• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Peraturan Daerah Di Lingkungan Propinsi Sumatera Utara Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Evaluasi Peraturan Daerah Di Lingkungan Propinsi Sumatera Utara Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

EVALUASI PERATURAN DAERAH DI LINGKUNGAN

PROPINSI SUMATERA UTARA DITINJAU BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

OLEH

MARDONA SIREGAR

097005015/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan perundang-undangan maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-perundang-undangan harus senantiasa beradasarkan pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni sejak dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dengan terbitnya undang-undang tersebut terasa bahwa pembentukan peraturan semakin seragam baik dari sisi substansi maupun sistematika penuangannya. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut mutatis mutandis berlaku juga pada pembentukan Perda, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam proses pembentukan Perda Provinsi, Perda

Kabupaten/Kota, sangat berpotensi timbulnya keanekaragaman dan dengan demikian berpotensi pula timbulnya pertentangan di antara isi materi Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan antara satu daerah dengan daerah yang lain, yang selanjutnya berpotensi timbulnya berbagai pertentangan dalam penerapan dan dalam memberikan penafsiran terhadap isi materi Perda.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.Keberadaan Perda dalam otonomi daerah sangat penting artinya, sebab Perda merupakan konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, Perda merupakan conditio sine quanon dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi daerah tersebut. Perda pada dasarnya merupakan salah satu bingkai hukum atas rumusan kebijakan publik di tingkat daerah. Secara substansial Perda mengatur urusan pemerintahan yang sangat luas, sejalan dengan kehendak udang-undang yang memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Substansi Perda Kabupaten dan Kota jauh lebih luas, tetapi tidak demikian halnya pada Perda Provinsi, meskipun sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom lebih terbatas dibandingkan dengan kewenangan kabupaten dan kota yang juga sebagai daerah otonom. Kewenangan masing-masing daerah pada bentuk hukum seperti Perda, perlu dipahami dengan baik dan hati-hati, sebab berpotensi menimbulkan konflik kewenangan, khususnya antara provinsi dengan kabupaten dan kota

Disarankan adanya upaya setiap Pemerintah Daerah untuk menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat, disarankan untuk membentuk peraturan yang bersifat operasional dan aplikatif yang merinci secara komprehensif, termasuk kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme atau prosedural yang sah dalam proses evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah, dan disarankan untuk pembenahan substansial materi muatan perundang-undangan untuk memperkuat fungsi pengawasan produk hukum di daerah.

(3)

ABSTRACT

In order to guarantee of the certainty of drafting legal provisions, they have to be based on the regulations which have stipulated in Law No.10/2004 on the Drafting of Legal Provisions, starting from the planning, preparing, organizing, formulating, ratifying, enacting, and up to disseminating. By the enactment of the law, the drafting of legal provisions is becoming uniformed, both from their substances and from their embodying system. The enactment of the legal provisions is also mutatis mutandis imposed on Perda (Regional Regulations) as they are stipulated in Law No.32/2004 on Regional Government. In the process of the drafting the Provincial Regulations, the regulations of the districts and towns potentially bring out the adversity so that they will also potentially cause conflicts between the substance of the Perda and the higher legal provisions and between one region and another one. This condition will cause the contradiction in their application and in interpreting the substances of the Perda.

The method of the research was legal normative. The main data of the research were secondary data. They were collected by using library research and field research and analyzed quantitatively. The existence of Perda in the regional autonomy is very important because it constitutes the logical consequence of the regional authority to regulate and to take care of its domestic affairs. Therefore, it is a condition sine quanon in order to implement the authority of regional autonomy. Basically, Perda is a legal frame on the formulation of public policy in the regional level. Substantially, it regulates the whole government affairs which are in line with the demand of law which gives the autonomy to districts and towns as broad as possible. The substance of Perda of districts and towns is much broader than that of the provinces although all of them are autonomous. However, the authority of a province as an autonomous area is more limited than that of a district and of a town. The authority of each area which has regional regulations needs to be understood well because it can cause the conflict of authority, especially between provinces and districts and towns.

It is recommended that each area should attempt to create the integrity and the oneness of the nation and give legal certainty to each member of society, enact operational, applicative, detailed, and comprehensive regulations, including institutional authority, valid mechanism and procedures in the process of evaluation and revocation of Perda. It is also recommended that each area should improve the substantial legal materials in order to strengthen the function of supervision of regional legal products.

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada saat yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan

syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Evaluasi Peraturan

Daerah di Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)”. Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang

telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu

pengetahuan.

Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang

ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya

rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam

melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian

dariMu, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa

mengharap ridho dan pertolonganMu, karena penulis yakin bahwa Engkau tidak akan

membebani dan menguji hambaMu melebihi dari daya dan kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis

menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

yang penulis muliakan, yaitu:

1. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr.M.Solly Lubis, SH selaku ketua komisi

pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam

(5)

2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku

pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan

kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. Mhum selaku pembimbing

III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan

waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat

bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.

4. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS selaku penguji dari

kolokium hingga meja hijau yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya

demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.

5. Yang Terpelajar Dr. Hasim Purba, SH. MHum selaku penguji dari mulai

kolokium hingga meja hijau yang telah banyak memberikan dukungan dan saran

dalam penulisan tesis ini.

6. Yang terpelajar Bapak Dr. Marzuki, SH. MHum dan yang terpelajar Bapak

Gunadi, SH. MHum yang dengan penuh kasih sayang dan kesabaran telah banyak

memberikan bimbingan, petunjuk dan pengetahuan yang sangat bermanfaat dan

menambah cakrawala pengetahuan penulis.

7. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu

persatu.

8. Seseorang yang terdekat dihati penulis, Drg.Ofni Fitriani Tarigan yang dengan

ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta

senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis

mengucapkan terimakasih yang tiada tara, semoga Ofni senantiasa berada dalam

(6)

9. Teman-teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas

Sumatera Utara (Bapak Asmanuddin,Dani Sintara, Irwansyah, Yusrizal, Maurice,

M.Topik, Ian Oktavianus, Ezriani,) dan yang lainnya yang tidak dapat penulis

sebutkan namanya satu persatu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal

saleh dan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.

Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih

kepada saudara-saudara kandung penulis, yakni: Imran Siregar, Elvi Susi Yanti

Siregar, Putri Handayani Siregar,kakak ipar Lita, dan keponakan Angga Apriliansyah

Siregar.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan

tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan

kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda H.Ruslan

Siregar dan Ibunda Hj.Saripah Harahap, kalian telah menjadi pemicu dan

motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan

penulisan tesis ini.

Akhirnya, penulis berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, 19 Januari 2012

Penulis,

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : MARDONA SIREGAR

TTL : SIMARDONA 14 SEPTEMBER 1986

ALAMAT : JL.RAJA INAL SIREGAR, BATUNADUA,

PADANGSIDIMPUAN

NIM : 097 005 015

RIWAYAT PENDIDIKAN

a. Sekola Dasar (SD) Negeri 142421 Padangsidimpuan tamat, Tahun 1999 b. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Padangsidimpuan tamat,

Tahun 2002

c. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Padangsidimpuan tamat, Tahun 2005

(8)

DAFTAR ISI

BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MEMBENTUK PERATURAN DAERAH ... 47

A. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Membentuk Peraturan Daerah ... 47

1. Peraturan Daerah Dalam Perspektif Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ... 47

2. Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Perspektif Demokrasi ... 56

3. Peraturan Daerah Sebagai Produk Legislasi Daerah ... 61

B. Alasan-Alasan Mengapa Pemerintah Pusat Melakukan Pembatalan Terhadap Peraturan Daerah ... 70

BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PERATURAN DAERAH ... 77

(9)

B. Landasan, Asas-Asas dan Proses Pembentukan Peraturan Daerah

Sebagai Produk Peraturan Perundang-Undangan ... 99

1. Landasan Pembentukan Perda ... 99

2. Asas-Asas Pembentukan Perda ... 103

C. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ... 110

1. Konsep Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ... 110

2. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah Menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah .. 122

BAB IV AKIBAT HUKUM EVALUASI PERATURAN DAERAH YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH ... 135

A. Evaluasi Materi Muatan Peraturan Daerah ... 135

B. Akibat Hukum Evaluasi Peraturan Daerah Yang Dilakukan Oleh Pemerintah ... 145

C. Evaluasi Peraturan Daerah Pada Propinsi Sumatera Utara ... 154

1. Provinsi Sumatera Utara ... 158

2. Kabupaten Asahan ... 159

3. Kabupaten Labuhan Batu ... 164

4. Kabupaten Toba Samosir ... 168

5. Kota Binjai ... 171

D. Analisis Terhadap Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara ... 175

1. Peraturan Daerah Tentang Retribusi Perizinan Usaha Pertanian dan Peternakan ... 175

2. Peraturan Daerah Tentang Retribusi Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi ... 179

3. Peraturan Daerah Tentang Retribusi Izin Operasi dan Izin Trayek Angkutan Jalan ... 184

4. Peraturan Daerah Tentang Retribusi Izin Menggali Kerangka dan Memakamkannya Kembali ... 186

5. Peraturan Daerah Tentang Ketentuan Izin dan Retribusi Pengelolaan Dan Pengusahaan Sarang Burung Walet ... 191

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 194

A. Kesimpulan ... 194

B. Saran ... 195

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pembatalan Perda di Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2007-2009 ... 154

Tabel 2 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

Pembatalan Perda di Daerah Kabupaten Asahan ... 159

Tabel 3 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

Pembatalan Perda di Daerah Kabupaten Labuhan Batu ... 165

Tabel 4 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

Pembatalan Perda di Daerah Kabupaten Toba Samosir ... 168

Tabel 5 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

(11)

DAFTAR SKEMA

Halaman

(12)

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

MA : Mahkamah Agung

MENDAGRI : Menteri Dalam Negeri

MENKEU : Menteri Keuangan

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

PP : Peraturan Pemerintah

PERDA : Peraturan Daerah

PERPRES : Peraturan Presiden

PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

PROLEGDA : Program Legislasi Daeah

PROLEGNAS : Program Legislasi Nasional

RAPERDA : Rancangan Peraturan Daerah

RUTR : Rancangan Umum Tata Ruang

SE : Surat Edaran

UU : Undang-Undang

(13)

ABSTRAK

Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan perundang-undangan maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-perundang-undangan harus senantiasa beradasarkan pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni sejak dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dengan terbitnya undang-undang tersebut terasa bahwa pembentukan peraturan semakin seragam baik dari sisi substansi maupun sistematika penuangannya. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut mutatis mutandis berlaku juga pada pembentukan Perda, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam proses pembentukan Perda Provinsi, Perda

Kabupaten/Kota, sangat berpotensi timbulnya keanekaragaman dan dengan demikian berpotensi pula timbulnya pertentangan di antara isi materi Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan antara satu daerah dengan daerah yang lain, yang selanjutnya berpotensi timbulnya berbagai pertentangan dalam penerapan dan dalam memberikan penafsiran terhadap isi materi Perda.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.Keberadaan Perda dalam otonomi daerah sangat penting artinya, sebab Perda merupakan konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, Perda merupakan conditio sine quanon dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi daerah tersebut. Perda pada dasarnya merupakan salah satu bingkai hukum atas rumusan kebijakan publik di tingkat daerah. Secara substansial Perda mengatur urusan pemerintahan yang sangat luas, sejalan dengan kehendak udang-undang yang memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Substansi Perda Kabupaten dan Kota jauh lebih luas, tetapi tidak demikian halnya pada Perda Provinsi, meskipun sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom lebih terbatas dibandingkan dengan kewenangan kabupaten dan kota yang juga sebagai daerah otonom. Kewenangan masing-masing daerah pada bentuk hukum seperti Perda, perlu dipahami dengan baik dan hati-hati, sebab berpotensi menimbulkan konflik kewenangan, khususnya antara provinsi dengan kabupaten dan kota

Disarankan adanya upaya setiap Pemerintah Daerah untuk menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat, disarankan untuk membentuk peraturan yang bersifat operasional dan aplikatif yang merinci secara komprehensif, termasuk kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme atau prosedural yang sah dalam proses evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah, dan disarankan untuk pembenahan substansial materi muatan perundang-undangan untuk memperkuat fungsi pengawasan produk hukum di daerah.

(14)

ABSTRACT

In order to guarantee of the certainty of drafting legal provisions, they have to be based on the regulations which have stipulated in Law No.10/2004 on the Drafting of Legal Provisions, starting from the planning, preparing, organizing, formulating, ratifying, enacting, and up to disseminating. By the enactment of the law, the drafting of legal provisions is becoming uniformed, both from their substances and from their embodying system. The enactment of the legal provisions is also mutatis mutandis imposed on Perda (Regional Regulations) as they are stipulated in Law No.32/2004 on Regional Government. In the process of the drafting the Provincial Regulations, the regulations of the districts and towns potentially bring out the adversity so that they will also potentially cause conflicts between the substance of the Perda and the higher legal provisions and between one region and another one. This condition will cause the contradiction in their application and in interpreting the substances of the Perda.

The method of the research was legal normative. The main data of the research were secondary data. They were collected by using library research and field research and analyzed quantitatively. The existence of Perda in the regional autonomy is very important because it constitutes the logical consequence of the regional authority to regulate and to take care of its domestic affairs. Therefore, it is a condition sine quanon in order to implement the authority of regional autonomy. Basically, Perda is a legal frame on the formulation of public policy in the regional level. Substantially, it regulates the whole government affairs which are in line with the demand of law which gives the autonomy to districts and towns as broad as possible. The substance of Perda of districts and towns is much broader than that of the provinces although all of them are autonomous. However, the authority of a province as an autonomous area is more limited than that of a district and of a town. The authority of each area which has regional regulations needs to be understood well because it can cause the conflict of authority, especially between provinces and districts and towns.

It is recommended that each area should attempt to create the integrity and the oneness of the nation and give legal certainty to each member of society, enact operational, applicative, detailed, and comprehensive regulations, including institutional authority, valid mechanism and procedures in the process of evaluation and revocation of Perda. It is also recommended that each area should improve the substantial legal materials in order to strengthen the function of supervision of regional legal products.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat Perda) bagi Pemerintah Provinsi,

Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota di Indonesia, menjadi instrumen yuridis

operasional untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam konteks otonomi

daerah, Perda merupakan instrumen pengendali terhadap pelaksanaan otonomi

daerah, hal ini disebabkan karena esensi otonomi daerah itu adalah kemandirian atau

keleluasaan (zelfstandingheid), dan bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan

pemerintah yang merdeka (onafhankelijkheid), kemandirian itu sendiri mengandung

arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga

pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa

daerah yang bersangkutan berhak membuat produk hukum berupa peraturan

perundang-undangan yang antara lain diberi nama Perda.1

Berdasarkan Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Amandemen, dinyatakan bahwa: Pemerintahan Daerah berhak

menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan. Dari isi pasal tersebut nampak bahwa atribusi kewenangan pembentukan

Perda diberikan oleh UUD 1945 kepada Pemerintahan Daerah, yang dalam hal ini

menurut Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa: Perda adalah

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

1

(16)

(DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Sedangkan dalam Pasal 136 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda

ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD.

Persetujuan itu sendiri sesungguhnya mengandung kewenangan yang menentukan

(dececive), artinya tanpa persetujuan DPRD maka tidak akan pernah ada Perda.

Ketentuan itu tidak berarti bahwa kewenangan membuat Perda ada pada

Kepala Daerah, dan DPRD hanya bertugas memberikan persetujuan. DPRD

mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk Perda yang dibahas dengan

kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama, sebagaimana diatur dalam Pasal

42 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Penjelasan Pasal

42 Ayat (1) huruf a dinyatakan, yang dimaksud dengan “membentuk dalam ketentuan

ini adalah termasuk pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.2

Seperti halnya Peraturan Perundang-undangan yang lain, Perda terikat pada

norma-norma hukum, baik dari sisi paradigma, substansi, maupun prosedur Adapun yang dimaksud

dengan Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, sedangkan DPRD

adalah DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota. Pengertian bersama-sama

antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam membuat Perda adalah berkait dengan

prakarsanya, yaitu prakarsa dalam membuat Perda dapat berasal dari DPRD maupun

dari Pemerintah Daerah.

2

(17)

pembuatannya, ikatan norma-norma tersebut menentukan karakteristik dan

keberlakuan Perda yang bersangkutan. Oleh karena itu validitas dan legitimasi Perda

harus benar-benar diperhatikan.

Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan

perundang-undangan maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-perundang-undangan harus

senantiasa beradasarkan pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni

sejak dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,

pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dengan terbitnya undang-undang

tersebut terasa bahwa pembentukan peraturan semakin seragam baik dari sisi

substansi maupun sistematika penuangannya. Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan tersebut mutatis mutandis berlaku juga pada pembentukan Perda,

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah.

Perda adalah peraturan terendah dalam hirarki peraturan perundang-undangan.

Konsekuensi adanya hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang dalam

praktek ketatanegaraan, secara teoritis semua peraturan perundang-undangan tidak

boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Secara praktis pengakuan

terhadap hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang dapat menimbulkan

problema, jika dikaitkan dengan Perda dalam kondisi tidak terdapat penyimpangan

substansi terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi ternyata

melanggar hak konstitusional (constitutional rights violation) warga negara. Secara

(18)

ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, melahirkan kewenangan constitutional

review Perda terhadap konstitusi UUD 1945 secara langsung.

Selanjutnya implementasi pelaksanaan pemerintahan daerah yang ditegaskan

dalam Pasal 18 UUD 1945, akan sangat berpotensi timbulnya kemungkinan

berkembangnya pluralisme hukum.3 Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pemerintahan

daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan

Daerah, diperlukan antisipatif pemikiran harmonisasi hukum terhadap berbagai

kemungkinan timbulnya keanekaragaman dalam sistem materi muatan Perda.4

Dalam proses pembentukan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, sangat

berpotensi timbulnya keanekaragaman dan dengan demikian berpotensi pula

timbulnya pertentangan di antara isi materi Perda dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dan antara satu daerah dengan daerah yang lain, yang

selanjutnya berpotensi timbulnya berbagai pertentangan dalam penerapan dan dalam

memberikan penafsiran terhadap isi materi Perda.

3

Pemahaman pluralisme hukum dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme norma hukum, karena di Indonesia terdapat pluralisme baik pluralisme sistem hukum maupun pluralisme norma hukum. Pluralisme sistem hukum karena berlaku sistem hukum Barat, sistem hukum Adat, sistem hukum Agama. Pluralisme norma hukum misalnya ada perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dan hukum yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura. Pluralisme norma hukum dapat terjadi dalam satu sistem hukum karena kebutuhan tertentu, dan sepenuhnya digantungkan pada kebutuhan hukum masyarakat. Artinya, norma hukum dapat berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya, tergantung kepada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 252-253, Mochtar Kusumaatmadja Pendidik & Negarawan, Kumpulan Karya Tulis, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 252-253.

4

(19)

Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD

dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 Angka 7 Undang-undang Nomor

10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Perda

mendapatkan landasan konstitusional dalam konstitusi untuk melaksanakan otonomi

dan tugas pembantuan (Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945). Dalam Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 12 menentukan materi muatan Perda adalah seluruh

materi muatan dalam rangka: a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b)

menampung kondisi khusus daerah; serta c) penjabaran lebih lanjut peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dari sisi materi muatan, Perda adalah peraturan yang paling banyak dibebani

materi muatan yang bercorak lokal. Sebagai peraturan terendah dalam hirarki

peraturan perundang-undangan,5 Perda secara teoritis memiliki tingkat fleksibilitas

yang tidak boleh menyimpang dari bidang-bidang peraturan perundang-undangan

nasional. Dalam pendekatan ‘stufenbau theory’ dari Hans Kelsen, hukum positif

(peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah

bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Teori tersebut kemudian dalam ilmu hukum disebut asas “lex superior derogat legi

inferiori”.6

5

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, diurutkan tingkatan peraturan perundangan-undangan mulai dari, UUD, Undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Selanjutnya Perda terdiri atas: Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa atau nama lainnya.

Semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan

Konstitusi UUD 1945.

6

(20)

Di sisi lain, Perda dapat dianggap sebagai peraturan yang mengagregasi

nilai-nilai masyarakat di daerah. Perda dapat berisi materi muatan nila-nilai-nilai yang

diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itu banyak Perda yang isi

materi muatannya mengatur tentang pemerintahan daerah yang bercorak lokal. Di

samping itu, Perda juga menjadi instrumen pemerintah daerah untuk meningkatkan

pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda tentang pajak daerah

atau Perda tentang retribusi daerah.

Selanjutnya era otonomi daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk

membuat Perda. Tidak sedikit Perda diterbitkan oleh pemerintah daerah, baik pada

tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dalam peraturan perundang-undangan,

Perda memiliki posisi yang unik karena meski hirarki Perda berada di bawah

undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat di antara para pakar mengenai siapa

sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya

excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di

era otonomi daerah mengingat Perda adalah produk Kepala Daerah dengan

persetujuan bersama DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.

Terkait dengan banyaknya Perda yang dianggap bermasalah baik karena

menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah, sebagai

sistem instrumen hukum negara telah ditentukan mekanisme untuk menyelesaikan

konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme

penyelesaian konflik peraturan dilakukan melalui pengujian peraturan

perundang-undangan. Perda yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

(21)

dua model kewenangan, yaitu judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive

review oleh Pemerintah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap

undang-undang, dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan

kehakiman sebagai kewenangan atributif yang ditentukan dalam Pasal 24A Ayat (1)

UUD 1945; Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Pasal 11 ayat (2) huruf b

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; Pasal 31 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Pasal 31A Undang-undang Nomor

3 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985, tentang Mahkamah Agung; dan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah

Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang.

Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut kemudian

dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan

oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah Agung, kewenangan pengujian peraturan

perundang-undangan juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang kemudian

dikenal dengan istilah constitutional review berwenang menguji undang-undang

terhadap undang-undang dasar. Apabila dikaitkan dengan jenis dan hirarki peraturan

(22)

2004, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: 1) Peraturan

Pemerintah, 2) Peraturan Presiden, dan 3) Peraturan Daerah.

Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap tiga jenis

peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mulai dari

dasar konstitusional dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945,7 kemudian Pasal 11 Ayat

(2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,8

selanjutnya Pasal 31 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung,9

Kemudian model pengujian Perda yang kedua dilakukan oleh pemerintah

yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Pengujian Perda oleh pemerintah

atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah menentukan standar ukuran suatu peraturan di bawah undang-undang dapat

dibatalkan, atas alasan: 1) karena bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materiil); atau 2) pembentukannya tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).

7

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, ”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

8

Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-undang No.4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”.

9

(23)

executive review, lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap

penyelenggaraan otonomi pemerintahan daerah.10

Dalam rangka pengawasan terhadap daerah, Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2005 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang

Pemerintahan Daerah, memberikan ketentuan bahwa Perda yang ditetapkan oleh

Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah

ditetapkan.11

10

Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie S., Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945, (Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press), 2007), hlm.76-77.

Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 Ayat (4) Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, menentukan bahwa “Peraturan Daerah dilarang bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi”. Kemudian Pasal 145 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

menyebutkan “Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh

Pemerintah”. Dalam Pasal 145 Ayat (3) ditentukan “Keputusan pembatalan Peraturan

Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden

paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud

pada Ayat (1)”. Selanjutnya dalam Pasal 145 Ayat (4) ditentukan “Apabila

Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda

sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh

11

(24)

peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung”.

Berbeda dengan judicial review Perda yang dilakukan lembaga kehakiman

Mahkamah Agung, executive review Perda dalam bentuk pengawasan oleh

pemerintah dilakukan Kementerian Dalam Negeri. Pengujian Perda sebagai

kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap

penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah. Dalam proses evaluasi

Perda oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Tindak lanjut pembatalan Perda menurut Pasal 145 Ayat (3) Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004, harus dibuat Peraturan Presiden yang menyatakan pembatalan

Perda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda oleh pemerintah

pusat dari pemerintah daerah. Kemudian, menurut ketentuan Pasal 145 ayat (4) paling

lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut, kepala daerah harus memberhentikan

pelaksanaan Perda dan selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama

Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.

Perda merupakan aturan hukum yang banyak dilakukan pengujian terutama

oleh pemerintah, karena setiap Perda yang diterbitkan pada tingkat Kabupaten/Kota

dan Provinsi harus melalui pengujian oleh pemerintah. Adanya kewenangan

pemerintah untuk menguji Perda hendaknya tidak akan menjadi jalan untuk

mewujudkan superioritas kekuasaan pemerintah pusat atas pemerintah daerah dan

hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Perda. Tidak sedikit Perda dan isi

materinya yang beragam, serta mekanisme terpusat pengujian Perda oleh pemerintah

(25)

perlu pengkajian untuk membentuk mekanisme yang dapat menstimulasi

pembangunan daerah dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat di daerah.12

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah13 lebih menekankan kepada bentuk pengawasan represif dan kewajiban untuk

memberitahu. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga menganut

pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. Menurut Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Perda hanya ditekankan pada

pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,

dimana pada Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua

macam, yaitu pengawasan preventif dan represif.14

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat perubahan dengan

menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, bahkan dalam penjelasannya Perubahan ini menimbulkan

permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah

Pusat terhadap Perda.

12

Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, (Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID), 2005), hlm. 120.

13

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)

14

(26)

dikenal juga istilah urusan yang sifatnya concurrent. Pengelompokan urusan-urusan

ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999. Konsekuensinya dari hal tersebut daerah dituntut untuk menjalankan urusan

rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari

Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah menjadi urusan Pemerintah Daerah

kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat atau

dengan kata lain disebut otonomi luas.15

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 42 Ayat (1) huruf a Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala

Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat

didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa :

Pasal 136 Ayat (1) : “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Ayat (2) : “Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”.

Ayat (3) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”.

Ayat (4) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

15

(27)

Menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap

segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal :

1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya.

2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah.

3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan

Daerah.

5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah.

Sementara itu bila dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,

dalam hal pengawasan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah ada

pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan

pengawasan yakni16

1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

:

2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu), yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini

dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh

16

(28)

DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah

Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang

bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang

menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan

kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 145 Ayat (1), yang

menyatakan :“Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7

(tujuh) hari setelah ditetapkan”. Selanjutnya di dalam Ayat (2) disebutkan bahwa :

“Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat

dibatalkan oleh Pemerintah”.

Selanjutnya Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari beberapa

kabupaten/kota sebagai daerah otonom telah melaksanakan seluruh

kewenangan-kewenangan yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk

salah satunya dalam menetapkan Perda. Dalam menetapkan Perda tersebut

semestinya baik Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara maupun Pemerintahan

Kabupaten/Kota harus memperhatikan batasan-batasan dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan, yaitu Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan

umum, Perda lainnya dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Batasan-batasan ini harus diperhatikan oleh setiap Pemerintahan Daerah dalam setiap

membuat Perda, agar Perda tidak dibatalkan oleh Pemerintah yang mempunyai

wewenang untuk itu.

Data Kementerian Keuangan per tanggal 29 Maret 2010 mencatat, dari 1.024

(29)

dari Provinsi Sumatera Utara sudah dibatalkan. Pembatalan dilakukan karena Perda

tentang pajak daerah dan retribusi yang dibuat 26 daerah dari 33 yang ada, dinilai

berpeluang menghambat investasi masuk. Rincian 26 daerah yang membuat Perda

bermasalah itu, Asahan yang mengajukan 60 Perda, dibatalkan 31, Dairi

menyampaikan 17 dibatalkan 12, Labuhanbatu menyampaikan 65, dibatalkan 45 dan

satu direvisi, Nias menyampaikan 3, dibatalkan 2, dan Tapsel menyampaikan 38,

dibatalkan 24. Kemudian Toba Samosir menyampaikan 38, dibatalkan 24, Medan

menyampaikan 31, dibatalkan 17, Sibolga menyampaikan 32, dibatalkan 17, Pakpak

Bharat menyampaikan 27, dibatalkan 19, Humbang Hasundutan menyampaikan 18,

dibatalkan 17, Samosir menyampaikan 31, dibatalkan 20, dan Padang Lawas

menyampaikan satu, dibatalkan satu.17

Kemudian Deli Serdang menyampaikan 76, dibatalkan 29 dan 2 direvisi,

Mandailing Natal menyampaikan 20, dibatalkan 8, Simalungun menyampaikan 59,

dibatalkan 26, Tapteng menyampaikan 5, dibatalkan 2, dan Taput menyampaikan 22,

dibatalkan 3. Berikutnya Binjai menyampaikan 76, dibatalkan 30, Pematang Siantar

menyampaikan 57, dibatalkan 22, Tanjung Balai menyampaikan 58, dibatalkan 22,

Tebing Tinggi menyampaikan 43, dibatalkan 6, Padang Sidimpuan menyampaikan

49, dibatalkan 15, Serdang Bedagai menyampaikan 66, dibatalkan 27 dan Pemerintah

Provinsi Sumatera Utara yang mengajukan 33 perda, harus dibatalkan 7.18

Adapun Perda Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang dibatalkan oleh

Menteri Dalam Negeri diantaranya adalah Perda Nomor 4 Thn 2003 Tentang

17

Juni 2011, pada pukul 10.00 WIB.

18

(30)

Retribusi Pelayanan Jasa Pengujian & Sertifikasi Mutu Barang, yang dibatalkan

dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 2004, Perda Nomor 7

Tahun 2002 Tentang Retribusi Penyelenggaraan Angkutan Barang, dibatalkan dengan

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 99 Tahun 2005, Perda Nomor 5 Tahun

2003 Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan

Holtikultura, dibatalkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2007, serta Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Retribusi Tempat Pendaratan Kapal.

Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi

Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura yang dibatalkan

melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 dimana alasan

pembatalan Perda itu oleh Pemerintah Pusat Cq Menteri Dalam Negeri karena Peraturan

Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 itu bertentangan dengan : 1)

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000

Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom; 3)

Peraturan Pemerintah Nomor 266 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, karena

pemberian surat tanda daftar impor merupakan kewenangan pusat.

Selanjutnya di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2007 tersebut, disebutkan juga agar Gubernur Provinsi Sumatera Utara menghentikan

pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003

Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan

(31)

Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan

permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya

dengan mengambil judul Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Studi

Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas,

maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Mengapa banyak Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat?

2. Apa pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda?

3. Apakah akibat hukum dari evaluasi Perda yang dilakukan oleh Pemerintah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus

penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui alasan-alasan pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat.

2. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap

Perda.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari evaluasi Perda yang dilakukan oleh

(32)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, yaitu :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya

dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan

dengan Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Studi Pada

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara).

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi praktisi

hukum untuk mengetahui Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan juga menjadi pembelajaran mengenai pembentukan Peraturan Daerah

(Studi Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi, pemeriksaan dan penelusuran yang telah dilakukan

terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di perpustakaan

pascasarjana Universitas Sumatera Utara, maka belum ada penelitian yang sama

dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu “Evaluasi

Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Studi Pada Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara”. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang

(33)

memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi

bagi peneliti atau akademisi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan

dapat dijadikan acuan dalam membahas Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Studi Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara) adalah dengan

menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” (Rechtsstaat) sebagai

grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias Politica”(Organ/Institusi

Pemerintahan) untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan

prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai

applied theory-nya.

Konsep tentang negara hukum, untuk pertama kalinya dikemukakan oleh

Plato dan kemudian dikembangkan dan dipertegas kembali oleh Aristoteles. Pada

buku Plato, berjudul, Politea, dikemukakan betapa penguasa di masa itu, masa Plato

hidup (429 SM - 346 SM) penguasa sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan

serta sewenang-wenang dan sama sekali tidak memperdulikan nasib rakyatnya.

Dalam uraiannya di buku tersebut, Plato dengan gamblang menyampaikan pesan

moral, agar penguasa berbuat adil, menjunjung tinggi nilai Kesusilaan dan

(34)

Demikian pula halnya dalam bukunya yang berjudul Politicos, Plato

memaparkan suatu konsep agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar

hukum (rule of the game), demi warga negara yang bersangkutan. Sedangkan buku

ketiga dari Plato yang berjudul Nomoi, lebih menekankan pada para penyelenggara

negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya dengan hukum agar tidak

bertindak sekehendak hatinya.

Kemudian muncullah Aristoteles dengan karya bukunya, Politica. Di dalam

buku tersebut Aristoteles mengemukakan gagasannya, bahwa suatu negara yang baik

adalah negara yang diperintah/dikelola atas dasar suatu konstitusi sehingga di dalam

negara tersebut hukumlah yang berdaulat.19

Menurut Satjipto Rahardjo,

Dalam perkembangannya kemudian

mulai abad ke-19, dikenal konsep negara hukum yakni suatu konsep negara yang

kemudian diidentifikasi sebagai konsep negara hukum Eropa Kontinental

(rechtstaaat) dan konsep negara hukum Anglo Saxon (rule of law).

20

19

Arief Muladi, Landasan dan Prinsip Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, (Jakarta: Pustaka, 2005), hlm. 23.

bahwa di dunia ini tidak dijumpai satu sistem

hukum saja, melainkan terdapat lebih dari satu bentuk sistem hukum. Dalam kaitan

itulah dikenal sistem hukum Eropa Kontinental (sistem hukum RomawiJerman, civil

law system) dan sistem hukum Inggris (common law). Selanjutnya sebagai akibat

negara kita, Indonesia pernah menjadi koloni Belanda, maka dengan serta merta pula

sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang sama berlaku di

negara Belanda yang kebetulan berada di Benua Eropa yang dikenal dengan sistem

hukum Eropa Kontinental atau Civil Law System.

20

(35)

Di dalam kaitan dengan konsep negara hukum tersebut, Freidrich Julius

Stahl,21 menegaskan, bahwa unsur-unsur negara hukum Eropa Kontinental

(rechtstaat) yaitu22

a. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia; :

b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;

c. Adanya pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, dan;

d. Adanya peradilan administrasi23

Selanjutnya unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law dalam perselisihan.

24

adalah

pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum

(equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi

manusia (constitution based on human rights).25

Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of

Law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang

21

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989), hlm. 30.

22

Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Cetakan I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 90. Tentang wawasan-wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi Doktor (S3), (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm. 139.

23

Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973), hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974), hlm. 146.

24

Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hlm. 1-2.

25

(36)

bebas dan tidak memihak;26 ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat,

kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan

keenam, pendidikan kewarganegaraan.27

Selanjutnya John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan

kekuasaan.

Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa

kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam

Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata

lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat

yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut.

28

Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi

politik totaliter29

26

Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4th edition, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 34.

bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara.

Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke

27

South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurist, 1965), hlm. 39-45.

28

Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4th edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364.

29

(37)

dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara

memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif

(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif

(federative power).30

Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan

peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah

kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang

dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan

yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang,

perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing.

Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan

dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang

menyelenggarakannya.31 Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh

diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan

penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.32

30

John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hlm. 188.

Dengan adanya kekuasaan

yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan

31

Ibid.

32

(38)

penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya.

Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih

terjamin.33

Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi

kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan

kekuasaan yudikatif.34 Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh

Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi

manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif,

karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang

pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.35

Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang

sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dapat

dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang

merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban

despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan

yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah)

yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.36

33

Lihat C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidwick & Jackson, 1973), hlm. 245-247.

34

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politika terdapat suasana checks and balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 19.

35

Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang (The Spirit of the Laws), (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montesquieu sebagai seorang yang berprofesi hakim ikut mempengaruhi cara berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm.2.

36

(39)

Dalam doktrin Trias Politika, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan

maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan

yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.37 Hal

ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi

penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas

kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan

semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani

hakim dapat diwujudkan.38

Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan

masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah,

diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system (sistem pengawasan

dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya

kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang

lebih powerful dari yang lain.

Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan

kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan

untuk menangani dan menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi

dalam kehidupan sebuah negara.

39

Dalam perspektif yang lain Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makna

pembangunan hukum itu meliputi empat usaha yaitu: (1) Menyempurnakan

(membuat sesuatu yang lebih baik) (2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan

37

Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 227.

38

Budiardjo, Op. Cit.

39

(40)

modern (3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada (4) Meniadakan

sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan atau tidak cocok

dengan sistem baru.40

Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the

law-Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat

menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma

yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya

suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan,

sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat

ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma

dasar (grundnorm).41

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi

seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut

Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai

fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan

hukum-hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan

hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.42

40

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hlm. 12.

41

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), hlm. 112-113.

42

(41)

Sejarah memperlihatkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan

di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Bentuk

dan Jenis peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :

1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

2. Peraturan Pemerintah;

3. Peraturan Menteri.43

Setelah undang-undang tersebut pernah berlaku Surat Presiden Nomor

2262/HK/5944 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, kemudian Ketetapan

MPRS/XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib

Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia.45 TAP MPRS ini baru disempurnakan pada Tahun 2000 dengan

dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dan yang terakhir adalah

dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.46

43

Dalam undang-undang ini sama sekali tidak diatur tentang peraturan perundang-undangan tingkat daerah, mungkin dikarenakan pada waktu itu Republik Indonesia hanya merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).

44

Surat ini menyatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan negara selain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Lihat dalam Haposan Siallagan, Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, (Medan: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm. 280.

45

Menurut TAP MPRS ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dll.

46

Gambar

Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pembatalan Perda  Tabel. 1 Di Daerah Provinsi Sumatera Utara
Tabel. 3
Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang Pembatalan Perda  Tabel. 5 Di Daerah Kota Binjai

Referensi

Dokumen terkait

1.167.600.000,- (Satu milyar seratus enam puluh tujuh juta enam ratus ribu rupiah) Tahun Anggaran 2016, maka dengan ini diumumkan bahwa Pemenang E-lelang Pemilihan Langsung

Skripsi ini disusun sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Akuntansi pada Fakultas Bisnis Jurusan Akuntansi Universitas Katolik

Peningkatan daya serap meilen biru dan iodin dari arang yang diaktivasi dapat terjadi karena aktivasi menggunakan aktivator asam fosfat (H 3 PO 4 ) dapat

Cat tembok Catylac 5 Kg/galon 5 Kg/galon Cat tembok Catylac biasa 5 Kg/galon 5 Kg/galon Cat tembok Catylac bintang 5 Kg/galon 5 Kg/galon Cat tembok Mowilex dalam 5 Kg/galon kg

yang terkait dengan kegiatan usaha pertambangan, termasuk namun tidak terbatas pada Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi, Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi,

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan: (1) kemampuan kognitif siswa kelas VIII E SMP Negeri 20 Surakarta melalui model pembelajaran discovery dengan

Capacity building yang dilakukan selama enam minggu mulai 6 Agustus 2018 hingga 15 September 2018 dengan tatap muka yang terjadwal selama dua tahap (tahan Penelitian

Dulux Alkali Resisting Primer Sealer, adalah cat dasar berbasis aor (Water Base), yang diformulasikan dengan menggunakan resin acrylic modified dengan