya, Sumatera Utara berada pada kawasan yang sangat strategis yaitu

diantara Selat Malaka dan Samudera Hindia. Dengan keberadaan Sumatera Utara

yang diapit oleh dua laut tersebut, pembangunan sektor perikanan dan kelautan

mempunyai potensi yang cukup besar untuk digali dan dikembangkan secara

maksimal. Oleh sebab itu pemerintah Propinsi Sumatera Utara berupaya

mengembangkan potensi tersebut secara bersama-sama dengan masyarakat dan

pengusaha lokal maupun mancanegara.

Pemerintah telah menetapkan sektor perikanan dan kelautan menjadi salah

satu sektor unggulan penggerak perekonomian nasional. Hal ini disebabkan

karena sektor ini memiliki berbagai keunggulan yang salah satunya diantaranya

adalah potensi sumberdaya ikan yang berlimpah baik jumlah maupun

(18)

dalam menyediakan lapangan kerja atau penyerapan tenaga kerja, sumber

pendapatan bagi nelayan, sumber protein hewani yang bernilai gizi tinggi serta

sumber pendapatan daerah maupun devisa negara melalui ekspor.

Pengembangan perikanan di Sumatera Utara, tentu berkait rapat dengan

wujudnya multiplyer pendapatan nelayan yang dapat menjadi stimulan bagi

produsen ikan. Sehingga sebagai konsekwensi logisnya adalah penanganan sektor

perikanan tidak hanya tertumpu pada pra penangkapan dan penangkapan/budidaya

tetapi aspek yang juga perlu mendapat perhatian adalah penanganan pasca panen

produksi sektor perikanan.

Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di

kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak

dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi

perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi

masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu

produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat

berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah

akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing.

Ada tiga hal kegiatan pasca panen perikanan yaitu teknologi pengolahan,

pembinaan mutu (quality control) dan pemasaran. Ketiga kegiatan tersebut akan

sangat menentukan dalam kelancaran pemasaran baik dalam negeri maupun

ekspor, penyediaan jenis komoditi yang sesuai dengan biaya pengolahan yang

efisien dan memberikan jaminan mutu produk yang dipasarkan.

Pada sisi eksternal, tantangan saat ini dan waktu yang akan datang adalah

(19)

penyesuaian terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen Mutu Hasil

Perikanan agar diterima secara International. Untuk meningkatkan daya saing

komoditas perikanan dipasar global dan sekaligus meningkatkan ekspor.

Pada sisi kekuatan internal, Sumatera Utara memiliki jumlah Rumah

Tangga Perikanan (RTP) sebanyak 41.781 RTP pada tahun 2008 sebagian besar

adalah rumah tangga di Penangkapan Ikan di laut sebanyak 29.436 RTP

sedangkan sisanya adalah 12.345 RTP yang merupakan gabungan dari RTP

perikanan di sungai, danau, rawa dan waduk.

Dari jumlah RTP tersebut di atas jumlah produksi pada tahun 2008

mencapai 338.006 ton yang 326.336 ton diantaranya adalah hasil perikanan dari

penangkapan di laut. Produksi ini merupakan suatu jumlah yang cukup besar dan

masih dapat ditingkatkan khususnya untuk penangkapan ikan di Perairan Pantai

Barat Sumatera Utara. Hasil produksi tersebut merupakan kinerja dari unit

penangkapan ikan yang ada di Sumatera Utara yang terdiri dari 35.717 unit

penangkapan yaitu 27.883 unit penangkapan di laut dan 7.834 unit penangkapan

di perairan umum. Jumlah armada tersebut di atas terdiri dari perahu tanpa motor

(PTM) 11.829, perahu motor tempel 7.834 unit dan kapal motor 15.262 unit.

Dalam rangka meningkatkan nilai tambah produksi khusunya ikan hasil

tangkapan di laut maka perlu adanya pengolahan hasil. Disamping memberikan

nilai tambah maka usaha pengolahan juga akan dapat memberikan tambahan

lapangan kerja baru serta multiple efek bagi kegiatan ekonomi lainnya. Secara

Nasional berdasarkan data yang di peroleh dari Direktorat Jenderal Pengolahan

(20)

Pada tahun 2008 terdapat unit pengolahan sebanyak 18.274 unit yang

terdiri dari skala usaha kecil 17.616 unit (96.3 %) dan skala menengah dan besar

sebanyak 658 unit (3,7 %). Mengingat jumlahnya unit pengolahan skala kecil

yang cukup besar maka sangat diharapkan peranannya dalam meningkatkan

perekonomian wilayah masyarakat pesisir. Peranan tersebut dapat diukur dari

meningkatnya pendapatan per kapita dan juga peningkatan terhadap penyerapan

tenaga kerja.

Disamping perikanan tangkap, Sumatera Utara juga memiliki potensi

perikanan budidaya yang cukup besar baik budidaya air tawar di Dataran Tinggi

Bukit Barisan seperti kolam air tenang, mina padi, keramba dan keramba jaring

apung. Demikian juga potensi budidaya air payau yang terbentang sepanjang

Pantai Timur dengan komoditi utama adalah udang, kerapu, dan nila merah.

Khusus untuk budi daya laut terdapat komoditi unggulan berupa ikan kerapu,

kakap putih dan rumput laut.

Selain itu dalam rangka mendorong pemasaran produk perikanan di dalam

negeri pemerintah juga telah membangun 24 unit Pasar Ikan Higienis (PIH), 7

unit Depo Pemasaran Ikan (DPI) dan 2 unit Raiser Ikan Hias (RIH). Seluruh

sarana pemasaran ini dibangun untuk mendukung keberadaan 1.870 unit pasar

tradisional yang memasarkan produk perikanan.

Unit pengolahan hasil perikanan berskala besar dengan kegiatan

pembekuan dan pengalengan terdapat di Kawasan Industri Medan (KIM). Skala

menengah dan kecil dengan jenis pengolahan penggaraman, pengasapan,

perebusan, dan pengeringan tersebar di desa-desa pesisir baik Pantai Timur

(21)

membentuk klaster-klaster di daerah Kawasan Industri Medan, maka skala kecil

dan menengah tersebar merata sepanjang pantai di desa-desa pesisir.

Masih dominannya kapal penangkap ikan skala kecil dimana dari jumlah

unit penangkapan sebesar 28.520 unit 11.585 terdiri dari perahu tanpa motor

2.759 motor tempel dan 10.643 unit kapal motor yang lebih kecil dari 5 GT.

Kondisi ini sudah barang tentu peralatan yang dimiliki sangat terbatas khususnya

peralatan untuk penanganan ikan yang mengakibatkan hasil tangkapan mutunya

rendah karena sebagian besar nelayan tidak menerapkan sistem penangan ikan

semenjak ikan tertangap, penanganan di atas kapal, pendaratan di TPI,

penanganan di Unit Pengolahan dan industri. Namun dengan potensi dan

dukungan sarana dan prasarana yang dimiliki Sumatera Utara belum sepenuhnya

mampu menghasilkan produk, baik hasil tangkapan nelayan maupun hasil olahan

yang berkualitas baik (mutu ekspor). Hasil kajian tingkat kerusakan (losses) dari

kegiatan usaha perikanan sebesar 27,8 %, losses tertinggi terdapat pada tahap

penanganan ikan di atas kapal yaitu 17,2 %, penanganan di TPI/PPI dan distribusi

4,0 % serta losses di Unit Pengolahan Ikan (UPI) 6,6 %. Tingginya tingkat

kerusakan tersebut dikarenakan komodistas ikan yang cepat mengalami

penurunan mutu apabila tidak ditangani secara cermat.

Dari keterangan di atas dapat dilihat bahwa total tingkat kerusakan hasil

tangkapan ikan oleh nelayan sampai produk tersebut sampai ketangan konsumen

adalah 27,8 %. Sebahagian besar kerusakan tersebut terdapat pada penanganan di

atas kapal yaitu 17.2 %. Hal ini disebabkan terbatasnya sarana yang dimiliki di

(22)

Disamping itu ketersediaan es yang terbatas menyebabkan penanganan di atas

kapal sangat minim.

Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan rendahnya mutu hasil

perikanan adalah dengan “Mengembangkan Sistem Rantai Dingin atau Cold

Chain System (CCS)”. Dengan diterapkannya sistem rantai dingin dalam bisnis

usaha perikanan diharapkan kesegaran ikan sejak ikan ditangkap sampai ke tangan

konsumen dapat dipertahankan, dapat mengurangi tingkat kerusakan ikan (losses),

meningkatkan nilai jual ikan, mutu hasil olahan yang lebih baik, meningkatkan

ekspor yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

nelayan dan pengolah ikan serta keluarganya.

Keterbatasan penerapan CCS tersebut dikarenakan terbatasnya

penggunaan es dalam proses produksi. Sebagai konsekwuensinya produk

tangkapan nelayan banyak yang telah mengalami penurunan mutu. Jumlah es

yang dibawa nelayan umumnya minim dikarenakan disamping keterbatasan

jumlah es harga juga tidak terjangkau. Hal ini mengandung resiko disamping

memberi kesempatan kepada nelayan untuk menggunakan bahan pengawet

lainnya juga produk berkualitas rendah.

Idealnya kebutuhan es untuk kegiatan perikanan adalah 2 kali dari total

ikan yang diproduksi, namun pada kenyataannya pabrik es yang ada hanya

mampu memberikan kontribusi sebesar 30 - 40 % dari total kebutuhan.

Terbatasnya pabrik es saat ini juga mengakibatkan harga es menjadi mahal,

sehingga berdampak pada keengganan nelayan menggunakan es dalam

(23)

terutama bila waktu penangkapan lebih dari satu hari. Beberapa faktor yang

mempengaruhi terhadap penerapan CCS ini dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Pengetahuan nelayan pada umumnya sangat rendah terutama tentang

bagaimana cara mempertahankan mutu ikan, sanitasi dan hygiene serta cara

penanganan ikan yang baik dan benar.

2. Sarana dan prasarana untuk penanganan ikan yang sangat terbatas. Hal ini

mengakibatkan banyaknya ikan yang didaratkan di TPI dan ikan yang

dilelang, dibiarkan ditebar di lantai tanpa menggunakan wadah dan es, hal ini

mengakibatkan ikan yang didaratkan tidak dapat dipertahankan mutunya.

3. Sarana transportasi masih terbatas dan tidak memenuhi persyaratan baik

teknis maupun sanitasi. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi, umumnya

sarana transportasi yang digunakan para bakul dan pengolah ikan terutama

skala kecil menengah untuk membawa ikan dari TPI/PPI ke unit pengolahan

atau pasar masih banyak yang menggunakan keranjang bambu dengan hanya

diberi sedikit es, selanjutnya diangkut mengunakan gerobak/ becak yang

terbuka.

4. Kondisi demikian mengakibatkan ikan langsung bersentuhan dengan panas

matahari, sehingga akan mempercepat proses penurunan mutu ikan.

5. Peralatan penanganan ikan sebagai bahan baku (raw material) di unit

pengolahan ikan (UPI) skala kecil dan menengah sebagian besar sangat

terbatas, baik dalam jumlah maupun kualitasnya, pada umumnya peralatan

yang digunakan kurang memenuhi persyaratan teknis, seperti peralatan:

wadah, cool box, penggunaan es, mengakibatkan produk yang dihasilkan

(24)

Di kedua wilayah perairan Sumatera Utara baik Pantai Timur maupun

Pantai Barat terdapat kelimpahan sumberdaya alam baik perikanan budidaya

maupun perikanan tangkap. Hasil perikanan tersebut sekitar 70 % di pasarkan

dalam bentuk ikan segar dan sebagian diolah dalam berbagai jenis pengolahan

hasil perikanan laut baik pengolahan dengan sistem modern maupun tradisional.

Implikasi dasar dari penggunaan CCS dalam pasca panen adalah

peningkatan pendapatan nelayan. Peningkatan pendapatan ini diperoleh dari

tingginya harga ikan segar karena terjaminnya mutu ikan yang menggunakan

sistem rantai dingin. Hal ini tentu berbeda dengan pendapatan nelayan yang tidak

menggunakan CCS . Dengan demikian perbedaan pendapatan antara nelayan yang

menggunakan CCS dengan nelayan yang tidak menggunakan CCS perlu dianalisis

secara ilmiah.

1.2. Identifikasi Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka permasalahan penelitian

dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penggunaan Cold Chain System (CCS) dilakukan oleh

nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan di Kabupaten Serdang

Bedagai?

2. Berapakah total Pendapatan penggunaan CCS dan non CCS oleh nelayan

di Kabupaten Serdang Bedagai?

3. Apakah ada perbedaan pendapatan yang signifikan antara nelayan yang

menggunakan sistem CCS dengan nelayan tradisional yang non CCS di

(25)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi permasalahan, tujuan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah penggunaan Cold Chain System (CCS)

dilakukan oleh nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan.

2. Untuk menganalisis total pendapatan penggunaan CCS dan non CCS oleh

nelayan di Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Untuk menganalisis perbedaan tingkat pendapatan antara nelayan yang

menggunakan sistem CCS dengan nelayan tradisional di Kabupaten Serdang

Bedagai.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan motivasi bagi para nelayan tradisional agar menggunakan CCS

untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

2. Sebagai bahan pemerintah untuk mensosialisasikan kepada para nelayan

tradisional agar dapat menggunakan CCS di tingkat nelayan Kabupaten

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Murniati dan Sunarman (2000)

menyatakan bahwa penggunaan suhu rendah sangat dapat menghambat proses

pembusukan sebab dengan suhu rendah pertumbuhan mikroba dapat dihambat

atau bahkan dapat membunuh mikroba atau bakteri tersebut dan untuk

mempertahankan kesegaran produk perikanan selain bentuk serta susunan

kimianya tidak banyak berubah jika dibandingkan dengan penggunaan suhu

tinggi. Penggunaan suhu rendah dilakukan dengan pemakaian es atau pembekuan.

Menurut Lailossa (2009), untuk mendesain sebuah sistem rantai dingin

ikan beku ada beberapa titik kritis yang perlu dicermati untuk pengembanan

penelitan selanjutnya yaitu:

− Selalu meng up date standar internasional dan regional tentang safety, quality

dan traceability yang harus di penuhi

− Teknik modeling dan strategi penerapan Risk Analysis dan HACCP pada ikan

beku

− Penerapan sistem penanganan ikan dan model teknologi refrigerasi yang tepat

sejak dari penangkapan sampai ke konsumen.

− Model cold chain management/cold chain system perlu di evaluasi setiap saat,

agar safety, quality dan traceability dari produk ikan beku tetap terjamin.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dirjen P2HP-DKP penanganan

ikan dengan suhu dingin sekitar 0 oC secara terus menerus tidak terputus sejak

(27)

dipasarkan hingga ke tangan konsumen, maka ikan hasil tangkapan atau ikan hasil

panen dapat dipastikan memiliki mutu tinggi, aman dikonsumsi serta memenuhi

kriteria produk perikanan prima. Oleh karena itu, penerapan sistem rantai dingin

secara benar diterapkan dengan baik serta memperhatikan sanitasi dan hygiene.

2.2. Landasan Teori

Pembinaan mutu dan pengolahan hasil merupakan salah satu kegiatan

penanganan pasca panen yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan

pembangunan perikanan karena dengan pembinaan mutu dapat menyelamatkan

hasil produksi para nelayan dan petani ikan dari kemerosotan mutu dan nilainya

yang sekaligus juga dapat meningkatkan pendapatan dan melindungi konsumen

dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penggunaan zat-zat additive yang

berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan mutu hasil perikanan yang baik akan

meningkatkan kesehatan dan taraf hidup manusia serta membuat produk memiliki

daya saing yang tinggi.

Penanganan hasil perikanan baik budidaya atau tangkap yang sering di

kenal dengan kegiatan (aktivitas) pasca panen adalah suatu kegiatan yang tidak

dapat dipisahkan dari kegiatan produksi perikanan. Peningkatan produksi

perikanan yang tidak diikuti dengan penanganan pasca panen dapat menjadi

masalah dalam pembangunan dan pengembangan perikanan. Disamping mutu

produk yang rendah yang mengakibatkan nilai jual yang rendah, juga sangat

berbahaya bagi kesehatan manusia. Disamping itu produk yang bermutu rendah

akan mengakibatkan posisi produk yang tidak memiliki daya saing.

Sedikitnya ada tiga hal kegiatan pasca panen dalam perikanan yaitu

(28)

(distribusi). Ketiga kegiatan tersebut akan sangat menentukan dalam kelancaran

pemasaran baik dalam negeri maupun ekspor, penyediaan jenis komoditi yang

sesuai dengan biaya pengolahan yang efisien dan memberikan jaminan mutu

produk yang dipasarkan.

Terlebih dalam memasuki era globalisasi tantangan yang dihadapi adalah

untuk menyesuaikan terhadap Sistem Pembinaan dan Pengawasan Manajemen

Mutu Hasil Perikanan yang dapat diterima secara International. Jika tidak maka

produk suatu negara akan mendapat penolakan dari negara-negara importir.

Gambar 1. Jaminan Mutu untuk Ekspor

Negara Uni Eropa yang merupakan persekutuan dari 27 negara maju akan

sangat menentukan dalam percaturan ekspor hasil perikanan. Penolakan dari

negara tujuan ini tidak dapat dianggap hal yang sepele, karena akan diikuti juga

oleh negara-negara importir lainnya seperti Amerika dan Asia seperti Korea,

(29)

dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas perikanan dipasar

global dan sekaligus meningkatkan ekspor.

2.2.1. Susut Hasil Perikanan

Susut hasil perikanan adalah keseluruhan nilai kerugian pasca panen hasil

perikanan akibt terjadinya kerusakan fisik dan kemunduran mutu yang dapat

mengakibatkan pengaruh terhadap susut Gizi dan susut fungsional yang terjadi

mulai dari saat ikan ditangkap sampai ketangan konsumen dan tipe susut dapat

kita bedakan dari beberapa tipe.

a. Susut nutrisi/gizi (nutritional losses)

- Sulit diukur.

- Perubahan biokimiawi spesifik sebagai akibat dari pembusukan atau

pengolahan.

b. Susut fungsi/fungsional (functional losses)

- Setiap saat, mulai dari ditangkap sampai ke konsumen.

- Jarang dianggap, jarang di perhitungkan dalam pengertian sehari-hari.

- Kesalahan dalam pengolahan dan penanganan yang dapat menyebabkan

menurunnya fungsi ikan.

- Ikan untuk sosis yang kenyal menjadi kurang kenyal.

Ciri kualitas ikan yang bagus dapat kita lihat dari warna ikan masih

mengkilat, mata berwarna cerah dan menonjol, insang berwarna merah cemerlang,

bau ikan masih sangat segar khas jenis masing-masing, padat elastis bila ditekan

dengan jari, bila daging disayat akan berwarna sangat cemerlang, dinding

(30)

Dalam konteks pembinaan terhadap usaha Perikanan dan Kelautan,

implementasi Program peningkatan Ekspor Hasil Perikanan perlu

dioptimalisasikan khususnya usaha pengolahan skala kecil (KUB) dan

peningkatan mutu melalui penerapan PMMT/HACCP. Produk perikanan di pasar

dalam negeri merupakan penyedia protein hewani masyarakat selain sebagai

bahan baku industri pengolahan, kosmetik dan obat-oatan. Dengan jumlah

penduduk yang cukup besar, peluang pasar dalam negeri mempunyai prospek

yang menjanjikan. Meski demikian, ikan atau produk perikanan lainnya belum

menjadi salah satu kebutuhan pokok dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.

Hal itu tecermin dalam tingkat konsumsi ikan dalam negeri yang masih rendah.

Pada 2004, tingkat konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia hanya sekitar

23,18 kg/kapita/tahun (DKP, 2005). Pada hal sesuai dengan standar gizi

masyarakat yang ditetapkan oleh organisasi makanan se dunia (FAO) stadar gizi

ikan adalah sebesar 26,5 kg/kapita/tahun.

Dalam hubungannya dengan tingkat konsumsi di atas mengingat ikan

mempunyai manfaat yang sangat besar sedangkan pasar dalam negeri belum

berkembang baik, pengembangan dan penguatan pemasaran dalam negeri perlu

dilakukan dengan dua tujuan, yaitu untuk meningkatkan kecerdasan bangsa dan

meningkatkan kesejahteraan melalui bisnis perikanan. Untuk mencapai dua tujuan

itu, misi penguatan dan pengembangan pasar dalam negeri ditujukkan untuk

meningkatkan konsumsi ikan perkapita, mendorong harmonisasi supply dan

demand, serta mendorong distribusi marjin secara proposional. Program

pengembangan pemasaran dalam negeri berangkat dari konsep pemasaran sebagai

(31)

Gambar 2. Sumber Bahan Baku Ekspor

Oleh karena itu, pemasaran mempunyai posisi terdepan dalam menghela

peningkatan produksi dan investasi di bidang perikanan. Peningkatanan produksi

dan investasi nantinya akan menghela pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan

lapangan kerja dengan tumbuhnya usaha penangkapan, budidaya, pengolahan, dan

industri Perikanan lainnya yang pada akhirnya mendorong peningkatan

kesejahteraan nelayan/pembudidaya/pelaku usaha perikanan lainnya.

Pada konsideran peraturan bersama menteri Pertanian dan kesehatan

(31/Kpts/Um/1/1975) disebutkan bahwa lingkup pembinaan mutu hasil perikanan

adalah: a) memanfaatkan potensi perikanan secara maksimal; b) melindungi

konsumen dari pemalsuan dan penipuan oleh produsen yang beritikad tidak baik;

c) membina produsen hasil perikanan, dan d) meningkatkan mutu ekspor hasil

perikanan.

Berdasarkan tujuan ini maka sasaran Pembinaan dan Pengolahan hasil

(32)

kapal/tambak pedagang pengumpul di tempat-tempat pengmpul atau TPI, para

pedagang pengangkut maupun pengecer, para produsen di unit-unit pengolahan

dan para petugas penguji (analis) dan pengambil contoh yang bertugas melakukan

pengujian terhadap produk akhir sebelum ekspor. Dengan demikian cakupan

pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan meliputi sejak ikan

ditangkap/dipanen, diangkut, dilelang, diolah di unit-unit pengolahan dan

didistribusikan sampai ketangan konsumen.

Ikan adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki sifat mudah

rusak. Sesuai karakteristik tersebut ditambah dengan kondisi iklim tropis di

Indonesia, hasil produksi perikanan sebagai bahan baku perlu dilakukan

tindakan-tindakan pencegahan terjadinya susut (losses) dan kemunduran mutu selama

penanganan baik di tambak untuk budidaya, di atas kapal untuk penangkapan,

ketika didaratkan di TPI, di Unit pengolahan ikan, dan saat didistribusi.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan antara lain adalah:

- Pembinaan terhadap nelayan dan petani ikan melalui pelatihan-pelatihan dan

penyuluhan,

- Penyediaan sarana air bersih dan es untuk kebutuhan nelayan dalam rangka

mengembangkan sistem rantai dingin (Cold Chain System),

- Introduksi wadah ikan (Fish Container), kotak pendingin (Cool Box) untuk

memperbaiki penanganan selama pengangkutan,

- Pembinaan terhadap pedagang pengumpul dalam penanganan hasil perikanan

meliputi pelatihan-pelatihan, sosialisasi dan magang kerja,

- Pembangunan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan dari aspek

(33)

Dari uraian tersebut di atas nyata sekali bahwa peningkatan taraf hidup

masyarakat khususnya wilayah pesisir sangat ditentukan oleh produk dan jaminan

mutu. Demikian juga dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia

diperlukan protein yang tinggi khususnya dari ikan. Produksi ikan baik dari

budidaya dan tangkap juga akan meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir

khususnya nelayan yang merupakan kelompok paling miskin di wilayah pesisir.

Dalam kaitan dengan hal tersebut aspek pembinaan mutu merupakan hal yang

tidak dapat dipungkiri. Mutu produksi yang memenuhi standar kesehatan atau

standar yang ditetapkan oleh negara importir akan menjamin kelangsungan usaha

di bidang perikanan. Dengan demikian suatu produksi yang ada jaminan mutu

akan meningkatkan taraf hidup masayarakat serta pemenuhan akan berbagai

protein hewani.

Produk hasil perikanan baik dalam bentuk segar, hidup maupun olahan

dari sumber budidaya maupun tangkap akan memiliki nilai jika dapat dipasarkan

dan memberi manfaat (keuntungan) bagi pembudidaya, nelayan muapun

pengolah. Dilihat dari segi peluang pasar maka potensi pemasaran hasil perikanan

di Indonesia memiliki prospek yang cerah mengingat beberapa hal diantaranya

adalah sebagai berikut:

- Jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak merupakan peluang domestic

demand. Pada 2004, jumlah penduduk mencapai 217 juta, sedangkan pada

2005 diproyeksikan menjadi 219 juta (BPS, 2005). Selain itu, tingkat

konsumsi ikan perkapita masyarakat masih rendah, sementara kesadaran

masyarakat terhadap manfaat konsumsi ikan bagi kesehatan sudah mulai

(34)

- Potensi suplai perikanan dari jumlah atau ragam jenisnya yang cukup banyak

dapat dimanfaatkan melalui pengembangan industri penangkapan atau

budidaya. Dari seluruh potensi sumberdaya ikan, pemanfaatan melalui

penangkapan pada tahun 2004 mencapai 4,7 juta ton atau 91,8 % dari jumlah

tangkapan yang diperbolehkan (JTB = 5,12 ton/tahun).

- Beberapa komuditas perikanan yang merupakan edible products memiliki

prospek pasar yang cukup baik dengan semakin meningkatnya kesadaran

masyarakat terhadap manfaat mengkonsumsi ikan karena kandungan protein

dan lemak tak jenuhnya yang baik bagi kesehatan. Sama halnya pada

non-edible products (seperti ikan hias, mutiara, produk biota laut untuk industri

perhiasan, kosmetika, farmasi dan sebagainya) yang sudah memperoleh

tempat di masyarakat.

- Fungsi ikan sebagai sumber protein alternatif menjadi meningkat dengan

munculnya kasus terkait penyakit, seperti sapi gila dan penyakit mulut dan

kuku (PMK) pada sapi, anthrax pada kambing dan burung onta, flu burung

pada unggas (ayam dan bebek). Hal ini mendorong konsumen mencari

alternatif pengganti sumber protein hewani sehingga peluang pasar hasil

perikanan di dalam negeri semakin meningkat.

- Semakin berkembangnya usaha pasar ritel (hypermarke, supermarket,

convenience stores) serta usaha perhotelan, restoran dan catering yang

menyediakan penjualan produk perikanan dan/atau menu khusus perikanan

sehingga membantu promosi produk perikanan dan mendorong peningkatan

(35)

Dalam rangka pemanfaatan potensi dan kendala menjadi peluang sebagai

penguatan dan pengembangan pemasaran dalam negeri, diperlukan penyusunan

program yang dilakukan secara strategi, terintegrasi, dan operasional.

2.2.2. Mendorong Iklim Usaha yang Kondusif

Pengondisian iklim yang kondusif bagi usaha perikanan diperlukan untuk

mendorong keberlangsungan usaha dan kontinyuitas pasokan dengan harga yang

terjangkau konsumen. Upaya untuk mendorong iklim usaha yang kondusif dapat

dilakukan, antara lain melalui penyederhanaan prosedur dalam perizinan usaha di

bidang pemasaran perikanan, peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan,

penyediaan fasilitas bagi pelaku usaha dalam akses permodalan, dan pelibatan

pelaku usaha dalam pembahasan kebijakan terkait pengembangan pemasaran

dalam negeri.

2.2.3. Konsep Cold Chain System (CCS)

Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya bahwa ikan dikenal sebagai

bahan pangan yang sangat mudah rusak jika dibandingkan dengan produk hewani

lainnya. Ketika ikan mati, metabolismenya menjadi tidak terkendali. Enzim di

dalam perut yang semula berfungsi mencerna makanan mulai menyerang bagian

tubuh ikan, terutama berawal dari dinding perut. Proses itu disebut otolisis dan

akan mengakibatkan daging mulai menurun kesegarannya dan dapat

menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang dimanfaatkan mikroorganisme,

(36)

Demikian juga pada ikan yang sehat sekali pun banyak terkandung

mikroorganisme, terutama di kulit permukaan (lendir), insang, dan sebagian di

perut. Pada saat ikan mati, sistem pertahanan tubuh menjadi tidak bekerja

sehingga mikroorganisme yang semula tidak berbahaya mulai menyerang tubuh

ikan. Terlebih lagi ketika otolisis telah mencapai tahap lanjut, pertumbuhan

mikroorganisme akan semakin cepat dan menghasilkan senyawa yang membuat

ikan menjadi busuk (menjadi lembek atau berair, berbau amis, dan berbau busuk).

Jika ada bakteri penyebab penyalit, daging ikan dapat menjadi penyebab penyakit

bagi manusia yang mengonsumsinya akibat bakterinya (infeksi) atau racun yang

dihasilkannya (intoksikasi).

Jika tidak ditangani dengan benar dan cepat Ikan akan terus menurun

kesegarannya sejak mati dan akan mengarahkan pada kebusukan. Oleh karena itu,

sebenarnya penurunan kesegaran atau kebusukan tidak dapat dihentikan total,

kecuali memperlambat penurunan kesegaran sehingga kebusukan dapat ditunda.

Reaksi ensimatis atau aktivitas mikroorganisme itu sangat dipengaruhi

suhu. Sampai pada batas tertentu, semakin tinggi suhu, semakin cepat laju reaksi

enzimatis dan aktivitas mikroorganisme. Berdasrkan hasil penelitian para ahli

diketahui pula, setiap kenaikan suhu sebesar 5ºC, laju pembusukan akan

meningkat sebesar dua kali. Sebaliknya apabila terjadi penurunan suhu 5ºC maka

laju penurunan mutu menurun juga dua kali lipat. Oleh karena itu, satu-satunya

cara untuk memprtahankan kesegaran ikan adalah dengan menekan laju reaksi

enzimatis dan aktivitas mikroorganisme, yaitu dengan menurunkan suhu serendah

(37)

Gambar 3. Proses Pembekuan Udang

Untuk menghentikan aktivitas mikroorganisme sama sekali, ikan dapat

pula dibekukan dan disimpan pada suhu sampai dengan -45ºC. Pada suhu itu,

reaksi enzimatis dan aktivitas mikroorganisme praktis berhenti, bahkan hampir

semua mikroorganisme mati. Dengan demikian, daya simpannya akan lebih

panjang lagi, tetapi beberapa sifat dagingnya akan terpengaruhi. Kegiatan proses

penangan ini lazim disebut dengan pembekuan.

Di dalam proses pengolahan ikan, kesegaran ikan adalah mutlak. Jika ikan

sebagai bahan baku sudah tidak segar lagi, sebaik apa pun proses pengolahannya

tidak akan menghasilkan produk yang baik sehingga nilai tambah yang diperoleh

pun tidak optimal. Di samping itu, kesegaran ika pun sangat berpengaruh terhadap

keamanan konsumsinya. Salah satu contoh yang sering digunakan untuk

menggambarkan hubungan antara kesegaran ikan dan keamanan konsumsi adalah

keracunan karena mengkonsumsi ikan jenis scombroid (tuna, tongkol, kembung,

(38)

Teknologi yang sudah banyak diterapkan untuk mendinginkan ikan adalah

pembekuan dengan es (icing), yaitu mencampur ikan dan es dengan proporsi 1: 2.

Untuk perikanan tangkap, cara itu harus dilakukan sejak ditangkap dan

dimasukkan ke kapal. Artinya, es mutlak harus dibawa saat nelayan berangkat

melaut. Kapal besar dan modern biasanya punya unit pendinginan (bahkan unit

pembekuan) sehingga tidak harus membawa es dari darat.

Agar sistem rantai dingin dapat berjalan dengan baik, sarana untuk

mempertahankan suhu ikan agar tetap di bawah 4ºC mutlak adanya. Sarana itu

meliputi palka berinsulasi, kotak pendingin (cool box), pemecah es, sarana

distribusi berpendingin, sarana pengeceran, dan sebagianya. Kebutuhan itu sulit

dihitung secara detil, tetapi pasti memerlukan investasi yang tidak sedikit.

Susut hasil dalam penanganan ikan tidak selalu akibat tidak tersedianya es,

tetapi akibat lain yang kadang tidak bersifak teknis. Berdasarkan defenisi sistem

rantai dingin sebelumnya, penyediaan sarana dan prasarana pendinginan tidak

serta merta menjamin berjalannya sistem. Ada prasyarat lain yang harus dipenuhi,

yaitu adanya prosedur baku yang harus ditaati berupa Praktek Penanganan Ikan

yang Baik (GHP, Good Handling Practices). Beberapa prinsip utama GHP, antara

lain cepat, cermat dan bersih.

Hal ini sesuai dengan konsep CCS yang disarankan oleh pemerintah

dimana jenis sarana dan prasarana CCS yang sebaiknya tersedia di setiap tahap

penanganan ikan antara lain:

1. Di atas kapal: cool box (kapal 5-10 GT), palkanisasi (kapal 10-20 GT),

(39)

2. Di Tambak/Kolam Ikan: tempat/ruang penanganan ikan (handling space),

trays/ keranjang, cool box, air bersih, ice storage, ice crusher dan sarana

sanitasi dan higiene.

3. Di TPI/PPI: trays/keranjang, kereta dorong, pabrik es skala kecil (mini ice

plant), ice crusher, ice storage, kereta dorong, air bersih, sarana sanitasi dan

hygiene, cool box dan cold storage.

4. Di UPI SKM: freezer, cold storage, cool room, ice crusher, ice storage,

trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene

5. Distribusi dan Transportasi CCS: truk berrefrigerasi (refrigerated truck),

Truk berinsulasi (insulated truck), mobil angkut pick up, sepeda motor

dilengkapi box berinsulasi, becak dilengkapi box berinsulasi, cool box,

trays/keranjang dan sarana sanitasi dan higiene.

6. Di Pasar Hygienis dan Tradisional: showcase, cool box, trays/keranjang, ice

tube/ice flake, air bersih serta sarana sanitasi dan hygiene.

Selain itu, faktor ketidakpastian mengakibatkan tidak semua nelayan

membawa es dalam jumlah besar karena, selain memakan tempat di palka, hal itu

perlu biaya tinggi. Praktek yang sering dilakukan adalah mengawetkan ikan hasil

tangkapan awal dengan garam dan hanya menggunakan es untuk tangkapan akhir

menjelang pendaratan. Penanganan seperti itu membuat ikan tangkapan awal

keadaan fisiknya sudah tidak bagus karena tergencet tangkapan berikutnya dan

pada akhirnya harus dilelang sebagai bahan baku ikan asin dengan harga yang

tidak tinggi.

Penggunaan es untuk mengawetkan tangkapan akhir menunjukkan,

(40)

pada saat lelang akan mendapatkan harga tinggi. Beberapa nelayan demersal

dengan hasil tangkapan ikan kakap ternyata melakukan pembekuan dengan es

terhadap hasil tangkapannya dengan benar karena mereka mengetahui ikan kakap

tangkapan mereka akan dihargai sangat tinggi dalam keadaan segar.

Di pelelangan, GHP belum diterapkan dengan benar meskipun sarana dan

prasaranannya telah dilengkapi. Itu kembali menunjukkan betapa sikap atau

attitude pelaku perikanan kita, termasuk pengelola pelelangan, belum tepat dalam

menangani ikan hasil tangkapannya.

Kedua contoh itu memperlihatkan berapa ketersediaan es saja tidak cukup

untuk mempertahankan kesegaran ikan yang didaratkan. Ada faktor lain yang

harus dicermati, yaitu kedisiplinan para pelaku dalam menerapkan GHP yang

ternyata masih sangat kurang walaupun sejumlah Petunjuk Teknis atau Praturan

Menteri terkait dengan itu sudah banyak diterbitkan dan disosialisasikan. Selain

itu, pngakan aturan masih merupakan salah satu titik lemah. Itu menjadi tantangan

bagi pemerintah atau para pemangku kepentingan untuk mengatasinya. Hasil

investigasi tim Uni Eropa berdasarkan pada dua kali peninjauan lapangan (April

2004 dan September 2005) untuk mendukung kenyataan itu. Salah satu temuan

mereka adalah tidak bagusnya praktem penanganan ikan selama di atas kapal, saat

pelelangan, atau di unit pengolahan, serta kurangnya kendali aparat. Tidak heran

jika kemudian Uni Eropa melalui CD (Council Directive) No. 236 tahun 2006

baru-baru ini memberlakukan Systematic Border Control terhadap produk

perikanan Indonesia. Salah satunya terhadap kandungan histamin sebagai

(41)

Melihat kenyataan di lapangan dan pemberlakuan Systematic Border

Control, harus segera diambil langkah untuk memperbaiki penerapan sistem rantai

dingin di lapangan. Langkah yang harus diambil merupakan komitmen bersama

dan serentak (cencerted efforts) antara pemerintah dan pelaku usaha, termasuk

kelompok nelayan dan asosiasi. Oleh karena tingginya investasi yang dibutuhkan

untuk penerapan sistem rantai dingin, pemerintah dan dunia usaha harus

bahu-membahu mengadakannya. Aturan yang telah dibuat harus segera dikuatkan

penerapannya di lapangan. Selain itu, fasilitas dari pemerintah seperti pelatihan,

sosialisasi petunjuk teknis, dan sejenisnya harus sesering mungkin dilaksanakan.

Penyediaan es murah merupakan salah satu alternatif yang dapat diambil

pemerintah untuk merangsang penggunaan es lebih baik lagi.

2.2.4. Proses Cold Chain Sistem (CCS)

Proses perlakuan CCS yang baik diatas kapal nelayan adalah:

- Setelah semua bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan telah dipersiapkan

dan dibawa sesuai dengan kebutuhan seperti: Cool Box, Keranjang, Ember,

Air Tawar, Es Curah serta alat-alat pendukung lainnya.

- Setelah ikan tertangkap maka ikan dibersihkan dengan air tawar lalu disortir

sesuai dengan jenis dan ukurannya.

- Selanjutnya ikan dimasukkan kedalam Cool Box dengan susunan lapisan

bawah es curah lalu lapisan ikan lalu lapisan es demikian seterusnya. Dalam

proses ini diusahakan jumlah es jangan sampai kurang, sebaiknya 2: 1

sehingga suhu dalam Coll Box bisa dipertahankan dan tidak berubah sampai

(42)

Selanjutnya perlakuan CCS diteruskan oleh pedagang/pengumpul untuk

dikirim ke pabrik/konsumen.

2.2.5. Fungsi Produksi dan Pendapatan

Menurut Mubyarto (1989), fungsi produksi yaitu suatu fungsi yang

menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dan faktor-faktor

produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi produksi dituliskan

sebagai berikut:

Y = f (X1,X2,...,Xn)

dimana:

Y = Hasil produksi fisik

X1,X2,...,Xn = Faktor produksi

Penerimaan adalah total produksi yang dihasilkan dikalikan harga.

Pendapatan bersih adalah penerimaan dikurangi dengan biaya produksi dalam satu

kali periode produksi. Secara grafik pendapatan maksimum oleh suatu usaha dapat

ditunjukkan dengan grafik yang menggambarkan biaya total dan hasil penjualan

(penerimaan) (Samuelson, 2001).

Dalam usaha prikanan, nelayan akan memperoleh penerimaan dan

pendapatan, penerimaan nelayan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh

dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

TRi = Yi . Pyi dimana:

Tri = Total Penerimaan nelayan

Yi = Produksi

(43)

Pendapatan nelayan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya

Pd = TR – TC dimana:

Pd = Pendapatan

TR = Total Penerimaan

TC = Total Biaya

Biaya usaha perikanan biasanya diklasifikasikan menjadi 2 yaitu biaya

tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap biasanya didefinisikan sebagai biaya yang

relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh

banyak atau sedikit, contoh: pajak. Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel

biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhui oleh

produksi yang diperoleh, contoh: biaya untuk sarana produksi. Menurut Suratiyah

(2006), cara menghitung biaya tetap adalah:

FC = ∑�=�� . ��� dimana:

FC = Biaya Tetap

∑ Xi = Jumlah Fisik dari input yang membentuk biaya tetap

Pxi = Harga input

Xi = Macam input

Total biaya (TC) adalah jumlah dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC)

TC = FC+ VC

Menurut Sudrajat (2008) Untuk analisis kelayakan usaha, perhitungan

biaya yang sering dilakukan yaitu cost ratio (R/C). Revenue cost ratio lebih besar

(44)

untuk memeperoleh benefit itu. Bukan hanya sekedar benefit lebih besar dari

biaya, tetapi B/C ratio lebih besar dari satu sedemikian rupa sehingga benefit

dapat menutupi selain dari biaya, juga dapat mengembalikan (repayment)

investasi. Bukan hanya sekedar dapat menutupi biaya dan pengembalian investasi,

tetapi benefit juga harus dapat memberikan keuntungan (profit) bagi perusahaan

(Radiks, 1997).

Benefit merupakan manfaat atau faedah yang diperoleh atau dihasilkan

dari suatu kegiatan yang produktif. Misalnya pembangunan atau rehabilitasi atau

perluasan sehingga diperoleh hasil yang lebih besar. Benefit yang diperoleh

mungkin sama tiap-tiap periode dan mungkin berbeda. Maka dalam disiplin

penelitian dan penilaian proyek. Benefit diberlakukan sebagai benefit tetap (fixed

benefit) maupun benefit variabel (variabel benefit) (Radiks, 1997).

2.3. Kerangka Pemikiran

Penggunaan CCS dalam usaha di bidang perikanan merupakan usaha

untuk menjamin mutu produk perikanan, agar tetap bermutu dan memiliki nilai

jual yang tinggi. Hal ini penting mengingat permintaan produk perikanan yang

memiliki mutu dari tahun ke tahun terus meningkat.

Namun demikian tidak semua nelayan melakukan penjagaan mutu produk

dengan menggunakan CCS. Hal ini disebabkan implementasi CCS memerlukan

tambahan biaya untuk melengkapkan sarana dan prasarana CCS sesuai dengan

kaedahnya. Sehingga diperlukan perbandingan antara Return-Cost (R/C).

Perbandingan antara penerimaan dan pengeluaran atau biaya (R/C)

penggunaan CCS dengan nelayan tradisional dianggap dapat memberikan

(45)

ratio > 1 maka usaha yang dijalankan mengalami keuntungan dan layak untuk

diusahakan atau dikembangkan. Namun jika R/C ratio < 1 maka usaha tersebut

mengalami kerugian atau tidak layak untuk diusahakan atau dikembangkan.

Dengan diketahuinya biaya( pengeluaran) yang terdiri dari biaya tetap

(fixed cost) dan biaya variabel (variabel cost) pada proses produksi dan

penerimaan yang diperoleh maka dapat diketahui keuntungan yang diperoleh

dengan menghitung selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Jika penerimaan

lebih besar daripada total biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut

memperoleh keuntungan. Sedangkan jika penerimaan lebih kecil daripada total

biaya yang dikeluarkan maka usaha tersebut mengalami kerugian.

Bagi nelayan yang tidak menggunakan CCS tentu input produksinya lebih

rendah dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Namun demikian

bukan berarti biaya yang rendah akan berdampak pada keuntungan yang lebih

besar dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan CCS. Hal ini disebabkan

keuntungan juga ditentukan oleh harga jual produk, dimana mutu produk

(46)

Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis Penelitian

Ada perbedaan signifikan antara pendapatan nelayan yang menggunakan

CCS dengan nelayan tradisional yang tidak menggunakan CCS. Penerimaan

Produksi

Pendapatan

Alternatif Kebijakan CCS Biaya Input

Nelayan di Kab.

Serdang Bedagai Nelayan yang Tidak Menggunakan CCS Nelayan yang

(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Pemilihan Lokasi

Dari 17 Kecamatan Kabupaten Serdang Bedagai memiliki 5 Kecamatan

Pesisir dengan 23 Desa Pesisir, salah satu Kecamatan Pesisir adalah Kecamatan

Tanjung Beringin yang secara purposive dipilih menjadi lokasi penelitian ini dengan berbagai pertimbangan yang mendukung jalannya penelitian ini antara

lain:

- Pelaksanaan kegiatan Cold Chain System (CCS) melalui kegiatan bantuan Pemerintah Kabupaten.

- Sarana kapal nelayan berukuran 5 – 10 GT cukup banyak.

- Sarana alat tangkap nelayan (jaring ikan) cukup banyak dan berpariasi.

- Jumlah nelayan cukup banyak

Tabel 1. Kecamatan Pesisir di Kabupaten Serdang Berdagai

No Kecamatan Jumlah

Dari lima kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai,

maka Kecamatan Tanjung Beringin yang layak dipilih sebagai lokasi sampel.

Kecamatan Tanjung Beringin memiliki delapan desa, dipilih secara

purposive sebagai sampel yang terdiri dari : 250 nelayan yang menggunakan CCS

(48)

Untuk dapat melihat berapakah jumlah nelayan yang ada di Kecamatan

Tanjung Beringin baik nelayan tetap ataupun nelayan sambilan dapat di lihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin

No Desa

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai.

Pada Tabel 2. dapat kita lihat bahwa jumlah nelayan yang ada di

kecamatan Tanjung Beringin berjumlah 3435. Adapun nelayan yang ada di

Kecamatan Tanjung Beringin ada nelayan tetap dan nelayan sambilan, nelayan

tetap merupakan nelayan yang mata pencaharian sehari-harinya dengan pergi

melaut terdiri dari 2016 orang nelayan tetap, dan 1419 nelayan sambilan yang

sebahagian waktunya di luangkan untuk melaut.

Dengan demikian jumlah nelayan di Kecamatan Tanjung Beringin tidaklah

sama tingkat keadaannya dikarenakan armada yang digunakan nelayan sangatlah

bervariasi yang pada dasarnya ukuran kapal serta kapasitas armada kapalnya tidak

lah sama, dapat dilihat pada Tabel 3.

Dari Tabel 3. dapat kita lihat jumlah armada kapal yang ada di Kecamatan

(49)

bervariasi dari kapal tanpa motor berjumlah 246 unit, sedangkan 0 – 4 GT

berjumlah 504 unit, 5-10 GT berjumlah 1245 unit, dan 11-15 GT berjumlah 161

unit, dan 15 GT keatas berjumlah 28 unit.

Tabel 3. Jumlah Armada Kapal Nelayan/Desa di Kecamatan Tanjung Beringin

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang Bedagai

Dari data produksi ikan di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten

Serdang Bedagai 5 tahun sebelumnya dapat dilihat adanya kenaikan produksi

± 1,2 % setiap tahunnya.

Produksi tersebut dari segi jenis ikan bahwa jenis ikan gembung kuring ,

kedah yang lebih dominan atau lebih banyak produksinya jenis ini adalah ikan

yang sangat mudah membusuk, maka perlu dilakukan penanganan supaya tetap

segar sampai ke Tempat Pendaratan Ikan (TPI), sehingga harga jualnya lebih

(50)

Tabel 4. Data Produksi Ikan di Kecamatan Tanjung Beringin, Kabupaten

Dari jumlah kapal nelayan penangkap ikan di Kecamatan Tanjung

Beringin maka ada 3 desa yang populasinya cukup tinggi yaitu :

- Desa Pekan Tanjung Beringin 645 Kapal.

- Desa Tebing Tinggi 518 Kapal.

- Desa Nagur 529 Kapal.

Sehubungan dengan tingginya Populasi tersebut maka program CCS ini

dilakukan di 3 desa tersebut dengan jumlah 250 armada, dan setiap tahunnya ada

peningkatan penggunaan CCS. Adapun data nelayan yang menggunakan CCS dan

(51)

Tabel 5. Jumlah Armada Kapal menurut CCS dan Non CCS/Desa di

Penelitian ini menggunakan metode stratified random sampling. Populasi

terlebih dahulu di strata menjadi dua stratum, yaitu stratum 1 adalah nelayan yang

menggunakan sistim rantai dingin atau CCS dengan populasi 250 nelayan dan

stratum II adalah nelayan yang tidak menggunakan sistem rantai dingin atau CCS

dengan populasi 2184 nelayan.

Jumlah sampel yang diambil adalah jumlah sampel berimbang yaitu

sebanyak 30 sampel nelayan untuk Stratum I dan 30 nelayan sampel untuk

Stratum II. Dengan demikian jumlah sampel keseluruhan adalah sebanyak 60

sampel nelayan.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Adapun data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer

dan data sekunder. Data primer diperoleh dari data hasil wawancara langsung

(52)

yang telah disiapkan sedangkan data sekunder merupakan data yang diproleh dari

lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang terkait dengan penelitian ini.

3.4. Metode Analisa Data

Setelah dikumpulkan, kemudian data yang telah diperoleh ditabulasikan

dan selanjutnya dianalisis. Untuk menganalisis tujuan 1 digunakan analisis

deskriptif. Pada analisis ini akan didiskripsikan bagaimana penggunaan sistim

rantai dingin atau CCS oleh nelayan sampel yang menggunakan CCS.

Untuk menganalisis tujuan 2 digunakan analisis cost-benefit, dengan

rumus sebagai berikut:

a. Biaya Produksi (Cost) Nelayan

TC = FC + VC dimana:

TC = Total Biaya (Rp)

FC = Biaya Tetap (Rp)

VC = Biaya Variabel (Rp)

b. Penerimaan (Benefit) Nelayan:

TRi = Yi . Pyi dimana:

Tri = Total Penerimaan

Yi = Produksi yang diperoleh dalam suatu usaha nelayan

(53)

c. Pendapatan Nelayan

Pd = TR – TC dimana:

Pd = Pendapatan Usaha Nelayan

TR = Total Penerimaan

TC = Total Biaya.

Tujuan 3 yaitu menganalisis perbedaan tingkat pendapatan nelayan yang

menggunakan CCS dengan nelayan Tradisional Non CCS, digunakan analisis uji

beda rata-rata untuk sampel heterogen atau dengan analisis ttest dengan software

SPSS.

3.5. Definisi dan Batasan Operasional 3.5.1. Definisi

1. Populasi adalah jumlah nelayan yang menggunakan CCS dan yang tidak

menggunakan CCS dengan ukuran kapal 5-10 GT dan sampel diambil 10%

dari populasi (jiwa) tersebut.

2. Nelayan sampel adalah individu yang tergabung dalam kelompok nelayan

yang bermata pencaharian sebagai nelayan (jiwa).

3. Nelayan tradisional adalah nelayan yang tidak menggunakan CCS (jiwa).

4. CCS adalah Cold Chain System (sistem rantai dingin).

5. Total biaya (Rp) adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh

hasil tangkapan ikan yang menggunakan CCS dan tidak menggunakan CCS.

6. Hasil tangkapan adalah semua hasil yang didapat dalam melaut dan semua

(54)

7. Pasca panen adalah upaya atau perlakuan penanganan terhadap hasil

tangkapan sampai pada pemasaran.

8. Total pendapatan adalah semua pendapatan (Rp) yang diterima dari hasil

tangkapan.

3.5.2. Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang

Bedagai.

2. Sampel dalam penelitian ini adalah nelayan yang menggunakan CCS dan yang

tidak menggunakan CCS dengan ukuran kapal 5-9 GT di Kecamatan Tanjung

Beringin Kabupaten Serdang Bedagai.

(55)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan pemekaran dari Kabupaten Deli

Serdang dimana efektif pemerintahannya berjalan sejak Januari 2004. Kabupaten

Serdang Bedagai mempunyai Luas Wilayah ± 1.900,22 km² dengan ketinggian

0-500 m di atas permukaan Laut yang terdiri dari 17 Kecamatan, 243 Kelurahan/

Desa dengan kepadatan Penduduk ± 332 jiwa/ km² (data tahun 2009) dan jumlah

penduduk Kabupaten Serdang Bedagai 630.728 jiwa dengan komposisi laki-laki

316.745, perempuan 313.983 jiwa dengan 149.702 RT.

Salah satu kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai, yang merupakan

lokasi penelitian adalah Kecamatan Tanjung Beringin. Kecamatan Tanjung

Beringin memiliki luas wilayah 74,170 Km2 sedangkan jumlah penduduk

Kecamatan Tanjung Beringin ± 37.561 Jiwa, dengan batas – batas wilayah Kecamatan Tanjung beringin sebagai berikut :

- Utara berbatasan dengan Selat Malaka.

- Selatan berbatasan dengan kecamatan Sei Rampah.

- Barat berbatasan dengan Kecamatan teluk Mengkudu.

- Timur berbatasan dengan Kecamatan Bandar Khalipah

4.2. Karakteristik Nelayan Sampel

Nelayan sampel pada penelitian ini terdiri dari nelayan penangkap ikan di

laut yang dalam proses produksinya menggunakan Cold Chain System (CCS) atau

(56)

atau Non CCS. Karekteristik kedua nelayan sampel ini memiliki perbedaan seperti

yang dijelaskan pada Tabel 6.

Tabel 6. Karekteristik Sampel Nelayan Menggunakan CCS dan Non CCS No Karekteristik Nelayan CCS Non CCS

1 Tanggungan Keluarga 5 orang 4 orang

2 Pendidikan SMP SD

3 Pengalaman Melaut 14 tahun 18 tahun

4 Lama Penggunaan CCs 2 tahun -

5 Jumlah Trip/Bulan 12 kali 12

6 Lama di Laut/Trip 8 jam 7 jam

7 Ukuran Kapal 6 GT 6 GT

Sumber: Data Primer, 2011 (diolah)

Tabel 6 menunjukkan bahwa sampel nelayan yang menggunakan CCS

memiliki rata-rata 5 orang tanggungan keluarga, sedangkan yang non CCS

memiliki rata-rata 4 orang tanggungan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa

jumlah tanggungan sampel nelayan ini tergolong tinggi baik yang CCS maupun

non CCS.Namun demikian kebanyakan nelayan sampel menggunakan tenaga

kerja dalam keluarga untuk membantu kepala keluarga menangkap ikan di laut.

Berdasarkan hasil wawancara dijumpai bahwa semakin besar jumlah tanggungan

keluarga maka semakin dominan tenga kerja yang digunakan bersumber dari

dalam keluarga.

Tingkat pendidikan merupakan faktor penting dalam adopsi teknologi.

Penggunaan CCS lebih mudah disosialisasikan bagi nelayan yang memiliki

tingkat berpendidikan Sekolah Menengah. Tabel 5. menunjukkan bahwa sampel

nelayan yang menggunakan CCS memiliki rata-rata tingkat Sekolah Menengah

Gambar

Gambar 1. Jaminan Mutu untuk Ekspor
Gambar 2. Sumber Bahan Baku Ekspor
Gambar 3. Proses Pembekuan Udang
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti, gambar, brosur, dan

Sehubungan dengan kegiatan Prakualifikasi e-Lelang Terbatas Ulang Pengadaan Jasa Pemborongan Pekerjaan Pembuatan Jembatan Kamal Overpass dan Jembatan Ciliwung

Pola Pengelolaan #euangan $%&amp;D yang selanutnya disingkat PP#-$%&amp;D' adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan &lt;leksibilitas berupa keleluasaan untuk 

Hasil uji anava ganda terhadap rata-rata skor kekenyalan manisan siwalan menunjukkan interaksi perbedaan gula dan asam sitrat sangat berpengaruh nyata (sangat signifikan)

Jumlah Tween 80-PEG 400 dan waktu pengadukan merupakan faktor yang signifikan berpengaruh pada ukuran diameter globul karena terkait dengan peranan Tween 80 sebagai surfaktan

We close the discussion on the basic RAS model and the in- duced control problem by presenting an RAS taxonomy that has been instrumental for the systematic investigation of the

Upacara penyempurnaan dilakukan bagi jenazah yang akan dikremasi. Pada dasarnya, upacara yang dilakukan antara jenazah yang dimakamkan atau yang dikremasi tidak

Pada penulisan ini akan disampaikan hasil percobaan tentang pemotretan ruang yang hanya menggunakan sebuah lampu flash eksternal berintensitas kecil, yang bisa