TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
NIM : 110200052 AZIRAH
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh :
NIM : 110200052 AZIRAH
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA
NIP. 196603031985081001 (Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum)
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
(M. HAYAT, SH)
NIP. 195008081980021001 NIP.195707151983031002 (MALEM GINTING, SH.M.Hum)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda-tangan di bawah ini :
NAMA : AZIRAH
NIM : 110200052
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
JUDUL SKRIPSI : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL
ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM
PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA
Dengan ini menyatakan :
1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak
merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka
segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab aya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau
tekanan dari pihak manapun.
Medan, Februari 2015
AZIRAH
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmatNya yang telah memberikan kekuatan lahir dan batin kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi persyaratan yang
diperlukan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Untuk memenuhi kewajiban tersebut maka
disusunlah skripsi ini yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan
yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Syahril Pasaribu,
DTMH,MSc (CTM),Sp.A(K).
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum, selaku Wakil Dekan I
4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH.MH.DFM, selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Sumatera Utara.
5. Bapak Dr.OK. Saidin
6. Bapak Dr. Hasyim Purba, SH.M.Hum, selaku Ketua Departeman Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Sumatera Utara.
, SH.M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas
Hukum Sumatera Utara.
7. Bapak Syamsul Rizal, SH.M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan
Perdata BW Fakultas Hukum Sumatera Utara.
8. Bapak M. Hayat, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.
9. Bapak Malem Ginting, SH.MHum, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis.
10. Bapak Affan Mukti
11. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
, SH.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik.
12. Teristimewa penulis ucapkan untuk yang tercinta Ayahanda Drs. A. Aziz,
SH.MH, Ibunda Ir. Syarifah Samrah, serta Adek tersayang Mhd. Alfarisi
Pase, yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan yang sangat
berarti baik secara moril maupun materil kepada penulis dari awal sampai
akhir skripsi ini.
13. Nenek tercinta Syarifah Azizah beserta seluruh keluarga besar yang telah
memberikan dukungan yang tak terhingga didalam doa dan dukungan
14. Seseorang yang selalu dengan setia memberikan doa, dukungan, semangat,
perhatian, dan kasih sayang nya kepada penulis selama masa perkuliahan
hingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini.
15. Yang terkasih buat rekan - rekan penulis yang setia menemani selama
masa perkuliahan: Nurul Pertiwi, Aja Chairina Rahmah, Titi Fiandari
Achimsa, Shofa Husra, Dila Armaya, Syarifah Sarah serta rekan-rekan kos
yang sangat luar biasa : Kak Fitri, Sri Mulyati, Sri Ayu, dan Evi Hardianti.
16. Seluruh teman-teman Angkatan 2011 khususnya untuk teman- teman
Departemen Perdata BW, beserta abangda dan kakanda Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
17. Rekan-rekan organisasi penulis yang sangat peduli yakni : PEMA FH
USU, IPTR Komisariat USU, BTM Aladdinsyah SH, PASKRIPATU serta
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tentulah masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu dengan kerendahan hati penulis mohon kritik dan saran
dari pembaca agar skripsi ini menjadi sempurna dimasa yang akan datang.
Akhir kata, besar harapan penulis semoga penulisan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Januari 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 14
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penulisan ... 15
E. Metode Penelitian ... 16
F. Keaslian Penulisan ... 19
G. Sistematika Penulisan... 20
A. PERKAWINAN ... 22
1. Pengertian dan ... 22
2. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia ... 23
3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan ... 24
4. Larangan-larangan PerkAawinan ... 26
5. Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan ... 28
6. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan ... 32
B. PERCERAIAN ... 33
2. Alasan-alasan Perceraian ... 35
3. Tata Cara Perceraian ... 37
C. HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN ... 46
1. Pengertian Harta Bersama ... 46
2. Pengertian Harta Bawaan ... 50
3. Prinsip Perjanjian Perkawinan Tentang Harta Bersama ... 55
4. Asas – Asas Hukum Terhadap Harta Bersama Dalam Perkawinan ... 61
5. Status Hukum Harta Bersama Dalam Perceraian Antara Suami Istri Terhadap Pihak Ketiga ... 64
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SITA ... 69
A. Pengertian dan Tujuan Sita ... 69
B. Macam-macam Sita ... 76
D. Syarat dan Alasan Penyitaan ... 86
E. Prosedur Pelaksanaan dan Kewajiban Juru Sita ... 89
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN PADA PUTUSAN NOMOR 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk ... 91
A. Sita Marital Pada Umumnya ... 91
1. Pengertian Sita Marital dan Tujuan Sita Marital ... 91
2. Pengaturan Sita Marital ... 94
3. Lingkup Penerapan Sita Marital ... 96
1. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut
Undang-Undang... 100
2. Pelaksanaan Sita Marital Dalam Pembagian Harta Bersama Menurut KUHPerdata (KUHPerdata) ... 111
C. Peningkatan Status Sita Marital yang Dinyatakan Sah dan Berharga Menjadi Sita Eksekutorial ... 114
D. Dasar Pengajuan Sita Marital Oleh Mantan Istri Selaku Penggugat dalam Perkara Perdata Putusan Nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk ... 117
1. Kasus Posisi ... 117
2. Pertimbangan ... 122
3. Tanggapan Terhadap ... 132
BAB V PENUTUP ... 138
A. Kesimpulan ... 138
B. Saran.. ... 139
ABSTRAK Azirah* M. Hayat** Malem Ginting***
Sita marital merupakan bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta bersama. Tujuan utamanya ialah untuk membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Sita marital tidak banyak diatur dalam Undang-undang Perkawinan namun pengaturannya lebih banyak diatur dalam ketentuan Reglemen Acara Perdata/RV (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 No. 52 jo. 1849 No. 63). Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah bagaimana penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri, apakah sita marital yang dalam amar putusan hakim yang telah dinyatakan sah dan berharga dapat ditingkatkan menjadi sita eksekutorial serta apakah yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku Penggugat dalam putusan perkara perdata nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan cara menganalisa literatur pustaka dan artikel, yang akan ditinjau menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang- undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Setelah dilakukan pengolahan terhadap data-data sebagaimana yang dimaksudkan di atas maka diketahui bahwa penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama merupakan salah satu akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena perceraian. Meskipun terdapat Undang- undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, akan tetapi peraturan yang mengatur Tentang sita marital terhadap harta bersama dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama hanya diatur dalam 1 (satu) pasal saja. Selain itu, sita marital yang dalam amar putusan hakim yang telah dinyatakan sah dan berharga, namun tidak bisa dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh para pihak, maka sita marital tersebut bisa ditingkatkan menjadi sita eksekusi (sita eksekusi yang tidak secara langsung). Dari putusan perkara perdata Nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk diketahui bahwa yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku Penggugat adalah Penggugat merasa khawatir akan terjadi pindah tangan atas harta bersama (gono gini) dimana setelah Penggugat dan Tergugat bercerai, harta tersebut belum pernah dibagi dan semua objek harta bersama (gono gini) tersebut berada dalam kekuasaan Tergugat.
Kata kunci : Sita Marital, harta bersama, perceraian.
∗ Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I
ABSTRAK Azirah* M. Hayat** Malem Ginting***
Sita marital merupakan bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami istri, apabila terjadi sengketa perceraian atau pembagian harta bersama. Tujuan utamanya ialah untuk membekukan harta bersama suami istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung. Sita marital tidak banyak diatur dalam Undang-undang Perkawinan namun pengaturannya lebih banyak diatur dalam ketentuan Reglemen Acara Perdata/RV (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 No. 52 jo. 1849 No. 63). Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah bagaimana penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri, apakah sita marital yang dalam amar putusan hakim yang telah dinyatakan sah dan berharga dapat ditingkatkan menjadi sita eksekutorial serta apakah yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku Penggugat dalam putusan perkara perdata nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk.
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan cara menganalisa literatur pustaka dan artikel, yang akan ditinjau menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang- undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Setelah dilakukan pengolahan terhadap data-data sebagaimana yang dimaksudkan di atas maka diketahui bahwa penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama merupakan salah satu akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena perceraian. Meskipun terdapat Undang- undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, akan tetapi peraturan yang mengatur Tentang sita marital terhadap harta bersama dalam perkara perceraian atau pembagian harta bersama hanya diatur dalam 1 (satu) pasal saja. Selain itu, sita marital yang dalam amar putusan hakim yang telah dinyatakan sah dan berharga, namun tidak bisa dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh para pihak, maka sita marital tersebut bisa ditingkatkan menjadi sita eksekusi (sita eksekusi yang tidak secara langsung). Dari putusan perkara perdata Nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk diketahui bahwa yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku Penggugat adalah Penggugat merasa khawatir akan terjadi pindah tangan atas harta bersama (gono gini) dimana setelah Penggugat dan Tergugat bercerai, harta tersebut belum pernah dibagi dan semua objek harta bersama (gono gini) tersebut berada dalam kekuasaan Tergugat.
Kata kunci : Sita Marital, harta bersama, perceraian.
∗ Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UUP No. 1 Tahun 1974), berbunyi bahwa
“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Apabila mereka
melangsungkan perkawinan maka timbulah hak dan kewajiban antara suami-istri
secara timbal balik, demikian juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang
tua dan anak secara timbal balik.1
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka UUP No.
1 Tahun 1974 mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian
berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus
perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa
yang tidak dapat dielakkan manusia.2
Dengan lahirnya UUP No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974
yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak mulai
1
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang,Universitas Diponegoro, 2008), hal 6.
2
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disebut PP
No. 9 Tahun 1975) sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak
dapat bisa lagi dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa
sebelumnya, melainkan harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan
kalau ada alasan atau alasan-alasan yang dapat dibenarkan.3
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan
perceraian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP No. 1
Tahun 1974, dan diulang lagi dengan bunyi yang sama dalam Pasal 19 PP No. 9
Tahun 1975 adalah
Menurut Pasal 38 UUP No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan
disebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu : a. Kematian, b. perceraian dan c. atas
keputusan pengadilan. Terjadinya peristiwa-peristiwa dalam rumah tangga, yaitu
perselisihan, pertengkaran atau percekcokkan antara suami istri akan
mengakibatkan terjadinya perceraian, jika tidak diselesaikan dengan baik.
4
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya serta sukar disembuhkan;
:
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
3
Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Edisi Pertama, (Jakarta, Media Sarana Press, 1986), hal 50.
4
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan-alasan perceraian tersebut menurut R.Sardjono, sifatnya limitatif
artinya tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan untuk bercerai selain yang
disebut Undang-Undang.5
Pembuat Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan apa-apa
kecuali disebutkan “cukup jelas” terhadap alasan-alasan itu. Padahal dalam
perumusan alasan-alasan perceraian tersebut sifatnya masih terlalu umum,
karenanya perlu penafsiran yang sesuai dengan jiwanya, agar kesalahan
pengertian dari masyarakat dapat dihindarkan. Sehubungan dengan ini maka
peranan yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung sangat besar sekali dalam
menginterpretasi dan memberi arti alasan-alasan perceraian tersebut.6
“Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Adapun alasan-alasan perceraian dalam UUP No. 1 Tahun 1974 tersebut
apabila ditinjau dari segi tujuan perkawinan yaitu :
7
5
R.Sardjono, Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1, Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama dan Burgerlijk Wetboek Belanda Baru, (Jakarta, Academica, 1979), hal 26.
6 Ibid. 7
Pasal 1 UUP No. 1 Tahun 1974.
.
Maka dari uraian diatas dapat dilihat bahwa apabila tujuan perkawinan
tersebut tidak mungkin lagi akan tercapai, maka sudah sewajarnya rumah tangga
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat
mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama
setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat.8
Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum
terhadap :
Cerai talak adalah
diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama
Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam. Kemudian hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada
pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan
kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak
menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan
perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh
umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan
Sipil.
9
1. Orang tua / anak
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UUP
No. 1 Tahun 1974 ialah :
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
8
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980), hal 38.
9
b. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah dewasa dapat mengikuti
ayahnya dan apabila anak belum dewasa mengikuti ibunya. Apabila anak-anak
sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti
ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus
memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan Tentang
pemeliharaan, dan pendidikan anak.
Mengenai status suami istri yang telah bercerai menjadi duda atau
janda, dapat melakukan perkawinan kembali dengan orang lain, dengan
memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUP No. 1 Tahun
1974.
2. Harta benda perkawinan
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam UUP No. 1 Tahun
1974 diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37.10
10
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta, Tinta Mas, 1975), hal 24-25.
Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan, menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami
istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUP No. 1 Tahun 1974).
Harta bawaan suami atau istri kembali kepada para pihak masing-masing, yang
Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal
36 ayat (1) dan (2) UUP No. 1 Tahun 1974). Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun
yang dimaksud menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut hukum agama,
hukum adat, dan Kitab Undang-undnag Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) (Penjelasan Pasal 37 UUP No. 1 Tahun 1974).
Para pencari keadilan (justiabelen), tentu mengharapkan agar keadilan dan
perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan. Untuk menjamin
hak-hak pencari keadilan tersebut maka hukum memberi jalan dengan hak-hak baginya
untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang - barang sengketa atau yang
dijadikan jaminan. Didalam praktik dikenal ada 4 (empat) macam sita yaitu 11
a. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
:
b. Sita Hak Milik (Rivindicatoir Beslag)
c. Sita Harta Bersama (Maritale Beslag)
d. Sita Eksekusi (Executorial Beslag)
Setiap sita mempunyai tujuan tertentu (berbeda-beda) namun tujuan akhir
daripada sita tidak lain untuk menjamin agar :
1) Putusan Hakim secara nyata dapat diwujudkan
2) Putusan Hakim tidak hampa karena barang sengketa telah
tiada/dipindahtangankan.
11
Apabila terjadi sengketa perceraian di Pengadilan untuk pembagian harta
bersama perkawinan terdapat bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta
bersama suami istri yang disebut dengan sita marital.12
1) Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri :
Perkataan marital tetap
seperti istilah aslinya dalam bahasa Belanda, tidak diIndonesiakan. Istilah sita
marital berasal dari maritale beslag yang disebut juga dengan sita matrimonial
(matrimonial beslag), bahkan pada saat ini dalam perkembangan hukum Belanda
lebih populer dengan sebutan matrimonial beslag, karena mengandung makna
kesetaraan antara suami istri dalam perkawinan. Sedang istilah sita marital
mengandung konotasi yang menempatkan istri dibawah kekuasaan suami dalam
perkawinan, yang dikenal dengan lembaga matriale macht sebagaimana selama
ini digariskan dalam Pasal 105 dan 106 KUHPerdata, yang menegaskan :
- memberi bantuan kepada istri dimuka pengadilan, dan
- mengemudikan harta milik pribadi istri
2) Setiap istri harus tunduk-patuh kepada suami (Pasal 106
KUHPerdata).
Demikian kesan diskrimianatif yang terkandung dalam perkataan sita
marital, dan dianggap layak untuk menggantinya dengan istilah sita matrimonial.
Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipergunakan istilah sita harta bersama,
sebutan ini memperlihatkan kedudukan yang setara (equal) antara suami istri
dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan itu secara tegas dirumuskan dalam
Pasal 31 ayat (1) UUP No.1 Tahun 1974, bahwa hak dan kedudukan istri
12
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan
lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Sehubungan dengan hal ini beralasan kiranya dipergunakan istilah tersebut tanpa
mengurangi kemungkinan penggunaan istilah sita marital.13
Tujuan Maritale Beslag sudah jelas, untuk menjamin agar harta
perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Apalagi, jika selama proses pemeriksaan perkara telah
terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, semakin besar kemungkinan
terancam keutuhan dan pemeliharaan harta perkawinan. Misalnya atas persetujuan
hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara
berlangsung, dan harta perkawinan semuanya dikuasai suami untuk menjual atau
menggelapkan sebagian dari harta perkawinan (harta bersama) Undang-Undang
memberi hak kepada istri untuk mengajukan permohonan Maritale Beslag.14
Pada dasarnya, Maritale Beslag sama dan serupa dengan Sita Jaminan
(Conservatoir Beslag). Sita ini merupakan pengkhususan yang hanya dapat
berfungsi terhadap jenis perkara sengketa perceraian. Jika berorientasi kepada
ketentuan Pasal 215 KUHPerdata, Maritale Beslag adalah perwujudan sita
jaminan. Pada kalimat terakhir Pasal 215 ayat (1) KUHPerdata tersebut
menyatakan bahwa “tak mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan
13
Djokoprakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bina aksara, 1987), hal 52.
14
haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur dalam ketentuan
hukum acara perdata”.15
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat
atau Tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami
istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak istri”
Dalam Undang-Undang Perkawinan dimungkinkan melakukan sita
terhadap harta perkawinan, ini diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 yang
menyatakan bahwa :
16
Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di
dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan
permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara
perceraian berlangsung. .
17
Rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah kepada upaya tindakan
penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi dengan memperlihatkan kalimat
“menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”,
pada hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap
harta perkawinan. Dan tindakan yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya
harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita
15
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, (Bandung, Sumur, 1981), hal 39.
16
Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 17
jaminan (conservatoir beslag) yang disebut Maritale Beslag. Dengan demikian
maksud yang terkandung dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c adalah :
a) Memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan Maritale
Beslag atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian
berlangsung, dan
b) Pengadilan berwenang untuk mengabulkan Maritale Beslag agar
terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama
proses perkara perceraian masih berlangsung.
Ada sesuatu hal yang dianggap terlampau sempit dalam aturan Pasal 24
ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut pasal ini, pengajuan
permintaan Maritale Beslag ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara
perceraian. Hal ini secara tegas disebut dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor
9 Tahun 1975 dalam kalimat “selama berlangsungnya gugatan perceraian”. Secara
a contrario, kalau tidak ada gugatan perceraian, istri tidak dapat mengajukan
permintaan Maritale Beslag.18
Namun hal ini berbeda dengan apa yang diatur pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 186 KUHPerdata, bisa saja istri
mengajukan permintaan Maritale Beslag kepada pengadilan, apabila istri
mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan (harta perkawinan). KUHPerdata
memperkenankan permintaan Maritale Beslag di luar gugatan perceraian. Dapat
diajukan permintaan Maritale Beslag berdasar gugatan pemisahan harta
18
perkawinan19
1. Mengajukan Maritale Beslag di luar gugatan perceraian.
. Dari ketentuan Pasal 186 KUHPerdata tersebut memberi hak
kepada istri untuk :
2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang
masih utuh :
a. Apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan
keluarga yang bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga
(Pasal 186 ayat (1) KUHPerdata), atau
b. Apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga
tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama (Pasal
186 ayat (2) KUHPerdata).
Ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 186 KUHPerdata, nampaknya
tidak ada dijumpai dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam PP Nomor 9
Tahun 1975.
Menurut Abdul Manan, pernyataan terhadap sita marital dalam kerangka UUP Nomor 1 Tahun 1974 adalah kurang etis. Adapun istilah yang dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan filosofis UUP No. 1 Tahun 1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan legal term
sebagaimana tersebut dalam Pasal 35 UUP Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.20
Oleh karena itu penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan agar
menjadi law standard. Padahal aturan yang seperti ini sangat penting, guna
melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi, dan memperlindungi
19
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002), hal 66.
20
keutuhan harta perkawinan pada segi yang lain. Kelalaian pembuat
Undang-Undang mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi istri membela
haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik. Karena hak untuk
mengajukan maritale beslag hanya diperkenankan apabila ada sengketa
perceraian21
21 Ibid.
.
Dalam putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon Nomor
330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk tanggal 12 Maret 2014 menyatakan sah secara hukum
mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan menurut hukum
bahwa Perkawinan Penggugat Nurjannah binti Abdurrahman dan Tergugat
Marzuki bin M. Naseb, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya,
menyatakan menurut hukum bahwa sita jaminan yang telah diletakkan oleh
Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon adalah sah dan berharga, serta telah berkekuatan
hukum tetap. Seperti diketahui bahwa sita itu sendiri masing-masing mempunyai
tujuan tertentu, khususnya dalam kasus perkara perdata No.
330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bertujuan untuk
membekukan/menjamin agar barang yang disita berupa harta bersama tidak
dipindahkan/dijual.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) huruf b dan PP No.9 Tahun 1975 beserta
penjelasannya, sita marital berfungsi untuk melindungi hak pemohon sita (baik
Penggugat/Tergugat) selama pemeriksaan sengketa perceraian di Pengadilan
berlangsung dengan menyimpan/membekukan barang-barang yang disita agar
Oleh karena sifatnya hanya menyimpan/membekukan maka apakah sita
marital itu apabila dikabulkan dalam gugatannya perlu dinyatakan sah dan
berharga/tidak dalam amar putusannya, sebab seperti diketahui banyak praktik di
lapangan mengenai sengketa harta bersama dimana dalam amar putusannya
dinyatakan sah dan berharga dan sudah berkekuatan hukum tetap, namun tidak
bisa dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh para pihak karena tidak
ditindak lanjuti dengan adanya sita eksekutorial.
Selain itu ketentuan mengenai pemisahan harta perkawinan yang dibarengi
dengan permintaan sita marital menimbulkan kebimbangan. Sebab menurut
undang-undang dan praktik pengadilan, pengajuan gugatan pemisahan/pembagian
harta perkawinan baru dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan
mengajukan pemisahan harta perkawinan. Padahal dilihat dari segi kepentingan
istri atau suami adalah layak memberi hak pengajuan pemisahan harta perkawinan
dalam suatu perkawinan yang masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri
suka menghamburkan harta kekayaan bersama.22
22
M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op. Cit, hal 144-145.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka penulis
mengambil pokok pembahasan dan topik penulisan skripsi yang berjudul
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa masalah pokok yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi
ini, yaitu :
1. Bagaimana penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam perkara
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian antara suami istri ?
2. Apakah sita marital dalam amar putusan hakim yang telah dinyatakan sah
dan berharga dapat ditingkatkan menjadi sita eksekutorial?
3. Apakah yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku
Penggugat dalam putusan perkara perdata nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini berusaha memaparkan permasalahan berkaitan
dengan tinjauan yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta bersama dalam
perkawinan menurut UUP No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata. Maka berdasarkan
uraian latar belakang di atas secara rinci tujuan pokok dari pembahasan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam
perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian antara suami
istri.
2. Untuk menjelaskan peningkatan status sita marital di dalam amar putusan
hakim yang dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial.
3. Untuk menjelaskan dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku
Tentu saja salah satu dari tujuan dari pembuatan dan pembahasan materi
dalam skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, adapun beberapa manfaat
dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada.
Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman
dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan sita marital
pada khususnya, terutama Tentang aspek hukum sita marital terhadap sengketa
harta bersama dalam perkawinan menurut KUHPerdata dan UUP No. 1 Tahun
1974.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum dapat dibagi dalam dua
kelompok23
Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang digunakan dalam
penelitian normatif. Sedangkan bagi penelitian empiris (sosiologis), studi
kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan
bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan
kuesioner
yaitu penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian hukum terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum,
penelitian perbandingan hukum. Sedangkan jenis penelitian hukum kedua
adalah penelitian hukum sosiologis (empiris) yang terdiri dari penelitian
terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektivitas hukum.
24
2. Data dan Sumber Data
. Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian
hukum normatif yaitu sebuah bentuk/ jenis penelitian yang mengandalkan data
dan informasi Tentang hukum, baik bahan hukum pimer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum tersier.
Penyusunan skripsi ini menggunakan data dan sumber data berupa
bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
23
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007), hal 42.
24
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat berupa
Peraturan Perundang-undangan, putusan Pengadilan, yang terdiri dari:
1) Rv (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 Nomor 52
jo. 1849 Nomor 63);
2) HIR (Herziene Inlandsch Reglement);
3) RBg (Rechtsreglement Voor de Buitengewesten);
4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
7) KHI (Kompilasi Hukum Islam).
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat
dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan
hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, hasil-hasil penelitian
hukum dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum mengenai sita
marital.
Bahan hukum tersier merupakan bahan pendukung di luar bidang
hukum seperti kamus, ensiklopedia atau majalah yang berkaitan
dengan sita marital.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian
kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan
dengan cara melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan,
buku-buku, berbagai literatur, dan juga peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tinjauan yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta
bersama dalam perkawinan. Metode Library Research adalah mempelajari
sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dijadikan bahan dalam
penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke
dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakikatnya
merupakan kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang
akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :25
a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti.
25
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan
penelitian.
c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin.
d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.
F. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi, sebelum melakukan
penulisan “Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama
Dalam Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawianan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, penulis telah
melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan penelusuran dan
pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, penulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Sita
Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kitab Undang-Undang-Undang-Undang
Hukum Perdata” belum pernah dilakukan.
Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan
Universitas Cabang Fakultas Hukum/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum
FH USU antara lain :
1. Tinjauan Yuridis Sita Marital Harta Bersama dalam Perkawinan yang
Tidak di Catatkan (Studi Putusan Pengadilan Agama No.
2. Tinjauan Yuridis Pembuatan Perjanjian Kawin Sebelum dan Sesudah
Perkawinan Dilaksanakan Menurut KUHPerdata dan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 ( Venny RD/920200240)
3. Anak yang Belum Dewasa Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
dan Kedudukannya dalam Harta Warisan dan Hubungannya dengan
Perwalian (Abdul Rahman Sembiring/000221001)
4. Harta Bersama Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 (Sri Ramahdhani/010222194)
Sekalipun penulisan skripsi ini memiliki sedikit kesamaan dengan
beberapa skripsi yang telah disebutkan diatas, namun permasalahan dan
pembahasan yang diangkat dalam penulisan ini merupakan hasil pemikirin penulis
sendiri dan juga karena referensi dari buku-buku, peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, harta bersama dalam perkawianan,
sita jaminan khusus nya sita marital, serta informasi yang diperoleh dari media
cetak dan elektronik.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan
kemudahan dalam membaca, memahami makna dan dapat pula memperoleh
manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat
berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
BAB I Pendahuluan, membahas mengenai latar belakang penulisan
penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika
penulisan skripsi.
BAB II Tinjauan Umum Tentang Perkawinan, membahas mengenai
perkawinan, perceraian, serta harta bersama dalam perkawinan, dalam hal ini
terkait dengan pengertian, tujuan, dasar hukum, serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan perkawinan.
BAB III Tinjauan Umum Tentang Sita, membahas mengenai pengertian
dan tujuan sita, syarat dan alasan penyitaan, bentuk-bentuk penyitaan, ruang
lingkup penerapan penyitaan, prosedur pelaksanaan dan kewajiban juru sita.
BAB IV Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta
Bersama dalam Perkawinan Pada Putusan Nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk,
membahas sita marital pada umumnya, penerapan sita marital dalam pembagian
harta bersama apabila terjadi perceraian, dasar pengajuan sita marital oleh mantan
istri selaku penggugat dalam perkara perdata putusan nomor
330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk, serta peningkatan status sita marital yang dinyatakan sah dan berharga dalam
putusan nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk menjadi sita eksekutorial .
BAB V Kesimpulan dan Saran, merupakan bab terakhir dalam penulisan
skripsi ini dimana penulis akan membuat kesimpulan dari keseluruhan uraian
skripsi sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini dan
memberikan beberapa saran yang diajukan penulis sehubungan dengan tinjauan
yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta bersama dalam perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kitab
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A.PERKAWINAN
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Pengertian perkawinan terdapat di dalam UUP No. 1 Tahun 1974
yang menyatakan bahwa :
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa“.26
Berdasarkan pengertian diatas dapat dirumuskan unsur-unsur
perkawinan, yaitu :
Sedangkan tujuan perkawinan, adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
27
a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat (hubungan formal), yaitu mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Hal ini dapat dilihat karena dibentuk oleh undang-undang, hubungan mana mengikat bagi kedua belah pihak dan pihak lain atau masyarakat. Ikatan batin ialah ikatan yang tidak dapat dilihat (hubungan tidak formal), yang diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama, yang akan menimbulkan kerukunan dan mengikat kedua belah pihak. Terjalinnya ikatan lahir batin tersebut, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
b. Adanya unsur ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri mengandung arti bahwa dalam waktu yang sama
26
Pasal 1 UUP No.1 Tahun 1974. 27
seorang suami tidak diperbolehkan untuk kawin lagi dengan wanita lain. Dalam hal ini mengandung asas monogami. Dalam keadaan tertentu asas monogami dapat dikesampingkan, akan tetapi diperbolehkan bagi mereka yang yang diperkenankan oleh agama dan undang-undang untuk menikah lagi dengan alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan.
c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini dapat diartikan, bahwa mereka itu haruslah berlangsung terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan. Perceraian karena sebab-sebab lain daripada kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu pemutusan perkawinan karena perceraian (cerai hidup), merupakan jalan akhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.
d. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa perkawinan itu tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia, sebagai makhluk yang beradab.
2. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini
antara lain adalah :28
a. Buku I dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu
Bab IV samapi dengan Bab XI.
b. Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
c. Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
d. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
e. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan
Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
28
f. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia (Pasal 1-170 KHI).
3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974
Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus
memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan
diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974. Pasal 6
s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materil,
sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat
formil. Syarat-syarat tersebut antara lain :
1) Pasal 6 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Pasal 6 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Pasal 7 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
4) Pasal 8 UUP No. 1 Tahun 1974, larangan perkawinan karena hubungan keluarga yang dekat.
5) Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan.
6) Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan setelah yang kedua kalinya antara orang yang sama adalah dilarang.
7) Pasal 11 UUP No. 1 Tahun 1974, mengatur tentang “waktu tunggu” . Pada ayat (1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dan pada ayat (2) tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975.
Pada Pasal 39 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, berbunyi :
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.”
8) Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974, tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Selanjutnya ketentuan tentang tata cara perkawinan ini diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP No. 9 Tahun 1975.29
b. Menurut KUHPerdata
Menurut Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), syarat sahnya
perkawinan (syarat materil) adalah :
1) Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUHPerdata).
2) Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 KUHPerdata).
3) Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPerdata).
4) Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUHPerdata).
5) Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35 KUHPerdata). Mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini :
a) Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasaannya, harus ada izin dari wali pengawas (Pasal 36 KUHPerdata).
b) Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37 KUHPerdata).
c) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39 KUHPerdata).
29
d) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40 KUHPerdata).
e) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak dapat memintanya dengan perantaraan hakim (Pasal 42 KUHPerdata). f) Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUHPerdata).30
Sementara syarat formil perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 84
KUHPerdata), terdiri dari :
1) Tata cara/formalitas-formalitas yang harus mendahului perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 58 KUHPerdata).
2) Mencegah perkawinan (Pasal 59 sampai dengan 70 KUHPerdata).
3) Melangsungkan perkawinan (Pasal 71 sampai dengan 82
KUHPerdata).
4) Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri (Pasal 83 sampai dengan 84 KUHPerdata).31
4. Larangan-larangan Perkawinan a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :32
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. Berhubungan darah dan garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagi bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
30
P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal 41-42. 31
Djaja S. Meliala, Op. Cit, hal 76-80. 32
Menurut Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang masih
terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali
jika :
1) Mendapat izin dari Pengadilan (berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat
(2) UUP No. 1 Tahun 1974);
2) Dengan alasan bahwa istri, yaitu : (Pasal 4 UUP No. 1 Tahun
1974).
a) Tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri;
b) Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c) Tidak dapat melahirkan keturunan;
Menurut Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974 menentukan, bahwa
apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak
boleh dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan
istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang
mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat
dipertimbangkan dan dapat dipikirkan matang-matang. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974 bagi seorang
wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Pada
ayat (2) tenggang jangka waktu tunggu tersebut pada ayat (1) akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan Pemerintah
lebih lanjut tersebut dalam hal ini adalah PP No. 9 Tahun 1975 yang
dalam Pasal 39 ayat (1).
b. Menurut KUHPerdata
Di dalam KUHPerdata ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang
antara33
1) Mereka yang bertalian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 30 KUHPerdata).
:
2) Ipar laki-laki dan ipar perempuan, paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31 KUHPerdata).
3) Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah oleh putusan hakim (Pasal 32 KUHPerdata).
4) Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum lewat waktu 1 (satu) tahun (Pasal 33 KUHPerdata).
5. Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan a. Menurut UUP No. 1 Tahun 1974
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku
(Pasal 2 ayat 2 UUP No. 1 Tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor
33
Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen,
Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Dalam PP No. 9 Tahun 1975, dikatakan bahwa tahap-tahap
pencatatan perkawinan itu adalah sebagai berikut :34
1) Pegawai pencatat perkawinan
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2).
2) Pemberitahuan perkawinan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh hari kerja) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualikan terhadap jangka waktu tersebut yang disebabkan oleh sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat, atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3). Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Pemberitahuan memuat : nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (Pasal 5).
3) Penelitian oleh pegawai pencatat
Menurut Pasal 6, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti hal-hal sebagai berikut :
a) Apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi.
b) Apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undnag-undang.
c) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
d) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
e) Izin tertulis /izin Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
f) Izin Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.
34
g) Dispensasi Pengadilan/ Pejabat.
h) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
i) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
j) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Hasil penelitian tersebut oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan tersebut diatas (3-10), keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (Pasal 7). 4) Pengumuman perkawinan
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman Tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Menurut Pasal 9, pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu.
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan. 5) Tata cara perkawinan
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkwinan oleh pegawai pencatat. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10). Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11).
Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 13).
b. Menurut KUHPerdata
Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan
kehendak itu kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu
dari kedua pihak (Pasal 50 KUHPerdata). Pemberitahuan ini harus
dilakukan, baik sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup
kepastian memperlihatkan kehendak kedua calon suami istri, dan
Tentang pemberitahuan itu oleh Pegawai Catatan Sipil harus dibuat
sebuah akta (Pasal 51 KUHPerdata).
Menurut pasal 52 KUHPerdata, sebelum perkawinan
dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus menyelenggarakan
pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat
pengumuman pada pintu utama daripada gedung dalam mana
register-register catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus tetap tertempel
selama 10 (sepuluh) hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada
hari Minggu atau hari Tahun Baru, hari Paskah, hari Natal, dan Hari
Mikraj Nabi. Surat itu berisi :
1e. Nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon
suami-istri, pun jika yang akhir ini dulu pernah kawin, nama istri
dan suami mereka dulu.
2e. Hari, tempat dan jam pengumuman berlangsung.
Kemudian, surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil.
daerah Pegawai Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman harus
dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal masing-masing
pihak (Pasal 53 KUHPerdata). Pengumuman hanya berlaku selama 1
(satu) bulan, dan apabila dalam waktu itu tidak dilangsungkan
perkawinan , maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, dan
untuk itu pengumuman harus diulang sekali lagi (Pasal 57
KUHPerdata). Pada asasnya, suatu perkawinan dapat dibuktikan dengan
adanya akta perkawinan (Pasal 100 KUHPerdata).
6. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan
Menurut Pasal 31 UUP No. 1 Tahun 1974, berbunyi bahwa :
(1) hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup dalam masyarakat;
(2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum;
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
Sedangkan kewajiban suami istri terdapat dalam Pasal 30 UUP No.
1 Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi susunan
masyarakat. Didalam Pasal 32 UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan,
bahwa:
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
Pasal 33 UUP No.1 Tahun 1974 dikatakan, bahwa suami istri wajib
saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 UUP No. 1 Tahun 1974
menentukan, bahwa :
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
(3) Jika suami istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
B.PERCERAIAN
1. Pengertian Perceraian
Menurut ketentuan Pasal 38 UUP No. 1 Tahun, perkawinan dapat
putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. 35
a. Kematian;
Putusnya perkawinan karena kematian suami atau istri, disebut juga
oleh masyarakat dengan ” cerai mati ”.
b. Perceraian;
Putusnya perkawinan karena perceraian, disebut oleh masyarakat
dengan istilah ” cerai hidup ”.
Putusnya perkawinan karena perceraian ada 2 (dua) jenis, yaitu :36
35
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000), hal 117.
36
1) Cerai gugat, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama dan kepercayaannya bukan Islam dan
seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.
2) Cerai talak, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam.
c. Putusan Pengadilan;
Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung
sejak pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh
pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung
sejak jatunya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan
hukum tetap.37
(1)Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 39 UUP No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa :
(2)Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri, tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
(3)Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa
perceraian mempunyai arti, bahwa diputuskannya perkawinan tersebut
oleh Hakim dikarenakan sebab tertentu atau putusnya perkawinan karena
37
perceraian berarti pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab
tertentu dengan keputusan Hakim. Perceraian juga dapat diartikan sebagai
salah satu cara pembubaran perkawinan karena sebab tertentu, melalui
keputusan Hakim yang didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa pengertian perceraian adalah putusnya
perkawinan yang sah karena suatu sebab tertentu oleh keputusan Hakim,
yang dilakukan didepan sidang Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang
telah ditentukan oleh undang-undang serta telah didaftarkan pada Kantor
Catatan Sipil.
2. Alasan-alasan Perceraian
Tujuan Perkawinan, adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.,
Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat
untuk mencari kebahagiaan, meneruskan keturunan, dan ingin hidup
bersama sampai akhir hayat atau cerai mati, namun seringkali tujuan
tersebut kandas ditengah jalan karena sebab-sebab tertentu.
Walaupun perceraian adalah perbuatan tercela dan dibenci oleh
Tuhan (Allah), suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan
mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Namun, perceraian harus
mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur undang-undang bahwa antara
suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.38
38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op. Cit, hal 118.
dapat diketahui dari penjelasan Pasal 39 (2) UUP No. 1 Tahun 1974 dan
Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, sebagai berikut : 39
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan. Pengertian zinah pada alasan perceraian ini, adalah zinah menurut konsep agama. Pengertian pemabok, pemadat, dan penjudi ditafsirkan oleh Hakim;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Waktu 2 (dua) tahun berturut-turut pada alasan perceraian ini, adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Kata ” berturut-turut” berarti kepergian salah satu pihak tersebut harus penuh 2 (dua) tahun lamanya dan selam waktu itu yang bersangkutan tidak pernah kembali. Rasio dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kepentingan pihak yang ditinggalkan. Maksud ”hal lain diluar kemampuannya” pada alasan perceraian ini, maka Hakim yang menentukannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. ”Hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat” maksudnya adalah hukuman yang sudah mempunyai kekuatan tetap setelah Perkawinan berlangsung. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun haruslah dijatuhkan oleh Hakim Pidana setelah perkawinan dilangsungkan. Penentuan lima tahun dianggap cukup mentukan apakah perkawinan para pihak hendak diteruskan atau diakhiri;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain. Kekejaman atau
penganiayaan yang dikaitkan membahayakan terhadap pihak lain bukan jasmani namun juga jiwa para pihak. Sebaiknya ada visum dari dokter atau keterangan saksi ahli hukum kejiwaan untuk mengetahui bagaimana perasaan dalam diri pihak yang melakukan kekejaman atau penganiayaan dan pihak lain yang diperlukan dengan kejam dan dianiaya. Selain itu juga perlu di dengar keterangan dari orang yang melihat dan atau mendengar secara langsung kekejaman dan penganiayaan itu dilakukan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan penjelasan Tentang apa yang dimak